2. Nilai-Nilai
(Pancasila, Konstitusi)
dijabarkan melalui
Policy System Policy Process
Masalah fundamental muncul, untuk mewujudkan
ketika:
1. Kebijakan Publik (KP) tdk
mengandung values &
philosophy bernegara. CITA2 & TUJUAN
(Indonesia Merdeka)
2. KP tdk mampu mewujudkan
cita-cita negara.
3. Policy System Policy Process
• Interdependensi antara • PERUMUSAN MASALAH
INPUT – PROSES – (Pengenalan, Pencarian,
OUTPUT; Pendefinisian, Spesifikasi)
• Interaksi & Interkoneksi • PENGEMBANGAN &
antara PELAKU – PEMILIHAN ALTERNATIF
LINGKUNGAN – (inc. Kriteria, Teknik
KELOMPOK SASARAN Analisis)
– KEBIJAKAN PUBLIK. • IMPLEMENTASI
• MONITORING & EVALUASI.
4. • Banyak KP yg kurang berorientasi
pemecahan masalah (problem solving),
dan kurang memperhatikan analisis
perumusan masalah yg baik, sehingga
seringkali justru menimbulkan masalah
baru.
• Banyak KP yg kurang didukung oleh
informasi yg valid dan lengkap (policy
relevant information), sehingga
mengurangi kualitas KP.
5. • Banyak KP yg tidak melalui proses analisis yg
baku & tidak didahului oleh agenda setting yg
benar, sehingga sebuah kebijakan lebih
mencerminkan sebagai keinginan dari pada
kebutuhan.
• Pendekatan sosiopolitis cenderung
mendominasi pendekatan teknis (technocratic
competence).
• Belum mantapnya sistem kelembagaan yg
berperan melakukan pengelolaan proses KP,
bahkan belum terbentuk sistem kelembagaan
yg secara eksplisit bertugas mewujudkan
keserasian, keharmonisan & keterpaduan,
serta efektivitas & akuntabilitas pengelolaan
kebijakan pembangunan nasional & daerah.
6. • Belum berfungsinya nilai-nilai dasar dalam Pancasila
dan Konstitusi sbg guiding values and principles, yg
menyebabkan kurang optimalnya kinerja KP.
– Dari 2003-2012, MK menerima 425 permohonan Pengujian
UU, dengan 100 diantaranya dikabulkan (MK, 2012).
– Banyaknya Perda bermasalah & dibatalkan pemerintah
pusat.
7. • Kurang efektifnya KP sebagai instrumen distribusi &
redistribusi sumber daya, serta pemberdayaan potensi
masyarakat, sehingga KP belum mampu mewujudkan
tertib sosial, tertib politik, maupun kemajuan ekonomi
& peradaban bangsa.
– Maraknya konflik horizontal baik yg berlatar SARA,
pertanahan, olahraga, atau tawuran biasa antar gank.
– Angka kemiskinan dan pengangguran tahun 2010 yg relatif
masih tinggi. Angka kemiskinan sebesar 13,13% atau 31.02
juta jiwa sedang pengangguran terbuka sebesar 6,80% (BPS,
2011).
– Kinerja sektor pelayanan dasar (pendidikan & kesehatan) yg
masih belum optimal.
8. • Rendahnya kohesi organisasional dalam
formulasi dan implementasi kebijakan publik,
yg ditandai oleh banyaknya silang pendapat,
kontrasnya perbedaan opini, merebaknya
egoisme jabatan/sektoral/ kedaerahan,
melemahnya koordinasi, dsb.
• Masih tingginya ketidakkonsistenan,
kekurangharmonisan, dan kekurangselarasan
antara tujuan pembangunan pusat dan
daerah, serta kesulitan dalam menjalin kerja
sama antar stakeholder. Masing2 stakeholder
memiliki pemahaman yg berbeda tentang
issu kebijakan yg berkembang, serta prinsip2
dan langkah2 pengelolaan kebijakan yg harus
ditempuh.
9. • Rendahnya integritas & kepatuhan para
penyelenggara negara terhadap sistem
hukum (seperangkat peraturan perundang-
undangan) yg menjadi pedoman dalam
implementasi tugas-tugas publik, sehingga
kewibawaan kebijakan publik menjadi sangat
lemah.
– Banyaknya kasus penyalahgunaan wewenang dan
tingginya pejabat terlibat kasus korupsi;
– Tradisi “kompromi” dalam penyelesaian kasus;
– Gejala “pembangkangan” daerah terhadap pusat,
misal dalam kasus BLT (mantan Mendagri
Mardiyanto).
10. • KP kurang adaptif dan lemah dalam merespon
lingkungan yg dinamis, untuk kemudian
mentransformasikan menjadi norma
kebijakan. Pada saat yg sama, formulasi KP
juga sering kurang mengakomodir kebutuhan
& tuntutan publik, sehingga penetapan KP
sering ditolak oleh masyarakat (public veto).
Kondisi ini antara lain disebabkan oleh
lemahnya dukungan riset terhadap policy
making process.
– Frekuensi dan materi tuntutan dalam demonstrasi
yg makin beragam.
– Frekuensi perubahan kebijakan yg cukup tinggi
bahkan sering ada klausul khusus untuk
mengakomodir perubahan kebijakan.
11. • KP sering menutup diri terhadap
partisipasi publik, sehingga terkesan
hanya menguntungkan sekelompok orang
dan kurang ada keberpihakan pada rakyat
banyak. Beberapa KP juga memiliki
bahasa yg sangat elitis dan tidak
dimengerti oleh rakyat banyak
(technocratic cabal).
12. • Identifikasi masalah ini tidak berarti mengabaikan
kinerja positif dari KP yg ada, melainkan untuk
menemukan solusi-solusi yg lebih kreatif & inovatif
dalam rangka lebih meningkatkan output &
otcomes kebijakan.
• Eksplorasi masalah kebijakan ini selanjutnya akan
diikuti dengan identifikasi terhadap alternatif solusi
untuk mengatasinya, aktivitas yang dibutuhkan,
serta target outputs/outcomes yg diinginkan.
13. Mustopadidjaja, Program Nasional Pengembangan Kapasitas
PENGELOLAAN PROSES KEBIJAKAN PUBLIK Dalam
Penyelenggaraan Negara dan pembangunan Bangsa.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website
.Persidangan.RekapitulasiPUU
http://www.bps.go.id/brs_file/naker-05mei11.pdf
http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan-01jul10.pdf