Dokumen tersebut membahas tentang sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah, pemerintahan, dan masa kejayaan peradabannya. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu al-Abbas al-Saffah pada tahun 132 H/750 M. Mereka mencapai puncak kejayaan politik dan intelektual pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan al-Ma'mun. Mereka mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, perdagangan, dan ind
Perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran pada masa dinasti abbasiyah
1. BAB I
PENDAHULUAN
Peradaban Islam adalah terjemahan dari kata arab Al-Hadharah al-Islamiyyah. Kata Arab ini
sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kebudayaan Islam.
“Kebudayaan” dalam bahasa Arab adalah al-Tsaqafah. Di Indonesia, sebagaimana juga di
Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata “kebudayaan” (Arab, al-
Tsaqafah; Inggris, culture) dan “peradaban” (Arab, al-Hadharah; Inggris, civilization).
Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan
adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan
manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban.
Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral,
maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi.1[1]
Peradaban sering dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem
teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan
kompleks.2[2]
Sejarah perkembangan Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga saat ini akan terus
berlangsung. Demikian pula dengan peradaban Islam, senantiasa akan berlangsung di
berbagai wilayah dunia Islam.
Seperti kita ketahui, Islam pernah mencapai kejayaan dalam bidang peradaban, bahkan
sebelum bangsa Eropa maju, peradaban Islam telah mencapai puncak kejayaannya. Dengan
demikian, tidak dapat disangkal bahwa karena peradaban Islam-lah peradaban Eropa menjadi
maju, karena bangsa Eropa telah belajar dari peradaban Islam, khususnya dari peradaban
Islam Spanyol. Oleh karena itu, mempelajari sejarah Islam dan peradabannya adalah suatu
keniscayaan, agar kemajuan peradaban Islam dapat kembali diraih oleh umat Islam.
Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan
peradaban Islam. Pemerintahan dinasti ini sangat peduli dalam upaya pengembangan ilmu
pengetahuan, ini terbukti dengan disiapkannya segala fasilitas untuk kepentingan tersebut;
pembangunan pusat-pusat riset dan terjemah seperti Baitu Hikmah, majelis munadzarah, dan
pusat-pusat studi lainnya.
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa dimana umat Islam membangun pemerintahan, yang
ilmu adalah sebagai landasan utamanya, sebagai suatu keniscayaan yang diwujudkan dalam
membawa umat ke suatu negeri idaman, suatu kehausan akan ilmu pengetahuan yang belum
pernah ada dalam sejarah.
2. BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Abbasiyah, nama dinasti kekhalifahan yang berkuasa mulai 749 hingga 1258 (132 H-656 H)
ini diambil dari nenek moyangnya al-Abbas bin ‘Abdul Mutalib bin Hasyim, paman
Rasulullah.3[3] Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu al-‘Abbas al-Saffah dan sekaligus
sebagai khalifah pertama. Al-Saffah artinya sang penumpah darah. Menurut Prof. Dr. Hamka,
Abu al-Abbas al-Saffah dikenal sebagi orang yang masyhur karena kedermawanannya, kuat
ingatannya, keras hati, tapi sangat besar dendamnya kepada Bani Umayyah. Sehingga dengan
tidak mengenal belas kasihan dibunuhnya keturunan-keturunan Bani Umayyah itu.4[4]
Munculnya Dinasti Abbasiyah sering dihubungkan dengan kejatuhan Dinasti Umayyah.5[5]
Dalam satu hal terdapat perbedaan yang sangat mendasar: Dinasti Umayyah terdiri atas orang
Arab, sementara Dinasti Abbasiyah lebih bersifat internasional. Dinasti Abbasiyah
merupakan kerajaan orang Islam baru, tempat orang Arab hanya menjadi salah satu unsur
dari berbagai bangsa yang membentuk kerajaan itu.6[6]
Oleh karena itu, penggantian Umayyah oleh Abbasiyah ini lebih dari sekedar penggantian
dinasti, ia merupakan revolusi dalam sejarah Islam, suatu titik balik yang sama pentingnya
dengan revolusi Prancis dan revolusi Rusia di dalam sejarah Barat.7[7]
Ketika berhasil merebut kekuasaan, orang Abbasiyah mengklaim dirinya sebagai pengusung
konsep sejati kekhalifahan, yaitu gagasan negara teokrasi, yang menggantikan pemerintahan
sekuler (mulk) Dinasti Umayyah.8[8]
Kekuasaan dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu selama
lima abad. Selama dinasti ini berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola
pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani
Abbasiyah menjadi lima periode:
1. Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2. Periode kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
3. 3. Periode ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam
pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk
dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki
kedua.
5. Periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh
dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Bagdad.9[9]
Pada mulanya Ibu kota negara adalah Al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun untuk lebih
memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Manshur memindahkan
ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia,
Ctesipon, tahun 762 M. Dengan demikian pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah berada
ditengah-tengah bangsa Persia.10[10]
Dinasti Abbasiyah, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, mencapai masa kejayaan
politik dan intelektual mereka segera setelah didirikan. Kekhalifahan Bagdad yang didirikan
oleh Al-Saffah dan al-Manshur mencapai masa keemasannya antara masa khalifah ketiga, al-
Mahdi, dan khalifah kesembilan, al-Watsiq dan lebih khusus pada masa khalifah Harun al-
Rasyid dan anaknya, al-Ma’mun.
B. Pemerintahan Dinasti Abbasiyah
Dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah kepala negara adalah khalifah, yang setidaknya
dalam teori memegang semua kekuasaan. Ia dapat melimpahkan otoritas sipilnya kepada
seorang wazir, otoritas pengadilan kepada seorang hakim (qadhi), dan otoritas militer kepada
seorang jenderal (amir), namun khalifah tetap menjadi pengambil keputusan akhir dalam
semua urusan pemerintahan pemerintahan. Dalam melaksanakan fungsi dan tugas
pemerintahannya khalifah Bagdad mengikuti pola administrasi Persia. Penolakan masyarakat
terhadap pemerintahan sekuler Umayyah dimanfaatkan Abbasiyah dengan menampilkan diri
sebagai pemerintahan imamah, yang menekankan karakteristik dan kewibawaan
religius.11[11]
Pergantian kepemimpinan secara turun-temurun seperti yang dilakukan pada masa Umayyah
juga diikuti oleh Dinasti Abbasiyah, beserta dampak buruknya. Khalifah yang sedang
berkuasa akan menunjuk penggantinya seorang anak, atau saudaranya yang ia pandang cakap
atau menurutnya paling tepat. Khalifah dibantu oleh pejabat rumah tangga istana (hajib) yang
bertugas memperkenalkan utusan dan pejabat yang akan mengunjungi khalifah. Ada juga
4. seorang eksekutor yang menjadi tokoh penting istana yang bertugas di bawah tanah istana,
yakni tempat penyiksaan.12[12]
Pendapatan negara pada masa Dinasti Abbasiyah bersumber dari pajak sebagai sumber
utama, kemudian zakat yang dibebankan atas tanah produktif, hewan ternak, emas dan perak,
barang dagangan, dan harta milik lainnya yang mampu berkembang baik secara alami
maupun setelah diusahakan.13[13]
Ada beberapa biro dalam pemerintahan Abbasiyah; biro pajak, biro pengawas, dewan
korespondensi atau biro arsip yang menangani semua surat-surat resmi, dokumen politik serta
instruksi dan ketetapan khalifah, dewan penyelidik keluhan atau semacam pengadilan tingkat
banding/pengadilan tinggi, departemen kepolisian dan pos.14[14]
Kekuatan militer Dinasti Abbasiyah terdiri atas pasukan infanteri (harbiyah) yang
bersenjatakan tombak, pedang dan perisai, pasukan panah (ramiyah) dan pasukan kavaleri
(fursan) yang mengenakan pelindung kepala dan dada serta bersenjatakan tombak panjang
dan kapak.
C. Masa Kejayaan Peradaban Dinasti Abbasiyah
Peradaban dan kebudayaan Islam tumbuh dan berkembang bahkan mencapai kejayaannya
pada masa Abbasiyah. Hal tersebut dikarenakan Dinasti Abbasiyah lebih menekankan
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah.15[15]
Abad X Masehi disebut abad pembangunan daulah islamiyah di mana Dunia Islam, mulai
Cordova di Spanyol sampai ke Multan di Pakistan mengalami pembangunan di segala
bidang, terutama di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Dunia Islam pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya, makmur; sebaliknya dunia Barat
masih dalam keadaan gelap gulita, bodoh dan primitif. Dunia Islam telah sibuk mengadakan
penyelidikan di laboratorium dan observatorium; dunia barat masih asyik dengan jampi-jampi
dan dewa-dewa. Hal ini disebabkan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad telah
menimbulkan dorongan untuk menumbuhkan suatu kebudayaan baru yaitu kebudayaan
Islam.
1. Kehidupan Masyarakat Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Sistem kesukuan primitif yang menjadi pola organisasi sosial Arab paling mendasar runtuh
pada masa Dinasti Abbasiyah, yang didirikan dari berbagai unsur asing. Bahkan dalam
5. persoalan memilih istri dan ibu untuk anak-anak mereka, para khalifah tidak menjadikan
darah keturunan Arab sebagai patokan.16[17]
Pada masa awal Dinasti Abbasiyah, kaum wanita cenderung menikmati tingkat kebebasan
yang sama dengan kaum wanita pada masa Dinasti Umayyah. Pada masa itu banyak
perempuan yang berhasil mengukir prestasi dan berpengaruh di pemerintahan.17[18]
Pada masa ini, busana laki-laki memiliki corak yang beragam dengan model terbatas.
Penutup kepala yang biasa dipakai adalah qalansuwah18[19], celana panjang yang lebar
(sarawil) dari Persia, kemeja, rompi dan jaket (qufthan), dengan jubah luar (‘aba’ atau
jubbah), melengkapi lemari pakian laki-laki.19[20]
Perabotan rumah yang paling umum adalah diwan20[21]. Karpet buatan tangan dipakai untuk
menutupi lantai. Makanan disajikan pada nampan lebar dari perunggu. Dirumah-rumah orang
berada nampan-nampan itu terbuat dari perak. Nasi mereka anggap sebagai makan beracun
dan menggantinya dengan menu-menu dari negeri berperadaban tinggi seperti daging rebus
beraroma dan manisan. Mereka menggunakan roti tipis sebagai alat tulis. Ayam peliharaan
mereka diberi makan berupa kenari, kacang almond dan susu. Pada musim panas rumah-
rumah mereka didinginkan dengan es.21[22]
Masyarakat kelas atas yang berada dibawah kelas aristokrat terdiri atas penulis sastra, orang
terpelajar, seniman, pengusaha, pengrajin, dan pekerja profesional. Sementara masyarakat
kelas bawah membentuk mayoritas penduduk negara yang terdiri atas petani, pengembala,
dan penduduk sipil yang berstatus sebagai dzimmi.
Kekuasaan kerajaan yang luas dan tingkat peradaban yang tinggi dicapai dengan melibatkan
jaringan perdagangan internasional yang luas. Para pedagang yang awalnya orang Kristen,
Yahudi dan pengikut Zoroaster kemudian digantikan oleh orang-orang Arab Islam, sehingga
pelabuhan-pelabuhan seperti Baghdad, Bashrah, Siraf, dan Iskandariyah segera berkembang
menjadi pusat perdagangan laut dan darat yang aktif. Tingkat perdagangan seperti itu dicapai
dengan dukungan pengembangan industri rumah tangga dan pertanian yang maju. Industri
kerajinan tangan menjamur di berbagai pelosok kerajaan, seperti industri karpet, sutera,
kapas, kain wol, satin dan brokat, sofa, serta perlengkapan dapur dan rumah tangga lainnya.
Industri penting yang perlu dicatat adalah pembuatan kertas tulis, yang diperkenalkan pada
pertengahan abad ke-8 dari Cina ke Samarkand. Seni mengolah perhiasan juga mengalami
6. kejayaannya; mutiara, safir, rubi, emerald, permata, zamrud, dan onyx (semacam batu akik).
Perhiasan itu banyak digunakan untuk aksesoris penghias kepala, sepatu dan lain-lain.22[23]
2. Kebangkitan Intelektual
Gerakan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis oleh khalifah Ja’far al-Manshur,
setelah ia mendirikan kota Bagdad (144 H/762 M) dan menjadikannya sebagai ibukota
negara.23[24] Ia menarik banyak ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan
tinggal di Bagdad. Ia merangsang usaha pembukuan ilmu agama, seperti fiqih, tafsir, tauhid,
hadits, atau ilmu lain seperti bahasa dan ilmu sejarah. Akan tetapi yang lebih mendapat
perhatian adalah penerjemahan buku ilmu yang dari luar.
Pada masa itu hidup para filsuf, pujangga, ahli baca al-Qur’an, dan para ulama di bidang
agama. Didirikan perpustakaan yang diberi nama Baitul Hikmah, didalamnya orang dapat
membaca, menulis, dan berdiskusi.24[25] Berkembanglah ilmu pengetahuan agama seperti
ilmu al-Qur’an, qira’at, hadits, fiqih, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Empat madzhab fiqih
tumbuh dan berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah. Imam Abu Hanifah (meninggal di
Bagdad tahun 150 H/667 M) adalah pendiri Madzhab Hanafi. Imam Malik bin Anas banyak
menulis hadits dan pendiri madzhab Maliki (wafat di Madinah tahun 179 H/795 M).
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (wafat di Mesir tahun 204 H/819 M) adalah pendiri
Madzhab Syafi’i. Ahmad bin Hanbal pendiri madzhab Hanbali (wafat tahun 241 H/855 M).
Di samping itu berkembang pula ilmu filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam,
geografi, aljabar, aritmatika, astronomi, musik, kedokteran, dan kimia.25[26]
Dinasti Abbasiyah dengan pusatnya di Bagdad sangat maju sebagai pusat kota peradaban dan
pusat ilmu pengetahuan. Beberapa kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dapat
disebutkan sebagai berikut:
a. Perkembangan Bidang Ilmu Naqli
Ilmu naqli adalah ilmu yang bersumber dari naqli (al-Qur’an dan Hadits), yaitu ilmu yang
berhubungan dengan agama Islam. Ilmu ini mulai disusun perumusannya pada sekitar 200
tahun setelah hijrah Nabi sehingga menjadi ilmu yang kita kenal sekarang,26[27] antara lain
ulumul qur’an, ilmu tafsir, hadis, ilmu kalam, bahasa, dan fiqih.27[28]
7. 1) Ilmu Fiqh:
Pada masa Abbasiyah lahir para tokoh Fuqoha (ahli Fiqih) pendiri madzhab, antara lain:
a) Imam Abu Hanifah (700-767 M)
b) Imam Malik (713-795 M)
c) Imam Syafi’i (767-820 M)
d) Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M)
2) Ilmu Tafsir. Dari tafsir yang ada cera penafsirannya ada dua macam:
Tafsir bi al-ma’tsur, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan hadits Nabi. Mufassir masyhur
golongan ini pada masa Abbasiyah antara lain
1) Ibn Jarir at-Thabary dengan tafsirnya sebanyak 30 juz
2) Ibn Athiyah al-Andalusy (Abu Muhammad bin Athiyah)
3) al-Suda yang mendasarkan penafsirannya pada Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, dan para sahabat
lainnya.
tafsir bi al-ra’yi, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan akal dengan
memperluas pemahaman yang terkandung didalamnya. Mufassir masyhur golongan ini pada
masa Abbasiyah antara lain:
a) Abu Bakar Asma (mu’tazilah),
b) Abu Muslim Muhammad bin Nashr al-Isfahany (mu’tazilah) dengan kitab tafsirnya 14
jilid.
3) Ilmu Hadits.
Hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Diantara para ahli hadits
pada masa dinasti Abbasiyah adalah
a) Imam Bukhari (194-256 H), karyanya Shahih al-Bukhari
b) Imam Muslim (w. 261 H), karyanya Shahih Muslim
c) Ibnu Majah, Karyanya Sunan Ibnu Majah
d) Abu Dawud, Karyanya Sunan Abu Dawud
e) Imam an-Nasa’i, Karyanya Sunan An-Nasa’i
f) Imam Baihaqi
4) Ilmu Kalam
Kajian para ahli ilmu kalam (teologi) adalah mengenai dosa, pahala, surga neraka, serta
perdebatan mengenai ketuhanan atau tauhid, menghasilkan suatu ilmu yaitu ilmu kalam atau
teologi. Diantara tokoh ilmu kalam adalah
a) Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi, tokoh Asy’ariyah.
b) Washil bin Atha, Abu Huzail al-allaf, tokoh Mu’tazilah.
c) Al-Juba’i
5) Ilmu Bahasa
8. Ilmu-ilmu bahasa yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah adalah ilmu nahwu, ilmu
sharaf, ilmu bayan, ilmu badi’, dan arudl. Bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa ilmu
pengetahuan, disamping sebagai alat komunikasi antar bangsa.
Diantara para ahli ilmu bahasa adalah:
a) Imam Sibawaih (w. 183 H), karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1.000 halaman.
b) Al-Kisa’i
c) Abu Zakaria Al-Farra (w. 208 H). Kitab Nahwunya terdiri dari 6.000 halaman lebih.
b. Perkembangan Bidang Ilmu Aqli
Ilmu-ilmu umum masuk ke dalam Islam melalui terjemahan dari bahasa Yunani dan Persia ke
dalam bahasa Arab, di samping bahasa India.28[29] Pada tahun 856 M khalifah al-
Mutawakkil mendirikan Sekolah Tinggi Terjemah di Bagdad yang dilengkapi dengan
museum buku-buku.29[30]
Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase.
1. Fase pertama pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid, pada fase ini
banyak diterjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq.
2. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H, buku-buku
yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran.
3. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas.
Selanjutnya bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.30[31]
Dengan kegiatan penerjemahan itu, sebagian karangan Aristoteles, Plato, Galen, serta
karangan dalam ilmu kedokteran lainnya dan juga karangan mengenai ilmu pengetahuan
Yunani lainnya dapat dibaca oleh alim ulama Islam.
Bertolak dari buku yang diterjemahkan itu para ahli dikalangan kaum muslimin
mengembangkan penelitian dan pemikiran mereka, menguasai semua ilmu dan pemikiran
filsafat yang pernah berkembang masa itu serta malakukan penelitian secara empiris dengan
mengadakan eksperimen serta mengembangkan pemikiran spekulatif dalam batas-batas yang
tidak bertentangan dengan kebenaran wahyu. Semenjak itu dimulailah pembentukan ilmu-
ilmu Islam di bidang aqli, yang sering disebut Abad Keemasan yang berlangsung antara 900-
1100 Masehi.31[32]
Dalam bidang ilmu aqli antara lain berkembang berbagai kajian dalam bidang filsafat, logika,
metafisika, ilmu alam, geometri, aljabar, aritmatika, astronomi, musik, kedokteran, kimia,
sejarah dan sastra.
9. 1) Filsafat
Kajian filsafat di kalangan umat Islam mencapai puncaknya pada masa Dinasti Abbasiyah, di
antaranya dengan penerjemahan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Para Filsuf Islam
antara lain:
a) Abu Ishaq Al-Kindi (809-873 M). Karyanya lebih dari 231 judul.
b) Abu Nashr Al-Farabi (961 M). Karyanya lebih dari 12 buah buku. Ia memperoleh gelar al-
Mu’allimuts Tsani (the second teacher), yaitu guru kedua, sedang guru pertama dalam bidang
filsafat adalah Aristoteles.
c) Ibnu Sina, terkenal dengan Avicenna (980-1037 M). Ia seorang filsuf yang menghidupkan
kembali filsafat Yunani aliran Aristoteles dan Plato. Selain filsuf Avicenna juga seorang
dokter istana kenamaan. Diantara bukunya yang terkenal adalah Asy-Syifa, dan Al-Qanun fi
Ath-Thib (Canon of Medicine).
d) Al-Ghazali (1058-1111 M). Al-Ghazali mendapat julukan Al-Hujjatul Islam, karyanya
antara lain: Maqasid al-Falasifah, Al-Munkid Minadh Dhalal, Tahafut Al- Falasifah, dan
Ihya Ulumuddin.
e) Ibnu Rusyd di Barat terkenal denga Averros (1126-1198 M). Ia seorang filsuf, dokter dan
ulama. Karyanya antara lain: Mabadi al-Falasifah, Al-Kuliah fi Ath-Thib, dan Bidayah al-
Mujtahid.
2) Ilmu Kedokteran
Pada Masa Abbasiyah Ilmu kedokteran berkembang pesat, rumah sakit dan sekolah
kedokteran banyak didirikan. Diantara ahli kedokteran ternama adalah
a) Abu Zakariya Yahya bin Mesuwaih (w. 242 H), seorang ahli farmasi di rumah sakit
Jundishapur Iran.
b) Abu Bakar Ar-Razi (Rhazez) (864-932 M) dikenal sebagai “Ghalien Arab”.
c) Ibnu Sina (Avicenna), karyanya yang terkenal adalah Al-Qanun fi Ath-Thib tentang teori
dan praktik ilmu kedokteran serta membahas pengaruh obat-obatan, yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Eropa, Canon of Medicine.
d) Ar-Razi, adalah tokok pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan
measles, Ar-Razi adalah penulis buku tentang kedokteran anak.
3) Matematika
Terjemahan dari buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, menghasilkan karya dalam bidang
matematika. Di antara ahli matematika Islam yang terkenal adalah Al-Khawarizmi, ia adalah
pengarang kitab Al-Jabar wal Muqabalah (ilmu hitung), dan penemu angka nol.
Sedangkan angka latin: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0 disebut angka Arab karena diambil dari
Arab. Sebelumnya dikenal angka Romawi I, II, II, IV, V dan seterusnya.
Tokoh lain adalah Abu Al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Al-Abbas (940-
998) terkenal sebagai ahli ilmu matematika.
4) Farmasi
10. Diantara ahli farmasi pada masa dinasti Abbasiyah adalah Ibnu Baithar, karyanya yang
terkenal adalah Al-Mughni (berisi tentang obat-obatan), Jami Al-Mufradat Al-Adawiyah
(berisi tentang obat-obatan dan makanan bergizi).
5) Ilmu Astronomi
Kaum muslimin mengkaji dan menganalisis berbagai aliran ilmu astronomi dari berbagai
bangsa seperti Yunani, India, Persia, Kaldan, dan ilmu Falak Jahiliyah. Diantara ahli
astronomi Islam adalah:
a) Abu Manshur Al-Falaki (w. 272 H). Karyanya yang terkenal adalah Isbat Al-Ulum dan
Hayat Al-Falak.
b) Jabir Al-Batani (w. 319 H). Ia adalah pencipta teropong bintang pertama. Karyanya yang
terkenal adalah kitab Ma’rifat Mathiil Buruj Baina Arbai Al-Falak.
c) Raihan Al-Bairuni (w. 440 H). Karyanya adalah At-Tafhim li Awal As-Sina At-Tanjim.
6) Geografi
Dalam bidang geografi umat Islam sangat maju, karena sejak semula bangsa Arab merupakan
bangsa pedagang yang biasa menempuh jarak jauh untuk berniaga. Di antara wilayah
pengembaraan umat adalah umat Islam mengembara ke Cina dan Indonesia pada masa-masa
awal kemunculan Islam. Di antara tokoh ahli geografi yang terkenal adalah
a) Abul Hasan Al-Mas’udi (w. 345 H/956 M), seorang penjelajah yang mengadakan
perjalanan sampai Persia, India, Srilanka, Cina, dan penulis buku Muruj Az-Zahab wa
Ma’adin Al-Jawahir.
b) Ibnu Khurdazabah (820-913 M) berasal dari Persia yang dianggap sebagai ahli geografi
Islam tertua.di antara karyanya adalah Masalik wa Al-Mamalik, tentang data-data penting
mengenai sistem pemerintahan dan peraturan keuangan.
c) Ahmad El-Ya’kubi, penjelajah yang pernah mengadakan perjalanan sampai ke Armenia,
Iran, India, Mesir, Maghribi, dan menulis buku Al-Buldan.
d) Abu Muhammad Al-Hasan Al-Hamdani (w. 334 H/946 M), karyanya berjudul Sifatu
Jazirah Al-Arab.
7) Sejarah
Masa dinasti Abbasiyah banyak muncul tokoh-tokoh sejarah, beberapa tokoh sejarah antara
lain:
Ahmad bin Ya’kubi (w. 895 M) karyanya adalah Al-Buldan (negeri-negeri) dan At-Tarikh
(sejarah).
8) Sastra
Dalam bidang sastra, Bagdad merupakan kota pusat seniman dan sastrawan. Para tokoh sastra
antara lain:
a) Abu Nuwas, salah seorang penyair terkenal dengan karya cerita humornya.
11. b) An-Nasyasi, penulis buku Alfu Lailah wa Lailah (the Arabian Night), adalah buku cerita
Seribu Satu Malam yang sangat terkenal dan diterjemahkan ke dalam hampir seluruh bahasa
dunia.
D. Sebab-Sebab Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Sebagaimana terlihat dalam periodeisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak
periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara
tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khilafah pada
periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan
Bani Abbas terlihat bahwa para khilafah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai
kepala pegawai sipil, tetapi jika khilafah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda
pemerintahan.
Menurut W. Montgomery Watt, bahwa beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran pada
masa daulah Abbasiyah adalah sebagai berikut:
1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan
daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para
penguasa dan pelaksana pemerintah sangat rendah.
2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka
sangat tinggi.
3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat
besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman
pajak ke Bagdad.32[33]
Sedangkan menurut Dr. Badri Yatim, M.A., di antara hal yang menyebabkan kemunduran
daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut:
1. Persaingan Antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah yang didirikan Bani Abbas bersekutu dengan orang-orang Persia.
Persekutuan dilatarbelakangi persamaan nasib semasa kekuasaan Bani Umayyah. Keduanya
sama-sama tertindas. Setelah abbasiyah berdiri, persekutuan tetap dipertahankan. Pada masa
ini persaingan antar bangsa memicu untuk saling berkuasa. Kecenderungan masing-masing
bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah
berdiri.
2. Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah mengalami kemunduran ekonomi bersamaan dengan kemunduran di
bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Abbasiyah merupakan pemerintahan
yang kaya. Dan yang masuk lebih besar daripada pengeluaran, sehingga baitul mal penuh
12. dengan harta. Setelah khilafah mengalami periode kemunduran, negara mengalami defisit
anggaran, dengan demikian terjadi kemerosotan ekonomi.
3. Konflik Keagamaan
Konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra pada masa khilafah Abbasiyah, sehingga
mangakibatkan perpecahan. Berbagai aliran keagamaan seperti Mu’tazilah, Syi’ah,
Ahlussunnah, dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah
mengalami kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.
4. Ancaman dari luar
Selain yang disebutkan daiatas, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan
kemunduran dinasti Abasiyah lemah dan hancur.
Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang menelan banyak korban.
Konsentrasi dan perhatian pemerintah Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara
salibsehingga memunculkan kelemahan-kelemahan.
Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam menyebabkan kekuatan Islam
menjadi lemah, apalagi serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang biadab
menyebabkan kekuatan Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah kepada kekuatan
Mongol.33[34]
13. BAB III
PENUTUP
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai puncak kejayaan pada masa
pemerintahhan Dinasti Abbasiyah, kemajuan intelektual pada waktu itu setidaknya
dipengaruhi oleh dua hal yaitu:
Pertama, terjadinya Asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pengaruh Persia pada saat itu sangat
penting dibidang pemerintahan. Selain itu mereka banyak berjasa dalamperkembangan ilmu
filsafat dan sastra. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemah-terjemah dalam
banyak bidang ilmu, terutama Filsafat.
Kedua, Gerakan Terjemah. Pada masa daulah ini usaha penerjemahan kitab-kitab asing
dilakukan dengan giat sekali. Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan
ilmu pengetahuan umum terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan
sejarah.
Akhir kekuasaan Dinasti Abbasiyah ialah ketika Bagdad dihancurkan oleh pasukan Mongol
yang dipimpin oleh Hulagu Khan, 656 H/1258 M. Bagdad dibumihanguskan dan diratakan
dengan tanah. Khalifah yang terakhir dengan keluarganya, al-Mu’tashim Billah, dibunuh.
Buku-buku yang terkumpul di baitul hikmah dibakar dan dibuang ke sungai tigris sehingga
berubahlah warna air yang semula jernih menjadi hitam kelam karena lunturan tinta dari
buku-buku itu.
Dengan demikian, lenyaplah Dinasti Abbasiyah yang telah memainkan peran penting dalam
percaturan kebudayaan dan peradaban Islam dengan gemilang.
14. DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2006)
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981)
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta:
Prenada Media, 2004)
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010)
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009)
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
1994)
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan,
2002)
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1990)
15. MAKALAH
PERKEMBANGAN ILMU ILMU PENGETAHUAN KEDOKTERAN PADA MASA DINASTI
ABBASIYAH
DISUSUN OLEH :
NAMA : IRFAN ISKANDAR
KELAS : VIII_1
SMP NEGERI 3 RAHA
2014
16. KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena atas
berkat, rahmat dan hidayah-Nya kami bias menyelesaikan makalah ini. Makalah ini
kami buat guna memenuhi tugas dari dosen.
Makalah ini membahas tentang “ PERKEMBANGAN ILMU ILMU PENGETAHUAN
KEDOKTERAN PADA MASA DINASTI ABBASIYAH ”
semoga dengan makalah yang kami susun ini kita sebagai siswa SMPN 3 Raha
dapat menambah dan memperluas pengetahuan kita.
Kami mengetahui makalah yang kami susun ini masih sangat jauh dari sempurna,
maka dari itu kami masih mengharapkan kritik dan saran dari bapak/ibu selaku
dosen-dosen pembimbing kami serta temen-temen sekalian, karena kritik dan saran
itu dapat membangun kami dari yang salah menjadi benar.
Semoga makalah yang kami susun ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
kita, akhir kata kami mengucapkan terima kasih.
Raha, Mei 2014
PENYUSUN