Dokumen tersebut membahas tentang terorisme internasional dan hukum pidana terkait. Terorisme internasional telah berkembang menjadi 27 organisasi yang beroperasi di berbagai negara dengan tujuan menciptakan kekacauan bagi pemerintahan sasaran. Dokumen juga membahas mengenai perubahan paradigma hukum pidana untuk melawan terorisme dengan mempertimbangkan perlindungan hak asasi manusia.
1. TERORISME INTERNASIONAL
KAPITA SELEKTA HUKUM
INTERNASIONAL
FAK. HUKUM, UNIV. BATAM
By : Yos Satya Dharma,SH,LLM.
@ 2010-2011
2. LATAR BELAKANG
Terorisme internasional yang mulai dibentuk
dan bergerak pada tahun 1974 sudah
berkembang menjadi 27 (dua puluh tujuh)
organisasi yang tersebar di beberapa negara
seperti di negara-negara Timur Tengah, Asia
dan Eropa.
Timur Tengah pada prinsipnya
bertujuan untuk menyingkirkan AS dan
pengikutnya dari negara-negara Arab.
2
3. LATAR BELAKANG(2)
Pada umumnya kehadiran terorisme
internasional dilatarbelakangi oleh tujuan-tujuan
yang bersifat etnis, politis, agama
dan ras.
Tujuannya BUKAN untuk mencapai
keuntungan material.
3
4. Karakteristik
karakteristik sangat terorganisasi,
tangguh, ekstrim, ekslusif, tertutup, memiliki
komitmen yang sangat tinggi, memiliki pasukan
khusus serta didukung oleh keuangan dan dana
yang sangat besar.
Pasukan khusus
bom bunuh diri
(suicide-bomb
attack squad).
4
5. Tujuan
Organisasi terorisme internasional tidak bertujuan
atau bercita-cita membentuk suatu
negara/pemerintahan baru
melainkan bagaimana menciptakan keadaan chaos
dan tidak terkontrol suatu pemerintahan yang
menjadi sasarannya sehingga pemerintahan itu
tunduk dan menyerah terhadap idealismenya.
5
6. Organisasi
Terorisme
Internasional
Tidak bertujuan atau bercita-cita
membentuk suatu
negara/pemerintahan baru.
bagaimana menciptakan keadaan chaos dan
tidak terkontrol suatu pemerintahan yang
menjadi sasarannya sehingga pemerintahan
itu tunduk dan menyerah terhadap
idealismenya.
6
7. Cara-cara
Cara2 yang sering dipakai mis :
• penyanderaan,
• pembajakan udara,
• pemboman,
• perusakan instalasi strategis dan fasilitas publik,
• pembunuhan kepala negara atau tokoh politik
atau keluarganya, dan
• pemerasan.
7
9. 9
Indonesia semenjak tahun 1999.
Tidak ada klaim organisasi terorisme
internasional atau organisasi terorisme
domestik atas kejadian-kejadian di Indonesia.
sinyal bahwa Indonesia telah
merupakan salah satu target operasi
organisasi terorisme internasional maupun
domestik.
10. UU No. 8 Tahun
2010 tentang
Pencegahan dan
Pemberantasan
Tindak Pidana
Pencucian Uang
UU Narkotika
(UU
No.35/2009)
UU
Pemberantasan
Tindak Pidana
Terorisme (UU
No.15/2003)
Narco-Terorism
10
11. Narco-terorism
• Hasil perdagangan illegal Narkotika dan
Psikotropika internasional sering juga digunakan
untuk membeli senjata bagi keperluan organisasi
terorisme internasional seperti di Afganistan yang
merupakan salah satu pusat candu di ASIA, dikenal
dengan “bulan sabit emas”, dan didaerah “segitiga
emas” dikawasan ASEAN (Thai, Vietnam, Kamboja).
• Selain itu, terhadap hasil penjualan candu dan
Narkotika lainnya juga dilakukan pencucian uang
dan ditanam dalam kegiatan bisnis legal atau
disimpan di bank
11
14. Narco-terorism(2)
• Ketiga subjek kegiatan yang bersifat internasional
tersebut satu sama lain saling berhubungan dan
berkepentingan, sehingga sangatlah sulit jika
dihadapi secara satu persatu sehingga diperlukan
suatu pendekatan yang bersifat komprehensif.
• Pendekatan yang bersifat komprehensif ini
memerlukan juga perubahan terhadap paradigma
dalam politik hukum pidana yang berlaku dalam
sistem hukum pidana di Indonesia.
14
15. Perubahan paradigma politik hukum
pidana
mempertahankan “due process of laws”
secara mutlak
membatasi atau mengkesampingkannya
sedemikian rupa
Due process of laws = setiap orang,
termasuk si pelaku tindak pidana,
adalah berhak untuk dilindungi dan
berhak mengajukan pembelaan diri. 15
16. • Memperhatikan aspek
perlindungan Hak Asasi dari
Tersangka.
• Mengikuti asas-asas Hukum
Pidana dan Hukum Acara
Pidana yang sudah berlaku
Mempertahankan
“due process of
laws”
• Perlindungan hak asasi
masyarakat / korban
lebih diutamakan.
• Memberlakukan aturan2
khusus (Lex spesialis)
Membatasi /
mengkesampingkan
“due process of
laws”
16
17. Membatasi /mengeyampingkan
“due process of laws”
Mencabut “hak
untuk tidak
menjawab” (the
right to remain
silent) dari
tersangka
terorisme selama
menjalani
pemeriksaan
pendahuluan
(Inggris).
Untuk
memperoleh
bukti permulaan
yg cukup guna
penahanan dan
penyidikan,
aparat dapat
menggunakan
laporan intelijen
dan dapat
digunakan sbg
alat bukti.
Pembicaraan
antara penasehat
hukum dan
tersangka
disadap (USA).
Pemeriksaan
dilakukan secara
tertutup dan hak
untuk diadili oleh
Grand Jury
dibatasi (USA).
17
18. Membatasi /mengeyampingkan
“due process of laws”
Tersangka
diancam
dengan pidana
mati.
Seluruh
keuangan
tersangka
teroris dan
organisasi
teroris yang
disimpan di
perbankan
dibekukan dan
disita (USA).
Adanya laporan
ttg penggunaan
siksaan dalam
proses
interogasi
terhadap orang
yg disangka
teroris (Laporan
Amnesty
Internasional).
Menempatkan
setiap aktor dari
terorisme dan
kegiatan
terorisme
sebagai pelaku
Kejahatan
Perang dan
pemberlakuan
Peradilan
Militer (USA).
18
19. Komentar dan kritik
• Menurut (Alm.) Munir, justru hal seperti inilah yang harus
dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus diberantas
karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga
pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan
mengindahkan Hak Asasi Manusia.
• bahwa memang secara nasional harus ada Undang-Undang
yang mengatur soal Terorisme, tapi dengan definisi yang
jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia.
• Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak
Asasi Manusia, bukan sebaliknya membatasi dan melawan
Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia
tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan
kekuasaan.
19
20. Serangan bom teroris di Oklahoma
Korban serangan teroris tidak mengenal
usia dan jenis kelamin (Anak gadis
berusia 4 tahun yang menjadi korban
serangan teroris di Jaipur, India.).
20