SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 16
EUTHANASIA DALAM PANDANGAN 5 AGAMA 
Pengertian Euthanasia 
1. Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau 
gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, 
euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Jadi sebenarnya secara harfiah, 
euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa 
seseorang. 
2. euthanasia merupakan tindakan penghentian kehidupan manusia baik dengan cara 
menyuntikkan zat tertentu atau dengan meminum pil atau dengan cara lainnya. Tindakan ini 
muncul akibat terjadinya penderitaan yang berkepanjangan dari pasien. Di beberapa negara 
eropa dan sebagian Amerika Serikat, tindakan euthanasia ini telah mendapat izin dan 
legalitas negara. Pada umumnya mereka beranggapan bahwa menentukan hidup dan mati 
seseorang adalah hak asasi yang harus dijunjung tinggi. 
3. Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti: 
a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang 
beriman dengan nama Tuhan di bibir. 
b. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat 
penenang. 
c. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien 
sendiri & keluarganya. 
4. Menurut Philo (50-20 SM) Euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan 
Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceaserum mengatakan bahwa 
Euthanasia “mati cepat tanpa derita”. Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk 
penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi 
kematian dengan pertolongan dokter. 
Macam euthanasia
 Aktif 
Euthanasia aktif artinya mengambil kehidupan seseorang untuk mengurangi penderitaannya. 
Ada aspek kesengajaan mematikan orang tersebut, misalnya dengan menyuntikkan zat kimia 
tertentu untuk mempercepat proses kematiannya. 
 Pasif 
Euthanasia pasif artinya membiarkan si sakit mati secara alamiah tanpa bantuan alat bantu 
seperti pemberian obat, makanan, atau alat bantu buatan. Euthanasia pasif, membiarkan 
kematian. Euthanasia pasif biasanya dibedakan atas euthanasia pasif alamiah dengan bukan 
alamiah. Euthanasia pasif alamiah berarti menghentikan pemberian penunjang hidup 
alamiah seperti makanan, minuman dan udara. Sedangkan euthanasia pasif bukan alamiah 
berarti menghentikan penggunaan alat bantu mekanik buatan misalnya mencabut respirator 
(alat bantu pernapasan) atau organ-organ buatan. Euthanasia pasif alamiah sama dengan 
pembunuhan sebab dengan sengaja membiarkan si sakit mati tanpa makan-minum 
(membunuh pelan-pelan). Sedangkan mencabut alat bantu yang mungkin hanya berfungsi 
memperpanjang ‘penderitaan’ tidak sama dengan membunuh sebab memang si sakit tidak 
sengaja dimatikan melainkan dibiarkan mati secara alamiah. 
 Auto euthanasia, 
Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis & dia 
mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan 
penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia 
pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan. 
 euthanasia voluter dan euthanasia non-voluter. Yang pertama berarti si sakit menghendaki 
dan meminta sendiri dan mengetahui kematiannya. 
 euthanasia voluter sering disamakan dengan bunuh diri, sedangkan euthanasia non-voluter 
sering disamakan dengan pembunuhan. 
 Voluntary euthanasia: Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau 
penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk 
oleh keadaan fisik & jiwa yang tidak menunjang.
 Involuntary euthanasia: Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan 
karena, misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan 
untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab. 
Sejarah Euthanasia 
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunaniyaitu “eu” (= baik) and “thanatos” (maut, kematian) 
yang apabila digabungkan berarti “kematian yang baik”. Hippokrates pertama kali menggunakan 
istilah “eutanasia” ini pada “sumpah Hippokrates” yang ditulis pada masa 400-300 SM. 
Sumpah tersebut berbunyi: “Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang 
mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu”. 
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat “bunuh diri” 
ataupun “membantu pelaksanaan bunuh diri” tidak diperbolehkan. 
Eutanasia dalam dunia modern 
Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah 
Amerika Serikat dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai 
diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan 
pula oleh beberapa negara bagian. Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa 
dokter mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela. 
Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di 
Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, 
walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika 
maupun Inggris. 
Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang 
bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya. Pada era yang sama, pengadilan 
Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua
yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk 
“pembunuhan berdasarkan belas kasihan”. 
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu 
“program” eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderitan 
keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka 
tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 (“Action T4″) yang kelak diberlakukan 
juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia. 
Eutanasia pada masa setelah perang dunia 
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada era 
tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih- lebih lagi 
terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan 
oleh cacat genetika. 
Praktek-praktek eutanasia zaman dahulu kala 
Praktek-praktek Eutanasia yang dilaporkan dalam berbagai tindakan masyarakat: 
 Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam 
sungai Gangga. 
 Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman purba. 
 Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-undang yang telah 
berlaku sejak tahun 1933 
 Di beberapa negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang 
sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus. 
 Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian mencantumkan eutanasia sebagai 
kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di 
Amerika Serikat.
 Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah 
Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan ter tentu dapat meminta tindakan 
eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. 
Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya 
Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu eutanasia 
pasif, eutanasia agresif dan eutanasia non agresif 
 Eutanasia agresif : atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja 
yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau 
mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan 
seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke 
dalam tubuh pasien. 
 Eutanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang 
termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan 
dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa 
penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan 
tersebut ia membuat sebuah “codicil” (pernyataan tertulis tangan). Auto-eutanasia pada 
dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan. 
 Eutanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak 
menggunakan alat-alat atau langkah- langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit. 
Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan 
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan 
bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak 
memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan 
operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara 
pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian 
morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini 
seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit. 
mengintervensi dalam bentuk apapun terhadap hak mutlak tersebut tanpa sebuah alasan yang 
kuat.
Menurut agama Islam sendiri euthanasia memiliki berbagai pendapat dari segi 
diperbolehkannya atau tidak diperbolehkanyna melakukan tindakan euthanasia karena 
alasan-alasan tertentu. 
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di 
segala waktu dan tempat. 
Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam? 
Hukum Euthanasia dalam syariah islam dapat di jawab menurut macamnya, yakni : 
Euthanasia Aktif 
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan 
sengaja (al-qatlu al-‘amad) walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. 
Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. 
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. 
Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. 
Misalnya Firman Allah SWT : 
 Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) 
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-An’am : 151) 
 Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali 
karena tersalah (tidak sengaja).(QS An-Nisaa` : 92) 
 Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang 
kepadamu. (QS An-Nisaa` : 29). 
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. 
Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad) yang 
merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. 
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, 
menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh 
pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah : 
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh” (QS Al- 
Baqarah : 178). Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash
(dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan 
lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT : 
”Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang 
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar 
(diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) ” (QS Al-Baqarah : 178) 
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam 
keadaan bunting,berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). 
Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 
1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau 
senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113). 
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat 
penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya 
melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak 
diketahui dan tidak dijangkau manusia. 
Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan 
manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya,yaitu pengampunan dosa. 
Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik 
kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali 
Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.(HR 
Bukhari dan Muslim). 
Euthanasia Pasif 
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan 
pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag 
dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena 
itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat 
pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam? 
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) 
itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam 
masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu
hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum 
berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi 
Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) 
bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah). 
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda : 
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula 
obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA) 
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu 
Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan 
menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul : Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab 
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953) 
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak 
terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam 
hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. 
Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat. Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan 
Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu 
berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat 
kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, 
kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia 
menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata 
lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada 
Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari) 
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits 
pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), 
bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum 
berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69). 
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini 
memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah 
dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum
(1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati 
organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat 
bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut 
adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak 
tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. 
Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa ber fungsi, tetap tidak akan dapat 
mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak 
berfungsi. 
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah 
sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia 
pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah 
matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah 
mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan 
tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 
1996:500; Utomo, 2003:182). 
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, 
atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika 
pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al- 
Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523). Menurut MUI (Majlis Ulama’ Indonesia) 
Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak 
diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. 
Lebih lanjut, KH Ma’ruf Amin (Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia) mengatakan, 
euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus. 
Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang yang tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi 
ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat 
peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan oleh 
masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya 
dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan.
Mengenai dalil atau dasar fatwa MUI tentang pelarangan “euthanasia”, dia menjelaskan dalilnya 
secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena faktor keputusasaan yang tidak 
diperbolehkan dalam Islam. Dia mengungkapkan, dasar pelarangan euthanasia memang tidak 
terdapat secara spesifik dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi. “Hak untuk mematikan seseorang 
ada pada Allah SWT,” ujarnya menambahkan. 
Hubungan Eutahanasia dengan Jarimah 
Tindakan euthanasia dalam hukum Islam belum ada kejelasan dalam hal pengkategorian 
tindakan pembunuhan yang merupakan suatu jarimah. Sebagaimana diketahui bahwa suatu 
perbuatan dapat digolongkan sebagai suatu jarimah apabila memenuhi unsur-unsur jarimah. 
Dalam hukum pidana Islam dikenal dua unsur jarimah yaitu jarimah umum dan khusus. Yang 
dimaksud dengan unsur- unsur umum yaitu unsur-unsur yang terdapat pada setiap jarimah, 
sedangkan unsur khusus adalah unsur yang hanya ada pada jenis jarimah tertentu dan tidak 
terdapat pada jenis jarimah yang lain. Adapun yang termasuk unsur umum jarimah adalah 
sebagai berikut: 
 Unsur Formal, yaitu adanya nash atau ketentuan yang menunjuknya sebagai jarimah. Unsur 
ini sesuai dengan prinsip yang menyatakan bahwa jarimah tidak terjadi sebelum dinyatakan 
dalam nash. 
 Unsur material, yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum yang pernah dilakukan. 
 Unsur moral, yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat. Dengan kata lain, unsur ini 
berhubungan dengan tanggung jawab pidana yang hanya dibebankan atas orang mukallaf 
dalam keadaan bebas dari unsure keterpaksaan atau ketidaksadaran penuh. 
Unsur khusus dari jarimah merupakan unsur yang membedakan antara jarimah yang satu 
dengan jarimah yang lain. Misalnya unsur jarimah pembunuhan akan berbeda dengan unsur 
jarimah pencurian, zina dan sebagainya. 
Dalam hukum Islam, pembunuhan dikenal ada tiga macam, yaitu: 
 Pembunuhan sengaja (Al-qathl al’amd), yaitu suatu perbuatan yang direncanakan dahulu 
dengan menggunakan alat dengan maksud menghilangkan nyawa
 Pembunuhan semi sengaja (Al-qathl sibhu al- ’amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan 
terhadap seseorang tidak dengan maksud membunuhnya, tetapi mengakibatkan kematian. 
 Pembunuhan karena kesalahan (Al-qathl al-khatta), yaitu pembunuhan yang terjadi karena 
adanya kesalahan dan tujuan perbuatannya. 
Dalam hukum Islam, hingga saat ini belum ada kejelasan atau kepastian tentang eksistensi 
euthanasia, apakah euthanasia itu termasuk dalam jarimah atau bukan. 
Meskipun dalam hukum Islam belum ada kejelasan atau ketidakpastian dalam menentukan 
apakah euthanasia termasuk jarimah atau bukan, akan tetapi dalam hal euthanasia aktif yang 
dilakukan hanya berdasar inisiatif dokter sendiri tanpa adanya persetujuan dari pasien. Sekiranya 
dapat dimasukkan dalam kategori jarimah pembunuhan, dan pelaku dimungkinkan dihukum 
sesuai dengan hukum jarimah yang ada. Pendapat demikian didasarkan atas pertimbangan karena 
perbuatan itu telah memenuhi syaratsyarat untuk dapat dilaksanakan dalam qishash, antara lain: 
 Pembunuhan adalah orang yang baligh, sehat, dan berakal 
 Ada kesengajaan membunuh 
 Ikhtiyar (bebas dari paksaan) 
 Pembunuh bukan anggota keluarga korban 
 Jarimah dilakukan secara langsung. 
Euthanasia Menurut Agama Hindu 
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan 
ahimsa. Karma merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud 
perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau 
tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari “karma” yang buruk adalah menjadi penghalang 
“moksa” yaitu suatu kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari 
penganut ajaran Hindu. Ahimsa merupakan prinsip “anti kekerasan” atau pantang menyakiti 
siapapun juga. 
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang didalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa 
perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh
karena menghasilkan “karma” buruk. Kehidupan manusia merupakan suatu kesempatan yang 
sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali. Berdasarkan 
kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan 
masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana 
tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan 
(Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup 
hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka 
rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia 
dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan “karma” nya terdahulu yang belum 
selesai dijalaninya kembali lagi dari awal 
Euthanasia Menurut Agama Budha 
Euthanasia atau mercy killing baik yang aktif atau pasif tidak dibenarkan dalam agama Buddha 
karena perbuatan membunuh atau mengakhiri kehidupan seseorang ini, walaupun dengan alasan 
kasih sayang, tetap melanggar sila pertama dari Pancasila Buddhis. Perbuatan membunuh atau 
mengakhiri hidup seseorang ini sesungguhnya tidak mungkin dapat dilakukan dengan kasih 
sayang atau karuna. Orang yang memiliki kasih sayang tidak mungkin akan melakukan 
perbuatan mengakhiri hidup seseorang karena ia menyadari bahwa sesungguhnya hidup 
merupakan milik yang paling berharga bagi setiap makhluk. Ia yang memiliki kasih sayang tentu 
akan menghargai kehidupan setiap makhluk. Ia yang memiliki kasih sayang tentu selalu ingin 
berusaha untuk menghilangkan penderitaan makhluk lain, tetapi tentunya niat yang luhur ini 
diwujudkan dengan cara yang benar dan tepat. Terhadap orang yang sedang sakit parah, ia akan 
mengusahakan secara maksimal agar orang tersebut dapat sembuh. 
Sesungguhnya orang yang ‘membunuh karena kasih sayang’ mempunyai ‘dosa citta’ atau pikiran 
kebencian karena ia sesungguhnya tidak senang melihat keadaan orang yang sedang menderita 
sakit itu. Ia tentu kesal dengan keadaan orangtuanya yang tidak kunjung sembuh dari 
penyakitnya. Ia kesal karena ia harus mengeluarkan biaya yang besar untuk pengorba nan 
orangtuanya itu. Mungkin untuk itu, ia harus meminjam uang ke sana ke mari yang nantinya 
harus dikembalikan. Ia merasa direpotkan dengan hal-hal semacam itu.
Sang Buddha pernah bersabda sebagai berikut: “Orang itu, jika meninggal dunia pada saat itu, 
pasti tumimbal lahir di alam dewa, sebab batin orang itu tenang. Orang itu, jika meninggal dunia 
pada saat itu, pasti tumimbal lahir di alam neraka, sebab batin orang itu gelisah”. Dari sabda 
Sang Buddha tersebut di atas, jelas bahwa batin atau pikiran seseorang pada saat ia akan 
meninggal dunia sangat menentukan keadaan kehidupannya yang akan datang. Jika seseorang 
yang akan meninggal dunia itu mempunyai pikiran yang tenang dan penuh cinta kasih, maka ia 
akan terlahir kembali di alam yang menyenangkan. Namun, sebaliknya jika mempunyai pikiran 
yang tidak tenang dan penuh dengan kebencian, maka ia akan terlahir kembali di alam yang 
menyedihkan. Dalam hal ini, batin seseorang dapat tenang atau tidak menjelang saat 
kematiannya tentu tidak terlepas dari perbuatan yang pernah dilakukannya pada masa kehidupan 
lampau. Ada orang yang sakit parah itu meninggal dengan pikiran yang tenang. Namun, pada 
umumnya orang yang sedang menderita sakit itu mempunyai pikiran yang tidak tenang, kacau, 
gelisah, dan takut. Jadi kalau kita mengakhiri hidup orang yang sedang sakit itu, maka ini berarti 
kita menjerumuskannya ke alam yang menyedihkan. 
Euthanasia Menurut Agama Kristen Katolik 
Gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai 
penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran 
moral Gereja mengenai euthanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII tidak hanya 
menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan euthanasia Nazi, melainkan juga 
menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, Paus Yohanes Paulus II 
prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik “Evangelium Vitae” 
(No. 64) memperingatkan kita agar melawan “gejala yang paling mengkhawatirkan dar i `budaya 
kematian’. Katekismus Gereja Katolik (No 2276-2279) memberikan ikhtisar penjelasan ajaran 
Gereja Katolik. Mengenai masalah ini, prinsip-prinsip berikut mengikat secara moral: Pertama, 
Gereja Katolik berpegang teguh bahwa baik martabat setiap individu maupun anugerah hidup 
adalah kudus. Kedua, setiap orang terikat untuk melewatkan hidupnya sesuai rencana Allah dan 
dengan keterbukaan terhadap kehendak-Nya, dengan menaruh pengharapan akan kepenuhan 
hidup di surga. Ketiga, dengan sengaja mengakhiri hidup sendiri adalah bunuh diri dan 
merupakan penolakan terhadap rencana Allah.
Eutanasia secara harfiah diterjemahkan sebagai kematian yang baik atau kematian tanpa 
penderitaan, adalah “tindakan atau pantang tindakan menurut hakikatnya atau dengan maksud 
sengaja mendatangkan kematian, dengan demikian menghentikan setiap rasa sakit” (Declaratio 
de Euthanasia). Dengan kata lain, eutanasia menyangkut mengakhiri hidup dengan sengaja 
melalui suatu tindakan langsung, seperti suntik mati, atau dengan suatu pantang, seperti 
membiarkan kelaparan atau kehausan. Perlu dicatat bahwa eutanasia biasa dikenal sebagai 
“membunuh karena kasihan”; istilah ini paling tepat sebab tindakan yang dilakukan bertujuan 
untuk membunuh dengan sengaja, tak peduli betapa baik tujuannya, misalnya, untuk mengakhiri 
penderitaan. Para Uskup Gereja Katolik mengukuhkan bahwa eutanasia itu pelanggaran berat 
hukum Allah, karena berarti pembunuhan manusia yang disengaja dan dari sudut moril tidak 
dapat diterima” (Evangelium Vitae, No. 65). 
Pasien atau wali dalam kasus pasien tidak sadarkan diri berhak menolak secara tulus atau 
mengakhiri prosedur-prosedur luar biasa tersebut, yang tidak lagi menjawab situasi nyata pasien, 
tidak menawarkan manfaat yang proporsional, tidak menawarkan pengharapan yang masuk akal 
akan manfaatnya, yang mendatangkan beban teramat berat bagi pasien maupun keluarga, atau 
sekedar karena “kegagahan”. Keputusan yang demikian adalah yang paling tepat apabila 
kematian jelas di ambang pintu serta tak terhindarkan. Di sini, orang dapat menolak bentuk-bentuk 
perawatan yang hanya sekedar memperpanjang hidup dengan disertai resiko dan beban 
berat. Dalam kasus-kasus demikian, orang dapat menyerahkan diri ke dalam tangan kasih Tuhan 
dan bersiap diri meninggalkan dunia ini, sembari mempertahankan sarana-sarana perawatan 
kesehatan biasa. 
Sebagai contoh ada orang yang menghadapi ajal karena prostrate yang telah menjalar ke 
seluruh tubuhnya. Terakhir kali saya menjenguknya di rumah sakit, ia telah dalam keadaan 
koma. ia makan lewat selang makanan dan bernapas lewat respirator. Ia mengalami gagal ginjal 
pula. Para dokter menyampaikan kepada keluarga bahwa tak ada lagi yang dapat mereka lakukan 
dan bahwa situasinya tak dapat berubah. Hingga tahap itu, teknologi medis tak dapat 
memberikan pengharapan kesembuhan atau manfaat, melainkan hanya sekedar menunda proses 
kematian. Keluarga memutuskan untuk menghentikan respirator, yang sekarang telah menjadi
sarana luar biasa, dan beberapa menit kemudian oaring tersebut pun pergi menjumpai Tuhan-nya. 
Tindakan ini secara moral dibenarkan dan dibedakan dari tindakan mengakhiri hidup secara 
sengaja. 
Euthanasia Menurut Agama Kristen Protestan 
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda 
dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia. 
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya : 
 Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : ” 
penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal 
membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga 
kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung 
kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut”. 
 Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu 
perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana 
perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab 
moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi. 
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk 
melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh 
adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik. 
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan 
mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga 
dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan 
harapan mereka atas pengobatan. 
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah “bunuh 
diri” dan “pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut “kekudusan 
kehidupan” sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga 
adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
Contoh Kasus Nyata euthanasia 
Kasus Ny Agian, RS Telah Lakukan Euthanasia Pasif 
Muhammad Atqa – detikNewsJakarta – Masih ingat Ny Agian yang karena lama tidak sadarkan 
diri dari sakitnya membuat sang suami minta agar RS menyuntik mati saja (euthanasia), tapi 
ditolak? Menurut dr Marius Widjajarta, apa yang dilakukan RS terhadap Ny Agian sudah masuk 
kategori euthanasia pasif. “Sebenarnya pihak RS sudah melaksanakan euthanasia pasif. Kalau 
orang yang tidak punya uang dan membuat suatu pernyataan tidak mau dirawat, itu sudah 
merupakan euthanasia pasif meskipun euthanasia dapat diancam hingga 12 tahun penjara,” kata 
Marius dari Yayasan Konsumen Kesehatan Indonesia menjawab pertanyaan wartawan. Seperti 
diketahui, Ny Agian Isna Nauli (33) hingga kini dirawat di bagian stroke RSCM, Jakarta, setelah 
berbulan-bulan tidak sadarkan diri pasca melahirkan. Karena ketiadaan ongkos, suaminya 
(Hassan Kusuma) meminta RSCM menyuntik mati istrinya karena dirasa tidak ada harapan 
hidup normal kembali. Tapi RSCM menolak menyuntik mati Agian karena secara kedokteran 
tidak bisa dikatakan koma meskipun dia tidak bisa melakukan kontak. Dalam istilah kedokteran, 
pasien mengalami gangguan komplikasi, digolongkan sebagai stroke, sehingga tidak ada alasan 
untuk euthanasia. Selain itu, di Indonesia, euthanasia tidak dibenarkan dalam etika dokter juga 
dalam hukum “Jadi saya rasa, kalau pembiayaan kesehatan sudah ditanggung negara dengan 
disahkannya UU Sistem Jaminan Sosial, maka saya rasa kasus-kasus euthanasia tidak terulang 
lagi,” sambung dr Marius. Bagaimana dengan permintaan euthanasia bukan alasan biaya, tapi 
karena tidak punya harapan hidup? “Karena itulah saya sudah menganjurkan pada pemerintah, 
profesi, ahli hukum, dan agama, kalau euthaniasi diatur lagi sesuai peraturan. Jangan seperti 
sekarang, boleh atau tidak boleh. Tetapi, harus ada jalan keluarnya bahwa pasien mempunyai hak 
untuk memilih,” demikian dr Marius.

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Makalah Konsep Dasar Oksigenasi Kebutuhan Dasar Manusia 1
Makalah Konsep Dasar Oksigenasi Kebutuhan Dasar Manusia 1Makalah Konsep Dasar Oksigenasi Kebutuhan Dasar Manusia 1
Makalah Konsep Dasar Oksigenasi Kebutuhan Dasar Manusia 1Fhyter DrifacHy DrimeTana
 
implikasi transcultural dalam praktek keperawatan
implikasi transcultural dalam praktek keperawatanimplikasi transcultural dalam praktek keperawatan
implikasi transcultural dalam praktek keperawatanary Camba
 
Sistem informasi pelayanan pasien
Sistem informasi pelayanan pasienSistem informasi pelayanan pasien
Sistem informasi pelayanan pasienGunawan Manalu
 
Teori Sistem dalam pelayanan kesehatan
Teori Sistem dalam pelayanan kesehatanTeori Sistem dalam pelayanan kesehatan
Teori Sistem dalam pelayanan kesehatanMuhammad Awaludin
 
Nilai personal dan nilai profesi dalam praktik keperawatan
Nilai personal dan nilai profesi dalam praktik keperawatanNilai personal dan nilai profesi dalam praktik keperawatan
Nilai personal dan nilai profesi dalam praktik keperawatanCahya
 
Dokumentasi Keperawatan Berbasis Komputer.
Dokumentasi Keperawatan Berbasis Komputer.Dokumentasi Keperawatan Berbasis Komputer.
Dokumentasi Keperawatan Berbasis Komputer.pjj_kemenkes
 
KB 1 Peranan Agama Dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa
KB 1 Peranan Agama Dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan BangsaKB 1 Peranan Agama Dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa
KB 1 Peranan Agama Dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsapjj_kemenkes
 
Biografi dorothea e. orem
Biografi dorothea e. oremBiografi dorothea e. orem
Biografi dorothea e. oremWarnet Raha
 
Hubungan Kerja Perawat dengan Teman Sejawat
Hubungan Kerja Perawat dengan Teman SejawatHubungan Kerja Perawat dengan Teman Sejawat
Hubungan Kerja Perawat dengan Teman SejawatAgustin Malianti
 
Trend issue pengobatan
Trend issue pengobatanTrend issue pengobatan
Trend issue pengobatanCahya
 
Dialog komunikasi terapeutik perawat danpasien
Dialog komunikasi terapeutik perawat danpasienDialog komunikasi terapeutik perawat danpasien
Dialog komunikasi terapeutik perawat danpasienzulindarisma
 
Makalah patient safety
Makalah patient safetyMakalah patient safety
Makalah patient safetyVicky Thio
 
Makalah pancasila sebagai suatu sistem
Makalah pancasila sebagai suatu sistemMakalah pancasila sebagai suatu sistem
Makalah pancasila sebagai suatu sistemZainal Abidin
 

Was ist angesagt? (20)

Makalah Konsep Dasar Oksigenasi Kebutuhan Dasar Manusia 1
Makalah Konsep Dasar Oksigenasi Kebutuhan Dasar Manusia 1Makalah Konsep Dasar Oksigenasi Kebutuhan Dasar Manusia 1
Makalah Konsep Dasar Oksigenasi Kebutuhan Dasar Manusia 1
 
implikasi transcultural dalam praktek keperawatan
implikasi transcultural dalam praktek keperawatanimplikasi transcultural dalam praktek keperawatan
implikasi transcultural dalam praktek keperawatan
 
Sistem informasi pelayanan pasien
Sistem informasi pelayanan pasienSistem informasi pelayanan pasien
Sistem informasi pelayanan pasien
 
Teori Sistem dalam pelayanan kesehatan
Teori Sistem dalam pelayanan kesehatanTeori Sistem dalam pelayanan kesehatan
Teori Sistem dalam pelayanan kesehatan
 
Nilai personal dan nilai profesi dalam praktik keperawatan
Nilai personal dan nilai profesi dalam praktik keperawatanNilai personal dan nilai profesi dalam praktik keperawatan
Nilai personal dan nilai profesi dalam praktik keperawatan
 
Dokumentasi Keperawatan Berbasis Komputer.
Dokumentasi Keperawatan Berbasis Komputer.Dokumentasi Keperawatan Berbasis Komputer.
Dokumentasi Keperawatan Berbasis Komputer.
 
KB 1 Peranan Agama Dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa
KB 1 Peranan Agama Dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan BangsaKB 1 Peranan Agama Dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa
KB 1 Peranan Agama Dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa
 
Laporan pendahuluan nyeri
Laporan pendahuluan nyeri Laporan pendahuluan nyeri
Laporan pendahuluan nyeri
 
Biografi dorothea e. orem
Biografi dorothea e. oremBiografi dorothea e. orem
Biografi dorothea e. orem
 
Hubungan Kerja Perawat dengan Teman Sejawat
Hubungan Kerja Perawat dengan Teman SejawatHubungan Kerja Perawat dengan Teman Sejawat
Hubungan Kerja Perawat dengan Teman Sejawat
 
Euthanasia
EuthanasiaEuthanasia
Euthanasia
 
Prinsip justice
Prinsip justicePrinsip justice
Prinsip justice
 
Makalah Biolistrik
Makalah BiolistrikMakalah Biolistrik
Makalah Biolistrik
 
Trend issue pengobatan
Trend issue pengobatanTrend issue pengobatan
Trend issue pengobatan
 
Dialog komunikasi terapeutik perawat danpasien
Dialog komunikasi terapeutik perawat danpasienDialog komunikasi terapeutik perawat danpasien
Dialog komunikasi terapeutik perawat danpasien
 
Makalah patient safety
Makalah patient safetyMakalah patient safety
Makalah patient safety
 
Lp tb paru
Lp tb paruLp tb paru
Lp tb paru
 
Makalah pancasila sebagai suatu sistem
Makalah pancasila sebagai suatu sistemMakalah pancasila sebagai suatu sistem
Makalah pancasila sebagai suatu sistem
 
Makalah sistem muskuloskeletal
Makalah sistem muskuloskeletalMakalah sistem muskuloskeletal
Makalah sistem muskuloskeletal
 
Makalah Kardiovaskuler
Makalah KardiovaskulerMakalah Kardiovaskuler
Makalah Kardiovaskuler
 

Ähnlich wie Pandangan 5 agama terhadap euthanasia

Euthanasia : Pandangan Dari Agama Berlainan
Euthanasia : Pandangan Dari Agama BerlainanEuthanasia : Pandangan Dari Agama Berlainan
Euthanasia : Pandangan Dari Agama BerlainanTaylor Ling
 
Aspek medis dan hukum euthanasia
Aspek medis dan hukum euthanasiaAspek medis dan hukum euthanasia
Aspek medis dan hukum euthanasiaAprinsya Panjaitan
 
MAKALAH HUKUM KESEHATAN EUTHANASIA.pdf
MAKALAH HUKUM KESEHATAN EUTHANASIA.pdfMAKALAH HUKUM KESEHATAN EUTHANASIA.pdf
MAKALAH HUKUM KESEHATAN EUTHANASIA.pdfNurmaYanti40
 
3.1 pengertian dan_klasifikasi_euthanasia
3.1 pengertian dan_klasifikasi_euthanasia3.1 pengertian dan_klasifikasi_euthanasia
3.1 pengertian dan_klasifikasi_euthanasialitekaizen
 
Makalah masailul fiqhiyah euthanasia
Makalah masailul fiqhiyah euthanasiaMakalah masailul fiqhiyah euthanasia
Makalah masailul fiqhiyah euthanasiaCermin Diri
 
Euthanasia Menurut Maqashid Syariah.pptx
Euthanasia Menurut Maqashid Syariah.pptxEuthanasia Menurut Maqashid Syariah.pptx
Euthanasia Menurut Maqashid Syariah.pptxAsepMunawarudin
 
Euthanasia dalam perspektif hukum islam
Euthanasia dalam perspektif hukum islamEuthanasia dalam perspektif hukum islam
Euthanasia dalam perspektif hukum islamhanunropi
 
Euthanasia dalam islam bersih
Euthanasia dalam islam bersihEuthanasia dalam islam bersih
Euthanasia dalam islam bersihHaakikii
 
Kb 5 m 2 konsep dasar praktik keperawatan profesional
Kb 5 m 2  konsep dasar praktik keperawatan profesionalKb 5 m 2  konsep dasar praktik keperawatan profesional
Kb 5 m 2 konsep dasar praktik keperawatan profesionalUwes Chaeruman
 
ISSUE LEGAL DAN TANTANGAN DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONAL
ISSUE LEGAL DAN TANTANGAN  DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONALISSUE LEGAL DAN TANTANGAN  DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONAL
ISSUE LEGAL DAN TANTANGAN DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONALpjj_kemenkes
 
Euthanasia dalam pandangan_etika_secara_agama_isla
Euthanasia dalam pandangan_etika_secara_agama_islaEuthanasia dalam pandangan_etika_secara_agama_isla
Euthanasia dalam pandangan_etika_secara_agama_islahanunropi
 
Blok Etik Skenario 2 (FK 2016)
Blok Etik Skenario 2 (FK 2016)Blok Etik Skenario 2 (FK 2016)
Blok Etik Skenario 2 (FK 2016)Ramipratama
 
Pembedahan plastik dan euthanasia
Pembedahan plastik dan euthanasiaPembedahan plastik dan euthanasia
Pembedahan plastik dan euthanasiaPak Cik Nan
 
Fiqh Medicine : euthanasia organtransplan_autopsi
Fiqh Medicine : euthanasia organtransplan_autopsiFiqh Medicine : euthanasia organtransplan_autopsi
Fiqh Medicine : euthanasia organtransplan_autopsiDrnoor Tahir Lubis
 

Ähnlich wie Pandangan 5 agama terhadap euthanasia (20)

Eutanasia
EutanasiaEutanasia
Eutanasia
 
Euthanasia PPT
Euthanasia PPTEuthanasia PPT
Euthanasia PPT
 
Euthanesia
EuthanesiaEuthanesia
Euthanesia
 
Euthanasia : Pandangan Dari Agama Berlainan
Euthanasia : Pandangan Dari Agama BerlainanEuthanasia : Pandangan Dari Agama Berlainan
Euthanasia : Pandangan Dari Agama Berlainan
 
Aspek medis dan hukum euthanasia
Aspek medis dan hukum euthanasiaAspek medis dan hukum euthanasia
Aspek medis dan hukum euthanasia
 
MAKALAH HUKUM KESEHATAN EUTHANASIA.pdf
MAKALAH HUKUM KESEHATAN EUTHANASIA.pdfMAKALAH HUKUM KESEHATAN EUTHANASIA.pdf
MAKALAH HUKUM KESEHATAN EUTHANASIA.pdf
 
Dr. death
Dr. deathDr. death
Dr. death
 
3.1 pengertian dan_klasifikasi_euthanasia
3.1 pengertian dan_klasifikasi_euthanasia3.1 pengertian dan_klasifikasi_euthanasia
3.1 pengertian dan_klasifikasi_euthanasia
 
Makalah masailul fiqhiyah euthanasia
Makalah masailul fiqhiyah euthanasiaMakalah masailul fiqhiyah euthanasia
Makalah masailul fiqhiyah euthanasia
 
Euthanasia Menurut Maqashid Syariah.pptx
Euthanasia Menurut Maqashid Syariah.pptxEuthanasia Menurut Maqashid Syariah.pptx
Euthanasia Menurut Maqashid Syariah.pptx
 
Euthanasia dalam perspektif hukum islam
Euthanasia dalam perspektif hukum islamEuthanasia dalam perspektif hukum islam
Euthanasia dalam perspektif hukum islam
 
Euthanasia dalam islam bersih
Euthanasia dalam islam bersihEuthanasia dalam islam bersih
Euthanasia dalam islam bersih
 
Euthanasia
EuthanasiaEuthanasia
Euthanasia
 
Kb 5 m 2 konsep dasar praktik keperawatan profesional
Kb 5 m 2  konsep dasar praktik keperawatan profesionalKb 5 m 2  konsep dasar praktik keperawatan profesional
Kb 5 m 2 konsep dasar praktik keperawatan profesional
 
ISSUE LEGAL DAN TANTANGAN DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONAL
ISSUE LEGAL DAN TANTANGAN  DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONALISSUE LEGAL DAN TANTANGAN  DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONAL
ISSUE LEGAL DAN TANTANGAN DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN PROFESIONAL
 
Euthanasia dalam pandangan_etika_secara_agama_isla
Euthanasia dalam pandangan_etika_secara_agama_islaEuthanasia dalam pandangan_etika_secara_agama_isla
Euthanasia dalam pandangan_etika_secara_agama_isla
 
Makalah euthanasia
Makalah euthanasiaMakalah euthanasia
Makalah euthanasia
 
Blok Etik Skenario 2 (FK 2016)
Blok Etik Skenario 2 (FK 2016)Blok Etik Skenario 2 (FK 2016)
Blok Etik Skenario 2 (FK 2016)
 
Pembedahan plastik dan euthanasia
Pembedahan plastik dan euthanasiaPembedahan plastik dan euthanasia
Pembedahan plastik dan euthanasia
 
Fiqh Medicine : euthanasia organtransplan_autopsi
Fiqh Medicine : euthanasia organtransplan_autopsiFiqh Medicine : euthanasia organtransplan_autopsi
Fiqh Medicine : euthanasia organtransplan_autopsi
 

Mehr von AKPER PEMDA INDRAMAYU

Mehr von AKPER PEMDA INDRAMAYU (20)

Transplantasi organ di pandang dari kode etika
Transplantasi organ di pandang dari kode etikaTransplantasi organ di pandang dari kode etika
Transplantasi organ di pandang dari kode etika
 
Pandangan islam tentang imunisasi
Pandangan islam tentang imunisasiPandangan islam tentang imunisasi
Pandangan islam tentang imunisasi
 
Napza dalam perspektif agama
Napza dalam perspektif agamaNapza dalam perspektif agama
Napza dalam perspektif agama
 
Kb dalam perspektif agama
Kb dalam perspektif agamaKb dalam perspektif agama
Kb dalam perspektif agama
 
Inseminasi dalam perspektif agama
Inseminasi dalam perspektif agamaInseminasi dalam perspektif agama
Inseminasi dalam perspektif agama
 
Inseminasi dalam perspektif agama
Inseminasi dalam perspektif agamaInseminasi dalam perspektif agama
Inseminasi dalam perspektif agama
 
Hiv dalam perspektif agama
Hiv dalam perspektif agamaHiv dalam perspektif agama
Hiv dalam perspektif agama
 
Bedah plastik dalam perspektif agama
Bedah plastik dalam perspektif agamaBedah plastik dalam perspektif agama
Bedah plastik dalam perspektif agama
 
Bayi tabung menurut 5 agama
Bayi tabung menurut 5 agamaBayi tabung menurut 5 agama
Bayi tabung menurut 5 agama
 
Aborsi ditinjau dari sudut agama
Aborsi ditinjau dari sudut agamaAborsi ditinjau dari sudut agama
Aborsi ditinjau dari sudut agama
 
Askep ulkus peptikum 1
Askep ulkus peptikum 1Askep ulkus peptikum 1
Askep ulkus peptikum 1
 
Askep sirosis hepatis
Askep sirosis hepatisAskep sirosis hepatis
Askep sirosis hepatis
 
Askep peritonitis
Askep peritonitisAskep peritonitis
Askep peritonitis
 
Askep peritonitis
Askep peritonitisAskep peritonitis
Askep peritonitis
 
Askep kolelitis
Askep kolelitisAskep kolelitis
Askep kolelitis
 
Askep hepatitis akper
Askep hepatitis akperAskep hepatitis akper
Askep hepatitis akper
 
Askep hematemesis melena
Askep hematemesis melenaAskep hematemesis melena
Askep hematemesis melena
 
Askep dispepsia 1
Askep dispepsia 1Askep dispepsia 1
Askep dispepsia 1
 
Askep colitis ulseratif
Askep colitis ulseratifAskep colitis ulseratif
Askep colitis ulseratif
 
Askep gastritis
Askep gastritisAskep gastritis
Askep gastritis
 

Kürzlich hochgeladen

MODUL P5BK TEMA KEBEKERJAAN KENALI DUNIA KERJA.docx
MODUL P5BK TEMA KEBEKERJAAN KENALI DUNIA KERJA.docxMODUL P5BK TEMA KEBEKERJAAN KENALI DUNIA KERJA.docx
MODUL P5BK TEMA KEBEKERJAAN KENALI DUNIA KERJA.docxsiampurnomo90
 
jenis-jenis Data dalam bidang epidemiologi
jenis-jenis Data dalam bidang epidemiologijenis-jenis Data dalam bidang epidemiologi
jenis-jenis Data dalam bidang epidemiologissuser7c01e3
 
MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024
MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024
MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024Zakiah dr
 
regulasi tentang kosmetika di indonesia cpkb
regulasi tentang kosmetika di indonesia cpkbregulasi tentang kosmetika di indonesia cpkb
regulasi tentang kosmetika di indonesia cpkbSendaUNNES
 
konsep keperawatan kritis dan asuhan keperawatan kritis
konsep keperawatan kritis dan asuhan keperawatan kritiskonsep keperawatan kritis dan asuhan keperawatan kritis
konsep keperawatan kritis dan asuhan keperawatan kritisfidel377036
 
ALERGI MAKANAN - ALERMUN dokter doktor subi.pptx
ALERGI MAKANAN - ALERMUN dokter doktor subi.pptxALERGI MAKANAN - ALERMUN dokter doktor subi.pptx
ALERGI MAKANAN - ALERMUN dokter doktor subi.pptxmarodotodo
 
ASUHAN KEPERAWATAN NYERI AKUT 2023 STIKES DIAN HUSADA
ASUHAN KEPERAWATAN NYERI AKUT 2023 STIKES DIAN HUSADAASUHAN KEPERAWATAN NYERI AKUT 2023 STIKES DIAN HUSADA
ASUHAN KEPERAWATAN NYERI AKUT 2023 STIKES DIAN HUSADARismaZulfiani
 
Rancangan Aksi_ Si IMAAM ( Sistem Informasi Manajemen Aset dan Alat Medis di ...
Rancangan Aksi_ Si IMAAM ( Sistem Informasi Manajemen Aset dan Alat Medis di ...Rancangan Aksi_ Si IMAAM ( Sistem Informasi Manajemen Aset dan Alat Medis di ...
Rancangan Aksi_ Si IMAAM ( Sistem Informasi Manajemen Aset dan Alat Medis di ...Arif Fahmi
 
081-388-333-722 Toko Jual Alat Bantu Seks Penis Ikat Pinggang Di SUrabaya Cod
081-388-333-722 Toko Jual Alat Bantu Seks Penis Ikat Pinggang Di SUrabaya Cod081-388-333-722 Toko Jual Alat Bantu Seks Penis Ikat Pinggang Di SUrabaya Cod
081-388-333-722 Toko Jual Alat Bantu Seks Penis Ikat Pinggang Di SUrabaya Codajongshopp
 
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA MENJELANG AJAL PPT.pptx
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA MENJELANG AJAL PPT.pptxASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA MENJELANG AJAL PPT.pptx
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA MENJELANG AJAL PPT.pptxabdulmujibmgi
 
KONSEP KELUARGA SEJAHTERA tugas keperawatan keluarga.pptx
KONSEP KELUARGA SEJAHTERA tugas keperawatan keluarga.pptxKONSEP KELUARGA SEJAHTERA tugas keperawatan keluarga.pptx
KONSEP KELUARGA SEJAHTERA tugas keperawatan keluarga.pptxmade406432
 
Parasitologi-dan-Mikrobiologi-Pertemuan-4.ppt
Parasitologi-dan-Mikrobiologi-Pertemuan-4.pptParasitologi-dan-Mikrobiologi-Pertemuan-4.ppt
Parasitologi-dan-Mikrobiologi-Pertemuan-4.pptStevenSamuelBangun
 
PB I KONSEP DASAR KESEHATAN REPRODUKSI (1).pptx
PB I KONSEP DASAR KESEHATAN REPRODUKSI (1).pptxPB I KONSEP DASAR KESEHATAN REPRODUKSI (1).pptx
PB I KONSEP DASAR KESEHATAN REPRODUKSI (1).pptxHikmaLavigne
 
Materi Elektroterapi Fisioterapi Interrupted Galvanic (Exponential) Current
Materi Elektroterapi Fisioterapi Interrupted Galvanic (Exponential) CurrentMateri Elektroterapi Fisioterapi Interrupted Galvanic (Exponential) Current
Materi Elektroterapi Fisioterapi Interrupted Galvanic (Exponential) Currentaditya romadhon
 
dokumen.tips_pap-smear-ppt-final.pptx_iva pap smear
dokumen.tips_pap-smear-ppt-final.pptx_iva pap smeardokumen.tips_pap-smear-ppt-final.pptx_iva pap smear
dokumen.tips_pap-smear-ppt-final.pptx_iva pap smearprofesibidan2
 

Kürzlich hochgeladen (15)

MODUL P5BK TEMA KEBEKERJAAN KENALI DUNIA KERJA.docx
MODUL P5BK TEMA KEBEKERJAAN KENALI DUNIA KERJA.docxMODUL P5BK TEMA KEBEKERJAAN KENALI DUNIA KERJA.docx
MODUL P5BK TEMA KEBEKERJAAN KENALI DUNIA KERJA.docx
 
jenis-jenis Data dalam bidang epidemiologi
jenis-jenis Data dalam bidang epidemiologijenis-jenis Data dalam bidang epidemiologi
jenis-jenis Data dalam bidang epidemiologi
 
MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024
MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024
MANASIK KESEHATAN HAJI KOTA DEPOK TAHUN 2024
 
regulasi tentang kosmetika di indonesia cpkb
regulasi tentang kosmetika di indonesia cpkbregulasi tentang kosmetika di indonesia cpkb
regulasi tentang kosmetika di indonesia cpkb
 
konsep keperawatan kritis dan asuhan keperawatan kritis
konsep keperawatan kritis dan asuhan keperawatan kritiskonsep keperawatan kritis dan asuhan keperawatan kritis
konsep keperawatan kritis dan asuhan keperawatan kritis
 
ALERGI MAKANAN - ALERMUN dokter doktor subi.pptx
ALERGI MAKANAN - ALERMUN dokter doktor subi.pptxALERGI MAKANAN - ALERMUN dokter doktor subi.pptx
ALERGI MAKANAN - ALERMUN dokter doktor subi.pptx
 
ASUHAN KEPERAWATAN NYERI AKUT 2023 STIKES DIAN HUSADA
ASUHAN KEPERAWATAN NYERI AKUT 2023 STIKES DIAN HUSADAASUHAN KEPERAWATAN NYERI AKUT 2023 STIKES DIAN HUSADA
ASUHAN KEPERAWATAN NYERI AKUT 2023 STIKES DIAN HUSADA
 
Rancangan Aksi_ Si IMAAM ( Sistem Informasi Manajemen Aset dan Alat Medis di ...
Rancangan Aksi_ Si IMAAM ( Sistem Informasi Manajemen Aset dan Alat Medis di ...Rancangan Aksi_ Si IMAAM ( Sistem Informasi Manajemen Aset dan Alat Medis di ...
Rancangan Aksi_ Si IMAAM ( Sistem Informasi Manajemen Aset dan Alat Medis di ...
 
081-388-333-722 Toko Jual Alat Bantu Seks Penis Ikat Pinggang Di SUrabaya Cod
081-388-333-722 Toko Jual Alat Bantu Seks Penis Ikat Pinggang Di SUrabaya Cod081-388-333-722 Toko Jual Alat Bantu Seks Penis Ikat Pinggang Di SUrabaya Cod
081-388-333-722 Toko Jual Alat Bantu Seks Penis Ikat Pinggang Di SUrabaya Cod
 
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA MENJELANG AJAL PPT.pptx
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA MENJELANG AJAL PPT.pptxASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA MENJELANG AJAL PPT.pptx
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA MENJELANG AJAL PPT.pptx
 
KONSEP KELUARGA SEJAHTERA tugas keperawatan keluarga.pptx
KONSEP KELUARGA SEJAHTERA tugas keperawatan keluarga.pptxKONSEP KELUARGA SEJAHTERA tugas keperawatan keluarga.pptx
KONSEP KELUARGA SEJAHTERA tugas keperawatan keluarga.pptx
 
Parasitologi-dan-Mikrobiologi-Pertemuan-4.ppt
Parasitologi-dan-Mikrobiologi-Pertemuan-4.pptParasitologi-dan-Mikrobiologi-Pertemuan-4.ppt
Parasitologi-dan-Mikrobiologi-Pertemuan-4.ppt
 
PB I KONSEP DASAR KESEHATAN REPRODUKSI (1).pptx
PB I KONSEP DASAR KESEHATAN REPRODUKSI (1).pptxPB I KONSEP DASAR KESEHATAN REPRODUKSI (1).pptx
PB I KONSEP DASAR KESEHATAN REPRODUKSI (1).pptx
 
Materi Elektroterapi Fisioterapi Interrupted Galvanic (Exponential) Current
Materi Elektroterapi Fisioterapi Interrupted Galvanic (Exponential) CurrentMateri Elektroterapi Fisioterapi Interrupted Galvanic (Exponential) Current
Materi Elektroterapi Fisioterapi Interrupted Galvanic (Exponential) Current
 
dokumen.tips_pap-smear-ppt-final.pptx_iva pap smear
dokumen.tips_pap-smear-ppt-final.pptx_iva pap smeardokumen.tips_pap-smear-ppt-final.pptx_iva pap smear
dokumen.tips_pap-smear-ppt-final.pptx_iva pap smear
 

Pandangan 5 agama terhadap euthanasia

  • 1. EUTHANASIA DALAM PANDANGAN 5 AGAMA Pengertian Euthanasia 1. Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Jadi sebenarnya secara harfiah, euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang. 2. euthanasia merupakan tindakan penghentian kehidupan manusia baik dengan cara menyuntikkan zat tertentu atau dengan meminum pil atau dengan cara lainnya. Tindakan ini muncul akibat terjadinya penderitaan yang berkepanjangan dari pasien. Di beberapa negara eropa dan sebagian Amerika Serikat, tindakan euthanasia ini telah mendapat izin dan legalitas negara. Pada umumnya mereka beranggapan bahwa menentukan hidup dan mati seseorang adalah hak asasi yang harus dijunjung tinggi. 3. Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti: a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir. b. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang. c. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri & keluarganya. 4. Menurut Philo (50-20 SM) Euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceaserum mengatakan bahwa Euthanasia “mati cepat tanpa derita”. Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter. Macam euthanasia
  • 2.  Aktif Euthanasia aktif artinya mengambil kehidupan seseorang untuk mengurangi penderitaannya. Ada aspek kesengajaan mematikan orang tersebut, misalnya dengan menyuntikkan zat kimia tertentu untuk mempercepat proses kematiannya.  Pasif Euthanasia pasif artinya membiarkan si sakit mati secara alamiah tanpa bantuan alat bantu seperti pemberian obat, makanan, atau alat bantu buatan. Euthanasia pasif, membiarkan kematian. Euthanasia pasif biasanya dibedakan atas euthanasia pasif alamiah dengan bukan alamiah. Euthanasia pasif alamiah berarti menghentikan pemberian penunjang hidup alamiah seperti makanan, minuman dan udara. Sedangkan euthanasia pasif bukan alamiah berarti menghentikan penggunaan alat bantu mekanik buatan misalnya mencabut respirator (alat bantu pernapasan) atau organ-organ buatan. Euthanasia pasif alamiah sama dengan pembunuhan sebab dengan sengaja membiarkan si sakit mati tanpa makan-minum (membunuh pelan-pelan). Sedangkan mencabut alat bantu yang mungkin hanya berfungsi memperpanjang ‘penderitaan’ tidak sama dengan membunuh sebab memang si sakit tidak sengaja dimatikan melainkan dibiarkan mati secara alamiah.  Auto euthanasia, Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.  euthanasia voluter dan euthanasia non-voluter. Yang pertama berarti si sakit menghendaki dan meminta sendiri dan mengetahui kematiannya.  euthanasia voluter sering disamakan dengan bunuh diri, sedangkan euthanasia non-voluter sering disamakan dengan pembunuhan.  Voluntary euthanasia: Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan fisik & jiwa yang tidak menunjang.
  • 3.  Involuntary euthanasia: Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena, misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab. Sejarah Euthanasia Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunaniyaitu “eu” (= baik) and “thanatos” (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti “kematian yang baik”. Hippokrates pertama kali menggunakan istilah “eutanasia” ini pada “sumpah Hippokrates” yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut berbunyi: “Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu”. Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat “bunuh diri” ataupun “membantu pelaksanaan bunuh diri” tidak diperbolehkan. Eutanasia dalam dunia modern Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Serikat dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa negara bagian. Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela. Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris. Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya. Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua
  • 4. yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk “pembunuhan berdasarkan belas kasihan”. Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu “program” eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderitan keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 (“Action T4″) yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia. Eutanasia pada masa setelah perang dunia Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia, terlebih- lebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika. Praktek-praktek eutanasia zaman dahulu kala Praktek-praktek Eutanasia yang dilaporkan dalam berbagai tindakan masyarakat:  Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga.  Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di zaman purba.  Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-undang yang telah berlaku sejak tahun 1933  Di beberapa negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.  Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian mencantumkan eutanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.
  • 5.  Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan ter tentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu eutanasia pasif, eutanasia agresif dan eutanasia non agresif  Eutanasia agresif : atau suatu tindakan eutanasia aktif yaitu suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.  Eutanasia non agresif : atau kadang juga disebut autoeuthanasia (eutanasia otomatis)yang termasuk kategori eutanasia negatif yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah “codicil” (pernyataan tertulis tangan). Auto-eutanasia pada dasarnya adalah suatu praktek eutanasia pasif atas permintaan.  Eutanasia pasif : juga bisa dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah- langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit. Tindakan pada eutanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Eutanasia pasif ini seringkali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit. mengintervensi dalam bentuk apapun terhadap hak mutlak tersebut tanpa sebuah alasan yang kuat.
  • 6. Menurut agama Islam sendiri euthanasia memiliki berbagai pendapat dari segi diperbolehkannya atau tidak diperbolehkanyna melakukan tindakan euthanasia karena alasan-alasan tertentu. Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam? Hukum Euthanasia dalam syariah islam dapat di jawab menurut macamnya, yakni : Euthanasia Aktif Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya Firman Allah SWT :  Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS Al-An’am : 151)  Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).(QS An-Nisaa` : 92)  Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS An-Nisaa` : 29). Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah : “Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh” (QS Al- Baqarah : 178). Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash
  • 7. (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT : ”Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula) ” (QS Al-Baqarah : 178) Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting,berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113). Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya,yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.(HR Bukhari dan Muslim). Euthanasia Pasif Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam? Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu
  • 8. hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah). Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA) Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul : Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab “Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953) Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat. Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari) Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69). Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum
  • 9. (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa ber fungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182). Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al- Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523). Menurut MUI (Majlis Ulama’ Indonesia) Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Lebih lanjut, KH Ma’ruf Amin (Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia) mengatakan, euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus. Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang yang tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan.
  • 10. Mengenai dalil atau dasar fatwa MUI tentang pelarangan “euthanasia”, dia menjelaskan dalilnya secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena faktor keputusasaan yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Dia mengungkapkan, dasar pelarangan euthanasia memang tidak terdapat secara spesifik dalam Al Quran maupun Sunnah Nabi. “Hak untuk mematikan seseorang ada pada Allah SWT,” ujarnya menambahkan. Hubungan Eutahanasia dengan Jarimah Tindakan euthanasia dalam hukum Islam belum ada kejelasan dalam hal pengkategorian tindakan pembunuhan yang merupakan suatu jarimah. Sebagaimana diketahui bahwa suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai suatu jarimah apabila memenuhi unsur-unsur jarimah. Dalam hukum pidana Islam dikenal dua unsur jarimah yaitu jarimah umum dan khusus. Yang dimaksud dengan unsur- unsur umum yaitu unsur-unsur yang terdapat pada setiap jarimah, sedangkan unsur khusus adalah unsur yang hanya ada pada jenis jarimah tertentu dan tidak terdapat pada jenis jarimah yang lain. Adapun yang termasuk unsur umum jarimah adalah sebagai berikut:  Unsur Formal, yaitu adanya nash atau ketentuan yang menunjuknya sebagai jarimah. Unsur ini sesuai dengan prinsip yang menyatakan bahwa jarimah tidak terjadi sebelum dinyatakan dalam nash.  Unsur material, yaitu adanya perbuatan yang melawan hukum yang pernah dilakukan.  Unsur moral, yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat. Dengan kata lain, unsur ini berhubungan dengan tanggung jawab pidana yang hanya dibebankan atas orang mukallaf dalam keadaan bebas dari unsure keterpaksaan atau ketidaksadaran penuh. Unsur khusus dari jarimah merupakan unsur yang membedakan antara jarimah yang satu dengan jarimah yang lain. Misalnya unsur jarimah pembunuhan akan berbeda dengan unsur jarimah pencurian, zina dan sebagainya. Dalam hukum Islam, pembunuhan dikenal ada tiga macam, yaitu:  Pembunuhan sengaja (Al-qathl al’amd), yaitu suatu perbuatan yang direncanakan dahulu dengan menggunakan alat dengan maksud menghilangkan nyawa
  • 11.  Pembunuhan semi sengaja (Al-qathl sibhu al- ’amd), yaitu suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud membunuhnya, tetapi mengakibatkan kematian.  Pembunuhan karena kesalahan (Al-qathl al-khatta), yaitu pembunuhan yang terjadi karena adanya kesalahan dan tujuan perbuatannya. Dalam hukum Islam, hingga saat ini belum ada kejelasan atau kepastian tentang eksistensi euthanasia, apakah euthanasia itu termasuk dalam jarimah atau bukan. Meskipun dalam hukum Islam belum ada kejelasan atau ketidakpastian dalam menentukan apakah euthanasia termasuk jarimah atau bukan, akan tetapi dalam hal euthanasia aktif yang dilakukan hanya berdasar inisiatif dokter sendiri tanpa adanya persetujuan dari pasien. Sekiranya dapat dimasukkan dalam kategori jarimah pembunuhan, dan pelaku dimungkinkan dihukum sesuai dengan hukum jarimah yang ada. Pendapat demikian didasarkan atas pertimbangan karena perbuatan itu telah memenuhi syaratsyarat untuk dapat dilaksanakan dalam qishash, antara lain:  Pembunuhan adalah orang yang baligh, sehat, dan berakal  Ada kesengajaan membunuh  Ikhtiyar (bebas dari paksaan)  Pembunuh bukan anggota keluarga korban  Jarimah dilakukan secara langsung. Euthanasia Menurut Agama Hindu Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari “karma” yang buruk adalah menjadi penghalang “moksa” yaitu suatu kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa merupakan prinsip “anti kekerasan” atau pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang didalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh
  • 12. karena menghasilkan “karma” buruk. Kehidupan manusia merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali. Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan “karma” nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal Euthanasia Menurut Agama Budha Euthanasia atau mercy killing baik yang aktif atau pasif tidak dibenarkan dalam agama Buddha karena perbuatan membunuh atau mengakhiri kehidupan seseorang ini, walaupun dengan alasan kasih sayang, tetap melanggar sila pertama dari Pancasila Buddhis. Perbuatan membunuh atau mengakhiri hidup seseorang ini sesungguhnya tidak mungkin dapat dilakukan dengan kasih sayang atau karuna. Orang yang memiliki kasih sayang tidak mungkin akan melakukan perbuatan mengakhiri hidup seseorang karena ia menyadari bahwa sesungguhnya hidup merupakan milik yang paling berharga bagi setiap makhluk. Ia yang memiliki kasih sayang tentu akan menghargai kehidupan setiap makhluk. Ia yang memiliki kasih sayang tentu selalu ingin berusaha untuk menghilangkan penderitaan makhluk lain, tetapi tentunya niat yang luhur ini diwujudkan dengan cara yang benar dan tepat. Terhadap orang yang sedang sakit parah, ia akan mengusahakan secara maksimal agar orang tersebut dapat sembuh. Sesungguhnya orang yang ‘membunuh karena kasih sayang’ mempunyai ‘dosa citta’ atau pikiran kebencian karena ia sesungguhnya tidak senang melihat keadaan orang yang sedang menderita sakit itu. Ia tentu kesal dengan keadaan orangtuanya yang tidak kunjung sembuh dari penyakitnya. Ia kesal karena ia harus mengeluarkan biaya yang besar untuk pengorba nan orangtuanya itu. Mungkin untuk itu, ia harus meminjam uang ke sana ke mari yang nantinya harus dikembalikan. Ia merasa direpotkan dengan hal-hal semacam itu.
  • 13. Sang Buddha pernah bersabda sebagai berikut: “Orang itu, jika meninggal dunia pada saat itu, pasti tumimbal lahir di alam dewa, sebab batin orang itu tenang. Orang itu, jika meninggal dunia pada saat itu, pasti tumimbal lahir di alam neraka, sebab batin orang itu gelisah”. Dari sabda Sang Buddha tersebut di atas, jelas bahwa batin atau pikiran seseorang pada saat ia akan meninggal dunia sangat menentukan keadaan kehidupannya yang akan datang. Jika seseorang yang akan meninggal dunia itu mempunyai pikiran yang tenang dan penuh cinta kasih, maka ia akan terlahir kembali di alam yang menyenangkan. Namun, sebaliknya jika mempunyai pikiran yang tidak tenang dan penuh dengan kebencian, maka ia akan terlahir kembali di alam yang menyedihkan. Dalam hal ini, batin seseorang dapat tenang atau tidak menjelang saat kematiannya tentu tidak terlepas dari perbuatan yang pernah dilakukannya pada masa kehidupan lampau. Ada orang yang sakit parah itu meninggal dengan pikiran yang tenang. Namun, pada umumnya orang yang sedang menderita sakit itu mempunyai pikiran yang tidak tenang, kacau, gelisah, dan takut. Jadi kalau kita mengakhiri hidup orang yang sedang sakit itu, maka ini berarti kita menjerumuskannya ke alam yang menyedihkan. Euthanasia Menurut Agama Kristen Katolik Gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral Gereja mengenai euthanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII tidak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan euthanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, Paus Yohanes Paulus II prihatin dengan semakin meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik “Evangelium Vitae” (No. 64) memperingatkan kita agar melawan “gejala yang paling mengkhawatirkan dar i `budaya kematian’. Katekismus Gereja Katolik (No 2276-2279) memberikan ikhtisar penjelasan ajaran Gereja Katolik. Mengenai masalah ini, prinsip-prinsip berikut mengikat secara moral: Pertama, Gereja Katolik berpegang teguh bahwa baik martabat setiap individu maupun anugerah hidup adalah kudus. Kedua, setiap orang terikat untuk melewatkan hidupnya sesuai rencana Allah dan dengan keterbukaan terhadap kehendak-Nya, dengan menaruh pengharapan akan kepenuhan hidup di surga. Ketiga, dengan sengaja mengakhiri hidup sendiri adalah bunuh diri dan merupakan penolakan terhadap rencana Allah.
  • 14. Eutanasia secara harfiah diterjemahkan sebagai kematian yang baik atau kematian tanpa penderitaan, adalah “tindakan atau pantang tindakan menurut hakikatnya atau dengan maksud sengaja mendatangkan kematian, dengan demikian menghentikan setiap rasa sakit” (Declaratio de Euthanasia). Dengan kata lain, eutanasia menyangkut mengakhiri hidup dengan sengaja melalui suatu tindakan langsung, seperti suntik mati, atau dengan suatu pantang, seperti membiarkan kelaparan atau kehausan. Perlu dicatat bahwa eutanasia biasa dikenal sebagai “membunuh karena kasihan”; istilah ini paling tepat sebab tindakan yang dilakukan bertujuan untuk membunuh dengan sengaja, tak peduli betapa baik tujuannya, misalnya, untuk mengakhiri penderitaan. Para Uskup Gereja Katolik mengukuhkan bahwa eutanasia itu pelanggaran berat hukum Allah, karena berarti pembunuhan manusia yang disengaja dan dari sudut moril tidak dapat diterima” (Evangelium Vitae, No. 65). Pasien atau wali dalam kasus pasien tidak sadarkan diri berhak menolak secara tulus atau mengakhiri prosedur-prosedur luar biasa tersebut, yang tidak lagi menjawab situasi nyata pasien, tidak menawarkan manfaat yang proporsional, tidak menawarkan pengharapan yang masuk akal akan manfaatnya, yang mendatangkan beban teramat berat bagi pasien maupun keluarga, atau sekedar karena “kegagahan”. Keputusan yang demikian adalah yang paling tepat apabila kematian jelas di ambang pintu serta tak terhindarkan. Di sini, orang dapat menolak bentuk-bentuk perawatan yang hanya sekedar memperpanjang hidup dengan disertai resiko dan beban berat. Dalam kasus-kasus demikian, orang dapat menyerahkan diri ke dalam tangan kasih Tuhan dan bersiap diri meninggalkan dunia ini, sembari mempertahankan sarana-sarana perawatan kesehatan biasa. Sebagai contoh ada orang yang menghadapi ajal karena prostrate yang telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Terakhir kali saya menjenguknya di rumah sakit, ia telah dalam keadaan koma. ia makan lewat selang makanan dan bernapas lewat respirator. Ia mengalami gagal ginjal pula. Para dokter menyampaikan kepada keluarga bahwa tak ada lagi yang dapat mereka lakukan dan bahwa situasinya tak dapat berubah. Hingga tahap itu, teknologi medis tak dapat memberikan pengharapan kesembuhan atau manfaat, melainkan hanya sekedar menunda proses kematian. Keluarga memutuskan untuk menghentikan respirator, yang sekarang telah menjadi
  • 15. sarana luar biasa, dan beberapa menit kemudian oaring tersebut pun pergi menjumpai Tuhan-nya. Tindakan ini secara moral dibenarkan dan dibedakan dari tindakan mengakhiri hidup secara sengaja. Euthanasia Menurut Agama Kristen Protestan Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu pelaksanaan eutanasia. Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :  Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan bahwa : ” penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut”.  Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi. Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang lebih baik. Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan. Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi masalah “bunuh diri” dan “pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) adalah dari sudut “kekudusan kehidupan” sebagai suatu pemberian Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
  • 16. Contoh Kasus Nyata euthanasia Kasus Ny Agian, RS Telah Lakukan Euthanasia Pasif Muhammad Atqa – detikNewsJakarta – Masih ingat Ny Agian yang karena lama tidak sadarkan diri dari sakitnya membuat sang suami minta agar RS menyuntik mati saja (euthanasia), tapi ditolak? Menurut dr Marius Widjajarta, apa yang dilakukan RS terhadap Ny Agian sudah masuk kategori euthanasia pasif. “Sebenarnya pihak RS sudah melaksanakan euthanasia pasif. Kalau orang yang tidak punya uang dan membuat suatu pernyataan tidak mau dirawat, itu sudah merupakan euthanasia pasif meskipun euthanasia dapat diancam hingga 12 tahun penjara,” kata Marius dari Yayasan Konsumen Kesehatan Indonesia menjawab pertanyaan wartawan. Seperti diketahui, Ny Agian Isna Nauli (33) hingga kini dirawat di bagian stroke RSCM, Jakarta, setelah berbulan-bulan tidak sadarkan diri pasca melahirkan. Karena ketiadaan ongkos, suaminya (Hassan Kusuma) meminta RSCM menyuntik mati istrinya karena dirasa tidak ada harapan hidup normal kembali. Tapi RSCM menolak menyuntik mati Agian karena secara kedokteran tidak bisa dikatakan koma meskipun dia tidak bisa melakukan kontak. Dalam istilah kedokteran, pasien mengalami gangguan komplikasi, digolongkan sebagai stroke, sehingga tidak ada alasan untuk euthanasia. Selain itu, di Indonesia, euthanasia tidak dibenarkan dalam etika dokter juga dalam hukum “Jadi saya rasa, kalau pembiayaan kesehatan sudah ditanggung negara dengan disahkannya UU Sistem Jaminan Sosial, maka saya rasa kasus-kasus euthanasia tidak terulang lagi,” sambung dr Marius. Bagaimana dengan permintaan euthanasia bukan alasan biaya, tapi karena tidak punya harapan hidup? “Karena itulah saya sudah menganjurkan pada pemerintah, profesi, ahli hukum, dan agama, kalau euthaniasi diatur lagi sesuai peraturan. Jangan seperti sekarang, boleh atau tidak boleh. Tetapi, harus ada jalan keluarnya bahwa pasien mempunyai hak untuk memilih,” demikian dr Marius.