SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 25
Downloaden Sie, um offline zu lesen
,

.
Awalnya ingin kupangkas,
semua rumput yang aku tanam di langit dengan bulan sabit.
Lalu membawa pulang kumpulan batu dari bulan untuk akulempar pada pohon.
Setiap buah yang jatuh, siapapun boleh menikmati.
Seperti itulah Kofitazine dikehendaki.
Mengumpulkan lagi batu karya, mencari pohon, melemparnya,
lalu membiarkan orang lain menikmati buahnya.
Begitu dan begitu seterusnya.
Ucapan terima kasih dari Kofita
kepada setiap komunitas kreatif yang ada di Tasikmalaya:
Tasikmalaya Skatcher, Getsnep Photography Studio, Q-Smart,
Pondok Media,Teater Dongkrak, Gurat Estetika, Kanaba, Abuproduction,
Skata, Percisa, Saung Langit, Sif, Lingkar Lensa, Galeri Picture, SKCF, KMG,
Baju Kopral, Ngejah Garut, Sabalad Pangandaran, Ijigimbrang
dan semua pihak yang telah mengejawantahkan perannya
untuk kemajuan Tasikmalaya yang tercinta ini.
Akhirnya bacalah kofitazine ini dekat jendela
dan biarkan pemilik cahaya menghadiahimu batu hitam yang berasal dari bulan.
Butuhspasi_
-

_
-

,
,

‟

-

-

)
-

(

,
- .

?-

,

-

:
.K.A
‟

„

:

‟
:

_

„
.

‟

:

-

.

:
:/ /
:/ /

-

.

:/ /
:/ /

.

.

.
.

.
.

/
-

-

/
/
.
_
:
|
:

.

5
|
-

|

-

:

:
:

@
|

.
-
“
.”
:

Ini untukmu, tentang komitmen seumur hidupmu dalam
menantang dunia. Menyadari kau bukan siapa-siapa dan
bukan apa-apa, bukan Lucius Nero yang membakar pusat dunia
demi kota impiannya, bukan Newton yang melakukannya
dengan apel jatuh atau Archimides yang merubah dunia dari bak mandinya.
Lalu bagaimana kau melakukan revolusimu sendiri? Kamera adalah mulanya, ledakan idemu,
pemberontakanmu, gairahmu dalam mempersoalkan realitas: menunjuk, menuduh, mencela atau
mendukung badai dikepalamu. Biarkan karyamu menghantui siapapun dalam tidur, menjadi mimpi
buruk, bukan menjadi selimut yang membuat orang hangat. Ini saatnya kau membuat gambar yang
mendorong orang keluar dari kursi nyamannya, ketidakpeduliannya, membuat orang merebut
kembali segala sesuatu yang pernah diambil, tak perlu mengemis kesempurnaan, tunjukkan setiap
detail kecil dari ketidakadilan, kerusakan penyalahgunaan, ketegangan mesra, menformat dan
diformat, beri mereka konflik, silang pendapat, perjuangan terhadap kepuasan, konfrontasi, jangan
biarkan seseorang membuat kameramu jinak untuk alasan apapun meski film sialan yang beredar
masih seragam. Apakah aku meminta terlalu banyak darimu?
Design-Edi Martoyo
Model-Andarea Fatih
Dongkrak.
Video-Kofita
Visualisasi TUBUH DONGKRAK DALAM TUBUH TONY BROER,
meng-explore kursi tua di sebuah gudang. Disanalah gambar tubuh
melawan beban hidup di mulai. BUTOH gambaran hakekat kehidupan, lahir,
dewasa, tua dan akhirnya mati. Diawali workshop konsep yang menelanjangi
diri manusia, untuk bisa memahami dirinya sendiri dan dunia yang melingkupinya,
dengan jalan membongkar segala keburukan dan kejelekan dari diri manusia,
dari proses pembongkaran ini maka manusia akan dibawa kedunia
transendental, yang akhirnya akan melahirkan jawaban atas pertanyaan
mengenai esensi dan eksistensi kehidupan. Dalam Butoh terjadi proses
pengalian berbagai kemungkinan bahasa tubuhdengan mengeksplorasi
kedalaman tubuh sampai pada tingkat trasendental, bahkan sampai pada
batas gerak yang mustahil yang bisa dilakukan oleh manusia yang dipaktekan
dalam latihan bareng di rest area Urug dan di pementaskan dalam acara
Carfreeday dengan konsep “INKUBASI” tubuh bukan sebagai alat
penyampai gagasan, tapi tubuh sebagai tujuan bertanya, memikirkan
dan menciptakan kembali.
FINDING MY SEASON’S POPCORN
Melacak mundur sejarah, menuruni anak tangga yang mengantarku
pada sebuah hal ihwal; Gedung itu, poster hasil goresan tangan, penjaga loket,
sobekan karcis, cemilan, lampu senter, dan deretan kursi yang menjadi
bagian tak terpisahkan dari masa lalu menyimpan sebuah cerita dibaliknya.
Bukankah sesuatu itu menjadi lebih berharga saat kita merasa kehilangannya ?
Meski cukup lama berhembus, kiblat pertunjukan pertama di dunia tahun 1985 di Grand Café Boluvard De
Capucines Paris dan pertunjukan „gambar idoep‟ pertama di tanah Abang Ke1900 di Kebonbndjae (Manage)
Batavia (Jakarta) yang dikenal sebagai bioskop berasal dari bahasa Inggris „Bioscope‟ (bios dari bahasa
Yunani yang berarti hidup) mengartikulasi perannya sebagai „babak baru‟ dari semangat zaman, bertindak
sebagai media politik penjajah, dan mempolopori „gerak maju‟ peradaban menuju zaman modern atau
apapun itu, tak lantas menghapus ketertarikanku menemukenali keberadaanya di kotaku Tasikmalaya.
Barangkali situasi yang terjadi belakangan ini mendikte persepsiku pada dialektikanya : Tasikmalaya, sebuah
kota tanpa gedung bioskop. Bukan bioskop yang kehilangan penontonnya, tapi penonton kehilangan
bioskopnya. Padahal bagiku, seni pertunjukan film pada masanya. Katakanlah, masa prakemerdekaan. Tak
pernah menemukan bentuknya yang pasti, hanyalah serbakemungkinan. Anggaplah, dalam perhelatan
pertamanya, mungkin bukan sebuah gedung pertunjukan yang memutar film seperti lazimnya. Mungkin hanya
sebuah balai pertemuan bernama gedung Societit tempat berkumpulnya orang-orang penting memanjakan
dirinya di lantai dansa, menghadiri jamuan makan malam lalu diakhiri dengan pemutaran film bisu dengan
iringan musik orckestra mini sesuai jenis film yang diputar. Pada perkembangannya, menurut majalah Reveu
no 23 tahun 1936 terdapat 227 jumlah bioskop yang tersebar di seluruh pelosok tanah air termasuk salah
satunya bernama Loxor Theatre. di kawasan ghetto atau kawasan elite seputar jalan Singaparna (Hazet),
disamping Lembaga Permasyaratan dan kantor Residen. Disanalah sebuah balkon, lose, stetselt dan kelas
kambing (istilah bagi kaum pribumi yang saat menonton film ,selalu berisik seperti kambing) kehadirannya, tak
diragukan lagi bukan hanya memenuhi hasrat para Meneer semata, pula mengisyaratkan status dan symbol
prestise yang berpusar pada ideology kemapanan sebuah kota. Sampai semuanya berakhir dimasa
pemerintah Hindia Belanda menyerah pada kekuasaan Jepang di tahun 1942.
Di masa peralihan, keberadaan Loxor Theatre nyaris tak terdengar lagi. Panggung sandiwara diangap lebih
mangkus (efektif) dibanding harus latah, menjadikan film sebagai alat propaganda. Padahal apabila film diberi
keleluasaan penuh mengejawantahkan perannya. Ceritanya akan berbeda. Mungkin bukan hanya kisah
heroik KH. Haji Zaenal Mustofa yang terjadi di Tasikmalaya sekitar tahun 1942. Tapi ikon-ikon perjuangan dari
kaum intelektual muda seperti yang terjadi di kota-kota besar lainnya. Dimana seni pertunjukan film menjadi
fase penting dalam mendekatkan rasa kebangsaaan, diskursus perihal nasionalisme, gagasan-gagasan
seperti Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT dan RW) yang didopsi d film jepang, pelestarian budaya
sunda dalam film Loetoeng Kasarung oleh Bupati Bandung, sampai kumpulan dari potongan gambar dalam
„Indonesia Fight For Freedom‟ yang berhasil meyakinkan dunia akan perjuangan rakyat dalam
mempertahankan Republik.
Bioskop setelahnya, katakanlah pasca kemerdekaan meneruskan lagi segala hal yang pernah ditinggalkan
sebelumnya. Dilatari suara Si Kwik dan Si Kwong (sebutan bagi kereta uap) diantara ruang geometris pusat
kota. Dalam lintasannya, bioskop Galoenggoeng berdiri. Menemukan realitasnya dalam pranata kota. Dimuka
sebuah mesjid, pintunya mengenalkan penonton pada dunia luar. Meski rambu kaidah agama dan norma
etika masih kental. Adanya keterlibatan para ulama melakukan pengawasan ketat tentang film apa saja yang
boleh diputar, dipisahkannya tempat duduk antara pria dan wanita, pemutaran film diluar jam sholat,
setidaknya mencerminkan kota Tasikmalaya sebagai kota yang toleran. Selain itu, bioskop yang berganti
nama menjadi Megaria telah menempatkan bangunan serupa di masa kejayaannya. Sebut saja, bioskop
Mustika (Parahiyangan), bioskop Capitol (Kujang), bioskop Merdeka ( Hergamanah), bioskop Sentosa
(Nusantara), bioskop Garuda, Tasik theatre, Ciawi theatre, Empire group 21 Matahari, dan terakhir bioskop
Parahiyangan yang ditutup oleh pengelolanya untuk dijadikan hotel, telah menambah daftar panjang gedung
pertunjukan film yang tunduk pada sesuatu yang berada diluar kendalinya, sketsa samar seorang anak yang
disuruh melingkarkan tanggannya diatas kepala, meraih telinga sebagai prasyarat yang menunjukan usia
untuk diperkenankan menonton film, tersimpan rapi dalam setiap bingkai kesadaranku, tanpa perlu
mempersoalkan lagi apakah sebuah bioskop masih menjadi „gerak maju‟ peradaban modern atau
menandakan kemapanan sebuah kota, tanpa perlu meromantisir kehilangan bioskopnya, memprovokasi
untuk menjaga monument lama sebelum tercipta monument baru. Biarlah proses menemukan terindra, meski
kadang membuatku sedikit gagap menceritakan mengapa kawasan Jl. Dr. Sukarjo menjadi kawasan ghetto
bahkan sampai sekarang masih menjadi transit para bule yang singgah? mungkin tulisan ini hanya ingin
menepuk bahu saling mengingatkan bahwasannya seni pertunjukan masih menjadi bagian yang tak
terpisahkan dariku. Bukankah meminjam istilah MC Maccay “pale ink is morer important then retentive, tinta
yang pudar lebih baik dari sebuah ingatan?” Akhirnya setelah kuhabiskan popcornku, dan beranjak pergi dari
bioskop 21 meninggalkan semua „daya pikat seni pertunjukan film yang begitu mempesona‟ jauh
dibelakangku.
Butuhspasi_
Ini tubuhku, ini negeraku,
aku membuat duniaku dengan tubuhku sendiri.
Begitulah prosesnya selama ini...
- Afrilia Utami
IBUKU AJARI CINTA TUHAN
Afrilia Utami

Pada siapa dia tersenyum?
pancarkan senyuman yang tak pernah teredupkan
pada siapa dia menangis haru
tersikut kenangan dan harapan
Pada siapa lagi aku dapati hidup
jika bukan pada dua Engkau
ibu dan Tuhanku....
kau mampu menulisi ayat-ayat tentang usia
di dalam pijar kedua mata
yang suka mengharap engkau selalu berada di sana
dengan senyum dan bahagia yang engkau jaga
Ibu..
Siapa Tuhan?
Tuhan yang seperti cahaya di gulita
cinta yang diluapkan ke bumi
dan semua tumbuh menjadi-jadi
sejak rahimmu menjagaku.
Aku mencintamu, Ibu
Kisah-kisah tentang pernyataan
juga kehidupan yang diciptakan Tuhan.
Ibu..
Engkau sudah sangat lama
tegar dalam perjuangan ini
menjaga anak-anakmu
yang mencintaimu
yang mengalahkan deras hujan
topan, halilintar, badai, dan guntur
di halaman doa yang engkau jaga.
Kaulah yang menjadi sumber segala hidup
Ibu..
semoga Tuhan menjaga negeri Ibu...
Indonesia yang sedamai
aku mengintip hatimu ketika berwudu.
2 Juni 20
jika hujan
Afrilia Utami

Jika hujan begini
Aku jadi ingat air
Yang pernah mengukir
Cerita tentang dua sejoli
; Sehujan berdua.
Dengan air yang menjadikan basah
Empat kepingan mata yang saling menulisi
Hujan di dada dengan hati-hati.
15 Oktober 2012
Saya tak hendak menceritakan acara Fest Film Tasik penuh-seluruh. Kami bekerja dengan ide
bukan budget, memundurkan acara tapi penundaan hanya karena masalah anggaran yang
terbatas adalah DUSTA, kami tertantang mewujudkannya. Piala hasil sumbangan dari
Tasikmalaya sketcher, performance kreasi komunitas Ijigimbrang, property dari sisa yang ada
digudang, karena kami yakin fest ini adalah kerja gotong royong bersama komunitas lain bukan
sesama komunitas film. Mudah2an apa yang kami berdua kerjakan tidaklah sia-sia mencerahi
anak muda di setiap penjuru Tasik dan sekitarnya.

Dibuka dengan slide show acara dan penampilan Rhoma dan Soneta.
Festival Film Tasik yang kedua ini diisi dengan workshop apa itu festival, film dan Tasik, sharing komunitas,
dilanjutkan screening film pendek. Adapun nominasi film pendek yang masuk diantaranya :"LENTERA
TEHKNOLOGI" (Documenter). Semarang, "LONGING". Bandung, “RINDU”. Tasik, “KARNA SUKANTI”.
Jakarta, "TASIK IN MOTIONS" Tasik, “MERAJUT KEBAHAGIAAN” Sukabumi, “JAKA PETIR”,Tasik,
“KERTAS”. Sukabumi, “EL CLASICO”. Jakarta, “SEKOLAH ATAU PACARAN”. Tasikmalaya, “PESAN
KEBERANIAN”.Surabaya, “CERITA CINTA SMA”. Kab. Tasik, “NYEBRANG”. Jakarta, “MENDONG” Tasik,
"POTEH" (Dokumenter) Semarang, “PLAY BOY TULALIT”. Kab. Tasik, “BISA KARENA TERBIASA”. Kab.
Tasik, “CERITA IVY”. Jatinangor, Sumedang , “RADIO UNTUK ALAM”. Jatinangor. Sumedang. “RAPUH”
Tasik, “SAKOLA RAKJAT” Tasik, “ENERGI SEHAT, ENERGI HEMAT” Tasik, “SAKOLA ALAM JAGAT”.
Ciamis, “CONDIVIDI”. Jakarta, “SUKSES”. Pangandaran, “ABU-ABU”. Jakarta, “MODUS E”. Tasik. Setelah
melawati seleksi dipilih 5 pemenang yaitu Movie-TASIK IN MOTIONS". Tasikmalaya. Fav Movie -CERITA IVY”.
Jatinangor, Sumedang, Best Documentary -SAKOLA ALAM JAGAT”. Ciamis, Scholar Movie -MERAJUT
KEBAHAGIAAN, . Sukabumi, Progresif komunitas - SMK DCI. Tasikmalaya. dan Best Costum - J-Fantastik.
Akhirnya, Festival Film Tasikmalaya yang kedua yang diselengarakan oleh Kofita 25 Desember 2013 di
laksanakan di Gedung Kesenian Tasikmalaya ini menjadi apresiasi tahunan anak muda di Priangan Timur yang
aktif berkegiatan lewat medium audiovisual pemutaran, diskusi, kajian, pemberdayaan komunitas, serta
produksi film pendek. Didalamnya ada pemahaman tentang apa festival itu? Apa film dan mengapa
Tasikmalaya? Inilah bentuk respons anak muda terhadap masalah ruang untuk berkumpul bersama dalam satu
ruang-waktu. Berbagi masalah dan ide, meningkatkan kepeduliannya. Ini bisa menjadi awal perjalanan gerakan
anak muda untuk mulai dibentuk bersama.
Salam gambar bergerak_
KOFITA, Nominator Screen Below The Wind Festival
se-Asia Tenggara
Oleh: D. Dudu AR
Komunitas Film Kita (Kofita) sebuah bengkel kreatifitas audiovisual ini berdiri dengan fondasi sporadical of
spiritism. Media dan fasilitas minim bukan alasan untuk tidak berkreatifitas, prinsip ini ditanamkan kawan-kawan
Kofita sebagai landasan kokoh untuk menunjukkan kepada dunia bahwa apa pun dapat terwujud. Tiga orang
yang tidak sungkan blangsak berjuang mengaudiovisualkan kearifan lokal di Tasikmalaya kemudian
mengampanyekan di berbagai media dengan cara yang tidak sederhana. Artinya, Kofita mempresentasikan
karya-karyanya melalui audiovisual di acara-acara level nasional dan internasional yang dijadikan altar untuk
mengantarkan Tasikmalaya ke dunia. Kofita pun aktif memproduksi film-film layanan masyarakat, dokumenter,
bahkan menggunakan beberapa istilah baru pembuatan video, seperti: Video Diary, Video Komunitas, Citizen
Journalism, Video Puisi, sebagai upaya konvergensi media atau ramatloka. Artinya, Kofita sebagai ruang
silaturahmi, berbagi, dan peduli melalui literasi media-audiovisual menuju masyarakat Tasikmalaya yang melek
teknologi, informasi, dan media. Kofita berbagi informasi dan pengalaman serta mengajak aktif berkontribusi
dalam menciptakan citra positif tentang diri dan rutinitas masyarakat, terutama pelajar. Membangun media
audiovisual sebagai alternatif selain media mainstream. Selain itu, mengajak remaja melek media agar memiliki
kemampuan dalam memanfaatkan media demi kepentingan positif sehingga dapat memengaruhi cara pandang
publik kepada remaja sebagai individu yang kuat dan bermakna. Pergerakkan Kofita tidak bisa dipandang
sebelah mata, selain diakui beberapa jaringan audiovisual luar negri, karya-karyanya telah go international.
Misal, presentasi Workshop Media ACHR yang diwakili sang ketua di Thailand mewakili Tasikmalaya dan
menjadi salah satu dari tiga orang terpilih dari Indonesia untuk mempresentasikan karya-karyanya. Minggu ini
Kofita membuktikan dua karyanya sebagai nominasi di Screen Below The Wind Festival se-Asia Tenggara di
Ubud-Bali yang diselenggarakan tanggal 16-18 November 2012. Festival ini memang terbuka untuk semua
kalangan yang memiliki kepentingan terhadap dokumenter sebagai media pendidikan maupun produk kreatifekonomi. Seperti pendidik, sekolah, peneliti, social activist, penggemar dokumenter, wakil stasiun TV, photo
agency, distributor film, hingga para sponsor dan investor saling berbagi karya dan bersinergi di acara ini.
Pembicara yang hadir di antaranya: Dr. Mari Elka Pangestu (Menteri Ekonomi Kreatif dan Pariwisata), South
East Asia Identity (Media), Panelis: Dr. Ariel Heryanto (Associate Professor, Australia National University), Dr.
Katinka Van Heeren (Research Fellow, Universitas Leiden), Dr. Yanuar Nugroho (Research Fellow, Manchester
Business School). Dokumenter Asia Tenggara: Panelis; Hassan Muthalib (Animator, Sutradara, Desainer dan
Penulis), Riri Riza (sutradara film), Rio Helmi (Fotografer Dokumenter), Sandiaga S. Uno (investor / Saratoga
Capital), Tjandra Wibowo (produser / pemilik Samuan Studio), Dr. Mari E. Pangestu dan Ariel Heryanto-t.b.c,
Moderator: Chrisma Albandjar (Komentari Direktur Microsoft Indonesia)
Dua video dokumenter produksi Kofita yang berjudul Merapi Duwe Gawe bekerja sama dengan Arsitek
Komunitas Jogja yang bertemakan cara pandang warga Kali Tengahlor, Kali Tengah Kidul, dan Serunen tentang
letusan merapi merupakan sebuah proses alami dalam pencapaian keseimbangan alam. Mereka meyakininya
sebuah „PESTA‟ bukan bencana, sehingga warga memegang teguh prinsip sedumuk batok senyari bumi, yakni
tanah menjadi harga diri. Sementara, video Nu Urang Keur Urang karya masyarakat Mekarwangi-Cikatomas
Kabupaten Tasikmalaya yang difasilitasi Kofita merupakan pendokumentasian aktifitas yang dilakukan
masyarakat dalam mempertahankan potensi sumber daya alam berbasis masyarakat lokal (community-based
natural resource management). Inilah proses-proses tradisi yang dapat mendidik masyarakat agar tidak Meski
video dokumenter yang diikutkan Kofita menggunakan kamera digital, tidak mengurangi esensi tinggi tentang
cerita-cerita nyata yang diaudiovisualkan. Padahal, peserta yang datang dari negara-negara Asia Tenggara
adalah profesional yang menggunakan alat canggih. Mengutip perkataan Hatta setengah abad yang lalu bahwa
di desa-desa sistem demokratis masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian adat-istiadat hakiki, dasarnya
adalah pemilikkan tanah yang komunal yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan
persetujuan bersama sewaktu menyelenggarakan kegiatan ekonomi. “Mungkin itulah alasan video kami terpilih,”
lagi-lagi kata Wandi si Profesor Begundal Kofita. Dari segala gulita komunitas bawah tanah, celah-celah pijar
menembus ruang dada mereka kemudian menerangi layar Tasikmalaya tentang dua sayap yang mengepakkan
badai selama „Di Bawah Angin Asia Tenggara‟ yang menobatkan film Kofita sebagai juara favorit!
/

Alat Pembuat Photo Cerita ?
• Camera HP
• Camera Pocket
• Camera Seleloide
• Camera DSLR

Panduan Dasar Membuat Komposisi Foto Cerita
1. Hook

Hook/Opener/Teaser Penarik perhatian.

Menimbulkan penasaran. Terkadang foto pembuka.
Portrait Subyek cerita.

Medium/Environment PortraitSubyek
cerita di tengah lingkungannya. Pembentuk karakter.
Detail/Close-Up
Bumbu. Penguat. Pemberi nuansa khas.

Gesture/Exchange

Gestur Interaksi Pergerakan.
Closing
2
1.
3.
6.

2.

,
, 4.

, 5.

,

, 7.

1

3

4

5

6.

7
,

,

,
,

@ymail.com

Weitere ähnliche Inhalte

Ă„hnlich wie Ibuku Ajar Cinta Tuhan

Sukma, riwajatmoe doeloe
Sukma, riwajatmoe doeloeSukma, riwajatmoe doeloe
Sukma, riwajatmoe doeloeMuhayat Akbar
 
Kinescope Magz Edisi 3.. :-)
Kinescope Magz Edisi 3.. :-)Kinescope Magz Edisi 3.. :-)
Kinescope Magz Edisi 3.. :-)Kinescope Indonesia
 
Satire sosial teks drama gerr
Satire sosial teks drama gerrSatire sosial teks drama gerr
Satire sosial teks drama gerrrofikmakshum
 
Dekreasi jabar tisna 1
Dekreasi jabar tisna 1Dekreasi jabar tisna 1
Dekreasi jabar tisna 1Tisna Sanjaya
 
Kondom Bocor, Sobek Ujungnya
Kondom Bocor, Sobek UjungnyaKondom Bocor, Sobek Ujungnya
Kondom Bocor, Sobek UjungnyaCanang Bagus
 
Katalog tribute to kretek
Katalog tribute to kretekKatalog tribute to kretek
Katalog tribute to kretekranrat
 
Katalog tribute to kretek
Katalog tribute to kretekKatalog tribute to kretek
Katalog tribute to kretekMuammar Fikrie
 
Jakarta undercover 1
Jakarta undercover 1Jakarta undercover 1
Jakarta undercover 1Sherry James
 
Wisata Sumur Soeharto
Wisata Sumur SoehartoWisata Sumur Soeharto
Wisata Sumur SoehartoPindai Media
 
Makalah apresiasi karya seni rupa modern
Makalah apresiasi karya seni rupa modernMakalah apresiasi karya seni rupa modern
Makalah apresiasi karya seni rupa modernDani Ibrahim
 

Ă„hnlich wie Ibuku Ajar Cinta Tuhan (13)

Sukma, riwajatmoe doeloe
Sukma, riwajatmoe doeloeSukma, riwajatmoe doeloe
Sukma, riwajatmoe doeloe
 
Kinescope Magz Edisi 3.. :-)
Kinescope Magz Edisi 3.. :-)Kinescope Magz Edisi 3.. :-)
Kinescope Magz Edisi 3.. :-)
 
Tugas akhir uas
Tugas akhir uasTugas akhir uas
Tugas akhir uas
 
Satire sosial teks drama gerr
Satire sosial teks drama gerrSatire sosial teks drama gerr
Satire sosial teks drama gerr
 
Dekreasi jabar tisna 1
Dekreasi jabar tisna 1Dekreasi jabar tisna 1
Dekreasi jabar tisna 1
 
Kondom bocor, sobek ujungnya 1
Kondom bocor, sobek ujungnya 1Kondom bocor, sobek ujungnya 1
Kondom bocor, sobek ujungnya 1
 
Kondom Bocor, Sobek Ujungnya
Kondom Bocor, Sobek UjungnyaKondom Bocor, Sobek Ujungnya
Kondom Bocor, Sobek Ujungnya
 
Katalog tribute to kretek
Katalog tribute to kretekKatalog tribute to kretek
Katalog tribute to kretek
 
Katalog tribute to kretek
Katalog tribute to kretekKatalog tribute to kretek
Katalog tribute to kretek
 
Adhikara analisis bimasuci
Adhikara analisis bimasuciAdhikara analisis bimasuci
Adhikara analisis bimasuci
 
Jakarta undercover 1
Jakarta undercover 1Jakarta undercover 1
Jakarta undercover 1
 
Wisata Sumur Soeharto
Wisata Sumur SoehartoWisata Sumur Soeharto
Wisata Sumur Soeharto
 
Makalah apresiasi karya seni rupa modern
Makalah apresiasi karya seni rupa modernMakalah apresiasi karya seni rupa modern
Makalah apresiasi karya seni rupa modern
 

Ibuku Ajar Cinta Tuhan

  • 1. , .
  • 2. Awalnya ingin kupangkas, semua rumput yang aku tanam di langit dengan bulan sabit. Lalu membawa pulang kumpulan batu dari bulan untuk akulempar pada pohon. Setiap buah yang jatuh, siapapun boleh menikmati. Seperti itulah Kofitazine dikehendaki. Mengumpulkan lagi batu karya, mencari pohon, melemparnya, lalu membiarkan orang lain menikmati buahnya. Begitu dan begitu seterusnya. Ucapan terima kasih dari Kofita kepada setiap komunitas kreatif yang ada di Tasikmalaya: Tasikmalaya Skatcher, Getsnep Photography Studio, Q-Smart, Pondok Media,Teater Dongkrak, Gurat Estetika, Kanaba, Abuproduction, Skata, Percisa, Saung Langit, Sif, Lingkar Lensa, Galeri Picture, SKCF, KMG, Baju Kopral, Ngejah Garut, Sabalad Pangandaran, Ijigimbrang dan semua pihak yang telah mengejawantahkan perannya untuk kemajuan Tasikmalaya yang tercinta ini. Akhirnya bacalah kofitazine ini dekat jendela dan biarkan pemilik cahaya menghadiahimu batu hitam yang berasal dari bulan. Butuhspasi_
  • 5. “ .” : Ini untukmu, tentang komitmen seumur hidupmu dalam menantang dunia. Menyadari kau bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa, bukan Lucius Nero yang membakar pusat dunia demi kota impiannya, bukan Newton yang melakukannya dengan apel jatuh atau Archimides yang merubah dunia dari bak mandinya. Lalu bagaimana kau melakukan revolusimu sendiri? Kamera adalah mulanya, ledakan idemu, pemberontakanmu, gairahmu dalam mempersoalkan realitas: menunjuk, menuduh, mencela atau mendukung badai dikepalamu. Biarkan karyamu menghantui siapapun dalam tidur, menjadi mimpi buruk, bukan menjadi selimut yang membuat orang hangat. Ini saatnya kau membuat gambar yang mendorong orang keluar dari kursi nyamannya, ketidakpeduliannya, membuat orang merebut kembali segala sesuatu yang pernah diambil, tak perlu mengemis kesempurnaan, tunjukkan setiap detail kecil dari ketidakadilan, kerusakan penyalahgunaan, ketegangan mesra, menformat dan diformat, beri mereka konflik, silang pendapat, perjuangan terhadap kepuasan, konfrontasi, jangan biarkan seseorang membuat kameramu jinak untuk alasan apapun meski film sialan yang beredar masih seragam. Apakah aku meminta terlalu banyak darimu?
  • 7. Visualisasi TUBUH DONGKRAK DALAM TUBUH TONY BROER, meng-explore kursi tua di sebuah gudang. Disanalah gambar tubuh melawan beban hidup di mulai. BUTOH gambaran hakekat kehidupan, lahir, dewasa, tua dan akhirnya mati. Diawali workshop konsep yang menelanjangi diri manusia, untuk bisa memahami dirinya sendiri dan dunia yang melingkupinya, dengan jalan membongkar segala keburukan dan kejelekan dari diri manusia, dari proses pembongkaran ini maka manusia akan dibawa kedunia transendental, yang akhirnya akan melahirkan jawaban atas pertanyaan mengenai esensi dan eksistensi kehidupan. Dalam Butoh terjadi proses pengalian berbagai kemungkinan bahasa tubuhdengan mengeksplorasi kedalaman tubuh sampai pada tingkat trasendental, bahkan sampai pada batas gerak yang mustahil yang bisa dilakukan oleh manusia yang dipaktekan dalam latihan bareng di rest area Urug dan di pementaskan dalam acara Carfreeday dengan konsep “INKUBASI” tubuh bukan sebagai alat penyampai gagasan, tapi tubuh sebagai tujuan bertanya, memikirkan dan menciptakan kembali.
  • 8. FINDING MY SEASON’S POPCORN Melacak mundur sejarah, menuruni anak tangga yang mengantarku pada sebuah hal ihwal; Gedung itu, poster hasil goresan tangan, penjaga loket, sobekan karcis, cemilan, lampu senter, dan deretan kursi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari masa lalu menyimpan sebuah cerita dibaliknya. Bukankah sesuatu itu menjadi lebih berharga saat kita merasa kehilangannya ? Meski cukup lama berhembus, kiblat pertunjukan pertama di dunia tahun 1985 di Grand CafĂ© Boluvard De Capucines Paris dan pertunjukan „gambar idoep‟ pertama di tanah Abang Ke1900 di Kebonbndjae (Manage) Batavia (Jakarta) yang dikenal sebagai bioskop berasal dari bahasa Inggris „Bioscope‟ (bios dari bahasa Yunani yang berarti hidup) mengartikulasi perannya sebagai „babak baru‟ dari semangat zaman, bertindak sebagai media politik penjajah, dan mempolopori „gerak maju‟ peradaban menuju zaman modern atau apapun itu, tak lantas menghapus ketertarikanku menemukenali keberadaanya di kotaku Tasikmalaya. Barangkali situasi yang terjadi belakangan ini mendikte persepsiku pada dialektikanya : Tasikmalaya, sebuah kota tanpa gedung bioskop. Bukan bioskop yang kehilangan penontonnya, tapi penonton kehilangan bioskopnya. Padahal bagiku, seni pertunjukan film pada masanya. Katakanlah, masa prakemerdekaan. Tak pernah menemukan bentuknya yang pasti, hanyalah serbakemungkinan. Anggaplah, dalam perhelatan pertamanya, mungkin bukan sebuah gedung pertunjukan yang memutar film seperti lazimnya. Mungkin hanya sebuah balai pertemuan bernama gedung Societit tempat berkumpulnya orang-orang penting memanjakan dirinya di lantai dansa, menghadiri jamuan makan malam lalu diakhiri dengan pemutaran film bisu dengan iringan musik orckestra mini sesuai jenis film yang diputar. Pada perkembangannya, menurut majalah Reveu no 23 tahun 1936 terdapat 227 jumlah bioskop yang tersebar di seluruh pelosok tanah air termasuk salah satunya bernama Loxor Theatre. di kawasan ghetto atau kawasan elite seputar jalan Singaparna (Hazet), disamping Lembaga Permasyaratan dan kantor Residen. Disanalah sebuah balkon, lose, stetselt dan kelas kambing (istilah bagi kaum pribumi yang saat menonton film ,selalu berisik seperti kambing) kehadirannya, tak diragukan lagi bukan hanya memenuhi hasrat para Meneer semata, pula mengisyaratkan status dan symbol prestise yang berpusar pada ideology kemapanan sebuah kota. Sampai semuanya berakhir dimasa pemerintah Hindia Belanda menyerah pada kekuasaan Jepang di tahun 1942. Di masa peralihan, keberadaan Loxor Theatre nyaris tak terdengar lagi. Panggung sandiwara diangap lebih mangkus (efektif) dibanding harus latah, menjadikan film sebagai alat propaganda. Padahal apabila film diberi keleluasaan penuh mengejawantahkan perannya. Ceritanya akan berbeda. Mungkin bukan hanya kisah heroik KH. Haji Zaenal Mustofa yang terjadi di Tasikmalaya sekitar tahun 1942. Tapi ikon-ikon perjuangan dari kaum intelektual muda seperti yang terjadi di kota-kota besar lainnya. Dimana seni pertunjukan film menjadi fase penting dalam mendekatkan rasa kebangsaaan, diskursus perihal nasionalisme, gagasan-gagasan seperti Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT dan RW) yang didopsi d film jepang, pelestarian budaya sunda dalam film Loetoeng Kasarung oleh Bupati Bandung, sampai kumpulan dari potongan gambar dalam „Indonesia Fight For Freedom‟ yang berhasil meyakinkan dunia akan perjuangan rakyat dalam mempertahankan Republik. Bioskop setelahnya, katakanlah pasca kemerdekaan meneruskan lagi segala hal yang pernah ditinggalkan sebelumnya. Dilatari suara Si Kwik dan Si Kwong (sebutan bagi kereta uap) diantara ruang geometris pusat kota. Dalam lintasannya, bioskop Galoenggoeng berdiri. Menemukan realitasnya dalam pranata kota. Dimuka sebuah mesjid, pintunya mengenalkan penonton pada dunia luar. Meski rambu kaidah agama dan norma
  • 9. etika masih kental. Adanya keterlibatan para ulama melakukan pengawasan ketat tentang film apa saja yang boleh diputar, dipisahkannya tempat duduk antara pria dan wanita, pemutaran film diluar jam sholat, setidaknya mencerminkan kota Tasikmalaya sebagai kota yang toleran. Selain itu, bioskop yang berganti nama menjadi Megaria telah menempatkan bangunan serupa di masa kejayaannya. Sebut saja, bioskop Mustika (Parahiyangan), bioskop Capitol (Kujang), bioskop Merdeka ( Hergamanah), bioskop Sentosa (Nusantara), bioskop Garuda, Tasik theatre, Ciawi theatre, Empire group 21 Matahari, dan terakhir bioskop Parahiyangan yang ditutup oleh pengelolanya untuk dijadikan hotel, telah menambah daftar panjang gedung pertunjukan film yang tunduk pada sesuatu yang berada diluar kendalinya, sketsa samar seorang anak yang disuruh melingkarkan tanggannya diatas kepala, meraih telinga sebagai prasyarat yang menunjukan usia untuk diperkenankan menonton film, tersimpan rapi dalam setiap bingkai kesadaranku, tanpa perlu mempersoalkan lagi apakah sebuah bioskop masih menjadi „gerak maju‟ peradaban modern atau menandakan kemapanan sebuah kota, tanpa perlu meromantisir kehilangan bioskopnya, memprovokasi untuk menjaga monument lama sebelum tercipta monument baru. Biarlah proses menemukan terindra, meski kadang membuatku sedikit gagap menceritakan mengapa kawasan Jl. Dr. Sukarjo menjadi kawasan ghetto bahkan sampai sekarang masih menjadi transit para bule yang singgah? mungkin tulisan ini hanya ingin menepuk bahu saling mengingatkan bahwasannya seni pertunjukan masih menjadi bagian yang tak terpisahkan dariku. Bukankah meminjam istilah MC Maccay “pale ink is morer important then retentive, tinta yang pudar lebih baik dari sebuah ingatan?” Akhirnya setelah kuhabiskan popcornku, dan beranjak pergi dari bioskop 21 meninggalkan semua „daya pikat seni pertunjukan film yang begitu mempesona‟ jauh dibelakangku. Butuhspasi_
  • 10. Ini tubuhku, ini negeraku, aku membuat duniaku dengan tubuhku sendiri. Begitulah prosesnya selama ini... - Afrilia Utami
  • 11. IBUKU AJARI CINTA TUHAN Afrilia Utami Pada siapa dia tersenyum? pancarkan senyuman yang tak pernah teredupkan pada siapa dia menangis haru tersikut kenangan dan harapan Pada siapa lagi aku dapati hidup jika bukan pada dua Engkau ibu dan Tuhanku.... kau mampu menulisi ayat-ayat tentang usia di dalam pijar kedua mata yang suka mengharap engkau selalu berada di sana dengan senyum dan bahagia yang engkau jaga Ibu.. Siapa Tuhan? Tuhan yang seperti cahaya di gulita cinta yang diluapkan ke bumi dan semua tumbuh menjadi-jadi sejak rahimmu menjagaku. Aku mencintamu, Ibu Kisah-kisah tentang pernyataan juga kehidupan yang diciptakan Tuhan. Ibu.. Engkau sudah sangat lama tegar dalam perjuangan ini menjaga anak-anakmu yang mencintaimu yang mengalahkan deras hujan topan, halilintar, badai, dan guntur di halaman doa yang engkau jaga. Kaulah yang menjadi sumber segala hidup Ibu.. semoga Tuhan menjaga negeri Ibu... Indonesia yang sedamai aku mengintip hatimu ketika berwudu. 2 Juni 20
  • 12. jika hujan Afrilia Utami Jika hujan begini Aku jadi ingat air Yang pernah mengukir Cerita tentang dua sejoli ; Sehujan berdua. Dengan air yang menjadikan basah Empat kepingan mata yang saling menulisi Hujan di dada dengan hati-hati. 15 Oktober 2012
  • 13.
  • 14.
  • 15.
  • 16. Saya tak hendak menceritakan acara Fest Film Tasik penuh-seluruh. Kami bekerja dengan ide bukan budget, memundurkan acara tapi penundaan hanya karena masalah anggaran yang terbatas adalah DUSTA, kami tertantang mewujudkannya. Piala hasil sumbangan dari Tasikmalaya sketcher, performance kreasi komunitas Ijigimbrang, property dari sisa yang ada digudang, karena kami yakin fest ini adalah kerja gotong royong bersama komunitas lain bukan sesama komunitas film. Mudah2an apa yang kami berdua kerjakan tidaklah sia-sia mencerahi anak muda di setiap penjuru Tasik dan sekitarnya. Dibuka dengan slide show acara dan penampilan Rhoma dan Soneta.
  • 17. Festival Film Tasik yang kedua ini diisi dengan workshop apa itu festival, film dan Tasik, sharing komunitas, dilanjutkan screening film pendek. Adapun nominasi film pendek yang masuk diantaranya :"LENTERA TEHKNOLOGI" (Documenter). Semarang, "LONGING". Bandung, “RINDU”. Tasik, “KARNA SUKANTI”. Jakarta, "TASIK IN MOTIONS" Tasik, “MERAJUT KEBAHAGIAAN” Sukabumi, “JAKA PETIR”,Tasik, “KERTAS”. Sukabumi, “EL CLASICO”. Jakarta, “SEKOLAH ATAU PACARAN”. Tasikmalaya, “PESAN KEBERANIAN”.Surabaya, “CERITA CINTA SMA”. Kab. Tasik, “NYEBRANG”. Jakarta, “MENDONG” Tasik, "POTEH" (Dokumenter) Semarang, “PLAY BOY TULALIT”. Kab. Tasik, “BISA KARENA TERBIASA”. Kab. Tasik, “CERITA IVY”. Jatinangor, Sumedang , “RADIO UNTUK ALAM”. Jatinangor. Sumedang. “RAPUH” Tasik, “SAKOLA RAKJAT” Tasik, “ENERGI SEHAT, ENERGI HEMAT” Tasik, “SAKOLA ALAM JAGAT”. Ciamis, “CONDIVIDI”. Jakarta, “SUKSES”. Pangandaran, “ABU-ABU”. Jakarta, “MODUS E”. Tasik. Setelah melawati seleksi dipilih 5 pemenang yaitu Movie-TASIK IN MOTIONS". Tasikmalaya. Fav Movie -CERITA IVY”. Jatinangor, Sumedang, Best Documentary -SAKOLA ALAM JAGAT”. Ciamis, Scholar Movie -MERAJUT KEBAHAGIAAN, . Sukabumi, Progresif komunitas - SMK DCI. Tasikmalaya. dan Best Costum - J-Fantastik. Akhirnya, Festival Film Tasikmalaya yang kedua yang diselengarakan oleh Kofita 25 Desember 2013 di laksanakan di Gedung Kesenian Tasikmalaya ini menjadi apresiasi tahunan anak muda di Priangan Timur yang aktif berkegiatan lewat medium audiovisual pemutaran, diskusi, kajian, pemberdayaan komunitas, serta produksi film pendek. Didalamnya ada pemahaman tentang apa festival itu? Apa film dan mengapa Tasikmalaya? Inilah bentuk respons anak muda terhadap masalah ruang untuk berkumpul bersama dalam satu ruang-waktu. Berbagi masalah dan ide, meningkatkan kepeduliannya. Ini bisa menjadi awal perjalanan gerakan anak muda untuk mulai dibentuk bersama. Salam gambar bergerak_
  • 18. KOFITA, Nominator Screen Below The Wind Festival se-Asia Tenggara Oleh: D. Dudu AR Komunitas Film Kita (Kofita) sebuah bengkel kreatifitas audiovisual ini berdiri dengan fondasi sporadical of spiritism. Media dan fasilitas minim bukan alasan untuk tidak berkreatifitas, prinsip ini ditanamkan kawan-kawan Kofita sebagai landasan kokoh untuk menunjukkan kepada dunia bahwa apa pun dapat terwujud. Tiga orang yang tidak sungkan blangsak berjuang mengaudiovisualkan kearifan lokal di Tasikmalaya kemudian mengampanyekan di berbagai media dengan cara yang tidak sederhana. Artinya, Kofita mempresentasikan karya-karyanya melalui audiovisual di acara-acara level nasional dan internasional yang dijadikan altar untuk mengantarkan Tasikmalaya ke dunia. Kofita pun aktif memproduksi film-film layanan masyarakat, dokumenter, bahkan menggunakan beberapa istilah baru pembuatan video, seperti: Video Diary, Video Komunitas, Citizen Journalism, Video Puisi, sebagai upaya konvergensi media atau ramatloka. Artinya, Kofita sebagai ruang silaturahmi, berbagi, dan peduli melalui literasi media-audiovisual menuju masyarakat Tasikmalaya yang melek teknologi, informasi, dan media. Kofita berbagi informasi dan pengalaman serta mengajak aktif berkontribusi dalam menciptakan citra positif tentang diri dan rutinitas masyarakat, terutama pelajar. Membangun media audiovisual sebagai alternatif selain media mainstream. Selain itu, mengajak remaja melek media agar memiliki kemampuan dalam memanfaatkan media demi kepentingan positif sehingga dapat memengaruhi cara pandang publik kepada remaja sebagai individu yang kuat dan bermakna. Pergerakkan Kofita tidak bisa dipandang sebelah mata, selain diakui beberapa jaringan audiovisual luar negri, karya-karyanya telah go international. Misal, presentasi Workshop Media ACHR yang diwakili sang ketua di Thailand mewakili Tasikmalaya dan menjadi salah satu dari tiga orang terpilih dari Indonesia untuk mempresentasikan karya-karyanya. Minggu ini Kofita membuktikan dua karyanya sebagai nominasi di Screen Below The Wind Festival se-Asia Tenggara di Ubud-Bali yang diselenggarakan tanggal 16-18 November 2012. Festival ini memang terbuka untuk semua kalangan yang memiliki kepentingan terhadap dokumenter sebagai media pendidikan maupun produk kreatifekonomi. Seperti pendidik, sekolah, peneliti, social activist, penggemar dokumenter, wakil stasiun TV, photo agency, distributor film, hingga para sponsor dan investor saling berbagi karya dan bersinergi di acara ini. Pembicara yang hadir di antaranya: Dr. Mari Elka Pangestu (Menteri Ekonomi Kreatif dan Pariwisata), South East Asia Identity (Media), Panelis: Dr. Ariel Heryanto (Associate Professor, Australia National University), Dr. Katinka Van Heeren (Research Fellow, Universitas Leiden), Dr. Yanuar Nugroho (Research Fellow, Manchester Business School). Dokumenter Asia Tenggara: Panelis; Hassan Muthalib (Animator, Sutradara, Desainer dan Penulis), Riri Riza (sutradara film), Rio Helmi (Fotografer Dokumenter), Sandiaga S. Uno (investor / Saratoga Capital), Tjandra Wibowo (produser / pemilik Samuan Studio), Dr. Mari E. Pangestu dan Ariel Heryanto-t.b.c, Moderator: Chrisma Albandjar (Komentari Direktur Microsoft Indonesia) Dua video dokumenter produksi Kofita yang berjudul Merapi Duwe Gawe bekerja sama dengan Arsitek Komunitas Jogja yang bertemakan cara pandang warga Kali Tengahlor, Kali Tengah Kidul, dan Serunen tentang letusan merapi merupakan sebuah proses alami dalam pencapaian keseimbangan alam. Mereka meyakininya sebuah „PESTA‟ bukan bencana, sehingga warga memegang teguh prinsip sedumuk batok senyari bumi, yakni tanah menjadi harga diri. Sementara, video Nu Urang Keur Urang karya masyarakat Mekarwangi-Cikatomas Kabupaten Tasikmalaya yang difasilitasi Kofita merupakan pendokumentasian aktifitas yang dilakukan masyarakat dalam mempertahankan potensi sumber daya alam berbasis masyarakat lokal (community-based natural resource management). Inilah proses-proses tradisi yang dapat mendidik masyarakat agar tidak Meski video dokumenter yang diikutkan Kofita menggunakan kamera digital, tidak mengurangi esensi tinggi tentang cerita-cerita nyata yang diaudiovisualkan. Padahal, peserta yang datang dari negara-negara Asia Tenggara adalah profesional yang menggunakan alat canggih. Mengutip perkataan Hatta setengah abad yang lalu bahwa di desa-desa sistem demokratis masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian adat-istiadat hakiki, dasarnya adalah pemilikkan tanah yang komunal yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama sewaktu menyelenggarakan kegiatan ekonomi. “Mungkin itulah alasan video kami terpilih,” lagi-lagi kata Wandi si Profesor Begundal Kofita. Dari segala gulita komunitas bawah tanah, celah-celah pijar menembus ruang dada mereka kemudian menerangi layar Tasikmalaya tentang dua sayap yang mengepakkan badai selama „Di Bawah Angin Asia Tenggara‟ yang menobatkan film Kofita sebagai juara favorit!
  • 19. / Alat Pembuat Photo Cerita ? • Camera HP • Camera Pocket • Camera Seleloide • Camera DSLR Panduan Dasar Membuat Komposisi Foto Cerita 1. Hook Hook/Opener/Teaser Penarik perhatian. Menimbulkan penasaran. Terkadang foto pembuka.
  • 20. Portrait Subyek cerita. Medium/Environment PortraitSubyek cerita di tengah lingkungannya. Pembentuk karakter.
  • 21. Detail/Close-Up Bumbu. Penguat. Pemberi nuansa khas. Gesture/Exchange Gestur Interaksi Pergerakan.
  • 23. 2 1. 3. 6. 2. , , 4. , 5. , , 7. 1 3 4 5 6. 7
  • 24.