1. Wewenang Birokrasi dan Reformasi Birokrasi
Birokrasi terdiri dari biro yang artinya meja dan krasi yang artinya kekuasaan. Dari
pengertian dua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa birokrasi adalah kekuasaan yang
didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu
organisasi. Birokrasi ini bersifat rigid atau kaku dan kewenangan birokrasi adalah kewenangan
formal yang dimiliki dengan legitimasi produk hukum bukan dengan legitimasi politik. Dalam
era global saat ini, birokrasi sebagai komponen utama pengelola pemerintahan negara harus
meningkatkan kualitas pengabdian dan kinerja terbaiknya kepada masyarakat, bangsa. dan
negara.
Birokrasi politik yang ada dalam sebuah negara memiliki kewenangan dalam
memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Dalam kewenangan dan tanggung jawabnya
yang begitu besar terhadap masyarakat, hal ini perlu diperhatikan lebih lanjut, apakah
wewenang dan tanggung jawab yang di emban oleh para birokrat telah dilakukan dengan
baik; apakah pelayanan untuk masyarakat telah diberikan seluruhnya sesuai dengan
kebutuhan setiap individu atau kelompok; apakah dalam pelayanan terhadap publik hanya
dijadikan sebagai tempat mencari tambahan bagi dirinya sendiri. Ini adalah pertanyaan-
pertanyaan mendasar yang mutlak dipunyai oleh masing-maing individu. Karena kekuasaan
tetap berada di tangan rakyat sekalipun para elit memiliki kewenangan dan menjadi golongan
orang yang mayoritas.
Di Negara berkembang, pelayanan yang diberikan kepada masyarakat belum bisa
dikatakan baik karena pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah belum bisa
dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu kondisi geografis, sumber daya manusia, sumber penerimaan, dan teknologi informasi.
Sedangkan di Negara maju bisa dikatakan pelayanan publik yang ada sudah baik karena
hampir semua faktor tersebut bisa teratasi dengan baik.
Kualitas pelayanan publik yang kerap dikeluhkan masyarakat dapat terjadi disebabkan
berbagai hal. Salah satu yang mendasari hal ini adalah lemahnya sistem pengendalian
manajemen pemerintahan. Diketahui, pada jam-jam pelayanan publik, aparat kerap lalai
dalam melayani masyarakat. Masalah berikutnya adalah ringannya konsekuensi dari kealpaan
ini. Akibat dari kealpaan ini, berpotensi menciptakan set mental tertentu mengenai tanggung
2. jawab pekerjaan di kepala setiap aparat. Set mental ini menjadi derivasi bagi budaya kerja,
sebagian lembaga pemerintahan yang lazim datang terlambat, kualitas pelayanan minimalis,
hingga mempersulit proses.
Untuk mereduksi budaya melayani masyarakat tersebut, sistem pengendalian SDM
yang lebih ketat mutlak diperlukan. Reformasi birokrasi bukan hanya dalam soal perbaikan
sistem, akan tetapi perbaikan kompetensi dan akuntabilitas setiap individu di dalamnya.
Sedangkan, yang harus ditanamkan dengan baik dalam setiap individu adalah dengan
menempatkan fungsi pelayanan publik sebagai pemberdayaan, bukan pemberian. Hal ini
terletak pada sebuah kalimat sederhana yaitu “kepuasan masayarakat adalah prioritas utama”.
Memprioritaskan berarti menyesuaikan standar pelayanan berdasarkan kebutuhan
masyarakat. Politik pemerintah seharusnya tumbuh dan berkembang menjadi sistem birokrasi
terbuka yakni keberhasilan kinerja di evaluasi atas dasar harapan dan kepuasan masyarakat.
Perubahan struktur birokrasi secara bertahap dan semua nilai - nilai yang melekat di
dalamnya agar dapat berfungsi sebagai sebuah alat yang efektif dalam memacu jalannya
pembangunan, harus dipertimbangkan sebagai salah satu dasar bagi perencanaan perubahan
di negara ini.
Mulai diberlakukannya penegasan terhadap sanksi atau hukuman bagi individu atau
kelompok yang melakukan penyelewengan dalam menjalankan tugasnya menjadi salah satu
hal yang seharusnya dilakukan dalam tubuh birokrasi. Ini hal yang terlihat sepele sebenarnya,
akan tetapi disebabkan kebudayaan Indonesia yang masih melekat dengan sangat kental yaitu
adanya keseganan antar satu sama lain, maka tidaklah jarang hukuman ini hanya menjadi
sebuah wacana bukan suatu yang memang dapat menjadi suatu yang memotivasi agar tidak
melakukan penyelewengan sehingga hukuman yang sudah disepakati bersama tidak dapat
diberlakukan dengan baik. Namun, hal ini sudah berakar dari awal sehingga sedikit sulit
dirubah. Perubahan pola pikir yang tegas dan disiplin harusnya mulai dilakukan sejak awal
sehingga hal ini tidak terjadi.
Tantangan terpenting lain bagi kualitas layanan publik adalah menciptakan budaya
pelayanan yang sepenuhnya. Ini memerlukan perubahan set mental di setiap aparat
pemerintah. Untuk menciptakan budaya pelayanan, pola hubungan vertikal mesti dibangun
melalui model hubungan saling menolong. Model hubungan ini bergantung kepada
penerapan dari aparat pemerintah, baik yang dipelajari maupun kecenderungan alamiah untuk
menolong orang lain. Motivasi internal untuk menolong lazimnya didahului oleh kesadaran
3. diri dan nilai-nilai kebaikan yang dianut. Kompetensi menolong orang lain secara sukarela
tanpa harapan mendapatkan imbalan.