3. 1.1 Latar Belakang
• Tujuan dari dirumuskannya UU Minerba oleh pemerintah dan parlemen (DPR) adalah untuk
menggantikan UU No.11 tahun 1967 tentang Ketentuan –Ketentuan Pokok Pertambangan
yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman ditingkat nasional
maupun global. Problem terbesar dari UU No.11/1967 adalah sistem perjanjian atau kontrak
tambang. Dalam pertambangan mineral, dikenal istilah Kontrak Karya (KK). Sementara
dalam industri tambang batubara ada istilah Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara (PKP2B) dan Kuasa Pertambangan (KP).
• Sistem kontrak ini memposisikan negara dan korporasi tambang secara sejajar. Dalam rezim
kontrak, negara dipandang sebagai mitra bisnis perusahaan tambang yang tidak memiliki sifat
superior. Hal inilah yang membuat negara selalu ‘impotent’ ketika berhadapan dengan
korporasi dalam perumusan pembaruan kontrak, penarikan royalty dan pajak, juga di saat
kasus-kasus lingkungan dan sosial bermunculan.
• Posisi negara yang lemah dalam UU No.11/1967 inilah yang berusaha untuk dirubah oleh
pemerintah dan DPR melalui UU No.4/2009 tentang Minerba tersebut. Maka, dalam UU
Minerba terjadi perubahan rezim dalam tata kelola industri tambang nasional. Perubahan itu
terjadi dari rezim kontrak/perjanjian kepada rezim perizinan. Sehingga istilah-istilah seperti
KK, PKP2B dan KP diganti menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP). Pada pasal 36 UU
Minerba, disebutkan bila IUP terdiri atas dua tahap, yakni IUP Eksplorasi (penyelidikan
umum, eksplorasi dan studi kelayakan) dan IUP Operasi Produksi (konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan).
4. 1.2 Permasalahan
Dalam masalah pengimplementasi UU NO. 4 Tahun 2009 di wilayah
Kalimantan Tengah, kami mengangkat topik masalah tentang
perizinan dan pembayaran iuran pajak Perusahaan Tambang di
wilayah Kalimantan Tengah yang belum dilakukan sepenuhnya pada
perusahaan tambang tersebut, yang mana berakibat merugikan bagi
kepentingan masyarakat Kalimantan Tengah keseluruhannya
terlebih lagi juga kerugian yang dialami Negara akibat Perusahaan
tersebut tidak mematuhi dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP) serta
pembayaran iuran pajak yang berlaku dalam UU NO. 4 Tahun 2009.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah bersama Pemerintah
Kabupaten di Kalimantan Tengah diminta segera menyikapi temuan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang menyebutkan adanya
perusahaan tambang di Kalteng yang merugikan Negara.
5. Seperti diketahui, BPK melaporkan ada 26 perusahaan
pertambangan yang tidak mengikuti aturan yang berlaku
sehingga menimbulkan potensi kerugian Negara sebanyak RP
90,6 miliar dan UU$38 ribu. Sejumlah ini sial perusahaan
yang dilaporkan diantaranya, PT KBI, FPI, CKA, GST, dan ZI
yang disebut beroperasi di Kalteng.
Dalam hal ini, Pemprov dan Pemkap kurang saling
berkordinasi dalam menindak lanjuti temuan BPK tersebut,
serta kelalaian atau kurangnya ketegasan pada bupati/walikota
dan Kepala daerah dalam melakukan pengawasan secara rutin
terhadap investasi di wilayahnya .
6. 1.3 Solusi
Solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan
cara pemerintah Daerah/Provinsi ataupun Kabupaten harus
secepatnya melakukan tindakan atau penyelidikan terhadap 26
Perusahaan Pertambangan agar membayar iuran yang telah
ditetapkan dalam Perundang-undangan agar Negara dan
Masyarakat Kalimantan Tengah (secara khususnya) tidak
dirugikan seperti yang telah terjadi selama beberapa tahun ini.
Serta dalam melakukan pemberian Izin Usaha Pertambangan
harus benar-benar teliti dalam memberikan izin tersebut agar
nantinya tidak terjadi masalah dalam melakukan usaha
pertambangan.