1. TESIS
REVITALISASI TRADISI LISAN KANTOLA
MASYARAKAT MUNA SULAWESI TENGGARA
PADA ERA GLOBALISASI
DARWAN SARI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2011
i
2. TESIS
REVITALISASI TRADISI LISAN KANTOLA
MASYARAKAT MUNA SULAWESI TENGGARA
PADA ERA GLOBALISASI
DARWAN SARI
NIM 0990261032
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2011
ii
3. REVITALISASI TRADISI LISAN KANTOLA
MASYARAKAT MUNA SULAWESI TENGGARA
PADA ERA GLOBALISASI
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Progam Studi Kajian Budaya
Program Pascasarjana Universitas Udayana
DARWAN SARI
NIM 0990261032
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2011
iii
4. LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 26 AGUSTUS 2011
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. I Made Suastika, S.U.
NIP. 19570113 198003 1 001
003
Dr. Sutamat Arybowo, M.A.
NIP. 1955 0721 1983 03 1
Mengetahui:
Ketua Program Studi Magister (S2)
Kajian Budaya Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S.
Sudewi,Sp.S(K)
NIP. 19430521 198303 2 001
Prof. Dr.dr.A.A.Raka
NIP. 19590215 1985 10 2 001
iv
5. Tesis ini Telah Diuji pada
Tanggal, 26 Agustus 2011
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana
Nomor: 1442/UN.14.4/HK/2011, Tanggal 19 Agustus 2011
Ketua
: Prof. Dr. I Made Suastika, S.U.
Anggota :
1. Dr. Sutamat Arybowo, M.A.
2. Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S.
3. Prof. Dr.I Gde Semadi Astra
4. Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum.
v
6. UCAPAN TERIMA KASIH
Rasa syukur tanpa batas penulis panjatkan atas kekuasaan dan keridhaan
Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penelitian
dan penulisan tesis yang berjudul Revitalisasi Tradisi Lisan Kantola Masyarakat
Muna Sulawesi Tenggara pada Era Globalisasi dapat diselesaikan.
Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, memiliki banyak kekurangan di
sana sini namun hal tersebut sangatlah wajar karena terkait dengan proses dalam
menuntut ilmu. Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan selesai, tanpa
bantuan dari berbagai pihak. Karena itu, seyogyanyalah penulis mengucapkan
terima kasih yang setulus-tulusnya kepada yang terhormat:
Pertama, Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. selaku pembimbing I yang
penuh
perhatian
telah
memberikan
bimbingan
serta
dorongan
dalam
menyelesaikan penulisan tesis ini. Kepada Dr. Sutamat Arybowo, M.A. selaku
pembimbing II yang juga telah memberikan bimbingan kepada penulis selama ini.
Kedua, kepada Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S, Prof. Dr. I Gde Semadi Astra,
Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum., sebagai tim penguji juga banyak
memberikan bantuan baik berupa komentar, kritik maupun saran atas bagianbagian tertentu atau keseluruhan naskah tesis ini.
Ketiga, Dekan Fakultas Sastra Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan
Ardika, M.A., juga pada Ketua dan Sekretaris Program Magister (S2) Kajian
Budaya Universitas Udayana Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S., dan Dr. I Wayan
Redig, serta seluruh staf pengajar Program Magister (S2) Kajian Budaya, yang
telah banyak mentransformasikan ilmu pengetahuan dan membantu penulis dalam
melaksanakan studi selama ini.
Keempat, kepada seluruh staf administrasi Program Magister (S2) Kajian
Budaya Universitas Udayana, yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu
yang selama ini telah banyak memberikan kemudahan kepada penulis dalam hal
administrasi perkuliahan. Serta Direktorat Jendral Perguruan Tinggi yang
vi
7. bekerjasama dengan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) yang telah memberikan
bantuan beasiswa (BPPS KTL) Kelima, kepada rekan-rekan Program Magister
(S2) Kajian Budaya Universitas Udayana, khususnya angkatan 2009 sebagai
teman-teman diskusi dalam mengasah ketajaman analisis dan memperluas
wawasan keilmuan. Keenam, kepada kedua sahabatku Rahmat Sewa Suraya dan
Muh. Al Kausar telah bersama suka maupun duka. Juga ucapan terima kasih
banyak kepada para informan yang telah bersedia meluangkan waktunya dan
memberikan informasi.
Ketujuh, kepada pihak keluarga dan juga pihak lain yang sangat membantu
penulis dalam menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini, yang namanya saya
tidak bisa sebut satu demi satu. Jasa baik mereka akan selalu penulis kenang.
Paling teristimewa kepada ibuku tercinta, penulis mengucapkan terima kasih
banyak atas semua motivasi, dan do’anya untuk kesuksesan penulis dari sejak
kecil hingga saat ini. Semoga setiap derap langkah kaki, ayunan tangan beliau
selalu mendapat imbalan kebaikan dari Allah SWT, amin.
Kedelapan, kepada Rektor Universitas Haluoleo di Sulawesi Tenggara
Bapak Prof. Dr. Ir. Usman Rianse, M,S, dan Ketua ATL Pusat Dr. Pudentia
MPPS, M.Hum. serta Ketua ATL Sulawesi Tenggara Dr. La Niampe, M.Hum.
yang telah memberikan kesempatan dan membukakan jalan penulis untuk
mendapatkan beasiswa, serta tak lupa penulis mengucapkan salam perjuangan
kepada teman-teman dari Kajian Tradisi Lisan yang sekarang ini sementara
melanjutkan studi.
Kesembilan, Kepada keluarga besar Bapak Soedjiwo yang telah
memberikan nasehat, dukungan, bantuan, serta doanya kepada penulis, dan
kepada orang yang saya tuakan Dr. La Taena, M.Si., serta Kakanda saya
Hadirman, S.Pd., M.Hum., Briptu Ismail Story, Hamirudin Udu, S.Pd.,M.Hum.,
Hardin Arin, S.Pd., juga penulis ucapkan terima kasih banyak atas segala do’a dan
bantuannya demi tercapainya studi penulis. Kepada kakak saya Yani, S.Pd.
terimakasih atas bantuan dan dukungannya dan ketiga adik saya, Awal Maulid
vii
8. Sari, S.Pt., Siti Kadri Yanti Sari, S.Sos., Putri Suswani Sari, penulis ucapkan
terima kasih banyak atas dukungannya semoga mereka juga lebih termotivasi
untuk melanjutkan studi. Semoga semua amal kebaikan mereka mendapatkan
balasan kebaikan pula dari Allah SWT, amin.
Walaupun dalam penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan
dari berbagai pihak berupa pemikiran melalui komentar, kritik maupun saran,
tanggung jawab terakhir tetap berada kepada penulis sendiri. Banyak atau
sedikitnya kekurangan dan kesalahan dalam tesis ini sepenuhnya menjadi
tanggungjawab penulis.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan mohon
ampunan atas segala kesalahan. Kepada-Nya jugalah penulis menyerahkan semua
amal kebaikan pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
tesis ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya pada
kita semua, amin.
Denpasar,
Agustus 2011
Penulis,
viii
9. ABSTRAK
Penelitian ini membahas revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna
pada era globalisasi. Pada dasarnya, tradisi lisan kantola, sebagai bentuk warisan
budaya masyarakat Muna, telah menuju ambang kepunahan. Selain dampak
negatif dari globalisasi, kemunduran nilai-nilai budaya lokal tidak lepas dari
masyarakat Muna yang sudah makin jauh meninggalkan tradisi ini. Tiadanya
dukungan pemerintah terhadap tradisi ini juga membuka celah kehancuran
warisan budaya ini. Penelitian ini bertujuan untuk memahami upaya-upaya
revitalisai tradisi lisan kantola dalam masyarakat Muna. Pemahaman terhadap
aktivitas kultural ini dapat memberikan arah bagi pembentukan kembali ikatan
sosial dan identitas masyarakat lokal.
Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah (1) bentuk revitalisasi
tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi, (2)
fungsi revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada
era globalisasi, (3) makna revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna
Sulawesi Tenggara pada era globalisasi. Dalam pembahasan ini digunakan teori
hegemoni, teori resepsi, teori dekontruksi, dan teori semiotika. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan hermeneutika. Pengumpulan
data dilakukan melalui observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan studi
dokumen dan pustaka.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertunjukan tradisi lisan kantola
yang dilaksanakan secara periodik merupakan media pengenalan dalam
menumbuhkan kesadaran masyarakat sehingga membuka peluang bagi
pertumbuhan, dan perkembangan tradisi lisan, termasuk tradisi lisan yang
semakin terhimpit dengan produk-produk budaya global. Tradisi lisan yang sarat
dengan nilai-nilai estetika berfungsi untuk menyebarkan aspek-aspek moral dan
etika kepada masyarakat. Kantola merupakan pernyataan perasaan dan pendapat
seseorang, disampaikan secara santun sehingga mudah dihayati dan dipahami.
Segala aturan yang bersumber dari nilai-nilai tradisional mampu menjadi perekat
dalam membangun ikatan sosial masyarakat.
Penghargaan terhadap warisan budaya lokal bermakna pada
pengembangan identitas masyarakat lokal. Tradisi lisan kantola berkaitan dengan
nilai-nilai dan sikap serta keyakinan-keyakinan yang tetap diyakini
keberadaannya. Edukasi dalam tradisi lisan kantola sejalan dengan proses
regenerasi dalam masyarakat Muna, yang mengarah pada peran-peran baru bagi
generasi muda untuk tetap mempertahankan warisan budayanya. Kantola
memiliki makna yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat
Muna. Inovasi membuka pelung terhadap pemahaman warisan tradisi masa lalu
yang mampu menjawab persoalan kekinian. Inovasi dapat pula memberikan
wadah bagi penyaluran nilai-nilai moral dan etika. Pelestarian budaya dapat
dirumuskan sebagai rasa memiliki jatidiri dan kekuatan budaya sendiri, kesadaran
budaya harus ditumbuhkan untuk memberikan apresiasi terhadap budaya-budaya
lokal, yang mengarah pada ketahanan budaya. Hal ini hanya dapat terwujud
melalui revitalisasi budaya-budaya lokal yang berlandaskan pada konteks lokal.
Kata kunci: budaya global, budaya lokal, tradisi lisan kantola, revitalisasi.
ix
10. ABSTRACT
This research concerns with traditional revitalization of kantola is
Munaness society in globalization era. Principally oral tradition of kantola as a
cultural heritage of Munaness society has been being threaten of extinction.
Besides as the negative impact of globalisation, the decline of local cultural values
is not separated from Munaness people who had neglected this tradition. Less
attention of government on this tradition supports the decline of this cultural
heritage. The research aims with to understand the real efforts of revitalisation the
oral tradition of kantola in Munaness society. The knowledge of this cultural
activity can contributes to reform of social emotion and local society identity.
The problems of the research are (1) the form of local tradition of kantola
revitalization is Munaness society south east Sulawesi in globalisation era, (2) the
function of local tradition of kantola revitalization is Munaness society south east
Sulawesi in globalisasi era, (3) the meaning of local tradition of kantola
revitalization is Munaness society south east Sulawesi in globalisasi era. In
discussion, the writer uses the theories of hegemony, receptive, deconstruction,
and semiotics. The research applies qualitative method with hermeneutic
approach. Collecting was done through participative observation, indept
interview, also library and document study.
Results of the research shows that the presentation of kantola local
tradition which done periodically functions as a social medium in raising people
awareness in society that inspire them to maintain and develop kantola as an oral
tradition, includes the other ones which had been eliminated by global cultural
products. The oral tradition that contains full esthetic values functions to
strengthen moral and ethic aspects in the society. Kantola is an emotional
statemen and individual expression of people that uttered politely so the meaning
of kantola lyrics can be easily recognized and anderstood. All social norms taken
from traditional values can be a solidarity instrument to create the unity is the
society.
The appreciation to local culture heritage has certain meaning to the
development on local people identity. The local tradition of kantola is close
related to values and attitude also doctrines that people treat as a true. The
education exists is local tradition of kantola is suitable with regeneration process
is Munaness society, towards to new roles of young generation to maintain their
cultural heritage. Kantola has a pragmatic meaning in daily life of Munaness
society. Inovation gives upportunity to the understanding of past time tradition
heritage that able to answer present problems. The inovation can also give the
medium of moral and ethic socialization. The maintaining of culture can be
viewed as self posessive of identity and the force of own culture, the awareness of
culture must be raised to give appreciation on local culture, towards cultural
sustainability. This phenomenon can happens through local culture revitalization
based on local context.
Key Words: global culture, local culture, oral tradition of kantola, revitalization.
x
11. RINGKASAN
Penelitian ini, membahas revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat
Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi. Pada dasarnya
tradisi lisan
kantola, sebagai bentuk warisan budaya masyarakat Muna, telah menuju
kepunahan. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh negatif globalisasi yang
berdampak pada kemunduran nilai-nilai budaya lokal. Masyarakat Muna, sebagai
pendukung utama warisan budaya lokal ini, sudah makin jauh meninggalkan
tradisi ini. Selain itu, tiadanya dukungan pemerintah terhadap keberadaan dan
keberlanjutan tradisi lisan ini membuka celah kehancuran warisan budaya
masyarakat Muna. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman
terhadap upaya-upaya revitalisasi tradisi lisan kantola dalam masyarakat Muna.
Pemahaman terhadap aktivitas kultural ini dapat memberikan arah bagi
pembentukan kembali ikatan sosial dan identitas masyarakat lokal.
Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah (1) bentuk revitalisasi
tradisi lisan kantola dalam masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era
globalisasi, (2) fungsi revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi
Tenggara pada era globalisasi, (3) makna revitalisasi tradisi lisan kantola
masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi. Dalam pembahasan ini
digunakan teori hegemoni, teori resepsi, teori dekontruksi, dan teori semiotika.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan hermeneutika.
Pengumpulan data dilakukan melalui observasi partisipasi, wawancara mendalam,
dan studi dokumen dan pustaka.
Tradisi lisan selalu berkembang di dalam suatu proses seiring dengan
perkembangan masyarakat pendukungnya. Masyarakat pemilik budaya tersebut,
termasuk pemerintah, harus selalu menjaga dan mempertahankan keseimbangan
antara keberlanjutan dan perubahan yang terjadi sehingga tradisi lisan senantiasa
terus muncul di permukaan dan tidak ditenggelamkan oleh pengaruh-pengaruh
globalisasi yang mengancam eksistensinya. Untuk itu diperlukan berbagai upaya
mendorong pelestarian kesenian tradisional. Bab V
memaparkan bentuk revitalisasi tradisi lisan kantola.
xi
dalam penelitian ini
12. Pertunjukan tradisi lisan kantola secara periodik merupakan media
pengenalan dalam menumbuhkan kesadaran dan apresiasi masyarakat sehingga
membuka peluang bagi pertumbuhan dan perkembangan tradisi lisan yang
semakin terhimpit dengan produk-produk budaya global. Pertunjukan tradisi lisan
kantola, bukan hanya menampilkan aspek keindahan, tetapi juga pemaknaan yang
arif pada semua disiplin. Di dalam pertunjukan ini terdapat nilai-nilai moral,
pendidikan, dan sosial.
Tradisi lisan kantola merupakan refleksi atau cerminan dari kondisi
masyarakat Muna. Menghidupkan nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi lisan
berarti memberikan pandangan kepada mereka dalam memandang dunia dengan
lebih manusiawi berlandaskan nilai-nilai budaya lokal. Pemberian pandangan ini
menyangkut tanggapan mereka tentang makna dan tujuan hidup selama ini
dibentuk oleh sistem kapitalisme. Untuk itu perlu ditumbuhkan kesadaran melalui
pembelajaran sosial. Salah satu proses pembelajaran sosial yang sangat penting
adalah memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang perlunya mengadakan
perubahan dari pandangan dunia kapitalisme global ke arah pandangan yang
sesuai dengan nilai-nilai lokal.
Revitalisasi berarti nilai-nilai budaya lokal harus terus diperbaharui,
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Hal ini berarti bahwa
budaya lokal harus diberi nafas baru dalam menghadapi gelombang pengaruh
kapitalisme dan budaya global. Tradisi lisan telah menjadi korban perubahan dari
budaya global yang berdampak pada keterpurukan dan kepunahan berbagai
warisan budaya lokal. Globalisasi memberi ruang terhadap penciptaan produkproduk budaya yang universal, sehingga produk-produk budaya lokal akan
terserap didalamnya. Globalisasi menjadikan universalitas sebagai tujuan
utamanya sehingga menciptakan hegemonisasi budaya. Kemorosatan budaya
lokal juga dipengaruhi oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat sekarang
hanya tampil sebagai penikmat budaya ketimbang menjadi pelaku aktif,
memandang tradisi lisan dari segi pragmatisme saja. Sikap pragmatis ini lebih
jauh lagi memandang bahwa tradisi lisan ini bukan menjadi bagian dari hidup
xii
13. mereka. Tradisi lisan berfungsi sebagai alat komunikasi semata dengan
mengesampingkan fungsi-fungsi lainnya yang melekat pada tradisi lisan tersebut.
Sebagai aktivitas kultural yang mengandung aspek estetika dan moral,
tradisi lisan berfungsi berdasarkan atas kemampuan tradisi lisan tersebut dalam
menyebarkan aspek-aspek moral dan etika yang terdapat di dalamnya. Fungsi
revitalisasi tradisi lisan kantola yang dipaparkan dalam bab VI menggambarkan
keterkaitan totalitas fungsi tradisi lisan dengan kehidupan masyarakat. Tradisi
memiliki muatan normatif atau moral, yang merupakan pembentukan karakter
pengikat masyarakat lokal. Tradisi terkait erat dengan proses interpretatif, di mana
masa lalu dan masa sekarang saling terkait serta terhubungkan.
Tradisi lisan kantola berkaitan erat dengan pemahaman nilai-nilai moral
yang diselenggaran berdasarkan aturan-aturan yang bersumber dari ajaran-ajaran
adat masyarakat setempat, terkait dengan struktur dan dinamika sosial masyarakat
Muna. Tradisi ini berfungsi untuk tetap menjaga nilai-nilai yang terkandung
dalam adat istiadat ataupun tradisi yang melekat pada masyarakat.
Kantola merupakan pernyataan perasaan dan pendapat seseorang, yang
disampaikan secara santun, sesuai dengan budaya masyarakat setempat.
Komunikasi dengan menggunakan kantola lebih berkesan mudah dihayati,
dipahami maksud serta pendapat seseorang. Kantola berfungsi sebagai alat untuk
mempertahankan kecermatan berbahasa. Hal ini akan menumbuhkan sikap
penghargaan terhadap orang lain dan sikap malu untuk berbuat kesalahan. Dalam
masyarakat tradisional, yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang
berlandaskan pada tradisi, sikap malu merupakan dasar yang paling hakiki dalam
kehidupan masyarakat.
Komunikasi verbal dalam mengungkapkan masalah-masalah kebenaran
yang berlandaskan tradisi telah tergantikan dengan komunikasi yang sifatnya
trival, dengan tidak lagi mengindahkan kaidah kesantunan berbahasa. Komunikasi
kini berubah fungsi dari wacana penyampaian pesan dan makna menjadi semacam
wacana ekstase yang merupakan sebuah bentuk komunikasi yang berlangsung
begitu saja, tanpa memerlukan fondasi makna, kode, dan nilai moral. Padahal,
xiii
14. untuk menyampaikan perasaan dan pendapat, kesantunan berbahasa sangat mutlak
diperlukan untuk menangkap informasi yang ingin disampaikan.
Tradisi lisan kantola, sebagai produk budaya lokal, fungsi sosial tradisi
lisan ditujukan untuk membangun suasana kebersamaan yang berdampak positif
pada penguatannya ikatan batin di antara sesama anggota masyarakat. Dengan
demikian, bila dikatakan bahwa memudarnya tradisi lisan di masyarakat,
merupakan salah satu indikasi telah memudarnya ikatan sosial diantara mereka,
dan sebaliknya.
Perwujudan dari sistem budaya yang melekat pada masyarakat tradisional
dapat menciptakan keseimbangan sosial (social equilibrium),
melalui upaya
pengendalian sosial (social control). Pentingnya lembaga-lembaga atau pun
sarana pengendalian sosial, bergantung pada konteks sosiokultur di mana
pengendalian sosial tersebut beroperasi. Efektifitas pengendalian sosial juga
bergantung pada perubahan-perubahan sosial dan nilai-nilai dalam masyarakat.
Muna, dengan karakteristik masyarakat dan budayanya yang berbeda dengan
wilayah lain di nusantara, memiliki sturuktur adat yang bertumpu pada adat
damowanu liwu. Konsep adat ini merupakan kebiasaan yang berlaku secara turuntemurun yang membentuk atau nilai-nilai yang dilaksanakan oleh masyarakat.
Berdasarkan aturan kultural, norma, dan nilai-nilai tradisional, kehidupan
sosial yang selaras dan harmonis dapat terwujud. Segala aturan yang bersumber
dari nilai-nilai tradisional mampu menjadi perekat dalam membangun ikatan
sosial masyarakat yang tercerai berai dalam alam perubahan yang ditimbulkan
oleh globalisasi. Tata nilai kehidupan masyarakat tradisional sifatnya mengikat,
bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut masyarakat modern yang
menuntut kompromistis dan kebebasan. Tata nilai ini bertujuan untuk
melestarikan dan memelihara tatanan moral yang kuat pada masyarakat dan
keberadaan kearifan lokal sebagai identitas masyarakat.
Budaya
global
telah
memunculkan
sikap
yang
kompromistis,
individualistik, dan konsumtif. Nilai tradisional, yang mengacu pada tradisi, mulai
tergantikan oleh sistem yang dihasilkan oleh budaya global. Melalui media massa,
perubahan masyarakat yang tanpa arah akan mengancam integritas sosial, sistem
xiv
15. normatif, dan keutuhan identitas lokal. Nilai-nilai tradisi lokal akan semakin jauh
dari masyarakat. Perubahan pola hidup masyarakat tradisional tampak nyata
dalam berbagai aspek kehidupan. Tata nilai yang bersumber dari adat istiadat
tidak lagi mampu membendung terciptanya pola-pola hidup yang dianggapnya
modern. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional akan berubah menjadi
museum hidup (the living museum).
Revitalisasi
nilai-nilai
budaya
lokal
merupakan
langkah
untuk
memberdayakan budaya lokal dalam mengantisipasi tantangan zaman ke arah
kehidupan masyarakat yang lebih baik, dalam arti tidak terikat dengan sifat
ketergantungan pada globalisasi. Makna revitalisasi dipaparkan pada Bab VII
menunjukan
pembentukan
hubungan
antara
ketahanan
identitas,
budaya.
inovasi,
penghargaan
dan
edukasi
terhadap
terhadap
lokalitas
akan
memberikan ruang bagi pembentukan identitas lokal. Warisan budaya lokal harus
dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Saat ini arus
kapitalisme global semakin kuat, maka saat ini pula dirasakan mengecilnya
peranan tradisi lisan di tengah masyarakat. Di balik proses pengerdilan itu
tentunya bahasa dan sastra daerah ikut pula menyertainya. Tak berlebihan apabila
dikemukakan bahwa akan terjadi pemudaran dan penghilangan seperangkat sistem
kebudayaan lokal yang menjadi identitas masyarakat lokal.
Tradisi lisan sarat dengan norma-norma yang mengatur tata hidup
masyarakat. Proses inovasi harus tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi yang
terdapat didalamnya. Inovasi membuka peluang terhadap pemahaman warisan
tradisi masa lalu yang mampu menjawab persoalan kekinian yang terus berubah
tanpa dapat dihindari. Inovasi ini menuntut perubahan, baik dimanfaatkan yang
lama atau dalam bentuk yang lain, tanpa menghilangkan tipikal tradisi lisan
tersebut. Proses inovasi tradisi lisan harus lebih berkembang dalam rangka
menanamkan sikap positif
masyarakat dalam berprilaku. Inovasi dapat pula
memberikan wadah bagi penyaluran nilai-nilai moral dan etika yang dapat
menuntun ke arah yang lebih bermakna. Warisan budaya lokal berupa tradisi lisan
mampu hadir di tengah-tengah masyarakat, sebagai solusi alternatif, dalam
mengatasi persoalan-persoalan pelik yang melanda tanah air. Tradisi lisan terbukti
xv
16. mampu melintasi zaman dan terbukti mampu memberikan solusi berbagai
persoalan.
Sadar budaya harus ditumbuhkan kembali untuk menanamkan pemahaman
akan pentingnya kedudukan dan fungsi warisan budaya lokal. Kesadaran budaya
yang tinggi dapat menimbulkan pengaruh positif masyarakat dalam menilai
keberadaan warisan budaya yang dimilikinya. Penilaian itu berkaitan dengan
apresiasi, tanggapan ataupun penerimaan warisan budaya sehingga tidak mudah
tergiring oleh gelombang globalisasi. Masyarakat Muna mengalami perubahan
pola hidup dan gaya hidup, yang sudah meninggalkan nilai-nilai tradisional yang
dianut masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak akan lagi memiliki ketahanan
budaya jika tidak mencari solusi alternatif dalam membendung perubahan zaman
yang bergerak sangat dinamis. Ketahanan budaya dapat tercipta jika masyarakat
berperan aktif dalam segala aktivitas kultural.
Ketahanan budaya dapat dirumuskan sebagai rasa memiliki jatidiri dan
kekuatan budaya sendiri, sehingga dengan begitu tidak perlu merasa rendah diri
jika berhadapan dengan kebudayaan lain. Untuk mencapai ketahanan budaya,
diperlukan pengetahuan untuk memahami serta menghayatinya, dan pengetahuan
itu perlu disampaikan dengan sengaja melalui upaya terarah dan terencana.
Dengan
membangun
ketahanan
budaya,
masyarakat
akan
mampu
mempertahankan budayanya sendiri dan merespon berbagai gejolak globalisasi.
Tanpa upaya yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan, masyarakat akan
kehilangan produk budaya lokal yang tak ternilai harganya. Kesadaran budaya
harus ditumbuhkan untuk memberikan apresiasi terhadap budaya-budaya lokal,
yang selanjutnya mengarah pada ketahanan budaya. Hal ini hanya dapat terwujud
melalui revitalisasi budaya-budaya lokal yang berlandaskan pada konteks lokal.
xvi
17. GLOSARIUM
adhati
: Mahar perkawinan atau mas kawin pada
masyarakat Muna, yang harus dibayar oleh pihak
laki-laki.
damowanu liwu
: Membangun daerah.
daseise damowanu liwu
: Bersatu membangun daerah.
doangka tewise
: Biasa disebut kawin minta merupakan suatu
bentuk perkawinan pada masyarakat Muna yang
proses berlangsungnya ada kesepakatan antara
kedua belah pihak antara keluarga laki-laki dan
keluarga perempuan. Perkawinan seperti ini
biasanya ada pelamaran dari keluarga laki-laki
kepada keluarga perempuan.
equilibrium
facebook
: Keseimbangan
:
Program
dalam
internet
yang
bisa
menghubungkan manusia di seluruh belahan dunia
untuk mencari teman atau sahabat.
gambusu
: Sejenis kesenian rakyat yang melantunkan
pantun, yang pesertanya melantunkannya dalam
bentuk nyanyian dengan menggunakan iringan
musik tradisional (gambus, sejenis kecapi). Jenis
kesenian ini biasanya dilakukan oleh laki-laki
ataupun perempuan secara bersamaan, baik tua
maupun muda yang jumlah pesertanya 1 atau 2
orang.
handphone
: Alat komunikasi jarak jauh yang menghubungkan
orang yang satu dengan yang lainnya.
kakawasano ompu
kaomu
: Tuhan yang Maha Esa
: Merupakan strata sosial pada masyarakat Muna,
yang paling tertinggi atau golongan bangsawan
(Ode), biasanya pada zaman dahulu orang yang
bergelar kaomu mereka yang berhak menjadi raja,
xvii
18. kapitalau (semacam adipati di Jawa) atau jabatan
lain yang menyangkut eksekutif.
lulo
: Merupakan salah satu tarian yang ada di Sulawesi
Tenggara, Tarian ini milik etnik Tolaki hanya saja
sekarang sudah sering dilakukan oleh semua etnik
di Sulawesi Tenggara pada saat acara hajatan
seperti pesta pernikahan.
maradika
: Merupakan strata sosial pada masyarakat Muna,
yang paling terendah
marginalisasi
: Penyingkiran. Marginalisasi dan ketidakberdayaan
komunitas lokal dapat merupakan akibat dari
masalah yang bersifat struktural.
modero
: Sejenis kesenian rakyat yang saling berbalas
pantun, namun pesertanya melantunkannya dalam
bentuk nyanyian. Jenis kesenian ini dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan, baik tua maupun muda,
yang dilakukan dengan cara bergandengan tangan.
Mereka membentuk dua barisan, barisan laki-laki
dan barisan perempuan, yang membentuk sebuah
lingkaran.
pofeleigho
: Biasa disebut kawin lari merupakan suatu bentuk
perkawinan pada masyarakat Muna yang
dipandang kurang baik dan tidak diinginkan oleh
keluarga perempuan.
sara
: Pejabat Muna di Jaman Kerajaan
simulasi
: Proses penciptaan bentuk nyata melalui modelmodel yang tidak mempunyai asal-usul atau
referensi realitasnya, sehingga memampukan
manusia membuat yang supranatural, ilusi, fantasi,
khayali, menjadi tampak nyata
skizofrenia
: Berasal dari dua kata, yaitu ‘skizo’ yang artinya
retak atau pecah (split) dan ‘frenia’ yang artinya
jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita
skizofrenia adalah seseorang yang mengalami
keretakan jiwa atau keretakan kepribadian.
xviii
19. video game
walaka
: diuraikan per kata berdasarkan makna kamus
bahasa inggris, video berasal dari kata vide yang
berarti lihat. Game berarti permainan; binatang
liar;
perburuan;
mengadakan
permainan;
memperolok-olokkan; bermain judi; berani;
lumpuh. Video game adalah permainan anak-anak
berupa benda elektronik yang disambungkan ke
televisi untuk bisa dimainkan. Biasanya
mengunakan tambahan kaset permainan yang
diinginkan.
: Merupakan strata sosial pada masyarakat Muna,
yang golongan ke dua (biasanya dinamakan
golongan Sara). Pada zaman dahulu, golongan ini
adalah yang berhak menjadi perdana menteri,
mengatur adat, menetapkan hukum bersama Raja,
memilih dan mengangkat raja bahkan mencopot
raja dari jabatannya jika dianggap melanggar
hukum Negara dan adat serta agama.
xix
20. DAFTAR ISI
JUDUL.............................................................................................................i
PRASYARATAN GELAR.............................................................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN...........................................................................iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI...............................................................iv
UCAPAN TERIMAKASIH............................................................................v
ABSTRAK.....................................................................................................viii
ABSTRACT....................................................................................................ix
RINGKASAN..................................................................................................x
GLOSARIUM................................................................................................xvi
DAFTAR ISI..................................................................................................xix
DAFTAR GAMBAR....................................................................................xxiii
DAFTAR TABEL.........................................................................................xxiv
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................xxv
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................11
1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................11
1.3.1 Tujuan Umum .......................................................................................11
1.3.2 Tujuan Khusus ......................................................................................11
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................12
1.4.1 Manfaat Secara Teoretis .......................................................................12
xx
21. 1.4.2 Manfaat Secara Praktis..........................................................................12
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI..........13
2.1 Kajian Pustaka .........................................................................................13
2.2 Konsep ....................................................................................................18
2.2.1 Revitalisasi Tradisi Lisan Kantola ........................................................19
2.2.2 Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara...................................................26
2.2.3 Era Globalisasi.......................................................................................27
2.3 Landasan Teori.........................................................................................29
2.3.1 Teori Hegemoni ....................................................................................30
2.3.2 Teori Dekonstruksi................................................................................33
2.3.3 Teori Semiotika.....................................................................................35
2.3.4. Teori Resepsi........................................................................................38
2.4 Model Penelitian.......................................................................................43
BAB III METODE PENELITIAN.................................................................46
3.1 Rancangan Penelitian ...............................................................................46
3.2 Lokasi Penelitian .....................................................................................47
3.3 Jenis dan Sumber Data..............................................................................47
3.4 Penentuan Informan..................................................................................48
3.5 Instrumen Penelitian.................................................................................49
3.6 Teknik Pengumpulan Data.......................................................................49
3.6.1 Observasi Partisipasi .............................................................................49
3.6.2 Wawancara Mendalam .........................................................................50
3.6.3 Studi Dokumen dan Pustaka..................................................................51
xxi
22. 3.7 Teknik Analisis Data ...............................................................................51
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data .....................................................52
BAB IV GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DAN
KEBUDAYAAN DI KABUPATEN MUNA ...............................53
4.1 Sejarah Kabupaten Muna..........................................................................53
4.2 Letak Geografis........................................................................................61
4.3 Sistem Mata Pencaharian..........................................................................69
4.3.1 Pertanian dan Perkebunan......................................................................69
4.3.2 Pegawai Negeri Sipil.............................................................................73
4.3.3 Peternakan..............................................................................................74
4.3.4 Perikanan...............................................................................................74
4.4 Sistem Kekerabatan..................................................................................76
4.5 Sistem Religi dan Kepercayaan................................................................82
4.6 Bahasa dan Kesenian Tradisional.............................................................85
4.7 Keberadaan Tradisi Lisan.........................................................................87
BAB V BENTUK REVITALISASI TRADISI LISAN KANTOLA.............89
5.1 Pertunjukan Tradisi Lisan Kantola Secara Periodik.................................91
5.2 Aktualisasi Tradisi Lisan Kantola dalam Masyarakat Muna..................100
5.3 Pelestarian Tradisi Lisan Kantola dalam Masyarakat Muna...................113
BAB VI FUNGSI REVITALISASI TRADISI LISAN KANTOLA
PADA MASYARAKAT MUNA SULAWESI TENGGARA......122
6.1 Fungsi Tradisi..........................................................................................122
6.2 Fungsi Komunikasi..................................................................................129
xxii
23. 6.3 Fungsi Sosial............................................................................................132
6.3.1 Fungsi Pengendalian Sosial..................................................................134
6.3.2 Fungsi Kritik Sosial..............................................................................142
6.4 Fungsi Pelestarian....................................................................................150
BAB VII MAKNA REVITALISASI TRADISI LISAN KANTOLA..........160
7.1 Makna Identitas.......................................................................................160
7.2 Makna Edukasi........................................................................................172
7.3 Makna Inovasi.........................................................................................175
7.4 Makna Pelestarian Budaya......................................................................181
Refleksi..........................................................................................................186
BAB VIII PENUTUP....................................................................................189
8.1 Simpulan..................................................................................................189
8.2 Saran........................................................................................................191
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................193
xxiii
24. DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Model Penelitian.........................................................................43
Gambar 4.1 Masjid Pertama Di Kabupaten Muna..........................................60
Gambar 4.2 Gua Liangkabori.........................................................................64
Gambar 5.1 Pertunjukan Tradisi Lisan Kantola Kelompok Laki_Laki.........95
Gambar 5.2 Pertunjukan Tradisi Lisan Kantola Kelompok Perempuan........95
Gambar 5.3 Masyarakat yang Menyaksikan Pertunjukan Tradisi lisan
Kantola Didominasi Generasi Tua.............................................104
xxiv
25. DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Jumlah Kelurahan/Desa pada Tiap Kecamatan..............................63
Tabel 4.2 Hari Hujan dan Curah Hujan Di Kabupaten Muna........................66
Tabel 4.3 Penduduk, Rumah Tangga, Penduduk per Rumah Tangga dan
kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan......................................68
xxv
26. DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
: Pedoman Wawancara
Lampiran 2
: Daftar Informan
Lampiran 3
: Peta Lokasi Penelitian
Lampiran 4
: Surat Pernyataan Pembimbing dan Penguji
Lampiran 5
: Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
Lampiran 6
: Pernyataan Keaslian
xxvi
27. BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dewasa ini pola kehidupan sosial budaya sehari-hari masyarakat Muna
telah menunjukkan berbagai pengaruh yang sangat kuat, yang disebut sebagai
pola kehidupan global. Warga masyarakat mengalami berbagai perubahan cara
hidup, gaya hidup, bahkan pandangan hidup mereka. Maka, perubahan tersebut
telah mengancam keberadaan tradisi lokal, antara lain warisan budaya, kebiasaan,
nilai, identitas, dan simbol-simbol kehidupan masyarakatnya (Giddens 2003:
9-15).
Globalisasi telah menimbulkan pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal
dan global yang semakin tinggi intesitasnya. Sistem nilai budaya lokal yang
selama ini digunakan sebagai acuan atau panutan oleh masyarakat pendukungnya
tidak jarang mengalami perubahan karena nilai-nilai budaya global dengan
kemajuan teknologi informasi yang semakin mempercepat proses perubahan
tersebut (Nashir 1999:176).
Menurut Giddens (2003:67); Arivia, 2004:25), globalisasi membawa
prinsip budaya modernitas sehingga memunculkan segudang permasalahan sosial
dan mengancam peradaban manusia. Melalui ideologi kultural konsumerisme,
globalisasi telah banyak menimbulkan konflik, kesenjangan dan bentuk-bentuk
stratifikasi baru. Globalisasi telah membersihkan hampir semua tatanan sosial
tradisional dan mengiring umat manusia pada pola homogenitas kultural yang
1
28. 2
menentang nilai-nilai dan identitas parochial. Hal ini mengancam keberadaan
budaya lokal yang mengantarkannnya menuju kepunahan.
Pengaruh globalisasi tidak hanya terkait dengan teknologi dan ekonomi,
tetapi juga mempengaruhi berbagai segi kehidupan. Pengaruh globalisasi ini,
disatu sisi membawa kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan, namun disisi
lain memberikan pengaruh negatif yang sangat signifikan pada aspek-aspek
kebudayaan. Bukan hanya berdampak pada kemunduran nilai-nilai budaya lokal
tetapi juga akan mengancam terjadinya kepunahan berbagai aspek kebudayaan,
seperti tradisi lisan yang berkembang secara turun-temurun sebagai bentuk
warisan budaya dari generasi sebelumnya.
Tradisi lisan sebagai bagian dari kearifan lokal yang dapat diperhitungkan
sebagai realitas nilai budaya alternatif dalam kehidupan global berada dalam dua
sistem budaya yang harus dipelihara dan dikembangkan, yakni sistem budaya
nasional dan sistem budaya lokal. Nilai budaya nasional berlaku secara umum
untuk seluruh bangsa, sekaligus berada diluar ikatan budaya lokal manapun. Nilainilai kearifan lokal tertentu akan bercitra Indonesia karena dipadu dengan nilainilai lain yang sesungguhnya diwariskan dari nilai-nilai budaya lokal.
Warisan budaya mempunyai cakupan pengertian yang luas, meliputi
budaya yang bersifat kebendaan yang dapat diraba (tangible) dan yang tidak dapat
diraba (intangible). Warisan budaya yang tak teraba (intangible) tercakup
didalamnya hal-hal yang tertangkap panca indera lain diluar perabaan, seperti
musik, pembacaan sastra maupun bahasa lisan (Sedyawati, 2008:207). Sastra
lisan, melalui kaidah-kaidah irama bunyinya, dapat berperan serta dalam
29. 3
mendokumentasikan unsur-unsur kebudayaan tertentu sehingga dapat diwariskan
pada generasi berikutnya.
Tradisi lisan merupakan cikal bakal munculnya seni dan sastra dalam
komunitas kehidupan Masyarakat Muna. Cerita-cerita yang acapkali dituturkan
oleh orang tua kepada anak cucunya pada masa lalu merupakan bentuk tradisi
lisan yang dikemudian hari berkembang menjadi sastra lisan. Namun, dalam
proses selanjutnya perkembangan tradisi lisan cukup memprihatinkan. Hanya
sebagian kecil saja yang dapat didokumentasikan dalam lembaran-lembaran
kertas. Karya sastra yang berbau tradisi lisan tidak lagi sesuai dengan minat
generasi muda yang cenderung menaruh minat pada hal-hal yang mengandung
unsur budaya pop media elektronik.
Perkembangan
tradisi lisan hanya
menjadi bagian
terkecil dari
perkembangan budaya pada satu komunitas. Hal itu tentu tidak lepas dari minat
para pelaku budaya itu sendiri yang sudah semakin jauh meninggalkan tradisi
tersebut. Hal ini diperparah lagi dengan tidak didukungnya tradisi lisan menjadi
bagian integral dari proses perkembangan budaya dalam satu komunitas yang
cenderung bergerak dinamis saat ini. Pemerintah sendiri seolah-olah mengabaikan
pengenalan ataupun pembelajaran sastra lisan.
Contoh yang paling kongkret dari ketiadaan dukungan tersebut adalah
pengenalan
tentang
sastra
lisan
di
sekolah-sekolah.
Kurikulum
yang
dikembangkan hanyalah untuk mempelajari dan memberikan pemahaman umum
terhadap karya sastra tulis. Pembelajaran dan pemahaman terhadap sastra lisan
tidak memperoleh porsi yang seimbang. Inilah oposisi biner yang pertama
30. 4
diterapkan terhadap sastra yang sekaligus mensubordinasi sastra lisan sebagai
sastra kelas dua (Ratna, 2006:328).
Pemerintah selama ini tampaknya hanya berusaha untuk memajukan
kebudayaan nasional. Padahal pemerintah diharapkan juga menggali dan
memperkenalkan kekayaan khasanah kebudayaan lokal. Kenyataan di masyarakat
terjadi frakmentasi antara satu produk budaya dengan produk budaya lainnya.
Produk budaya yang dianggap sebagai antibudaya itulah yang dianggap sebagai
kebudayaan nasional, walaupun kebudayaan nasional bersumber dari kolektivitas
budaya-budaya lokal. Akibatnya timbul diskriminasi terhadap produk budaya
lokal yang tersebar di seluruh wilayah pelosok nusantara. Terjadinya pemutusan
tradisi selama rezim Orde Baru yang sangat hegemonik sentralistik dan
menekankan keseragaman sehingga mengakibatkan keragaman budaya lokal
sering terabaikan. Tidak mengherankan, banyak budaya lokal yang kemudian
sedikit demi sedikit hilang, bahkan ada yang punah.
Tradisi lisan memiliki peranan penting dan strategis dalam kehidupan
masyarakat Indonesia karena tradisi lisan sebagai salah satu bentuk budaya lokal
memiliki hubungan batin dengan para pewarisnya dan diyakini dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat pendukungnya.
Tradisi lisan memiliki peranan dan fungsi untuk menguatkan ketahanan budaya
bangsa. Hanya saja, seiring perkembangan zaman, kian banyak tradisi lisan yang
mulai raib dan untuk melestarikannya harus berkejaran dengan proses
perkembangan sastra tulisan.
31. 5
Tradisi Lisan kantola merupakan salah satu sastra lisan yang berasal dari
daerah Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagai produk kultural yang
dihasilkan bertatanan tradisional, yang pada prinsipnya kantola memiliki
karakteristik umum yang sama dengan sastra lisan daerah lain di tanah air.
Sebagai sastra lisan, keberadaan kantola pada masyarakat Muna merupakan
kristalisasi kultural dalam kehidupan sosial yang tumbuh dan berkembang seiring
dengan kemapanan tradisi masyarakatnya. Pada saat tradisi berproses secara alami
mengalami stagnasi akibat perubahan sosial, maka keberadaan kantola sebagai
tradisi lisan turut melemah. Hal semacam ini berakibat fatal terhadap
perkembangan tradisi lisan kantola yang semakin teralienasi dari masyarakat
Muna, akibat dampak dari modrnisasi.
Tradisi lisan kantola merupakan tradisi lisan yang diapresiasi oleh
masyarakat Muna sebagai media ekpresi yang lirik-liriknya bermuatan perasaan,
pengalaman pribadi, dan dimensi kemasyarakatan. Lirik kantola terdiri atas
beberapa baris yang jumlahnya tidak menentu; ada lirik yang panjang (sepuluh
sampai lima belas baris) dan ada lirik yang pendek (empat sampai lima baris).
Penyampaian lirik kantola tidak secara lugas, tetapi dikiaskan melalui simbolsimbol yang ada. Oleh Karena itu, untuk mengetahui kandungan makna yang
terdapat dalam lirik kantola, seseorang harus memiliki kemampuan interpretatif
terhadap simbol-simbol tersebut (Aderlaepe, 2006:51).
Pada mulanya, tradisi lisan kantola ini sangat diminati oleh masyarakat
Muna, terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan. Meskipun tidak
didokumentasikan dalam bentuk tulisan, tradisi lisan ini tetap dilestarikan secara
32. 6
turun temurun, dari mulut kemulut. Akan tetapi, dengan semakin gencarnya arus
globalisasi di bidang teknologi dan informasi yang merasuki wilayah budaya
lokal, maka keberadaan tradisi kantola ini, sudah mulai terpinggirkan bahkan
sudah mulai menunjukan gejala-gejala terlupakan. Hal ini tercermin pada
pertunjukan tradisi kantola yang semakin jarang dijumpai pada masyarakat Muna,
karena semakin berkurangnya pelaku tradisi ini, dan juga tidak adanya regenerasi
dari gerasi tua kegenerasi muda untuk mempelajari dan memahami makna yang
terkandung dalam tradisi lisan kantola. Generasi muda sudah tidak menginginkan
lagi tradisi lisan kantola yang dianggap sebagai tradisi kuno. Maka bukan hal
mustahil tradisi lisan kantola
berada di ambang kepunahan apabila tidak
dilakukan revitalisasi nilai-nilai budaya lokal.
Hegemoni di bidang teknologi dan informasi dan bergulirnya suatu proses
transformasi berbagai dimensi kehidupan sosial mengarah pada hegemoni budaya
kosmopolitan dengan mendesakkan uniformitas secara universal. Proses
universalisasi ini mengikis secara perlahan, namun pasti, identitas individu dan
budaya-budaya lokal melalui liberalisasi ekonomi ditingkat nasional dan lokal
sehingga berdampak pada kecenderungan menguatnya sikap konsumerisme dan
individualisme, serta mereduksi semangat kolektivitas masyarakat lokal. Dampak
yang lebih jauh akan terasa dengan semakin dilupakannya nilai-nilai budaya lokal,
maka perlu dilakukan revitalisasi kearifan lokal. Pudarnya sebuah tradisi atau
kebudayaan lisan ini disebabkan masyarakat menganggap tradisi lisan adalah
sesuatu yang kuno atau bagian dari masa lalu. Stigma semacam itu menyebabkan
33. 7
generasi sekarang enggan memelihara dan mempertahankan tradisi lisan tersebut.
(Gidden, 2005: 5; Steger, 2006: 54).
Harkat suatu masyarakat sangat ditentukan oleh budayanya sendiri.
Budaya akan tumbuh dan berkembang apabila didukung oleh masyarakatnya
yang mejadi ahli waris sekaligus pelaku menuju tercipta dan terwujudnya situasi
yang disebut sadar budaya. Sadar budaya adalah kesadaran atau pemahaman
dikalangan masyarakat bahwa sebagai individu yang berada ditengah tatanan
pergaulan, posisinya tidak pernah bersifat singular, melainkan plural. Disamping
itu, suatu masyarakat tidak akan mampu menjaga eksistensi dan menghayati
budayanya sendiri apabila tidak bergaul dengan masyarakat lain. Persoalan hakiki
inipun menjadi sesuatu yang penting dan tak terhindarkan bagi budaya-budaya
lokal. Oleh karena itu, masalah pemahaman tradisi lisan tidak cukup hanya
diwacanakan, tetapi harus diaktualisasikan dengan cara apapun yang dipandang
baik (Sayuti, 2008: 25-26). Dengan demikian, merevitalisasi kembali nilai-nilai
yang terkandung dalam tradisi lisan sangatlah mendesak untuk dilakukan, sebagai
bagian dari sadar budaya agar tetap dapat menjaga dan mempertahankan
keberadaan tradisi lisan dalam budaya lokal.
Kebudayaan nasional ataupun budaya-budaya lokal selalu berada didalam
suatu proses, di dalam kancah hubungan antarabudaya yang selalu terjadi tanpa
dapat dihindari. Masyarakat pemilik budaya tersebut maupun pemerintah harus
selalu menjaga dan mempertahankan keseimbangan antara keberlanjutan dan
perubahan yang terjadi sehingga jatidiri dan identitas bangsa atau suku bangsa
senantiasa terus muncul di permukaan dan tidak ditenggelamkan oleh pengaruh-
34. 8
pengaruh globalisasi yang terus merambah dan berkecambah. Menghidupkan
kembali budaya lokal sama artinya dengan menghidupkan kembali identitas lokal,
oleh karena identitas merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari
kebudayaan (Piliang, 2004: 279). Identitas itu sendiri menjadi sebuah persoalan
saat warisan masa lalu diambil alih oleh pengaruh-pengaruh globalisasi yang
menciptakan hegemoni budaya. Krisis identitas muncul ketika warisan budaya
yang telah melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lokal tidak dapat
dipertahankan lagi karena ia telah direnggut oleh nilai-nilai lain yang berasal dari
luar.
Revitalisasi merupakan suatu proses menjadikan kebudayaan sebagai
suatu yang menjadi bagian terpenting di dalam kehidupan manusia sebelum
kehilangan maknanya. Proses revitalisasi tentunya dilakukan secara terorganisir
oleh individu pelaku budaya, kelompok komunitas bersama-sama pemerintah
yang dimemiliki kesadaran dan merasa begitu pentingnya warisan budaya.
Kesadaran akan pentingnya kebudayaan beserta kearifan lokal yang terkandung
didalamnya timbul sebagai akibat penemuan akan jatidiri, berlatar belakang dari
warisan leluhur yang khas dan tidak dapat ditemukan pada daerah lain.
Revitalisasi dilakukan untuk mempertahankan eksistensi budaya lokal
sebelum rantai pewarisnya terputus dan sebelum terjadinya profanisasi budaya
lokal yang dianggap bermakna oleh suatu komunitas budaya tertentu. Revitalisasi
budaya lokal, terutama kantola harus terus digali, diperkuat, dan dikembangkan
dalam rangka menangkal arus globalisasi yang begitu gencar mempengaruhi
eksistensi, legitimasi, dan keberlanjutan budaya lokal tersebut. Sosialisasi konsep-
35. 9
konsep, kaidah-kaidah, pola-pola, dan nilai-nilai harus dilakukan terus menerus,
dari generasi ke generasi, agar keberadaan tradisi lisan dalam budaya lokal dapat
terus dipertahankan keberlanjutannya.
Menghidupkan kembali budaya lokal tidak dengan sendirinya disebut
revitalisasi. Revitalisasi sejatinya berfungsi untuk menjadikan budaya lokal
sebagai sesuatu yang sangat berguna, bermanfaat, dan berfungsi dalam kehidupan
masyarakat (Sibarani, 2004: 31). Menurut Sibarani, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam melakukan revitalisasi, antara lain: 1) mendorong setiap
kebudayan etnik hidup berkembang tanpa diskriminasi dengan menghindari
dominasi
kebudayaan
mayoritas,
hegemoni
kebudayaan
mayoritas,
dan
penyeragaman kebudayaan; 2) membangun perkampungan budaya (cultural
village) sebagai wadah transfer budaya, sosialisasi kebudayaan, dan sebagai
tujuan wisata budaya; 3) segala bentuk pembangunan harus dilandasi oleh
kebudayaan masyarakat setempat; 4) melibatkan masyarakat setempat sebagai
pemain, penentu prioritas, perencana, pelaksana, dan penerima untung dari
kegiatan kebudayaan termasuk kegiatan pembangunan; 5) melibatkan “orangorang budaya” dalam penelitian,
perencanaan,
dan pelaksanaan
setiap
pembangunan.
Untuk melakukan revitalisasi tradisi lisan dibutuhkan kepedulian berbagai
kalangan, baik dari masyarakat maupun pemerintah. Namun, yang menjadi
persoalan utama dan kunci utama revitalisasi tradisi lisan kantola adalah
menyangkut sikap masyarakat pendukungnya. Apakah mereka mau melestarikan
budayanya atau tidak menganggap perlu lagi karena menjadi bagian dari masa
36. 10
lalu. Dan tentu saja revitalisasi akan bisa dilaksanakan jika tradisi lisan itu masih
ada dan belum mati atau masih memiliki ahli waris.
Penelitian ini berusaha mengkaji keberadaan tradisi lisan kantola dalam
kaitannya dengan revitalisasi tradisi lisan. Kantola sangat berkaitan erat dengan
nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi dasar pijakan kehidupan bermasyarakat
dalam ruang lingkup masyarakat Muna. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif berparadigma budaya dengan permasalahan menyangkut bentuk, fungsi
dan makna revitalisasi tradisi lisan kantola, di mana kantola yang dalam syairsyairnya, bermuatan multidimensional yang sarat makna.
37. 11
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penelitian akan dikemukakan tiga masalah yang berkaitan dengan
revitalisasi tradisi lisan kantola dan hubungannya dengan pelestarian dan
pengembangan tradisi lisan pada masyarakat Muna, yaitu:
1. Bagaimana bentuk revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi
Tenggara pada era globalisasi?
2. Apa fungsi revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi
Tenggara pada era globalisasi?
3. Bagaimana makna revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi
Tenggara pada era globalisasi?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memahami
serta mendeskripsikan tradisi lisan kantola dan menggali informasi tentang
revitalisasi terhadap tradisi lisan tersebut pada masyarakat Muna Sulawesi
Tenggara.
1.3.1 Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bentuk revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna
Sulawesi Tenggara pada era globalisasi;
2.
Untuk mengetahui fungsi revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna
Sulawesi Tenggara pada era globalisasi;
38. 12
3.
Untuk memahami dan menginterpretasikan makna revitalisasi tradisi lisan
kantola masyarakat Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat: 1) menambah
khazanah pengetahuan tentang tradisi lisan kantola dalam masyarakat Muna dan
2) hasil penelitian ini dapat menambah referensi tentang tradisi lisan kantola
dalam masyarakat Muna ditinjau dari segi bentuk, fungsi, dan maknanya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, temuan penelitian ini dapat: 1) memberikan masukan dan
pertimbangan bagi penentu kebijakan terutama yang berkaitan dengan
kebudayaan daerah, 2) membuka wawasan masyarakat terhadap perkembangan
tradisi lisan kantola pada masyarakat Muna Sulawesi Tenggara sehingga dapat
memberikan sumbangsih dalam memperkaya khazanah kebudayaan nasional, dan
3) temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam
pengembangan tradisi lisan sehingga nantinya tidak lagi menjadi tradisi minoritas
yang tersubordinasi.
39. BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka yang dimaksud adalah membicarakan mengenai uraian
tentang konsep ataupun teori yang digunakan untuk menjelaskan masalah-masalah
dalam penelitian. Dengan demikian, kajian pustaka secara tidak langsung dapat
memberikan inspirasi, membuka wawasan kerangka berpikir. Kajian pustaka
sekaligus dapat menjadi acuan dalam pemahaman yang sifatnya teoritis dan
konseptual yang berhubungan dengan penelitian.
Kajian pustaka juga memungkinkan peneliti untuk menentukan jangkauan
atau ruang lingkup penelitiaannya, mencermati teori dan menempatkan masalah
penelitiannya, memiliki gambaran mengenai pustaka yang relevan, menghindari
pengulangan terhadap penelitian terdahulu, menempatkan hasil penelitiannya pada
ranah yang berbeda dengan penelitian yang lainnya (Aziz, 2003: 193- dalam Ola,
2003: 53).
Maka perlu ditegaskan lebih dahulu bahwa kepustakaan utama yamg
menjadi pembanding sekaligus menjadi sumber inspirasi untuk melakukan kajian
terhadap revitalisasi tradisi lisan kantola pada masyarakat Muna Sulawesi
Tenggara adalah hasil kajian Aderlaepe dkk (2006) tentang Analisis Semiotik Atas
Lirik Kantola: Sastra Lisan Daerah Muna, yang merupakan Proyek Pusat bahasa
Sulawesi Tenggara, dan diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 2006 oleh
Kantor Bahasa Propinsi Sulawesi Tenggara Departemen Pendidikan Nasional.
13
40. 14
Penelitian Aderlaepe tersebut merupakan gambaran pola prilaku budaya secara
kolektif oleh suku Muna di Sulawesi Tenggara dengan mengambil objek kantola,
yaitu sastra lisan yang diapresiasi oleh masyarakat Muna dengan cara
didendangkan.
Dalam penelitian tersebut menguraikan tentang lirik syair kantola
berbentuk soneta, tidak terikat oleh bentuk sajak maupun baris. Lirik syair-syair
kantola yang bermuatan multidimensional, sarat makna. Fokus kajian Aderlape
ini terletak pada kandungan maknanya, sedangkan peneliti difokuskan pada
bentuk tradisi lisan kantola, fungsi ttadisi lisan kantola makna tradisi lisan
kantola,
Kajian Aderlaepe ini memiliki kesamaan objek dengan rencana
penelitian ini yakni tradisi lisan kantola, tetapi apabila dilihat dari: (a) lokasi
penelitian memiliki perbedaan yaitu penelitian Aderlaepe terdiri dari
enam
kecamatan (Kecamatan Tongkuno, Tiworo kepulauan, Kabawo, Napabalano, dan
kecamatan Kusambi) sedangkan peneliti mengambil objek dua kecamatan, yaitu
kecamatan lawa dan Kontunaga dikabupaten Muna. (b)kajian Aderlaepe hanya
menggunakan Teori Semiotika, sedangkan peneliti menggunakan empat teori
diantaranya, teori Hegemoni, teori resepsi, teori semiotika dan teori dekontruksi.
Selain pustaka utama tersebut, penulis juga menyajikan beberapa kajian
ilmiah lainnya untuk menunjang pustaka utama dalam mempertajam dan
memperkaya khasanah penelitian ini. Bardia (2006) melakukan penelitian yang
berjudul “Wacana Kantola Di Kabupaten Muna Dalam Perspektif Linguistik
Kebudayaan”. Penelitian tersebut berfokus pada deskripsi mengenai struktur
41. 15
linguistik, struktur tematik, struktur skematik, makna lingual-kultur, dan nilai
budaya. sedangkan peneliti mengkaji dari perspektif kajian budaya.
Metode yang digunakan dalam penelitian Bardia adalah metode deskriptif
kualitatif. Untuk mengumpulkan data digunakan metode observasi dan
wawancara. Metode distribusional digunakan untuk menganalisis data. metode
formal dan informal digunakan dalam penyajian hasil analisis. Penetapan metode
ini berdasarkan paradigma naturalistik dan interpretatif dengan prinsip
kealamiahan data dan interpretasi data. Dari hasil analisis mengenai struktur
linguistik ditemukan bahwa dalam kantola ada kecenderungan penggunaan bunyibunyi nyaring. Hasil penelitian Aderlaepe (2006) dan Bardia (2006) di atas,
semakin memperjelas keaslian atau pentingnya penelitian ini bahwa masyarakat
Muna memiliki tradisi lisan kantola yang belum dikembangkan secara optimal
dan masih jarang dikaji secara mendalam melalui kajian-kajian ilmiah. Oleh
karena itu, hasil penelitian tersebut oleh penelitian ini dijadikan pula sebagai
petunjuk awal atau rujukan untuk mengkaji lebih dalam tradisi-tradisi lisan
masyarakat Muna yang diwarisi secara turun-temurun baik dari ajaran nenek
moyang maupun dari hasil pengalaman hidup mereka berinteraksi dengan alam.
Penelitian Hadirman (2009) yang berjudul “Fungsi Sosial Budaya Bahasa
Muna dalam Konteks Katoba”. Merupakan penelitian sebagai tesis S2 di Program
Magister
Linguistik
Universitas
Udayana
Denpasar.
Penelitian
tersebut
menganalisis tentang tuturan ritual katoba sebagai penuntun etika moral dan
fungsi sosial bagi budaya masyarakat Muna, ungkapan-ungkapan dalam ritual
katoba, berupa ungkapan keagamaan, nasihat, dan permohonan ampun kepada
42. 16
yang kuasa. Sedangkan ungkapan-ungkapan pada tradisi lisan kantola berupa
cinta kasih, nasihat, kekecewaan, kebencian, pelipur lara, kritikan moral, dan
kritikan sosial. Maka letak persamaan penelitian Hadirman dengan peneliti adalah
pada ungkapan nasehat, dimana ungkapan tersebut ada juga tradisi lisan kantola.
Hanya saja pada ritual katoba diungkapan secara langsung, sedangkan pada tradisi
kantola mengunakan bahasa metaforis. Penelitian ini juga dapat membantu
peneliti dalam mengkaji fenomena pada kebudayaan masyarakat Muna.
Arnailis (2004) yang berjudul “Kesenian Ilau Di Nagari Salayo Sumatera
Barat Suatu Kajian Bentuk, Fungsi, Dan Makna” merupakan penelitian sebagai
tesis S2 di Program Magister Kajian Budaya Universitas Udayana Denpasar.
Penelitian tersebut merupakan pertunjukan kesenian ilau adalah untuk
mengupacarai saudara yang mati dirantau yang jasadnya tidak dibawa pulang
kekampung halaman. Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pada kajian
ini ditelaah bentuk estetika pertunjukan kesenian ilau, fungsi pertunjukan kesenian
ilau, dan makna estetika pertunjukan kesenian ilau, dan makna estetika
pertunjukan kesenian ilau dalam masyarakat salayo dewasa ini. Data dikumpulkan
dengan menggunakan metode wawancara, observasi, dan kepustakaan, dan
dokumentasi. Penelitian ini telah memberikan gambaran mengenai aspek-aspek
kebudayaan, dan juga dapat menambah wawasan dalam mengkaji bentuk, fungsi,
dan maknanya.
Marafad, (2008) yang berjudul Seni Kantola dalam Konteks Bahasa
Muna. Merupakan makalah yang disampaikan pada seminar internasional tanggal
2 Desember 2008 di Wanci, Kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi Tenggara
43. 17
Dalam makalahnya menguraikan kajiannya tentang Bentuk Kantola, Isi Kantola,
Pelaksanaan Kantola, Tujuan Pelaksanaan Kantola, Peserta Kantola, Waktu
Pelaksanaan Kantola, Tempat Pelaksanaan Kantola, Durasi Waktu Kantola,
Sasaran Kantola diadakan, sedangkan peneliti memfokuskan kajiannya pada
bentuk revitalisasi tradisi lisan kantola, fungsi revitalisasi tradisi lisan kantola,
dan makna revitalisasi tradisi lisan kantola. Makalah tersebut memiliki kesamaan
objek dengan rencana penelitian ini yakni tradisi lisan kantola.
Selain penelitian tersebut di atas, pada penelitian ini juga mengambil
rujukan buku tentang Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya oleh Alo
Liliweri (2002). Pada buku itu dijelaskan pertumbuhan kesenian multikultural
yang sedang bergejolak dewasa ini. Menurut buku itu, “penyembuhannya” dapat
dilakukan dengan humanisme yang digali dari kearifan lokal sarat dengan nilainilai humanistik. Buku tersebut dapat membantu penelitian ini, terutama untuk
menjelaskan bentuk tradisi lisan kantola dari perspektif ilmu sosial masyarakat
dan ilmu komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2002: 259).
Dari
berbagai pendapat tersebut diatas, peneliti dapat memperoleh
gambaran yang berguna dan bermanfaat dalam pengembangan penelitian
selanjutnya. Hal ini akan memberikan kontribusi yang besar dalam menelusuri
keberadaan kantola beserta nilai-nilai yang terkandung dalam setiap syairnya serta
bentuk dan fungsinya. Dengan demikian, revitalisasi dapat dilakukan setelah
mengetahui keberadaan bentuk tradisi lisan ini sehingga dapat menjalankan
fungsinya dan menghasilkan makna.
44. 18
Hal-hal yang dikemukakan pada penelitian terdahulu umumnya berfokus
pada pembahasan stuktur dan aspek-aspek yang melingkupi tradisi lisan kantola.
Penelitian ini berusaha memanfaatkan ruang kosong hasil penelitian sebelumnya
dengan melakukan pembahasan dari segi bentuk, fungsi dan makna, revitalisasi
tradisi lisan kantola. Kelebihan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya terletak pada pembahasan yang dihasilkan lebih kongkrit dan lebih
komprehensif. Penelitian ini tidak sekedar mengumpulkan data sebanyakbanyaknya tetapi yang lebih utama menarik akar permasalahan berdasarkan
pernyataan teoritis.
2.2 Konsep
Konsep ialah penyederhanaan pemikiran dengan menggunakan satu istilah
untuk beberapa kajian. Konsep juga diartikan sebagai hasil abstraksi dan sintesis
teori yang dikaitkan dengan masalah penelitian yang dihadapi, disamping untuk
menjawab dan memecahkan masalah penelitian. Konsep dapat berfungsi untuk
menyederhanakan arti atau pemikiran, ide serta hal-hal atau gejala sosial yang
digunakan agar pembaca dapat memahami maksudnya sesuai dengan keinginan
peneliti dalam penggunaan konsep tersebut.
Konsep juga merupakan generalisasi dari sekelompok fenomena yang
serupa kenyataanya konsep dapat mempunyai tingkat generalisasi yang berbeda,
semakin dekat suatu konsep kepada realita maka semakin mudah konsep tersebut
diukur dan diartikan (Koentjaraningrat, 1994: 4). Konsep merupakan deskripsi
secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala. Maka dari itu, dalam penelitian
diuraikan konsep secara langsung berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.
45. 19
2.2.1 Revitalisasi Tradisi Lisan Kantola
Pada bagian ini terdapat tiga satuan konsep yang harus dijelaskan terlebih
dahulu, yaitu pertama revitalisasi. Menurut
Keesing (1999:257) revitalisasi
adalah perubahan komunitas karena kesadaran baru untuk mencapai suatu citacita atau menempuh suatu cara hidup dengan sesuatu yang baru ataupun cara
hidup dan nilai-nilai dari zaman yang sudah lampau. Keesing lebih menekankan
pada kesadaran baru terhadap upaya-upaya perubahan kehidupan masyarakat yang
sudah menyimpang dari tradisi-tradisi lama. Revitalisasi dapat berupa cara hidup
yang sesuai dengan perkembangan zaman dengan tetap mengikuti aturan-aturan
yang diwariskan oleh para leluhur ataupun tetap mengikuti pola kehidupan lama
yang telah diturun-temurunkan dari suatu generasi kegenerasi berikutnya.
Konsep revitalisasi juga diungkapkan oleh Sibarani (2004:30) yang
menyatakan bahwa revitalisasi kebudayaan adalah sebuah proses dan usaha
memvitalkan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat atau usaha untuk
membuat kebudayaan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat. Kebudayaan harus menjadi bagian dari masyarakat pendukungnya.
Budaya lokal harus diusahakan dapat bermanfaat dalam kehidupan manusia untuk
lebih menyejahterakan masyarakat.
Budaya lokal yang berkembang secara turun temurun dari zaman lampau
sudah semakin tergerus dan tertatih-tatih menghadapi pengaruh globalisasi yang
semakin luas daya jelajahnya. Untuk menangkal arus globalisasi yang begitu
gencar mempengaruhi keberadaan, legitimasi, dan keberlanjutan budaya lokal,
46. 20
maka munculnya kekuatan yang disebut kearifan lokal, atau lebih tegasnya
revitalisasi kearifan lokal.
Astra (dalam Majid 2009:19) lebih lanjut menegaskan bahwa revitalisasi
itu difungsikan untuk memperkokoh jati diri bangsa, yang didalamnya meliputi
kesadaran sejarah memegang peranan penting dalam menumbuhkembangkan jati
diri dan identitas bangsa sehingga penghayatan kebersamaan dimasa lampau dapat
membangkitkan rasa kepemilikan terhadap kearifan lokal. Selain itu, kesatuan dan
persatuan akan terus terpelihara dalam mempersiapkan masa yang akan datang
tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh generasi pendahulu.
Gagasan revitalisasi mengandung pikiran jernih yang menyisaratkan adanya
pandangan positif tentang beberapa strateginya kekuatan kearifan lokal dalam
menghadapi derasnya arus globalisasi.
Ardana (2004:91-92) menilai kebijakan pelestarian nilai-nilai budaya lokal
terjebak pada persoalan idiom politik, tanpa aplikasi yang nyata, hal ini terlihat
ketika nilai-nilai budaya lokal yang sebenarnya masih relevan dalam menjawab
persoalan global akhirnya punah. Sentralisasi kekuasaan yang begitu besar
membuat pemerintah dimasa lalu mengidap “paranoia” terhadap segala sesuatu
yang dianggap tidak sesuai dengan kebijakan nasional. Pelestarian adat dan nilainilai budaya lokal lebih bersifat top down berkaitan dengan upaya pelestarian
kekuasaan.
Untuk itu perlu kiranya ditinjau kembali tentang apa yang dikerjakan
dalam menghadapi perubahan-perubahan yang berlangsung dalam masyarakat
yang seringkali tanpa arah ketika berhadapan dengan berbagai persoalan global.
47. 21
Berdasarkan pengalaman historis, seringkali pengalaman masa lalu menjadi
berharga dalam mempertahankan eksistensi kehidupan masyarakat. Maka dari itu,
di berbagai kesempatan telah seringkali dimunculkan wacana tentang upaya untuk
revitalisasi nilai-nilai budaya lokal yaitu sebagai langkah pemberdayaan budaya
lokal itu dalam mengantisipasi tantangan zaman ke arah kehidupan masyarakat
yang lebih baik. Dengan kata lain, perlunya untuk memulihkan dan
membangkitkan kembali ingatan dan kesatuan kolektif masyarakat lokal sehingga
tidak tercabut dari akarnya.
Berbagai tantangan yang muncul di masyarakat mulai dari ethnosentrisme
di tingkat lokal, munculnya berbagai konflik sosial, politik dan ekonomi yang
berkepanjangan sampai berkembangnya paham-paham separatisme. Tantangantantangan ini harus dihadapi dengan membangkitkan kembali atau revitalisasi
nilai-nilai budaya lokal di era globalisasi ini. Kemunculan nilai-nilai budaya lokal
itu dapat diharapkan, apabila masih ada tradisi kebudayaan sendiri yang dapat
dihidupkan kembali.
Dalam era globalisasi, menurut Ardana, telah muncul upaya-upaya untuk
membangkitkan kembali atau pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat
istiadat dan peran dari lembaga adat. Menggunakan nilai-nilai budaya lokal untuk
menjawab berbagai tantangan inilah sebagai wujud nyata dari revitalisasi budaya
lokal. Dalam hal ini perlunya lebih ditingkatkan peran lembaga adat dalam
menangani persoalan-persoalan konflik politik, krisis ekonomi, degradasi budaya
sebagai akibat pengaruh globalisme.
48. 22
Kebudayaan nasional merupakan proses dari bawah, dengan bertumpu
pada dualistik antara kebudayaan lama dan kebudayaan baru. Namun pada
kenyataannya, kebudayaan baru terus menekan kebudayaan lama yang sarat
dengan nilai-nilai dan norma-norma yang dapat menangkal gelombang pasang
globalisasi dan bergulirnya proses transformasi berbagai dimensi kehidupan sosial
yang mengarah pada satu pusat budaya kosmopolitan. Strategi kebudayaan
melalui revitalisasi, harus membuka akses partisipatif dan membangkitkan respon
mutualistik dari eksponen budaya yang beragam.
Revitalisasi, dengan demikian menjadi hal yang sangat urgen untuk
dilakukan dalam menangkal berbagai pengaruh globalisasi. Globalisasi yang
menimbulkan berbagai dampak. Salah satu dampak globalisasi adalah keengganan
untuk melanjutkan tradisi lama yang dianggap sebagai bagian dari masa lalu yang
telah usang dan tidak sesuai lagi dengan masa kekinian, harus sesegera mungkin
disikapi dan ditindak lanjuti. Revitalisasi meniscahayakan nilai-nilai budaya lokal
untuk menjawab berbagai tantangan globalisasi.
Kedua konsep tradisi lisan. Tradisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1995:1069) diartikan sebagai adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang)
yang masih dijalankan di masyarakat. Tradisi juga berarti penilaian atau anggapan
bahwa yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar. Ini
menyiratkan bahwa warisan dari masa lalu mengandung nilai-nilai kebenaran
yang masih telah berlaku di dalam masyarakat dan harus terus dilestarikan.
Piliang (2005) mendefinisikan tradisi lisan sebagai setiap bentuk karya,
gaya yang dipresentasikan sebagai kelanjutan dari masa lalu kemasa kini,
49. 23
sehingga tradisi lisan adalah sesuatu yang tidak pernah berubah, dan dijalankan
sebagai sebuah pengulangan-pengulangan. Tradisi menurut Piliang adalah proses
repetisi dan reproduksi. Tradisi adalah reproduksi atau kelanjutan masa lalu, dan
ia akan kehilangan sifat tradisi bila ia berubah. Perubahan dianggap sebagai
musuh tradisi yang mengancam keaslian dan keberlanjutannya.
Konsep lain yang dikemukakan Piliang menyangkut tradisi lisan adalah
bentuk, prinsip, konsep, pranata tingkah laku, ekspresi, norma dan nilai yang telah
didefinisikan dimasa lalu secara kolektif, dan diwariskan secara turun temurun.
Karena didefinisikan secara kolektif, maka tradisi mampu mengendalikan dan
memberikan arah pada perkembangan budaya lokal yang dapat bertahan dalam
menumbuhkan
kemampuannya,
dalam
arti
tidak
terikat
dengan
sifat
ketergantungan pada globalisasi. Dengan kata lain, tradisi harus mampu bergerak
secara aktif dalam menumbuhkan kemampuannya.
Ketiga, konsep kantola adalah dari sisi etimologinya berasal dari dua
morfem, yakni morfem ka- dan morfem tola 'panggil'. Morfem ka- pada verba
dalam bahasa Muna memiliki fungsi gramatikal derivasional atau penominal.
Adapun morfem ka- mengalami perubahan bentuk menjadi kan-, hal itu
sebenamya sebagai pengaruh nasalisasi bahasa seni dalam bahasa Muna. Dengan
demikian, kantola lebih bermakna 'panggilan', 'ajakan' atau 'seruan'. Kantola
merupakan nama prosa lirik dari daerah Muna yang didendangkan pada saat acara
berbalas pantun antara dua kelompok, yaitu kelompok pria dan kelompok wanita.
Secara ontologis, syair-syair kantola bermuatan multidimensional yang sarat
makna. Lirik kantola disusun dan digubah pada saat pementasan berlangsung. Hal
50. 24
ini mempunyai tujuan agar tradisi kelisanannya tetap terjaga. Pengekspresian
makna dalam lirik kantola tidak secara lugas, tetapi melalui simbol-simbol yang
disertai dengan gaya estetis. Ini berarti bahwa kandungan makna syair-syair
kantola ada dibalik simbol-simbol yang ada. Oleh karena itu untuk mengetahui
kandungan makna syair-syair kantola, seseorang harus memiliki kemampuan
interpretatif terhadap simbol-simbol yang digunakan (Aderlaepe, 2006: 3-4).
Memperlihatkan keanekaragaman karya sastra sebagai perwujudan genre,
maka perlu adanya penekanan bentuk dan cara-cara pemahaman yang berbeda
pula. Untuk mewujudkan keseimbangan antara sastra tulisan dan sastra lisan.
Perlu diadakan pemetaan terhadap keberadaan sastra lisan dan dilakukan
penelitian secara mendalam. Di satu pihak perlu diperhatikan dengan
pertimbangan bahwa khazanan sastra lisan kaya dengan nilai-nilai kultur yang
pada dasarnya sangat diperlukan dalam rangka membina semangat persatuan dan
kesatuan bangsa. Namun, dipihak lain sastra lisan dianggap tidak memiliki
peranan dalam meningkatkan kualitas bermasyarakat.
Sudah pada saatnya kajian tentang karya sastra terutama karya sastra lisan
yang dikelompokkan ke dalam sastra lama dikaji oleh para peneliti lokal, yang
pada umumnya lebih tertarik mengkaji sastra modern. Hal ini akan berdampak
positif sehingga keberadaan sastra lama dapat diidentifikasi. Selain itu, dengan
hasil kajian ini dapat diperoleh gambaran mengenai kekayaan kehidupan bangsa.
Prioritas penelitian terhadap khazanah sastra lama. Selain dalam rangka
mengantisipasi proses kepunahannya, juga berfungsi untuk mengungkapkan nilainilai kultur yang terkandung didalamnya (Ratna, 2008).
51. 25
Kantola yang merupakan bagian dari khazanah sastra lisan Nusantara
tidak dapat dipisahkan dari keberadaan masyarakat Muna. Apabila dilihat dari
kacamata historis, Muna adalah sebuah etnis besar yang berbentuk kerajaan dan
sekarang menjadi satu kabupaten. Sejak saat itu sastra lisan kantola muncul, yang
disebabkan masyarakat membutuhkan media untuk mengemukakan dan
mengapresiasikan ide-ide mereka.
Tradisi lisan kantola mencakup hasil ekspresi warga suatu kebudayaan
masyarakat Muna yang diwariskan secara turun temurun dan disebarluaskan
secara lisan, yang merupakan produk kreativitas yang mendalam terhadap segala
aspirasi, cita-cita, keinginan, dan ide bagi masyarakat lama yang bercorak
tradisional. Segala ekspresi masyarakat untuk menyampaikan pandangan mereka
terhadap fenomena sosial sangat intim dengan tradisi lisan (kantola).
Konsep-konsep tersebut di atas dapat memberikan gambaran bagaimana
suatu tradisi lisan yang berkembang dalam suatu masyarakat dapat terus bertahan
dengan memvitalkan kembali cara hidup dan nilai-nilai dari zaman yang sudah
lampau yang merupakan sumber kearifan lokal. Hal ini terutama disebabkan oleh
kuatnya pengaruh perilaku kolektif yang terdapat di dalamnya. Namun, pengaruh
tersebut dapat saja berkurang daya tariknya jika revitalisasi tradisi lisan tersebut
dibenturkan pada berbagai perubahan pola hidup yang terus berkembang seiring
dengan perubahan zaman yang bergerak dinamis.
Revitalisasi tradisi lisan melingkupi perubahan komunitas karena adanya
kesadaran baru untuk memperkokoh jati diri bangsa dengan memvalitkan kembali
norma dan nilai yang telah didefenisikan di masa lalu secara kolektif, dan
52. 26
diwariskan secara turun-temurun yang merupakan sumber kearifan lokal dalam
kehidupan masyarakat.
2.2.2 Masyarakat Muna Sulawesi Tenggara
Kata Masyarakat dan Muna terdiri tiga unsur: pertama, konsep masyarakat
mengacu pada suku bangsa atau kelompok etnik yang dicirikan berdasarkan
wujud kebudayaan dan corak tradisi yang digunakan dalam kapasitasnya sebagai
unsur budaya, indeks budaya, dan simbol budaya. Sejalan dengan itu,
Koentjaraningrat (Hadirman, 2009: 9) mengartikan suku bangsa sebagai suatu
golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas kesatuan kebudayaan,
yang seringkali dikuatkan oleh kesatuan tradisi. Kesatuan kebudayaan dan tradisi
dalam satu kelompok masyarakat tidak ditentukan oleh orang luar, tetapi
berdasarkan konvensi para anggotanya. Sosok kebudayaan suatu kelompok
masyarakat tercermin, antara lain dengan bentuk tradisi yang mereka gunakan
dalam konteks sosial dan konteks budaya. Adapun masyarakat Muna yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat Muna yang bermukin
dikecamatan Lawa dan Kontunaga. Kedua, Muna merupakan nama salah satu
wilayah yang mana wilayahnya tersebut menjadi ibukota atau pusat pemerintahan
Daerah Tingkat II Muna. Ketiga, Sulawesi Tenggara adalah merupakan salah satu
wilayah di Pulau Sulawesi yang memiliki hak otonom dalam hal pemerintahan
sehingga memiliki status sebagai Provinsi Sulawesi Tenggara. Jadi masyarakat
Muna yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat Muna yang
mengacu pada suatu suku bangsa atau kelompok etnik yang berada di kabupaten
muna, akan tetapi lokasi penelitian ini di pusatkan pada dua kecamatan yaitu
53. 27
kecamatan Lawa dan kecamatan Kontunaga, bukan pada wilayah kabupaten Muna
secara keseluruhan.
2.2.3 Era Globalisasi
Kata era berarti ‘jaman, masa, tarikh’. Adapun kata globalisasi merupakan
kata yang diserap dari kata bahasa Inggris dari kata globe yang artinya ‘bola
dunia’ (Poerwarminta, 1988: 61). Dari kata globe muncul kata global yang
diartikan “sedunia, sejagat’ dan kata globalisasi yaitu gejala terbentuknya sistem
organisasi dan sistem komunikasi antara masyarakat-masyarakat di seluruh dunia
yang mengikuti sistem nilai dan kaidah yang sama. Sistem-sistem yang bersifat
global terbentuk sebagai akibat dari sistem transport udara yang makin lama
makin cepat, dan karena sistem komunikasi person-to-person serta komunikasi
massa yang mampu menyelenggarakan hubungan atas dasar hitungan waktu yang
diukur dengan jam, menit, detik ataupun dalam seketika (Sumardjan, 2007: 23).
Berdasarkan uraian tentang masing-masing bagian konsep tersebut di atas
maka dapat dirumuskan bahwa globalisasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah suatu jaman atau massa di mana sistem organisasi dan sistem komunikasi
antara masyarakat-masyarakat di seluruh dunia mengikuti sistem nilai dan kaidah
yang sama atau hampir sama.
Jadi defenisi oprasional Revitalisasi Tradisi Lisan Kantola Masyarakat
Muna Sulawesi Tenggara pada Era Globalisasi adalah merupakan pengokohan jati
diri yang menyiratkan adanya pandangan positif tentang betapa strateginya tradisi
lisan kantola, sebagai media ekspresi, dalam menghadapi derasnya arus
globalisasi. Selain itu, mampu mengendalikan dan memberikan arah pada
54. 28
perkembangan budaya lokal tersebut, yang dipresentasikan sebagai kelanjutan
dari masa lalu ke masa kini, sehingga dapat bertahan dalam menumbuhkan
kemampuannya.
Revitalisasi merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan budaya
lokal sehingga dapat mengaktualisasi diri dalam konteks global. Pengembangan
budaya lokal dapat dilakukan melalui pengenalan dan pengajaran budaya lokal,
dengan menciptakan ruang bagi pengembangan kreativitas lokal sehingga mampu
menumbuhkan kesadaran kultural tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar budaya
lokal tersebut. Selain itu, revitalisasi harus menjadikan budaya lokal sebagai
kebutuhan
dalam
menyejahterakan
masyarakat.
Adapun
indikator
yang
menyangkut revitalisasi tradisi lisan antara lain:
1. Kesadaran untuk menanamkan cara hidup berdasarkan norma-norma dan
nilai-nilai budaya lokal dalam memperkokoh jadi diri masyarakat lokal.
2. Menumbuhkan kesadaran akan strategisnya kekuatan kearifan lokal dalam
menghadapi derasnya arus globalisasi.
3. Membangkitkan
kembali
atau
pemberdayaan,
pelestarian
dan
pengembangan adat istiadat dan peran dari lembaga adat.
4. Memulihkan dan membangkitkan kembali ingatan dan kesadaran kolektif
masyarakat lokal sehingga tidak tercabut dari akarnya.
5. Dorongan untuk menata ulang pengalaman kultural dan memberikan arah
pada perkembangan budaya lokal.
55. 29
2.3 Landasan Teori
Pada hakikatnya, teori merupakan seperangkat konsep, defenisi dan
preposisi yang tersusun secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk
menjelaskan dan meramalkan suatu fenomena atas realitas sosial. Teori digunakan
baik untuk menggambarkan yang seharusnya maupun menjelaskan yang
senyatanya secara empirik (Cooper and Schindler, 2003, Sugiyono, 2009:41).
Untuk menjelaskan mengapa sesuatu terjadi sebagai yang berlaku dalam
kenyataan, teori harus melaksanakan fungsi ganda. Pertama, menjelaskan fakta
yang sudah diketahui, dan kedua; membuka celah pandangan baru untuk
menemukan fakta baru pula. Bila kejadian yang sama ditafsirkan dalam konteks
teoritik berbeda, akan muncul jenis-jenis fakta yang berlainan pula (Kaplan,
2002:15).
Dengan demikian,
diperlukan
beberapa teori yang
relevan
dan
dipergunakan dalam penelitian ini dalam menjelaskan kenyataan empirik tersebut,
antara lain (1) teori hegemoni yang difokuskan pada pengaruh globalisasi
terhadap tradisi lisan kantola, (2) teori resepsi, penerima/penyambut ataupun
masyarakat dalam hal pemaksaan dan penilaian suatu karya sastra. (3) Teori
Dekontruksi,
Dekonstruksi
tentunya
diikuti
oleh
penyusunan
kembali
(rekontruksi) atau menata kembali struktur-struktur yang telah didekonstruksi. (4)
Teori Semiotika, berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda,
bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia.
56. 30
2.3.1 Teori Hegemoni
Masyarakat Muna adalah salah satu etnis besar yang termaginalisasi dari
segi tradisi, yang diakibatkan oleh modernisasi. Proses pengikisan tradisi lisan
secara perlahan yang melupakan identitas individu dan budaya-budaya lokal,
sehingga berdampak pada kecenderungan sikap masyarakat yang konsumerisme.
Hal ini bisa berdampak dengan semakin dilupakannya nilai-nilai budaya lokal.
Pudarnya sebuah tradisi atau kebudayaan lisan disebabkan masyarakat
menganggap tradisi lisan adalah sesuatu yang kuno atau bagian dari masa lalu.
Oleh karena itu, problematika kehidupan masyarakat Muna dapat dikaji dengan
menerapkan teori hegemoni
Wacana hegemoni yang dapat diterapkan untuk menelaah masalah
mengapa mulai ditinggalkannya tradisi lisan kantola dalam masyarakat Muna
adalah analisis wacana hegemoni dari Foucault dan Gramsci. Analisis geneologi
Foucault tentang formasi diskursif mengetengahkan antara hubungan pengetahuan
dan kekuasaan. Tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan, sebaliknya tidak ada
pengetahuan tanpa ada kekuasaan yang mendukungnya (Foucault, 1977).
Selanjutnya Foucault menawarkan tiga konsep pendisiplinan, yaitu (1) ilmu-ilmu
pengetahuan yang menempatkan subjek sebagai objek penyelidikan; (2) praktikpraktik pemisahan yang memilah antara yang waras dengan yang gila, antara yang
kriminal dengan warga yang taat hukum, dan antara kawan dengan lawan; (3)
teknologi-teknologi tentang diri yang digunakan individu untuk mengubah diri
mereka menjadi subjek (Barker, 2004: 107). Sesuai dengan formasi diskursif dan
57. 31
praktik-praktik pemisahan yang dikemukan Foucault tersebut, masyarakat Muna
diwacanakan sebagai lawan yang harus ditaklukkan oleh pihak lain.
Menurut Simon (1999: 19) secara esensial hegemoni bukan merupakan
hubungan dominasi inherent dengan menggunakan kekuasaan, melainkan terjadi
kesepahaman dengan penggunaan kepemimpinan politik dan ideologi, sehingga
hegemoni merupakan organisasi konsensus. Dalam hegemoni kontrol sosial
dilakukan dengan cara membentuk keyakinan ke dalam. Namun demikian, yang
berlaku adalah supremasi kelompok dalam hegemoni yang diperoleh bukan atas
penindasan tetapi melalui konsensus menggiring cara pandang orang dalam
menyikapi problematik sesuai dengan cara pandang kelas sosial yang
menaklukkannya.
Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang dapat muncul melalui
mekanisme konsensus daripada melalui penindasan terhadap kelompok sosial
lainnya, yakni melalui institusi yang ada dalam masyarakat yang menentukan
secara langsung atau tidak langsung struktur-struktur kognitif dari masyarakat
(Hendarto, 1993: 35). Itulah sebabnya hegemoni menurut Gramsci pada
hakikatnya adalah
upaya untuk menggiring orang menilai dan memandang
problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. Melalui hegemoni, cara
pandang dan keyakinan masyarakat akan dipengaruhi sehingga kehilangan
kesadaran kritis mereka terhadap sistem yang ada. Hal ini berimplikasi bahwa
seolah-olah kelompok penguasa memberikan kebebasan bagi kelompok yang
tertindas dalam berekspresi. Namun, sesungguhnya hal itu adalah strategi yang
diterapkan kelompok penguasa sehingga tidak terlihat adanya tekanan bagi kaum
58. 32
tertindas. Hegemoni merupakan suatu tatanan atau cara hidup dan pemikiran
kelompok tertentu menjadi dominan, yakni suatu konsep realitas yang disebarkan
ke seluruh masyarakat dalam seluruh kelembagaan dan kehidupan pribadinya
yang mempengaruhi seluruh cita rasa, moralitas, kebiasaan, prinsip, agama dan
politik, serta seluruh hubungan sosial terutama dalam pengertian intelektual dan
moral (Fakih, 2000).
Dalam konteks konsensus, Gramsci mengajukan tiga kategori konformitas/
penyesuaian bagi masyarakat yang tidak mampu beroposisi, yaitu (1) orang akan
menyesuaikan diri mungkin karena takut akan konsekuensi-konsekuensi bila tidak
menyesuaikannya; (2) orang menyesuaikan diri mungkin karena terbiasa
mengikuti tujuan-tujuan tertentu; (3) konformitas yang muncul dari tingkahlaku
yang mempunyai tingkatan-tingkatan kesadaran dan persetujuan dengan unsurunsur tertentu dalam masyarakat (Hendarto, 1993: 36). Dalam konteks ini
hegemoni terus-menerus diperbaharui. diciptakan dipertahankan dan dimodifikasi.
Hegemoni juga ditantang, dibatasi, diubah, dan dihadang oleh tekanan dari luar,
sehingga hegemoni selalu peka terhadap alternatif. Upaya revitalisasi tradisi lisan
dalam masyarakat Muna adalah bagian dari perlawanan terhadap hegemonik yang
sedang dialami oleh masyarakat Muna.
Teori di atas, digunakan untuk menganalisis permasalahan kedua dalam
penelitian ini yakni tentang fungsi revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat
Muna Sulawesi Tenggara pada era globalisasi, juga model rekonstruksi tradisi
lisan kantola sebagai kekayaan budaya masyarakat tersebut. Faktor penunjang dan
penghambat tersebut dicurigai berasal dari dalam masyarakat Muna itu sendiri dan
59. 33
ada yang berasal dari luar masyarakat, seperti pemerintah daerah dan pihak-pihak
lain. Begitu pula dengan kemungkinan merekonstruksi tradisi lisan kantola
sebagai strategi dalam mengembangkan identitas tidak terlepas dari peranan
masyarakat, khususnya masyarakat Muna dan juga adanya campur tangan
pemerintah daerah. Sebab menurut Wibowo (2000: 45), pemerintah daerah dan
masyarakat saling berinteraksi.
Mengacu pada teori hegemoni di atas, dengan mulai ditinggalkanya nilainilai tradisi lisan kantola yang diakibatkan oleh pengaruh budaya global terhadap
perkembangan budaya masyarakat Muna. Budaya global memberikan pengaruh
signifikan terhadap perkembangan budaya lokal, dalam hal ini tradisi lisan
kantola yang merupakan identitas masyarakat lokal Muna. Namun seiring dengan
gencarnya budaya global mempengaruhi keberadaan tradisi lisan dan identitas
masyarakat Muna. Budaya global dengan kekuasaan kapitalisme dan hegemoni
kultural melalui media terus mengancam keberadaan budaya lokal ini.
2.3.2 Teori Dekonstruksi
Pada penelitian ini digunakan juga teori Dekonstruksi Derrida untuk
membedah makna revitalisasi tradisi lisan kantola masyarakat Muna Sulawesi
Tenggara pada era globalisasi. Upaya konstruksi yang dilakukan oleh masyarakat
Muna atas penolakan oposisi biner di mana telah dilekatkan kepada mereka
selama ini, terutama yang berkaitan dengan keberadaan tradisi lisan kantola.
Derrida
memeriksa
struktur-struktur
yang
terbentuk
dalam
paradigma
modernisme dan senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan
pengertiannya. Dalam hal ini dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi
60. 34
yang tertindas di bawah totalitas modernisme (Padje, 2007: 97). Dekonstruksi
menolak otoritas sentral dalam pemaknaan budaya. Oleh karena makna budaya
tidak harus tunggal, tetapi dapat bersifat terbuka pada makna lainnya. Disamping
itu dekonstruksi juga menolak segala bentuk asumsi yang membelenggu.
Teori dekonstruksi dikemukakan oleh Derrida sebagai sebuah usaha untuk
menolak logosentrisme atau metafisika yang melahirkan oposisi biner (Lubis,
2006: 121; Al Fayyadl, 2006: 8). Dalam oposisi biner terdapat satu unsur yang
mendominasi unsur lainnya dan pada akhirnya menimbulkan kesenjangan,
sehingga kehadiran dekonstruksi memberi arti pada kelompok yang lemah atau
minoritas.
Menurut Ratna (2005: 252), dalam dekonstruksi dilakukan semacam
pembongkaran. Tujuan akhir yang hendak dicapai adalah penyusunan kembali ke
dalam tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan hakikat objek sehingga dapat
dimanfaatkan secara maksimal. Lebih lanjut Ratna (2006:37) mangatakan bahwa
keberadaan teori Dekonstruksi adalah untuk membongkar, merakit ulang oposisi
biner dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Jadi, dekonstruksi mengandung arti
mengurangi, membongkar secara keseluruhan atau sebagian suatu susunan dan
struktur yang dibangun bersama hingga intensitasnya berkurang. Agar
dekonstruksi dapat menciptakan dinamika, kreativitas serta produktivitas tafsir,
maka tentunya diperlukan perlakuan baru terhadap sesuatu yang hendak
didekonstruksi tersebut. Dekonstruksi tentunya diikuti oleh penyusunan kembali
atau menata kembali struktur-struktur yang telah didekonstruksi.
61. 35
Penggunaan teori dekonstruksi dalam penelitian ini untuk mengungkap
proses dekontruksi dalam arti proses pembebasan dari modernitas yang dianggap
represif dan proses pembentukan kontruksi postmodernitas yang dilakukan tradisi
lisan kantola. Dalam hal ini membongkar dan menafsir kembali hal-hal yang
berhubungan dengan tradisi lisan kantola yang selama ini telah dicirikan
sebelumnya akan melahirkan makna baru terhadap keberadaan tradisi lisan itu
sendiri.
Sebagaimana telah diutarakan di atas, teori dekonstruksi dalam penelitian
ini digunakan untuk mengungkapkan proses dekonstruksi dalam arti proses
pembebasan dari modernitas yang dianggap represif dan proses pembentukan
konstruksi postmodernitas sebagai konstruksi baru yang dilakukan tradisi lisan
kantola. Pembebasan terhadap modernitas akan mengacu kepada pembebasan atas
hegemoni, sedangkan pembentukan konstruksi postmodernitas akan mengacu
pada konstruksi budaya, sosial, politik, estetika, dan seni pertunjukan yang baru
atau postmodern. Hal ini sesuai dengan cara kerja dekonstruksi yang dikenal
dengan “membongkar”, selanjutnya pembongkaran tersebut diikuti oleh
pembangunan kembali (Ratna, 2005: 26).
2.3.3 Teori Semiotika
Cassier membedakan antara tanda (sign) dengan simbol. Tanda adalah
bagian “dunia fisik” yang berfungsi sebagai operator yang memiliki substansial.
Sementara simbol tidak memiliki kenyataan fisik atau substansial, tetapi hanya
memiliki nilai fungsional (Triguna, 2000: 8).
Menafsirkan sarana tanda sebagai suatu tanda dalam penelitian ini akan
62. 36
digunakan teori semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan
interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan
manusia (Cobley dan Jans dalam Ratna, 2004: 71) sebagai ilmu tanda, semiotika
sosial mesti dipahami dengan konteks dimana tanda-tanda tersebut difungsikan.
Pendekatan semiotik atau semiologi didasarkan pada asumsi bahwa
tindakan manusia atau hal yang dihasilkannya menunjukan makna asalkan
tindakan tersebut berfungsi sebagai tanda, tentu ada sistem konvensi dan
pembedaan yang mendasarinya dan yang memungkinkan adanya makna tersebut.
Dimana ada tanda disitulah ada sistem. Hal inilah yang sama-sama ada dalam
berbagai kegiatan yang menjadi penanda (Culler, 1996: 74).
Menurut Levi Straus untuk menganalisis fenomena yang menjadi penanda,
meneliti tindakan atau objek yang membawa makna, seorang peneliti harus
mendalilkan (mengandaikan) adanya sistem hubungan yang mendasari hal yang
ditelitinya, dan harus mencoba melihat apakah makna unsur atau objek individual,
bukan merupakan akibat dari kontrasnya dengan unsur dan objek lain dalam suatu
sistem hubungan yang tidak disadari adanya oleh anggota suatu budaya. Makna
yang diberikan kepada objek atau tindakan oleh para anggota suatu budaya
bukanlah fenomena yang benar-benar acak, pasti ada sistem pembedaan,
penggolongan yang merupakan semiologi, pasti ada kaidah penggabungan yang
dapat digambarkan. Jadi yang dapat dimasukan kedalam semiologi adalah suatu
bidang kajian yang amat luas. Segala ranah kegiatan manusia, apakah itu musik,
arsitektur memasak, etiket, periklanan, mode dan sastra dapat dikaji (dibedakan)
menurut pendekatan semiologi. Meskipun kebanyakan objek dan kegiatan
63. 37
masyarakat adalah tanda, objek dan kegiatan tersebut bukanlah tanda yang
jenisnya sama. Untuk membedakan antara jenis-jenis tanda yang berbeda perlu
dikaji dengan cara yang berbeda. Ada tiga golongan tanda yang mendasar dan
(yang kadang-kadang secara keliru disebut ‘simbol’). Semua tanda terdiri atas
suatu penanda (signifier) dan petanda (konsep atau singnifified), yakni bentuk
dengan makna atau makna-makna terkait. Hubungan antara penanda dan konsep
(ditanda) akan berbeda bagi masing-masing dari ketiga jenis tanda ini (Culler,
1996: 80-83).
Sebagai suatu ilmu, semiotika memiliki jangkauan yang relatif luas.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sobur (2003: V, XIX) ada tiga aliran
pemikiran yang terdapat dalam semiotika, (1) Semiotika segnifikasi, (2) Semotika
Komunikasi, (3) Semiotika exstra-komunikasi. Semiotika signifikasi merupakan
suatu aliran semiotika yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure beserta
pengikutnya. Semiotika komunikasi yang dikembangkan oleh Charles Sanders
Pierce beserta pengikutnya. Sedangkan semiotika extra-komunikasi merupakan
aliran pemikiran baru dalam semiotika yang melampaui kontraversi antar dua
semiotika tersebut diatas, merupakan kritik maupun pengembangan terhadap
semiotika signifikasi.
Hubungan dengan permasalahan penelitian ini, semiotika signifikasi
relevan untuk digunakan, semiotika signifikasi yang dikembangkan oleh
Ferdinand de Saususure, menempatkan bahasa sebagai suatu sistem tanda yang
mengungkapkan ide-ide dan dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad, tuna
rungu, bentuk sopan santun, isyarat militer, dan seterusnya (Krampen, 1996: 56).
64. 38
Semiotika signifikasi pada lingkup penanda tersebut terkait dengan permasalahan
penelitian ini, khususnya tentang tradisi lisan kantola. Pada tradisi lisan kantola
dapat dipandang sebagai salah satu formulasi atau ragam budaya, yaitu sebagai
simbol, ungkapan ataupun pribahasa. Dengan demikian tradisi lisan kantola dapat
dikatakan sebagai salah satu objek semiotika dalam lingkup penanda. Dalam
kaitan ini, pendekatan semiotika terhadap tradisi lisan kantola meliputi analisis
penanda, untuk mengindentifikasi pelibat tradisi lisan kantola¸ petanda untuk
memahami isi dari pelibat tradisi lisan kantola tersebut.
Kenyataan yang ada dalam tradisi lisan kantola sebagai elemen daya tarik,
untuk digunakan sebagai bentuk estetis yang indah pada saat tradisi lisan kantola
terjadi. Keadaan seperti ini merefleksikan terjadinya komunikasi yang terintegrasi
sebagai kesatuan emosi.
Penyampaian lirik kantola diungkapkan tidak secara lugas, tetapi
dikiaskan melalui simbol-simbol. Disini juga kelihatan bahwa peserta pertunjukan
tradisi lisan kantola mempunyai kemampuan intpretatif dan menguasai keahlian
yang formulaik.
Sebagaimana diungkapkan di atas, teori ini digunakan untuk menganalisis
permasalahan pertama dalam penelitian ini yakni tentang bentuk revitalisasi
tradisi lisan kantola masyarakat Muna Propinsi Sulawesi Tenggara pada era
globalisasi.
2.3.3 Teori Resepsi
Karya sastra sangat erat kaitannya dengan penerima/penyambut. Karya
sastra
ditujukan
untuk
penerima
dan
kepentingan
masyarakat
65. 39
penerima/penyambut.
Karya
sastra
tidak
mempunyai
nilai
tanpa
ada
penerima/penyambut yang menilainya karena penerima/penyambutlah yang
menentukan makna dan nilai suatu karya sastra (Teeuw dalam Pradopo, 2007:
207). Teori resepsi melokasikan penikmat ke dalam posisi yang memegang
peranan penting. Tanpa peran serta audiens, seperti pendengar, penikmat,
penonton, pemirsa, penerjemah, dan para pengguna lainnya. Khususnya penerima/
penyambut itu sendiri, maka keseluruhan aspek-aspek kultural yang terdapat
dalam
suatu
karya
sastra
akan
kehilangan
maknanya.
Peranan
penerima/penyambut sangat penting walaupun penerima/penyambut sama sekali
tidak memiliki relevansi dalam kaitannya dengan proses kreatif penciptaan suatu
karya sastra (Ratna, 2006: 165)
Selanjutnya Ratna mengemukakan bahwa teori resepsi diartikan sebagai
penerimaan, penyambutan, tanggapan, reaksi, dan sikap penerima/penyambut
sehingga dapat memberikan tanggapan terhadap suatu karya sastra. Tanggapan
yang
dimaksudkan
tidak
dilakukan
antara
karya
dengan
seorang
penerima/penyambut, melainkan penerima/penyambut sebagai proses sejarah,
penerima/penyambut dalam periode tertentu. Dalam hubungan inilah teori resepsi
dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a) resepsi secara sinkronis, meneliti karya
sastra dalam hubungannya dengan penerima/penyambut sezaman, dan b) resepsi
secara diakronis, penelitian dalam kaitannya dengan penerima/penyambut
sepanjang sejarah.
Pada dasarnya, model resepsi diakronis dapat memberikan pemahaman
yang signifikan, dengan pertimbangan, khususnya dalam kaitannya dengan studi