Tak bisa dipungkiri, penerapan ekonomi kapitalisme di dunia dan termasuk di Indonesia saat ini jauh panggang dari api. Harapan akan terciptanya kesejahteraan malah menyajikan jurang kemiskinan yang semakin melebar.
Tak hanya hal tersebut, sistem ekonomi ini ternyata bisa mempengaruhi berbagai kebijakan yang akhirnya membuat kerusakan pada manusia itu sendiri. Termasuk pergaulan bebas, korupsi dan sebagainya.
Lantas bagaimana cara Islam mengatasi hal tersebut. Simak pemaparan dari pakar Ekonomi Syariah Dr Dwi Condro Triono PhD ini.
Jangan lupa untuk berbagi pada yang lain..
5. PRINSIP DASAR OPERASIONAL
BANK KONVENSIONAL
MASYARAKAT
KELEBIHAN
DANA
LEMBAGA
INTERMEDIASI
BANK
KONVENSIONAL
MASYARAKAT
KEKURANGAN
DANA
(PENGUSAHA)
MENABUNG MEMINJAMKAN
MEMBERIKAN % BUNGAMEMBERIKAN % BUNGA
MENDAPAT SPREAD
6. PRINSIP DASAR OPERASIONAL
BANK SYARI’AH
MASYARAKAT
KELEBIHAN
DANA
LEMBAGA
INTERMEDIASI
BANK
SYARI’AH
MASYARAKAT
KEKURANGAN
DANA
(PENGUSAHA)
INVESTASI PEMBIAYAAN
MEMBERIKAN % BAGI HASILMEMBERIKAN % BAGI HASIL
MENDAPAT % BAGI HASIL
PENGHIMPUNAN DANA PENYALURAN DANA
8. • Menurut Imam Al Mawardi, syarat akad
mudharabah yang diakui ada tiga:
1. Harus ada salah satu pihak yang secara
khusus berkontribusi dalam modal (mal).
2. Harus ada pihak yang lain yang secara
khusus berkontribusi dalam melakukan
pengelolaan (‘amal).
3. Kedua pihak tahu bagian (nisbah)
keuntungan masing-masing.
9. • Pihak bank yang berposisi sebagai pengelola (mudharib)
disyaratkan adalah pihak yang dapat melakukan tasharruf
(pengelolaan) secara langsung terhadap dana yang telah
diserahkan kepadanya.
• Dana yang telah diserahkan kepada pihak bank ini tidak boleh
diserahkan pada pihak lain untuk dikelola.
• Jika dana tersebut kemudian diserahkan kepada pihak lain, maka
status bank sebagai mudharib secara otomatis akan hilang.
• Menurut Syaikh An-Nabhany, dalam akad mu’amalah pihak yang
menjadi subyek akad tidak boleh diwakilkan. Yang boleh
dilakukan hanyalah dalam hal mewakilkan akad-nya saja.
10. • Jika penyerahan dana dari bank kepada pihak lain
adalah dengan alasan menggunakan akad wakalah
(perwakilan), maka hal ini juga dianggap tidak
relevan, karena dana tersebut sudah diserahkan
kepada pihak bank (mudharib) untuk dikelola.
• Apabila akad wakalah itu tetap diberlakukan, maka
hak pada dana itu akan berpindah kepada pihak
lain, di luar pihak bank.
• Sehingga, apabila pengelolaan dana oleh pihak luar
tersebut menghasilkan keuntungan, maka pihak
bank sesungguhnya tidak berhak untuk
mendapatkan bagian dari keuntungan tersebut
(tidak berhak mendapatkan bagi hasil).
11. • Karena dana yang diterima bank syari’ah disalurkan kepada pihak lain
dengan akad mudharabah juga, maka dalam posisi ini, pihak bank
akan bertindak juga sebagai shahibul maal.
• Dalam kondisi ini bank syari’ah akan menjalani dua posisi sekaligus,
yaitu sebagai mudharib, sekaligus sebagai shahibul maal, sehingga
bank syari’ah memerankan akad ganda (multi akad) yang dilarang.
• Dalilnya dari Hadits:
•َس َو ِهْيَلَع ُ هاَّلل ىهلَص ِ هاَّلل ُلوُسَر ىَهَنَص ِِ ِْْيَََََْْص َْْع ََهلٍََ ِِا َو ٍََْْ
• “Rasulullah SAW telah melarang dua kesepakatan (akad) dalam satu
kesepakatan (akad)” (HR. Imam Ahmad Bin Hanbal).
12. • Wadhi’ah yad dhamanah itu tidak dapat diaplikasikan untuk
tabungan dan giro, karena prinsip dalam wadhi’ah itu titipan.
Konsekuensinya, dalam wadhi’ah tidak ada perpindahan
kepemilikan atas harta atau barang yang ditipkan.
• Sehingga, akad wadhi’ah itu lebih cocok untuk penitipan barang
(‘ain), tidak tepat untuk uang yang ditabung, yang kemudian uang itu
akan dimanfa’atkan oleh pihak bank syari’ah.
• Dengan demikian, wadhi’ah yad dhamanah tidak dapat diterapkan
untuk penitipan uang, untuk kemudian dimanfa’atkan.
• Sebab, jika itu digunakan untuk penitipan uang, maka yang berlaku
bukan wadhi’ah (penitipan), tetapi akad qardh (peminjaman).
• Mengapa?
13. • Sebab, uang yang dimasukkan ke bank itu tidak hanya
dimanfa’atkan dzatnya saja, namun telah terjadi
pemindahan kepemilikan dari uang tersebut.
• Sehingga, uang yang dikembalikan dapat dikategorikan
sebagai harta yang semisal (mitsliyat), bukan harta dalam
bentuk uang yang semula yang dititipkan. Hal itu berbeda
dengan menitipkan (wadhi’ah) uang di safe deposit box,
maka uang yang diambil kembali adalah uang yang semula
disimpan, sebagaimana dzatnya uang awalnya itu dititipkan.
14. • Fakta yang ada dalam tabungan wadhi’ah atau giro wadhi’ah adalah akad qardh.
Definisi dari qardh adalah sebagai berikut:
•الَرض:المسََبل ِ مثله لك َلير المثليات ْم َعطيه ما
• “Pinjaman (qardh) adalah apa-apa yang kamu berikan berupa harta mitsliyat
(harta semisal) untuk dikembalikan kepadamu harta yang semisalnya pada masa
yang akan datang” (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al-Fuqaha`, hlm. 274).
• Sedangkan yang dimaksud dengan misliyat (harta semisal):
•ي َْاوت بال األسواق ِ مثل له َيوج ما كل االصطالح ِ ّاتيالمثل،به ََع
ْمّثال بسببه يخَلف ال بِيث
• “Mitsliyat menurut istilah adalah apa-apa yang didapati yang semisalnya di pasar
tanpa ada perbedaan yang signifikan, dalam arti perbedaan yang ada, tidak
mengakibatkan perbedaan harga” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Juz 36: 85).
15. • Dengan demikian, jika akad yang sesuai itu adalah akad pinjam-
meminjam (qardh), maka hal itu hukumnya masih dibolehkan,
namun haram hukumnya jika ada imbalan atau tambahan yang
diberikan oleh pihak peminjam (bank syari’ah), karena imbalan
itu dapat dikategorikan sebagai riba. Hal itu sebaaimana yang
telah ditunjukkan dalam Hadits:
•هلَس َو ِهْيَلَع ُهللا َلىَص ِهللا ُل ْوُسَر َلاَقَ:َعَْْنَم هرَج ض ْرَق ُّلُكَوُهَِ ًٍاَب ِر
• “Setiap utang-piutang yang menghasilkan manfa’at adalah riba”
(HR. Baihaqi).
16. AQAD PENYALURAN DANA:
1. BAGI HASIL (PROFT SHARING)
a. AL-MUDHARABAH
b. AL-MUSYAROKAH
2. JUAL BELI (SALE AND PURCHASE)
a. BAI’ AL-MURABAHAH
b. BAI’ AS-SALAM
c. BAI’ AL-ISTISHNA’
3. SEWA (OPERATIONAL LEASE AND FINANCIAL LEASE)
a. AL-IJARAH
b. AL-IJARAH AL-MUNTAHIA BIT-TAMLIK
4. JASA (FEE-BASED SERVICES)
a. AL-WAKALAH
b. AL-KAFALAH
c. AL-HAWALAH
d. AR-RAHN
e. AL-QARDH
17. • Dalam penyaluran dana dengan menggunakan
akad mudharabah, maka posisi Bank tidak dapat
dianggap sebagai shahibul mal, sebab dana
tersebut bukanlah dana milik bank, tetapi dana
tersebut milik shahibul mal yang sesungguhnya,
yaitu pihak nasabah penabung atau deposan.
• Pihak bank justru posisinya sebagai mudharib.
• Oleh karena itu, akad mudharabah ini menjadi
tidak sah, karena nasabah penerima penyaluran
dana yang akan bertindak sebagai mudharib itu
akan mengelola dana yang bukan haknya, sehingga
tidak boleh dikelola.
18. • Jika bank menyalurkan dana yang berasal dari dana
nasabah penitip (dengan akad wadhi’ah), maka
sesungguhnya boleh saja bagi bank untuk memanfaatkan
dana tersebut atas ijin dari pemiliknya.
• Namun demikian, jika pemanfaatan tersebut kemudian
disalurkan kepada nasabah dengan akad syirkah
mudharabah, maka pihak bank juga tidak dapat diposisikan
sebagai shahibul mal, karena bank hanyalah wakil dari
shahibul mal yang sesungguhnya, yaitu nasabah penitip.
• Jika penyaluran dana dengan akad mudharabah ini
memperoleh keuntungan, maka keuntungan tersebut
bukanlah hak dari bank, melainkan hak dari nasabah
penabung atau deposan penitip (muwaddi’).
19. • Jika landasan yang digunakan oleh bank untuk
mengambil keuntungan adalah wakalah bil ujrah,
maka landasan tersebut juga tidak dapat diterima.
• Ujrah (upah) yang diterima, sesungguhnya bukanlah
hak dari bank syari’ah, karena pihak bank dalam posisi
akad ini tidak melakukan aktivitas apapun, yang layak
untuk disebut sebagai ajir (pekerja).
• Definisi ijarah:
•ٍَعَْْنَمْال ىَلَع ٌضََْع َ ِه ٍَُرَجِ ْْلَأاض َوِعِب
• “Al-ijarah adalah aqad atas manfaat dengan imbalan
(upah)”
20. • Dalam akad musyarakah, maka ada ketentuan bahwa masing-
masing pihak, yaitu pihak bank dan nasabah penerima dana,
harus terlibat dalam dua posisi sekaligus, yaitu penyertaan
dana, sekaligus terlibat dalam pengelolaan proyek bisnis
secara langsung.
• Namun pada praktiknya, pihak bank ternyata tidak ikut
berperan secara langsung terhadap terhadap proyek-proyek
bisnisnya.
• Yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan proyek bisnis
hanyalah pihak nasabah penerima dana.
21. • Apabila aktivitas pengelola (‘amil) dari pihak bank adalah:
“Melakukan review, meminta laporan dan bukti-bukti dari hasil usaha
yang dibuat oleh pihak nasabah berdasarkan bukti pendukung yang
dapat dipertanggungjawabkan”, maka aktivitas tersebut tetap belum
layak disebut sebagaiaktivitas pengelola (‘amil).
• Menurut Ibnu Qudamah: “Bagi ‘amil, wajib mengurus sendiri apa yang
biasanya memang harus ditangani sendiri oleh pengelola.
• Pihak pengelola juga tidak berhak dibayar, karena haknya adalah
mendapatkan kompensasi dari bagi hasil.
• Hal itu juga diperkuat dengan ketentuan UU Perbankan, bahwa
institusi perbankan tidak boleh melakukan kegiatan ekonomi riil
secara langsung, seperti jual beli, mengelola proyek dan sebagainya.
22. • Ketentuan murabahah yang mengharuskan pihak bank syari’ah
membiayai sebagian atau seluruh harga yang disepakati kualifikasinya,
hal itu dapat dianggap bertentangan dengan fakta bahwa posisi bank
syari’ah adalah sebagai penjual.
• Padahal, ketentuan bagi pihak penjual adalah menjual barang yang
telah dimiliki kepada pihak pembeli, yaitu nasabah.
• Jika dalam praktiknya pihak bank syari’ah akan membiayai sebagian,
dan sebagian yang lain harus dibayar oleh pembeli sendiri, maka bank
syari’ah sesungguhnya telah bertindak sebagai pihak yang
menghutangi pembeli, bukan menjadi pihak penjual.
23. • Dalam akad murabahah tersebut yang berlaku bukanlah jual beli
dengan hutang, namun hutang-piutang murni, sehingga pihak bank
syari’ah tidak boleh menetapkan harga beli ditambah keuntungannya.
• Sebab, statusnya adalah utang-piutang, maka pembayarannya harus
sama dengan jumlah hutangnya. Jika ada tambahan, maka hal itu dapat
dikategorikan sebagai riba.
• Dalil Haditsnya sebagai berikut:
•اَب ِر َوُهَِ ًٍَعَْْنَم هرَج ض ْرَق ُّلُك
• “Setiap utang-piutang yang menghasilkan manfa’at adalah riba” (HR.
Baihaqi).
24. • Dalam akad ini, Bank Syari’ah bertindak sebagai Ajir (pekerja) dan
nasabah sebagai musta’jir (pengguna manfa’at).
• Karena Bank tidak bergerak di bisnis riil, maka jasa (manfa’at) tersebut
diberikan oleh pihak lain, kemudian “dijual” kepada nasabah.
• Dalam transaksi ini jasa tersebut belum ada dan masih dalam bentuk
dzimmah maushufah (tanggungan yang terdeskripsikan), sehingga jasa
tersebut tidak dapat diserahkan kepada musta’jir .
• Maka, akad tersebut adalah akad jual beli hutang dengan hutang,
sehingga hukumnya haram.
• Dalilnya dari Hadits sebagai berikut:
•هىِبهنال هَْأ-َوسل عليه هللا صلى-َكْال ِْعيَب َْْع ىَهَنِِِلاَكْالِب ِِِلا
• “Bahwa Nabi SAW melarang menjual hutang dengan hutang.” (HR.
Imam Ad-Daraquthni).
25. • Akad Ijarah Muntahiyah bit-Tamlik disamakan dengan akad sewa beli.
• Sewa dan beli adalah dua akad yang berbeda, maka jika disatukan akan
menjadi akad yang fasid (rusak).
• Dalilnya dari Hadits:
•هلَس َو ِهْيَلَع ُ هاَّلل ىهلَص ِ هاَّلل ُلوُسَر ىَهَنَََْْص ِِ ِْْيَََََْْص َْْع ٍََََ ِِا َو ٍ
• “Rasulullah SAW telah melarang dua kesepakatan (akad) dalam satu
kesepakatan (akad)” (HR. Imam Ahmad Bin Hanbal).
• Dalam akad ini juga terdapat syarat-syarat yang membatasi pemanfaatan
(intifa’) dan tasharruf atas kepemilikan barang yang disewabelikan,
sehingga akadnya menjadi rusak (fasid).
26. JASA (FEE-BASED SERVICES)
• Akad jasa, seperti akad Al-Wakalah, Al-Kafalah, Al-Hawalah, Ar-Rahn dan
Al-Qardh termasuk dalam kelompok akad tabarru’ atau akad untuk
kepentingan sosial kemanusiaan.
• Hubungan akad ini menggunakan prinsip tolong-menolong (ta’awun).
• Sudah menjadi kesepakatan ulama’ bahwa akad tabarru’ tidak boleh
berubah menjadi akad tijarah (komersial). Sedangkan untuk sebaliknya
adalah boleh.
• Salah satu dalilnya adalah dari Hadits. Nabi SAW bersabda:
•َبِه ِِ َُوُعَي يِذهال ِء ْوهسال ُلَثَم َانَل َْسيَلْيَق ِِ ُع ِج ْرَي ِِْلَكْالَك ِهَِِهِِئ
• “Tidak ada orang yang menandingi kejelekan orang yang menarik hibahnya di antara kita,
selain seperti anjing yang menjilat ludahnya” (HR. Imam Bukhari).
• Pengambilan fee (uang jasa) dalam akad-akad diatas tidak
diperbolehkan.