SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 121
Downloaden Sie, um offline zu lesen
Pilkada Langsung:
Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi
Lokal
110 + viii halaman, 2005
Perpustakaan Nasional RI:
Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ISBN 000-0000-00-0
1. Pilkada Langsung 2. Demokrasi Lokal 3. Pemerintahan Daerah
Editor:
Koordinator : Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA
Anggota : Meiliana, SE.,MM
Gugum Gumelar, SH
Aryono Mulyono, BBA
Baharudin, S.Sos.,SPd.
Said Fadhil, SIP
Royani, A.Md.
Diterbitkan Oleh:
Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III (PKP2A III)
LAN Samarinda
UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 7 TAHUN 1987
Pasal 44
(1) Barangsiapa dengan sengaja tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu
ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta
rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah)
Daftar Isi
Pengantar Editor ………………………………………………………………… iv
BAGIAN PERTAMA: Pemaparan Ide dan Diskusi Interaktif ……………… 1
¾ INTISARI SESSI I:
Pilkada Langsung dan Upaya Memperkuat Pembangunan Daerah:
Sebuah Pendekatan Normatif Konseptual ………………………… 2
¾ INTISARI SESSI II:
Kondisi Faktual dan Strategi Antisipatif Penyelenggaraan Pilkada
Langsung …………………………………………………………… 6
¾ INTISARI SESSI DISKUSI: …………………………………………… 8
BAGIAN KEDUA: Sambutan dan Makalah Pembicara ……………………… 15
¾ PILKADA LANGSUNG DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI NEGARA
Sambutan Kepala LAN RI (Anwar Suprijadi) ……………………… 16
¾ Sambutan Gubernur Kalimantan Timur (Suwarna AF) ……………… 24
¾ POKOK-POKOK PENYELENGGARAAN PILKADA LANGSUNG
MENURUT PP. NO. 6 TAHUN 2005 DAN IMPLIKASINYA DI DAERAH
Drs. Hadi Sutanto …………………………………………………… 27
¾ PILKADA LANGSUNG DAN UPAYA MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN
DAERAH YANG BERSIH DAN BEBAS KKN (GOOD LOCAL
GOVERNANCE)
Drs. Desi Fernanda, M.Soc.Sc. ……………………………………… 35
¾ PENGUATAN DEMOKRASI LOKAL DAN AKSELERASI PEMBANGUNAN
(DAERAH): KONVERGEN ATAU DIVERGEN?
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ……………………………………. 65
¾ IMPLEMENTASI PILKADA LANGSUNG DI DAERAH: BEBERAPA
POTENSI MASALAH DAN STRATEGI PEMBINAAN ASPEK
PEMERINTAHAN
Drs. H. Syachruddin, MS.,MM ……………………………………. 91
ii
¾ STRATEGI PEMANTAPAN TATANAN NILAI KESATUAN BANGSA
DALAM PROSES PILKADA LANGSUNG
Drs. Djumar Soewito, M.Si. ………………………………………. 93
¾ PERAN STRATEGI KPUD DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
SECARA LANGSUNG TAHUN 2005
Prof. Dr. HM. Jafar Haruna, M.Pd.,MS. …………………………… 98
BAGIAN KEEMPAT: Rekomendasi Kebijakan ……………………………… 109
BAGIAN KETIGA: Slide Presentasi …………………………………………… 112
iii
Pengantar Editor
Buku ini merupakan proceeding dari hasil Diskusi Terbatas Forum SANKRI
yang diselenggarakan oleh PKP2A III LAN Samarinda. Secara filosofis, Diskusi
Terbatas tadi didasari oleh pemikiran perlunya segera ditetapkan langkah-langkah taktis
dan strategis untuk mensukseskan penyelenggaraan Pilkada Langsung di berbagai
wilayah Indonesia, khususnya di tatar Kalimantan. Sementara secara empirik, harus
diakui bahwa tahun 2005 sekarang ini merupakan periode yang dipenuhi oleh issu-issu
kepemerintahan lokal, khususnya mengenai suksesi kepemimpinan lokal. Berbagai issu
yang berkembang tadi, jika tidak disikapi secara baik, dicermati secara teliti, serta
diantisipasi secara matang, bukan tidak mungkin berdampak secara kurang baik
terhadap jalannya roda pemerintahan dan aktivitas kemasyarakatan.
Issu suksesi kepemimpinan lokal sendiri mulai mengemuka setelah lahirnya
UU 32/2004 yang membawa perubahan fundamental dalam hal pemilihan Kepala
Daerah. Kepala Daerah yang menurut UU Nomor 22/1999 dipilih oleh dan
bertanggungjawab kepada DPRD, sekarang dipilih langsung oleh rakyat dari
calon-calon yang diajukan partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi
syarat tertentu. Secara normatif, penyelenggaraan Pilkada Langsung ini diharapkan
dapat mendorong proses pembangunan sosial ekonomi secara lebih cepat sehingga
dapat diwujudkan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik pula. Logikanya, Kepala
Daerah yang mendapat dukungan langsung dan penuh dari rakyat, akan mampu
menciptakan hubungan kerja yang harmonis dan sinergis dengan berbagai komponen
pendukungnya. Dengan demikian, butir-butir perubahan UU yang berkenaan dengan
Pilkada Langsung tadi harus di implementasikan dengan sebaik mungkin agar dapat
terwujud tatanan pemerintah dan masyarakat daerah yang lebih baik dan lebih
demokratis.
Namun jika dicermati lebih dalam, implikasi dari aturan baru ini masih
mengandung beberapa potensi permasalahan yang cukup kompleks. Adanya ketentuan
pencalonan Kepala Daerah dengan pola “satu pintu”, indikasi masih terbukanya praktek
money politics, kurang eratnya hubungan koordinasi antara KPU dengan KPU Daerah,
iv
keterbatasan sumber pembiayaan, belum jelasnya mekanisme pertanggungjawaban
KPUD, dan sebagainya, adalah beberapa persoalan riil yang dapat mengancam
keberhasilan Pilkada Langsung untuk mewujudkan kehidupan yang demokratis di
daerah, sekaligus meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat di daerah.
Ddalam prakteknya, berbagai produk hukum yang mengatur tentang Pilkada
Langsung ini masih menimbulkan banyak sekali kebingungan baik dikalangan
masyarakat, partai politik, maupun pemerintah daerah dan KPUD sebagai lembaga
penyelenggara Pilkada Langsung. Harus diakui bahwa sejak lahirnya UU No. 32/2004
-- yang disusul dengan lahirnya PP No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, atau lebih
dikenal dengan PP Pilkada Langsung -- banyak pihak menyangsikan bahwa Pilkada
Langsung akan benar-benar menumbuhkan demokratisasi di tingkat akar rumput, serta
bermanfaat bagi proses pembangunan daerah secara menyeluruh.
Beberapa hal yang menjadi sumber keraguan tersebut antara lain menyangkut
hal-hal sebagai berikut:
• Pilkada Langsung dinilai kurang demokratis karena tidak membuka peluang bagi
calon independen untuk menjadi pasangan calon Kepala Daerah dan Wakilnya.
Dalam pasal 56 UU No. 32/2004 dinyatakan bahwa hanya partai politik atau
gabungan partai politik yang memiliki hak untuk mengajukan calon. Dengan
demikian, rakyat sesungguhnya hanya memiliki hak pilih “pasif” (memilih diantara
calon yang tersedia), namun belum memiliki hak inisiatif aktif untuk mengajukan
dirinya guna berkompetisi dalam ajang Pilkada Langsung tersebut (Utomo, 2004).
• Pilkada Langsung masih membuka peluang terjadinya money politics. Penyebabnya
adalah, parpol masih tetap menjadi mesin politik utama menuju kekuasaan. Dan
peran sebagai “mesin kekuasaan” inilah yang akan menjadi medan magnet
terjadinya money politics. Meskipun demikian, pusaran korupsi diperkirakan tidak
sekuat pada masa 5 tahun kebelakang. Justru ada kecenderungan bahwa money
politics ini lebih menyebar dan menjangkau langsung kepada anggota masyarakat.
Logikanya, money politics akan mengikuti dimana “suara” berada. Pada saat
berlakunya UU 5/1974, pemerintah pusat memiliki hak untuk memilih seorang
Kepda dari 3 hingga 5 calon yang diajukan DPRD. Oleh karenanya tidak aneh jika
sebagian terbesar kasus korupsi pada saat itu terjadi di tingkat pusat. Kemudian pada
v
era UU 22/1999, korupsi dilakukan secara beramai-ramai oleh DPRD karena
memang DPRD-lah pemegang hak pilih terhadap seorang Kepda. Kini, ketika suara
(hak pilih) didistribusikan secara langsung kepada perseorangan, maka medan
korupsi-pun akan bergerak mengikuti pemilik suara tersebut (Utomo, 2004).
• Keterbatasan dana Pilkada yang berakibat pada ancaman penundaan dan bahkan
batalnya penyelenggaraan Pilkada. Menurut Mendagri, Pilkada kali ini secara
nasional membutuhkan dana sebesar Rp. 929,3 miliar, yang Rp. 744,3 miliar
diantaranya dialokasikan ke 226 daerah termasuk pemberian insentif khusus bagi 35
daerah pemekaran, yakni dua provinsi dan 33 kabupaten/kota. Sedangkan sisanya
sebesar Rp. 185 miliar akan digunakan untuk mendukung pemerintah pusat dalam
melaksanakan kegiatan sosialisasi dan pembinaan teknis, pemutakhiran data
administrasi kependudukan, dan monitoring serta evaluasi pelaksanaan pilkada.
Dalam prakteknya, pencairan dana tersebut mengalami hambatan, sehingga banyak
daerah mengeluh kekurangan dana. Untuk mengatasi hal tersebut, Mendagri
meminta agar Pemda memberikan dana talangan dari APBD, namun banyak daerah
yang menolak melakukan hal itu. Kondisi ini masih diperparah dengan tidak
jelasnya mekanisme alokasi dana Pilkada, kekurangakuratan dalam menghitung
kebutuhan riil, dan sebagainya.
• Masalah logistik juga menjadi aspek yang krusial. Misalnya mengenai pengadaan
barang, apakah akan dilakukan oleh KPU, KPUD, ataukah Depdagri. Sementara
dalah hal metode yang digunakan juga belum terdapat kesamaan pandangan, apakah
harus dengan tender atau dapat dengan penunjukkan langsung. Jika mengingat
besaran anggaran, maka semestinya pengadaan barang dan jasa harus dilakukan
melalui proses tender (Keppres No. 80/2003).
• Pilkada Langsung juga menyimpan potensi konflik yang tinggi. Dari hasil
inventarisasi Depdagri ditemukan ada 76 daerah dari 222 daerah yang akan
menyelenggarakan Pikada sangat berpotensi terjadi konflik karena berbagai sebab.
Faktor penyebab terjadinya konflik itu di antaranya salah memahami peraturan
Pilkada dan kondisi daerah yang belum kondusif (Suara Karya, 15 Maret 2005).
Sementara di Medan, berbagai elemen mengancam akan memboikot pilkada karena
adanya informasi bahwa hanya dua pasang kandidat yang akan maju dalam
vi
pemilihan tersebut (Suara Pembaruan, 14 Maret 2005). Lebih jauh Iskandar (2005)
mengidentifikasi beberapa masalah di sekitar Pilkada langsung yang bisa memicu
konflik politik di daerah, yakni: 1) terdapatnya peraturan Pilkada langsung yang
menutup munculnya calon independen, 2) kuatnya hubungan emosional antara
kandidat dengan konstituen, 3) UU 32/2004 memberi peluang dan dominasi kepada
partai dalam proses pencalonan, 4) kerancuan peran DPRD dalam Pilkada, dan 5)
potensi konflik pasca Pilkada.
Berbagai kemungkinan dampak negatif dari penyelenggaraan Pilkada
Langsung diatas mengilustrasikan bahwa Pilkada Langsung ini dapat menjadi faktor
pengungkit (leverage effect) yang efektif dalam mengakselerasikan pembangunan sosial
ekonomi dan politik di daerah, namun dapat pula menjadi sumber kegagalan baru
manajemen pemerintahan daerah. Semuanya itu tergantung kepada kesiapan pemerintah
dan masyarakat daerah dalam menyikapi dan merealisasikan kebijakan tersebut,
disamping faktor infrastruktur administrasi yang jelas dan lengkap. Tanpa adanya kedua
prasyarat ini (kesiapan daerah dan infrastruktur administratif), reformasi politik dan
reformasi birorkasi di tingkat lokal dikhawatirkan mengalami kemandegan, jika tidak
dikatakan kemunduran.
Mengingat adanya berbagai hal yang berpotensi kontra-produktif itulah,
PKP2A III LAN Samarinda berinisiatif untuk menggelar sebuah forum ilmiah guna
menguraikan persoalan yang ada, sekaligus membangun rekomendasi kebijakan yang
relevan. Dengan kata lain, penyelenggaraan Seminar / Diskusi Terbatas ini dimaksudkan
untuk mengelaborasi lebih lanjut aspek-aspek kritis yang terkait dengan
penyelenggaraan Pilkada Langsung. Dari diskusi ini diharapkan dapat ditemukan dan
dirumuskan strategi yang manjur, efektif dan damai dalam pelaksanaan Pilkada
Langsung, sekaligus untuk memberi masukan yang konstruktif bagi pihak-pihak yang
terkait dengan penyelenggaraan Pilkada (KPUD, DPRD, Eksekutif) sehingga output
akhir Pilkada benar-benar dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat sebagai
konstituennya.
Dilihat dari bervariasinya latar belakang peserta yang hadir, membuat kami
optimis bahwa hasil seminar / diskusi ini cukup mencerminkan kondisi nyata di
lapangan, serta cukup representatif dalam merefleksikan harapan berbagai pihak
terhadap kebijakan nasional yang baru pertama kali dalam sejarah Indonesia modern ini.
vii
Dalam hal ini, peserta yang mengikuti secara aktif kegiatan seminar / diskusi terdiri dari
para pejabat struktural dan fungsional di lingkungan LAN dan Pemerintah Daerah di
Propinsi Kalimantan Timur, unsur Desk Pilkada kabupaten/kota se Kalimantan Timur,
pimpinan DPRD, KPUD, akademisi / peneliti / pengamat, media massa, perwakilan
partai politik, aktivis LSM, kalangan bisnis, serta undangan lainnya.
Atas terselenggaranya acara Seminar / Diskusi Terbatas ini, kami ingin
menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para
peserta yang telah meluangkan waktu dan bersedia datang memenuhi undangan kami.
Kepada Bapak Kepala LAN (diwakili oleh Deputi I Bidang Kajian Kinerja
Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur) serta Bapak Gubernur (diwakili oleh Asisten
I Setda Propinsi Kalimantan Timur) yang berkenan memberikan sambutan pengarahan,
kami haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Tidak lupa kepada seluruh
pembicara, moderator, notulis, serta panitia yang telah bekerja keras, kami sampaikan
rasa simpati dan penghargaan yang tulus disertai doa semoga apa yang telah kita
lakukan menjadi amal kebajikan di sisi Allah SWT, sekaligus sebagai kontribusi nyata
kita membangun daerah dan negara tercinta.
Kami berharap bahwa sinergi dan kerjasama yang solid dan harmonis antara
PKP2A III LAN Samarinda dengan berbagai pihak dalam pelaksanaan Diskusi Terbatas
ini dapat dijaga dan lebih ditingkatkan kualitasnya pada waktu-waktu yang akan datang.
Hal ini sesuai dengan maksud pendirian PKP2A III LAN Samarinda untuk mendorong
dan memacu program-program kajian, pengembangan, serta pendidikan dan pelatihan
aparatur, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas SDM Aparatur sekaligus
kualitas kebijakan publik di daerah.
Akhir kata, kami menyadari sepenuhnya bahwa karya ini masih sangat jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik dari berbagai pihak sangat kami
nantikan dengan tangan dan hati terbuka lebar. Walaupun kamii sadar bahwa buku ini
masih sangat dangkal, kami tetap berharap bahwa karya sederhana ini dapat
menghasilkan manfaat yang optimal bagi bangsa dan negara. (Tri Widodo W. Utomo)
viii
BAGIAN PERTAMA
PEMAPARAN IDE DAN DISKUSI
INTERAKTIF
INTISARI SESSI I:
PILKADA LANGSUNG DAN UPAYA MEMPERKUAT PEMBANGUNAN
DAERAH: SEBUAH PENDEKATAN NORMATIF KONSEPTUAL
Drs. Hadi Sutanto (Pembicara I):
Pembicara yang membawakan makalah berjudul “Pokok-Pokok
Penyelenggaraan Pilkada Langsung Menurut PP No. 6/2005 dan Implikasinya di
Daerah” mengharapkan agar pilkadasung dapat menjadi ajang yang tepat untuk
pembelajaran demokrasi (civic education) kepada rakyat. Agenda pilkadasung ini
merupakan perwujudan dari otonomi dalam upaya mewujudkan kepemerintahan daerah
yang baik (good local governance). Berkaitan dengan kepemimpinan politik,
pilkadasung ini menjadi ajang kaderisasi kepemimpinan lokal yang pada akhirnya juga
akan menjadi pemimpin nasional yang dipilih langsung oleh rakyat. Untuk mengukur
tingkat keberhasilan pelaksanaan Pilkadasung ini, Hadi mengatakan ada lima aspek
yang patut dijadikan sebagai parameter, yaitu: pertama, proses penjaringan calon yang
sehat dan bekualitas; kedua, kampanye yang dilakukan oleh calon harus sebagai
perwujudan “kontrak politik” antara calon dengan masyarakat; ketiga, tidak adanya
praktek money politic yang merupakan perwujudan adanya kesadaran objektif
masyarakat; keempat, independency dan ketegasan KPU sebagai fasilitator; dan kelima,
adalah minimnya kekerasan atau konflik antar pendukung kandidat.
Drs. Desi Fernanda, M.Soc.Sc (Pembicara II):
Mengangkat tema berjudul “Pilkada Langsung dan Upaya Mewujudkan
Pemerintahan Daerah yang Bersih dan Bebas KKN (Good Local Governace)”, Desi
mengemukakan bahwa pilkadasung yang merupakan model local democracy ini telah
lama dipraktekkan ditingkat lokal di Indonesia yaitu dalam proses pemilihan kepala
desa yang dilakukan secara langsung. Pelaksanaan pilkadasung ini diharapkan dapat
mewujudkan good governance sebagai cita-cita pemerintahan modern yang melibatkan
tiga sektor, yaitu State atau Governance, Private Sector dan Civil Society. Perwujudan
Good Governance dan Good Local Governance akan meningkatkan penghormatan dan
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan, hal ini akan berkontribusi kepada
kinerja pemerintah.
Lebih lanjut Desi Fernanda menyampaikan bahwa hal lain yang diharapkan
dapat terkontribusikan oleh agenda pilkadasung ini adalah; kedewasaan berpolitik
(Political Maturity) dimana Pilkadasung tidak hanya dipahami sebagai ajang perebutan
atau mendapatkan kekuasaan tetapi lebih dimaknai sebagai public spirit and
development of intelligence, mencetak kader-kader pimpinan daerah maupun
calon-calon pemimpin nasional melalui proses penggodokan di tingkat daerah (Training
Leadership), Pilkadasung juga akan berkontribusi terhadap pencapaian/perwujudan
masyarakat yang lebih baik dan melanggengkan masyarakat yang harmonis (Community
Spirit dan Political Stability) terutama dalam menumbuhkan kemampuan untuk
berkompromi terhadap adanya perbedaan pendapat. Disamping itu, masyarakat dapat
mencapai kesetaraan politik (Politic Equality) dalam menentukan jalannya roda
pemerintahan di daerah; pilkadasungpun akan meningkatkan derajat akuntabilitas
(Accountability) penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Catatan penting yang diberikan oleh Desi Fernanda dalam kaitan
mensukseskan agenda pilkadasung ini yaitu, adanya partisipasi aktif dari masyarakat
untuk mengawal proses pilkadasung ini mulai dari awal sampai pada proses akhir;
mewaspadai penyalahgunaan wewenang oleh birokrasi, Polri, TNI dan terutama kepala
daerah yang sedang berkuasa (incumbent); fanatisme dan dukungan yang berlebihan
terhadap salah satu calon membuka peluang terjadinya konflik antar pendukung
disamping juga akan mempengaruhi kualitas calon yang terpilih dengan semata didasari
oleh pertimbangan emosional ketimbang rasional, adanya upaya merusak nama baik
seseorang calon melalui Black Campaign dan Negative Campaign yang juga akan
membuka peluang terjadinya konflik tebuka antar sesama pendukung calon yang tidak
bisa menerima calonnya dijelek-jelekkan; dan yang terakhir adalah kesiapan semua
pihak menerima kekalahan dalam proses Pilkadasung ini.
Hal ini semua dapat di antisipasi dan dipersiapkan secara matang dengan
membuat aturan main yang jelas serta sanksi hukum yang keras terhadap setiap
pelanggaran, dan sosialisasi terhadap aturan yang dibuat harus dilakukan secara luas
kepada masyarakat sebagai upaya pelibatan masyarakat secara aktif dalam proses
pilkadasung. Selain itu, sikap kenegarawanan serta kedewasaan pemilih dalam melalui
3
semua tahapan dalam proses Pilkadasung menjadi kata kunci akan suksesnya agenda
pilkadasung.
Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA (Pembicara III):
Mengangkat tema berjudul “Penguatan Grassroot Democracy dan Akselerasi
Pembangunan Daerah: Konvergen atau Divergen?”, Tri Widodo memaparkan bahwa
pilkadalangsung adalah buah dari reformasi. Paling tidak ada dua hal penting yang
harus dicapai melalui pilkadasung, yaitu penguatan demokrasi lokal dan kesejahteraan
rakyat. Yang menarik adalah ketika dimunculkan pertanyaan, apakah ada keterkaitan
antara demokrasi dengan pembangunan? Berbagai jawaban muncul dari pertanyaan itu,
baik yang positif maupun negatif (yang menyatakan ada dan tidak ada keterkaitan sama
sekali). Meski terdapat keraguan bahkan kontroversi tentang korelasi antara
pembangunan dan demokrasi, namun diantara kontroversi tersebut terdapat benang
merah yang dapat diambil, yaitu kedua-duanya (demokrasi dan pembangunan) penting
untuk suatu negara. Pembangunan tanpa demokrasi nampaknya kurang bermakna,
namun demokrasi tanpa pembangunan juga sangat ironis. Dan untuk mengakselerasi
kedua aspek tersebut secara seimbang dan proporsional, maka formulasi dan
implementasi kebijakan mengenai otonomi daerah dalam konteks ini memegang
peranan penting.
Lebih lanjut Tri Widodo menyampaikan, persoalan lain yang erat kaitannya
dengan demokrasi adalah konflik. Sejauh mana kontribusi dan keterkaitan antara kedua
aspek tersebut? Pertanyaan ini muncul seiring berbagai bentuk konflik yang terjadi
ditengah masyarakat dewasa ini, yang sepertinya telah menempatkan euphoria
demokrasi sebagai biang kerok-nya. Memang demokrasi tidak bisa memberikan
jaminan akan tidak adanya konflik dalam masyarakat. Namun paling tidak, bangsa yang
demokratis akan mampu membangun pranata sosial, sumber daya dan fleksibilitas
sistem yang lebih baik. Sehingga dalam jangka panjang akan mampu mengelola setiap
perbedaan dan sengketa secara damai. Karena sejatinya demokrasi itu anti terhadap
kekerasan.
Tri Widodo juga menyoroti kondisi riil perkembangan demokrasi di Indonesia
yang memang masih sangat jauh dari ideal, bahkan sepertinya telah menimbulkan
skeptisme ditengah-tengah masyarakat terhadap demokrasi. Menjawab persepsi
4
masyarakat tersebut perlu kiranya diberi pemahaman, bahwa demokrasi bukanlah
semata-mata kaitannya dengan mekanisme regulasi kekuasaan, dalam kaitannya dengan
pembangunan dan pemerintah yang demokratis, tetapi pemerintahan yang demokratis
juga harus mempunyai kemampuan atau kapasitas birokrasi untuk menjalankan
program-program pembangunan secara efektif. Kinerja pembangunan yang tinggi inilah
yang menjadi dasar legitimasi bagi pemerintah yang demokratis. Jadi bukan
semata-mata dari segi prosedural dan kemenangan secara angka-angka dalam satu
pemilihan.
5
INTISARI SESSI II:
KONDISI FAKTUAL DAN STRATEGI ANTISIPATIF PENYELENGGARAAN
PILKADA LANGSUNG
Drs. Syachruddin, MS.,MM (Pembicara IV):
Pembicara membawakan makalah berjudul “Implementasi Pilkada Langsung di
Daerah: Beberapa Potensi Masalah dan Strategi Pembinaan Aspek Pemerintahan”.
Pembicara mengemukakan bahwa kerjasama antara KPUD, DPRD, dan Pemda sangat
penting dalam proses pilkadasung ini. Ada beberapa hal yang menjadi titik rawan yang
harus diberikan perhatian khusus yaitu; penyusupan pihak-pihak yang tidak independen
(parpol) dalam pembentukan perangkat pilkadasung, kenetralan PNS, kerjasama KPUD
dengan instansi terkait, pendaftaran pemilih, pencalonan dua orang calon (calon yang
berbeda) oleh parpol yang sedang ada konflik internal, peluang terjadinya money politic
dalam proses pengajuan calon, black campaign (issue KKN, illegal logging, dll), proses
pencoblosan, proses penghitungan suara dan pasca penghitungan suara (kemampuan
menerima kekalahan).
M. Fadli, SE.,MM (Pembicara V):
Pembicara ke-5 mewakili Kepala Badan Kesbang Linmas Propinsi Kaltim yang
berhalangan hadir. Dengan topik berjudul Strategi Pemantapan Tatanan Nilai Kesatuan
Bangsa Dalam Proses Pilkada Langsung”, pembicara menyampaikan bahwa
pilkadasung diharapkan dapat melahirkan pemimpin yang legitimate yang mampu
membawa kehidupan rakyat di daerah semakin aman, damai, adil, demokratis dan
sejahtera. Komitmen semua komponen bangsa untuk mensukseskan agenda pilkadasung
ini, akan menjadikan pilkadasung sebagai ajang kompetisi yang sehat dalam
berdemokrasi. Dengan suksesnya pilkadasung ini diharapkan akan lebih mendewasakan
masyarakat dalam berdemokrasi.
Prof. Dr. HM. Jafar Haruna, M.Pd.,MS (Pembicara VI):
Pembicara terakhir membawakan materi berjudul “Langkah-langkah KPUD
Dalam Persiapan Teknis Penyelenggaraan Pilkada Langsung”. Dalam paparannya,
6
pembicara mengingatkan bahwa peranan KPUD dalam penyelenggaraan pilkadasung
baik di tingkat propinsi maupun Kabupaten sangat vital. Walaupun belajar dari
pengalaman kesuksesan pelaksanaan pemilu nasional 2004 yang tidak saja diakui oleh
publik nasional bahkan internasional ternyata tidak cukup menjadi garansi bagi lembaga
penyelenggaranya (KPU) untuk mendapat appreciation. Guru Besar Universitas
Mulawarman ini lebih jauh juga mengingatkan, menghadapi agenda pilkada yang sudah
sangat dekat, ada dua tugas pokok KPU yang perlu segera disiapkan dengan matang.
Pertama, menyiapkan petunjuk teknis yang bersifat pengaturan yang
mencakup; tahapan, program, jadwal waktu penyelengaraan, organisasi dan tata kerja,
petunjuk pelaksanaan pendaftaran pemilih, pemantau pemilihan, pencalonan, kampanye
serta pemungutan dan penghitungan suara.
Kedua, menyiapkan petunjuk yang bersifat penetapan yaitu; penetapan jumlah
pemilih, alat kelengkapan administrasi, penetapan pasangan calon, penetapan dan
pengumuman hasil rekapitulasi, penetapan kantor akuntan publik untuk mengaudit
laporan dana kampanye dan penetapan surat suara. Disamping itu beliau juga
mewanti-wanti agar semua pihak mewaspadai hal-hal yang mungkin akan menjadi
ganjalan dalam pelaksanaan Pilkadasung ini. Misalnya harus diberikan perhatian kepada
proses penetapan calon oleh KPUD yang sangat rentan menimbulkan money politic.
7
INTISARI SESSI DISKUSI
Issu-issu yang terlontar pada sessi tanya jawab atau diskusi interaktif sangat
beragam, mulai dari polemik mengenai dapat tidaknya Pilkada dikategorikan sebagai
Pemilu, indikasi penyalahgunaan kewenangan / kekuasaan pada setiap tahapan Pilkada,
hingga hal-hal teknis seperti jadual Pilkada dan persyaratan calon Kepala/Wakil Kepala
Daerah. Secara lebih lengkap, pemikiran yang berkembang selama seminar dapat
diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Adanya perbedaan penafsiran tentang Pilkada, apakah sebagai bagian dari Pemilu
(nasional) ataukah hal yang terpisah. Secara konseptual, Pilkada pada hakekatnya
juga merupakan Pemilu, namun sumber hukum yang mengaturnya ternyata berbeda.
Penyelenggaraan Pemilu lebih merujuk pada UU No. 22 dan 23 tahun 2003 dan UU
No. 12 Tahun 2005, yang secara teknis diatur lebih lanjut oleh Keputusan KPU.
Sedangkan penyelenggaraan Pilkada lebih diatur oleh UU No. 32 Tahun 2004 dan
PP No. 6 Tahun 2005, yang secara teknis ditindaklanjuti oleh Keputusan KPUD.
Mengingat adanya kerancuan istilah yang berpotensi menimbulkan kebingungan
dalam tataran pelaksana, LAN dimohon untuk dapat berperan untuk memberi
batasan-batasan secara akademik dan menetapkan perisitilahan secara baku, serta
memberi pedoman tentang hubungan antara KPU dengan KPUD.
2. Dalam fungsi pengawasan, keberadaan tim pemantau independen dapat
meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pilkada. Dalam hubungan ini, perlu
diperjelas tentang legalitas, status, dan mekanisme kerja berbagai tim pemantau ini,
serta aturan tentang pembentukan tim pemantau independen. Disamping itu,
keberadaan lembaga atau negara donor (funding agencies) dalam penyelenggaraan
Pilkadasung juga perlu diatur secara jelas.
3. Kendala teknis pelaksanaan Pilkadasung yang berbenturan dengan jadual UAN
(Ujian Akhir Nasional) untuk SMA. Sesuai peraturan, Pilkadasung harus
dilaksanakan pada hari libur atau hari yang diliburkan, namun pada kenyataannya
ketentuan tadi tidak selalu dapat dipenuhi. Untuk itu perlu dipikirkan pula aturan
main yang dapat menjamin berlangsungnya Pilkadasung maupun kepentingan lain
(misalnya UAN) secara harmonis.
8
4. Adanya indikasi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh para kandidat
bakal calon Kepala/Wakil Kepala Daerah (incumbent). Hal ini perlu diwaspadai dan
diawasi secara ketat tidak hanya oleh KPU D dan Panwas, tetapi juga oleh
stakeholders lainnya.
5. Mepetnya waktu persiapan penyelenggaraann Pilkadasung serta sosialisasi bagi para
calon pemilih. Hal ini perlu dibenahi untuk penyelenggaraan Pilkadasung periode
berikutnya (2006 dan seterusnya).
6. Perlunya kejelasan aturan dan antisipasi yang matang dalam hal kemunculan Calon
Tunggal. Apakah calon tunggal dapat diproses lebih lanjut, atau ada treatment yang
lain.
7. Potensi munculnya konflik “rebutan suara”, khususnya pada daerah-daerah yang
belum memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi secara jelas. Di Kalimantan Timur,
antara Kutai Timur dan Bontang masih terjadi sengketa wilayah. Beberapa desa
yang secara administratif berada di Kutai Timur, namun dalam hal kedekatan
geografis dan pemberian pelayanan publik lebih banyak mendapatkan pelayanan
dari Pemkot Bontang. Disamping itu, warga beberapa desa tadi juga menginginkan
agar wilayah mereka ditetapkan sebagai bagian dari wilayah administrasi Bontang.
8. Disamping potensi konflik diatas, perlu pula diwaspadai munculnya konflik yang
mengiri pelaksanaan Pilkadasung seperti persaingan yang kurang sehat antar para
kandidat, persiapan pendaftaran pemilih yang kurang maksimal, netralitas PNS
dalam setiap tahapan Pilkadasung, adanya fenomena “migran politik”, dan
sebagainya.
9. Adanya kecenderungan pemakaian anggaran secara agak berlebihan, misalnya
pengadaan baju dinas untuk tenaga Linmas sebesar 3 milyar rupiah di Kabupaten
Kutai Kartanegara. Disamping itu, antar daerah di Kaltim juga cenderung terjadi
perbedaan yang cukup menyolok tentang besaran biaya Pilkadasung.
10. Perlunya penegasan tentang netralitas birokrasi atau status seorang PNS dalam
proses penyelenggaraan Pilkada, apakah diperkenankan untuk menjadi panitia di
tingkat kampong / RT, misalnya sebagai panitia pemilihan.
11. Usulan tentang perlunya penambahan persyaratan bagi bakal calon Kepala/Wakil
Kepala Daerah, yakni larangan terlibat penggunaan Narkoba, baik bagi yang
bersangkutan maupun bagi anggota keluarganya.
9
Terhadap berbagai issu dan pemikiran yang dilempar para peserta tadi, para
narasumber pun memberikan tanggapan balik yang cukup beragam pula. Secara lebih
detil, jawaban atau komentar dari para pembicara atas pertanyaan / tanggapan dari
peserta dapat diuraikan sebagai berikut:
Tri Widodo W. Utomo mengatakan bahwa saat ini terjadi kegamangan berpikir
dan bertindak dikalangan pejabat dan instansi Pusat. Dengan kata lain, berbagai
peraturan yang mengatur tentang Pilkada (UU No.32/2004 dan PP No. 6/2005) yang
memposisikan Pilkada bukan sebagai bagian dari Pemilu, merupakan perwujudan dari
kegamangan pemerintahan pusat dalam pelaksanaan pilkada. Disatu pihak, pemerintah
pusat ingin mengatur semua aspek penyelenggaraan Pilkada, tapi dalam prakteknya
aturan-aturan yang dibuat tidak mampu menjawab problem yang ada di lapangan,
bahkan menimbulkan kebingungan dan perbedaan interpretasi berbagai pihak. Ini
artinya, pemerintah Pusat gagal mengantisipasi secara cermat berbagai kemungkinan
gangguan teknis yang mungkin timbul dari proses dan tahapan Pilkada di berbagai
daerah. Pemerintah seharusnya menyadari kekurangan dalam pengaturan secara total
seperti ini, sehingga semestinya hanya menyediakan aturan makro atau panduan
umumnya saja, sementara pelaksanaannya diserahkan kepada KPUD masing-masing
daerah secara tidak seragam (tergantung kondisi dan kebutuhan daerah yang
bersangkutan).
Secara konseptual maupun kepentingan pragmatis, Pilkada harus merupakan
bagian dari pemilu. Selama ini, praktek pilkada tidak dianggap sebagai bagian dari
pemilu karena adanya aturan-aturan baru dan perangkat baru yang terpisah dari proses
pemilu nasional. Inilah salah satu kesalahan mendasar dari desain Pilkada yang diatur
dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 6/2005. Pelaksanaan Pilkadasung ini seolah-olah
menjadi persoalan baru (terpisah dengan proses pemilu nasional) yang menyebabkan
segala hal dipikirkan dari awal kembali. Padahal semua perangkat pemilu nasional
masih sangat relevan untuk dioptimalkan dalam melaksanakan pilkada langsung. Pada
dasarnya tidak perlu dilakukan perubahan infrastruktur penyelenggaraan pemilu
presiden dan pemilu legislatif yang lalu seperti panwas, kotak suara, tinta, TPS, KPPS,
dan sebagainya, sehingga masih dapat dipertahankan dan digunakan untuk
penyelenggaraan pilkada. Bahkan aturan mengenai sistem dan prosedur pemilu nasional
10
juga masih applicable untuk pilkada. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada alasan
untuk memisahkan Pilkada dari konsepsi dan konstruksi Pemilu secara nasional.
Mengenai pengawas independen, selama ini telah ada dan perlu untuk
dikembangkan. Apalagi setelah adanya putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang
menyatakan bahwa KPUD harus bertanggungjawab kepada “publik”. Dengan adanya
putusan semacam itu, maka kelompok-kelompok masyarakat memiliki hak lebih besar
untuk terlibat dalam seluruh tahapan pelaksanaan Pilkada, khususnya yang menyangkut
aspek pengawasan / monitoring. Dengan kata lain, semakin banyak tim pengawas
independen dari kalangan masyarakat, berarti semakin mudah KPUD dalam
menjalankan kewajibannya untuk bertanggungjawab kepada publik.
Sementara itu Desi Fernanda mencoba menelusuri pengertian pemilu secara
semantic (kaidah kebahasaan). Pemilu berasal dari bahasan Inggris yaitu “election, to
elect” artinya pemilihan, memilih. Dilihat dari jenisnya, ada beberapa bentuk pemilihan,
misalnya government election atau parliament election. Kalau di Amerika Serikat,
election lebih erat kaitannya dengan presidential election. Sebenarnya proses pemilu
nasional dengan pilkada langsung ini harus menjadi kesatuan dari proses pemilu
nasional, jadi tidak perlu membentuk perangkat pelaksana yang baru dan terpisah dari
pemilu nasional.
Mengenai kaitan dengan hubungan KPU dengan KPUD dan Pemerintah, dalam
satu sistem tidak ada yang berdiri sendiri dalam arti tidak ada kaitan sama sekali. Dalam
satu sistem semua hal mempunyai hubungan dan keterkaitan antara yang satu dengan
lainnya, itu merupakan konsekuensi suatu sistem. Tuntutan agar KPUD itu mandiri
(independent) bukan harus diartikan KPUD tidak membutuhkan/berhubungan dengan
instansi yang terkait dengan pelaksaan pilkadasung ini (Independency does not mean
exclusive). Dalam hal ini, LAN (Lembaga Administrasi Negara) tidak bisa memberikan
kontribusi langsung (mengikat) dalam melahirkan kebijakan apa lagi aturan hukum
yang langsung berkenaan dengan pelaksanaan Pilkada. Sebab, LAN bukan sebuah
institusi hukum yang melahirkan satu aturan atau kebijakan, terlebih kebijakan tadi
menyangkut dimensi politik praktis.
Mengenai lembaga independen ada aturan mainnya dan siapa pun boleh
mendirikan lembaga pengawasan pemilu. Lembaga donor (funding agency) yang
membiayai lembaga pemantau ini banyak. Mekanisme kerja dari lembaga independen
11
ini bisa melihat peraturan peraturan yang ada.
Tentang penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), di negara maju berbeda
dengan kita, dimana di negara maju penyalahgunaan kekuasaan lebih dapat terukur
aspek accountability-nya. Sedangkan di Indonesia seringkali tidak dapat bersifat
accountable. Penyalahgunaan kekuasaan dalam praktek penyelenggaraan Pilkada ini
bisa di cegah melalui perumusan aturan-aturan yang membatasinya serta penegakan
aturan secara tegas.
Dalam hal sempitnya persiapan dalam penyelengaraan Pilkada, sangat mungkin
bahwa Pilkada tahun 2005 tidak berjalan secara optimal. Namun yang terpenting adalah
upaya untuk memaksimalkan, terutama melalui media-media yang ada hal ini supaya
masyarakat mendapat informasi yang cukup dan akhirnya akan berpartisipasi dalam
pilkada langsung ini.
Selanjutnya Hadi Sutanto menjelaskan bahwa pelaksanaan Pilkada di Kutai
Kartanegara (Kukar) pada tanggal 1 Juni 2005 sudah merupakan keputusan KPUD
sesuai PP. Menurut PP No. 6/2005, pilkada dilaksanakan pada hari libur atau hari yang
diliburkan. Pada saat penetapan tanggal 1 Juni 2005 sebagai pelaksanaan Pilkada, saat
itu belum ada edaran dari Departemen Pendidikan Nasional bahwa pada saat yang
bersamaan akan dilaksanakan ujian akhir untuk siswa SMU. Dengan demikian,
keputusan KPUD Kukar mendahului program Depdiknas. Oleh karena itu, akan
diusahakan agar Pilkada tetap berjalan tanpa mengganggu program ujian nasional.
Caranya, akan dikeluarkan aturan teknis misalnya dengan memundurkan pelaksanaan
Pilkada beberapa jam. Hal inipun harus sepersetujuan berbagai pihak yang terkait, yakni
KPUD, DPRD, Pemerintah Daerah, Gubernur dan KPUD Propinsi, dan sebagainya.
Memang dalam pelaksanaan pilkada lansgung secara nasional ini banyak
kendala, baik dari Depdagri maupun juga dari DPR. Kendala tersebut terutama dalam
segi waktu, dana, dan lain-lain. Untuk mengantisipasi ini Depdagri telah mengeluarkan
edara untuk pelaksanaan pilkada langsung tanpa perlu menunggu Peraturan Pemerintah.
Mengenai besaran dana Pilkada di Kukar, Hadi Sutanto menjelasakan bahwa
anggaran pelaksanaan Pilkada Langsung di Kutai Kartanegara yang tinggi, hal ini selain
karena faktor luas geografisnya yang luas, di Kutai kita juga mengadakan pengadaan
pakaian Linmas sebagai bagian dari pembinaan Linmas. Anggaran pilkada bersumber
12
dari APBD, namun karena ini adalah pilkada langsung yang pertama maka masih ada
sharing dana dari pemerintah pusat, namun begitu sampai sekarang belum jelas jumlah
dan kapan pencairannya. Dalam hal ini, penanggungjawab pilkada adalah KPUD
sementara peran pemerintah daerah lebih pada upaya membantu pemutakhiran data,
keamanan, fasilitator (dana), menegakkan netralitas PNS, dan sebagainya.
Pada sessi berikutnya, Syachruddin menegaskan bahwa mengenai calon
KDH/Wakil KDH yang sedang menjabat, tidak ada ketentuan pasti yang mengharuskan
calon bersangkutan untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Namun pada waktu
pelaksanaan kampanye, pejabat yang bersangkutan harus cuti. Meskipun tidak ada
keharusan untuk mengundurkan diri, namun demi tertib dan adilnya (fairness)
pelaksanaan Pilkada, maka perlu ditunjuk seorang pejabat.
Dalam hal ditemuinya penduduk / pendatang baru, sepanjang mereka telah
menetap paling sedikit 6 (enam) bulan, maka mereka telah memiliki hak suara pada
pilkada ini. Saat ini di wilayah Kalimantan Timur memang banyak warga transmigrasi
yang belum terdaftar, tapi mereka itu harus di daftar semua selama telah memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan.
Syachruddin juga menandaskan bahwa Pilkada langsung ini merupakan hak
otonomi daerah. Oleh karena itu, bagaimanapun Pemda harus memayungi agenda ini
dan berusaha mensukseskan hajat nasional ini. Sebab, kegagalan satu daerah dalam
pelaksanaan pilkada, berarti pula kegagalan seluruh bangsa. Untuk itu, diharapkan agar
semua pihak dapat mengambil peran aktif untuk mensukseskan pilkada langsung yang
pertama kali ada di Indonesia ini.
Menanggapi penanya lain, Syachruddin mengatakan bahwa pelaksanaan
Pilkada ini bukan hanya untuk mendorong terbangunnya demokrasi lokal, tetapi juga
sebagai prasyarat awal untuk menjalankan program-program pembangunan daerah
secara optimal dan aspiratif. Dengan demikian, kedua-duanya merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Adapun mengenai netralitas PNS, sebisa mungkin perlu
dihindarkan keterlibatan PNS dalam panitia pemilihan. Kalau memang sangat terpaksa
dalam suatu kampong / RT tidak ada yang mampu atau memenuhi syarat sebagai panitia
pemilihan, baru PNS dapat dijadikan sebagai panitia. Namun inipun harus dilakukan
secara sangat selektif. Mengenai kesiapan daerah dan KPUD di wilayah Kalimantan
Timur dalam pelaksanaan Pilkada, Syachruddin menjelaskan bahwa sampai sekarang
13
semua KPUD kabupaten/kota menyatakan siap, dan belum ada yang menyatakan
ketidaksiapannya.
Sementara itu Ketua KPUD Kalimantan Timur Jafar Haruna lebih banyak
bicara mengenai aspek teknis penyelenggaraan Pilkada dan kesiapan KPUD dalam
tahap persiapan hingga pelaksanaannya nanti. Dalam penjelasannya, Jafar Haruna
kembali menegaskan bahwa bagi warga transmigran yang sudah menetap 6 (enam)
bulan lamanya sebelum pilkada, maka langsung bisa didaftarkan dan ikut memilih. Ia
juga menyebutkan bahwa keterlibatan PNS dalam panitia pemilihan tetap dimungkinkan,
kalau sangat terpaksa dan tidak ada lagi orang lain (non PNS) yang mampu dan/atau
memenuhi syarat.
Menanggapi adanya usulan agar ditambahkan persyaratan baru bagi calon
KDH/Wakil KDH, yakni terbebas dari narkoba baik bagi dirinya sendiri maupun bagi
keluarganya, Jafar Haruna menjelaskan bahwa dalam peraturan secara detail memang
tidak ada. Namun ada syarat umum yakni “bertakwa kepada Tuhan YME”. Seseorang
yang terlibat narkoba, berarti dia tidak memiliki ketakwaan yang dalam terhadap Tuhan
YME. Selain itu, masyarakat akan bisa menilai tentang calon (dan keluarganya) apakah
bebas narkoba atau tidak. Kalau ternyata ada indikasi tersangkut dalam penggunaan
narkoba, semestinya masyarakat tidak memilihnya.
Tentang kemungkinan munculnya calon tunggal, Jafar Haruna menyatakan
sebagai hal yang tidak perlu dipermasalahkan, selama itu telah melalui proses yang
benar. Tapi kemungkinan calon tunggal sangat kecil peluangnya, dan di Kaltim sampai
sekarang belum ada indikasi kearah sana.
14
BAGIAN KEDUA
SAMBUTAN DAN MAKALAH
PEMBICARA
“PILKADA LANGSUNG DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI NEGARA”
SAMBUTAN KEPALA LAN-RI
PADA SEMINAR / DISKUSI TERBATAS FORUM SANKRI TENTANG
“PILKADA LANGSUNG:
ANTARA TUNTUTAN EFEKTIVITAS PEMERINTAHAN DAERAH DAN
HARAPAN MEMBANGUN DEMOKRASI LOKAL”
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua,
Yang terhormat Bapak Gubernur Kalimantan Timur atau yang mewakili,
Yang terhormat para peserta dan penyelenggara Seminar / Diskusi Terbatas,
Belum lama ini di tahun 2004 lalu, pemilihan presiden secara langsung
diselenggarakan dan sebagaimana kita ketahui hal itu merupakan fenomena baru dalam
perpolitikan di Indonesia. Model ini juga akan dilakukan di daerah-daerah untuk
pemilihan gubernur, bupati, walikota. Pemilihan kepala daerah (pilkada) yang akan
dilaksanakan secara langsung ini diharapkan akan menciptakan perekrutan pemimpin
lokal dengan standar jelas dan transparan, sehingga mampu menumbuhkan sikap
percaya masyarakat.
Hal ini menjadi perubahan luar biasa pada sistem pemerintahan di negeri ini.
Betapa hiruk-pikuknya agenda pemilihan kepala daerah di tanah air, karena sepanjang
Juni 2005 di 226 daerah akan dilaksanakan 11 pemilihan gubernur, 179 pemilihan
bupati dan 36 pemilihan walikota gubernur, bupati/walikota akan dipilih juga secara
langsung pada Juni 2005.
Dasar hukum pemilihan kepala daerah muncul dari pengaturan di tingkat
konstitusi. Pada salah satu sisi, pemilihan kepala daerah diletakkan dalam Bab IV
tentang pemerintahan daerah. Pasal Ayat (4) Undang-undang Dasar 1945 menentukan
bahwa gubernur, bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Dan didukung dengan
16
terbitnya UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan PP No. 6 tahun 2005
Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan
Wakil Kepala Daerah.
Tentu akan ada kendala baik kendala politis maupun kendala teknis yang akan
mengikuti perjalanan awal pelaksanaan pilkada secara langsung. Kendala politis ini
diantaranya masih kuatnya dominasi rekruitmen kepala daerah dari partai politik dan
masalah yang paling krusial adalah implikasi yang sangat luas atas model Pilkada yang
lalu dimana cenderung mengarah pada parktek-praktek politik praktis yang diwarnai
“money politic” pemerintahan yang kurang baik.
Besarnya biaya politik mengakibatkan pemimpin lokal yang terpilih akan
melakukan ‘balas dendam’ atas investasi yang ditanamkan dalam Pilkada. Jabatan,
akhirnya dimaknai sebagai instrumen untuk mendapatkan kembali investasi yang telah
ditanamkan. Politik uang sebenarnya hanya sebagian masalah besar selain korupsi,
kolusi dan nepotisme yang mengiringi proses kontestasi pemilihan kepemimpinan
daerah, masih banyak lagi masalah yang dapat terjadi dan menghilangkan arti proses
pemilihan itu sendiri, misalnya konflik antar para pendukung calon yang disebabkan
oleh perbedaan ideologis, heterogenitas dan dinamika kehidupan masyarakatnya.
Sementara itu yang mungkin menjadi kendala teknis diantaranya kesiapan
pemerintah daerah dalam masa persiapan pilkada, diantaranya yang perlu
dipertimbangkan adalah tingkat kesulitan geografis baik pada saat sosialiasi maupun
pada saat distribusi logistik untuk hari pemilihan serta estimasi ketersediaan logistik itu
sendiri – untuk itu pemerintah daerah harus menyiapkan dana yang sangat besar.
Namun dibalik kendala yang akan dihadapi, upaya untuk memberikan opsi
yang membawa angin segar pada proses pemilihan kepada daerah dan wakilnya sudah
di depan mata. Hal yang paling mendesak dari mekanisme pemilihan kepala daerah dan
wakilnya secara langsung di daerah memungkinkan masyarakat daerah untuk dapat
melakukan proses negosiasi demokrasi dan melangkah ke arah instalasi dan konsolidasi
demokrasi.
Diantaranya melalui uji publik bagi calon kepala daerah agar dapat diketahui
seberapa paham seorang calon kepala daerah akan membawa perubahan selama yang
bersangkutan memegang tampuk kepemimpinan. Uji publik ini dilakukan secara
terbuka di mana segenap komponen masyarakat berhak untuk mengetahui calon kepala
17
daerah sebelum dipilih. Uji publik sangat penting bagi pendewasaan politik masyarakat
pemilih maupun calon-calon kepala daerah itu sendiri. Dengan upaya ini secara sadar
atau tidak sadar masyarakat paham dan kemudian turut mengawasi pembentukan
struktur clean governance dan good local governance yang tidak dominatif.
Pilkada langsung dan tuntutan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan agar
terwujud good local governance merupakan dua sisi mata uang yang saling terkait.
Pilkada langsung sebagai alat untuk menemukan pemimpin lokal yang diharapkan
sesuai dengan hati nurani rakyat: memiliki moralitas tinggi, mendahulukan kepentingan
publik, memiliki komitmen tinggi dalam merespon setiap aspirasi masyarakat,
profesional, adil, dan mampu merealisasikan janji-janjinya. Sementara good local
governance sebagai proses penyelenggaraan kepemerintahan yang akan dijalankan oleh
pemimpin lokal terpilih untuk mencapai tujuan akhir: kesejahteraan masyarakat dan
pemberdayaan seluruh komponen di daerah. Karena itu, dasar pijakan pelaksanaan
prinsip-prinsip good local governance ini tetap harus merujuk pada bagaimana
persoalan KKN yang telah membudaya ini diselesaikan.
Dan upaya membentuk good governance di daerah dapat dimulai dari
penumbuhan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi pengelolaan negara serta
komitmen tinggi untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme termasuk
diantaranya melalui ajang pemilihan kepemimpinan daerah secara langsung oleh
masyarakat. Serta dengan memperhatikan prinsip-prinsip desentralisasi demokratik
bukan hanya pada aspek-aspek pembentukan otonomi pemerintahan daerah tetapi juga
pengembangan otonomi masyarakat daerah. Penyempurnaan program nasional
desentralisasi sekarang ini menjadi program desentralisasi demokratik akan makin
memaknai pengejawantahan prinsip otonomi secara menyeluruh di Indonesia
Bapak Gubernur dan peserta Diskusi Terbatas yang saya hormati,
Sebagai salah satu momentum yang memiliki potensi besar di mana
masyarakat dapat belajar di dalamnya adalah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah secara langsung. Demokrasi akan lebih mendalam dan sempurna bila proses
pengambilan keputusan makin mendekati pemiliknya yang sejati yakni rakyat.
Dulu model yang disering disebut Demokrasi Pancasila mempunyai
argumentasi bahwa DPRD memiliki kewenangan untuk memilih kepala daerah, akan
18
tetapi keputusan dan penetapan dilakukan oleh pemerintah pusat. Hal ini karena
pemerintah pusat harus mendapatkan gubernur, bupati atau walikota yang mampu
bekerja sama dengan pemerintah pusat. Bagaimanapun, gubernur atau bupati menurut
UU No. 5 tahun 1974 adalah kepala daerah sekaligus kepala wilayah yang merupakan
wakil pemerintah pusat. Bahkan pasal 80 undang-undang tersebut mempertegas
kedudukannya sebagai penguasa tunggal.
Di era reformasi, pilkada jauh lebih baik karena kewenangan DPRD untuk
memilih dan mengangkat kepala daerah sangat besar. Pasal 34 (1) UU No. 22 tahun
1999 menyatakan bahwa: “Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan” selanjutnya pada pasal 34
pada pasal 34 ayat (2) UU tersebut disebutkan bahwa “calon Kepala Daerah dan Calon
Wakil Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD melalui tahapan pencalonan dan
pemilihan”. Siapapun yang memperoleh suara mayoritas secara otomatis akan
mendapatkan posisi sebagai kepala daerah. Pemerintah pusat hanya bertugas
mengesahkan hasil yang telah disepakati di tingkat daerah.
Perkembangan terakhir sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 – Hal ini pun
mungkin tidak berarti tanpa cacat. Dalam praktek, money politic sangat umum terjadi.
Hal ini pun akan menjadi dilemma lain pelaksanaan pilkada langsung yang akan digelar
di banyak Daerah dalam waktu dekat ini – permainan politik uang dalam mekanisme
baru ini hanya mengalihkan sasaran politik dari anggota DPRD kepada pimpinan partai.
Artinya oligarkhi partai semakin kuat, sementara aspirasi politik masyarakat dibelenggu.
Selain itu adanya sinyalemen bahwa besarnya dana yang harus dikeluarkan baik oleh
kandidat maupun oleh pemerintah daerah lebih besar, bila dibandingkan pemilihan oleh
DPRD.
Namun di sisi lain sebagai sebuah hajatan publik, proses pemilihan kepala
daerah sangat mungkin untuk digunakan sebagai barometer tingkat kesadaran politik
masyarakat. Pilkada langsung seharusnya dimaknai pula sebagai sebuah bentuk
kebijakan publik yang sudah tentu berkonsekuensi keikutsertaan masyarakat dalam
pemilihan itu. Maka, kesadaran dalam mengartikan makna partisipasi masyarakat dalam
pemilihan itu, yakni Pilkada langsung merupakan manifestasi dari sebuah pengakuan
kedaulatan rakyat oleh penyelenggara negara. Rakyat menjadi stakeholder utama yang
sangat menentukan dalam proses pemilihan kepemimpinan lokal ini. Ini menimbulkan
19
konsekuensi tersendiri bahwa siapapun yang terpilih harus responsive terhadap berbagai
aspirasi atau tuntutan rakyat. Selain itu, pemerintah pusat tetap harus mengakui sebagai
pemimpin lokal pilihan rakyat.
Pilkada langsung memunculkan harapan baru yakni sebuah perubahan besar
dalam sistem pelayanan publik. Hal yang selama ini terabaikan oleh penyelenggara
pemerintahan di daerah. Hal ini sebagai dampak dari pengakuan negara terhadap
prinsip-prinsip demokrasi dan penghargaan kedaulatan rakyat. Setelah terpilihnya
pemimpin lokal, para aparatur negara di daerah akan semakin dituntut untuk
memperbaiki kinerja pelayanannya yang terbaik terhadap masyarakat. Keterkaitan
publik dalam menentukan kepemimpinan lokal harus juga disadari sebagai dasar
pertimbangan dalam merumuskan berbagai kebijakan, pelaksanaan dan evaluasinya.
Sehingga rakyat mendapatkan manfaat terbesar dari setiap kebijakan yang
dilahirkannya.
Sejalan dengan isu governance itu sendiri yang mulai memasuki arena
perdebatan pembangunan di Indonesia yang didorong oleh adanya dinamika yang
menuntut perubahan-perubahan di sisi pemerintah maupun di sisi masyarakat, ke depan,
pemerintahan dan pemimpin politik di negara ini diharapkan menjadi lebih demokratis,
efisien dalam penggunaan sumber daya publik, lebih tanggap serta mampu menyusun
kebijakan, program dan hukum yang dapat menjamin hak asasi dan keadilan sosial. Dan
sejalan dengan itu masyarakat juga menjadi lebih memiliki kesadaran akan hak dan
kewajibannya, lebih terinformasi, memiliki solidaritas, bersedia berpartisipasi aktif
dalam penyelenggaraan urusan publik, memiliki kemampuan untuk berurusan dengan
pemerintah dan institusi publik lainnya, dan tidak apatis.
Bapak Gubernur dan peserta Diskusi Terbatas yang saya hormati,
Salah satu syarat wujud demokratisasi adalah keikutsertaan rakyat dalam
proses pemerintahan daerah, masyarakat memiliki akses ke sistem pemerintahan
termasuk turut memberikan partisipasi dalam memilih siapa yang akan menjadi
pemimpin mereka.
Proses pilkada yang bebas dan demokratis, yang diikuti pula peningkatan
kualitas partisipasi rakyat, jelas merupakan asset yang perlu dijaga dan dipertahankan
agar pengelolaan perubahan secara mendasar benar-benar melembaga dalam kehidupan
20
kolektif bangsa kita. Semoga saja momentum yang sama semakin melembaga dalam
pemilu presiden putaran kedua, karena rakyat Indonesia ingin suatu perubahan
mendasar segera. Perubahan yang diinginkan ini pada tiga tataran yaitu pada tataran
pemimpin, tataran sistem, tataran penyelenggaraan pemerintahan daerah dan tataran
kinerja konkret penyelesaian masalah substantive secara efektif.
Dengan pemilihan kepala daerah secara langsung, maka elite yang terpilih akan
lebih akuntabel, responsif dan kredibel di mata rakyat pemilih (konstituen), bukan pada
fraksi-fraksi politik yang memilihnya atau pejabat-pejabat Pusat yang selama ini
cenderung ikut mempengaruhi hasil pemilihan Kepala Daerah. Dalam konteks tersebut,
dirasakan adanya suatu kebutuhan untuk melakukan rekonstruksi politik di tingkat lokal
sebagai konsekuensi logis dari perubahan politik yang disebabkan amandemen UUD
1945 dan disahkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan
Berdasarkan PP No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan Dan
Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.
Dengan kata lain, diperlukan adanya suatu model pemilihan kepala daerah
yang demokratis, melalui Pilkada langsung sebagai acuan yang dapat dijadikan
pedoman untuk melakukan pembangunan dan pemberdayaan politik di tingkat lokal.
Pilkada langsung di tingkat gubernur, bupati dan walikota sebenarnya menunjukkan
konsistensi pemerintah dalam menyikapi perkembangan demokrasi dalam politik
pemerintahan.
Karena dari segi tata pemerintahan dan administrasi negara, perimbangan check
and balance antara legislative dan eksekutif. Sistem pilkada langsung ini tentunya akan
berdampak pada sistem pertanggungjawaban kepala daerah dimana wacana yang ada
telah muncul kesalahan penerapan selama ini hingga berpengaruh pada penyimpangan
hubungan antara eksekutif dan legislatif. Hal yang paling demokratis adalah bahwa
kontrol atas kepala daerah berada di tangan rakyat yang memilihnya. Proses ini menuju
ke arah penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan baik.
Di samping pemilihan Kepala Daerah secara langsung dipandang sebagai
konsekuensi politis setelah adanya perundangan yang mengatur pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden secara langsung, diperkuat pula oleh kebiasaan masyarakat pedesaan
Indonesia dalam memilih kepala desanya, yang secara logis berimplikasi bahwa
masyarakat di tingkat lokal telah siap untuk berpartisipasi dalam pilkada langsung.
21
Dengan demikian, Pilkada langsung dapat diartikan juga sebagai bagian dari
agenda reformasi politik pasca Orde Baru, agar demokratisasi di tingkat lokal dapat
dibangun dengan baik. Karena selama tiga tahun implementasi UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, telah terjadi distorsi di dalam pemilihan Kepala Daerah.
Sekalipun political will pemerintah mengarah kepada implementasi
ketentuan-ketentuan tentang pilkada di daerah-daerah di Indonesia, sejauh ini belum ada
kajian yang secara khusus menfokuskan perhatiannya pada pembentukan model pilkada
secara demokratis dalam bentuk naskah akademik. Model pilkada yang demokratis
diperlukan, paling tidak, sebagai acuan akademik untuk penyusunan dan pelaksanaan
amanat konstitusional tersebut. Dengan demikian kajian ini akan difokuskan pada upaya
menyusun sebuah model pilkada yang demokratis.
Model pilkada yang demokratis hanya dapat dilaksanakan dengan pengelolaan
(manajemen) yang baik dan demokratis pula. Krisis demokrasi tersebut akan terus
berlanjut jika tidak segera dilakukan antisipasi kebijakan untuk membatasinya, yang
pada akhirnya akan berimplikasi bagi upaya mewujudkan good governance. Solusi
pemilihan langsung dalam memilih kepala pemerintahan (eksekutif) seperti pada
presiden, gubernur, bupati, dan walikota merupakan salah satu dari sekian banyak
metode yang bisa dilakukan untuk mengatasi krisis demokrasi.
Sehingga akhirnya manajemen pemilihan kepala daerah dan wakilnya sangat
diperlukan untuk meminimalisir kendala dan konflik yang akan mungkin selalu hadir
dalam proses panjang pemilihan itu sendiri. Karena, tak terkecuali pada proses
pemilihan pemimpin pada sebuah negara di dunia atau sebuah provinsi atau kabupaten
atau kota di Indonesia. Manajemen pemilihan ini merupakan upaya yang dilakukan agar
proses pemilihan tersebut dapat terselenggara dengan baik dan berhasil. Proses
manajemen pemilihan dipengaruhi juga oleh komitmen sebuah negara kepada
demokrasi dan yang lebih penting lagi adalah adanya perluasan legitimasi pemilih oleh
pemerintah.
Evaluasi penyelenggaraan pilkada yang akan dilaksanakan mulai bulan Juni
2005, dari segi manajemen akan dilaksanakan oleh Lembaga Administrasi Negara
melalui Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah
Namun selain hal yang telah dibahas sebelumnya masih perlu pula upaya
mendewasakan masyarakat daerah dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan
22
politik melalui pendidikan politik yang bukan hanya ditekankan pada aspek peningkatan
kesadaran dan pengetahuan, tetapi juga dengan melakukan fasilitasi kepada masyarakat
dengan tujuan untuk mendorong agar lebih menguatkan partisipasi politik dengan
secara langsung melibatkan mereka dalam melakukan kontrol kebijakan publik. Suatu
hal yang mustahil dapat terlaksana – walaupun peraturan kebijakan telah mendukung –
namun kesempatan ini tidak dimanfaatkan masyarakat dan elit politik di tingkat lokal
dengan sebaik-baiknya.
Bapak Gubernur dan peserta Diskusi Terbatas yang saya hormati,
Akhir kata, saya mengucapkan selamat mengikuti seminar ini semoga gagasan
dan ide-ide cemerlang dapat terlahir dari forum yang mulia ini, dan diharapkan dapat
bermanfaat bagi penyelenggaraan pilkada di wilayah Kalimantan Timur khususnya dan
Indonesia pada umumnya.
Wabillahittaufiq wal hidayah,
Wassalamu ‘alaikum Wr.Wb.
Samarinda, 14 April 2005
Lembaga Administrasi Negara
Kepala
Anwar Suprijadi
23
PIDATO PEMBUKAAN
GUBERNUR PROPINSI KALIMANTAN TIMUR
PADA SEMINAR / DISKUSI TERBATAS FORUM SANKRI TENTANG
“PILKADA LANGSUNG:
ANTARA TUNTUTAN EFEKTIVITAS PEMERINTAHAN DAERAH DAN
HARAPAN MEMBANGUN DEMOKRASI LOKAL”
Yth. Bapak Kepala LAN RI,
Yth. para Pembicara / Nara Sumber,
Yth. para Undangan dan hadirin sekalian yang berbahagia,
Assalamu’alaikum wr wb.
Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua,
Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang
telah mencurahkan karunia-Nya, sehingga kita dapat bertemu dalam sebuah acara yang
saya nilai cukup penting dan strategis, yakni Seminar / Diskusi Terbatas tentang Pilkada
Langsung di Daerah.
Secara pribadi, saya menyambut positif digelarnya seminar ini. Pelaksanaan
Pilkada Langsung yang sebentar lagi akan kita hadapi di berbagai daerah, bukan saja
memerlukan persiapan teknis yang cermat, namun juga prediksi yang tajam serta
pemikiran dan pengkajian yang mendalam mengenai kemungkinan-kemungkinan yang
timbul dari pelaksanaan Pilkada, implikasi yang muncul dari adanya kebijakan terkait,
serta saran-saran kebijakan tentang apa-apa yang harus dilakukan dalam usaha untuk
menghadapi berbagai kemungkinan dan implikasii tadi.
Bagi bangsa Indonesia, pelaksanaan Pilkada Langsung adalah momentum
strategis bagi kelangsungan demokrasi di negeri ini. Oleh sebab itu, tugas kita adalah
menjaga momentum tersebut dengan sebaik-baiknya. Caranya, kita dituntut untuk
meningkatkan komitmen perjuangan dan pengabdian kepada masyarakat. Pilkada
Langsung bukanlah momentum bagi seorang individu yang mampu, berpengaruh, dan
kuat, untuk menonjolkan diri dan kelompoknya. Pilkada Langsung adalah momentum
untuk mengembalikan rakyat pada posisi yang semestinya, yakni sebagai pemberi
24
mandat dan sebagai pihak yang harus mendapat pelayanan prima, bukan sebaliknya.
Untuk itu, saya sangat berharap bahwasanya semua pihak turut merasa
bertanggungjawab dan ikut mengawasi jalannya Pilkada Langsung, sehingga pesta
demokrasi rakyat nanti tidak sampai menodai prinsip-prinsip demokrasi.
Bapak Kepala LAN dan hadirin sekalian yang saya hormati,
Lahirnya UU No. 32/2004 yang disusul dengan pemberlakuan PP No. 6/2005
telah memberi landasan yuridis konstitusional yang kuat bagi berjalannya proses
demokratisasi di tingkat akar rumput. Tidaklah aneh jika dewasa ini, jajaran pemerintah
daerah Propinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia sedang berkejaran
dengan waktu, berkenaan dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah secara langsung. Namun nampaknya, hajatan nasional ini bakal
mengalami beberapa hambatan yang cukup serius. Disamping waktu persiapan yang
sangat mepet, aturan main Pilkada Langsung sendiri masih membingungkan dan
mengundang multi tafsir (debatable). Secara teknis, hal tersebut diperparah dengan
belum mantapnya akomodasi dan logistik Pilkada, serta terbatasnya dana yang tersedia
baik dalam APBD maupun kucuran dana dari Pusat.
Itulah sebabnya, semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada
Langsung ini dituntut untuk selalu memantau lalu lintas informasi sekaligus melakukan
langkah-langkah pembenahan dan penyesuaian atas seluruh dimensi penyelenggaraan
Pilkada Langsung yang diperlukan. Ketidaklengkapan dan ketidakakuratan adminisratif,
kekurangseriusan dan kekurangpahaman dari aparat pelaksana, serta keterlambatan dan
ketidaksepurnaan pelaksanaan Plkada Langsung hanya akan berdampak pada tidak
optimalnya upaya mewujudkan pemerintahan daerah yang demokratis, akuntabel,
transparan, partisipatif, terkontrol, serta berkinerja tinggi.
Mengingat adanya kemungkinan kendala yang saya sebutkan diatas, maka
proses penyelenggaraan Pilkada Langsung harus dijamin terbebas dari adanya
asymmetrical information dan nonconforming perception diantara perumus kebijakan,
pelaku atau pelaksana di tingkat lapangan, serta kalangan stakeholders yang terlibat.
Informasi yang tepat dan akurat, serta kesamaan persepsi antar berbagai pilar
penyelenggara Pilkada Langsung, merupakan prasyarat bagi terwujudnya kualitas
Pilkada yang tinggi.
25
Dalam rangka menjalin sinergi antar pihak, serta didasari keinginan untuk
menumbuhkan kepedulian dan cita-cita bersama (shared vision) diantara para pilar
pelaksana Pilkada itulah, maka saya sangat menghargai inisiatif PKP2A III LAN
Samarinda dan Badan Kesbang Linmas Propinsi Kalimantan Timur untuk mengadakan
acara seminar ini.
Saya sangat berharap bahwa dari hasil seminar ini akan dapat dirumuskan
berbagai rekomendasi kebijakan makro maupun mikro yang secara aplikatif dapat
menjadi rujukan dalam membenahi berbagai aspek penyelenggaraan Pilkada Langsung,
khususnya di wilayah Kalimantan Timur. Walaupun Kalimantan Timur selama ini
terkenal sebagai salah satu daerah yang paling tenang dan kondusif di Indonesia, namun
bukan berarti terbebas dari potensi konflik horizontal maupun vertikal. Oleh karena itu,
pengamatan yang cermat, antisipasi yang akurat, serta penanganan yang tepat atas suatu
kondisi sosial tertentu, akan sangat menentukan berhasilnya program-program
pemerintahan, termasuk Pilkada Langsung ini.
Sekali lagi, saya menyampaikan banyak terima kasih atas usaha dan kerja keras
yang telah ditunjukkan oleh penyelenggara Seminar ini. Saya berharap agar kepekaan
kita sebagai aparat daerah semakin tajam terhadap issu-issu aktual yang berkembang di
tengah masyarakat, sekaligus memiliki kehendak yang kuat untuk mengurai berbagai
persoalan yang ada di tengah masyarakat tadi melalui upaya-upaya sistematis baik
secara akademis maupun kebijakan.
Akhirnya, dengan memohon rahmat Allah SWT, saya nyatakan Seminar /
Diskusi Terbatas tentang “Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan
Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal”, saya nyatakan secara resmi
DIBUKA.
Wabillahit taufiq wal hidayah,
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Samarinda, 14 April 2005
Gubernur Kalimantan Timur
Suwarna AF.
26
POKOK-POKOK PENYELENGGARAAN
PILKADA LANGSUNG MENURUT PP. NO. 6 TAHUN 2005
DAN IMPLIKASINYA DI DAERAH 1
Oleh: Drs. Hadi Sutanto
(Direktur Partisipasi Politik dan Lembaga Perwakilan Depdagri;
Pj. Bupati Kutai Kartanegara)
Pendahuluan
Sekitar tiga bulan lagi sejumlah darah di Indonesia akan menyelenggarakan
pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat. Tercatat 173
kabupaten/kota akan melaksanakan pilkada pada bulan juli 2005. Bahkan dari 173
daerah, lima dari kabupaten/kota tersebut adalah di provinsi Kalimantan Timur
masing-masing; Kabupaten Kutai Kartanegara, Pasir, Berau, Bulungan dan Kota
Samarinda. Sedangkan untuk Kabupaten Kutai Kartanegara akan melaksanakan Pilkada
yang pertama kali di Indonesia pada tanggal 1 Juli 2005.
Biasa dibayangkan betapa riuhnya dunia perpolitikan kita saat itu. Sebab,
meskipun Pilkada tidak banyak melibatkan pemerintah pusat secara langsung tapi apa
yang terjadi diberbagai daerah itu pasti mempunyai pengaruh secara nasional, terutama
stabilitas politik dan keamanan.
Di sinilah diperlukan antisipasi dan koordinasi dari berbagai pihak, terutama
aprat keamanan, pimpinan politik, dan juga tokoh masyarakat dan agama. Peran mereka
sangat besar untuk memberi keamanan kepada masyarakat bahwa pilkada secara
langsung oleh rakyat di maksudkan untuk mencari pimpinan daerah yang terbaik pada
gilirannya bisa diharapkan membawa masyarakat setempat pada kehidupan yang lebih
baik pula.
1
Makalah disajikann dalam Diskusi Terbatas Forum SANKRI “Pilkada Langsung: Antara
Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal”,
diselenggarakan oleh PKP2A III LAN Samarinda bekerjasama dengan Badan Kesbang Linmas
Prop. Kalimantan Timur, Kamis, 14 April 2005.
27
Di sisi lain, adanya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat kita
dengan pemenuh semangant dan suka cita Pilkada secara langsung ini boleh dikata
merupakan buah Reformasi yang diperjuangkan oleh segenap komponen bangsa.
Sebelumnya eformasi juga membuahkan pemilihan presiden dan wakil presiden secara
langsung.
Karena itu, pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat yang baru
pertama kali ini, harus kita tangkap sebagai kesempatan emas. Dengan pilkada secara
langsung itu rakyat dapat memilih pimpinannya sendiri secara langsung. Dalam Pilkada
seperti ini rakyat benar-banar menjadi subyek dan bukan lagi sebagai objek atau sekedar
pelengkap penderita.
Menuju Pilkada Yang Demokratis
Berbeda dengan pemilihan presiden – wakil presiden, Undang Undang Dasar
1945 tidak secara eksplisit menentukan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih secara langsung. Pasal 18 ayat (4) UUD1945 mengamanatkan bahwa gubernur,
bupati dan wali kota masing- masing sebagai sebagai kepala pemerintah privinsi,
kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
Dalam waktu cukup lama, frasa “dipilih secara demokratis” tersebut
menyisakan perdebatan karena ada yang berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah
tidak perlu dilakukan secara langsung. Perdebatan itu mereda ketika UU No. 22 tahun
2003 tentang susunan kedudukan anggota Legislatif tidak lagi memberikan kewenangan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk memilih kepala daerah dan
wakil kepala daerah.
Di samping itu, dalam menjaga konsistensi dengan pemilihan presiden, maka
frasa dipilih secara demokratis dipersempit menjadi pemilihan secara langsung.
Penyempitan makna itu dapat dibaca dalam pasal 56 ayat (1) UU. No. 32 tahun 2004
tentang perintah daerah bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam
wakil pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas luber dan
jurdil.
Pemilihan kepala daerah (Plkada) secara langsung yang akan dilaksanakan Juni
2005 adalah sarana perwujudan kedaulatan rakyat, oleh karena itu Pilkada langsung
merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil
28
presiden, DPR, DPD bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
Ada empat pertimbangan penting dalam penyelenggaraan Pilkada langsung
bagi perkembangan demokrasi di Indinesia.
Pertama, Pilkada Langsung merupakan perwujudan konstitusi dari UUD 1945.
seperti diamanatkan Pasal 18 ayat (4) UUD1945, Gubernur, Bupati dan Walikota,
masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota
dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur pula dalam UU. No. 32 tahun 2004.
tentang pemerintahan daerah jo. Peraturan Pemerinatah No. 6 tahun 2005.
Kedua, Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi
masyarakat (civic education), yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif
segenap elemen masyarakat tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai
nuraninya.
Ketiga, Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.
Keberhasilan otonomi daerah salah satunya ditentukan oleh pemimpin daerah. Semakin
baik pemimpin daerah yang dihasilkan dalam Pilkada langsung, maka komitmen
pemimpin daerah yang dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan
aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
Keempat, pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi
kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, pigur kepemimpinan nasional amat
terbatas. Dari jumlah penduduk indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin
nasional yang kita miliki hanya bebrapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai
politik, karena itu harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari Pilkada
langsung ini.
Pilkada dimaksudkan sebagai awal menciptakan sistem pemerintahan daerah
yang baik, syarat utama yang mutlak diperlukan adalah pemimpin yang terpilihharus
jujur, berkredibilitas, cerdas dan mampu menjalankan program-program pembangunan
secara nyata. Secara sistematik lambat laun Pilkada diakui sebagai bagian proses
penting yang mempengaruhi masa depan masyarakat daerah. Kekhawatiran salah
memilih pimpinan daearah menjadi faktor penting tumbuhnya kepedulian mengikuti
proses Pilkada. Fenomena ini akan menjadi bola salju yang harus menggelinding dan
terus membesar.
29
Pilkada dapat kehlangan makna bila parameter keberhasilan hanya diteropong
sebatas partisipasi masyarakat. Ada beberapa aspek lain yang sangat menentukan untuk
menilai kualitas Pilkada, antara lain:
1. Penjaringan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilakukan oleh partai
politik. Bila partai politik itu sehat dan berkualitas maka akan memberikan
kesempatan kepada kader terbaiknya dan juga memberikan kesenpatan secara
terbuka kepada calon Independen untuk kompetisi pada Pilkada.
2. Kampanye calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, program yang disampaikan
saat kampanye merupakan janji yang harus dilaksanakan bila terpilih. Namun secara
de jure tidak ada sangsi hukum yang dapat menjerat bila calon memilih tidak
melaksanakannya. Dalam Undang-undang memang tidak diatur janji kampanye
dapat dijerat hukum. Disisi lain program yang bagus tidak tidak menjadi jaminan,
paling utama bagaiman kredibilitasdan kemampuan calon sanggup melaksanakan
program setelelah terpilih. KPUD bisa memfasilitasi “Kontrak Politik” antara para
calon dengan masyarakat.
3. Tahapan pemilihan oleh masyarakat. Minimnya prektik money pilitic dan semakin
tingginya objektivitas masyarakat dalam pemilihan akan mempengaruhi derajat
kualitas Pilkada itu sendiri.
4. Independensi dan ketegasan KPUD sebagai penyelenggara Pilkada secara langsung.
5. minimnya kekerasan pilitik atau konflik antar pendukung.
Terlepas dari semua itu, pilkada secara langsung merupakan hal baru dan
sarana belajar bagi semua pihak. Berangkat dari pengalaman melaksanakan Pilkada
secara serentak diseluruh tanaha air, rakyat dan semua pihak dapat menimba pelajaran
meningkatkan kualitas demokrasi. Kedepan, semangat terbuka kemungkinan melakukan
perbaikan-perbaikan. Inilah hakikat Pilkada terpenting, pendidikan polotok instensif dan
massal terutama bagi parpol dan rakyat.
Optimisne Kutai Kartanegara Hadapi Pilkada Langsung
Proses Pilkada secara langsung dilakuknetapan pemilihan dalam beberapa
tahapan, anatara lain meliputi tahapan persiapan, penyelenggaraan pemilihan, penetapan
pemilih dan penetapan pasangan calon, kampanye, pemungutan suara, penetapan
pasangan calon terpilih dan pelantikan. Semua ini diatur didalam peraturan pemerintah
30
No. 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Tahapan Pilkada sebagaimana tersebut diatas untuk Kutai Kartanegara
penjadwalannya telah dibuka oleh KPUD Kutai Kartanegara sebagai:
1. Pendaftaran pasangan calon di KPUD tanggal 21 – 27 Maret.
2. Verifikasi administrasi terhadap pasangan calon 28 maret s/d 3 April 2005
3. Pengumuman pasangan calon hasil Verifikasi KPU 25 April 2005
4. Penarikan nomor urut pasangan calon di KPUD 2 mei 2005
5. Penyampaian visi dan misi pasangan calon di KPUD 2 mei 2005
6. Masa Kampanye (14 hari) 9 – 22 mei 2005
7. Masa tenang23 – 25 mei 2005
8. Pencoblosan /pemungutan suara 25 Mei 2005 ( diundur tanggal 1 Juni 2005, hasil
konsultasi Pemkab, DPRD dan KPUD dengan Depdagri).
Untuk Kabupaten Kutai Kartanegara Pilkada secara langsung akan
dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2005 mendatang. Waktu efektif yang tersisa dirasakan
sangat pendek sekali, sekitar satu setengah bulan. Waktu yang pendek ini kirianya dapat
dimanfaatkan secara efektif dan efisien khususnya bagi pihak pelaksana.
Sosialisasi PP. No. 6 Tahun 2005
Sebagaimana diketahui bersama bahwa, Kabupaten Kutai Kartanegara akan
melaksanakan Pilkada langsung yang pertama kali pada tanggal 1 Juni 2005. Pilkada
langsung merupakan implementasi demokrasi lokal dan suatu yang baru dalam
menyelenggarakan pemerintahan khususnya didaerah. Sebagaimana suatu yang baru,
tentunya dituntut untuk mengetahui dan memahami dengan benar dari pelaksanaan
Pilkada tesebut. Dalam konteks ini, dituntut untuk mempelajari secara seksama tentang
berbagai peraturan dan ketentuan yang ada, salah satunya adalah PP.NO.6 Tahun 2005.
Untuk memberikan pemahaman secara merata kepada seluruh komponen dan
aparatur Pemkab, telah dilaksanakan sosialisasi oleh pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara pada 18 Kecamatan sejak tanggal 30 Maret 2004 dan berakhir pada tanggal
6 April 2005 yang baru lalu. Dalam pelaksanaannya sosialisasi ini dibagi kedalam tiga
zona, yaitu zona hulu, tengah dan pesisir, dengan masing-masing zona meliputi enam
kecamatan.
31
Setelah melaksanakan kegiatan sosialisasi teknis pelaksanaan Pilkada langsung
di tingkat kecamatan, Tim sosialisasi Pemkab Kutai Kartanegara melanjutkan sosialiasi
kepada pejabat dilingkungan Pemkab Kutai Kartanegara, khususnya bagi pejabat eselon
II, III dan IV. Diharapkan bagi pejabat yang telah melakukan sosialisasi ini agar
nantinya dapat melaksanakan secara internal sosialisasi di instansinya masing-masing.
Dengan demikin sasaran sosialisasi ini dapat terpenuhi secara berjenjang.
Kemudian, Tim sosialisasi juga teleh menjadwalkan kegiatan berikutnya yaitu
kegiatan sosialisasi dengan zona khusus, seperti Rutan, Lokalisasi dan siswa SMU kelas
3 selaku pemilih pemula serta kalangan mahasiswa.
Pemutahiran Data Penduduk
Salah satu elemen penting dalam pelaksanaan pilkada adalah pelaksanaan
pemutahiran data penduduk. Berdasarkan data sementara dari Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kabupaten Kutai Kartanegara, pemilih dalam pilkada 1 Juni 2005
sebanyak 358.441 jiwa. Jumlah data pemilih seluruhnya belum terentri secara
keseluruhan, sebab diantaranya ada beberapa kecamatan yang belum masuk datanya ke
pusat data ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Mudah-mudahan pada tanggal 23
April 2005 data pemilih pilkada dapat diserah terimakan dengan KPUD Kutai
Kartanegara.
Dalam rangka pemutakhiran data penduduk pilkada 2005 Disduk Capil
memberikan kompensasi Rp.1000,-/jiwa penduduk di mana pada pelaksanaan pemilihan
presiden yang lalu untuk kompensasi pendataan penduduk hanya sebesar Rp.500,-/jiwa
penduduk.
Sementara itu, dalam rangka pendaftaran penduduk pilkada 2005, Disduk Capil
membuat membuat tanda khusus pada setiap rumah penduduk yang telah selesai di data
oleh RT di 18 Kecamatan terkait pilkada di Kabupaten Kutai Kartanegara Tanda khusus
(stiker) ini diperlukan untuk menghindari gelombang protes masyarakat yang merasa
tidak terdata akibat kelalalian RT, sehingga mereka terancam tidak bisa ikut pilkada
pada 1 Juni 2005.
Pengamanan Pilkada
Dalam rangka penanganan keamanan dan ketertiban pilkada di Kutai
32
Kartanegara pada tanggal 1 Juni 2005, berbagai instansi pemerintah dan lembaga
lainnya tengah mempersiapkan diri menyongsong pelaksanaan pesta demokrasi pertama
itu dilakukan. Berkaitan dengan pengamanan yang dilaksanakan oleh TNI dan Polri,
dalam hal ini Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang Linmas)
salah satu diantarnya sudah menyiapkan 4.508 personel Linmas.
Lebih lanjut mengenai kompensasi pengamanan para personel Linmas tersebut
perorangannya mendapatkan Kompensasi sebesar Rp.75.000/-/hari dan dihitung masa
kerjanya selama 3 hari.
Jika keamanan terjamin maka tidak ada kekhawatiran masyarakat untuk datang
ke TPS. Untuk menjamin keamanan dan ketertiban memang harus melibatkan seluruh
masyarakat, walaupun sudah ada pihak yang bertanggung jawab, yakni Polri dan TNI
dan Kesbang Linmas. Tiga instansi ini dalam pilkada mempunyai empat tugas antara
lain pengamanan, pengawalan, perizinan dan penegakan hukum,
Pengamanan ini untuk menghindari pihak-pihak yang ingin mengganggu
pelaksanaan pilkda. Kemudian, melakukan pengamanan selama berlangsungnya pilkada
disetiap TPS di 18 Kecamatan. Setiap TPS diamankan 2 petugas Linmas, satu anggota
TNI/Polri.
Kutai Kartanegara Sebagai Pilot Project Pilkada
Pilkada langsung 1 Juni 2005 di Kutai Kartanegara merupakan Pilot Project
secara nasional karena akan dihadiri oleh para pengamat dari dalam maupun luar negeri,
serta sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Disamping itu pula akan dihadiri
pula pengamat dari KPUD beserta Pemerintah Kabupaten/Kota di Kaltim maupun
Indonesia serta LSM dari dalam dan luar negeri. Para pengamat ini akan memonitor tata
cara maupun pilkada langsung yang petama kali dilakukan di Indonesia.
Rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pilkada langsung ini adalah
untuk mempertaruhkan nama baik daerah dn masyarakat Kutai Kartanegara dimata
daerah lain dan Internasional. Namun, dengan rasa optimisme bahwa dengan keseriusan
semua pihak, serta komitmen yang tinggi dari seluruh elemen masyarakat Kutai
Kartanegara, maka pilkada langsung ini akan dapat berjalan dengan lancar dan sukses.
33
Penutup
Pilkada secara langsung merupakan lompatan secara spektakuler dalam
kehidupan bangsa dan negara khusnya daerah. Momentum pilkda diharapkan
menghasilkan pimpinan yang baik untuk menggerakkan pemerintahan daerah yang
berjiwa abdi masyarakat dan professional.
Bebagai persoalan yang mewarnai pilkada menjadi ujian semua pihak yang
terlibat. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), Pemerintah Daerah, DPRD, Calon
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Partai Politik dan masyarakat sendiri memiliki
peran strategis dalam menentukan keberhasilan pilkada. Bagaimanapun juga, pilkada
langsung merupakan perwujudan kedaulatan rakyat. Semua pihak harus mendukungnya.
Dengan demikian, dalam pelaksanaan pilkada nanti semua pihak tetap optimis
menyongsong pesta demokrasi lokal dan diharapkan pada pelaksanaan pilkada nanti
jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan akan berdampak buruk terhadap
sistem demokrasi di tanah air.
Bersama-sama kita menunggu dan berdoa semoga pelaksanaan pilkada yang
pertama ini berlangsung sportif dan menghasilkan Kepada Daerah/Wakil Kepada daerah
yang terbaik bagi masyarakat Daerah masing-masing.
34
PILKADA LANGSUNG DAN UPAYA MEWUJUDKAN
PEMERINTAHAN DAERAH YANG BERSIH DAN BEBAS KKN
(GOOD LOCAL GOVERNANCE) 2
Oleh: Drs. Desi Fernanda M.Soc. Sc
(Kepala Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I LAN Bandung)
Pendahuluan
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang akan dimulai pada bulan Juni
2005 merupakan suatu tonggak sejarah dalam Sistem Pemerintahan Daerah di
Indonesia. Dunia akan kembali menyaksikan eksperimen lanjutan dari skenario besar
demokrasi di Indonesia, suatu negara yang selama puluhan tahun terkungkung oleh
otoritarianisme. Akankah kesuksesan penerapan demokrasi di Indonesia akan berlanjut
setelah pemilihan presiden yang telah berlansung secara aman, tertib dan damai ?
Untuk pertama kalinya Pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung
oleh pemilik kedaulatan yakni rakyat. Walau pun konsepsi Pemilihan Kepala Daerah
secara langsung pernah diterapkan secara yuridis yakni dalam UU 1 Tahun 1957,
namun sampai UU tersebut diganti oleh UU 18 Tahun 1965, Pemilihan Kepala daeraha
secara langsung belum bisa direalisasikan. UU 32 Tahun 2004 kembali menggagas
Pilkada langsung dan akan memulainya hajatan tersebut pada bulan juni tahun ini.
Tahun 2005 direncanakan sebanyak 215 kabupaten/kota dan 11 provinsi yang
menggelar pilkada langsung dan pada bulan Juni ini terdapat 173 kabupaten/kota dan
tujuh provinsi yang menyelenggarakan pilkada. Berdasarkan Desk Pusat Pilkada
Depdagri di Jakarta saat ini hanya 28 kabupaten/kota yang belum siap menggelar
pilkada pada bulan Juni. Pesta demokrasi ini diperkirakan akan menelan biaya sekitar
2
Makalah disajikann dalam Diskusi Terbatas Forum SANKRI “Pilkada Langsung: Antara
Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal”,
diselenggarakan oleh PKP2A III LAN Samarinda bekerjasama dengan Badan Kesbang Linmas
Prop. Kalimantan Timur, Kamis, 14 April 2005.
35
2,28 trliun belum termasuk biaya pendukung antara lain biaya keamanan yang bisa
mencapai Rp 4 milyar sampai dengan Rp. 5 miliar.
Didasarkan pada fakta-fakta tersebut, Dimana biaya pesta demokrasi di daerah
menghabiskan dana yang tidak sedikit. Yang menjadi pertanyaan apakah pengorbanan
yang besar itu akan sepadan dengan hasil yang didapat yakni menghasilkan pimpinan
yang menjadi panutan dan suri tauladan bagi rakyatnya sehingga cita-cita good and
clean governance akan dapat diwujudkan.
Perkembangan Dinamika Otonomi Daerah
Otonomi Daerah telah menjadi komitmen bangsa sebagai salah satu
perwujudan reformasi nasional di segala bidang melalui pemberlakuan
Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, serta
seluruh peraturan pelaksanaannya. UU tersebut menyatakan bahwa penyelenggaraan
otonomi daerah dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip
demokrasi, peran-serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan
potensi dan keaneka-ragaman Daerah.
Berdasarkan hal itu, pemberian otonomi kepada daerah pada hakekatnya
bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin
baik, mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta
memelihara hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar-Daerah dalam
rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan asas-asas desentralisasi dan
tugas pembantuan dengan hakikat otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab,
lebih ditekankan pada Daerah Kabupaten dan Kota melalui penyerahan kewenangan
dalam bidang pemerintahan yang luas. Sementara pada daerah Propinsi kewenangan
otonomi yang diserahkan relatif terbatas pada bidang-bidang kewenangan yang bersifat
lintas Kabupaten dan Kota. Lebih dari itu, Daerah Propinsi diperankan sebagai wilayah
administratif dimana pemerintah Daerah Propinsi berfungsi menjalankan kewenangan
dekonsentrasi berdasarkan pelimpahan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat kepada
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah.
Realita otonomi daerah dewasa ini, di satu pihak telah mampu menciptakan
36
dinamika penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah yang jauh berbeda
dengan apa yang terjadi dalam era Orde Baru. Interaksi sosial-politik antara unsur-unsur
aparatur pemerintahan daerah dengan masyarakat dan dunia usaha di daerah semakin
meningkat dan dinamis, sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah sebagaimana
dimaksud dalam UU Nomor 22 Tahun 1999. Aspirasi dan kepentingan masyarakat lokal
telah mulai terakomodasi dalam berbagai kebijakan pemerintahan daerah setempat,
pelayanan publik juga telah semakin berkembang dengan berbagai inovasi dan
kreativitas aparatur pemerintah daerah.
Berkembangnya fenomena pemekaran daerah otonom di seluruh wilayah
Indonesia, juga mengindikasikan tuntutan aspirasi masyarakat lokal untuk lebih
berperan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat lokal dalam kerangka
otonomi daerah, lebih dari 350 daerah Kabupaten dan Kota kini telah terbentuk dan
berfungsi. Hal ini juga menunjukkan perkembangan kehidupan demokrasi lokal yang
semakin dinamis, yang antara lain ditandai dengan partisipasi politik masyarakat lokal
dalam mekanisme pemilihan Kepala Daerah, meskipun masih melalui mekanisme
pemilihan oleh DPRD. Selain itu, berjalannya mekanisme pelaporan
pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD juga telah menunjukkan
perkembangan akuntabilitas publik dan mekanisme kontrol politik maupun kontrol
masyarakat yang berpotensi mengendalikan segala kebijakan dan tindakan Pemerintah
Daerah dalam fungsinya melayani kepentingan dan memenuhi kebutuhan masyarakat
setempat.
Namun di lain pihak, implementasi kebijakan otonomi daerah secara faktual
ternyata juga diwarnai oleh berbagai kontroversi dan ketidakpastian. Diantara berbagai
isu yang muncul ke permukaan dalam implementasi kebijakan otonomi daerah tersebut,
antara lain:
1. Masih adanya kerancuan dalam produk hukum dan peraturan
perundang-undangan yang diterbitkan pemerintah maupun pemerintah
daerah dalam rangka penyelenggaraan kewenangan otonomi daerah,
sehingga kepastian hukum dan ketertiban administrasi belum tercipta secara
optimal;
2. Ketidakjelasan arah dan inefisiensi dalam produk kebijakan penataan
kewenangan, kelembagaan dan SDM (pegawai) aparatur Daerah, sehingga
37
di banyak daerah tercipta struktur kelembagaan pemerintah daerah yang
cenderung gemuk, dengan tingkat penyerapan anggaran keuangan daerah
yang kurang proporsional dengan produk kinerja pelayanan kepada
masyarakat;
3. Masih dirasakan adanya ketidakjelasan dan ketidakpastian dalam
implementasi kebijakan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah,
serta dalam penyelenggaraan kewenangan otonomi dibidang keuangan
(fiskal) Daerah;
4. Masih adanya kesalahan penafsiran dan pemahaman terhadap pola
hubungan antara Pusat dengan Daerah, Provinsi dengan Kabupaten/Kota,
dan antar Kabupaten/Kota;
5. Munculnya fenomena dis-harmonisasi hubungan antara lembaga legislatif
dengan eksekutif Daerah (DPRD dengan Gubernur/Bupati/Walikota),
sehubungan dengan pelaksanaan kekuasaan DPRD yang cenderung
mendominasi, bahkan mengintervensi kewenangan eksekutif daerah; serta
6. Masih rancunya pelaksanaan kehidupan demokrasi dan partisipasi
masyarakat di Daerah, yang ditandai dengan masih munculnya
upaya-upaya mobilisasi massa untuk kepentingan-kepentingan elit politik
lokal, yang berdampak pada iklim penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang tidak kondusif bagi upaya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat.
Berbagai isu permasalahan tersebut memiliki nilai strategis yang sangat
penting untuk segera ditindaklanjuti dengan upaya-upaya penyelesaian (resolusi)
yang konkrit, transparan, dan akuntabel berdasarkan kesepakatan (konsensus)
diantara berbagai pihak yang berkepentingan; sehingga praktek penyelenggaraan
pemerintahan daerah selalu berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah
dan dapat menjamin terwujudnya paradigma kepemerintahan daerah yang baik
(Good Local Governance).
Kepemerintahan Daerah Yang Baik (Good Local Governance)
Sebagaimana telah kita pahami bersama, gerakan reformasi nasional di segala
bidang pada hakikatnya sejalan dan dilandasi oleh paradigma demokratisasi dan
partisipasi masyarakat dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik (Good
Governance). Konsepsi kepemerintahan (governance) pada dasarnya merujuk kepada
proses interaksi sosial-politik antara pemerintah dengan masyarakat madani (civil
38
society) dan proses berfungsinya pemerintahan dalam rangka memenuhi kebutuhan
masyarakat sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakat di berbagai bidang, baik
ekonomi, sosial, politik dan sebagainya.
Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP) memberikan penjelasan dan
pengertian mengenai kepemerintahan (Governance) sebagai berikut: “Kepemerintahan
adalah pelaksanaan kewenangan/kekuasaaan dibidang ekonomi, politik dan
administratif untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan
merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi
kesejahteraan, integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat. Hal ini mencakup
berbagai metode yang digunakan untuk mendistribusikan kekuasaan/kewenangan dan
mengelola sumber daya publik, dan berbagai organisasi yang membentuk pemerintahan
serta melaksanakan kebijakan-kebijakannya. Konsep ini juga meliputi mekanisme,
proses, dan kelembagaan yang digunakan oleh masyarakat, baik individu maupun
kelompok, untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan mereka, memenuhi
hak-hak hukum, memenui tanggung jawab dan kewajiban sebagai warganegara, dan
menyelesaikan perbedaan-perbedaan diantara sesama”(UNDP, 1997).
Berkenaan dengan hal itu, jelaslah bahwa konsepsi kepemerintahan
(governance) dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan negara
bangsa haruslah dipandang sebagai peran aktif unsur-unsur pemerintahan (eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif) dalam kerjasama atau kemitraan dengan unsur-unsur
masyarakat madani (LSM, Yayasan, Organisasi Profesi, dan organisasi kemasyarakatan
lainnya maupun para individu), serta dunia usaha (perorangan maupun badan usaha)
berdasarkan prakarsa (inisiatif) sendiri ataupun bersama-sama (konsensus) secara
dinamis dan sinergis dan bertanggungjawab dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya,
agama, politik, hukum, pertahanan dan keamanan guna terwujudnya cita-cita dan tujuan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara..
Sedangkan konsepsi kepemerintahan yang baik (good governance) mengacu
kepada nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang sekaligus merupakan karakteristik yang
dapat membedakan antara pola penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan buruk,
khususnya dalam konteks interaksi sosial-politik di antara unsur-unsur aparatur
pemerintahan, masyarakat maupun dunia, baik pada tataran nasional maupun di daerah.
Kepemerintahan yang baik adalah tata penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan negara bangsa yang memiliki karakteristik ataupun memenuhi
prinsip-prinsip, sebagaimana disosialisasikan oleh UNDP (1997), yaitu:
1. Partisipasi masyarakat,
2. Supremasi hukum (rule of law),
3. Transparansi, daya tanggap (responsif),
4. Berorientasi konsensus,
5. Kesetaraan (misalnya: kesejahteraan, hak dan kewajiban, jender),
6. Efektivitas dan efisiensi,
7. Akuntabilitas,
8. Bervisi strategis; dan
39
9. Keseluruhannya harus dapat diwujudkan secara terpadu dan saling
berkaitan satu dengan lainnya.
Lembaga Administrasi Negara dalam buku Sistem Administrasi Negara
Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI) merumuskan bahwa tata kepemerintahan
yang baik secara tersurat maupun tersirat tertuang dalam tata nilai penyelenggaraan
pemerintahan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang meliputi
prinsip-prinsip: supremasi hukum, keadilan, kesetaraan, transparansi, partisipasi,
desentralisasi, kebersamaan, profesionalitas, cepat tanggap, efektif dan efisien,
berdaya saing, dan akuntabel (LANRI, 2003: 25).
Sementara itu, dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam
rangka pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, telah dalam Konferensi Nasional
Kepemerintahan Daerah Yang Baik, pada bulan Oktober 2001 telah disepakati
Sepuluh Prinsip Kepemerintahan Daerah Yang Baik oleh seluruh anggota Asosiasi
Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Asosiasi Pemerintah Kota
Seluruh Indonesia (APEKSI), Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia
(ADKASI), dan Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI) yang mencakup
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Partisipasi: Mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak
dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang
menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak
langsung;
2. Prinsip Penegakan Hukum: Mewujudkan adanya penegakan hukum yang
adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat;
3. Prinsip Transparansi: Menciptakan kepercayaan timbal-balik antara
pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin
kemudahan didalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai;
4. Prinsip Kesetaraan: Memberi peluang yang sama bagi setiap anggota
masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya;
5. Prinsip Daya Tanggap: Meningkatkan kepekaan para penyelenggara
pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat tanpa kecuali;
6. Prinsip Wawasan Kedepan: Membangun daerah berdasarkan visi, misi, dan
strategi yang jelas dan mengikutsertakan (secara aktif dan proaktif) warga
dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan
ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya;
40
7. Prinsip Akuntabilitas: Meningkatkan akuntabilitas para pengambil
keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat
luas;
8. Prinsip Pengawasan: Meningkatkan upaya pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan
keterlibatan swasta dan masyarakat luas;
9. Prinsip Efisiensi dan Efektivitas: Menjamin terselenggaranya pelayanan
kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara
optimal dan bertanggungjawab;
10. Prinsip Profesionalisme: Meningkatkan kemampuan dan moral
penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah,
cepat, tepat, dengan biaya yang terjangkau.
Kesepakatan mengenai prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik tersebut
akan dilaksanakan melalui beberapa kebijakan dan tindakan dari masing-masing
penyelenggara pemerintahan daerah, yang meliputi antara lain
1. Penyusunan kebijakan, perangkat perundang-undangan dan mekanisme
untuk melaksanakan tata kepemerintahan yang baik;
2. Kegiatan sosialisasi dan mendorong penerapan tata-kepemerintahan yang
baik oleh seluruh anggota di masing-masing asosiasi;
3. Pemantauan praktek penyelenggaraan tata-pemerintahan secara terus
menerus dan pelaporannya secara terbuka, cepat, dan transparan;
4. Penyelenggaraan konsultasi dengan para pelaku (stakeholders) untuk
merumuskan prioritas lokal dan kegiatan spesifik yang diperlukan;
5. Pelaksanaan advokasi agar prinsip-prinsip tata-pemerintahan yang baik
diangkat dalam legislasi nasional dan daerah;
6. Peningkatan kesadaran melalui pertemuan-pertemuan lokal agar
kesepakatan ini juga diangkat dan disetujui oleh berbagai lembaga lain di
daerah.
Jauh sebelum adanya kesepakatan mengenai tata-pemerintahan daerah yang
baik tersebut diantara para penyelenggara pemerintahan daerah, sebenarnya pada
tingkat nasional telah dirumuskan prinsip-prinsip atau asas-asas umum
penyelenggaraan negara sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme, yang mencakup asas-asas sebagai berikut:
41
1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan
peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggara negara.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan,
keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
3. Asas Kepentingan Umum: adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Asas Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan, dan rahasia negara.
5. Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban Penyelenggara Negara.
6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Asas-asas umum penyelenggaraan negara tersebut di atas, dapat dikatakan
merupakan implementasi prinsip-prinsip kepemerintahan yang secara resmi
diakomodasi dalam sistem pemerintahan negara di Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Sementara itu, untuk menjamin pola
perilaku dan tindakan seluruh unsur warga negara Indonesia dan pemerintahan
NKRI, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan Ketetapan Nomor
VI/MPR/2001 telah menetapkan pokok-pokok Etika Kehidupan Berbangsa yang
meliputi: Etika Sosial Budaya, Etika Politik dan Pemerintahan, Etika Ekonomi dan
Bisnis, Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan, Etika Keilmuan, dan Etika
Lingkungan.
Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa berdasarkan Ketetapan
MPR tersebut, mengedepankan aspek-aspek sikap dan perilaku yang mencakup:
kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap
toleransi, rasa malu, tanggung jawab, dan menjaga kehormatan serta martabat diri
sebagai warga bangsa.
Sedangkan bagi para pejabat politik dan pemerintahan negara berdasarkan
Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa tersebut telah
pula -ditetapkan nilai-nilai etika politik dan pemerintahan, yang bertujuan untuk
mewujudkan “pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan
suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa
bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam
42
43
persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam
kehidupan berbangsa”.
Untuk itu, setiap pejabat politik dan pemerintahan baik di Pusat maupun di
Daerah wajib memiliki sikap dan perilaku yang:
1. Jujur,
2. Amanah,
3. Sportif,
4. Siap melayani,
5. Serjiwa besar,
6. Memiliki keteladanan,
7. Rendah hati, dan
8. Siap mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan
secara moral kebijaksanaannya bertentangan dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat.
Bagaimanapun nilai-nilai normatif tersebut tidak mungkin akan terlaksana
dengan baik dan tidak mungkin dapat mendukung terwujudnya kepemerintahan
yang baik, di lingkungan pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah jika
tidak terdapat komitmen yang kuat dan motivasi yang tinggi di kalangan aparatur
penyelenggara pemerintahan. Untuk itu maka keberadaan masyarakat dan dunia
usaha menjadi faktor yang sangat menentukan dalam mendorong dan
mempengaruhi perwujudannya, melalui fungsi kontrol masyarakat dan peran serta
aktif masyarakat dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan negara
maupun daerah. Mengingat hal tersebut, maka perlu disusun kerangka acuan
ataupun nilai-nilai instrumental yang mampu memberikan arah bagi percepatan
implementasi kepemerintahan yang baik di Pusat maupun Daerah.
Kerangka Instrumental Prinsip-Prinsip Kepemerintahan Yang Baik
Bagi para penyelenggara pemerintahan daerah, khususnya di Kabupaten
dan Kota, baik eksekutif maupun legislatifnya, berdasarkan kesepakatan yang telah
dirumuskan pada bulan Oktober 2001 mengenai Sepuluh Prinsip Tata Pemerintahan
Daerah Yang Baik, telah disusun pedoman instrumental sebagaimana terlihat dalam
Tabel 1. Sebagai bahan pertimbangan dalam upaya melaksanakan prinsip-prinsip
kepemerintahan daerah yang baik (Good Local Governance), makalah ini
merekomendasikan gagasan apa yang benar dan salah (the Do and Don’t atau Good
and Bad) dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga kita dapat
menilai apakah para penyelenggara pemerintahan daerah telah secara tepat
melaksanakan prinsip-prinsip tersebut (lihat Tabel 2).
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal
Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Teknik penyusunan naskah akademik
Teknik penyusunan naskah akademikTeknik penyusunan naskah akademik
Teknik penyusunan naskah akademikJoseph Sitepu
 
Potensi kerawanan pemilu-updated
Potensi kerawanan pemilu-updatedPotensi kerawanan pemilu-updated
Potensi kerawanan pemilu-updatedAhsanul Minan
 
Tantangan pemilu serentak 2024
Tantangan pemilu serentak 2024Tantangan pemilu serentak 2024
Tantangan pemilu serentak 2024Ahsanul Minan
 
Clean Government dan Good Governance Policy, Konsep, dan Implementasi
Clean Government dan Good Governance Policy, Konsep, dan ImplementasiClean Government dan Good Governance Policy, Konsep, dan Implementasi
Clean Government dan Good Governance Policy, Konsep, dan ImplementasiDadang Solihin
 
Kesetaraan DPRD dan Kepala Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Kesetaraan DPRD dan Kepala Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kesetaraan DPRD dan Kepala Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Kesetaraan DPRD dan Kepala Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Dadang Solihin
 
MATERI MSDM BAB I
MATERI MSDM BAB IMATERI MSDM BAB I
MATERI MSDM BAB I93220872
 
Presentasi penanganan pelanggaran pemilu
Presentasi penanganan pelanggaran pemiluPresentasi penanganan pelanggaran pemilu
Presentasi penanganan pelanggaran pemiluBilly Adam Fisher
 
10. sanksi administrasi
10. sanksi administrasi10. sanksi administrasi
10. sanksi administrasinurul khaiva
 
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRISistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRITri Widodo W. UTOMO
 
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintahAbid Zamzami
 
Peranan DPRD dalam Percepatan Pembangunan Daerah
Peranan DPRD dalam Percepatan Pembangunan DaerahPeranan DPRD dalam Percepatan Pembangunan Daerah
Peranan DPRD dalam Percepatan Pembangunan DaerahDadang Solihin
 
sistem pemilu mekanis dan sistem pemilu organis
sistem pemilu mekanis dan sistem pemilu organissistem pemilu mekanis dan sistem pemilu organis
sistem pemilu mekanis dan sistem pemilu organisNasria Ika
 
Yurisdiksi negara dalama hukum internasional
Yurisdiksi negara dalama hukum internasionalYurisdiksi negara dalama hukum internasional
Yurisdiksi negara dalama hukum internasionalNuelnuel11
 
Konsep Dasar Perencanaan
Konsep Dasar PerencanaanKonsep Dasar Perencanaan
Konsep Dasar PerencanaanDadang Solihin
 
Proposal SKRIPSI Hukum Tata Negara
Proposal SKRIPSI Hukum Tata Negara Proposal SKRIPSI Hukum Tata Negara
Proposal SKRIPSI Hukum Tata Negara DELA ASFARINA
 

Was ist angesagt? (20)

siklus kebijakan publik
siklus kebijakan publiksiklus kebijakan publik
siklus kebijakan publik
 
Teknik penyusunan naskah akademik
Teknik penyusunan naskah akademikTeknik penyusunan naskah akademik
Teknik penyusunan naskah akademik
 
Potensi kerawanan pemilu-updated
Potensi kerawanan pemilu-updatedPotensi kerawanan pemilu-updated
Potensi kerawanan pemilu-updated
 
Tantangan pemilu serentak 2024
Tantangan pemilu serentak 2024Tantangan pemilu serentak 2024
Tantangan pemilu serentak 2024
 
Clean Government dan Good Governance Policy, Konsep, dan Implementasi
Clean Government dan Good Governance Policy, Konsep, dan ImplementasiClean Government dan Good Governance Policy, Konsep, dan Implementasi
Clean Government dan Good Governance Policy, Konsep, dan Implementasi
 
Kesetaraan DPRD dan Kepala Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Kesetaraan DPRD dan Kepala Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kesetaraan DPRD dan Kepala Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Kesetaraan DPRD dan Kepala Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
 
MATERI MSDM BAB I
MATERI MSDM BAB IMATERI MSDM BAB I
MATERI MSDM BAB I
 
Presentasi penanganan pelanggaran pemilu
Presentasi penanganan pelanggaran pemiluPresentasi penanganan pelanggaran pemilu
Presentasi penanganan pelanggaran pemilu
 
10. sanksi administrasi
10. sanksi administrasi10. sanksi administrasi
10. sanksi administrasi
 
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRISistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI
Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan NKRI
 
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
 
Hukum Pemerintah Daerah
Hukum Pemerintah DaerahHukum Pemerintah Daerah
Hukum Pemerintah Daerah
 
Peranan DPRD dalam Percepatan Pembangunan Daerah
Peranan DPRD dalam Percepatan Pembangunan DaerahPeranan DPRD dalam Percepatan Pembangunan Daerah
Peranan DPRD dalam Percepatan Pembangunan Daerah
 
Analisis kebijakan publik
Analisis kebijakan publikAnalisis kebijakan publik
Analisis kebijakan publik
 
sistem pemilu mekanis dan sistem pemilu organis
sistem pemilu mekanis dan sistem pemilu organissistem pemilu mekanis dan sistem pemilu organis
sistem pemilu mekanis dan sistem pemilu organis
 
Yurisdiksi negara dalama hukum internasional
Yurisdiksi negara dalama hukum internasionalYurisdiksi negara dalama hukum internasional
Yurisdiksi negara dalama hukum internasional
 
Konsep Dasar Perencanaan
Konsep Dasar PerencanaanKonsep Dasar Perencanaan
Konsep Dasar Perencanaan
 
Proposal SKRIPSI Hukum Tata Negara
Proposal SKRIPSI Hukum Tata Negara Proposal SKRIPSI Hukum Tata Negara
Proposal SKRIPSI Hukum Tata Negara
 
Legitimasi kekuasaan
Legitimasi kekuasaanLegitimasi kekuasaan
Legitimasi kekuasaan
 
Kajian otsus papua
Kajian otsus papuaKajian otsus papua
Kajian otsus papua
 

Ähnlich wie Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal

Transparansi dan Akuntabilitas Dana Kampanye
Transparansi dan Akuntabilitas Dana KampanyeTransparansi dan Akuntabilitas Dana Kampanye
Transparansi dan Akuntabilitas Dana KampanyeAhsanul Minan
 
Otda, Pilkada dan Pembangunan Demokrasi
Otda, Pilkada dan Pembangunan DemokrasiOtda, Pilkada dan Pembangunan Demokrasi
Otda, Pilkada dan Pembangunan DemokrasiTri Widodo W. UTOMO
 
Rilis Survei LSI "Pro-Kontra Pilkada Langsung"
Rilis Survei LSI "Pro-Kontra Pilkada Langsung"Rilis Survei LSI "Pro-Kontra Pilkada Langsung"
Rilis Survei LSI "Pro-Kontra Pilkada Langsung"threeandra MLC
 
Pemilu dan Politik Uang (Almas Sjafrina 2021).pdf
Pemilu dan Politik Uang (Almas Sjafrina 2021).pdfPemilu dan Politik Uang (Almas Sjafrina 2021).pdf
Pemilu dan Politik Uang (Almas Sjafrina 2021).pdfNovaAndiana
 
PRO KONTRA UU PILKADA
PRO KONTRA UU PILKADAPRO KONTRA UU PILKADA
PRO KONTRA UU PILKADAHISHNUL180695
 
MARIYUDI - Pembekalan Panwascam Aceh Utara 2022.ppt
MARIYUDI - Pembekalan Panwascam Aceh Utara 2022.pptMARIYUDI - Pembekalan Panwascam Aceh Utara 2022.ppt
MARIYUDI - Pembekalan Panwascam Aceh Utara 2022.pptMariyudi Sofyan
 
Implementasi putusan mk atas pilkada gresik
Implementasi putusan mk atas pilkada gresikImplementasi putusan mk atas pilkada gresik
Implementasi putusan mk atas pilkada gresikWishRoom
 
Hak Masyarakat dalam Pemilu (RTK)
Hak Masyarakat dalam Pemilu (RTK)Hak Masyarakat dalam Pemilu (RTK)
Hak Masyarakat dalam Pemilu (RTK)Liza Dayani
 
Sistem membuat “gila” !
Sistem membuat “gila” !Sistem membuat “gila” !
Sistem membuat “gila” !Rizky Faisal
 
Laporan tahap 1 pengetahuan mengenai pemilu di kalangan pemilih pemula
Laporan tahap 1 pengetahuan mengenai pemilu di kalangan pemilih pemulaLaporan tahap 1 pengetahuan mengenai pemilu di kalangan pemilih pemula
Laporan tahap 1 pengetahuan mengenai pemilu di kalangan pemilih pemulaNurul Hidayah
 
BUKAN_CATATAN_KAKI_DEMOKRASI_(3).pdf
BUKAN_CATATAN_KAKI_DEMOKRASI_(3).pdfBUKAN_CATATAN_KAKI_DEMOKRASI_(3).pdf
BUKAN_CATATAN_KAKI_DEMOKRASI_(3).pdfsetiawaninsan
 

Ähnlich wie Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal (20)

Politik Uang dan Pemilu 2009: Catatan kritis untuk jurnalis
Politik Uang dan Pemilu 2009: Catatan kritis untuk jurnalisPolitik Uang dan Pemilu 2009: Catatan kritis untuk jurnalis
Politik Uang dan Pemilu 2009: Catatan kritis untuk jurnalis
 
Transparansi dan Akuntabilitas Dana Kampanye
Transparansi dan Akuntabilitas Dana KampanyeTransparansi dan Akuntabilitas Dana Kampanye
Transparansi dan Akuntabilitas Dana Kampanye
 
Otda, Pilkada dan Pembangunan Demokrasi
Otda, Pilkada dan Pembangunan DemokrasiOtda, Pilkada dan Pembangunan Demokrasi
Otda, Pilkada dan Pembangunan Demokrasi
 
Rilis Survei LSI "Pro-Kontra Pilkada Langsung"
Rilis Survei LSI "Pro-Kontra Pilkada Langsung"Rilis Survei LSI "Pro-Kontra Pilkada Langsung"
Rilis Survei LSI "Pro-Kontra Pilkada Langsung"
 
Dinamika pemilu
Dinamika pemiluDinamika pemilu
Dinamika pemilu
 
Pemilu dan Politik Uang (Almas Sjafrina 2021).pdf
Pemilu dan Politik Uang (Almas Sjafrina 2021).pdfPemilu dan Politik Uang (Almas Sjafrina 2021).pdf
Pemilu dan Politik Uang (Almas Sjafrina 2021).pdf
 
Print penindakan
Print penindakanPrint penindakan
Print penindakan
 
Outline penelitian
Outline penelitianOutline penelitian
Outline penelitian
 
PRO KONTRA UU PILKADA
PRO KONTRA UU PILKADAPRO KONTRA UU PILKADA
PRO KONTRA UU PILKADA
 
Pengaruh golput di indonesia
Pengaruh golput di indonesiaPengaruh golput di indonesia
Pengaruh golput di indonesia
 
MARIYUDI - Pembekalan Panwascam Aceh Utara 2022.ppt
MARIYUDI - Pembekalan Panwascam Aceh Utara 2022.pptMARIYUDI - Pembekalan Panwascam Aceh Utara 2022.ppt
MARIYUDI - Pembekalan Panwascam Aceh Utara 2022.ppt
 
Natural aceh
Natural acehNatural aceh
Natural aceh
 
Implementasi putusan mk atas pilkada gresik
Implementasi putusan mk atas pilkada gresikImplementasi putusan mk atas pilkada gresik
Implementasi putusan mk atas pilkada gresik
 
Hak Masyarakat dalam Pemilu (RTK)
Hak Masyarakat dalam Pemilu (RTK)Hak Masyarakat dalam Pemilu (RTK)
Hak Masyarakat dalam Pemilu (RTK)
 
Sistem membuat “gila” !
Sistem membuat “gila” !Sistem membuat “gila” !
Sistem membuat “gila” !
 
Fenomena pilkada
Fenomena pilkadaFenomena pilkada
Fenomena pilkada
 
Laporan tahap 1 pengetahuan mengenai pemilu di kalangan pemilih pemula
Laporan tahap 1 pengetahuan mengenai pemilu di kalangan pemilih pemulaLaporan tahap 1 pengetahuan mengenai pemilu di kalangan pemilih pemula
Laporan tahap 1 pengetahuan mengenai pemilu di kalangan pemilih pemula
 
BUKAN_CATATAN_KAKI_DEMOKRASI_(3).pdf
BUKAN_CATATAN_KAKI_DEMOKRASI_(3).pdfBUKAN_CATATAN_KAKI_DEMOKRASI_(3).pdf
BUKAN_CATATAN_KAKI_DEMOKRASI_(3).pdf
 
Money politik
Money politikMoney politik
Money politik
 
Bab i
Bab   iBab   i
Bab i
 

Mehr von Tri Widodo W. UTOMO

Beyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian Kesehatan
Beyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian KesehatanBeyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian Kesehatan
Beyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian KesehatanTri Widodo W. UTOMO
 
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi BerkelanjutanStrategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi BerkelanjutanTri Widodo W. UTOMO
 
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi InformasiInovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi InformasiTri Widodo W. UTOMO
 
Transformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin BerprestasiTransformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin BerprestasiTri Widodo W. UTOMO
 
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus KebijakanTata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus KebijakanTri Widodo W. UTOMO
 
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam PemiluStrategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam PemiluTri Widodo W. UTOMO
 
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASNPengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASNTri Widodo W. UTOMO
 
Tranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor BerkelanjutanTranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor BerkelanjutanTri Widodo W. UTOMO
 
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor PublikManajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor PublikTri Widodo W. UTOMO
 
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan PijarProspek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan PijarTri Widodo W. UTOMO
 
Gamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral InsightGamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral InsightTri Widodo W. UTOMO
 
Signifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di DaerahSignifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di DaerahTri Widodo W. UTOMO
 
Peta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di IndonesiaPeta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di IndonesiaTri Widodo W. UTOMO
 
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui InovasiKab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui InovasiTri Widodo W. UTOMO
 
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus KebijakanPerumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus KebijakanTri Widodo W. UTOMO
 
Recharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang PanjangRecharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang PanjangTri Widodo W. UTOMO
 
Transformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin BerprestasiTransformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin BerprestasiTri Widodo W. UTOMO
 
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era DisrupsiTransformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era DisrupsiTri Widodo W. UTOMO
 
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu BangsaKorpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu BangsaTri Widodo W. UTOMO
 
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik BerdampakInovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik BerdampakTri Widodo W. UTOMO
 

Mehr von Tri Widodo W. UTOMO (20)

Beyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian Kesehatan
Beyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian KesehatanBeyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian Kesehatan
Beyond IKK: Kualitas Kebijakan Kementerian Kesehatan
 
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi BerkelanjutanStrategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
Strategi Kolaboratif untuk Inovasi Berkelanjutan
 
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi InformasiInovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
Inovasi Pelaksanaan Bangkom Berbasis Teknologi Informasi
 
Transformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin BerprestasiTransformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
Transformasi untuk LAN Semakin Berprestasi
 
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus KebijakanTata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
Tata Kelola Kebijakan Berdasar Siklus Kebijakan
 
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam PemiluStrategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
Strategi Kebijakan Penguatan Netralitas ASN dalam Pemilu
 
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASNPengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
Pengelolaan Kinerja dalam Manajemen ASN
 
Tranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor BerkelanjutanTranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
Tranformasi Kab. Bogor Berkelanjutan
 
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor PublikManajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
Manajemen Perubahan & Penerapannya di Sektor Publik
 
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan PijarProspek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
Prospek Kolaborasi LAN-Yayasan Pijar
 
Gamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral InsightGamifikasi Zoom & Behavioral Insight
Gamifikasi Zoom & Behavioral Insight
 
Signifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di DaerahSignifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
Signifikansi Pendampingan Labinov di Daerah
 
Peta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di IndonesiaPeta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
Peta Kinerja Inovasi Daerah di Indonesia
 
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui InovasiKab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
Kab. Bireuen, Mengakselerasi Kinerja Melalui Inovasi
 
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus KebijakanPerumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
Perumusan Peraturan Berdasar Siklus Kebijakan
 
Recharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang PanjangRecharging Inovasi Padang Panjang
Recharging Inovasi Padang Panjang
 
Transformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin BerprestasiTransformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
Transformasi untuk Parepare Semakin Berprestasi
 
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era DisrupsiTransformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
Transformasi Administrasi Publik Menjawab Tantangan Era Disrupsi
 
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu BangsaKorpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
Korpri & Inovasi sebagai Perekat & Pemersatu Bangsa
 
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik BerdampakInovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
Inovasi Sebagai Strategi Mewujudkan Pelayanan Publik Berdampak
 

Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal

  • 1.
  • 2.
  • 3. Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal 110 + viii halaman, 2005 Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Dalam Terbitan (KDT) ISBN 000-0000-00-0 1. Pilkada Langsung 2. Demokrasi Lokal 3. Pemerintahan Daerah Editor: Koordinator : Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA Anggota : Meiliana, SE.,MM Gugum Gumelar, SH Aryono Mulyono, BBA Baharudin, S.Sos.,SPd. Said Fadhil, SIP Royani, A.Md. Diterbitkan Oleh: Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III (PKP2A III) LAN Samarinda UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 7 TAHUN 1987 Pasal 44 (1) Barangsiapa dengan sengaja tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
  • 4. Daftar Isi Pengantar Editor ………………………………………………………………… iv BAGIAN PERTAMA: Pemaparan Ide dan Diskusi Interaktif ……………… 1 ¾ INTISARI SESSI I: Pilkada Langsung dan Upaya Memperkuat Pembangunan Daerah: Sebuah Pendekatan Normatif Konseptual ………………………… 2 ¾ INTISARI SESSI II: Kondisi Faktual dan Strategi Antisipatif Penyelenggaraan Pilkada Langsung …………………………………………………………… 6 ¾ INTISARI SESSI DISKUSI: …………………………………………… 8 BAGIAN KEDUA: Sambutan dan Makalah Pembicara ……………………… 15 ¾ PILKADA LANGSUNG DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI NEGARA Sambutan Kepala LAN RI (Anwar Suprijadi) ……………………… 16 ¾ Sambutan Gubernur Kalimantan Timur (Suwarna AF) ……………… 24 ¾ POKOK-POKOK PENYELENGGARAAN PILKADA LANGSUNG MENURUT PP. NO. 6 TAHUN 2005 DAN IMPLIKASINYA DI DAERAH Drs. Hadi Sutanto …………………………………………………… 27 ¾ PILKADA LANGSUNG DAN UPAYA MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN DAERAH YANG BERSIH DAN BEBAS KKN (GOOD LOCAL GOVERNANCE) Drs. Desi Fernanda, M.Soc.Sc. ……………………………………… 35 ¾ PENGUATAN DEMOKRASI LOKAL DAN AKSELERASI PEMBANGUNAN (DAERAH): KONVERGEN ATAU DIVERGEN? Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA ……………………………………. 65 ¾ IMPLEMENTASI PILKADA LANGSUNG DI DAERAH: BEBERAPA POTENSI MASALAH DAN STRATEGI PEMBINAAN ASPEK PEMERINTAHAN Drs. H. Syachruddin, MS.,MM ……………………………………. 91 ii
  • 5. ¾ STRATEGI PEMANTAPAN TATANAN NILAI KESATUAN BANGSA DALAM PROSES PILKADA LANGSUNG Drs. Djumar Soewito, M.Si. ………………………………………. 93 ¾ PERAN STRATEGI KPUD DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG TAHUN 2005 Prof. Dr. HM. Jafar Haruna, M.Pd.,MS. …………………………… 98 BAGIAN KEEMPAT: Rekomendasi Kebijakan ……………………………… 109 BAGIAN KETIGA: Slide Presentasi …………………………………………… 112 iii
  • 6. Pengantar Editor Buku ini merupakan proceeding dari hasil Diskusi Terbatas Forum SANKRI yang diselenggarakan oleh PKP2A III LAN Samarinda. Secara filosofis, Diskusi Terbatas tadi didasari oleh pemikiran perlunya segera ditetapkan langkah-langkah taktis dan strategis untuk mensukseskan penyelenggaraan Pilkada Langsung di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di tatar Kalimantan. Sementara secara empirik, harus diakui bahwa tahun 2005 sekarang ini merupakan periode yang dipenuhi oleh issu-issu kepemerintahan lokal, khususnya mengenai suksesi kepemimpinan lokal. Berbagai issu yang berkembang tadi, jika tidak disikapi secara baik, dicermati secara teliti, serta diantisipasi secara matang, bukan tidak mungkin berdampak secara kurang baik terhadap jalannya roda pemerintahan dan aktivitas kemasyarakatan. Issu suksesi kepemimpinan lokal sendiri mulai mengemuka setelah lahirnya UU 32/2004 yang membawa perubahan fundamental dalam hal pemilihan Kepala Daerah. Kepala Daerah yang menurut UU Nomor 22/1999 dipilih oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD, sekarang dipilih langsung oleh rakyat dari calon-calon yang diajukan partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat tertentu. Secara normatif, penyelenggaraan Pilkada Langsung ini diharapkan dapat mendorong proses pembangunan sosial ekonomi secara lebih cepat sehingga dapat diwujudkan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik pula. Logikanya, Kepala Daerah yang mendapat dukungan langsung dan penuh dari rakyat, akan mampu menciptakan hubungan kerja yang harmonis dan sinergis dengan berbagai komponen pendukungnya. Dengan demikian, butir-butir perubahan UU yang berkenaan dengan Pilkada Langsung tadi harus di implementasikan dengan sebaik mungkin agar dapat terwujud tatanan pemerintah dan masyarakat daerah yang lebih baik dan lebih demokratis. Namun jika dicermati lebih dalam, implikasi dari aturan baru ini masih mengandung beberapa potensi permasalahan yang cukup kompleks. Adanya ketentuan pencalonan Kepala Daerah dengan pola “satu pintu”, indikasi masih terbukanya praktek money politics, kurang eratnya hubungan koordinasi antara KPU dengan KPU Daerah, iv
  • 7. keterbatasan sumber pembiayaan, belum jelasnya mekanisme pertanggungjawaban KPUD, dan sebagainya, adalah beberapa persoalan riil yang dapat mengancam keberhasilan Pilkada Langsung untuk mewujudkan kehidupan yang demokratis di daerah, sekaligus meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat di daerah. Ddalam prakteknya, berbagai produk hukum yang mengatur tentang Pilkada Langsung ini masih menimbulkan banyak sekali kebingungan baik dikalangan masyarakat, partai politik, maupun pemerintah daerah dan KPUD sebagai lembaga penyelenggara Pilkada Langsung. Harus diakui bahwa sejak lahirnya UU No. 32/2004 -- yang disusul dengan lahirnya PP No. 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, atau lebih dikenal dengan PP Pilkada Langsung -- banyak pihak menyangsikan bahwa Pilkada Langsung akan benar-benar menumbuhkan demokratisasi di tingkat akar rumput, serta bermanfaat bagi proses pembangunan daerah secara menyeluruh. Beberapa hal yang menjadi sumber keraguan tersebut antara lain menyangkut hal-hal sebagai berikut: • Pilkada Langsung dinilai kurang demokratis karena tidak membuka peluang bagi calon independen untuk menjadi pasangan calon Kepala Daerah dan Wakilnya. Dalam pasal 56 UU No. 32/2004 dinyatakan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki hak untuk mengajukan calon. Dengan demikian, rakyat sesungguhnya hanya memiliki hak pilih “pasif” (memilih diantara calon yang tersedia), namun belum memiliki hak inisiatif aktif untuk mengajukan dirinya guna berkompetisi dalam ajang Pilkada Langsung tersebut (Utomo, 2004). • Pilkada Langsung masih membuka peluang terjadinya money politics. Penyebabnya adalah, parpol masih tetap menjadi mesin politik utama menuju kekuasaan. Dan peran sebagai “mesin kekuasaan” inilah yang akan menjadi medan magnet terjadinya money politics. Meskipun demikian, pusaran korupsi diperkirakan tidak sekuat pada masa 5 tahun kebelakang. Justru ada kecenderungan bahwa money politics ini lebih menyebar dan menjangkau langsung kepada anggota masyarakat. Logikanya, money politics akan mengikuti dimana “suara” berada. Pada saat berlakunya UU 5/1974, pemerintah pusat memiliki hak untuk memilih seorang Kepda dari 3 hingga 5 calon yang diajukan DPRD. Oleh karenanya tidak aneh jika sebagian terbesar kasus korupsi pada saat itu terjadi di tingkat pusat. Kemudian pada v
  • 8. era UU 22/1999, korupsi dilakukan secara beramai-ramai oleh DPRD karena memang DPRD-lah pemegang hak pilih terhadap seorang Kepda. Kini, ketika suara (hak pilih) didistribusikan secara langsung kepada perseorangan, maka medan korupsi-pun akan bergerak mengikuti pemilik suara tersebut (Utomo, 2004). • Keterbatasan dana Pilkada yang berakibat pada ancaman penundaan dan bahkan batalnya penyelenggaraan Pilkada. Menurut Mendagri, Pilkada kali ini secara nasional membutuhkan dana sebesar Rp. 929,3 miliar, yang Rp. 744,3 miliar diantaranya dialokasikan ke 226 daerah termasuk pemberian insentif khusus bagi 35 daerah pemekaran, yakni dua provinsi dan 33 kabupaten/kota. Sedangkan sisanya sebesar Rp. 185 miliar akan digunakan untuk mendukung pemerintah pusat dalam melaksanakan kegiatan sosialisasi dan pembinaan teknis, pemutakhiran data administrasi kependudukan, dan monitoring serta evaluasi pelaksanaan pilkada. Dalam prakteknya, pencairan dana tersebut mengalami hambatan, sehingga banyak daerah mengeluh kekurangan dana. Untuk mengatasi hal tersebut, Mendagri meminta agar Pemda memberikan dana talangan dari APBD, namun banyak daerah yang menolak melakukan hal itu. Kondisi ini masih diperparah dengan tidak jelasnya mekanisme alokasi dana Pilkada, kekurangakuratan dalam menghitung kebutuhan riil, dan sebagainya. • Masalah logistik juga menjadi aspek yang krusial. Misalnya mengenai pengadaan barang, apakah akan dilakukan oleh KPU, KPUD, ataukah Depdagri. Sementara dalah hal metode yang digunakan juga belum terdapat kesamaan pandangan, apakah harus dengan tender atau dapat dengan penunjukkan langsung. Jika mengingat besaran anggaran, maka semestinya pengadaan barang dan jasa harus dilakukan melalui proses tender (Keppres No. 80/2003). • Pilkada Langsung juga menyimpan potensi konflik yang tinggi. Dari hasil inventarisasi Depdagri ditemukan ada 76 daerah dari 222 daerah yang akan menyelenggarakan Pikada sangat berpotensi terjadi konflik karena berbagai sebab. Faktor penyebab terjadinya konflik itu di antaranya salah memahami peraturan Pilkada dan kondisi daerah yang belum kondusif (Suara Karya, 15 Maret 2005). Sementara di Medan, berbagai elemen mengancam akan memboikot pilkada karena adanya informasi bahwa hanya dua pasang kandidat yang akan maju dalam vi
  • 9. pemilihan tersebut (Suara Pembaruan, 14 Maret 2005). Lebih jauh Iskandar (2005) mengidentifikasi beberapa masalah di sekitar Pilkada langsung yang bisa memicu konflik politik di daerah, yakni: 1) terdapatnya peraturan Pilkada langsung yang menutup munculnya calon independen, 2) kuatnya hubungan emosional antara kandidat dengan konstituen, 3) UU 32/2004 memberi peluang dan dominasi kepada partai dalam proses pencalonan, 4) kerancuan peran DPRD dalam Pilkada, dan 5) potensi konflik pasca Pilkada. Berbagai kemungkinan dampak negatif dari penyelenggaraan Pilkada Langsung diatas mengilustrasikan bahwa Pilkada Langsung ini dapat menjadi faktor pengungkit (leverage effect) yang efektif dalam mengakselerasikan pembangunan sosial ekonomi dan politik di daerah, namun dapat pula menjadi sumber kegagalan baru manajemen pemerintahan daerah. Semuanya itu tergantung kepada kesiapan pemerintah dan masyarakat daerah dalam menyikapi dan merealisasikan kebijakan tersebut, disamping faktor infrastruktur administrasi yang jelas dan lengkap. Tanpa adanya kedua prasyarat ini (kesiapan daerah dan infrastruktur administratif), reformasi politik dan reformasi birorkasi di tingkat lokal dikhawatirkan mengalami kemandegan, jika tidak dikatakan kemunduran. Mengingat adanya berbagai hal yang berpotensi kontra-produktif itulah, PKP2A III LAN Samarinda berinisiatif untuk menggelar sebuah forum ilmiah guna menguraikan persoalan yang ada, sekaligus membangun rekomendasi kebijakan yang relevan. Dengan kata lain, penyelenggaraan Seminar / Diskusi Terbatas ini dimaksudkan untuk mengelaborasi lebih lanjut aspek-aspek kritis yang terkait dengan penyelenggaraan Pilkada Langsung. Dari diskusi ini diharapkan dapat ditemukan dan dirumuskan strategi yang manjur, efektif dan damai dalam pelaksanaan Pilkada Langsung, sekaligus untuk memberi masukan yang konstruktif bagi pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan Pilkada (KPUD, DPRD, Eksekutif) sehingga output akhir Pilkada benar-benar dapat dirasakan secara nyata oleh masyarakat sebagai konstituennya. Dilihat dari bervariasinya latar belakang peserta yang hadir, membuat kami optimis bahwa hasil seminar / diskusi ini cukup mencerminkan kondisi nyata di lapangan, serta cukup representatif dalam merefleksikan harapan berbagai pihak terhadap kebijakan nasional yang baru pertama kali dalam sejarah Indonesia modern ini. vii
  • 10. Dalam hal ini, peserta yang mengikuti secara aktif kegiatan seminar / diskusi terdiri dari para pejabat struktural dan fungsional di lingkungan LAN dan Pemerintah Daerah di Propinsi Kalimantan Timur, unsur Desk Pilkada kabupaten/kota se Kalimantan Timur, pimpinan DPRD, KPUD, akademisi / peneliti / pengamat, media massa, perwakilan partai politik, aktivis LSM, kalangan bisnis, serta undangan lainnya. Atas terselenggaranya acara Seminar / Diskusi Terbatas ini, kami ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para peserta yang telah meluangkan waktu dan bersedia datang memenuhi undangan kami. Kepada Bapak Kepala LAN (diwakili oleh Deputi I Bidang Kajian Kinerja Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur) serta Bapak Gubernur (diwakili oleh Asisten I Setda Propinsi Kalimantan Timur) yang berkenan memberikan sambutan pengarahan, kami haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Tidak lupa kepada seluruh pembicara, moderator, notulis, serta panitia yang telah bekerja keras, kami sampaikan rasa simpati dan penghargaan yang tulus disertai doa semoga apa yang telah kita lakukan menjadi amal kebajikan di sisi Allah SWT, sekaligus sebagai kontribusi nyata kita membangun daerah dan negara tercinta. Kami berharap bahwa sinergi dan kerjasama yang solid dan harmonis antara PKP2A III LAN Samarinda dengan berbagai pihak dalam pelaksanaan Diskusi Terbatas ini dapat dijaga dan lebih ditingkatkan kualitasnya pada waktu-waktu yang akan datang. Hal ini sesuai dengan maksud pendirian PKP2A III LAN Samarinda untuk mendorong dan memacu program-program kajian, pengembangan, serta pendidikan dan pelatihan aparatur, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas SDM Aparatur sekaligus kualitas kebijakan publik di daerah. Akhir kata, kami menyadari sepenuhnya bahwa karya ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik dari berbagai pihak sangat kami nantikan dengan tangan dan hati terbuka lebar. Walaupun kamii sadar bahwa buku ini masih sangat dangkal, kami tetap berharap bahwa karya sederhana ini dapat menghasilkan manfaat yang optimal bagi bangsa dan negara. (Tri Widodo W. Utomo) viii
  • 11. BAGIAN PERTAMA PEMAPARAN IDE DAN DISKUSI INTERAKTIF
  • 12. INTISARI SESSI I: PILKADA LANGSUNG DAN UPAYA MEMPERKUAT PEMBANGUNAN DAERAH: SEBUAH PENDEKATAN NORMATIF KONSEPTUAL Drs. Hadi Sutanto (Pembicara I): Pembicara yang membawakan makalah berjudul “Pokok-Pokok Penyelenggaraan Pilkada Langsung Menurut PP No. 6/2005 dan Implikasinya di Daerah” mengharapkan agar pilkadasung dapat menjadi ajang yang tepat untuk pembelajaran demokrasi (civic education) kepada rakyat. Agenda pilkadasung ini merupakan perwujudan dari otonomi dalam upaya mewujudkan kepemerintahan daerah yang baik (good local governance). Berkaitan dengan kepemimpinan politik, pilkadasung ini menjadi ajang kaderisasi kepemimpinan lokal yang pada akhirnya juga akan menjadi pemimpin nasional yang dipilih langsung oleh rakyat. Untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan Pilkadasung ini, Hadi mengatakan ada lima aspek yang patut dijadikan sebagai parameter, yaitu: pertama, proses penjaringan calon yang sehat dan bekualitas; kedua, kampanye yang dilakukan oleh calon harus sebagai perwujudan “kontrak politik” antara calon dengan masyarakat; ketiga, tidak adanya praktek money politic yang merupakan perwujudan adanya kesadaran objektif masyarakat; keempat, independency dan ketegasan KPU sebagai fasilitator; dan kelima, adalah minimnya kekerasan atau konflik antar pendukung kandidat. Drs. Desi Fernanda, M.Soc.Sc (Pembicara II): Mengangkat tema berjudul “Pilkada Langsung dan Upaya Mewujudkan Pemerintahan Daerah yang Bersih dan Bebas KKN (Good Local Governace)”, Desi mengemukakan bahwa pilkadasung yang merupakan model local democracy ini telah lama dipraktekkan ditingkat lokal di Indonesia yaitu dalam proses pemilihan kepala desa yang dilakukan secara langsung. Pelaksanaan pilkadasung ini diharapkan dapat mewujudkan good governance sebagai cita-cita pemerintahan modern yang melibatkan tiga sektor, yaitu State atau Governance, Private Sector dan Civil Society. Perwujudan Good Governance dan Good Local Governance akan meningkatkan penghormatan dan
  • 13. kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan, hal ini akan berkontribusi kepada kinerja pemerintah. Lebih lanjut Desi Fernanda menyampaikan bahwa hal lain yang diharapkan dapat terkontribusikan oleh agenda pilkadasung ini adalah; kedewasaan berpolitik (Political Maturity) dimana Pilkadasung tidak hanya dipahami sebagai ajang perebutan atau mendapatkan kekuasaan tetapi lebih dimaknai sebagai public spirit and development of intelligence, mencetak kader-kader pimpinan daerah maupun calon-calon pemimpin nasional melalui proses penggodokan di tingkat daerah (Training Leadership), Pilkadasung juga akan berkontribusi terhadap pencapaian/perwujudan masyarakat yang lebih baik dan melanggengkan masyarakat yang harmonis (Community Spirit dan Political Stability) terutama dalam menumbuhkan kemampuan untuk berkompromi terhadap adanya perbedaan pendapat. Disamping itu, masyarakat dapat mencapai kesetaraan politik (Politic Equality) dalam menentukan jalannya roda pemerintahan di daerah; pilkadasungpun akan meningkatkan derajat akuntabilitas (Accountability) penyelenggaraan pemerintahan daerah. Catatan penting yang diberikan oleh Desi Fernanda dalam kaitan mensukseskan agenda pilkadasung ini yaitu, adanya partisipasi aktif dari masyarakat untuk mengawal proses pilkadasung ini mulai dari awal sampai pada proses akhir; mewaspadai penyalahgunaan wewenang oleh birokrasi, Polri, TNI dan terutama kepala daerah yang sedang berkuasa (incumbent); fanatisme dan dukungan yang berlebihan terhadap salah satu calon membuka peluang terjadinya konflik antar pendukung disamping juga akan mempengaruhi kualitas calon yang terpilih dengan semata didasari oleh pertimbangan emosional ketimbang rasional, adanya upaya merusak nama baik seseorang calon melalui Black Campaign dan Negative Campaign yang juga akan membuka peluang terjadinya konflik tebuka antar sesama pendukung calon yang tidak bisa menerima calonnya dijelek-jelekkan; dan yang terakhir adalah kesiapan semua pihak menerima kekalahan dalam proses Pilkadasung ini. Hal ini semua dapat di antisipasi dan dipersiapkan secara matang dengan membuat aturan main yang jelas serta sanksi hukum yang keras terhadap setiap pelanggaran, dan sosialisasi terhadap aturan yang dibuat harus dilakukan secara luas kepada masyarakat sebagai upaya pelibatan masyarakat secara aktif dalam proses pilkadasung. Selain itu, sikap kenegarawanan serta kedewasaan pemilih dalam melalui 3
  • 14. semua tahapan dalam proses Pilkadasung menjadi kata kunci akan suksesnya agenda pilkadasung. Tri Widodo W. Utomo, SH.,MA (Pembicara III): Mengangkat tema berjudul “Penguatan Grassroot Democracy dan Akselerasi Pembangunan Daerah: Konvergen atau Divergen?”, Tri Widodo memaparkan bahwa pilkadalangsung adalah buah dari reformasi. Paling tidak ada dua hal penting yang harus dicapai melalui pilkadasung, yaitu penguatan demokrasi lokal dan kesejahteraan rakyat. Yang menarik adalah ketika dimunculkan pertanyaan, apakah ada keterkaitan antara demokrasi dengan pembangunan? Berbagai jawaban muncul dari pertanyaan itu, baik yang positif maupun negatif (yang menyatakan ada dan tidak ada keterkaitan sama sekali). Meski terdapat keraguan bahkan kontroversi tentang korelasi antara pembangunan dan demokrasi, namun diantara kontroversi tersebut terdapat benang merah yang dapat diambil, yaitu kedua-duanya (demokrasi dan pembangunan) penting untuk suatu negara. Pembangunan tanpa demokrasi nampaknya kurang bermakna, namun demokrasi tanpa pembangunan juga sangat ironis. Dan untuk mengakselerasi kedua aspek tersebut secara seimbang dan proporsional, maka formulasi dan implementasi kebijakan mengenai otonomi daerah dalam konteks ini memegang peranan penting. Lebih lanjut Tri Widodo menyampaikan, persoalan lain yang erat kaitannya dengan demokrasi adalah konflik. Sejauh mana kontribusi dan keterkaitan antara kedua aspek tersebut? Pertanyaan ini muncul seiring berbagai bentuk konflik yang terjadi ditengah masyarakat dewasa ini, yang sepertinya telah menempatkan euphoria demokrasi sebagai biang kerok-nya. Memang demokrasi tidak bisa memberikan jaminan akan tidak adanya konflik dalam masyarakat. Namun paling tidak, bangsa yang demokratis akan mampu membangun pranata sosial, sumber daya dan fleksibilitas sistem yang lebih baik. Sehingga dalam jangka panjang akan mampu mengelola setiap perbedaan dan sengketa secara damai. Karena sejatinya demokrasi itu anti terhadap kekerasan. Tri Widodo juga menyoroti kondisi riil perkembangan demokrasi di Indonesia yang memang masih sangat jauh dari ideal, bahkan sepertinya telah menimbulkan skeptisme ditengah-tengah masyarakat terhadap demokrasi. Menjawab persepsi 4
  • 15. masyarakat tersebut perlu kiranya diberi pemahaman, bahwa demokrasi bukanlah semata-mata kaitannya dengan mekanisme regulasi kekuasaan, dalam kaitannya dengan pembangunan dan pemerintah yang demokratis, tetapi pemerintahan yang demokratis juga harus mempunyai kemampuan atau kapasitas birokrasi untuk menjalankan program-program pembangunan secara efektif. Kinerja pembangunan yang tinggi inilah yang menjadi dasar legitimasi bagi pemerintah yang demokratis. Jadi bukan semata-mata dari segi prosedural dan kemenangan secara angka-angka dalam satu pemilihan. 5
  • 16. INTISARI SESSI II: KONDISI FAKTUAL DAN STRATEGI ANTISIPATIF PENYELENGGARAAN PILKADA LANGSUNG Drs. Syachruddin, MS.,MM (Pembicara IV): Pembicara membawakan makalah berjudul “Implementasi Pilkada Langsung di Daerah: Beberapa Potensi Masalah dan Strategi Pembinaan Aspek Pemerintahan”. Pembicara mengemukakan bahwa kerjasama antara KPUD, DPRD, dan Pemda sangat penting dalam proses pilkadasung ini. Ada beberapa hal yang menjadi titik rawan yang harus diberikan perhatian khusus yaitu; penyusupan pihak-pihak yang tidak independen (parpol) dalam pembentukan perangkat pilkadasung, kenetralan PNS, kerjasama KPUD dengan instansi terkait, pendaftaran pemilih, pencalonan dua orang calon (calon yang berbeda) oleh parpol yang sedang ada konflik internal, peluang terjadinya money politic dalam proses pengajuan calon, black campaign (issue KKN, illegal logging, dll), proses pencoblosan, proses penghitungan suara dan pasca penghitungan suara (kemampuan menerima kekalahan). M. Fadli, SE.,MM (Pembicara V): Pembicara ke-5 mewakili Kepala Badan Kesbang Linmas Propinsi Kaltim yang berhalangan hadir. Dengan topik berjudul Strategi Pemantapan Tatanan Nilai Kesatuan Bangsa Dalam Proses Pilkada Langsung”, pembicara menyampaikan bahwa pilkadasung diharapkan dapat melahirkan pemimpin yang legitimate yang mampu membawa kehidupan rakyat di daerah semakin aman, damai, adil, demokratis dan sejahtera. Komitmen semua komponen bangsa untuk mensukseskan agenda pilkadasung ini, akan menjadikan pilkadasung sebagai ajang kompetisi yang sehat dalam berdemokrasi. Dengan suksesnya pilkadasung ini diharapkan akan lebih mendewasakan masyarakat dalam berdemokrasi. Prof. Dr. HM. Jafar Haruna, M.Pd.,MS (Pembicara VI): Pembicara terakhir membawakan materi berjudul “Langkah-langkah KPUD Dalam Persiapan Teknis Penyelenggaraan Pilkada Langsung”. Dalam paparannya, 6
  • 17. pembicara mengingatkan bahwa peranan KPUD dalam penyelenggaraan pilkadasung baik di tingkat propinsi maupun Kabupaten sangat vital. Walaupun belajar dari pengalaman kesuksesan pelaksanaan pemilu nasional 2004 yang tidak saja diakui oleh publik nasional bahkan internasional ternyata tidak cukup menjadi garansi bagi lembaga penyelenggaranya (KPU) untuk mendapat appreciation. Guru Besar Universitas Mulawarman ini lebih jauh juga mengingatkan, menghadapi agenda pilkada yang sudah sangat dekat, ada dua tugas pokok KPU yang perlu segera disiapkan dengan matang. Pertama, menyiapkan petunjuk teknis yang bersifat pengaturan yang mencakup; tahapan, program, jadwal waktu penyelengaraan, organisasi dan tata kerja, petunjuk pelaksanaan pendaftaran pemilih, pemantau pemilihan, pencalonan, kampanye serta pemungutan dan penghitungan suara. Kedua, menyiapkan petunjuk yang bersifat penetapan yaitu; penetapan jumlah pemilih, alat kelengkapan administrasi, penetapan pasangan calon, penetapan dan pengumuman hasil rekapitulasi, penetapan kantor akuntan publik untuk mengaudit laporan dana kampanye dan penetapan surat suara. Disamping itu beliau juga mewanti-wanti agar semua pihak mewaspadai hal-hal yang mungkin akan menjadi ganjalan dalam pelaksanaan Pilkadasung ini. Misalnya harus diberikan perhatian kepada proses penetapan calon oleh KPUD yang sangat rentan menimbulkan money politic. 7
  • 18. INTISARI SESSI DISKUSI Issu-issu yang terlontar pada sessi tanya jawab atau diskusi interaktif sangat beragam, mulai dari polemik mengenai dapat tidaknya Pilkada dikategorikan sebagai Pemilu, indikasi penyalahgunaan kewenangan / kekuasaan pada setiap tahapan Pilkada, hingga hal-hal teknis seperti jadual Pilkada dan persyaratan calon Kepala/Wakil Kepala Daerah. Secara lebih lengkap, pemikiran yang berkembang selama seminar dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Adanya perbedaan penafsiran tentang Pilkada, apakah sebagai bagian dari Pemilu (nasional) ataukah hal yang terpisah. Secara konseptual, Pilkada pada hakekatnya juga merupakan Pemilu, namun sumber hukum yang mengaturnya ternyata berbeda. Penyelenggaraan Pemilu lebih merujuk pada UU No. 22 dan 23 tahun 2003 dan UU No. 12 Tahun 2005, yang secara teknis diatur lebih lanjut oleh Keputusan KPU. Sedangkan penyelenggaraan Pilkada lebih diatur oleh UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 6 Tahun 2005, yang secara teknis ditindaklanjuti oleh Keputusan KPUD. Mengingat adanya kerancuan istilah yang berpotensi menimbulkan kebingungan dalam tataran pelaksana, LAN dimohon untuk dapat berperan untuk memberi batasan-batasan secara akademik dan menetapkan perisitilahan secara baku, serta memberi pedoman tentang hubungan antara KPU dengan KPUD. 2. Dalam fungsi pengawasan, keberadaan tim pemantau independen dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pilkada. Dalam hubungan ini, perlu diperjelas tentang legalitas, status, dan mekanisme kerja berbagai tim pemantau ini, serta aturan tentang pembentukan tim pemantau independen. Disamping itu, keberadaan lembaga atau negara donor (funding agencies) dalam penyelenggaraan Pilkadasung juga perlu diatur secara jelas. 3. Kendala teknis pelaksanaan Pilkadasung yang berbenturan dengan jadual UAN (Ujian Akhir Nasional) untuk SMA. Sesuai peraturan, Pilkadasung harus dilaksanakan pada hari libur atau hari yang diliburkan, namun pada kenyataannya ketentuan tadi tidak selalu dapat dipenuhi. Untuk itu perlu dipikirkan pula aturan main yang dapat menjamin berlangsungnya Pilkadasung maupun kepentingan lain (misalnya UAN) secara harmonis. 8
  • 19. 4. Adanya indikasi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh para kandidat bakal calon Kepala/Wakil Kepala Daerah (incumbent). Hal ini perlu diwaspadai dan diawasi secara ketat tidak hanya oleh KPU D dan Panwas, tetapi juga oleh stakeholders lainnya. 5. Mepetnya waktu persiapan penyelenggaraann Pilkadasung serta sosialisasi bagi para calon pemilih. Hal ini perlu dibenahi untuk penyelenggaraan Pilkadasung periode berikutnya (2006 dan seterusnya). 6. Perlunya kejelasan aturan dan antisipasi yang matang dalam hal kemunculan Calon Tunggal. Apakah calon tunggal dapat diproses lebih lanjut, atau ada treatment yang lain. 7. Potensi munculnya konflik “rebutan suara”, khususnya pada daerah-daerah yang belum memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi secara jelas. Di Kalimantan Timur, antara Kutai Timur dan Bontang masih terjadi sengketa wilayah. Beberapa desa yang secara administratif berada di Kutai Timur, namun dalam hal kedekatan geografis dan pemberian pelayanan publik lebih banyak mendapatkan pelayanan dari Pemkot Bontang. Disamping itu, warga beberapa desa tadi juga menginginkan agar wilayah mereka ditetapkan sebagai bagian dari wilayah administrasi Bontang. 8. Disamping potensi konflik diatas, perlu pula diwaspadai munculnya konflik yang mengiri pelaksanaan Pilkadasung seperti persaingan yang kurang sehat antar para kandidat, persiapan pendaftaran pemilih yang kurang maksimal, netralitas PNS dalam setiap tahapan Pilkadasung, adanya fenomena “migran politik”, dan sebagainya. 9. Adanya kecenderungan pemakaian anggaran secara agak berlebihan, misalnya pengadaan baju dinas untuk tenaga Linmas sebesar 3 milyar rupiah di Kabupaten Kutai Kartanegara. Disamping itu, antar daerah di Kaltim juga cenderung terjadi perbedaan yang cukup menyolok tentang besaran biaya Pilkadasung. 10. Perlunya penegasan tentang netralitas birokrasi atau status seorang PNS dalam proses penyelenggaraan Pilkada, apakah diperkenankan untuk menjadi panitia di tingkat kampong / RT, misalnya sebagai panitia pemilihan. 11. Usulan tentang perlunya penambahan persyaratan bagi bakal calon Kepala/Wakil Kepala Daerah, yakni larangan terlibat penggunaan Narkoba, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi anggota keluarganya. 9
  • 20. Terhadap berbagai issu dan pemikiran yang dilempar para peserta tadi, para narasumber pun memberikan tanggapan balik yang cukup beragam pula. Secara lebih detil, jawaban atau komentar dari para pembicara atas pertanyaan / tanggapan dari peserta dapat diuraikan sebagai berikut: Tri Widodo W. Utomo mengatakan bahwa saat ini terjadi kegamangan berpikir dan bertindak dikalangan pejabat dan instansi Pusat. Dengan kata lain, berbagai peraturan yang mengatur tentang Pilkada (UU No.32/2004 dan PP No. 6/2005) yang memposisikan Pilkada bukan sebagai bagian dari Pemilu, merupakan perwujudan dari kegamangan pemerintahan pusat dalam pelaksanaan pilkada. Disatu pihak, pemerintah pusat ingin mengatur semua aspek penyelenggaraan Pilkada, tapi dalam prakteknya aturan-aturan yang dibuat tidak mampu menjawab problem yang ada di lapangan, bahkan menimbulkan kebingungan dan perbedaan interpretasi berbagai pihak. Ini artinya, pemerintah Pusat gagal mengantisipasi secara cermat berbagai kemungkinan gangguan teknis yang mungkin timbul dari proses dan tahapan Pilkada di berbagai daerah. Pemerintah seharusnya menyadari kekurangan dalam pengaturan secara total seperti ini, sehingga semestinya hanya menyediakan aturan makro atau panduan umumnya saja, sementara pelaksanaannya diserahkan kepada KPUD masing-masing daerah secara tidak seragam (tergantung kondisi dan kebutuhan daerah yang bersangkutan). Secara konseptual maupun kepentingan pragmatis, Pilkada harus merupakan bagian dari pemilu. Selama ini, praktek pilkada tidak dianggap sebagai bagian dari pemilu karena adanya aturan-aturan baru dan perangkat baru yang terpisah dari proses pemilu nasional. Inilah salah satu kesalahan mendasar dari desain Pilkada yang diatur dalam UU No. 32/2004 dan PP No. 6/2005. Pelaksanaan Pilkadasung ini seolah-olah menjadi persoalan baru (terpisah dengan proses pemilu nasional) yang menyebabkan segala hal dipikirkan dari awal kembali. Padahal semua perangkat pemilu nasional masih sangat relevan untuk dioptimalkan dalam melaksanakan pilkada langsung. Pada dasarnya tidak perlu dilakukan perubahan infrastruktur penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu legislatif yang lalu seperti panwas, kotak suara, tinta, TPS, KPPS, dan sebagainya, sehingga masih dapat dipertahankan dan digunakan untuk penyelenggaraan pilkada. Bahkan aturan mengenai sistem dan prosedur pemilu nasional 10
  • 21. juga masih applicable untuk pilkada. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada alasan untuk memisahkan Pilkada dari konsepsi dan konstruksi Pemilu secara nasional. Mengenai pengawas independen, selama ini telah ada dan perlu untuk dikembangkan. Apalagi setelah adanya putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang menyatakan bahwa KPUD harus bertanggungjawab kepada “publik”. Dengan adanya putusan semacam itu, maka kelompok-kelompok masyarakat memiliki hak lebih besar untuk terlibat dalam seluruh tahapan pelaksanaan Pilkada, khususnya yang menyangkut aspek pengawasan / monitoring. Dengan kata lain, semakin banyak tim pengawas independen dari kalangan masyarakat, berarti semakin mudah KPUD dalam menjalankan kewajibannya untuk bertanggungjawab kepada publik. Sementara itu Desi Fernanda mencoba menelusuri pengertian pemilu secara semantic (kaidah kebahasaan). Pemilu berasal dari bahasan Inggris yaitu “election, to elect” artinya pemilihan, memilih. Dilihat dari jenisnya, ada beberapa bentuk pemilihan, misalnya government election atau parliament election. Kalau di Amerika Serikat, election lebih erat kaitannya dengan presidential election. Sebenarnya proses pemilu nasional dengan pilkada langsung ini harus menjadi kesatuan dari proses pemilu nasional, jadi tidak perlu membentuk perangkat pelaksana yang baru dan terpisah dari pemilu nasional. Mengenai kaitan dengan hubungan KPU dengan KPUD dan Pemerintah, dalam satu sistem tidak ada yang berdiri sendiri dalam arti tidak ada kaitan sama sekali. Dalam satu sistem semua hal mempunyai hubungan dan keterkaitan antara yang satu dengan lainnya, itu merupakan konsekuensi suatu sistem. Tuntutan agar KPUD itu mandiri (independent) bukan harus diartikan KPUD tidak membutuhkan/berhubungan dengan instansi yang terkait dengan pelaksaan pilkadasung ini (Independency does not mean exclusive). Dalam hal ini, LAN (Lembaga Administrasi Negara) tidak bisa memberikan kontribusi langsung (mengikat) dalam melahirkan kebijakan apa lagi aturan hukum yang langsung berkenaan dengan pelaksanaan Pilkada. Sebab, LAN bukan sebuah institusi hukum yang melahirkan satu aturan atau kebijakan, terlebih kebijakan tadi menyangkut dimensi politik praktis. Mengenai lembaga independen ada aturan mainnya dan siapa pun boleh mendirikan lembaga pengawasan pemilu. Lembaga donor (funding agency) yang membiayai lembaga pemantau ini banyak. Mekanisme kerja dari lembaga independen 11
  • 22. ini bisa melihat peraturan peraturan yang ada. Tentang penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), di negara maju berbeda dengan kita, dimana di negara maju penyalahgunaan kekuasaan lebih dapat terukur aspek accountability-nya. Sedangkan di Indonesia seringkali tidak dapat bersifat accountable. Penyalahgunaan kekuasaan dalam praktek penyelenggaraan Pilkada ini bisa di cegah melalui perumusan aturan-aturan yang membatasinya serta penegakan aturan secara tegas. Dalam hal sempitnya persiapan dalam penyelengaraan Pilkada, sangat mungkin bahwa Pilkada tahun 2005 tidak berjalan secara optimal. Namun yang terpenting adalah upaya untuk memaksimalkan, terutama melalui media-media yang ada hal ini supaya masyarakat mendapat informasi yang cukup dan akhirnya akan berpartisipasi dalam pilkada langsung ini. Selanjutnya Hadi Sutanto menjelaskan bahwa pelaksanaan Pilkada di Kutai Kartanegara (Kukar) pada tanggal 1 Juni 2005 sudah merupakan keputusan KPUD sesuai PP. Menurut PP No. 6/2005, pilkada dilaksanakan pada hari libur atau hari yang diliburkan. Pada saat penetapan tanggal 1 Juni 2005 sebagai pelaksanaan Pilkada, saat itu belum ada edaran dari Departemen Pendidikan Nasional bahwa pada saat yang bersamaan akan dilaksanakan ujian akhir untuk siswa SMU. Dengan demikian, keputusan KPUD Kukar mendahului program Depdiknas. Oleh karena itu, akan diusahakan agar Pilkada tetap berjalan tanpa mengganggu program ujian nasional. Caranya, akan dikeluarkan aturan teknis misalnya dengan memundurkan pelaksanaan Pilkada beberapa jam. Hal inipun harus sepersetujuan berbagai pihak yang terkait, yakni KPUD, DPRD, Pemerintah Daerah, Gubernur dan KPUD Propinsi, dan sebagainya. Memang dalam pelaksanaan pilkada lansgung secara nasional ini banyak kendala, baik dari Depdagri maupun juga dari DPR. Kendala tersebut terutama dalam segi waktu, dana, dan lain-lain. Untuk mengantisipasi ini Depdagri telah mengeluarkan edara untuk pelaksanaan pilkada langsung tanpa perlu menunggu Peraturan Pemerintah. Mengenai besaran dana Pilkada di Kukar, Hadi Sutanto menjelasakan bahwa anggaran pelaksanaan Pilkada Langsung di Kutai Kartanegara yang tinggi, hal ini selain karena faktor luas geografisnya yang luas, di Kutai kita juga mengadakan pengadaan pakaian Linmas sebagai bagian dari pembinaan Linmas. Anggaran pilkada bersumber 12
  • 23. dari APBD, namun karena ini adalah pilkada langsung yang pertama maka masih ada sharing dana dari pemerintah pusat, namun begitu sampai sekarang belum jelas jumlah dan kapan pencairannya. Dalam hal ini, penanggungjawab pilkada adalah KPUD sementara peran pemerintah daerah lebih pada upaya membantu pemutakhiran data, keamanan, fasilitator (dana), menegakkan netralitas PNS, dan sebagainya. Pada sessi berikutnya, Syachruddin menegaskan bahwa mengenai calon KDH/Wakil KDH yang sedang menjabat, tidak ada ketentuan pasti yang mengharuskan calon bersangkutan untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Namun pada waktu pelaksanaan kampanye, pejabat yang bersangkutan harus cuti. Meskipun tidak ada keharusan untuk mengundurkan diri, namun demi tertib dan adilnya (fairness) pelaksanaan Pilkada, maka perlu ditunjuk seorang pejabat. Dalam hal ditemuinya penduduk / pendatang baru, sepanjang mereka telah menetap paling sedikit 6 (enam) bulan, maka mereka telah memiliki hak suara pada pilkada ini. Saat ini di wilayah Kalimantan Timur memang banyak warga transmigrasi yang belum terdaftar, tapi mereka itu harus di daftar semua selama telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Syachruddin juga menandaskan bahwa Pilkada langsung ini merupakan hak otonomi daerah. Oleh karena itu, bagaimanapun Pemda harus memayungi agenda ini dan berusaha mensukseskan hajat nasional ini. Sebab, kegagalan satu daerah dalam pelaksanaan pilkada, berarti pula kegagalan seluruh bangsa. Untuk itu, diharapkan agar semua pihak dapat mengambil peran aktif untuk mensukseskan pilkada langsung yang pertama kali ada di Indonesia ini. Menanggapi penanya lain, Syachruddin mengatakan bahwa pelaksanaan Pilkada ini bukan hanya untuk mendorong terbangunnya demokrasi lokal, tetapi juga sebagai prasyarat awal untuk menjalankan program-program pembangunan daerah secara optimal dan aspiratif. Dengan demikian, kedua-duanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Adapun mengenai netralitas PNS, sebisa mungkin perlu dihindarkan keterlibatan PNS dalam panitia pemilihan. Kalau memang sangat terpaksa dalam suatu kampong / RT tidak ada yang mampu atau memenuhi syarat sebagai panitia pemilihan, baru PNS dapat dijadikan sebagai panitia. Namun inipun harus dilakukan secara sangat selektif. Mengenai kesiapan daerah dan KPUD di wilayah Kalimantan Timur dalam pelaksanaan Pilkada, Syachruddin menjelaskan bahwa sampai sekarang 13
  • 24. semua KPUD kabupaten/kota menyatakan siap, dan belum ada yang menyatakan ketidaksiapannya. Sementara itu Ketua KPUD Kalimantan Timur Jafar Haruna lebih banyak bicara mengenai aspek teknis penyelenggaraan Pilkada dan kesiapan KPUD dalam tahap persiapan hingga pelaksanaannya nanti. Dalam penjelasannya, Jafar Haruna kembali menegaskan bahwa bagi warga transmigran yang sudah menetap 6 (enam) bulan lamanya sebelum pilkada, maka langsung bisa didaftarkan dan ikut memilih. Ia juga menyebutkan bahwa keterlibatan PNS dalam panitia pemilihan tetap dimungkinkan, kalau sangat terpaksa dan tidak ada lagi orang lain (non PNS) yang mampu dan/atau memenuhi syarat. Menanggapi adanya usulan agar ditambahkan persyaratan baru bagi calon KDH/Wakil KDH, yakni terbebas dari narkoba baik bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarganya, Jafar Haruna menjelaskan bahwa dalam peraturan secara detail memang tidak ada. Namun ada syarat umum yakni “bertakwa kepada Tuhan YME”. Seseorang yang terlibat narkoba, berarti dia tidak memiliki ketakwaan yang dalam terhadap Tuhan YME. Selain itu, masyarakat akan bisa menilai tentang calon (dan keluarganya) apakah bebas narkoba atau tidak. Kalau ternyata ada indikasi tersangkut dalam penggunaan narkoba, semestinya masyarakat tidak memilihnya. Tentang kemungkinan munculnya calon tunggal, Jafar Haruna menyatakan sebagai hal yang tidak perlu dipermasalahkan, selama itu telah melalui proses yang benar. Tapi kemungkinan calon tunggal sangat kecil peluangnya, dan di Kaltim sampai sekarang belum ada indikasi kearah sana. 14
  • 25. BAGIAN KEDUA SAMBUTAN DAN MAKALAH PEMBICARA
  • 26. “PILKADA LANGSUNG DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI NEGARA” SAMBUTAN KEPALA LAN-RI PADA SEMINAR / DISKUSI TERBATAS FORUM SANKRI TENTANG “PILKADA LANGSUNG: ANTARA TUNTUTAN EFEKTIVITAS PEMERINTAHAN DAERAH DAN HARAPAN MEMBANGUN DEMOKRASI LOKAL” Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua, Yang terhormat Bapak Gubernur Kalimantan Timur atau yang mewakili, Yang terhormat para peserta dan penyelenggara Seminar / Diskusi Terbatas, Belum lama ini di tahun 2004 lalu, pemilihan presiden secara langsung diselenggarakan dan sebagaimana kita ketahui hal itu merupakan fenomena baru dalam perpolitikan di Indonesia. Model ini juga akan dilakukan di daerah-daerah untuk pemilihan gubernur, bupati, walikota. Pemilihan kepala daerah (pilkada) yang akan dilaksanakan secara langsung ini diharapkan akan menciptakan perekrutan pemimpin lokal dengan standar jelas dan transparan, sehingga mampu menumbuhkan sikap percaya masyarakat. Hal ini menjadi perubahan luar biasa pada sistem pemerintahan di negeri ini. Betapa hiruk-pikuknya agenda pemilihan kepala daerah di tanah air, karena sepanjang Juni 2005 di 226 daerah akan dilaksanakan 11 pemilihan gubernur, 179 pemilihan bupati dan 36 pemilihan walikota gubernur, bupati/walikota akan dipilih juga secara langsung pada Juni 2005. Dasar hukum pemilihan kepala daerah muncul dari pengaturan di tingkat konstitusi. Pada salah satu sisi, pemilihan kepala daerah diletakkan dalam Bab IV tentang pemerintahan daerah. Pasal Ayat (4) Undang-undang Dasar 1945 menentukan bahwa gubernur, bupati dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Dan didukung dengan 16
  • 27. terbitnya UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan PP No. 6 tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah. Tentu akan ada kendala baik kendala politis maupun kendala teknis yang akan mengikuti perjalanan awal pelaksanaan pilkada secara langsung. Kendala politis ini diantaranya masih kuatnya dominasi rekruitmen kepala daerah dari partai politik dan masalah yang paling krusial adalah implikasi yang sangat luas atas model Pilkada yang lalu dimana cenderung mengarah pada parktek-praktek politik praktis yang diwarnai “money politic” pemerintahan yang kurang baik. Besarnya biaya politik mengakibatkan pemimpin lokal yang terpilih akan melakukan ‘balas dendam’ atas investasi yang ditanamkan dalam Pilkada. Jabatan, akhirnya dimaknai sebagai instrumen untuk mendapatkan kembali investasi yang telah ditanamkan. Politik uang sebenarnya hanya sebagian masalah besar selain korupsi, kolusi dan nepotisme yang mengiringi proses kontestasi pemilihan kepemimpinan daerah, masih banyak lagi masalah yang dapat terjadi dan menghilangkan arti proses pemilihan itu sendiri, misalnya konflik antar para pendukung calon yang disebabkan oleh perbedaan ideologis, heterogenitas dan dinamika kehidupan masyarakatnya. Sementara itu yang mungkin menjadi kendala teknis diantaranya kesiapan pemerintah daerah dalam masa persiapan pilkada, diantaranya yang perlu dipertimbangkan adalah tingkat kesulitan geografis baik pada saat sosialiasi maupun pada saat distribusi logistik untuk hari pemilihan serta estimasi ketersediaan logistik itu sendiri – untuk itu pemerintah daerah harus menyiapkan dana yang sangat besar. Namun dibalik kendala yang akan dihadapi, upaya untuk memberikan opsi yang membawa angin segar pada proses pemilihan kepada daerah dan wakilnya sudah di depan mata. Hal yang paling mendesak dari mekanisme pemilihan kepala daerah dan wakilnya secara langsung di daerah memungkinkan masyarakat daerah untuk dapat melakukan proses negosiasi demokrasi dan melangkah ke arah instalasi dan konsolidasi demokrasi. Diantaranya melalui uji publik bagi calon kepala daerah agar dapat diketahui seberapa paham seorang calon kepala daerah akan membawa perubahan selama yang bersangkutan memegang tampuk kepemimpinan. Uji publik ini dilakukan secara terbuka di mana segenap komponen masyarakat berhak untuk mengetahui calon kepala 17
  • 28. daerah sebelum dipilih. Uji publik sangat penting bagi pendewasaan politik masyarakat pemilih maupun calon-calon kepala daerah itu sendiri. Dengan upaya ini secara sadar atau tidak sadar masyarakat paham dan kemudian turut mengawasi pembentukan struktur clean governance dan good local governance yang tidak dominatif. Pilkada langsung dan tuntutan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan agar terwujud good local governance merupakan dua sisi mata uang yang saling terkait. Pilkada langsung sebagai alat untuk menemukan pemimpin lokal yang diharapkan sesuai dengan hati nurani rakyat: memiliki moralitas tinggi, mendahulukan kepentingan publik, memiliki komitmen tinggi dalam merespon setiap aspirasi masyarakat, profesional, adil, dan mampu merealisasikan janji-janjinya. Sementara good local governance sebagai proses penyelenggaraan kepemerintahan yang akan dijalankan oleh pemimpin lokal terpilih untuk mencapai tujuan akhir: kesejahteraan masyarakat dan pemberdayaan seluruh komponen di daerah. Karena itu, dasar pijakan pelaksanaan prinsip-prinsip good local governance ini tetap harus merujuk pada bagaimana persoalan KKN yang telah membudaya ini diselesaikan. Dan upaya membentuk good governance di daerah dapat dimulai dari penumbuhan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi pengelolaan negara serta komitmen tinggi untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme termasuk diantaranya melalui ajang pemilihan kepemimpinan daerah secara langsung oleh masyarakat. Serta dengan memperhatikan prinsip-prinsip desentralisasi demokratik bukan hanya pada aspek-aspek pembentukan otonomi pemerintahan daerah tetapi juga pengembangan otonomi masyarakat daerah. Penyempurnaan program nasional desentralisasi sekarang ini menjadi program desentralisasi demokratik akan makin memaknai pengejawantahan prinsip otonomi secara menyeluruh di Indonesia Bapak Gubernur dan peserta Diskusi Terbatas yang saya hormati, Sebagai salah satu momentum yang memiliki potensi besar di mana masyarakat dapat belajar di dalamnya adalah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung. Demokrasi akan lebih mendalam dan sempurna bila proses pengambilan keputusan makin mendekati pemiliknya yang sejati yakni rakyat. Dulu model yang disering disebut Demokrasi Pancasila mempunyai argumentasi bahwa DPRD memiliki kewenangan untuk memilih kepala daerah, akan 18
  • 29. tetapi keputusan dan penetapan dilakukan oleh pemerintah pusat. Hal ini karena pemerintah pusat harus mendapatkan gubernur, bupati atau walikota yang mampu bekerja sama dengan pemerintah pusat. Bagaimanapun, gubernur atau bupati menurut UU No. 5 tahun 1974 adalah kepala daerah sekaligus kepala wilayah yang merupakan wakil pemerintah pusat. Bahkan pasal 80 undang-undang tersebut mempertegas kedudukannya sebagai penguasa tunggal. Di era reformasi, pilkada jauh lebih baik karena kewenangan DPRD untuk memilih dan mengangkat kepala daerah sangat besar. Pasal 34 (1) UU No. 22 tahun 1999 menyatakan bahwa: “Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan” selanjutnya pada pasal 34 pada pasal 34 ayat (2) UU tersebut disebutkan bahwa “calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD melalui tahapan pencalonan dan pemilihan”. Siapapun yang memperoleh suara mayoritas secara otomatis akan mendapatkan posisi sebagai kepala daerah. Pemerintah pusat hanya bertugas mengesahkan hasil yang telah disepakati di tingkat daerah. Perkembangan terakhir sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 – Hal ini pun mungkin tidak berarti tanpa cacat. Dalam praktek, money politic sangat umum terjadi. Hal ini pun akan menjadi dilemma lain pelaksanaan pilkada langsung yang akan digelar di banyak Daerah dalam waktu dekat ini – permainan politik uang dalam mekanisme baru ini hanya mengalihkan sasaran politik dari anggota DPRD kepada pimpinan partai. Artinya oligarkhi partai semakin kuat, sementara aspirasi politik masyarakat dibelenggu. Selain itu adanya sinyalemen bahwa besarnya dana yang harus dikeluarkan baik oleh kandidat maupun oleh pemerintah daerah lebih besar, bila dibandingkan pemilihan oleh DPRD. Namun di sisi lain sebagai sebuah hajatan publik, proses pemilihan kepala daerah sangat mungkin untuk digunakan sebagai barometer tingkat kesadaran politik masyarakat. Pilkada langsung seharusnya dimaknai pula sebagai sebuah bentuk kebijakan publik yang sudah tentu berkonsekuensi keikutsertaan masyarakat dalam pemilihan itu. Maka, kesadaran dalam mengartikan makna partisipasi masyarakat dalam pemilihan itu, yakni Pilkada langsung merupakan manifestasi dari sebuah pengakuan kedaulatan rakyat oleh penyelenggara negara. Rakyat menjadi stakeholder utama yang sangat menentukan dalam proses pemilihan kepemimpinan lokal ini. Ini menimbulkan 19
  • 30. konsekuensi tersendiri bahwa siapapun yang terpilih harus responsive terhadap berbagai aspirasi atau tuntutan rakyat. Selain itu, pemerintah pusat tetap harus mengakui sebagai pemimpin lokal pilihan rakyat. Pilkada langsung memunculkan harapan baru yakni sebuah perubahan besar dalam sistem pelayanan publik. Hal yang selama ini terabaikan oleh penyelenggara pemerintahan di daerah. Hal ini sebagai dampak dari pengakuan negara terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan penghargaan kedaulatan rakyat. Setelah terpilihnya pemimpin lokal, para aparatur negara di daerah akan semakin dituntut untuk memperbaiki kinerja pelayanannya yang terbaik terhadap masyarakat. Keterkaitan publik dalam menentukan kepemimpinan lokal harus juga disadari sebagai dasar pertimbangan dalam merumuskan berbagai kebijakan, pelaksanaan dan evaluasinya. Sehingga rakyat mendapatkan manfaat terbesar dari setiap kebijakan yang dilahirkannya. Sejalan dengan isu governance itu sendiri yang mulai memasuki arena perdebatan pembangunan di Indonesia yang didorong oleh adanya dinamika yang menuntut perubahan-perubahan di sisi pemerintah maupun di sisi masyarakat, ke depan, pemerintahan dan pemimpin politik di negara ini diharapkan menjadi lebih demokratis, efisien dalam penggunaan sumber daya publik, lebih tanggap serta mampu menyusun kebijakan, program dan hukum yang dapat menjamin hak asasi dan keadilan sosial. Dan sejalan dengan itu masyarakat juga menjadi lebih memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya, lebih terinformasi, memiliki solidaritas, bersedia berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan urusan publik, memiliki kemampuan untuk berurusan dengan pemerintah dan institusi publik lainnya, dan tidak apatis. Bapak Gubernur dan peserta Diskusi Terbatas yang saya hormati, Salah satu syarat wujud demokratisasi adalah keikutsertaan rakyat dalam proses pemerintahan daerah, masyarakat memiliki akses ke sistem pemerintahan termasuk turut memberikan partisipasi dalam memilih siapa yang akan menjadi pemimpin mereka. Proses pilkada yang bebas dan demokratis, yang diikuti pula peningkatan kualitas partisipasi rakyat, jelas merupakan asset yang perlu dijaga dan dipertahankan agar pengelolaan perubahan secara mendasar benar-benar melembaga dalam kehidupan 20
  • 31. kolektif bangsa kita. Semoga saja momentum yang sama semakin melembaga dalam pemilu presiden putaran kedua, karena rakyat Indonesia ingin suatu perubahan mendasar segera. Perubahan yang diinginkan ini pada tiga tataran yaitu pada tataran pemimpin, tataran sistem, tataran penyelenggaraan pemerintahan daerah dan tataran kinerja konkret penyelesaian masalah substantive secara efektif. Dengan pemilihan kepala daerah secara langsung, maka elite yang terpilih akan lebih akuntabel, responsif dan kredibel di mata rakyat pemilih (konstituen), bukan pada fraksi-fraksi politik yang memilihnya atau pejabat-pejabat Pusat yang selama ini cenderung ikut mempengaruhi hasil pemilihan Kepala Daerah. Dalam konteks tersebut, dirasakan adanya suatu kebutuhan untuk melakukan rekonstruksi politik di tingkat lokal sebagai konsekuensi logis dari perubahan politik yang disebabkan amandemen UUD 1945 dan disahkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Berdasarkan PP No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah. Dengan kata lain, diperlukan adanya suatu model pemilihan kepala daerah yang demokratis, melalui Pilkada langsung sebagai acuan yang dapat dijadikan pedoman untuk melakukan pembangunan dan pemberdayaan politik di tingkat lokal. Pilkada langsung di tingkat gubernur, bupati dan walikota sebenarnya menunjukkan konsistensi pemerintah dalam menyikapi perkembangan demokrasi dalam politik pemerintahan. Karena dari segi tata pemerintahan dan administrasi negara, perimbangan check and balance antara legislative dan eksekutif. Sistem pilkada langsung ini tentunya akan berdampak pada sistem pertanggungjawaban kepala daerah dimana wacana yang ada telah muncul kesalahan penerapan selama ini hingga berpengaruh pada penyimpangan hubungan antara eksekutif dan legislatif. Hal yang paling demokratis adalah bahwa kontrol atas kepala daerah berada di tangan rakyat yang memilihnya. Proses ini menuju ke arah penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan baik. Di samping pemilihan Kepala Daerah secara langsung dipandang sebagai konsekuensi politis setelah adanya perundangan yang mengatur pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, diperkuat pula oleh kebiasaan masyarakat pedesaan Indonesia dalam memilih kepala desanya, yang secara logis berimplikasi bahwa masyarakat di tingkat lokal telah siap untuk berpartisipasi dalam pilkada langsung. 21
  • 32. Dengan demikian, Pilkada langsung dapat diartikan juga sebagai bagian dari agenda reformasi politik pasca Orde Baru, agar demokratisasi di tingkat lokal dapat dibangun dengan baik. Karena selama tiga tahun implementasi UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah terjadi distorsi di dalam pemilihan Kepala Daerah. Sekalipun political will pemerintah mengarah kepada implementasi ketentuan-ketentuan tentang pilkada di daerah-daerah di Indonesia, sejauh ini belum ada kajian yang secara khusus menfokuskan perhatiannya pada pembentukan model pilkada secara demokratis dalam bentuk naskah akademik. Model pilkada yang demokratis diperlukan, paling tidak, sebagai acuan akademik untuk penyusunan dan pelaksanaan amanat konstitusional tersebut. Dengan demikian kajian ini akan difokuskan pada upaya menyusun sebuah model pilkada yang demokratis. Model pilkada yang demokratis hanya dapat dilaksanakan dengan pengelolaan (manajemen) yang baik dan demokratis pula. Krisis demokrasi tersebut akan terus berlanjut jika tidak segera dilakukan antisipasi kebijakan untuk membatasinya, yang pada akhirnya akan berimplikasi bagi upaya mewujudkan good governance. Solusi pemilihan langsung dalam memilih kepala pemerintahan (eksekutif) seperti pada presiden, gubernur, bupati, dan walikota merupakan salah satu dari sekian banyak metode yang bisa dilakukan untuk mengatasi krisis demokrasi. Sehingga akhirnya manajemen pemilihan kepala daerah dan wakilnya sangat diperlukan untuk meminimalisir kendala dan konflik yang akan mungkin selalu hadir dalam proses panjang pemilihan itu sendiri. Karena, tak terkecuali pada proses pemilihan pemimpin pada sebuah negara di dunia atau sebuah provinsi atau kabupaten atau kota di Indonesia. Manajemen pemilihan ini merupakan upaya yang dilakukan agar proses pemilihan tersebut dapat terselenggara dengan baik dan berhasil. Proses manajemen pemilihan dipengaruhi juga oleh komitmen sebuah negara kepada demokrasi dan yang lebih penting lagi adalah adanya perluasan legitimasi pemilih oleh pemerintah. Evaluasi penyelenggaraan pilkada yang akan dilaksanakan mulai bulan Juni 2005, dari segi manajemen akan dilaksanakan oleh Lembaga Administrasi Negara melalui Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah Namun selain hal yang telah dibahas sebelumnya masih perlu pula upaya mendewasakan masyarakat daerah dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan 22
  • 33. politik melalui pendidikan politik yang bukan hanya ditekankan pada aspek peningkatan kesadaran dan pengetahuan, tetapi juga dengan melakukan fasilitasi kepada masyarakat dengan tujuan untuk mendorong agar lebih menguatkan partisipasi politik dengan secara langsung melibatkan mereka dalam melakukan kontrol kebijakan publik. Suatu hal yang mustahil dapat terlaksana – walaupun peraturan kebijakan telah mendukung – namun kesempatan ini tidak dimanfaatkan masyarakat dan elit politik di tingkat lokal dengan sebaik-baiknya. Bapak Gubernur dan peserta Diskusi Terbatas yang saya hormati, Akhir kata, saya mengucapkan selamat mengikuti seminar ini semoga gagasan dan ide-ide cemerlang dapat terlahir dari forum yang mulia ini, dan diharapkan dapat bermanfaat bagi penyelenggaraan pilkada di wilayah Kalimantan Timur khususnya dan Indonesia pada umumnya. Wabillahittaufiq wal hidayah, Wassalamu ‘alaikum Wr.Wb. Samarinda, 14 April 2005 Lembaga Administrasi Negara Kepala Anwar Suprijadi 23
  • 34. PIDATO PEMBUKAAN GUBERNUR PROPINSI KALIMANTAN TIMUR PADA SEMINAR / DISKUSI TERBATAS FORUM SANKRI TENTANG “PILKADA LANGSUNG: ANTARA TUNTUTAN EFEKTIVITAS PEMERINTAHAN DAERAH DAN HARAPAN MEMBANGUN DEMOKRASI LOKAL” Yth. Bapak Kepala LAN RI, Yth. para Pembicara / Nara Sumber, Yth. para Undangan dan hadirin sekalian yang berbahagia, Assalamu’alaikum wr wb. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua, Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah mencurahkan karunia-Nya, sehingga kita dapat bertemu dalam sebuah acara yang saya nilai cukup penting dan strategis, yakni Seminar / Diskusi Terbatas tentang Pilkada Langsung di Daerah. Secara pribadi, saya menyambut positif digelarnya seminar ini. Pelaksanaan Pilkada Langsung yang sebentar lagi akan kita hadapi di berbagai daerah, bukan saja memerlukan persiapan teknis yang cermat, namun juga prediksi yang tajam serta pemikiran dan pengkajian yang mendalam mengenai kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari pelaksanaan Pilkada, implikasi yang muncul dari adanya kebijakan terkait, serta saran-saran kebijakan tentang apa-apa yang harus dilakukan dalam usaha untuk menghadapi berbagai kemungkinan dan implikasii tadi. Bagi bangsa Indonesia, pelaksanaan Pilkada Langsung adalah momentum strategis bagi kelangsungan demokrasi di negeri ini. Oleh sebab itu, tugas kita adalah menjaga momentum tersebut dengan sebaik-baiknya. Caranya, kita dituntut untuk meningkatkan komitmen perjuangan dan pengabdian kepada masyarakat. Pilkada Langsung bukanlah momentum bagi seorang individu yang mampu, berpengaruh, dan kuat, untuk menonjolkan diri dan kelompoknya. Pilkada Langsung adalah momentum untuk mengembalikan rakyat pada posisi yang semestinya, yakni sebagai pemberi 24
  • 35. mandat dan sebagai pihak yang harus mendapat pelayanan prima, bukan sebaliknya. Untuk itu, saya sangat berharap bahwasanya semua pihak turut merasa bertanggungjawab dan ikut mengawasi jalannya Pilkada Langsung, sehingga pesta demokrasi rakyat nanti tidak sampai menodai prinsip-prinsip demokrasi. Bapak Kepala LAN dan hadirin sekalian yang saya hormati, Lahirnya UU No. 32/2004 yang disusul dengan pemberlakuan PP No. 6/2005 telah memberi landasan yuridis konstitusional yang kuat bagi berjalannya proses demokratisasi di tingkat akar rumput. Tidaklah aneh jika dewasa ini, jajaran pemerintah daerah Propinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia sedang berkejaran dengan waktu, berkenaan dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung. Namun nampaknya, hajatan nasional ini bakal mengalami beberapa hambatan yang cukup serius. Disamping waktu persiapan yang sangat mepet, aturan main Pilkada Langsung sendiri masih membingungkan dan mengundang multi tafsir (debatable). Secara teknis, hal tersebut diperparah dengan belum mantapnya akomodasi dan logistik Pilkada, serta terbatasnya dana yang tersedia baik dalam APBD maupun kucuran dana dari Pusat. Itulah sebabnya, semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada Langsung ini dituntut untuk selalu memantau lalu lintas informasi sekaligus melakukan langkah-langkah pembenahan dan penyesuaian atas seluruh dimensi penyelenggaraan Pilkada Langsung yang diperlukan. Ketidaklengkapan dan ketidakakuratan adminisratif, kekurangseriusan dan kekurangpahaman dari aparat pelaksana, serta keterlambatan dan ketidaksepurnaan pelaksanaan Plkada Langsung hanya akan berdampak pada tidak optimalnya upaya mewujudkan pemerintahan daerah yang demokratis, akuntabel, transparan, partisipatif, terkontrol, serta berkinerja tinggi. Mengingat adanya kemungkinan kendala yang saya sebutkan diatas, maka proses penyelenggaraan Pilkada Langsung harus dijamin terbebas dari adanya asymmetrical information dan nonconforming perception diantara perumus kebijakan, pelaku atau pelaksana di tingkat lapangan, serta kalangan stakeholders yang terlibat. Informasi yang tepat dan akurat, serta kesamaan persepsi antar berbagai pilar penyelenggara Pilkada Langsung, merupakan prasyarat bagi terwujudnya kualitas Pilkada yang tinggi. 25
  • 36. Dalam rangka menjalin sinergi antar pihak, serta didasari keinginan untuk menumbuhkan kepedulian dan cita-cita bersama (shared vision) diantara para pilar pelaksana Pilkada itulah, maka saya sangat menghargai inisiatif PKP2A III LAN Samarinda dan Badan Kesbang Linmas Propinsi Kalimantan Timur untuk mengadakan acara seminar ini. Saya sangat berharap bahwa dari hasil seminar ini akan dapat dirumuskan berbagai rekomendasi kebijakan makro maupun mikro yang secara aplikatif dapat menjadi rujukan dalam membenahi berbagai aspek penyelenggaraan Pilkada Langsung, khususnya di wilayah Kalimantan Timur. Walaupun Kalimantan Timur selama ini terkenal sebagai salah satu daerah yang paling tenang dan kondusif di Indonesia, namun bukan berarti terbebas dari potensi konflik horizontal maupun vertikal. Oleh karena itu, pengamatan yang cermat, antisipasi yang akurat, serta penanganan yang tepat atas suatu kondisi sosial tertentu, akan sangat menentukan berhasilnya program-program pemerintahan, termasuk Pilkada Langsung ini. Sekali lagi, saya menyampaikan banyak terima kasih atas usaha dan kerja keras yang telah ditunjukkan oleh penyelenggara Seminar ini. Saya berharap agar kepekaan kita sebagai aparat daerah semakin tajam terhadap issu-issu aktual yang berkembang di tengah masyarakat, sekaligus memiliki kehendak yang kuat untuk mengurai berbagai persoalan yang ada di tengah masyarakat tadi melalui upaya-upaya sistematis baik secara akademis maupun kebijakan. Akhirnya, dengan memohon rahmat Allah SWT, saya nyatakan Seminar / Diskusi Terbatas tentang “Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal”, saya nyatakan secara resmi DIBUKA. Wabillahit taufiq wal hidayah, Wassalamu’alaikum wr.wb. Samarinda, 14 April 2005 Gubernur Kalimantan Timur Suwarna AF. 26
  • 37. POKOK-POKOK PENYELENGGARAAN PILKADA LANGSUNG MENURUT PP. NO. 6 TAHUN 2005 DAN IMPLIKASINYA DI DAERAH 1 Oleh: Drs. Hadi Sutanto (Direktur Partisipasi Politik dan Lembaga Perwakilan Depdagri; Pj. Bupati Kutai Kartanegara) Pendahuluan Sekitar tiga bulan lagi sejumlah darah di Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat. Tercatat 173 kabupaten/kota akan melaksanakan pilkada pada bulan juli 2005. Bahkan dari 173 daerah, lima dari kabupaten/kota tersebut adalah di provinsi Kalimantan Timur masing-masing; Kabupaten Kutai Kartanegara, Pasir, Berau, Bulungan dan Kota Samarinda. Sedangkan untuk Kabupaten Kutai Kartanegara akan melaksanakan Pilkada yang pertama kali di Indonesia pada tanggal 1 Juli 2005. Biasa dibayangkan betapa riuhnya dunia perpolitikan kita saat itu. Sebab, meskipun Pilkada tidak banyak melibatkan pemerintah pusat secara langsung tapi apa yang terjadi diberbagai daerah itu pasti mempunyai pengaruh secara nasional, terutama stabilitas politik dan keamanan. Di sinilah diperlukan antisipasi dan koordinasi dari berbagai pihak, terutama aprat keamanan, pimpinan politik, dan juga tokoh masyarakat dan agama. Peran mereka sangat besar untuk memberi keamanan kepada masyarakat bahwa pilkada secara langsung oleh rakyat di maksudkan untuk mencari pimpinan daerah yang terbaik pada gilirannya bisa diharapkan membawa masyarakat setempat pada kehidupan yang lebih baik pula. 1 Makalah disajikann dalam Diskusi Terbatas Forum SANKRI “Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal”, diselenggarakan oleh PKP2A III LAN Samarinda bekerjasama dengan Badan Kesbang Linmas Prop. Kalimantan Timur, Kamis, 14 April 2005. 27
  • 38. Di sisi lain, adanya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat kita dengan pemenuh semangant dan suka cita Pilkada secara langsung ini boleh dikata merupakan buah Reformasi yang diperjuangkan oleh segenap komponen bangsa. Sebelumnya eformasi juga membuahkan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Karena itu, pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat yang baru pertama kali ini, harus kita tangkap sebagai kesempatan emas. Dengan pilkada secara langsung itu rakyat dapat memilih pimpinannya sendiri secara langsung. Dalam Pilkada seperti ini rakyat benar-banar menjadi subyek dan bukan lagi sebagai objek atau sekedar pelengkap penderita. Menuju Pilkada Yang Demokratis Berbeda dengan pemilihan presiden – wakil presiden, Undang Undang Dasar 1945 tidak secara eksplisit menentukan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung. Pasal 18 ayat (4) UUD1945 mengamanatkan bahwa gubernur, bupati dan wali kota masing- masing sebagai sebagai kepala pemerintah privinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Dalam waktu cukup lama, frasa “dipilih secara demokratis” tersebut menyisakan perdebatan karena ada yang berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah tidak perlu dilakukan secara langsung. Perdebatan itu mereda ketika UU No. 22 tahun 2003 tentang susunan kedudukan anggota Legislatif tidak lagi memberikan kewenangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Di samping itu, dalam menjaga konsistensi dengan pemilihan presiden, maka frasa dipilih secara demokratis dipersempit menjadi pemilihan secara langsung. Penyempitan makna itu dapat dibaca dalam pasal 56 ayat (1) UU. No. 32 tahun 2004 tentang perintah daerah bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam wakil pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas luber dan jurdil. Pemilihan kepala daerah (Plkada) secara langsung yang akan dilaksanakan Juni 2005 adalah sarana perwujudan kedaulatan rakyat, oleh karena itu Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil 28
  • 39. presiden, DPR, DPD bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung. Ada empat pertimbangan penting dalam penyelenggaraan Pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indinesia. Pertama, Pilkada Langsung merupakan perwujudan konstitusi dari UUD 1945. seperti diamanatkan Pasal 18 ayat (4) UUD1945, Gubernur, Bupati dan Walikota, masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur pula dalam UU. No. 32 tahun 2004. tentang pemerintahan daerah jo. Peraturan Pemerinatah No. 6 tahun 2005. Kedua, Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi masyarakat (civic education), yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap elemen masyarakat tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya. Ketiga, Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya ditentukan oleh pemimpin daerah. Semakin baik pemimpin daerah yang dihasilkan dalam Pilkada langsung, maka komitmen pemimpin daerah yang dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan. Keempat, pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, pigur kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya bebrapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik, karena itu harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari Pilkada langsung ini. Pilkada dimaksudkan sebagai awal menciptakan sistem pemerintahan daerah yang baik, syarat utama yang mutlak diperlukan adalah pemimpin yang terpilihharus jujur, berkredibilitas, cerdas dan mampu menjalankan program-program pembangunan secara nyata. Secara sistematik lambat laun Pilkada diakui sebagai bagian proses penting yang mempengaruhi masa depan masyarakat daerah. Kekhawatiran salah memilih pimpinan daearah menjadi faktor penting tumbuhnya kepedulian mengikuti proses Pilkada. Fenomena ini akan menjadi bola salju yang harus menggelinding dan terus membesar. 29
  • 40. Pilkada dapat kehlangan makna bila parameter keberhasilan hanya diteropong sebatas partisipasi masyarakat. Ada beberapa aspek lain yang sangat menentukan untuk menilai kualitas Pilkada, antara lain: 1. Penjaringan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilakukan oleh partai politik. Bila partai politik itu sehat dan berkualitas maka akan memberikan kesempatan kepada kader terbaiknya dan juga memberikan kesenpatan secara terbuka kepada calon Independen untuk kompetisi pada Pilkada. 2. Kampanye calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, program yang disampaikan saat kampanye merupakan janji yang harus dilaksanakan bila terpilih. Namun secara de jure tidak ada sangsi hukum yang dapat menjerat bila calon memilih tidak melaksanakannya. Dalam Undang-undang memang tidak diatur janji kampanye dapat dijerat hukum. Disisi lain program yang bagus tidak tidak menjadi jaminan, paling utama bagaiman kredibilitasdan kemampuan calon sanggup melaksanakan program setelelah terpilih. KPUD bisa memfasilitasi “Kontrak Politik” antara para calon dengan masyarakat. 3. Tahapan pemilihan oleh masyarakat. Minimnya prektik money pilitic dan semakin tingginya objektivitas masyarakat dalam pemilihan akan mempengaruhi derajat kualitas Pilkada itu sendiri. 4. Independensi dan ketegasan KPUD sebagai penyelenggara Pilkada secara langsung. 5. minimnya kekerasan pilitik atau konflik antar pendukung. Terlepas dari semua itu, pilkada secara langsung merupakan hal baru dan sarana belajar bagi semua pihak. Berangkat dari pengalaman melaksanakan Pilkada secara serentak diseluruh tanaha air, rakyat dan semua pihak dapat menimba pelajaran meningkatkan kualitas demokrasi. Kedepan, semangat terbuka kemungkinan melakukan perbaikan-perbaikan. Inilah hakikat Pilkada terpenting, pendidikan polotok instensif dan massal terutama bagi parpol dan rakyat. Optimisne Kutai Kartanegara Hadapi Pilkada Langsung Proses Pilkada secara langsung dilakuknetapan pemilihan dalam beberapa tahapan, anatara lain meliputi tahapan persiapan, penyelenggaraan pemilihan, penetapan pemilih dan penetapan pasangan calon, kampanye, pemungutan suara, penetapan pasangan calon terpilih dan pelantikan. Semua ini diatur didalam peraturan pemerintah 30
  • 41. No. 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Tahapan Pilkada sebagaimana tersebut diatas untuk Kutai Kartanegara penjadwalannya telah dibuka oleh KPUD Kutai Kartanegara sebagai: 1. Pendaftaran pasangan calon di KPUD tanggal 21 – 27 Maret. 2. Verifikasi administrasi terhadap pasangan calon 28 maret s/d 3 April 2005 3. Pengumuman pasangan calon hasil Verifikasi KPU 25 April 2005 4. Penarikan nomor urut pasangan calon di KPUD 2 mei 2005 5. Penyampaian visi dan misi pasangan calon di KPUD 2 mei 2005 6. Masa Kampanye (14 hari) 9 – 22 mei 2005 7. Masa tenang23 – 25 mei 2005 8. Pencoblosan /pemungutan suara 25 Mei 2005 ( diundur tanggal 1 Juni 2005, hasil konsultasi Pemkab, DPRD dan KPUD dengan Depdagri). Untuk Kabupaten Kutai Kartanegara Pilkada secara langsung akan dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2005 mendatang. Waktu efektif yang tersisa dirasakan sangat pendek sekali, sekitar satu setengah bulan. Waktu yang pendek ini kirianya dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien khususnya bagi pihak pelaksana. Sosialisasi PP. No. 6 Tahun 2005 Sebagaimana diketahui bersama bahwa, Kabupaten Kutai Kartanegara akan melaksanakan Pilkada langsung yang pertama kali pada tanggal 1 Juni 2005. Pilkada langsung merupakan implementasi demokrasi lokal dan suatu yang baru dalam menyelenggarakan pemerintahan khususnya didaerah. Sebagaimana suatu yang baru, tentunya dituntut untuk mengetahui dan memahami dengan benar dari pelaksanaan Pilkada tesebut. Dalam konteks ini, dituntut untuk mempelajari secara seksama tentang berbagai peraturan dan ketentuan yang ada, salah satunya adalah PP.NO.6 Tahun 2005. Untuk memberikan pemahaman secara merata kepada seluruh komponen dan aparatur Pemkab, telah dilaksanakan sosialisasi oleh pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara pada 18 Kecamatan sejak tanggal 30 Maret 2004 dan berakhir pada tanggal 6 April 2005 yang baru lalu. Dalam pelaksanaannya sosialisasi ini dibagi kedalam tiga zona, yaitu zona hulu, tengah dan pesisir, dengan masing-masing zona meliputi enam kecamatan. 31
  • 42. Setelah melaksanakan kegiatan sosialisasi teknis pelaksanaan Pilkada langsung di tingkat kecamatan, Tim sosialisasi Pemkab Kutai Kartanegara melanjutkan sosialiasi kepada pejabat dilingkungan Pemkab Kutai Kartanegara, khususnya bagi pejabat eselon II, III dan IV. Diharapkan bagi pejabat yang telah melakukan sosialisasi ini agar nantinya dapat melaksanakan secara internal sosialisasi di instansinya masing-masing. Dengan demikin sasaran sosialisasi ini dapat terpenuhi secara berjenjang. Kemudian, Tim sosialisasi juga teleh menjadwalkan kegiatan berikutnya yaitu kegiatan sosialisasi dengan zona khusus, seperti Rutan, Lokalisasi dan siswa SMU kelas 3 selaku pemilih pemula serta kalangan mahasiswa. Pemutahiran Data Penduduk Salah satu elemen penting dalam pelaksanaan pilkada adalah pelaksanaan pemutahiran data penduduk. Berdasarkan data sementara dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Kutai Kartanegara, pemilih dalam pilkada 1 Juni 2005 sebanyak 358.441 jiwa. Jumlah data pemilih seluruhnya belum terentri secara keseluruhan, sebab diantaranya ada beberapa kecamatan yang belum masuk datanya ke pusat data ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Mudah-mudahan pada tanggal 23 April 2005 data pemilih pilkada dapat diserah terimakan dengan KPUD Kutai Kartanegara. Dalam rangka pemutakhiran data penduduk pilkada 2005 Disduk Capil memberikan kompensasi Rp.1000,-/jiwa penduduk di mana pada pelaksanaan pemilihan presiden yang lalu untuk kompensasi pendataan penduduk hanya sebesar Rp.500,-/jiwa penduduk. Sementara itu, dalam rangka pendaftaran penduduk pilkada 2005, Disduk Capil membuat membuat tanda khusus pada setiap rumah penduduk yang telah selesai di data oleh RT di 18 Kecamatan terkait pilkada di Kabupaten Kutai Kartanegara Tanda khusus (stiker) ini diperlukan untuk menghindari gelombang protes masyarakat yang merasa tidak terdata akibat kelalalian RT, sehingga mereka terancam tidak bisa ikut pilkada pada 1 Juni 2005. Pengamanan Pilkada Dalam rangka penanganan keamanan dan ketertiban pilkada di Kutai 32
  • 43. Kartanegara pada tanggal 1 Juni 2005, berbagai instansi pemerintah dan lembaga lainnya tengah mempersiapkan diri menyongsong pelaksanaan pesta demokrasi pertama itu dilakukan. Berkaitan dengan pengamanan yang dilaksanakan oleh TNI dan Polri, dalam hal ini Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbang Linmas) salah satu diantarnya sudah menyiapkan 4.508 personel Linmas. Lebih lanjut mengenai kompensasi pengamanan para personel Linmas tersebut perorangannya mendapatkan Kompensasi sebesar Rp.75.000/-/hari dan dihitung masa kerjanya selama 3 hari. Jika keamanan terjamin maka tidak ada kekhawatiran masyarakat untuk datang ke TPS. Untuk menjamin keamanan dan ketertiban memang harus melibatkan seluruh masyarakat, walaupun sudah ada pihak yang bertanggung jawab, yakni Polri dan TNI dan Kesbang Linmas. Tiga instansi ini dalam pilkada mempunyai empat tugas antara lain pengamanan, pengawalan, perizinan dan penegakan hukum, Pengamanan ini untuk menghindari pihak-pihak yang ingin mengganggu pelaksanaan pilkda. Kemudian, melakukan pengamanan selama berlangsungnya pilkada disetiap TPS di 18 Kecamatan. Setiap TPS diamankan 2 petugas Linmas, satu anggota TNI/Polri. Kutai Kartanegara Sebagai Pilot Project Pilkada Pilkada langsung 1 Juni 2005 di Kutai Kartanegara merupakan Pilot Project secara nasional karena akan dihadiri oleh para pengamat dari dalam maupun luar negeri, serta sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Bersatu. Disamping itu pula akan dihadiri pula pengamat dari KPUD beserta Pemerintah Kabupaten/Kota di Kaltim maupun Indonesia serta LSM dari dalam dan luar negeri. Para pengamat ini akan memonitor tata cara maupun pilkada langsung yang petama kali dilakukan di Indonesia. Rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pilkada langsung ini adalah untuk mempertaruhkan nama baik daerah dn masyarakat Kutai Kartanegara dimata daerah lain dan Internasional. Namun, dengan rasa optimisme bahwa dengan keseriusan semua pihak, serta komitmen yang tinggi dari seluruh elemen masyarakat Kutai Kartanegara, maka pilkada langsung ini akan dapat berjalan dengan lancar dan sukses. 33
  • 44. Penutup Pilkada secara langsung merupakan lompatan secara spektakuler dalam kehidupan bangsa dan negara khusnya daerah. Momentum pilkda diharapkan menghasilkan pimpinan yang baik untuk menggerakkan pemerintahan daerah yang berjiwa abdi masyarakat dan professional. Bebagai persoalan yang mewarnai pilkada menjadi ujian semua pihak yang terlibat. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), Pemerintah Daerah, DPRD, Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Partai Politik dan masyarakat sendiri memiliki peran strategis dalam menentukan keberhasilan pilkada. Bagaimanapun juga, pilkada langsung merupakan perwujudan kedaulatan rakyat. Semua pihak harus mendukungnya. Dengan demikian, dalam pelaksanaan pilkada nanti semua pihak tetap optimis menyongsong pesta demokrasi lokal dan diharapkan pada pelaksanaan pilkada nanti jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan akan berdampak buruk terhadap sistem demokrasi di tanah air. Bersama-sama kita menunggu dan berdoa semoga pelaksanaan pilkada yang pertama ini berlangsung sportif dan menghasilkan Kepada Daerah/Wakil Kepada daerah yang terbaik bagi masyarakat Daerah masing-masing. 34
  • 45. PILKADA LANGSUNG DAN UPAYA MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN DAERAH YANG BERSIH DAN BEBAS KKN (GOOD LOCAL GOVERNANCE) 2 Oleh: Drs. Desi Fernanda M.Soc. Sc (Kepala Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I LAN Bandung) Pendahuluan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang akan dimulai pada bulan Juni 2005 merupakan suatu tonggak sejarah dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia. Dunia akan kembali menyaksikan eksperimen lanjutan dari skenario besar demokrasi di Indonesia, suatu negara yang selama puluhan tahun terkungkung oleh otoritarianisme. Akankah kesuksesan penerapan demokrasi di Indonesia akan berlanjut setelah pemilihan presiden yang telah berlansung secara aman, tertib dan damai ? Untuk pertama kalinya Pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh pemilik kedaulatan yakni rakyat. Walau pun konsepsi Pemilihan Kepala Daerah secara langsung pernah diterapkan secara yuridis yakni dalam UU 1 Tahun 1957, namun sampai UU tersebut diganti oleh UU 18 Tahun 1965, Pemilihan Kepala daeraha secara langsung belum bisa direalisasikan. UU 32 Tahun 2004 kembali menggagas Pilkada langsung dan akan memulainya hajatan tersebut pada bulan juni tahun ini. Tahun 2005 direncanakan sebanyak 215 kabupaten/kota dan 11 provinsi yang menggelar pilkada langsung dan pada bulan Juni ini terdapat 173 kabupaten/kota dan tujuh provinsi yang menyelenggarakan pilkada. Berdasarkan Desk Pusat Pilkada Depdagri di Jakarta saat ini hanya 28 kabupaten/kota yang belum siap menggelar pilkada pada bulan Juni. Pesta demokrasi ini diperkirakan akan menelan biaya sekitar 2 Makalah disajikann dalam Diskusi Terbatas Forum SANKRI “Pilkada Langsung: Antara Tuntutan Efektivitas Pemerintahan Daerah dan Harapan Membangun Demokrasi Lokal”, diselenggarakan oleh PKP2A III LAN Samarinda bekerjasama dengan Badan Kesbang Linmas Prop. Kalimantan Timur, Kamis, 14 April 2005. 35
  • 46. 2,28 trliun belum termasuk biaya pendukung antara lain biaya keamanan yang bisa mencapai Rp 4 milyar sampai dengan Rp. 5 miliar. Didasarkan pada fakta-fakta tersebut, Dimana biaya pesta demokrasi di daerah menghabiskan dana yang tidak sedikit. Yang menjadi pertanyaan apakah pengorbanan yang besar itu akan sepadan dengan hasil yang didapat yakni menghasilkan pimpinan yang menjadi panutan dan suri tauladan bagi rakyatnya sehingga cita-cita good and clean governance akan dapat diwujudkan. Perkembangan Dinamika Otonomi Daerah Otonomi Daerah telah menjadi komitmen bangsa sebagai salah satu perwujudan reformasi nasional di segala bidang melalui pemberlakuan Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, serta seluruh peraturan pelaksanaannya. UU tersebut menyatakan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran-serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keaneka-ragaman Daerah. Berdasarkan hal itu, pemberian otonomi kepada daerah pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta memelihara hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar-Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan asas-asas desentralisasi dan tugas pembantuan dengan hakikat otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab, lebih ditekankan pada Daerah Kabupaten dan Kota melalui penyerahan kewenangan dalam bidang pemerintahan yang luas. Sementara pada daerah Propinsi kewenangan otonomi yang diserahkan relatif terbatas pada bidang-bidang kewenangan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota. Lebih dari itu, Daerah Propinsi diperankan sebagai wilayah administratif dimana pemerintah Daerah Propinsi berfungsi menjalankan kewenangan dekonsentrasi berdasarkan pelimpahan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah. Realita otonomi daerah dewasa ini, di satu pihak telah mampu menciptakan 36
  • 47. dinamika penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah yang jauh berbeda dengan apa yang terjadi dalam era Orde Baru. Interaksi sosial-politik antara unsur-unsur aparatur pemerintahan daerah dengan masyarakat dan dunia usaha di daerah semakin meningkat dan dinamis, sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 22 Tahun 1999. Aspirasi dan kepentingan masyarakat lokal telah mulai terakomodasi dalam berbagai kebijakan pemerintahan daerah setempat, pelayanan publik juga telah semakin berkembang dengan berbagai inovasi dan kreativitas aparatur pemerintah daerah. Berkembangnya fenomena pemekaran daerah otonom di seluruh wilayah Indonesia, juga mengindikasikan tuntutan aspirasi masyarakat lokal untuk lebih berperan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat lokal dalam kerangka otonomi daerah, lebih dari 350 daerah Kabupaten dan Kota kini telah terbentuk dan berfungsi. Hal ini juga menunjukkan perkembangan kehidupan demokrasi lokal yang semakin dinamis, yang antara lain ditandai dengan partisipasi politik masyarakat lokal dalam mekanisme pemilihan Kepala Daerah, meskipun masih melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD. Selain itu, berjalannya mekanisme pelaporan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD juga telah menunjukkan perkembangan akuntabilitas publik dan mekanisme kontrol politik maupun kontrol masyarakat yang berpotensi mengendalikan segala kebijakan dan tindakan Pemerintah Daerah dalam fungsinya melayani kepentingan dan memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Namun di lain pihak, implementasi kebijakan otonomi daerah secara faktual ternyata juga diwarnai oleh berbagai kontroversi dan ketidakpastian. Diantara berbagai isu yang muncul ke permukaan dalam implementasi kebijakan otonomi daerah tersebut, antara lain: 1. Masih adanya kerancuan dalam produk hukum dan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pemerintah maupun pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan kewenangan otonomi daerah, sehingga kepastian hukum dan ketertiban administrasi belum tercipta secara optimal; 2. Ketidakjelasan arah dan inefisiensi dalam produk kebijakan penataan kewenangan, kelembagaan dan SDM (pegawai) aparatur Daerah, sehingga 37
  • 48. di banyak daerah tercipta struktur kelembagaan pemerintah daerah yang cenderung gemuk, dengan tingkat penyerapan anggaran keuangan daerah yang kurang proporsional dengan produk kinerja pelayanan kepada masyarakat; 3. Masih dirasakan adanya ketidakjelasan dan ketidakpastian dalam implementasi kebijakan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah, serta dalam penyelenggaraan kewenangan otonomi dibidang keuangan (fiskal) Daerah; 4. Masih adanya kesalahan penafsiran dan pemahaman terhadap pola hubungan antara Pusat dengan Daerah, Provinsi dengan Kabupaten/Kota, dan antar Kabupaten/Kota; 5. Munculnya fenomena dis-harmonisasi hubungan antara lembaga legislatif dengan eksekutif Daerah (DPRD dengan Gubernur/Bupati/Walikota), sehubungan dengan pelaksanaan kekuasaan DPRD yang cenderung mendominasi, bahkan mengintervensi kewenangan eksekutif daerah; serta 6. Masih rancunya pelaksanaan kehidupan demokrasi dan partisipasi masyarakat di Daerah, yang ditandai dengan masih munculnya upaya-upaya mobilisasi massa untuk kepentingan-kepentingan elit politik lokal, yang berdampak pada iklim penyelenggaraan pemerintahan daerah yang tidak kondusif bagi upaya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Berbagai isu permasalahan tersebut memiliki nilai strategis yang sangat penting untuk segera ditindaklanjuti dengan upaya-upaya penyelesaian (resolusi) yang konkrit, transparan, dan akuntabel berdasarkan kesepakatan (konsensus) diantara berbagai pihak yang berkepentingan; sehingga praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah selalu berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah dan dapat menjamin terwujudnya paradigma kepemerintahan daerah yang baik (Good Local Governance). Kepemerintahan Daerah Yang Baik (Good Local Governance) Sebagaimana telah kita pahami bersama, gerakan reformasi nasional di segala bidang pada hakikatnya sejalan dan dilandasi oleh paradigma demokratisasi dan partisipasi masyarakat dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik (Good Governance). Konsepsi kepemerintahan (governance) pada dasarnya merujuk kepada proses interaksi sosial-politik antara pemerintah dengan masyarakat madani (civil 38
  • 49. society) dan proses berfungsinya pemerintahan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakat di berbagai bidang, baik ekonomi, sosial, politik dan sebagainya. Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP) memberikan penjelasan dan pengertian mengenai kepemerintahan (Governance) sebagai berikut: “Kepemerintahan adalah pelaksanaan kewenangan/kekuasaaan dibidang ekonomi, politik dan administratif untuk mengelola berbagai urusan negara pada setiap tingkatannya dan merupakan instrumen kebijakan negara untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan, integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat. Hal ini mencakup berbagai metode yang digunakan untuk mendistribusikan kekuasaan/kewenangan dan mengelola sumber daya publik, dan berbagai organisasi yang membentuk pemerintahan serta melaksanakan kebijakan-kebijakannya. Konsep ini juga meliputi mekanisme, proses, dan kelembagaan yang digunakan oleh masyarakat, baik individu maupun kelompok, untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan mereka, memenuhi hak-hak hukum, memenui tanggung jawab dan kewajiban sebagai warganegara, dan menyelesaikan perbedaan-perbedaan diantara sesama”(UNDP, 1997). Berkenaan dengan hal itu, jelaslah bahwa konsepsi kepemerintahan (governance) dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan negara bangsa haruslah dipandang sebagai peran aktif unsur-unsur pemerintahan (eksekutif, legislatif, maupun yudikatif) dalam kerjasama atau kemitraan dengan unsur-unsur masyarakat madani (LSM, Yayasan, Organisasi Profesi, dan organisasi kemasyarakatan lainnya maupun para individu), serta dunia usaha (perorangan maupun badan usaha) berdasarkan prakarsa (inisiatif) sendiri ataupun bersama-sama (konsensus) secara dinamis dan sinergis dan bertanggungjawab dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya, agama, politik, hukum, pertahanan dan keamanan guna terwujudnya cita-cita dan tujuan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.. Sedangkan konsepsi kepemerintahan yang baik (good governance) mengacu kepada nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang sekaligus merupakan karakteristik yang dapat membedakan antara pola penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan buruk, khususnya dalam konteks interaksi sosial-politik di antara unsur-unsur aparatur pemerintahan, masyarakat maupun dunia, baik pada tataran nasional maupun di daerah. Kepemerintahan yang baik adalah tata penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan negara bangsa yang memiliki karakteristik ataupun memenuhi prinsip-prinsip, sebagaimana disosialisasikan oleh UNDP (1997), yaitu: 1. Partisipasi masyarakat, 2. Supremasi hukum (rule of law), 3. Transparansi, daya tanggap (responsif), 4. Berorientasi konsensus, 5. Kesetaraan (misalnya: kesejahteraan, hak dan kewajiban, jender), 6. Efektivitas dan efisiensi, 7. Akuntabilitas, 8. Bervisi strategis; dan 39
  • 50. 9. Keseluruhannya harus dapat diwujudkan secara terpadu dan saling berkaitan satu dengan lainnya. Lembaga Administrasi Negara dalam buku Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI) merumuskan bahwa tata kepemerintahan yang baik secara tersurat maupun tersirat tertuang dalam tata nilai penyelenggaraan pemerintahan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang meliputi prinsip-prinsip: supremasi hukum, keadilan, kesetaraan, transparansi, partisipasi, desentralisasi, kebersamaan, profesionalitas, cepat tanggap, efektif dan efisien, berdaya saing, dan akuntabel (LANRI, 2003: 25). Sementara itu, dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, telah dalam Konferensi Nasional Kepemerintahan Daerah Yang Baik, pada bulan Oktober 2001 telah disepakati Sepuluh Prinsip Kepemerintahan Daerah Yang Baik oleh seluruh anggota Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI), dan Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI) yang mencakup prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Prinsip Partisipasi: Mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung; 2. Prinsip Penegakan Hukum: Mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat; 3. Prinsip Transparansi: Menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai; 4. Prinsip Kesetaraan: Memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya; 5. Prinsip Daya Tanggap: Meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat tanpa kecuali; 6. Prinsip Wawasan Kedepan: Membangun daerah berdasarkan visi, misi, dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan (secara aktif dan proaktif) warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya; 40
  • 51. 7. Prinsip Akuntabilitas: Meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas; 8. Prinsip Pengawasan: Meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas; 9. Prinsip Efisiensi dan Efektivitas: Menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab; 10. Prinsip Profesionalisme: Meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat, dengan biaya yang terjangkau. Kesepakatan mengenai prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik tersebut akan dilaksanakan melalui beberapa kebijakan dan tindakan dari masing-masing penyelenggara pemerintahan daerah, yang meliputi antara lain 1. Penyusunan kebijakan, perangkat perundang-undangan dan mekanisme untuk melaksanakan tata kepemerintahan yang baik; 2. Kegiatan sosialisasi dan mendorong penerapan tata-kepemerintahan yang baik oleh seluruh anggota di masing-masing asosiasi; 3. Pemantauan praktek penyelenggaraan tata-pemerintahan secara terus menerus dan pelaporannya secara terbuka, cepat, dan transparan; 4. Penyelenggaraan konsultasi dengan para pelaku (stakeholders) untuk merumuskan prioritas lokal dan kegiatan spesifik yang diperlukan; 5. Pelaksanaan advokasi agar prinsip-prinsip tata-pemerintahan yang baik diangkat dalam legislasi nasional dan daerah; 6. Peningkatan kesadaran melalui pertemuan-pertemuan lokal agar kesepakatan ini juga diangkat dan disetujui oleh berbagai lembaga lain di daerah. Jauh sebelum adanya kesepakatan mengenai tata-pemerintahan daerah yang baik tersebut diantara para penyelenggara pemerintahan daerah, sebenarnya pada tingkat nasional telah dirumuskan prinsip-prinsip atau asas-asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang mencakup asas-asas sebagai berikut: 41
  • 52. 1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. 2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara. 3. Asas Kepentingan Umum: adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. 4. Asas Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. 5. Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara. 6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 7. Asas Akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asas-asas umum penyelenggaraan negara tersebut di atas, dapat dikatakan merupakan implementasi prinsip-prinsip kepemerintahan yang secara resmi diakomodasi dalam sistem pemerintahan negara di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Sementara itu, untuk menjamin pola perilaku dan tindakan seluruh unsur warga negara Indonesia dan pemerintahan NKRI, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan Ketetapan Nomor VI/MPR/2001 telah menetapkan pokok-pokok Etika Kehidupan Berbangsa yang meliputi: Etika Sosial Budaya, Etika Politik dan Pemerintahan, Etika Ekonomi dan Bisnis, Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan, Etika Keilmuan, dan Etika Lingkungan. Pokok-pokok etika dalam kehidupan berbangsa berdasarkan Ketetapan MPR tersebut, mengedepankan aspek-aspek sikap dan perilaku yang mencakup: kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, dan menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa. Sedangkan bagi para pejabat politik dan pemerintahan negara berdasarkan Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa tersebut telah pula -ditetapkan nilai-nilai etika politik dan pemerintahan, yang bertujuan untuk mewujudkan “pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam 42
  • 53. 43 persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa”. Untuk itu, setiap pejabat politik dan pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah wajib memiliki sikap dan perilaku yang: 1. Jujur, 2. Amanah, 3. Sportif, 4. Siap melayani, 5. Serjiwa besar, 6. Memiliki keteladanan, 7. Rendah hati, dan 8. Siap mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijaksanaannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Bagaimanapun nilai-nilai normatif tersebut tidak mungkin akan terlaksana dengan baik dan tidak mungkin dapat mendukung terwujudnya kepemerintahan yang baik, di lingkungan pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah jika tidak terdapat komitmen yang kuat dan motivasi yang tinggi di kalangan aparatur penyelenggara pemerintahan. Untuk itu maka keberadaan masyarakat dan dunia usaha menjadi faktor yang sangat menentukan dalam mendorong dan mempengaruhi perwujudannya, melalui fungsi kontrol masyarakat dan peran serta aktif masyarakat dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan negara maupun daerah. Mengingat hal tersebut, maka perlu disusun kerangka acuan ataupun nilai-nilai instrumental yang mampu memberikan arah bagi percepatan implementasi kepemerintahan yang baik di Pusat maupun Daerah. Kerangka Instrumental Prinsip-Prinsip Kepemerintahan Yang Baik Bagi para penyelenggara pemerintahan daerah, khususnya di Kabupaten dan Kota, baik eksekutif maupun legislatifnya, berdasarkan kesepakatan yang telah dirumuskan pada bulan Oktober 2001 mengenai Sepuluh Prinsip Tata Pemerintahan Daerah Yang Baik, telah disusun pedoman instrumental sebagaimana terlihat dalam Tabel 1. Sebagai bahan pertimbangan dalam upaya melaksanakan prinsip-prinsip kepemerintahan daerah yang baik (Good Local Governance), makalah ini merekomendasikan gagasan apa yang benar dan salah (the Do and Don’t atau Good and Bad) dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga kita dapat menilai apakah para penyelenggara pemerintahan daerah telah secara tepat melaksanakan prinsip-prinsip tersebut (lihat Tabel 2).