Upaya Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Timor Timur hingga tercip...
Teori struktur modal
1. TEORI STRUKTUR MODAL
SIGIT SANJAYA 1309464
MAGISTER MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2014
2. 1. PENDAHULUAN
Struktur modal merupakan perbandingan antara hutang jangka panjang
dengan modal sendiri. Teori struktur modal menjelaskan apakah ada pengaruh
perubahan struktur modal terhadap nilai perusahaan. Tujuan mempelajarinya:
untuk menyelidiki pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan. Jika
berpengaruh, maka perusahaan perlu mempertahankan struktur modalnya
mendekati struktur modal optimal. Struktur modal optimal adalah struktur modal
yang bisa memaksimallkan nilai perusahaan dan meminimalkan biaya modal
perusahaan. Modal yang digunakan perusahaan selalu mempunyai biaya. Baik
bersifat eksplisit (tampak), maupun implisit (tidak tampak). Bagi dana yang
berbentuk hutang, biaya dana mudah diidentifikasi, yaitu biaya bunganya,
sedangkan bagi dana yang berbentuk modal sendiri, biaya dananya tidak tampak.
Meskipun demikian, tidak berarti biaya dananya lebih murah dari hutang, biaya
dana dalam bentuk dana modal sendiri merupakan tingkat keuntungan yang
diharapkan investor sebelum mereka menyerahkan dananya ke perusahaan.
Tingkat keuntungan ini belum tentu lebih kecil apabila dibandingkan dengan
bunga pinjaman.
Pembicaraan dalam bab ini dimulai dari keadaan yang ekstrem, yaitu pada
kondisi pasar modal yang sempurna dan tidak ada pajak. Tentu saja kondisi ini
tidak pernah dijumpai dalam dunia yang nyata’’. Tetapi pembahasan sengaja
dimulai dari kondisi tersebut kemudian diperlonggar satu demi satu asumsi-
asumsi yang mendasarinya.
3. 2. STRUKTUR PASAR MODAL SEMPURNA DAN TIDAK ADA
PAJAK
Pasar Modal sempurna adalah pasar modal yang sangat kompetitif. Dalam
pasar tersebut antara lain tidak dikenal biaya kebangkrutan, tidak ada biaya
transaksi, bunga simpanan pinjaman sama yang berlaku untuk semua pihak.
Sebagai tambahan, tidak ada pajak penghasilan (income tax).
Asumsi lain yang digunakan teori ini
1. Laba operasi yang diperoleh setiap tahunnya dianggap konstan. Ini berarti
bahwa perusahaan tidak merubah keputusan investasinya
2. Semua laba yang tersedia bagi pemegang saham dibagikan sebagai
dividen, berarti kita tidak memasukkan kerumitan faktor kebijakan dividen
3. Hutang yang digunakan bersifat permanen. Ini berarti hutang yang jatuh
tempo akan diperpanjang lagi.
4. Pergantian struktur hutang dilakukan secara langsung, apabila perusahaan
menambah hutang, maka modal sendiri dikurangi, begitupun sebaliknya
Biaya modal dan nilai perusahaan dari asumsi tersebut:
• Ke = e/E
• Kd = I/D
• Ko = Ke (E/V) + Kd (D/V)
• Ko = EBIT / V
• V = E + D
4. Keterangan:
• Ke = biaya modal sendiri (saham biasa)
• Kd = biaya modal hutang jangka panjang
• Ko = biaya modal perusahaan (WACC)
• e = Laba yang tersedia bagi pemegang saham biasa (EPS)
• E = Nilai pasar modal sendiri
• I = Bunga hutang jangka panjang
• D = Nilai pasar hutang jangka panjang
V = Nilai perusahaan
A. PENDEKATAN TRADISIONAL
Nilai perusahaan atau biaya modal perusahaan dapat dirobah dengan jalan
merubah struktur modal perusahaan (D/E)
Pendapat ini dominan sampai dengan awal tahun 1950an.
Pendekatan ini dapat dijelaskan dengan soal dan perhitungan berikut:
Misalkan PT. A mempunyai 100% modal sendiri, dan diharapkan
memperoleh laba bersih setiap tahunnya sebesar Rp. 10 juta. Jika tingkat
keuntungan yang diisyaratkan oleh pemilik modal adalah 20%, maka nilai
perusahaan dan biaya modal perusahaan bisa dihitung sebagai berikut:
5. Keterangan PT. A Tanpa Hutang
Laba Bersih operasi (E) 10 Juta
Bunga (I) -
Laba tersedia untuk
pemilik saham (e)
10 Juta
Biaya modal sendiri (Ke) 0,20
Nilai modal sendiri (E) 50 Juta
Nilai pasar hutang (D) -
Nilai perusahaan (V) 50 Juta
Biaya Modal Perusahaan
(Ko) = 0,20 (50/50) + 0
(0/50)
0,2
Keadaan perusahaan berubah menjadi lebih baik setelah perusahaan
menggunakan hutang karena nilai perusahaan meningkat (atau biaya modal
perusahaan menurun). Jika misalkan perusahaan sebelum menggunakan hutang
mempunyai jumlah lembar saham sebanyak 1.000 lembar, maka harga sahamnya
adalah Rp. 50.000 per lembar. Setelah perusahaan mengganti sebagian saham
dengan hutang (yang diganti sebesar Rp. 25 juta atau 500 lembar saham), maka
nilai sahamnya menjadi Rp. 27,27 juta/500 = Rp. 54.540
6. B. PENDEKATAN MODIGLIANI-MILER (MM)
Dalam artikel mereka, dua orang ekonom Modigliani dan Miller (MM)
berpendapat bahwa pendekatan tradisional tidak benar. MM menunjukkan
kemungkinan munculnya proses arbitrase yang akan membuat harga saham yang
tidak menggunakan hutang maupun menggunakan hutang, akhirnya sama. Proses
arbitrase muncul karena investor selalu lebih menyukai investasi yang
memerlukan dana yang lebih sedikit tetapi memberikan penghasilan bersih yang
sama dengan risiko yang sama pula. Dalam contoh di atas, pemodal bisa
memperoleh keuntungan yang sama tetapi dengan investasi yang lebih kecil,
apabila memiliki saham PT. A yang tidak memiliki hutang.
Arif memiliki 20% saham PT. A yang menggunakan hutang. Maka nilai
kekayaannya 0,2 x Rp. 27,27 juta= Rp. 5,45 juta. Sekarang misalkan PT. B identik
dengan PT. A yang tidak mempunyai hutang. Proses arbitrase yang akan
dilakukan:
1. Jual saham PT. A, memperoleh dana sebesar Rp. 5,45 juta.
2. Beli saham PT. B sebesar 20%, maka:
Beli saham PT. B sebesar 20%, maka 0,2 x 50 Juta = Rp. 10 Juta. Dengan
demikian Arief dapat menghemat investasi senilai Rp. 0,45 juta. Pada waktu Arief
memiliki 20% saham PT. A yang menggunakan hutang, ia mengharapkan untuk
memperoleh keuntungan sebesar 0,2 x Rp. 6 juta = Rp. 1, 2 juta. Pada waktu ia
memiliki 20% saham PT. B dan mempunyai hutang sebesar Rp. 10 juta, maka
keuntungan yang diharapkan adalah:
7. Keuntungan dari saham PT B= 0,2 x Rp. 10 juta = Rp. 20 juta, dikurangi
bunga yang dibayar sebesar = 0,16 x Rp. 5 juta= Rp 0,8 juta, maka keuntungan
bersih = Rp 1,2 juta.
3. PASAR MODAL SEMPURNA DAN ADA PAJAK
Dalam Keadaan ada pajak, MM berpendapat bahwa keputusan pendanaan
menjadi relevan. Hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya bunga yang
dibayarkan (karena mengandung hutang) bisa dipergunakan untuk mengurangi
penghasilan yang dikenakan pajak.
PT. A PT. B
Laba Operasi Rp. 10 Juta Rp. 10 Juta
Bunga Rp. 4 Juta
Laba sebelum pajak Rp. 10 Juta Rp. 6 Juta
Pajak (misal: 25%) Rp. 2,5 Juta Rp. 1,5 Juta
Laba setelah pajak Rp. 7,5 Juta Rp. 4,5 Juta
8. • Bila diasumsikan hutang bersifat permanen, maka PT. akan memperoleh
manfaat penghematan pajak setiap tahun Rp 1,00 juta. Selanjutnya
berapa nilai manfaat ini ?
• Nilai penghematan pajak dapat dihitung dengan cara sbb:
Penghematan pajak
PV Penghematan pajak = -----------------------
(1 + r )
dimana, PV = present value dan r adalah tingkat bunga yang relevan
biasanya sama dengan kd (biaya hutang) karena penghematan tersebut diperoleh
karena menggunakan hutang.
Misal Ke PT A (tidak menggunakan hutang) 20%, dan
Kd = 16%, maka nilai PT A dapat dihitung sebagai berikut :
Vu = Rp 7,50 juta/ 0,20
= Rp 37,50 juta
PV penghematan pajak = Rp 1 juta/0,16
= Rp 6,25 juta
Maka nilai perusahaan yang menggunakan hutang (VL) dalam hal ini PT B
adalah:
VL = Rp 37,50 juta + Rp 6,25 juta
= Rp 43,75 juta.
9. • Untuk PT A,
• Nilai modal sendiri (E) = Rp 37,5 juta
• Nilai Perusahaan (V) = Rp 37,5 juta
• Biaya modal sendiri (Ke) = 20%
• Biaya modal perusahaan (Ko) = 20%
Untuk PT B
• Nilai hutang (D) = Rp 4,00/0,16 = Rp 25,00 juta
• Nilai perusahaan (VL) = Rp 43,75 juta
• Nilai modal sendiri (E) = Rp 43,75 – Rp 25 = Rp 18,75 juta
• Biaya modal sendiri (Ke) = Rp 4,5 / Rp 18,75 = 0,24
• Biaya hutang (Kd) = 0,16
• Biaya hutang setelah pajak {kd(1-t)} = 0,16(1-0,25) = 0,12
• Biaya modal perusahaan (Ko) = Laba operasi (1-t)/V
= 10 (1-0,25)/43,75 = 0,1714
4. TEORI TRADE OFF
Jika memang Asumsi: Pasar modal sempurna dan ada pajak maka biaya
modal perusahaan semakin kecil dengan bertambahnya proporsi hutang yang
10. digunakan. Mengapa tidak ada perusahaan yang menggunakan 100% hutang?
Hal ini disebabkan karena asumsi pasar modal sempurna dalam riilnya tidak ada.
Kemudian adanya biaya kebangkrutan (Financial distress) dan biaya keagenan
(agency Cost). Perusahaan akan berhutang sampai pada tingkat hutang tertentu,
dimana penghematan pajak (tax shield) dari tambahan hutang sama dengan
biaya kesulitan keuangan (financial distress). Biaya kesulitan keuangan
(financial distress) adalah biaya kebangkrutan dan biaya keagenan.
Makin besar penggunaan utang, maka semakin besar keuntungan
penggunaan utang yang berasal dari penghematan pajak, tapi biaya kebangkrutan
dan biaya keagenan juga akan semakin besar.
Pada kondisi awal, manfaat penggunaan utang> biayanya, jika utang terus
ditambah, akhirnya manfaat penggunaan hutang < biayanya.
5. PECKING ORDER THEORY
Pecking order theory yang dikemukakan oleh Myers dan Majluf (1984)
menggunakan dasar pemikiran bahwa tidak ada suatu target debt to equity ratio
tertentu dan tentang hirarkhi sumber dana yang paling disukai oleh perusahaan.
Esensi teori ini adalah adanya dua jenis modal external financing dan internal
financing. Teori ini menjelaskan mengapa perusahaan yang profitable umumnya
menggunakan utang dalam jumlah yang sedikit.
Hal tersebut bukan disebabkan karena perusahaan mempunyai target debt
ratio yang rendah, tetapi karena mereka memerlukan external financing yang
11. sedikit. Perusahaan yang kurang profitable akan cenderung menggunakan utang
yang lebih besar karena dua alasan, yaitu; (1)dana internal tidak mencukupi, dan
(2) utang merupakan sumber eksternal yang lebih disukai.