1. Dokumen tersebut membahas tinjauan yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenang.
2. Pembahasan mencakup definisi pemerintah dan pemerintahan, serta jenis-jenis perbuatan aparat pemerintah berdasarkan hukum dan fakta.
3. Isu kunci yang dibahas adalah tanggung jawab pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara berwenang.
Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
Tinjauan Yuridis Perbuatan Aparat Pemerintah Tidak Berwenang
1. 1
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN APARAT
PEMERINTAH YANG TIDAK BERWENANG
( Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Tata Usaha Negara)
Oleh :
FREINGKY A. NDAUMANU, S.H.
NIM : 11/322217/PHK/06731
PROGRAM PASCASARJARNA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
GADJAH MADA YOGYAKARTA
MAGISTER HUKUM
2012
2. 2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pejabat administrasi (bestuur) selaku pelaksana kebijakan politik negara
mempunyai wewenang sebagaimana diperintahkan undang – undang, berfungsi
memimpin masyarakat, mengendalikan pemerintahan, memberi petunjuk,
menghimpun aspirasi, menggerakkan potensi, memberi arah, mengkoordinasikan
kegiatan, membuka kesempatan, memberi kesempatan, memberi kemudahan,
mengawasi, menilai, mendukung, membina, melayani, mendorong dan
melindungi masyarakat.
Dalam rangka mensejahterahkan masyarakat, terjadi hubungan hukum
(rechtsbetrekking) yang erat antara pemerintah dengan rakyatnya. Dengan
perkataan lain, pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat (public service). Dengan adanya fungsi “public service” ini,
berarti pemerintah tidak saja melaksanakan peraturan perundangan – undangan itu
sendiri. Oleh karenanya pemerintah berhak menciptakan kaidah hukum konkrit
yang dimaksudkan guna mewujudkan tujuan peraturan perundang – undangan.1
Dalam hukum administrasi Negara disebut dengan “pouvoir discrectionnaire”
atau “freies ermessen” atau asas diskresi. Istilah ini mengandung kewajiban dan
1
Muchsan., Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi
Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm.3
3. 3
kekuasaan yang luas, yaitu terhadap tindakan yang akan dilakukan dan kebebasan
untuk memilih melakukan atau tidak tindakan tersebut.
Akan tetapi, apabila perbuatan aparat pemerintah yang dilaksanakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun diskresi jika tidak terkendali
dengan baik, maka akan mudah terjadi perbuatan yang tercela, yang tendensinya
menimbulkan kerugian pada pihak tertentu. Perbuatan pemerintah yang tercela ini
dalam Hukum Tata Administrasi Negara sering disebut perbuatan penguasa yang
sewenang-wenang (willekeur). Perbuatan yang sewenang-wenang ini,
frekuensinya banyak terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat
bebas (vrij bestuur). Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat
mengikat (gebonden bestuur) perbuatan tersebut jarang terjadi.2
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan
dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Tinjauan Yuridis Terhadap
Perbuatan Aparat Pemerintah Yang Tidak Berwenang?”
2
Muchsan., Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata
Usaha Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1992, hlm.14
4. 4
BAB II
PEMBAHASAN
A.DEFINISI PEMERINTAH DAN PEMERINTAHAN
Secara etimologis, pemerintahan berasal dari kata “pemerintah”,
sedangkan pemerintah berasal dari kata “perintah”.3 Selanjutnya, dalam bahasa
Inggris kata “pamerintah” di artikan “government” atau dari bahasa Perancis
“Gouvernement”, yang berasal dari bahasa Latin “Gubernaculum”, atau bahasa
Yunani “Kubernan”, yang berarti “kemudi”, jelaslah bahwa yang dimaksud ialah
mengemudi jalannya Negara untuk mencapai tujuan Negara.4 Menurut Kamus
Bahasa Indonesia kata tersebut mempunyai arti sebagai berikut:
1. Perintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan
sesuatu;
2. Pemerintah adalah kekuasaan memerintah suatu (daerah-daerah) atau
badan yang tertinggi yang memerintah suatu negara (seperti kabinet
merupakan suatu pemerintahan);
3. Pemerintahan adalah perbuatan (cara, hal urusan dan sebagainya)
memerintah.
Pemerintahan adalah organisasi yang diberikan hak untuk melaksanakan
kekuasaan yang tertinggi. Pemerintah dalam arti luas merupakan sesuatu yang
3
Pamudji., Perbandingan Pemerintahan, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hlm.3
4
Zamzuri., Tindak Pemerintahan (Bestuurhandeling), Al-Hikmah, Yogyakarta, 1985, hlm.1
5. 5
lebih besar daripada suatu badan atau kementerian-kementerian, pemerintahan
dalam arti luas meliputi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan
yudikatif. Pemerintahan daerah adalah suatu pemerintahan yang terdiri dari
Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.5
Van Poelje, mengartikan pemerintahan dalam arti sempit, adalah sebagai
organ/badan/alat/perlengkapan Negara yang diserahi pemerintahan
(government/bestuur). Dalam arti luas pemerintahan adalah sebagai fungsi yakni
yang meliputi keseluruhan tindakan, perbuatan dan keputusan oleh alat - alat
pemerintahan (bestuurorganen) untuk mencapai tujuan pemerintahan
(administration). Pemerintahan juga dapat diartikan sebagai “pangreh”, artinya
fungsi memerintah, yakni menjalankan tugas - tugas memerintah (bestuurfunctie).
Oleh karena itu dilihat dari sisi tugasnya, pemerintahan dapat diartikan secara
negatif, yakni tugas penguasa yang bukan peradilan ataupun perundang-
undangan.6
Mariun7 memberikan batasan yang berbeda terhadap kedua istilah
tersebut, “pemerintah” merupakan kata yang menunjuk pada badan, organ atau
alat kelengkapan yang menjalankan fungsi atau bidang tugas pekerjaan atau
fungsi. Sehingga dapat dikatakan kalau pemerintahan menunjuk kepada objek,
sedangkan istilah pemerintah menunjuk kepada subyek.
5
Sujanto., Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984,
hlm.48
6
Sadjijono.,Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara, LaksBang PRESSindo,
Yogyakarta, hlm.42
7
Fauzan Muhammad., Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian Tentang Hubungan Keuangan
Antara Pusat Dan Daerah, Cetakan I, UII Pres, Yogyakarta, 2006, hlm.17
6. 6
Istilah Pemerintahan juga dapat dimaknai sebagai “fungsi” dan sebagai
“organisasi”. Sebagai fungsi, yakni aktifitas memerintah, adalah melaksanakan
tugas - tugas pemerintahan, sebagaimana dikemukakan oleh P.de Haan, “bestuur
als funtie-dat wil zeggen het besturen-is de uitoefening van bestuurstaak”, dan
pemerintahan sebagai organ - organ dari organisasi pemerintahan yang dibebani
dengan pelaksanaan tugas pemerintahan (Onder het (openbaar) bestuur als organ
worden al die organen uit de overheidorganisatie samengevat die organen uit die
belast zijn met de uitoefening van de bestuurstaak).8
Selanjutnya, Mac. Iver9 berpendapat dalam bukunya “The Web of
Government”, membagi tugas pemerintah atas 3 (tiga) bidang, yaitu :
1) “Cultural function”, fungsi ini sesungguhnya merupakan tugas dari
rakyat sendiri, tetapi Negara harus memberikan dorongan, fasilitas,
agar tujuan mencapai kemajuan kebudayaan dapat tercapai.
2) “General welfare function”, yaitu fungsi kesejahteraan umum yang
seharusnya dilaksanakan oleh setiap Negara. Fungsi ini memberikan
hak kepada pemerintah untuk campur tangan dalam segala aspek
kehidupan rakyat.
3) “Function economic control”, guna mencapai kesejahteraan rakyat
maka pemerintah harus terjun dalam bidang perekonomian.
Menurut Mac. Iver sistem perekonomian liberal untuk mencapai
kesejahteraan rakyat adalah khayalan belaka.
8
Sadjijono., Memahami Beberapa Bab Pokok.., Op.cit.hlm.43
9
Zamzuri., Tindak Pemerintahan..,Op.cit. hlm.11-12
7. 7
Bahwasannya ketiga fungsi tersebut diatas saling berhubungan dan
keberhasilan dalam suatu bidang akan mempengaruhi bidang lainnya.
Adapun tugas pemerintah Indonesia sebagaimana yang terlukis dalam
Alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945 sebagai berikut :
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum.
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Guna merealisir tugas Negara atau lebih dikenal dengan tujuan Negara
tersebut diatas pemerintah melakukan tindakan atau perbuatan - perbuatan yang
disebut sebagai tindakan pemerintahan (bestuurshandeling).
B. PERBUATAN / TINDAKAN APARAT PEMERINTAH
Tindakan pemerintah (bestuurhandeling) yang dimaksud, adalah setiap
tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh alat perlengkapan pemerintahan
(bestuurorgaan) dalam menjalankan fungsi pemerintahan (bestuurfunctie).10
Ada 2 (dua) bentuk tindakan pemerintah, yakni tindakan berdasarkan
hukum (rechtshandeling) dan tindakan berdasarkan fakta / nyata atau bukan
berdasarkan hukum (feitelijkehandeling).
10
Sadjijono., Memahami Beberapa Bab Pokok.., Op.cit. hlm.79
8. 8
1) Tindakan Berdasarkan Hukum (rechtshandeling)
Tindakan aparat pemerintah berdasarkan hukum (rechtshandeling)
dapat dimaknai sebagai tindakan - tindakan yang berdasarkan sifatnya
dapat menimbulkan akibat hukum tertentu untuk menciptakan hak dan
kewajiban. Tindakan ini lahir sebagai konsekuensi logis dalam
kedudukannya pemerintah sebagai subyek hukum, sehingga tindakan
hukum yang dilakukan menimbulkan akibat hukum. 11
Disebutkan bahwa istilah “rechtshandeling”12 atau tindakan
hukum itu berasal dari ajaran hukum perdata, yang kemudian juga
digunakan dalam hukum administrasi. Begitu digunakan dalam hukum
administrasi Negara, sifat tindakan hukum ini mengalami perbedaan; “De
administratiefrechtelijke rechtshandeling is, ondanks gelijkluidendheid
van naam, anders van aard dan van de civile rechtshandeling” (tindakan
hukum administrasi berbeda sifatnya dengan tindakan hukum perdata,
meskipun namanya sama), terutama karena sifat mengikatnya “De
administratiefrechtelijke rechtshandeling kunnen burgers binden zonder
dar hunnerzijds tot die binding op enige wijze wordt bijgedragen”
(tindakan hukum administrasi dapat mengikat warga Negara tanpa
memerlukan persetujuan dari warga Negara bersangkutan), sementara
dalam tindakan hukum perdata diperlukan persesuaian kehendak
(wilsovereenstemming) antara kedua pihak atas dasar kebebasan kehendak
11
Ibid, hlm.80
12
HR Ridwan., Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.115-116
9. 9
atau diperlukan persetujuan dari pihak yang dikenai tindakan hukum
tersebut. Hal ini karena hubungan hukum perdata itu bersifat sejajar,
sementara hubungan hukum publik itu bersifat sub-ordinatif, disatu pihak
pemerintah didekati dengan kekuasaan publik, dipihak lain warga Negara
tidak dilekati dengan kekuasaan yang sama.
2) Tindakan Bukan Berdasarkan Hukum (feitelijkehandeling)
Tindakan berdasarkan fakta/nyata (bukan hukum), adalah tindakan
pemerintah yang bukan hubungan langsung dengan kewenangannya dan
tidak menimbulkan akibat hukum. Menurut Kuntjoro Probopranoto
tindakan berdasarkan fakta (feitelijkehandeling) ini tidak relevan, tidak
mempunyai hubungan langsung dengan kewenangannya. Contoh tindakan
pemerintah yang berdasarkan fakta, yaitu upacara membuka jembatan,
pembuka jalan raya dan lain - lain yang biasanya dilakukan oleh seorang
penguasa pemerintahan.
Pendapat lain sebagaimana dikemukakan oleh H.J. Romeijin, bahwa “Een
administratieve rechtshandeling is dan een wilsverklaring in een bijzonder geval
uitgaande van een admnistratief organ, gericht op het in het leven reopen van een
rechtsgevolg op het gebeid van administratief rechts” (Tindakan - tindakan
hukum administrasi adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ
10. 10
administrasi dalam keadaan khusus dimaksudkan untuk menimbulkan akibat
hukum dalam bidang hukum administrasi).13
Sehubungan dengan hal tersebut diatas tampak ada beberapa unsur yang
terdapat di dalamnya. Muchsan14 menyebutkan unsur - unsur tindakan hukum
pemerintahan sebagai berikut :
1) Perbuatan itu dilakukan oleh aparat Pemerintah dalam kedudukannya
sebagai Penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan
(bestuurs-organen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;
2) Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi
pemerintahan;
3) Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan
akibat hukum di bidang hukum administrasi;
4) Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan
kepentingan negara dan rakyat.
C. PERBUATAN APARAT PEMERINTAH YANG TIDAK BERWENANG
Landasan kewenangan alat administrasi Negara atau pejabat administrasi
Negara bersumber dari tiga (3) hal. Pertama, landasan kewenangan atas dasar
atribusi, atas dasar kewenangan ini maka wewenang yang ada pada alat
administrasi Negara atau pejabat administrasi Negara sifatnya melekat, tidak bisa
dialihkan dan tidak bisa dibagi-bagi. Kedua, kewenangan atas dasar mandat, yakni
13
Sadjijono., Memahami Beberapa Bab Pokok..,Loc.cit, hlm.80
14
HR Ridwan., Hukum Administrasi .., Loc.cit.hlm.116
11. 11
bahwa wewenang itu diperoleh atas dasar pelimpahan wewenang dari pejabat
kepada subyek hukum lain untuk melakukan tindakan atas nama pemberi mandat
dan atas tanggungjawab pemberi mandat. Ketiga, kewenangan atas dasar delegasi,
yaitu pelimpahan wewenang dari pejabat administrasi Negara kepada subyek
hukum lain untuk bertindak atas nama sendiri dan atas tanggungjawabnya sendiri.
Pelimpahan wewenang tersebut dilakukan pejabat lain yang bersifat horizontal.
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya yang sangat luas, maka alat
administrasi Negara (bestuur) sebagai pelaksanaan pemerintahan diberi
wewenang bebas (vrije bestuur, freies ermessen). Hal ini bertujuan untuk
mengambil tindakan cepat dan tepat serta berfaedah. Meskipun demikian,
tindakan tersebut harus dilakukan dalam koridor hukum dan tidak boleh
bertentangan dengan hukum.15
Menurut Prof. Muchsan.,S.H,16 kewenangan dari aparat dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu kewenangan atributif dan kewenangan non atributif,
antara lain sebagai berikut :
1) Kewenangan yang bersifat atributif (orisinil) yaitu kewenangan
yang diberikan secara langsung oleh peraturan perundang-
undangan. Kewenangan atributif ini bersifat permanen (saat
berakhirnya tidak jelas) serta komprehensif (tidak boleh terpecah-
pecah) dan tetap ada selama undang-undang mengaturnya.
15
Kusdarini Eny., Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara Dan Asas-Asas Umum Pemerintahan
Yang Baik, Cetakan I, UNY Press, Yogyakarta, 2011, hlm.87-88
16
Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan Politik Hukum, Program Pasca Sarjana Magister Hukum
Kenegaraan-UGM, Yogyakarta, 2011
12. 12
Misalnya, Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-
Undang (RUU). Kewenangan ini secara langsung diberikan oleh
Peraturan perundang-undangan yakni Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang Negara Dasar Republik Indonesia 1945 amandemen IV.
Jadi, keabsahan dari kewenangan atribusi ini tidak perlu
dipertanyakan lagi karena sumbernya adalah dari peraturan
perundang-undangan.
2) Kewenangan yang bersifat non-atributif (non-orisinil) yaitu
kewenangan yang diperoleh karena pelimpahan wewenang dari
aparat yang lain. Kewenangan non-atributif ini bersifat insidental
(tidak permanen) dan berakhir jika pejabat yang berwenang telah
menariknya kembali. Misalnya penerbitan izin oleh Bupati atau
Kepala Daerah yang seharusnya dilakukan oleh Bupati itu sendiri,
namun pada saat Bupati tersebut tidak berada ditempat untuk
menerbitkan izin, maka dapat diwakilkan pada Wakil Bupati
sebagai penjabat sementara.
Selanjutnya, dalam teori hukum ada dua (2) pelimpahan
wewenang :
1. Mandat, artinya yang beralih sebagian wewenang. Pihak
yang memberikan mandat disebut mandans, dan pihak yang
menerima mandat disebut mandataris. Istilah yang dipakai
dalam mandat : “untuk beliau”.
13. 13
2. Delegasi, artinya yang beralih adalah seluruh wewenang
termasuk pertanggungjawaban. Pihak yang memberi
delegasi disebut delegans, dan pihak yang menerima
delegasi disebut delegataris. istilah yang dipakai dalam
delegasi : “atas nama”.
Prof. Muchsan.,S.H kemudian mendefiinisikan bahwa yang dimaksud
dengan kewenangan adalah hak yang bersifat istimewa yang diberikan kepada
aparat penyelenggara Negara dalam rangka melaksanakan fungsinya. Disebut hak
istimewa karena bersifat sepihak dan dapat dipaksakan.
Selanjutnya, Prof. Muchsan.,S.H17 mengatakan bahwa perbuatan aparat
pemerintah yang tidak di dasari kewenangan maka akan mengakibatkan :
1) Perbuatan yang tidak layak/tercela (willekeur)
Bentuk perwujudan perbuatan ini ada lima (5) kelompok, yakni :
i. Perbuatan yang tidak tepat (onjuist) : perbuatan dikatakan onjuist kalau
perbuatan itu menggunakan dasar pertimbangan yang salah. Misalnya,
pemberian izin poligami kepada PNS (lihat : PP No.10 Tahun 1983),
maka dasar pertimbangan pemberian izin poligami harus mempunyai
dasar pertimbangan yang baik.
ii. Perbuatan melawan hukum (onrechtmatig), ada tiga (aspek) :
a) Perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
b) Perbuatan yang berbeda dengan hukum.
17
Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan Hukum Tata Usaha Negata, Program Pasca Sarjana
Magister Hukum Kenegaraan-UGM, Yogyakarta, 2012
14. 14
c) Perbuatan yang pasif, artinya tidak berbuat pun dapat dikatakan
perbuatan melawan hukum. Misalanya, lampu penerang jalan
yang rusak yang oleh pemerintah dibiarkan saja (tidak
diperbaiki) dapat mengakibatkan kecelakaan pada malam hari,
terhadap hal tersebut dapat dilakukan gugatan kepada
pemerintah.
iii. Perbuatan tidak bijak (ondoelmatig) : yaitu perbuatan yang
menggunakan dasar kebijakan yang salah.
iv. Perbuatan melawan undang-undang (onwetmatig) : perbuatan ini sama
dengan perbuatan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig), hanya
saja lingkup dari onrechtmatig lebih luas (hukum tertulis dan hukum
tidak tertulis) dari pada onwetmatig (hukum tertulis).
Misalnya, aparat pemerintah yang menggunakan barang sitaan yang
perkaranya belum di putus oleh hakim, baik untuk keperluan dinas,
lebih-lebih lagi untuk keperluan non-dinas. Dapatlah disimpulkan
bahwa untuk adanya perbuatan yang onwetmatig diperlukan unsur-
unsur sebagai berikut :18
Penguasa melakukan perbuatan yang memang termasuk dalam
kewenangannya, menurut atas dasar peraturan perundang-
undangan.
18
Muchsan., Sistem Pengawasan..,Op.cit. hlm.32-33
15. 15
Perbuatan penguasa tidak sesuai dengan ketentuan yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar perbuatannya.
v. Perbuatan penyalahgunaan wewenang (on misbruik van macht) :
maksudnya ialah pada tujuan penggunaan wewenang digunakan untuk
lain oleh aparat pemerintah.
Perbuatan pemerintah yang tidak layak/tidak berwenang adalah
perbuatan pemerintah yang melanggar hukum yang menurut
yurisprudensi negeri Belanda tanggal 31 januari tahun 1919 dalam arti
Pasal 1365 KUHS sebagai berikut :
“Suatu perbuatan atau kelalaian (a) yang melanggar hak
orang lain, atau (b) bertentangan dengan kewajiban hukum
dari orang yang melakukan perbuatan atau kelalaian itu,
atau (c) perbuatan yang bertentangan, baik dengan
kesusilaan maupun dengan ketertiban yang dalam
perhubungan kemasyarakatan harus diindahkan terhadap
diri orang lain atau barang orang lain”.
Kemudian, dengan beberapa putusan Mahkamah Agung
Negara Belanda pada tahun 1936 dan tahun 1940, dikukuhkan sekali
lagi tentang perbuatan pemerintah yang tidak layak itu sebagai berikut:
“Apabila ternyata memakai suatu wewenang yang
diberikan kepada suatu badan pemerintah untuk
menyelenggarakan suatu kepentingan lain dari pada
kepentingan yang dimaksud dengan pemberian wewenang
tersebut kepada badan pemerintah itu adalah suatu
perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang dapat
diuji oleh hakim”.
16. 16
Rumus Mahkamah Agung ini yang sudah merupakan
yurisprudensi itu pada hakikatnya adalah perbuatan pemerintah yang
disebut “Detournement de pouvoir” atau “Misbruik van Macht”, yaitu
penyalahgunaan wewenang.
Mengenai “Detournement de pouvoir” atau penyalahgunaan
wewenang ini Mr. A. J. Mainake dalam Majalah Padjajaran,1, 3,
halaman 86, memberikan definisinya sebagai berikut :
“Perbuatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan
publik lain dari pada tujuan publik yang dimaksud oleh
peraturan yang menjadi dasar perbuatan itu”.
Kemudian, W.F. Prins dalam bukunya “Pengantar Hukum
Administrasi Negara Indonesia” juga memberikan definisi
“Detournement de pouvoir” sebagai berikut :
“Apabila istilah Detournement de pouvoir ini akan dipakai
untuk menjelaskan suatu bentuk tersendiri dan luar biasa
dari pada penyalahgunaan wewenang, maka adalah baik
kiranya apabila istilah tersebut hanya digunakan didalam
hal badan administrasi Negara mempergunakan wewenang
yang diberikan kepadanya itu untuk mengutamakan
kepentingan umum lain dari pada yang seharusnya
diutamakan menurut wewenang yang diberikan kepadanya
itu”.19
2) Melawan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (Algeimene Beginselen
van Behourlijk Bestuur)
19
Mustafa Bachsan., Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan I, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, hlm.103-104
17. 17
Menurut Prof. Muchsan.,S.H ada lima (5) Asas-Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik (Algeimene Beginselen van Behourlijk Bestuur) yang
ideal untuk menilai perbuatan aparat pemerintah :
a) Asas kepastian hukum (the principle of legal security).
Asas ini menuntut agar aparat pemerintah dalam melakukan perbuatan
untuk selalu memutus terhadap perkara (kondisinya) yang sama.
Misalnya, A mengajukan ijin IMB kepada Dinas Tata Kota.
B mengajukan ijin IMB kepada Dinas Tata Kota (dengan
kondisi yang sama dengan A) harus dikabulkan.
b) Asas kelayakan (the principle of fair play).
Asas ini menuntut agar aparat pemerintah untuk memberikan informasi
seluas-luasnya kepada pihak terkait meskipun tidak diminta.
Misalnya, permohonan ijin B, maka pejabat pemerintah perlu untuk
memberikan penjelasan terhadap penolakan ijin tersebut.
c) Asas kecermatan/hati-hati (the principle of carefulness).
Asas ini menghendaki agar aparat pemerintah dalam rangka berbuat,
harus memperhatikan prosedur yang telah ditetapkan, serta
mempertimbangkan norma-norma yang ada, agar keputusan yang lahir
tidak merugikan pihak lain.
d) Asas keseimbangan (the principles of balances).
Asas ini menghendaki agar aparat pemerintah memperhatikan hak dan
kewajiban yang dimiliki oleh lawan berbuat (pihak lain) yang dilayani.
18. 18
e) Asas ketepatan untuk menentukan obyek/sasaran (the principle of good
object).
Asas ini menghendaki agar aparat pemerintah dituntut dalam
memutuskan sesuatu harus memperhatikan dan mempertimbangkan
semua fenomena (gejala sosial) yang terkait dengan keputusannya.
Perlu untuk diingat bahwa terhadap kelima (5) Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik (Algeimene Beginselen van
Behourlijk Bestuur) diatas, boleh “ditambahkan” dengan AUPB yang
lain, namun tidak boleh “dikurangkan”.
3) Perbuatan yang tidak bermoral
ialah perbuatan yang melanggar sumpah jabatan oleh aparat pemerintah.
Berkaitan dengan “tidak berwenang”-nya suatu Badan atau pejabat
pemerintahan (tata usaha Negara) untuk melakukan tindak pemerintahan tersebut,
menurut Philipus M. Hadjon,20 dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yakni :
a. Tidak berwenang dari segi materi (ratione materiae)
Artinya seorang pejabat yang mengeluarkan keputusan tata usaha
Negara tentang materi atau masalah tertentu itu menjadi wewenang
dari Badan atau pejabat lain.
b. Tidak berwenang dari segi wilyah atau tempat (ratione locus)
Artinya keputusan tata usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan
pejabat tata usaha Negara mengenai sesuatu yang berada diluar
wilayah jabatannya.
20
Sadjijono., Memahami Beberapa Bab Pokok..,Op.cit. hlm.63-64
19. 19
c. Tidak berwenang dari segi waktu (ratione temporis)
Artinya keputusan dikeluarkan karena melampui tenggang waktu yang
dikeluarkan.
Untuk mengetahui “tidak berwenang” atau “berwenang”-nya Badan atau
pejabat tata usaha Negara melakukan tindakan pemerintahan, melalui langkah
interpretasi sistematis terhadap ketentuan peraturan perundang - undangan yang
berlaku, khususnya yang mengatur tentang wewenang pemerintahan. Pangkal
tolak penilaian kewenangan tindak pemerintahan ini kembali pada asas legalitas
(legalitiet beginselen) sebagai asas utama dalam Negara hukum. Oleh karena itu,
dalam penilaian ini berlaku teori berbanding terbalik, yakni salah satu aspek dapat
dinilai juga, artinya jika tindakan yang menjadi “kewenangannya” dapat dinilai
atau diketahui pula tindakan - tindakan yang tidak menjadi wewenangnya (tidak
berwenang), atau sebaliknya.
Soehino21 mengemukakan bahwa dahulu belum ada asas-asas umum
pemerintahan untuk mengukur sah dan tidak sahnya perbuatan pemerintah di
Indonesia, setidak-tidaknya sampai tahun 1986, belum memiliki Peradilan Tata
Usaha Negara. maka penentuan sikap dan pendapat tersebut dalam banyak hal
ditentukan secara kasuistik, yang sudah barang tentu dapat mengakibatkan
penentuan yang berbeda-beda untuk tiap-tiap hal atau kejadian, dan malahan
mungkin dapat bersifat subyektif. Asas yang kiranya dapat dipergunakan untuk
menjawab serta menyelesaikan masalah tersebut diatas adalah adalah asas
functionnaire de fait.
21
Soehino., Asas-Asas Hukum Tata Usaha Negara, Cetakan I, Liberty, 2000, hlm.108-109
20. 20
Menurut asas functionnaire de fait, dalam keadaan darurat, suatu alat
perlengkapan administrasi Negara yang tidak sah status hukumnya, misalanya
dalam pengangkatannya itu mengalami atau mengandung kekurangan, masih
dapat dianggap sebagai alat perlengkapan administrasi Negara yang sah, dengan
demikian kekurangan-kekurangan yang dialami atau tergantung dalam
pengangkatan tersebut dianggap tidak ada, apabila masyarakat pada umumnya
menerima sebagai alat perlengkapan administrasi Negara yang sah, yang dalam
pengangkatannya dianggap tidak mengalami atau terkandung kekurangan-
kekurangan. Konsekuensinya, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh alat
perlengkapan administrasi tersebut harus dianggap sah. Dengan demikian alat
perlengkapan administrasi Negara ini membuat suatu ketetapan administrasi.
ketetapan administrasi ini harus pula dianggap sebagai ketetapan administrasi sah.
Sebaliknya, apabila masyarakat pada umumnya berpendapat bahwa alat
perlengkapan administrasi Negara tersebut sebagai alat perlengkapan administrasi
Negara yang tidak sah, dan memang secara yuridis alat perlengkapan administrasi
Negara tersebut tidak sah, konsekuensinya perbuatan-perbuatan yang dilakukan
oleh alat perlengkapan administrasi Negara tersebut, misalnya membuat suatu
ketetapan administrasi, juga tidak sah, bahkan batal karena hukum.
Terkait dengan kebatalan tersebut diatas dapat dijabarkan melalui tiga (3)
teori tentang kebatalan (nietig theorie) sebagai akibat perbuatan aparat pemerintah
yang tidak berwenang sebagai berikut:
1. Batal Mutlak (absolute nietig)
21. 21
Konsekuensi yuridis/akibat hukumnya, yaitu semua perbuatan hukum yang
sudah dilakukan dianggap belum pernah ada sehingga keadaan harus
dikembalikan seperti semula.
Misalnya, seseorang menyewa rumah pada orang yang berada dibawah
pengampuan, selama 10 tahun. Perjanjian menyewa rumah tersebut telah
berjalan selama 5 tahun, ketika diketahui ternyata orang tersebut (pemberi
sewa) tidak cakap hukum, maka mengetahui hal tersebut penyewa meminta
pembatalan kepada pengadilan. Permintaan pembatalan tersebut dikabulkan
oleh pengadilan, karena hal tersebut maka perbuatan sewa-menyewa tersebut
dianggap tidak sah dan harus batal. Dengan demikian perjanjian sewa-
menyewa dianggap tidak pernah ada.
Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: hanya pejabat yudikatif saja.
2. Batal Demi Hukum (nietig van rechts wege)
Konsekuensi yuridis/akibat hukumnya ada dua (2) alternatif, yakni :
Semua perbuatan hukum yang pernah dilakukan dianggap belum
pernah ada.
Sebagian perbuatan dinyatakan sah, sedangkan sebagian yang lain
dinyatakan batal.
Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: pejabat eksekutif dan
yudikatif.
22. 22
3. Dapat Dibatalkan (vernietig baar):
Konsekuensi yuridis/akibat hukumnya, yaitu seluruh perbuatan hukum yang
telah dilakukan dianggap sah. Perbuatan hukum yang belum dilakukan
dinyatakan tidak sah.
Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: pejabat yudikatif, eksekutif
dan legislatif.
23. 23
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan antara lain :
Bahwa perbuatan aparat pemerintah yang tidak di dasari kewenangan
maka akan mengakibatkan :
1) Perbuatan yang tidak layak/tercela (willekeur).
Bentuk perwujudan perbuatan ini ada lima (5) kelompok, yakni :
a) Perbuatan yang tidak tepat (onjuist).
b) Perbuatan melawan hukum (onrechtmatig).
c) Perbuatan tidak bijak (ondoelmatig).
d) Perbuatan melawan undang-undang (onwetmatig).
e) Perbuatan penyalahgunaan wewenang (on misbruik van
macht).
2) Melawan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (Algeimene
Beginselen van Behourlijk Bestuur).
3) Perbuatan yang tidak bermoral.
24. 24
Bahwa terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenang/absah
menurut hukum maupun dalam teori, ada tiga kemungkinan yang terjadi, yaitu:
1. Batal mutlak (absolute nietig).
2. Batal demi hukum (nietig van rechts wege).
3. Dapat dibatalkan (vernietig baar).
Bahwa untuk mengetahui “tidak berwenang” atau “berwenang”-nya Badan
atau pejabat tata usaha Negara melakukan tindakan pemerintahan, melalui
langkah interpretasi sistematis terhadap ketentuan peraturan perundang -
undangan yang berlaku, khususnya yang mengatur tentang wewenang
pemerintahan. Pangkal tolak penilaian kewenangan tindak pemerintahan ini
kembali pada asas legalitas (legalitiet beginselen) sebagai asas utama dalam
Negara hukum. Oleh karena itu, dalam penilaian ini berlaku teori berbanding
terbalik, yakni salah satu aspek dapat dinilai juga, artinya jika tindakan yang
menjadi “kewenangannya” dapat dinilai atau diketahui pula tindakan - tindakan
yang tidak menjadi wewenangnya (tidak berwenang), atau sebaliknya.
B. SARAN
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa
saran yang dapat penulis rekomendasikan sebagai berikut :
Bahwa setiap perbuatan aparat pemerintah itu harus berdasarkan atas
hukum yang adil, bermartabat dan demokratis, dengan memperhatikan syarat
25. 25
materiil maupun formil yang telah ditetapkan. Artinya perbuatan aparat
pemerintah yang tidak berwenang dapat mejadi batal demi hukum jika tidak
memenuhi syarat-syarat seperti dibawah ini:
a) Tidak berwenang dari segi materi (ratione materiae)
b) Tidak berwenang dari segi wilyah atau tempat (ratione locus)
c) Tidak berwenang dari segi waktu (ratione temporis)
Bahwa aparat pemerintah harus memperhatikan Asas-Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik, seperti lima (5) Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang
Baik (Algeimene Beginselen van Behourlijk Bestuur) yang ideal dalam menilai
perbuatan aparat pemerintah yang dikemukakan oleh Prof. Muchsan.,S.H., yakni:
a) Asas kepastian hukum (the principle of legal security).
b) Asas kelayakan (the principle of fair play).
c) Asas kecermatan/hati-hati (the principle of carefulness).
d) Asas keseimbangan (the principles of balances).
e) Asas ketepatan untuk menentukan obyek/sasaran (the principle of
good object).
26. 26
DAFTAR PUSTAKA
Fauzan Muhammad., Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian Tentang Hubungan
Keuangan Antara Pusat Dan Daerah, Cetakan I, UII Pres, Yogyakarta,
2006
HR Ridwan., Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006
Kusdarini Eny., Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara Dan Asas-Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik, Cetakan I, UNY Press, Yogyakarta, 2011
Muchsan., Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara Dan
Peradilan Administrasi Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981
________., Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan
Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1992
________., Catatan Materi Perkuliahan Politik Hukum, Program Pasca Sarjana
Magister Hukum Kenegaraan-UGM, Yogyakarta, 2011
________., Catatan Materi Perkuliahan Hukum Tata Usaha Negata, Program
Pasca Sarjana Magister Hukum Kenegaraan-UGM, Yogyakarta, 2012
Mustafa Bachsan., Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan I,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001
Pamudji., Perbandingan Pemerintahan, Bina Aksara, Jakarta, 1988
27. 27
Sadjijono.,Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara,
LaksBang PRESSindo, Yogyakarta
Soehino., Asas-Asas Hukum Tata Usaha Negara, Cetakan I, Liberty, 2000
Sujanto., Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1984
Zamzuri., Tindak Pemerintahan (Bestuurhandeling), Al-Hikmah, Yogyakarta,
1985