Dokumen tersebut membahas peluang dan tantangan perlindungan pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual. Dokumen menjelaskan latar belakang perdebatan mengenai perlindungan ini di tingkat internasional serta faktor-faktor yang mendukung peluang perlindungan hukum, seperti konvensi-konvensi internasional. Dokumen juga menjelaskan pengertian dasar mengenai h
PREMIUM!!! WA 0821 7001 0763 (FORTRESS) Bahan Pintu Aluminium Kamar Mandi di ...
Tantangn n peluang pariwisata
1. PELUANG DAN TANTANGAN
PERLINDUNGAN PENGETAHUAN TRADISIONAL DAN EKSPRESI BUDAYA
TRADISIONAL*
Basuki Antariksa
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
Jalan Medan Merdeka Barat No. 17 Jakarta 10110
e-mail: antariksa70@yahoo.com
Pendahuluan
Isu mengenai perlindungan Pengetahuan Tradisional (PT) dan Ekspresi Budaya Tradisional
(EBT) mulai menjadi “panas” kurang lebih dalam 2 (dua) tahun terakhir ketika persoalan tuduhan klaim
atas tari Reog Ponorogo dan Pendet oleh Malaysia, dipublikasikan secara luas di media massa. Namun
demikian, sebenarnya isu ini telah menjadi salah satu bahan perdebatan di tingkat internasional sejak
tahun 2001, ketika sidang pertama Intergovernmental Committee on Intellectual Property and Genetic
Resources, Traditional Knowledge and Folklore (IGC GRTKF) digelar di markas besar World Intellectual
Property Organization (WIPO) di Jenewa, Swiss. Bahkan, sebenarnya substansi mengenai PT dan EBT
telah menjadi bahan perdebatan sejak tahun 1967 ketika Bern Convention for the Protection of Literary and
Artistic Works menambahkan Pasal 15.4, yang isinya adalah menyatakan bahwa karya yang belum
dipublikasikan dan yang tidak dikenal penciptanya, dapat dilindungi sebagai Hak Cipta jika diduga si
pencipta adalah warga negara pihak pada konvensi tersebut. Di samping itu, negara pihak pada
konvensi ini diminta untuk menunjuk otoritas yang berwenang untuk memberikan perlindungan.
Peluang untuk memberikan perlindungan hukum (di tingkat internasional) terhadap PT dan
EBT menjadi semakin besar karena sejumlah faktor, antara lain sebagai berikut:
1. Pasal 2 paragraf viii Agreement Establishing the World Intellectual Properaty Organization, antara lain
menyebutkan bahwa yang dimaksud sebagai “intellectual property” atau Hak Kekayaan Intelektual
(HKI) termasuk di dalamnya yaitu: “…and all other rights resulting from intellectual activity in the
industrial, scientific, literary or artistic fields”. Sebagian pihak berpendapat bahwa frasa tersebut
mengandung pengertian memberikan ruang kepada jenis-jenis karya yang dihasilkan melalui
kekuatan pemikiran di luar yang sudah ada saat ini.
2. Pasal 8 paragraf j Convention on Biological Diversity 1992 mewajibkan negara anggotanya untuk:
“…respect, preserve and maintain knowledge, innovations and practices of indigenous and local communities
embodying traditional lifestyles relevant for the conservation and sustainable use of biological diversity and
promote their wider application with the approval and involvement of the holders of such knowledge,
innovations and practices and encourage the equitable sharing of the benefits arising from the utilization of such
knowledge, innovations and practices”.
3. WIPO Report on Fact-finding Missions on Intellectual Property and Traditional Knowledge (1998-1999).
Di dalam laporan tersebut antara lain dijelaskan mengenai pandangan komunitas dan masyarakat
*
Makalah yang disampaikan dalam acara Konsinyering Pencatatan Warisan Budaya Takbenda (WBTB)
Indonesia, yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film – Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata, di Jakarta, tanggal 7 Oktober 2011.
2. tradisional di berbagai negara berkaitan dengan kebutuhan perlindungan kepemilikan atas PT dan
EBT.
4. Pembentukan IGC GRTKF oleh WIPO yang telah melaksanakan sidangnya sebanyak 18 (delapan
belas) sesi sejak tahun 2001 hingga saat ini. IGC GRTKF adalah sebuah forum perundingan untuk
mencari kesepakatan mengenai pengaturan yang paling tepat mengenai perlindungan PT dan
EBT, termasuk sumber daya genetik, pada tingkat internasional.
5. Like-Minded Countries (LMCs) meetings (2009 – sekarang) yang diinisiasi oleh Indonesia dan Afrika
Selatan dengan tujuan mengupayakan dibentuknya perlindungan hukum terhadap PT dan EBT di
negara-negara yang memiliki pandangan sama terhadap isu ini. Sebagaimana diketahui, proses
perundingan dalam kerangka IGC GRTKF belum dapat berjalan “mulus” karena pada umumnya
negara maju belum dapat menyepakati perlindungan terhadap PT dan EBT sebagai bagian dari
HKI.
Namun demikian, sebelum melangkah lebih jauh kepada upaya untuk menjawab bagaimana
melindungi PT dan EBT sebagai kekayaan intelektual, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai filosofi
dan latar sejarah perkembangan konsep dan hukum HKI. Dengan memahaminya, maka akan lebih
mudah bagi Pemerintah, untuk menyusun peraturan perundang-undangan yang relevan berkaitan
dengan perlindungan PT dan EBT dan menerapkannya secara efektif dan efisien. Di samping itu,
diharapkan bahwa seluruh pemangku kepentingan juga akan jauh lebih aktif dalam berpartisipasi untuk
mendukung penyusunan dan penegakan hukum yang mengaitkan antara PT dan EBT dengan HKI.
Pengertian HKI
Hal yang perlu mendapat perhatian di Indonesia khususnya adalah bahwa walaupun hukum
mengenai HKI telah diterapkan di berbagai negara selama lebih dari 100 tahun, masih banyak orang
yang belum mengenal dengan benar apa sebenarnya HKI dan apa yang dimaksud dengan istilah Hak
Cipta, Hak Paten dan sebagainya. Dengan demikian, pengertian tentang HKI harus diungkapkan untuk
memperjelas pemahaman.
Menurut Graham Dutfield, “IP rights are legal and institutional devices to protect creations of the mind
such as inventions, works of art and literature, and designs. They also include marks on products to indicate their
difference from similar ones sold by competitors”.1 Sementara itu, Aaron Schwabach menyebutnya sebagai:
“…the intangible but legally recognized right to property in the products of one’s intellect. Intellectual property rights
allow the originator of certain ideas, inventions, and expressions to exclude others from using those ideas, inventions,
and expressions without permission”.2
Di dalam literatur berbahasa Indonesia, HKI diartikan oleh Elsi Kartika Sari dan Advendi
Simanunsong sebagai “…hak yang timbul dari kemampuan berpikir atau olah pikir yang menghasilkan
suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Dalam ilmu hukum hak kekayaan intelektual
merupakan harta kekayaan…yang mempunyai objek benda intelektual, yaitu benda yang tidak
berwujud yang bersifat immaterial…”.3 Mengutip Usman, Adami Chazawi menyatakan bahwa HKI
adalah hak atas kepemilikan terhadap karya-karya yang timbul/lahir karena adanya kemampuan
intelektualitas manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.4
Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya yang dimaksud dengan HKI
adalah “hak yang dilindungi hukum atas benda yang tidak berwujud (immaterial), yang
dihasilkan dari kemampuan intelektual manusia di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni, dan bermanfaat bagi kehidupan manusia”. Berdasarkan hak tersebut, pencipta atau pemilik
2
3. HKI memiliki hak untuk mengizinkan atau melarang orang lain memanfaatkan, mengumumkan
dan/atau memproduksinya.
HKI itu sendiri memiliki cabang-cabangnya yang berhubungan dengan jenis hak kepemilikan
immaterial tertentu yang dilindungi. Cabang-cabang dimaksud yang paling utama dan relevan dengan
masalah perlindungan PT dan EBT adalah Hak Cipta, Hak Paten, Merek, Indikasi Geografis, Desain
Industri dan Rahasia Dagang. Namun demikian, masing-masing cabang HKI tersebut tidak akan
dijelaskan di dalam tulisan ini karena harus dibahas secara tersendiri. Pembahasan di dalam tulisan ini
hanya akan menyentuh cabang-cabang HKI dimaksud sepanjang berkaitan langsung dengan masalah
upaya perlindungan HKI atas PT dan EBT.
Selintas Filosofi dan Sejarah Perkembangan HKI
Dikaitkan dengan landasan filosofisnya, perdebatan mengenai konsep dan rezim HKI baru
dimulai pada Abad ke-18. Filsuf di bidang politik yang menjadi tokoh perkembangan HKI adalah John
Locke (1632-1704). Di dalam bukunya, The Second Treatise of Government, Locke berpandangan bahwa
segala sesuatu yang ada di dunia ini pada awalnya adalah milik seluruh umat manusia. Meskipun
begitu, “segala sesuatu” dimaksud tidak dapat dimanfaatkan secara langsung tanpa diperoleh dan diolah
terlebih dahulu. Untuk dapat diolah, maka sesuatu yang ada di alam harus diambil terlebih dahulu,
seperti hewan yang akan dimakan harus terlebih dahulu ditangkap dan diolah oleh seseorang (yang juga
berarti dimiliki orang tersebut). Oleh karena itu, Locke menekankan pentingnya memberikan
penghargaan kepada orang yang telah melakukan “pengorbanan” untuk menemukan dan mengolah
sesuatu yang berasal dari alam dalam bentuk kepemilikan. Di samping itu, setiap orang secara alamiah
memiliki hak atas dirinya sendiri dan – oleh karena itu – hasil pekerjaannya (labour) karena telah
menambahkan “kepribadian” ke dalam sesuatu yang telah diolah tersebut, sebagaimana diungkapkan
sebagai berikut:
“…yet every man has a “property” in his own ‘person’. This nobody has any right to but himself. The
‘labour’ of his body and the ‘work’ of his hands, we may say, are properly his. Whatsoever, then, he removes
out of the state that Nature hath provided and left it in, he hath mixed his labour with it, and joined to it
something that is his own, and thereby makes it his property.”5
Justin Hughes, di dalam tulisan yang berjudul The Philosophy of Intellectual Property, menghubungkan
pandangan Locke dengan masalah perlindungan HKI dengan menyatakan bahwa HKI diperoleh melalui
proses belajar/memahami (kognitif), sehingga walaupun “masukan” yang mendorong proses penciptaan
tersebut berasal dari lingkungan luar si pencipta, namun proses “perakitan” ciptaan itu sendiri terjadi di
dalam pikirannya sehingga tidak lagi murni seperti bentuk awalnya. Meskipun demikian, Locke tidak
setuju dengan kepemilikan yang berlebihan atas sesuatu karena hal tersebut akan merugikan
kepentingan orang lain, yang artinya bertentangan dengan Hukum Alam. Oleh karena itu, menurutnya,
sesuatu dapat dijadikan sebagai hak milik sepanjang dipenuhi syarat “enough and as good left in common for
others”.6
Dikaitkan dengan konteks kehidupan sosial pada masa itu, pandangan Locke ini sangat erat
hubungannya dengan dengan keinginan untuk menantang kerajaan-kerajaan (yang memiliki kekuasaan
absolut) dan dianggap “tidak bertanggung jawab”, yang mendominasi hak milik atas berbagai hal bukan
dari kemampuan/bakat individual anggota kerajaan sendiri, melainkan hanya karena kekuasaan yang
dimilikinya.7 Hal ini didasarkan kepada pemikirannya mengenai bahaya keberadaan monarki absolut
terhadap 2 (dua) hal, yaitu kemampuannya untuk melakukan ”the capricious incarceration or the arbitrary
seizure of property” dan bahwa “an absolut monarchy could claim authority to enforce a particular set of beliefs”.8
3
4. Pemikiran tersebut tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sekularisme sebagai akibat
perang agama yang terjadi di Eropa selama 30 tahun (1618-1648) yang menewaskan sekitar 8 juta jiwa.
Pada saat itu, monarki absolut menempatkan dirinya sebagai wakil Tuhan di muka bumi sebagai
legitimasi atas kekuasaan yang dimiliki, termasuk kekuasaan dalam hal hak kepemilikan atas segala
sesuatu. Perang inilah yang kemudian menjadikan pandangan Locke demikian berpengaruh, karena
menolak delegasi Tuhan kepada penguasa dalam hak kepemilikan, melainkan menganggap bahwa
segala macam kekuasaan (termasuk hak kepemilikan) didasarkan kepada kekuasaan individual atas
dirinya sendiri sebagaimana kutipan tersebut di atas. Di kemudian hari, paham ini akan dikenal dengan
paham individualisme yang melahirkan pula liberalisme.9
Tokoh lainnya di bidang perkembangan HKI adalah Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Di
dalam bukunya yang berjudul Du Contrat Social, dikatakan oleh Rousseau bahwa: “Every man has naturally
a right to everything he needs...” Analogi yang digunakannya adalah kepemilikan atas tanah. Berkaitan
dengan hal tersebut, Rousseau menyebutkan syarat-syarat untuk kepemilikan dimaksud, yaitu: bahwa
tanah yang dikuasai belum ada pemiliknya; manusia hanya boleh menguasai tanah seluas yang
dibutuhkannya; dan, kepemilikan tersebut harus disertai dengan pengelolaan secara berkelanjutan.10 Di
samping itu, disebutkan pula bahwa setiap individu secara sukarela menyerahkan diri untuk diatur hak
dan kewajibannya oleh negara.11 Hal ini berarti bahwa sebenarnya hak yang dimiliki seseorang adalah
bersifat alamiah, hanya kemudian kekuasaan untuk mengakui hak milik tersebut “diserahkan” kepada
negara karena dihubungkan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh negara untuk melindungi hak
tersebut jika dilanggar oleh pihak lain.12
“Kepribadian” sebagaimana yang dijelaskan oleh Locke, kemudian menjadi sebuah teori yang
disebut personality theory, yang dikemukakan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Menurut
Hegel, “the individual’s will is the core of the individual’s existence…constantly seeking actuality…and
effectiveness in the world.” Teori ini dianggap sebagai refleksi paham kebebasan yang menurut Hegel harus
diwujudkan dalam bentuk suatu karya cipta agar menjadi terlihat jelas. Dalam kehidupannya, manusia
pada tahap awal “mengambil” segala sesuatu yang ada di luar dirinya. Namun, kemudian, manusia
memiliki keinginan (will) untuk menyikapi apa yang telah diperolehnya tersebut berdasarkan kehendak
pribadinya. Penyikapan tersebut dalam bentuk suatu karya cipta, kemudian menjadi milik manusia yang
bersangkutan, karena merupakan ekspresi keinginan dimaksud. Jika kemudian hal tersebut diakui oleh
masyarakat, maka teori bahwa suatu karya cipta merupakan ekspresi jati diri penciptanya menjadi sah
secara hukum sebagai hak milik.13
Hegel melihat kekayaan intelektual sebagai “ongoing expression of its creator, not as a free,
abandonable cultural object”. Berkaitan dengan hal tersebut, pembayaran yang dilakukan oleh seseorang
untuk membeli hasil karya pencipta dianggap sebagai tindakan pengakuan terhadap si pencipta sebagai
manusia yang mempunyai harkat dan martabat. Hal yang sama berlaku pula dalam hal HKI si pencipta
dibeli oleh pihak lain. Konsep inilah yang kemudian di dalam hukum HKI dikenal sebagai “hak moral”,
yaitu hak pencipta untuk melarang ciptaannya diubah tanpa persetujuan yang bersangkutan.14
Sementara itu, ditinjau dari aspek sejarahnya, sebenarnya perlindungan HKI telah dimulai
sejak kurang lebih 3200 tahun yang lalu. Pada saat itu, masyarakat Romawi telah memberikan tanda
pada keramik untuk menunjukkan identitas pembuatnya.15 Dalam bentuknya yang modern,
perlindungan HKI telah dimulai pada tahun 1474 ketika Pemerintah kota Venesia (Italia) dengan tujuan
menarik para ahli dari luar kota tersebut untuk mengembangkan teknologi di kota tersebut. Di bidang
Hak Cipta, peraturan perundang-undangan pertama dibuat oleh Kerajaan Inggris pada tahun 1710
(Dutfield, G. 2003. 3-4). Persoalan yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Cipta ini mulai berkembang
setelah teknologi reproduksi lahir, karena sebelumnya: “Manually copying books or paintings was too
laborious for piracy to be profitable”. Selain itu, di bidang Merek, tercatat bahwa setidaknya perlindungan
hukum telah diberikan sejak tahun 1266.16 Saat ini, perlindungan HKI di tingkat global didasarkan
4
5. kepada 2 (dua) buah konvensi multilateral utama, yaitu Paris Convention for the Protection of Industrial
Property 1883 (Paris Convention) dan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works 1886
(Berne Convention).
Secara umum, tujuan perlindungan HKI adalah untuk mendorong kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni. Perlindungan HKI dianggap dapat memberikan dorongan agar
pencipta bersedia untuk mempublikasikan karya ciptanya, karena hal tersebut tidak mungkin
sepenuhnya diserahkan kepada sifat “murah hati” si pencipta. Publikasi karya cipta ini sangat penting
untuk menambah jumlah intellectual capital (sumber daya intelektual) yang ada di masyarakat, karena
dengan demikian meningkatkan jumlah ide untuk menciptakan sesuatu yang baru.17 Uraian tersebut
dan keterkaitannya dengan pandangan Locke mengenai prinsip “enough and as good left in common for
others” memberikan pemahaman yang jelas mengapa perlindungan HKI diberikan untuk jangka waktu
yang terbatas.
Masalah Upaya Perlindungan HKI atas PT dan EBT
Sebagaimana telah dipahami bersama, upaya perlindungan HKI atas PT dan EBT muncul
sebagai reaksi terhadap sistem hukum perlindungan HKI modern yang tidak memadai. Karakteristik
hukum HKI modern memberikan perlindungan kepada karya-karya baru yang bersifat individual dan
identitas penciptanya jelas, serta jangka waktu perlindungannya dibatasi. Hal tersebut berbeda dengan
karakteristik PT dan EBT yang sudah ada sejak lama, penciptanya tidak jelas dan kepemilikannya
bersifat komunal serta jangka waktu perlindungannya sulit untuk dibatasi karena suatu PT dan EBT
sangat erat kaitannya dengan jati diri komunitas atau masyarakat tradisional yang memilikinya. Di
samping itu, dalam kenyataan, PT dan EBT dapat menghasilkan keuntungan komersial yang sangat
besar. Sebagai contoh, kerajinan tangan masyarakat Aborigin di Australia telah memberikan hasil
sebesar US$130 juta pada tahun 2002.18 Pemanfaatan PT dan EBT secara keliru juga dapat
menimbulkan persoalan dari segi hak moral, sebagaimana yang terjadi pada saat kepala suku Indian di
AS merasa tersinggung karena namanya (Crazy Horse) digunakan sebagai merek produk minuman
keras, padahal sepanjang hidupnya Crazy Horse tidak pernah minum minuman keras dan juga tidak
pernah menganjurkan suku Indian untuk meminumnya.19
Upaya perlindungan HKI atas PT dan EBT hingga saat ini belum dapat berjalan dengan efektif
dan efisien disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1. Di tingkat global belum ada perjanjian internasional yang menjadi payung bagi perlindungan HKI
atas PT dan EBT;
2. Di tingkat nasional belum ada peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan
perlindungan yang memadai. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta (UUHC) hanya menyatakan bahwa: “Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil
kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad,
lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya”. Namun demikian,
peraturan pelaksanaan pasal tersebut belum ada. Sementara itu, revisi UUHC sampai saat ini masih
dalam proses pelaksanaan; dan,
3. Belum ada kejelasan mengenai konsep yang berkaitan dengan List of Core Issues. List of Core Issues
dihasilkan pada saat berlangsungnya Sidang ke-10 IGC GRTKF (Jenewa, 30 November 2006 – 8
Desember 2006).
List of Core Issues adalah 10 (sepuluh) buah pertanyaan yang menjadi inti dari masalah perlindungan HKI
atas PT dan EBT. Jika kesepuluh pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan justifikasi ilmiah yang jelas,
5
6. maka persoalan mengenai upaya perlindungan HKI atas PT dan EBT sebenarnya dapat dikatakan telah
diselesaikan. Adapun rincian List of Core Issues adalah sebagai berikut:
1. Definition of TK and TCEs that should be protected
2. Who should benefit from any such protection or who would hold the rights to protectable TK and TCEs?
3. What objective is sought to be achieved through according intellectual property protection (economic rights,
moral rights)?
4. What forms of behavior in relation to protectable TK and TCEs should be considered unacceptable and
illegal?
5. Should there be any exceptions or limitations to rights attaching to protectable TK and TCEs?
6. For how long should protection be accorded?
7. To what extent do existing IPRs already afford protection? What gaps need to be filled?
8. What sanctions or penalties should apply to behavior or acts considered to unacceptable/illegal?
9. Which issues should be dealt with internationally and which nationally, or what division should be made
between international regulation and national regulation?
10. How should foreign rights holders/beneficiaries be treated?
Saat ini, Pemerintah Indonesia melalui koordinasi Direktorat Jenderal HKI, Kementerian
Hukum dan HAM, sedang menyelesaikan draf Rancangan Undang-Undang tentang PT dan EBT.
Oleh karena itu, merupakan momen yang sangat tepat bagi seluruh pemangku kepentingan di tanah air
untuk turut berkontribusi dalam pembentukan kerangka konseptual yang menghubungkan antara draf
RUU dimaksud dengan List of Core Issues. Dengan demikian, diharapkan peraturan perundang-
undangan di tingkat nasional yang akan ditetapkan nantinya mampu menjaga keseimbangan antara
kepentingan bangsa Indonesia dan masyarakat internasional.
Perlindungan HKI atas PT dan EBT: Hubungannya dengan Pariwisata
PT dan EBT pada dasarnya tidak hanya memiliki nilai sebagai produk kreasi intelektual, tetapi
juga dapat menjadi salah satu daya tarik wisata yang memiliki nilai sangat tinggi. Sebagai contoh,
Angklung tidak hanya memiliki nilai ketika dimanfaatkan sebagai bagian dari seni musik yang direkam
dalam bentuk kepingan cakram padat (compact disk), tetapi juga sebagai daya tarik wisata karena
wisatawan dapat ikut terlibat langsung memainkan Angklung dalam suatu acara tertentu. Oleh karena
itu, keberadaan PT dan EBT tidak dapat dipisahkan dari pariwisata. Jika PT dan EBT hilang/punah,
maka jumlah daya tarik wisata dengan sendirinya berkurang. Di samping itu, jika berbagai produk
berbasis PT dan EBT dapat dimanfaatkan seluas mungkin untuk kepentingan pariwisata, maka
kemungkinan akan terjadi pengurangan yang cukup signifikan dalam jumlah leakage (kebocoran devisa).
Hal ini disebabkan produk-produk tersebut menggunakan teknologi tradisional atau infrastruktur yang
telah tersedia dan relatif murah, dibandingkan jika diproduksi dengan menggunakan teknologi modern
yang artinya sebagian atau seluruh teknologi tersebut harus diimpor.
Dalam kaitannya dengan Merek, produk (barang dan jasa) berbasis PT dan EBT juga dapat
menjadi daya tarik wisata. Wisatawan dapat ditawarkan untuk mengunjungi suatu destinasi pariwisata
yang memproduksi suatu produk (barang dan jasa) berbasis PT dan EBT yang telah menggunakan
Merek sebagai media untuk mempromosikannya. Sebagai contoh jika dibandingkan dengan negara lain,
orang akan tertarik untuk mengunjungi wilayah Champagne, sebuah daerah di timurlaut Perancis yang
6
7. berbatasan dengan Belgia, tempat diproduksinya anggur terkenal di dunia dengan nama (Merek) yang
sama.
Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa perlindungan HKI, PT dan EBT serta pariwisata
dapat berjalan beriringan dan bersifat saling menguntungkan jika dikelola secara baik dan benar.
Perlindungan HKI atas PT dan EBT dapat dijadikan sebagai media untuk lebih memperkuat “nilai jual”
suatu destinasi pariwisata atau daya tarik wisata. Di samping itu, ditinjau dari aspek diplomasi budaya,
produk (barang dan jasa) berbasis PT dan EBT yang dilindungi HKI akan membuat Indonesia semakin
dikenal di tingkat internasional sehingga semakin meningkatkan citra Indonesia di luar negeri. Dengan
demikian, akan terjadi peningkatan kualitas promosi mengenai pariwisata Indonesia di tingkat
internasional tanpa harus mengeluarkan anggaran tambahan atau lebih besar.
Apa yang Dapat Dilakukan Saat Ini?
Berdasarkan uraian di atas, perlu disadari bahwa hingga saat ini upaya perlindungan HKI atas
PT dan EBT yang bersifat efektif dan efisien belum dapat diwujudkan. Namun harus diingat pula
bahwa di dalam penegakan hukum dan keadilan, tidak boleh terjadi apa yang disebut dengan
“kevakuman dalam hukum”. Oleh karena itu, ada sejumlah upaya yang (telah dan) dapat dilakukan
sebagai berikut:
1. Melakukan pencatatan mengenai Warisan Budaya Takbenda (WBTB). Sebagaimana telah
diketahui, Kembudpar bekerjasama dengan UNESCO telah menghasilkan Buku Panduan Praktis:
Pencatatan Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Hal terpenting yang harus dicantumkan adalah
justifikasi ilmiah kepemilikan suatu WBTB yang sebenarnya tidak lain adalah PT dan EBT.
Justifikasi ilmiah tersebut menjadi sangat penting karena merupakan media untuk melakukan
defensive protection, yaitu mematahkan klaim pihak asing atas suatu WBTB yang berasal dari
Indonesia.
2. Melestarikan, mengembangkan dan mempromosikan WBTB. Hal tersebut dapat dilakukan
melalui berbagai media, seperti: pemberian penghargaan yang tinggi terhadap human living
treasure (maestro); memberikan beasiswa pelatihan yang berkaitan dengan pelestarian,
pengembangan dan promosi WBTB; dukungan terhadap sanggar/lembaga yang terlibat aktif
dalam pelestarian, pengembangan dan promosi WBTB; penyiaran WBTB secara berkala di
berbagai media massa; menjadikan WBTB sebagai bagian dari industri kreatif, termasuk industri
pariwisata; dan sebagainya.
3. Pemberian akses secara selektif terhadap PT dan EBT. Jika memungkinkan, pihak asing yang
membutuhkan informasi mengenai PT dan EBT tidak diberikan akses seluas-luasnya, sehingga
mereka mampu melakukan produksi massal terhadap kedua kekayaan intelektual tersebut.
Tentunya hal tersebut dapat dikecualikan bagi pihak asing yang memiliki itikad baik untuk
melakukan bagi hasil keuntungan dari pemanfaatan PT dan EBT milik Indonesia.
4. Perlu dilaksanakan berbagai macam kegiatan penelitian untuk menjawab List of Core Issues.
Semakin banyak penelitian yang dilakukan mengenai masalah ini akan semakin memperkaya
pemahaman para pembuat kebijakan sehingga sangat membantu dalam proses penyusunan
peraturan perundang-undangan yang relevan.
5. Jika memungkinkan, untuk sementara memanfaatkan jenis-jenis HKI yang dapat disesuaikan
dengan karakteristik PT dan EBT. Setidaknya ada 3 (tiga) jenis HKI yang dapat digunakan untuk
keperluan ini, yaitu Merek, Indikasi Geografis dan Rahasia Dagang. Jika dilihat dari
pengertiannya:
7
8. a. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan
warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan
dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
b. Indikasi Geografis adalah tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena
faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua
faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
c. Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi
dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga
kerahasiaannya oleh pemiliknya.
6. Membawa sengketa tentang kepemilikan PT dan EBT ke pengadilan. Tindakan ini sangat
penting dalam kaitannya dengan proses pembentukan hukum di Indonesia sementara menunggu
dibentuknya peraturan perundang-undangan. Dasar hukum yang dapat dijadikan pedoman
adalah:
a. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
berbunyi: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”; dan,
b. Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 yang berbunyi: “Hakim wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
7. Aktif memantau dan memberikan masukan terkait dengan penyusunan RUU tentang PT dan
EBT dan revisi UUHC. Jika telah diundangkan, kedua peraturan perundang-undangan tersebut
akan menjadi titik awal yang sangat penting (milestone) bagi perkembangan hukum mengenai
perlindungan HKI atas PT dan EBT. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi setiap
pemangku kepentingan di tanah air untuk mengawal sejak proses penyusunan hingga
diundangkan, dan bahkan hingga implementasinya di kemudian hari.
Penutup
Dengan melihat adanya peluang untuk melakukan perlindungan hukum HKI atas PT dan
EBT, sebaiknya seluruh pemangku kepentingan di tanah air mulai melakukan “gerakan seluruh umat”
secara sistematis dan berkelanjutan untuk mengelola isu perlindungan HKI atas PT dan EBT. Di setiap
daerah dan/atau lembaga perlu dibentuk suatu tim atau satuan kerja yang secara khusus mengelola isu
ini, yang bekerja secara bersama-sama dengan Pemerintah Pusat. Hal ini disebabkan masalah
perlindungan HKI atas PT dan EBT tidak dapat dilakukan sebagai pekerjaan “sambilan”. Masalah
tersebut masih merupakan sesuatu yang baru, sehingga diperlukan orang-orang yang bersedia untuk
menjadi spesialis/pakar di bidang yang bersifat sui generis (belum pernah ada sebelumnya) ini. Secara
lebih spesifik, dibutuhkan individu yang memiliki kepakaran di bidang hukum tentang HKI dan
sekaligus kebudayaan untuk dapat menjawab berbagai persoalan yang muncul dari isu perlindungan
HKI atas PT dan EBT.
Di samping itu, upaya perlindungan HKI atas PT dan EBT tidak akan dapat berjalan dengan
efektif dan efisien jika tidak dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi. Di lingkungan birokrasi
saja, ada begitu banyak sektor – di luar Kembudpar – yang berkepentingan terhadap masalah ini,
seperti: Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perindustrian,
Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Riset dan Teknologi,
Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan sebagainya.
8
9. Terlepas dari begitu banyaknya pemangku kepentingan yang terkait dalam berbagai aktivitas
mengenai upaya perlindungan HKI atas PT dan EBT, perlu ditetapkan secara tegas peran Kembudpar
dalam masalah ini. Jika dihubungkan dengan masalah WBTB, maka Kembudpar seharusnya berfungsi
sebagai penerima dokumen hasil pencatatan WBTB dari setiap pemangku kepentingan. Kemudian,
melalui keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar), dokumen tersebut ditetapkan
sebagai WBTB milik bangsa Indonesia dan/atau milik suatu komunitas atau masyarakat tradisional
tertentu. Meskipun masih merupakan upaya perlindungan yang bersifat defensif, keputusan Menbudpar
tersebut telah dapat dijadikan sebagai dasar hukum “kepemilikan” atas suatu PT dan EBT, yang juga
akan jauh lebih penting perannya jika RUU tentang PT dan EBT telah diundangkan di kemudian hari.
£££
9
10. REFERENSI
1Dutfield, G. 2003. Intellectual Property Rights and the Life Science Industries: A 20th Century History.
Hampshire: Ashgate Publishing Limited: 1.
2Schwabach, A. 2007. Intellectual Property. California: ABC-CLIO, Inc.: 1.
3Sari, E.K. dan Simanunsong, A. Hukum Dalam Ekonomi. Jakarta: Grasindo: 112. (http://books.google.
co.id, diakses 4 Oktober 2011).
4Chazawi, A. 2007. Tindak Pidana Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI): Penyerangan Terhadap
Kepentingan Hukum Kepemilikan dan Penggunaan Hak Atas Kekayaan Intelektual.
Bayumedia Publishing: 2. (http://books.google.co.id, diakses 4 Oktober 2011).
5Locke, J. 2004. The Second Treatise of Government. USA: Barnes & Noble Publishing, Inc.: 17-19.
6Hughes, J. 1988. The Philosophy of Intellectual Property. Georgetown Law Journal, 77(287): 5, 24.
7Ibid, 6.
8Casson, D.J. 2011. Liberating Judgement: Fanatics, Skeptics, and John Locke’s Politics of Probability. New
Jersey: Princeton University Press: 210.
9Thirty Years War. (http://www.historylearningsite.co.uk/thirty_years_war.htm, diakses 5 September 2011).
5Bohemia. (http://www.historylearningsite.co.uk/Bohemia_30YW.htm, diakses 5 September 2011).
5Wilson, P.H. 2009. The Thirty Years War: Europe’s Tragedy. London: Penguin Books Ltd.: 31-33, 38.
5Helfferich, T. 2009. The Thirty Years War: A Documentary History. Indiannapolis: Hackett Publishing
Company, Inc.: 1.
5Pant, P. 2011. International Relations in the 21st Century. New Delhi: Tata McGraw-Hill: 1.
5Mendus, S. and Horton, J. 1991. Locke and Toleration. Dalam Horton, J. and Mendus, S. (Ed.). John
Locke: A Letter Concerning Toleration: 3. London: Routledge.
10Rousseau, J.J. 2003. On the Social Contract. New York: Dover Publications, Inc.: 13.
10Mitchell, H.C. 2005. The Intellectual Commons: Toward an Ecology of Intellectual Property. Oxford:
Lexington Books: 79-80.
11Keller, B. 2010. Liquefied Sanctity: Grotius and the Promise of Global Law. Dalam Asbach, O. and
Schröder, P. (Ed.). War, the State and International Law in Seventeenth-Century Europe:137.
Surrey: Ashgate Publishing Limited.
12Rousseau, J.J. 2004. The Social Contract or Principles of Political Right: 2-13. (http://books.google.co.id/,
diakses 26 April 2011).
13Hughes, op. cit., 28-30.
14Ibid, 40-42.
15Granstrand, O. (1999), The Economics and Management of Intellectual Property: Towards Intellectual
Capitalism, Edward Elgar Publishing Limited, Cheltenham (UK): 28.
16Schwabach, op. cit., 1, 8.
17Hughes, op. cit., 8.
10
11. 18World Intellectual Property Organization. Intellectual Property and Traditional Cultural Expressions/
Folklore. WIPO Publication No. 913(E): 7.
19Wilkins,
D.E. and Stark, H.K. 2011. American Indian Politics and the American Political System.
Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.: 215.
11