1. INTEGRASI KEISLAMAN-KEINDONESIAAN DALAM
REKONSTRUKSI POLITIK KETATANEGARAAN INDONESIA ERA
REFORMASI:
STUDI PERDEBATAN PARTAI POLITIK ISLAM DAN NASIONALIS
DALAM AMANDEMEN KONSTITUSI 1999-2004
A. Pendahuluan
Salah satu tuntutan agenda gerakan reformasi 1998 adalah amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya UUD 1945). Upaya ini dilakukan
karena beberapa alasan. Pertama, keberadaan konstitusi ini di sejumlah pasal yang
ada di dalamnya dianggap lebih berpihak kepada penguasa (executive heavy). Ada
12 pasal terkait dengan kekuasaan Presiden sebagai pemangku kekuasaan
eksekutif. Sebaliknya, batasan kekuasaan Presiden baik dalam bentuk berbagi
kekuasaan dengan lembaga negara lainnya, maupun dalam pembatasan masa
jabatan dan bentuk kontrol prosedural maupun publik dirasakan kurang memadai.
Keberadaan pasal-pasal ini dianggap telah menjadi akar penyebab munculnya
pemerintahan yang otoriter dan tidak demokratis sebagaimana terjadi di dua masa
pemerintahan di Indonesia, di era pemerintahan rezim Orde Lama (1957-1966)
dan di era pemerintahan rezim Orde Baru (1966-1998).
Pemberlakuan UUD 1945 dengan 12 Pasal di dalamnya yang memberikan
peluang kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden sebagai pemangku
kekuasaan eksekutif juga dianggap menjadi penyebab terjadinya pelanggaran
terhadap keberadaan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Sebaliknya muncul
pemerintahan yang otoriter dan dianggap sangat merugikan amanat penderitaan
rakyat.
Masalahnya di masa Orde Baru, upaya untuk melakukan perubahan
konstitusi menjadi sangat sulit bahkan mustahil untuk dilakukan. Rezim lewat
MPR yang didominasi kaki-tangannya telah merekayasa terbitnya Tata Tertib
Nomor I/MPR 1983 dan TAP MPR RI Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum
2. yang tujuan utamanya agar UUD 1945 tidak dapat dilakukan perubahan.1
Namun
gerakan Reformasi 1998 kemudian meluluhlantakkan bangunan status quo Orde
Baru. Di MPR, para anggotanya yang tergabung dalam Fraksi Persatuan
Pembangunan (FPP) MPR RI dengan dukungan publik di luar gedung DPR MPR
berupaya untuk TAP MPR tersebut. Lewat Sidang Istimewa MPR pada Nopember
1998, kunci bagi dilakukannya amandemen UUD 1945 dapat diraih dengan
dicabutnya Tata Tertib Nomor I/MPR 1983 dan TAP MPR RI Nomor
IV/MPR/1983 tentang Referendum.
Kedua, UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 adalah konstitusi
Negara Republik Indonesia yang menurut salah satu perumusnya, Soekarno,
adalah “UUD Kilat” (Revolutie Grondwet), dan pemberlakuannya bersifat
sementara. Sebagaimana kemudian setelah dua bulan sejak diberlakukannya,
Kabinet Parlementer pertama di bawah pemerintahan Perdana Menteri Sutan
Sjahrir dengan sendirinya tidak lagi memberlakukan UUD 1945 yang menganut
sistem presidensil (quasi). Keadaan ini terus berlanjut hingga terbentuknya
Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai hasil dari perundingan Konferensi meja
Bundar (KMB) yang memberlakukan Konstitusi RIS 1949.2
Namun Konstitusi RIS tidak bertahan lama. Lewat mosi Muhammad
Natsir (17 Agustus 1950) RIS dibubarkan, dan Indonesia kemudian kembali
menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) namun dengan pengesahan
UUD yang baru, Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Di dalam pasal
134 UUDS 1950 di tegaskan bahwa Konstituante akan membuat UUD yang
bersifat tetap sebagaimana kemudian pada 10 Nopember 1956 di Gedung
1
Faisal Baasir, “Amandemen UUD 1945: Implikasi Politik dan Hukum”, Makalah
Seminar Amanden UUD 1945, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta, 12 Juli
1999, h. 2.
2
Jimly Asshiddiqie, “Telaah Kritis Mengenai Perubahan Undang-Undang Dasar 1945”
dalam CIVILITY, Vol. 1, No. 2, Nopember 2001-Januari 2002, h. 37.
3. Merdeka Bandung resmi dibentuk panitia untuk membuat UUD yang bersifat
tetap.3
Setelah menyelesaikan lebih dari separuh pembahasan UUD yang baru
kemudian menyisakan sedikit masalah yang memicu perdebatan di antara faksi-
faksi di Parlemen mengenai ideologi Negara, yaitu antara Pancasila dan Islam
yang belum menemukan titik temu. Akibat berlarut-larutnya perdebatan ini
Presiden Soekarno dalam pidatonya di Bandung mengusulkan untuk kembali
memberlakukan UUD 1945.
Usul Presiden ini ditolak anggota Majelis Konstituante karena mereka
hampir menyelesaikan konsitusi baru. Akibatnya muncul perseteruan antara
Presiden dan Konstituante, dan berujung munculnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
dengan alasan situasi kenegaraan darurat yang kemudian membubarkan
Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara
Republik Indonesia. Sejak saat itu UUD 1945 diberlakukan kembali sampai
berakhirnya Orde Baru 1998 yang tumbang akibat Gerakan Reformasi. Seiring
dengan diterimanya perubahan atas Tata Tertib Nomor I/MPR 1983 yang
diusulkan FPP pada Sidang Umum MPR 1998, TAP MPR RI Nomor
IV/MPR/1983 tentang Referendum dicabut pada Sidang Istimewa MPR 1999.
Sehingga upaya amandemen UUD 1945 dimungkinkan oleh MPR hasil pemilu
1999.
Ketiga, amandemen UUD 1945 dilakukan untuk menyesuaikan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan zaman.
Konstitusi yang ada muncul sebagai jawaban atas situasi dan kondisi persiapan
dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari Belanda mau menjajah
kembali. UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 adalah konstitusi
Negara Republik Indonesia yang menurut salah satu perumusnya, Soekarno,
adalah “UUD Kilat” (Revolutie Grondwet), dan pemberlakuannya bersifat
sementara. Oleh karenanya isu-isu penegakan hukum dan HAM, masalah
3
Jimly Asshiddiqie, “Telaah Kritis Mengenai Perubahan Undang-Undang Dasar 1945”,
h. 37.
4. demokrasi dan kedaulatan rakyat, dan beberapa isu kontemporer seperti masalah
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) tidak (maksimal) diakomodasi di dalam
UUD 1945. Sebaliknya kekuasaan Presiden yang dominan dibuat dengan
pertimbangan situasi saat itu yang harus mempertahankan kemerdekaan dari
penjajahan asing. Namun dengan situasi kebangsaan dan kenegaraan yang terus
berkembang, dan tantangan persaingan antar bangsa antar kawasan dan dunia
semakin kuat, maka amandemen UUD 1945 dianggap menjadi suatu keharusan.
Dengan demikian perubahan sistem ketatanegaraan dengan melakukan
amandemen konstitusi dianggap sebagai suatu keharusan.
Di dalam pelaksanaan amandemen UUD 1945 yang dilakukan setiap tahun
sejak 1999 sampai 2002 melewati empat tahapan Sidang Umum MPR. Tahapan-
tahapan itu meliputi Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan MPR pada 19 Oktober 1999, Perubahan
Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
ditetapkan MPR pada 18 Agustus 2000, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan MPR pada 9 Nopember
2001, dan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang ditetapkan MPR pada 10 Agustus 2002. 4
Hasil Pemilu 1999 kemudian menghasilkan MPR dengan komposisi
sepuluh fraksi. Fraksi-fraksi itu meliputi Fraksi PDI Perjuangan (FPDI-P), Fraksi
Partai Golkar Reformasi (FPGR), Fraksi PPP (F-PPP), Fraksi Kebangkitan
Bangsa (FKB), Fraksi Reformasi, Fraksi Bulan Bintang (FBB), Fraksi TNI/Polri,
Fraksi Kesatuan dan Kebangsaan Indonesia (FKKI), Fraksi Daulat Umat (FDU),
dan Fraksi Utusan Golongan (FUG). Dari kesepuluh fraksi di MPR kemudian
menyepakati bahwa yang menjadi ruang lingkup perubahan konstitusi tidak
berlaku untuk Pembukaan UUD 1945. Mereka menyepakati ruang lingkup
perubahan konstitusi hanya untuk Batang Tubuh dan penjelasan UUD 1945, dan
4
Rantap FPP tentang Perubahan Tata Tertib MPR dalam Fraksi Persatuan Pembangunan
MPR RI, Menuju Reformasi Politik, Ekonomi, dan Hukum, Perjuangan Fraksi Persatuan
Pembangunan Dalam Sidang Umum MPR 1998, Jakarta: FPP MPR RI, 1998, h. 711-721.
5. jika ada hal-hal yang bersifat normatif di dalam penjelasan UUD 1945, maka yang
demikian itu dimasukkan dalam Batang Tubuh UUD-1945.
Masalah krusial muncul pada saat Perubahan Kedua Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian ditetapkan MPR
pada 18 Agustus 2000, yaitu ketika fraksi partai-partai Islam yang meliputi FPPP,
FBB dan kemudian diikuti oleh Fraksi Partai Daulatul Ummah (FPDU)
mengajukan usulan yang sensitif mengenai perubahan Bab XI Agama pasal 29
UUD 1945 ayat (1) dan (2).5
Usulan ketiga Fraksi ini ditentang Fraksi-Fraksi
lainnya dan kemudian memunculkan perdebatan.
Alternatif Pilihan Pasal 29
Pasal 29
Ayat (1):
Alternatif 1 :
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa. (Naskah Asli).
Alternatif 2 :
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya.
Alternatif 3 :
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama
bagi masing-masing pemeluknya.
Alternatif 4
Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
5
Selengkapnya Bab XI Agama Pasal 29: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Jakarta: Sekretariat MPR RI, 2004, h. 77.
6. hikmak kebijaksanaan, dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Ayat (2):
Alternatif 1 :
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu. (Naskah Asli).
Alternatif 2 :
Negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya itu.
Penelitian ini adalah untuk melihat alur argumentasi perdebatan rumusan
Pasal 29 mengingat yang demikian itu akan menggambarkan tentang apakah
integrasi masalah keislaman-keindonesiaan yang dianggap sudah selesai.
Perdebatan seputar Pasal 29 UUD 1945 pernah menjadi masalah krusial ketika
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia hendak mengesahkan UUD 1945 pada
menjelang penetapannya pada 18 Agustus 1945. Masalah yang hampir sama juga
menjadi pemicu perdebatan pada Sidang-Sidang Majelis Konstituante hasil
Pemilu 1955 yang kemudian berakhir dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5
Juli 1957.
Sikap Fraksi-Fraksi di MPR Terhadap Amandemen Pasal 29 UUD 1945
Fraksi Sikap terhadap amandemen Pasal 29
PDI-P Tidak Diubah
Golkar Tidak Diubah
Reformasi Dipertahankan/Dipertegas
PPP Setuju Diubah
PKB Tidak Diubah
UG Tidak Diubah
KKI Tidak Diubah
PDU -
PBB Setuju diubah
TNI/Polri -
PDKB Dicabut
Dari alur perdebatan partai-partai politik Islam dan nasionalis di
penghujung abad ke-21 ini akan dapat dilihat apakah yang demikian itu bagian
7. dari dinamisasi hubungan keislaman-keindonesiaan mengingat situasi sosial
politik Indonesia yang terus berkembang. Selain itu perdebatan yang muncul pada
masa transisi dari era pemerintahan otoriter ke bentuk pemerintahan sipil
demokratis lewat amandemen UUD 1945 mengandaikan adanya pola dan bentuk
hubungan keislaman-keindonesiaan yang baru sesuai dengan perkembangan
terkini masa itu yang akan mempengaruhi era selanjutnya. Untuk itu penelitian ini
penting untuk melihat keterkaitan isu-isu keislaman-keindonesiaan yang menjadi
wacana di kalangan para intelektual Muslim di era 1970-an, dan situasi yang
berbeda pada era 2000-an.
B. Batasan Masalah
Batasan masalah di dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana bentuk perdebatan di dalam amandemen konstitusi 1999-2000,
apakah yang demikian itu menyangkut kesulitan baru di dalam mengintegrasikan
keislaman-keindonesiaan, dan kompromi politik apa yang dicapai antara partai
politik Islam dengan partai nasionalis di dalam merekonstruksi politik
ketatanegaraan Indonesia pasca reformasi?
C. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitan
Penelitian ini mengambil pendekatan studi kasus, yaitu tentang perdebatan di
parlemen antara partai-partai politik Islam dan partai-partai politik nasionalis
selama dalam amandemen konstitusi 1999-2000. Pendekatan studi kasus yang
dilakukan diharapkan dapat memberikan gambaran yang kompehensif, intens,
rinci, dan mendalam di dalam menelaah fenomena yang bersifat
kontemporer/kekinian, 6
yaitu terkait dengan upaya konstruksi politik
ketatanegaraan Indonesia dengan mengintegrasikan pendekatan keislaman-
keindonesiaan. Dengan demikian penelitian ini secara metodologi berada di dalam
6
Abdul Aziz S.R., “Memahami Fenomena Sosial Melalui Studi Kasus” dalam Burhan
Bungin, (ed.), Analisis Data Penelitian Kualitattif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke
Arah Penguasaan Model Aplikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, cet. II, h. 20.
8. wilayah kajian pemikiran modern dalam Islam, terutama bidang studi politik
Islam.7
Metode penelitiannya menggunakan pendekatan sejarah politik, dengan
salah satunya mengkaji pola-pola distribusi kekuasaan. Oleh karenanya hakekat
dan tujuan sistem politik, hubungan struktural, pola-pola dari perilaku individu
dan kelompok, perkembangan hukum dan kebijakan–kebijakan sosial-politik
menjadi bagian dalam pembahasan di dalam penelitian ini.8
Di samping itu, aspek
realitas yang meruanglingkupi seperti hubungan antar partai-partai politik,
kelompok kepentingan, opini dan tekanan publik, dan keberadaan birokrasi-
administrasi tidak dapat dilepaskan sebagai salah satu agenda acuan penelitian.
Selain itu juga dilakukan analisa sejarah yang berkenaan dengan subyek penelitian
berdasarkan faktor-faktor perubahan doktrin paradigma keagamaan, sosial,
politik, ekonomi, dan aspek sosio-religi-kultural masyarakat Indonesia.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, teknik yang digunakan dilakukan dengan
melakukan studi pustaka (library research) yang bersumber dari kertas kerja dan
dokumen selama amandemen konstitusi pada kurun waktu 1999-2004, analisis,
studi, dan opini yang berkembang yang berasal dari kliping koran dan majalah,
jurnal politik, dan bahan-bahan lain yang tidak diterbitkan. Untuk memastikan
data yang ada, akan dilakukan upaya konfirmasi ke beberapa narasumber yang
langsung terlibat dalam perdebatan tersebut sebagai upaya cross check data. Data-
data itu kemudian dianalisa sesuai dengan urutan peristiwa untuk kemudian diuji
keterkaitannya dengan tema penelitian.
3. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Dalam pengolahan data, teknik yang digunakan peneliti dilakukan lewat
analisa isi (content analysis),9
yaitu dengan menganalisa makna yang terkandung
di dalam aspek perdebatan di dalam amandemen konstitusi kurun waktu 1999-
7
Lihat pembidangan ilmu agama Islam dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor 110
Tahun 1982.
8
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos, 1999, h. 17-19.
9
Klaus Krippendorf, Content Analysis: Introduction to It’s Theory and Methodology,
edisi Indonesia oleh Farid Wajdi, Analisis Isi, Jakarta: Rajawali Press, 1991, h. 15.
9. 2004 berdasarkan konsep dan pendekatan semisal dalam ilmu politik, sosiologi
politik, maupun sejarah politik. Untuk itu upaya yang dilakukan akan melalui
beberapa langkah, antara lain dengan menginventarisasi masalah,
mendiskripsikan, mengindentifikasi, memasukan dengan pendapat/konsep lain,
menghubungkan dan mendialogkan dengan gagasan lain dalam tema penelitian
yang sama. Setelah itu dilakukan upaya interpretasi dan kesimpulan sebagai
refleksi penulis atas studi ini.
4. Waktu dan Tempat Penelitian
D. Argumen Utama
(LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL
E. Rencana Publikasi
F. Rencana Anggaran