SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 21
A. Privatisasi Di Negara Indonesia
      Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka pada
tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia adalah negara Kesatuan, dengan luas
wilayah 1,9 juta mil persegi. Di tahun 2007 jumlah penduduk Indonesia
mencapai sekitar 238 juta jiwa yang tersebar pada 33 privinsi,
Kabupaten/Kota.
      Secara ekonomi, Indonesia pernah menjadi negara yang disegani
di Asia Tenggara. Namun setelah krisis 1997, ekonomi negara ini
mengalami keterpurukan. Pada beberapa tahun terakhir, meskipun lambat
negara ini mulai bangkit sehingga pertumbuhan PDB Indonesia pada
tahun 2004 mencapai 5 %. Setelah itu pertumbuhan PDB meningkat
menjadi 5,7 % pada Tahun 2005 dan 5,5 % pada Tahun 2006.
      Privatisasi di Indonesia mulai dilaksanakan sekitar tahun 1990an,
setelah diterbitkannya Keppres No. 5/1988 yang berisi antara lain
ketentuan tentang restrukturisasi, merger, dan privatisasi BUMN. BUMN
yang pertama diprivatisasi adalah PT Semen Gresik pada Tahun 1991,
melalui pelepasan 27 % saham pemerintah ke pasar modal. Tahap
berikutnya, pada tahun 1994 pemerintah melepas 10 % sahamnya dari PT
Indosat.
      Adapun tujuan utama privatisasi pada saat itu adalah untuk
meningkatkan efektifitas, efisiensi dan nilai tambah BUMN. Disadari oleh
pemerintah Indonesia bahwa sebagian besar BUMN memiliki kinerja yang
rendah, sehingga tidak mampu memberikan kontribusi yang memadai bagi
negara. Pada tahun 1990/1991 kontribusi BUMN dari dividen adalah Rp.
1,096 triliun atau 46 % dari total penerimaan bukan pajak yang sebesar
Rp. 2,383 triliun. Pada tahun 1995/1996 kontribusi BUMN dari dividen
meningkat menjadi Rp. 1,477 triliun, tetapi proporsinya terhadap total
penerimaan bukan pajak hanya 14 % dari Rp. 7,801 triliun. Penurunan ini
juga nyata pada kontribusi pajak penghasilan (PPh) yang diterima dari
BUMN terhadap total penerimaan pajak. Pada Tahun 1990/1991,
penerimaan pajak dari PPh BUMN mencapai Rp. 1,438 triliun atau 41,2 %
dari total penrimaan pajak sebesar Rp. 3,489 triliun. Selanjutnya, pada
tahun 1995/1996 penerimaan pajak dari PPh BUMN meskipun mengalami
kenaikan menjadi Rp. 2,020 triliun tetapi hanya merupakan 9,8 % dari total
penerimaan pajak tahun tersebut. Demikian pula halnya dengan
profitabilitas BUMN. Meskipun terjadi peningkatan asset BUMN dari tahun
1990/1991 yang senilai Rp. 179,153 triliun menjadi Rp. 312,802 triliun di
Tahun 1995/1996 (peningkatan sekitar 75 %), laba BUMN hanya
meningkat 12 % pada kurun waktu tersebut.
      Dalam perkembangan kemudian, seiring dengan memburuknya
ekonomi negara, tujuan privatisasi kemudian lebih diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan keuangan Negara. Strategi utama privatisasi
BUMN, oleh karenanya adalah divestiture (divestasi) yaitu dengan
pengalihan asset pemerintah yang terdapat pada BUMN kepada pihak
lain. Sampai dengan pertengahan tahun 1997 pemerintah telah berhasil
melakukan privatisasi saham minoritas atas kepemilikan saham mayoritas
yang dimilikinya pada sejumlah BUMN termasuk penawaran saham
perdana untuk 6 perusahaan yaitu Telkom, Indosat, Tambang Timah,
Aneka Tambang, Semen Gresik dan BNI.
      Proses penjualan asset ini terus berlanjut. Pada tahun 1998/1999
dilakukan privatisasi atas sejumlah perusahaan termasuk Semen Gresik,
Telkom (lanjutan), Pelindo, Indosat, Kimia Farma, Bank Mandiri, dan
lainnya. Namun berbeda dengan proses privatisasi di Indonesia untuk
kurun waktu 1994 sampai 1997 yang tidak pernah mengalami hambatan,
privatisasi yang dilakukan setelah tahun 1997 terlihat banyak sekali
mengalami hambatan tidak hanya dari pihak legislatif dan karyawan
namun juga dari masyarakat yang sangat reaktif terhadap setiap usaha
yang mengarah ke privatisasi BUMN yang mencapai puncaknya pada
proses spin off Semen Padang.
      Privatisasi terus dilakukan dari tahun ketahun. Pada tahun 2002,
pemerintah menyusun Masterplan BUMN 2002-2006 sebagai pedoman
untuk reformasi BUMN yang dilakukan untuk kurun waktu 2002-2006.
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah juga
menyusun Masterplan 2005-2009. Pada masa ini, privatisasi tidak
mendapatkan reaksi yang keras sebagaimana diterima pemerintahan
sebelumnya. Pada tahun 2008, dari total jumlah BUMN yang mencapai
140 perusahaan, sudah sekitar 10 % yang diprivatisasi.


   1) Metode Privatisasi

       Sejak privatisasi dikenalkan pertama kali sampai waktu sekarang
ini, strategi privatisasi adalah divestiture. Hal ini dapat dipahami, karena
pemahaman pemerintah tentang privatisasi adalah penjualan saham
pemerintah yang terdapat pada Persero. Dalam penjualan saham
pemerintah ini, pada awalnya pemerintah mengembangkan dua metode,
yaitu penjualan saham kepada masyarakat melalui penawaran langsung
dan penjualan saham secara langsung kepada mitra strategis. Pada
perkembangan kemudian, metode penjualan diperluas menjadi tiga
metode privatisasi, meliputi :
   a. penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal;
   b. penjualan saham langsung kepada investor;
   c. penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan yang
       bersangkutan.
Dari ketiga metode ini, kemudian dikenal adanya initial public offering
(IPO), strategic sales (SS), placement, dan emloyee managemnet buy out
(EMBO).
       Adapun BUMN yang sudah diprivatisasi sejak tahun 1991 hingga
2004, beserta metode privatisasnya adalah sebagaimana ditunjukan
dalam Tabel . berikut:
                                  Tabel
                         Metode Privatisasi BUMN
 Tahun     BUMN                                        Metode privatisasi
1991       PT Semen Gresik Tbk                         IPO
1994       PT Indosat, Tbk                             IPO
1995       PT Tambang Timah, Tbk                       IPO
           PT Telkom, Tbk                              IPO
1996       PT BNI, Tbk                                      IPO
1997       PT Aneka Tambang, Tbk                            IPO
1998       PT Semen Gresik, Tbk                             SS
1999       PT Pelindo II                                    SS
           PT Pelindo III                                   SS
           PT Telkom, Tbk                                   Placement
2001       PT Kimia Farma, Tbk                              IPO
           PT Indofarma, Tbk                                IPO
           PT Sucofindo                                     SS
           PT Telkom, Tbk                                   Placement
2002       PT Indosat, Tbk                                  Placement/SS
           PT Telkom, Tbk                                   Placement
           PT Tambang Batubara Bukit Asam, Tbk              IPO
           PT WNI                                           SS
2003       PT Bank Mandiri, Tbk                             IPO
           PT Indocement TP, Tbk                            SS
           PT BRI, Tbk                                      IPO
           PT PGN, Tbk                                      IPO
2004       PT Pembangunan Perumahan                         EMBO
           PT Adhi Karya                                    EMBO/IPO
           PT Bank Mandiri, Tbk                             Placement
           PT Tambang Batubara Bukit Asam, Tbk              SS
Catatan:
       IPO: Initial public offering
       SS : Strategic Sales
       EMBO: Employee Managemet Buy Out


       Sementara       strategi   non-divestiture    yang      diterapkan     oleh
pemerintah    adalah     restrukturisasi.   Pada    strategi     ini,   pemerintah
menetapkan tiga kebijakan pokok, meliputi::
1) peningkatan intensitas persaingan usaha, terutama di sektor-sektor
   yang terdapat monopoli, baik yang diregulasi maupun monopoli
   alamiah;
2) penataan hubungan fungsional antara pemerintah selaku regulator dan
   BUMN selaku badan usaha, termasuk di dalamnya penerapan prinsip-
   prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan menetapkan arah dalam
   rangka pelaksanaan kewajiban pelayanan publik;
3) restrukturisasi internal yang mencakup keuangan, organisasi/
   manajemen, operasional, sistem, dan prosedur.


Hanya saja strategi restrukturisasi ini tidak populer bagi pemerintah,
meskipun sejak tahun 1998 strategi ini telah diperkenalkan ke publik.
Beberapa metode yang dikembangkan dari restrukturiasasi antara lain
adalah pembentukan holding company dan merger/akuisisi antar BUMN.


   2) Manfaat Privatisasi

      Dalam menghadapi situasi krisis ekonomi, penjualan asset BUMN
telah menjadi strategi utama pemerintah Indonesia. Pada tahun 2001
proporsi hasil privatisasi terhadap PDB adalah 0,5 %. Sedangkan pada
tahun 2002 angka tersebut menurun menjadi 0,2 % terhadap PDB.
Dengan berkurangnya jumlah BUMN, hal ini bearti juga semakin
berkurangnya beban administrasi pemerintah. Namun demikian, dari
seluruh proyek privatisasi yang dilakukan pemerintah, beberapa kasus
dinilai banyak pihak justru merugikan negara. Kasus-kasus privatisasi
yang dinilai tidak menguntungkan antara lain adalah sebagaimana
ditunjukan dalam Tabel . berikut:
Tabel
        Beberapa Kasus Privatisasi BUMN yang Dinilai Tidak
                           Menguntungkan
No BUMN            Keterangan
.
1.   Semen         Privatisasi (private placement) atas SG pada tahun
     Gresik (SG,   1998 merugikan negara dalam dua hal. Pertama,
     1998)         transaksi    ini    menghasilkan       kontrak   jual    beli
                   (conditional sale and purchase agreement/CSPA)
                   yang merugikan Pemerintah RI. Kedua, Pemerintah
                   RI tidak memperoleh harga yang adil. CSPA
                   menyebutkan Cemex yang hanya memiliki 14%
                   saham (lalu menjadi 25,53% setelah membeli saham
                   milik publik) memiliki kekuasaan setara dengan
                   Pemerintah RI yang mempunyai 51% saham.
                   Cemex mendapat jatah wakil direktur utama dan
                   wakil   komisaris      di    jajaran   manajemen,       yang
                   kekuasaannya sama dengan direktur utama dan
                   komisaris utama. Setiap pengambilan keputusan
                   direktur utama dan komisaris utama (yang orang
                   Indonesia)     harus        mendapat    persetujuan      dari
                   wakilnya. Transaksi jual beli saham SG ke Cemex
                   juga    merugikan      karena     Pemerintah     RI     tidak
                   memperoleh harga adil (fair value) alias terlalu
                   murah (undervalued). Harga SG yang terlalu murah
                   ini dapat dikonfirmasikan berdasar data pembanding
                   negara-negara tetangga (Vietnam, Filipina, China,
                   dan Bangladesh) yang dilaporkan majalah Asia
                   Cement (1998). Lorenzo H Zambrano, bos Cemex,
                   dalam Annual Report Cemex 1998, mengakui bahwa
                   "pembelian         saham     Semen     Gresik    itu    amat
                   menguntungkan Cemex". Kepada para pemegang
saham, ia mengklaim keberhasilannya membeli
                     saham SG dengan harga murah (favorable price).

2.   BCA, dikelola   Divestasi 51% saham BCA pada tahun 2002 dengan
     BPPN (2002)     perolehan dana sekitar Rp5,345 trliun sangat
                     merugikan. Ini mengingat, dana rekapitalisasi BCA
                     mencapai Rp59,7 triliun. Setelah mendapatkan
                     Rp5,345 triliun, Pemerintah RI masih menanggung
                     biaya bunga obligasi rekap. Pada akhir 2002, BCA
                     memiliki portofolio obligasi rekap Rp47,7 triliun. Bila
                     menggunakan bunga SBI 8% sebagai patokan
                     (konservatif), dengan rata-rata obligasi rekap BCA
                     (2002-2006) sekitar Rp36,5 triliun, berarti BCA
                     membukukan pendapatan bunga dari pembayaran
                     obligasi rekap sebesar Rp2,9 triliun. Sementara,
                     ratarata laba bersih BCA dalam kurun waktu 5 tahun
                     terakhir sekitar Rp3,2 triliun. Itu artinya, sekitar 90%
                     dari laba bersih BCA berasal dari pembayaran
                     bunga rekap Pemerintah RI.
3.   Indosat         Sebelum Mei 2002, Indosat bersama Deutsche
     (2002)          Telekom (DT) memiliki Satelindo dengan struktur
                     kepemilikan Indosat 75% dan 25%. Mei 2002,
                     Indosat membeli 25% saham DT di Indosat dengan
                     harga $325 juta. Akibat transaksi ini, maka nilai
                     (value) Satelindo 100%-nya adalah $1,3 miliar.
                     Setelah transaksi ini, berarti Indosat memiliki 100%
                     saham    Satelindo.    Pada    Oktober    2002,    STT
                     Telemedia (Singapura) membeli 41,94% saham
                     pemerintah di PT. Indosat dengan harga $624 juta.
                     Dengan kata lain, 100% saham PT Indosat dihargai
                     oleh STT senilai $1,487 miliar. Karena harga 100%
                     Satelindo sebesar $1,3 miliar, maka itu artinya,
                     harga 100% saham Indosat minus Satelindo hanya
$187 juta. Dengan kata lain, 41,94% saham
                  pemerintah di Indosat yang dibeli STT hanya
                  dihargai sebesar $79 juta. Dengan harga $79 juta
                  tersebut, kini STT telah menguasai bisnis satelit dan
                  hak operator fixed-line. Dengan harga $79 juta tadi,
                  STT juga menjadi penguasa mayoritas bisnis seluler
                  di Indonesia.


4.   PGN (2006)   Penjualan saham PGN telah direncanakan sejak
                  Agustus 2005. Saham PGN yang akan dijual
                  sebanyak 5,8% (185 juta lembar saham). Ketika itu,
                  harga saham PGN baru sekitar Rp5.500 per lembar.
                  Namun,     pelaksanaan       privatisasi     PGN     baru
                  dieksekusi pada Desember 2006 pada harga
                  Rp11.350     atau     premium      Rp50    per     lembar
                  dibandingkan harga penutupan sebesar Rp11.300,
                  namun lebih rendah dibandingkan harga pada
                  Agustus 2006 yang mencapai Rp13.600
5.   BNI (2007)   Pemerintah memutuskan melepas sebanyak 3,95
                  miliar saham BNI dengan harga Rp2.050 per saham.
                  Harga itu lebih murah 28% atau Rp800 dari harga
                  pasar tertingginya Rp2.850 pada penutupan 25 Juli
                  2007. Selain itu, harga penjualan saham BNI juga
                  ditetapkan di batas terbawah dari kisaran harga
                  awal, yakni Rp2.050-Rp2.700 per saham. Dengan
                  selisih   Rp800     per   saham,    negara    berpotensi
                  kehilangan Rp3,16 triliun.
B. Privatisasi Di Negara Laos

       Sebagai bagian dari transisi menuju ekonomi pasar, Rakyat Laos
Republik Demokratik (Lao PDR) memulai program privatisasi pada tahun
1988 di bawah Mekanisme Ekonomi Baru (NEM) kerangka.
       Pada tahun 1996, pemerintah menjelaskan rencana privatisasi
pelaksanaannya dengan menerbitkan daftar badan usaha milik negara
(BUMN) yang akan dipertahankan dan yang akan diprivatisasi sepanjang
1997. Pada saat itu, 510 keluar dari 640 BUMN yang asli secara total
mengubah status mereka. Sebuah tambahan 59 unit yang direncanakan
untuk menjalani proses. Dengan demikian, pada akhir 1997, hanya 30
perusahaan yang diperkirakan akan tetap berada di bawah kontrol negara
(Chit, 1998: 1).
       Meskipun jumlah mereka yang kecil, BUMN yang tersisa masih
memegang posisi strategis dan memainkan peran penting dalam
pembangunan negara. Akibatnya, BUMN mempekerjakan sekitar 3,4%
dari total tenaga kerja PDR Laos non-pertanian dan memberikan
kontribusi sekitar 50% dari produk nasional bruto negara (GNP).
       Seperti di negara-negara sosialis kebanyakan, BUMN di Laos
sering menderita kerugian besar dan mengalami masalah manajerial
banyak. Diperkirakan bahwa lebih dari 50% dari BUMN yang ada tidak
dapat bertahan hidup tanpa subsidi keuangan negara dan perawatan
istimewa (Chit, 1998:1).
       Dalam rangka meningkatkan tingkat efektivitas dan efisiensi BUMN
yang saat ini beroperasi, pemeriksaan komprehensif seluruh struktur
mereka dibutuhkan. Salah satu faktor keberhasilan yang paling penting
adalah sumber daya manusia. Ini penawaran kertas dengan masalah
pengembangan sumber daya manusia (SDM) dengan maksud untuk
meningkatkan pos Status privatisasi BUMN di Laos. Temuan dari survei
terhadap 10 BUMN yang dipilih (Lampiran 1) akan digunakan untuk
menggambarkan saling ketergantungan antara faktor sumber daya
manusia dan kinerja keseluruhan dari perusahaan.
1) Proses Privatisasi

      Sebagai tanggapan terhadap meningkatnya perhatian terhadap
lemahnya kinerja sektor publik, pemerintah Laos mulai merumuskan
strategi untuk privatisasi BUMN dan reformasi BUMN pada akhir 1980-an.
Antara 1988-1990, penekanan diletakkan pada pemberian otonomi
operasional yang lebih besar untuk BUMN dan ruang lingkup dari program
privatisasi terutama terbatas pada usaha kecil. Pada awal Maret 1991,
fokus program itu dialihkan untuk menyertakan perusahaan yang jauh
lebih besar. Sebuah rencana yang lebih konkret diumumkan di mana
semua tapi segelintir 'perusahaan strategis' harus diprivatisasi dalam
waktu tiga tahun.
      Menurut Pasal 2 Keputusan No 17 tahun 1990, BUMN harus
disimpan di bawah kontrol negara termasuk yang strategis harus
"perekonomian,      masyarakat,   pertahanan,   dan    keamanan        internal".
Awalnya,   industri   ini   menargetkan   tertutup    bisnis   utama     seperti
pembangkit listrik dan distribusi, pos dan telekomunikasi, farmasi,
perbankan dan asuransi, penerbangan komersial, pertambangan, logging,
dan pertahanan nasional industri, dll Pada tahap selanjutnya, kampanye
privatisasi memperluas ruang lingkup mempengaruhi semua industri,
dengan pengecualian kehutanan dan pertahanan. Pembesaran lingkup
membantu mempercepat proses, sehingga jumlah BUMN dari 640 pada
tahun 1989 turun menjadi hanya 55 pada bulan Januari 1998 (Tabel 1).


   2) Badan Usaha Milik Negara Sebelum Tahun 1990

      Pada akhir 1989, perusahaan publik menyumbang hampir semua
sektor 'modern' industri, menyediakan diperkirakan 16.000 pekerjaan atau
sekitar 10% dari kekuatan non-pertanian total tenaga kerja (Chit, 1998: 19-
20). Sekitar sepertiga dari perusahaan-perusahaan, terutama yang
terbesar, yang dikelola secara terpusat, sedangkan sisanya ditempatkan di
bawah pengawasan pemerintah provinsi dan kabupaten. Tiga perempat
dari mereka bergerak di bidang manufaktur, yang lain dalam konstruksi,
listrik pertambangan, dan.


                                      tabel 1
                   Badan Usaha Milik Negara di Lao PDR


                                           1989    1994     Jan 1998
          Jumlah BUMN                     640      NA      55
          yang terpusat dikendalikan      200      74      35
          % Dari GNP                      NA       NA      50,5%
          Jumlah karyawan di BUMN         16.000   NA      10.460


      Sebelum pengenalan NEM pada tahun 1985, BUMN tidak memiliki
otonomi operasi. Sebagai imbalan untuk subsidi negara, mereka
diwajibkan untuk mentransfer kembali ke anggaran negara, di bawah
bentuk kontribusi, semua surplus operasi mereka dan mengembalikan
pinjaman yang mereka terima dari pemerintah untuk modal investasi
mereka.
      Pada Maret 1988, BUMN menjadi bebas untuk pertama kalinya
untuk memutuskan tingkat produksi mereka, kebijakan upah dan harga,
dan rencana investasi. Pada saat yang sama, subsidi dan transfer modal
dari segala macam kepada BUMN dihentikan. Hal ini disebabkan
tantangan serius bagi BUMN kebanyakan karena mereka berjuang untuk
mengatasi dengan situasi baru.


   3) Strategi Privatisasi

      Awalnya, Keputusan tentang Privatisasi Maret 1988 ditujukan untuk
memperkuat      kegiatan     sektor   swasta    dengan    mengurangi   peran
mendominasi sektor negara. Keputusan itu, bagaimanapun, gagal untuk
memberikan pedoman yang diperlukan untuk privatisasi, seperti pemilihan
perusahaan yang akan diprivatisasi, prosedur penilaian aset, dan standar
penawaran. Barulah pada tahun 1990-an bahwa olahraga menjadi lebih
sistematis dan praktis. Perusahaan-perusahaan calon harus dipilih
berdasarkan kriteria berikut: (1) biaya untuk anggaran, (2) kebutuhan
modal, (3) daya tarik bagi investor, dan (4) kemampuan pekerja untuk
mengelola      atau   memiliki    perusahaan.      Faktor    lain   yang        juga
dipertimbangkan,      seperti    ukuran     perusahaan,     kemampuan          untuk
melakukan penilaian aset dapat diterima, dan dampak yang diharapkan
kerja.


   4) Awal Hasil Privatisasi

         Setelah awal yang lambat, proses privatisasi dipercepat dalam
beberapa tahun terakhir. Antara 1989-1992, tiga puluh sembilan BUMN
yang diprivatisasi dengan total nilai US $ 41,4 juta. Selama 1993-1994,
batch lain dari 25 perusahaan yang ditambahkan ke dalam daftar dengan
aset keseluruhan sebesar $ AS 26,8 juta.
         Meskipun 64 perusahaan awalnya dilaporkan telah diprivatisasi,
hanya 60 di antaranya dapat dikonsolidasikan dalam hal mode privatisasi
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2, karena inkonsistensi dalam sistem
pelaporan (Chit, 1988: 71 & 72).
                                       tabel 2
                           Awal Hasil Privatisasi
                                  (1989-1994)


                                             Model Privatisasi
Tahun        Nr. BUMN                              Dibeli/
                          Disewa/Leased                             Terjual/Sold
                                                 Purchased
1989             2                 2
1990             3                 3
1991             11               10                                       1
1992            24                20                  1                    3
1993            14                 9                  1                    4
1994             7                 4                                       3
Total           60                47                  2                 11
         Sumber: Chit (1998, Lampiran 1, hlm 71-72)
Dengan demikian, pada akhir tahun 1994, tujuh puluh delapan dari 60
BUMN diprivatisasi yang disewakan, 19% dijual (langsung), dan 3% yang
dibeli. Kepemilikan baru dibagi antara investor domestik (42%), usaha
patungan (26%), dan investor asing (32%) (Gambar 1a dan 1b).


                              Gambar 1a&b




Sejauh ini, belum ada dampak negatif yang serius terhadap lapangan
kerja sebagai akibat langsung dari privatisasi. Secara resmi, laporan dari
Kantor Tetap Komite Privatisasi (POPC) pada 28 BUMN diprivatisasi
mengungkapkan bahwa ada penurunan dari 14% pada total 3.459 pekerja
incumbent, seperti 430 dari mereka dibuat berlebihan (sebagian besar
pensiun dini dan erosi alami ) setelah perusahaan-perusahaan mengubah
status mereka (Chit, 1998: 22). Data yang tersedia juga menunjukkan
bahwa kontingen besar pekerja yang diserap oleh perusahaan diambil alih
oleh investor asing dan perusahaan patungan. Hal ini mengamati bahwa
kehilangan pekerjaan sering lebih rendah di perusahaan-perusahaan
melakukan divestasi dengan kelompok pertama daripada pemilik lokal,
mungkin karena mantan secara finansial lebih layak untuk menanggung
kerja berlebih dan lebih bersedia untuk melatih dan mengembangkan
tenaga kerja yang ada (Chit, 1998: 22) .
5) Implementasi Tanggung Jawab

      Meskipun kementerian sangat penting untuk pelaksanaan program
privatisasi, mereka tetap tidak terlibat dalam pengawasan proses.
Sebelum tahun 1992, tanggung jawab pelaksanaan beristirahat dengan
Ekonomi Mekanisme Keuangan New Committee (NEMFC) di bawah
Kementerian   Ekonomi,   Perencanaan    dan   Keuangan.    Setelah   itu,
tanggung jawab untuk perumusan kebijakan dipindahkan ke Komite
Privatisasi Komite Perencanaan dan Kerjasama (BPK), sedangkan
pelaksanaan kebijakan ditugaskan ke Kantor Tetap Komite Privatisasi
(POPC) pada bulan Maret 1993. Namun, karena kurangnya sumber daya
dan informasi, badan pelaksana didelegasikan kepada kementerian tugas
untuk mengidentifikasi, mengklasifikasi, menghargai, dan memprioritaskan
perusahaan untuk privatisasi, dan tetap hanya pengawasan keseluruhan
proses.


   6) Hadir Status Badan Usaha Milik Negara

      Tentunya, kemajuan yang signifikan telah dibuat sejak awal
program privatisasi dengan dampak kecil terhadap lapangan kerja. Untuk
waktu mendatang, program ini akan tetap menjadi inti dari liberalisasi
ekonomi negara. Perbaikan lebih lanjut ke dalam BUMN yang ada akan
membantu Laos meletakkan dasar yang kokoh bagi pembangunan
berkelanjutan di masa depan.


   7) Jenis BUMN

Menurut sebuah laporan dari Kantor Perdana Menteri, ada dua jenis
utama dari BUMN (Chit, 1998:25):
      Pelayanan publik BUMN, dan
      Berorientasi bisnis BUMN.
      Kategori pertama melibatkan mereka menyediakan kebutuhan
dasar bagi masyarakat dan pada prinsipnya, adalah perusahaan nirlaba.
Mereka digunakan untuk menikmati hak istimewa besar dan subsidi dari
negara dan, dalam prakteknya, sangat didukung oleh program bantuan
internasional, e. g, Nampapa Lao dan Electricite du Laos (EDL),.
kebanyakan dari mereka adalah media sampai dengan ukuran yang lebih
besar setelah bekerja antara 20 dan 100 dan lebih pekerja masing-
masing.
      Sebaliknya,   berorientasi   bisnis   BUMN   yang   mencari     laba
perusahaan yang memiliki otonomi penuh di bidang keuangan dan semua
aktivitas operasi lainnya. Dalam prakteknya, kementerian pemerintah dan
garis cadangan kewenangan untuk campur tangan bila diperlukan,
terutama dalam menentukan ruang lingkup operasi, menyediakan
pedoman, dan bahkan memutuskan hal-hal personel dari unit-unit ini.


   8) Masalah Konsolidasi

      Sulit untuk menyimpulkan pada jumlah yang tepat dan konsisten
dari BUMN di Laos. Ini mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa
wewenang atas BUMN dapat umum bersama oleh kementerian,
Departemen Keuangan, Kantor Perdana Menteri, Bank Nasional, dan
pemerintah daerah. Menurut dokumen PBB yang diterbitkan pada tahun
1997, tiga puluh satu perusahaan publik yang diperkirakan akan
dipertahankan di bawah kepemilikan negara di seluruh negeri. Namun,
dalam laporan resmi dari Kantor Perdana Menteri, jumlah ini didirikan di
sekitar 90 pada akhir tahun itu (Chit, 1998: 28). Sebuah survei melalui
organisasi pemerintah terkait dan lembaga yang dilakukan oleh penelitian
ini pada bulan Januari 1998 menunjukkan bahwa jumlah konsolidasi akan
35, tidak termasuk yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Peran yang
terakhir (20 unit total) tidak signifikan dalam ukuran dan ruang lingkup.
Perbedaan dalam jumlah BUMN adalah karena sistem pelaporan yang
tidak konsisten dan duplikasi kepemilikan atas BUMN antara pemerintah
pusat dan daerah di negara ini.
9) Struktur manajemen

      Secara resmi, BUMN terpusat dikendalikan harus dikelola oleh
sebuah Dewan Eksekutif (EC) yang biasanya terdiri dari 5 sampai 7
anggota yang mewakili Departemen Keuangan, Kantor Perdana Menteri,
Bank Nasional, kementerian lini ditambah Direktur perusahaan. Pada
kenyataannya, tubuh ini hanya ada di nama di BUMN sebagian.


   10) Distribusi dan Bidang Tanggung Jawab

      BUMN terutama dimiliki oleh pemerintah pusat dan dioperasikan di
bawah pengawasan kementerian. Sebagian besar BUMN yang dikelola
terpusat yang menengah berukuran besar dan memainkan 'strategis'
peran dalam mendukung pembangunan sosial-ekonomi nasional seperti
listrik, air bersih, dan telekomunikasi yang bermarkas terletak di ibukota
Vientiane dengan layanan besar mereka cabang di provinsi-provinsi.
      Sebagian besar BUMN lokal telah ditransfer dari kepemilikan pusat.
Mereka dalam ukuran kecil, menggunakan kurang dari 20 pekerja dan
memiliki ruang lingkup operasi yang terbatas, yang pada akhirnya dapat
dibubarkan karena manajemen yang buruk, kurangnya tujuan bisnis yang
jelas, atau studi kelayakan tidak pantas.


   11) Masalah Menghadapi BUMN

Menurut sebuah laporan dari Kantor Perdana Menteri (1997),
permasalahan yang ada dan tantangan yang dihadapi oleh BUMN dapat
diringkas sebagai berikut:
      Kurangnya kontrol terpusat dan audit. Ada konflik konstan dalam
      kontrol di antara kementerian, Departemen Keuangan dan Kantor
      Perdana Menteri.
      Kurangnya status beton dan realistis, strategi perusahaan dan
      otonomi didefinisikan dengan baik.
      Menghadapi persaingan dari manajer terampil dan berpengalaman
      lokal dan asing, terutama setelah Laos menjadi anggota ASEAN.
Evolusi teknologi yang dinamis membutuhkan tenaga kerja
      berkualitas yang seluruh negeri ini sangat perlu.
      Kurangnya pengetahuan dan keterampilan manajemen, terutama
      dalam ekonomi pasar, kekurangan serius dari manajer profesional
      dan kompeten.
      Pendidikan yang rendah tingkat karyawan.
      Karyawan yang rendah 'gaji dapat menyebabkan luas' brain drain
      'ke sektor swasta.
      Keputusan jelas dan lambat dari pembuat kebijakan menghambat
      upaya BUMN untuk meningkatkan tingkat efektifitas dan efisiensi.
      Konflik antara praktek saat ini dan peraturan baru akan lebih
      mempersulit tanggung jawab lini dan dukungan antara kementerian
      dan lembaga terkait.
   Kebingungan dalam jumlah yang tepat dan kepemilikan BUMN
   bersama-sama dengan masalah internal mereka manajerial tentu akan
   membuat sulit untuk merencanakan dan mengantisipasi kebutuhan
   untuk pengembangan sumber daya manusia dalam periode pasca-
   privatisasi.


   12) Pedoman untuk Meningkatkan BUMN

      Meskipun manfaat awal privatisasi dan reformasi, BUMN saat ini
beroperasi dalam situasi yang sangat dinamis dan kritis. Hanya sebagian
dari mereka melanjutkan operasi normal mereka, sedangkan sisanya tidak
yakin tentang keberadaan masa depan mereka. Namun, beberapa BUMN
tambahan direncanakan akan dibuat segera. Secara umum, situasi saat
ini BUMN dapat digambarkan sebagai berikut:
      melanjutkan operasi normal;
      menjalani reorganisasi atau restrukturisasi untuk meningkatkan
      efisiensi;
      dalam proses audit;
      dalam persiapan untuk privatisasi;
menunggu keputusan dari pusat;
      melakukan studi kelayakan untuk bisnis masa depan yang
      direncanakan, dan
      bersiap-siap untuk dikonversi menjadi unit-unit administrasi.
Sebuah laporan yang ditulis oleh Deputi Menteri Kantor Perdana Menteri
yang dikeluarkan Mei 1996 menyediakan pedoman pemerintah untuk
masalah ini. Ini menekankan pentingnya langkah-langkah yang berkaitan
dengan restrukturisasi organisasi, sistem manajemen dan sumber daya
manusia dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
BUMN yang tersisa. Poin-poin berikut merupakan inti dari upaya
reformasi:
      Pelayanan publik BUMN bisa disubsidi oleh pemerintah dalam
      kasus yang diperlukan, untuk menjamin penyediaan layanan yang
      dibutuhkan untuk masyarakat.
      Mencari keuntungan BUMN harus diberikan otonomi penuh dalam
      operasi serta di bidang keuangan. Negara menyediakan modal dan
      dukungan manajemen dan pedoman kebijakan, tetapi tidak untuk
      mensubsidi mereka.
      BUMN harus direstrukturisasi dalam ukuran yang tepat sesuai
      dengan kapasitas manajemen yang ada dan kondisi teknologi
      produksi.
      Sebuah sistem informasi yang komprehensif dan dapat diandalkan
      (bank data, studi penelitian, dll) harus ditetapkan sebagai dasar
      untuk rencana perbaikan dan pengembangan BUMN.
      Tergantung pada analisis situasi dan studi kelayakan, keputusan
      akan diambil untuk BUMN yang diberikan seperti yang ditunjukkan
      pada Tabel 3.
      Mengubah beberapa BUMN yang penting bagi kementerian, tetapi
      membuat kerugian besar dalam bisnis, menjadi unit-unit
      administrasi.
      Mengeluarkan undang-undang yang realistis dan efektif mengenai
      milik negara dan BUMN.
Meningkatkan manajemen BUMN menjadi sistem yang efisien
        mampu beroperasi dalamotonomi penuh, dengan mengaktifkan
        peran Komisi Eropa, fungsi, dan otonomi dalampengambilan
        keputusan, dan menyiapkan Status beton untuk setiap BUMN,
        merumuskanstrategi jangka pendek dan jangka panjang membuat
        mereka responsif terhadap bisnis lingkungan.
        Merekrut dan memilih orang-orang yang berkualitas, kompeten dan
        berbakat untuk BUMN, menekankan pelatihan sumber daya
        manusia dan pembangunan di BUMN di seluruh papan.
        Agar efektif, setiap BUMN harus memiliki anggaran yang tepat
        untuk pelatihan dan pengembangan.


Titik   terakhir   menunjukkan    perhatian   khusus      pemerintah    untuk
pengembangan sumber daya manusia, menggunakannya sebagai mesin
untuk meningkatkan kinerja BUMN biasa-biasa saja.


                                    Tabel 3
         Opsi-opsi Strategis untuk Meningkatkan Kinerja BUMN
                                               Prestasi
                              Efektif                TidakEfektif
                                              Cari tahu penyebab dan
                                              memperbaiki.
                Penting     Promosikan        Dikonversi menjadi unit
                                              administratif.
Kategori
 BUMN                                               Melepaskan
                                                    Menjual habis
            TidakPenting Promosikan                 Usaha patungan
                                                    Menggabungkan




Catatan:    'Efektif'   = membuat    keuntungan,   'tidak efektif' =    tidak
menguntungkan; 'Penting' = BUMN yang memainkan 'peran penting'
dalam masyarakat, misalnya. keamanan, pertahanan, pembangunan
pedesaan, dll, sisanya dapat dilihat sebagai 'tidak penting' dan karenanya
dapat diprivatisasi.


C. Penutup

       Kebijakan privatisasi yang dikembangkan Indonesia memiliki warna
yang berbeda dengan yang dikembangkan oleh Laos. Hal ini pun
kemudian berlanjut pada perbedaan hasil dari penerapan privatisasi pada
kedua negara tersebut. Secara umum, privatisasi di Laos menunjukan
keberhasilan yang tinggi, dan banyak memberikan manfaat kepada
banyak pihak, baik BUMN yang diprivatisasi, pemerintah maupun bagi
masyarakat. Meskipun privatisasi di Malaysia juga membawa ekses lain
seperti kenaikan harga pelayanan publik. Sedangkan pada Indonesia,
privatisasi diakui oleh pemerintah telah meningkakan kinerja BUMN yang
diprivatisasi dan juga dapat meningkatkan jumlah kapital yang diperoleh
pemerintah. Akan tetapi kapital yang diterima pemerintah dianggap
banyak pihak tidak sepadan dengan nilai yang mestinya diterima.
       Tentu saja, banyak faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil dari
privatisasi pada kedua negara tersebut. Namun terkait dengan penerapan
kebijakan privatisasi ini, untuk peningkatan kinerja privatisasi di Indonesia
pada masa mendatang sepertinya pemerintah Indonesia perlu belajar dari
Laos. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian para pengambil
kebijakan privatisasi di Indonesia antara lain adalah:
1. Komitmen pemerintah terhadap kebijakan investasi. Pemerintah Laos
   memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap privatisasi. Economic
   Planning Unit memiliki kewenangan untuk menangani privatisasi
   BUMN Laos, dan bertangungjawab langsung kepada Perdana Menteri.
   Demikian pula, kebijakan privatisasi dirancang dengan baik, melalui
   penyusunan Privatization Masterplan yang berkesinambungan dan
   dirancang ulang setiap lima tahun. Selain itu, strategi privatisasi yang
   telah dicanangkan juga benar-benar dilaksanakan, sehingga pada
akhirnya tujuan privatisasi untuk meningkatkan kinerja BUMN,
   mengurangi beban administrasi dan keuangan pemerintah. Integrasi
   strategi non-divestiture dalam kebijakan privatisasi. Bagi pemerintah
   Laos, penjualan asset baru dilakukan setelah BUMN benar-benar
   memiliki ”nilai jual”. Sebelum nilai tersebut tercapai, maka BUMN
   diprivatisasi melalui strategi non-divestiture. Pada periode tahun 1983-
   1990, 1991-1995, dan 1996-2000, jumlah proyek yang diprivatisasi
   melalui metode non-divestiture rata-rata sebanding dengan jumlah
   proyek yang diprivatisasi melalui divestiture.
2. Privatisasi dimaknai bukan hanya penjualan asset. Sebagai strategi
   untuk meningkatkan kinerja BUMN dalam pemberian pelayanan publik,
   privatisasi juga mencakup berbagai metode yang menekankan
   pengalihan peran atau fungsi penyediaan pelayanan publik tanpa
   dibarengi dengan pengalihan kepemilikan pemerintah kepada swasta.
   Beberapa metode dimaksud antara lain, management contracts,
   leases, concessions, contracting out, dan joint venture.
      Belajar dari keberhasilan penerapan privatisasi di Laos, maka
banyak hal yang harus diperbaiki oleh pemerintah Indonesia untuk
penerapan kebijakan privatisasi di masa mendatang. Kebijakan privatisasi
di Indonesia dan penerapannya harus dievaluasi ulang. Dalam hal ini,
kebijakan privatisasi di Laos dapat digunakan sebagai acuan dalam
formulasi kebijakan dan strategi privatisasi di Indonesia. Namun demikian,
Indonesia harus tetap hati-hati dalam pengambilan kebijakan tersebut,
karena laos dan Indonesia bagaimanapun juga memiliki karakteristik yang
berbeda, terutama dalam bidang ekonomi.

Weitere ähnliche Inhalte

Empfohlen

Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)contently
 
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024Albert Qian
 
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie InsightsSocial Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie InsightsKurio // The Social Media Age(ncy)
 
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024Search Engine Journal
 
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
5 Public speaking tips from TED - Visualized summarySpeakerHub
 
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd Clark Boyd
 
Getting into the tech field. what next
Getting into the tech field. what next Getting into the tech field. what next
Getting into the tech field. what next Tessa Mero
 
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search IntentGoogle's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search IntentLily Ray
 
Time Management & Productivity - Best Practices
Time Management & Productivity -  Best PracticesTime Management & Productivity -  Best Practices
Time Management & Productivity - Best PracticesVit Horky
 
The six step guide to practical project management
The six step guide to practical project managementThe six step guide to practical project management
The six step guide to practical project managementMindGenius
 
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...RachelPearson36
 
Unlocking the Power of ChatGPT and AI in Testing - A Real-World Look, present...
Unlocking the Power of ChatGPT and AI in Testing - A Real-World Look, present...Unlocking the Power of ChatGPT and AI in Testing - A Real-World Look, present...
Unlocking the Power of ChatGPT and AI in Testing - A Real-World Look, present...Applitools
 
12 Ways to Increase Your Influence at Work
12 Ways to Increase Your Influence at Work12 Ways to Increase Your Influence at Work
12 Ways to Increase Your Influence at WorkGetSmarter
 
Ride the Storm: Navigating Through Unstable Periods / Katerina Rudko (Belka G...
Ride the Storm: Navigating Through Unstable Periods / Katerina Rudko (Belka G...Ride the Storm: Navigating Through Unstable Periods / Katerina Rudko (Belka G...
Ride the Storm: Navigating Through Unstable Periods / Katerina Rudko (Belka G...DevGAMM Conference
 
Barbie - Brand Strategy Presentation
Barbie - Brand Strategy PresentationBarbie - Brand Strategy Presentation
Barbie - Brand Strategy PresentationErica Santiago
 
Good Stuff Happens in 1:1 Meetings: Why you need them and how to do them well
Good Stuff Happens in 1:1 Meetings: Why you need them and how to do them wellGood Stuff Happens in 1:1 Meetings: Why you need them and how to do them well
Good Stuff Happens in 1:1 Meetings: Why you need them and how to do them wellSaba Software
 

Empfohlen (20)

Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
 
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
 
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie InsightsSocial Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
 
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
 
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
 
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
 
Getting into the tech field. what next
Getting into the tech field. what next Getting into the tech field. what next
Getting into the tech field. what next
 
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search IntentGoogle's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
 
How to have difficult conversations
How to have difficult conversations How to have difficult conversations
How to have difficult conversations
 
Introduction to Data Science
Introduction to Data ScienceIntroduction to Data Science
Introduction to Data Science
 
Time Management & Productivity - Best Practices
Time Management & Productivity -  Best PracticesTime Management & Productivity -  Best Practices
Time Management & Productivity - Best Practices
 
The six step guide to practical project management
The six step guide to practical project managementThe six step guide to practical project management
The six step guide to practical project management
 
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
 
Unlocking the Power of ChatGPT and AI in Testing - A Real-World Look, present...
Unlocking the Power of ChatGPT and AI in Testing - A Real-World Look, present...Unlocking the Power of ChatGPT and AI in Testing - A Real-World Look, present...
Unlocking the Power of ChatGPT and AI in Testing - A Real-World Look, present...
 
12 Ways to Increase Your Influence at Work
12 Ways to Increase Your Influence at Work12 Ways to Increase Your Influence at Work
12 Ways to Increase Your Influence at Work
 
ChatGPT webinar slides
ChatGPT webinar slidesChatGPT webinar slides
ChatGPT webinar slides
 
More than Just Lines on a Map: Best Practices for U.S Bike Routes
More than Just Lines on a Map: Best Practices for U.S Bike RoutesMore than Just Lines on a Map: Best Practices for U.S Bike Routes
More than Just Lines on a Map: Best Practices for U.S Bike Routes
 
Ride the Storm: Navigating Through Unstable Periods / Katerina Rudko (Belka G...
Ride the Storm: Navigating Through Unstable Periods / Katerina Rudko (Belka G...Ride the Storm: Navigating Through Unstable Periods / Katerina Rudko (Belka G...
Ride the Storm: Navigating Through Unstable Periods / Katerina Rudko (Belka G...
 
Barbie - Brand Strategy Presentation
Barbie - Brand Strategy PresentationBarbie - Brand Strategy Presentation
Barbie - Brand Strategy Presentation
 
Good Stuff Happens in 1:1 Meetings: Why you need them and how to do them well
Good Stuff Happens in 1:1 Meetings: Why you need them and how to do them wellGood Stuff Happens in 1:1 Meetings: Why you need them and how to do them well
Good Stuff Happens in 1:1 Meetings: Why you need them and how to do them well
 

Privatisasi di laos

  • 1. A. Privatisasi Di Negara Indonesia Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia adalah negara Kesatuan, dengan luas wilayah 1,9 juta mil persegi. Di tahun 2007 jumlah penduduk Indonesia mencapai sekitar 238 juta jiwa yang tersebar pada 33 privinsi, Kabupaten/Kota. Secara ekonomi, Indonesia pernah menjadi negara yang disegani di Asia Tenggara. Namun setelah krisis 1997, ekonomi negara ini mengalami keterpurukan. Pada beberapa tahun terakhir, meskipun lambat negara ini mulai bangkit sehingga pertumbuhan PDB Indonesia pada tahun 2004 mencapai 5 %. Setelah itu pertumbuhan PDB meningkat menjadi 5,7 % pada Tahun 2005 dan 5,5 % pada Tahun 2006. Privatisasi di Indonesia mulai dilaksanakan sekitar tahun 1990an, setelah diterbitkannya Keppres No. 5/1988 yang berisi antara lain ketentuan tentang restrukturisasi, merger, dan privatisasi BUMN. BUMN yang pertama diprivatisasi adalah PT Semen Gresik pada Tahun 1991, melalui pelepasan 27 % saham pemerintah ke pasar modal. Tahap berikutnya, pada tahun 1994 pemerintah melepas 10 % sahamnya dari PT Indosat. Adapun tujuan utama privatisasi pada saat itu adalah untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi dan nilai tambah BUMN. Disadari oleh pemerintah Indonesia bahwa sebagian besar BUMN memiliki kinerja yang rendah, sehingga tidak mampu memberikan kontribusi yang memadai bagi negara. Pada tahun 1990/1991 kontribusi BUMN dari dividen adalah Rp. 1,096 triliun atau 46 % dari total penerimaan bukan pajak yang sebesar Rp. 2,383 triliun. Pada tahun 1995/1996 kontribusi BUMN dari dividen meningkat menjadi Rp. 1,477 triliun, tetapi proporsinya terhadap total penerimaan bukan pajak hanya 14 % dari Rp. 7,801 triliun. Penurunan ini juga nyata pada kontribusi pajak penghasilan (PPh) yang diterima dari BUMN terhadap total penerimaan pajak. Pada Tahun 1990/1991, penerimaan pajak dari PPh BUMN mencapai Rp. 1,438 triliun atau 41,2 % dari total penrimaan pajak sebesar Rp. 3,489 triliun. Selanjutnya, pada
  • 2. tahun 1995/1996 penerimaan pajak dari PPh BUMN meskipun mengalami kenaikan menjadi Rp. 2,020 triliun tetapi hanya merupakan 9,8 % dari total penerimaan pajak tahun tersebut. Demikian pula halnya dengan profitabilitas BUMN. Meskipun terjadi peningkatan asset BUMN dari tahun 1990/1991 yang senilai Rp. 179,153 triliun menjadi Rp. 312,802 triliun di Tahun 1995/1996 (peningkatan sekitar 75 %), laba BUMN hanya meningkat 12 % pada kurun waktu tersebut. Dalam perkembangan kemudian, seiring dengan memburuknya ekonomi negara, tujuan privatisasi kemudian lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan keuangan Negara. Strategi utama privatisasi BUMN, oleh karenanya adalah divestiture (divestasi) yaitu dengan pengalihan asset pemerintah yang terdapat pada BUMN kepada pihak lain. Sampai dengan pertengahan tahun 1997 pemerintah telah berhasil melakukan privatisasi saham minoritas atas kepemilikan saham mayoritas yang dimilikinya pada sejumlah BUMN termasuk penawaran saham perdana untuk 6 perusahaan yaitu Telkom, Indosat, Tambang Timah, Aneka Tambang, Semen Gresik dan BNI. Proses penjualan asset ini terus berlanjut. Pada tahun 1998/1999 dilakukan privatisasi atas sejumlah perusahaan termasuk Semen Gresik, Telkom (lanjutan), Pelindo, Indosat, Kimia Farma, Bank Mandiri, dan lainnya. Namun berbeda dengan proses privatisasi di Indonesia untuk kurun waktu 1994 sampai 1997 yang tidak pernah mengalami hambatan, privatisasi yang dilakukan setelah tahun 1997 terlihat banyak sekali mengalami hambatan tidak hanya dari pihak legislatif dan karyawan namun juga dari masyarakat yang sangat reaktif terhadap setiap usaha yang mengarah ke privatisasi BUMN yang mencapai puncaknya pada proses spin off Semen Padang. Privatisasi terus dilakukan dari tahun ketahun. Pada tahun 2002, pemerintah menyusun Masterplan BUMN 2002-2006 sebagai pedoman untuk reformasi BUMN yang dilakukan untuk kurun waktu 2002-2006. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah juga menyusun Masterplan 2005-2009. Pada masa ini, privatisasi tidak
  • 3. mendapatkan reaksi yang keras sebagaimana diterima pemerintahan sebelumnya. Pada tahun 2008, dari total jumlah BUMN yang mencapai 140 perusahaan, sudah sekitar 10 % yang diprivatisasi. 1) Metode Privatisasi Sejak privatisasi dikenalkan pertama kali sampai waktu sekarang ini, strategi privatisasi adalah divestiture. Hal ini dapat dipahami, karena pemahaman pemerintah tentang privatisasi adalah penjualan saham pemerintah yang terdapat pada Persero. Dalam penjualan saham pemerintah ini, pada awalnya pemerintah mengembangkan dua metode, yaitu penjualan saham kepada masyarakat melalui penawaran langsung dan penjualan saham secara langsung kepada mitra strategis. Pada perkembangan kemudian, metode penjualan diperluas menjadi tiga metode privatisasi, meliputi : a. penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal; b. penjualan saham langsung kepada investor; c. penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan yang bersangkutan. Dari ketiga metode ini, kemudian dikenal adanya initial public offering (IPO), strategic sales (SS), placement, dan emloyee managemnet buy out (EMBO). Adapun BUMN yang sudah diprivatisasi sejak tahun 1991 hingga 2004, beserta metode privatisasnya adalah sebagaimana ditunjukan dalam Tabel . berikut: Tabel Metode Privatisasi BUMN Tahun BUMN Metode privatisasi 1991 PT Semen Gresik Tbk IPO 1994 PT Indosat, Tbk IPO 1995 PT Tambang Timah, Tbk IPO PT Telkom, Tbk IPO
  • 4. 1996 PT BNI, Tbk IPO 1997 PT Aneka Tambang, Tbk IPO 1998 PT Semen Gresik, Tbk SS 1999 PT Pelindo II SS PT Pelindo III SS PT Telkom, Tbk Placement 2001 PT Kimia Farma, Tbk IPO PT Indofarma, Tbk IPO PT Sucofindo SS PT Telkom, Tbk Placement 2002 PT Indosat, Tbk Placement/SS PT Telkom, Tbk Placement PT Tambang Batubara Bukit Asam, Tbk IPO PT WNI SS 2003 PT Bank Mandiri, Tbk IPO PT Indocement TP, Tbk SS PT BRI, Tbk IPO PT PGN, Tbk IPO 2004 PT Pembangunan Perumahan EMBO PT Adhi Karya EMBO/IPO PT Bank Mandiri, Tbk Placement PT Tambang Batubara Bukit Asam, Tbk SS Catatan: IPO: Initial public offering SS : Strategic Sales EMBO: Employee Managemet Buy Out Sementara strategi non-divestiture yang diterapkan oleh pemerintah adalah restrukturisasi. Pada strategi ini, pemerintah menetapkan tiga kebijakan pokok, meliputi::
  • 5. 1) peningkatan intensitas persaingan usaha, terutama di sektor-sektor yang terdapat monopoli, baik yang diregulasi maupun monopoli alamiah; 2) penataan hubungan fungsional antara pemerintah selaku regulator dan BUMN selaku badan usaha, termasuk di dalamnya penerapan prinsip- prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan menetapkan arah dalam rangka pelaksanaan kewajiban pelayanan publik; 3) restrukturisasi internal yang mencakup keuangan, organisasi/ manajemen, operasional, sistem, dan prosedur. Hanya saja strategi restrukturisasi ini tidak populer bagi pemerintah, meskipun sejak tahun 1998 strategi ini telah diperkenalkan ke publik. Beberapa metode yang dikembangkan dari restrukturiasasi antara lain adalah pembentukan holding company dan merger/akuisisi antar BUMN. 2) Manfaat Privatisasi Dalam menghadapi situasi krisis ekonomi, penjualan asset BUMN telah menjadi strategi utama pemerintah Indonesia. Pada tahun 2001 proporsi hasil privatisasi terhadap PDB adalah 0,5 %. Sedangkan pada tahun 2002 angka tersebut menurun menjadi 0,2 % terhadap PDB. Dengan berkurangnya jumlah BUMN, hal ini bearti juga semakin berkurangnya beban administrasi pemerintah. Namun demikian, dari seluruh proyek privatisasi yang dilakukan pemerintah, beberapa kasus dinilai banyak pihak justru merugikan negara. Kasus-kasus privatisasi yang dinilai tidak menguntungkan antara lain adalah sebagaimana ditunjukan dalam Tabel . berikut:
  • 6. Tabel Beberapa Kasus Privatisasi BUMN yang Dinilai Tidak Menguntungkan No BUMN Keterangan . 1. Semen Privatisasi (private placement) atas SG pada tahun Gresik (SG, 1998 merugikan negara dalam dua hal. Pertama, 1998) transaksi ini menghasilkan kontrak jual beli (conditional sale and purchase agreement/CSPA) yang merugikan Pemerintah RI. Kedua, Pemerintah RI tidak memperoleh harga yang adil. CSPA menyebutkan Cemex yang hanya memiliki 14% saham (lalu menjadi 25,53% setelah membeli saham milik publik) memiliki kekuasaan setara dengan Pemerintah RI yang mempunyai 51% saham. Cemex mendapat jatah wakil direktur utama dan wakil komisaris di jajaran manajemen, yang kekuasaannya sama dengan direktur utama dan komisaris utama. Setiap pengambilan keputusan direktur utama dan komisaris utama (yang orang Indonesia) harus mendapat persetujuan dari wakilnya. Transaksi jual beli saham SG ke Cemex juga merugikan karena Pemerintah RI tidak memperoleh harga adil (fair value) alias terlalu murah (undervalued). Harga SG yang terlalu murah ini dapat dikonfirmasikan berdasar data pembanding negara-negara tetangga (Vietnam, Filipina, China, dan Bangladesh) yang dilaporkan majalah Asia Cement (1998). Lorenzo H Zambrano, bos Cemex, dalam Annual Report Cemex 1998, mengakui bahwa "pembelian saham Semen Gresik itu amat menguntungkan Cemex". Kepada para pemegang
  • 7. saham, ia mengklaim keberhasilannya membeli saham SG dengan harga murah (favorable price). 2. BCA, dikelola Divestasi 51% saham BCA pada tahun 2002 dengan BPPN (2002) perolehan dana sekitar Rp5,345 trliun sangat merugikan. Ini mengingat, dana rekapitalisasi BCA mencapai Rp59,7 triliun. Setelah mendapatkan Rp5,345 triliun, Pemerintah RI masih menanggung biaya bunga obligasi rekap. Pada akhir 2002, BCA memiliki portofolio obligasi rekap Rp47,7 triliun. Bila menggunakan bunga SBI 8% sebagai patokan (konservatif), dengan rata-rata obligasi rekap BCA (2002-2006) sekitar Rp36,5 triliun, berarti BCA membukukan pendapatan bunga dari pembayaran obligasi rekap sebesar Rp2,9 triliun. Sementara, ratarata laba bersih BCA dalam kurun waktu 5 tahun terakhir sekitar Rp3,2 triliun. Itu artinya, sekitar 90% dari laba bersih BCA berasal dari pembayaran bunga rekap Pemerintah RI. 3. Indosat Sebelum Mei 2002, Indosat bersama Deutsche (2002) Telekom (DT) memiliki Satelindo dengan struktur kepemilikan Indosat 75% dan 25%. Mei 2002, Indosat membeli 25% saham DT di Indosat dengan harga $325 juta. Akibat transaksi ini, maka nilai (value) Satelindo 100%-nya adalah $1,3 miliar. Setelah transaksi ini, berarti Indosat memiliki 100% saham Satelindo. Pada Oktober 2002, STT Telemedia (Singapura) membeli 41,94% saham pemerintah di PT. Indosat dengan harga $624 juta. Dengan kata lain, 100% saham PT Indosat dihargai oleh STT senilai $1,487 miliar. Karena harga 100% Satelindo sebesar $1,3 miliar, maka itu artinya, harga 100% saham Indosat minus Satelindo hanya
  • 8. $187 juta. Dengan kata lain, 41,94% saham pemerintah di Indosat yang dibeli STT hanya dihargai sebesar $79 juta. Dengan harga $79 juta tersebut, kini STT telah menguasai bisnis satelit dan hak operator fixed-line. Dengan harga $79 juta tadi, STT juga menjadi penguasa mayoritas bisnis seluler di Indonesia. 4. PGN (2006) Penjualan saham PGN telah direncanakan sejak Agustus 2005. Saham PGN yang akan dijual sebanyak 5,8% (185 juta lembar saham). Ketika itu, harga saham PGN baru sekitar Rp5.500 per lembar. Namun, pelaksanaan privatisasi PGN baru dieksekusi pada Desember 2006 pada harga Rp11.350 atau premium Rp50 per lembar dibandingkan harga penutupan sebesar Rp11.300, namun lebih rendah dibandingkan harga pada Agustus 2006 yang mencapai Rp13.600 5. BNI (2007) Pemerintah memutuskan melepas sebanyak 3,95 miliar saham BNI dengan harga Rp2.050 per saham. Harga itu lebih murah 28% atau Rp800 dari harga pasar tertingginya Rp2.850 pada penutupan 25 Juli 2007. Selain itu, harga penjualan saham BNI juga ditetapkan di batas terbawah dari kisaran harga awal, yakni Rp2.050-Rp2.700 per saham. Dengan selisih Rp800 per saham, negara berpotensi kehilangan Rp3,16 triliun.
  • 9. B. Privatisasi Di Negara Laos Sebagai bagian dari transisi menuju ekonomi pasar, Rakyat Laos Republik Demokratik (Lao PDR) memulai program privatisasi pada tahun 1988 di bawah Mekanisme Ekonomi Baru (NEM) kerangka. Pada tahun 1996, pemerintah menjelaskan rencana privatisasi pelaksanaannya dengan menerbitkan daftar badan usaha milik negara (BUMN) yang akan dipertahankan dan yang akan diprivatisasi sepanjang 1997. Pada saat itu, 510 keluar dari 640 BUMN yang asli secara total mengubah status mereka. Sebuah tambahan 59 unit yang direncanakan untuk menjalani proses. Dengan demikian, pada akhir 1997, hanya 30 perusahaan yang diperkirakan akan tetap berada di bawah kontrol negara (Chit, 1998: 1). Meskipun jumlah mereka yang kecil, BUMN yang tersisa masih memegang posisi strategis dan memainkan peran penting dalam pembangunan negara. Akibatnya, BUMN mempekerjakan sekitar 3,4% dari total tenaga kerja PDR Laos non-pertanian dan memberikan kontribusi sekitar 50% dari produk nasional bruto negara (GNP). Seperti di negara-negara sosialis kebanyakan, BUMN di Laos sering menderita kerugian besar dan mengalami masalah manajerial banyak. Diperkirakan bahwa lebih dari 50% dari BUMN yang ada tidak dapat bertahan hidup tanpa subsidi keuangan negara dan perawatan istimewa (Chit, 1998:1). Dalam rangka meningkatkan tingkat efektivitas dan efisiensi BUMN yang saat ini beroperasi, pemeriksaan komprehensif seluruh struktur mereka dibutuhkan. Salah satu faktor keberhasilan yang paling penting adalah sumber daya manusia. Ini penawaran kertas dengan masalah pengembangan sumber daya manusia (SDM) dengan maksud untuk meningkatkan pos Status privatisasi BUMN di Laos. Temuan dari survei terhadap 10 BUMN yang dipilih (Lampiran 1) akan digunakan untuk menggambarkan saling ketergantungan antara faktor sumber daya manusia dan kinerja keseluruhan dari perusahaan.
  • 10. 1) Proses Privatisasi Sebagai tanggapan terhadap meningkatnya perhatian terhadap lemahnya kinerja sektor publik, pemerintah Laos mulai merumuskan strategi untuk privatisasi BUMN dan reformasi BUMN pada akhir 1980-an. Antara 1988-1990, penekanan diletakkan pada pemberian otonomi operasional yang lebih besar untuk BUMN dan ruang lingkup dari program privatisasi terutama terbatas pada usaha kecil. Pada awal Maret 1991, fokus program itu dialihkan untuk menyertakan perusahaan yang jauh lebih besar. Sebuah rencana yang lebih konkret diumumkan di mana semua tapi segelintir 'perusahaan strategis' harus diprivatisasi dalam waktu tiga tahun. Menurut Pasal 2 Keputusan No 17 tahun 1990, BUMN harus disimpan di bawah kontrol negara termasuk yang strategis harus "perekonomian, masyarakat, pertahanan, dan keamanan internal". Awalnya, industri ini menargetkan tertutup bisnis utama seperti pembangkit listrik dan distribusi, pos dan telekomunikasi, farmasi, perbankan dan asuransi, penerbangan komersial, pertambangan, logging, dan pertahanan nasional industri, dll Pada tahap selanjutnya, kampanye privatisasi memperluas ruang lingkup mempengaruhi semua industri, dengan pengecualian kehutanan dan pertahanan. Pembesaran lingkup membantu mempercepat proses, sehingga jumlah BUMN dari 640 pada tahun 1989 turun menjadi hanya 55 pada bulan Januari 1998 (Tabel 1). 2) Badan Usaha Milik Negara Sebelum Tahun 1990 Pada akhir 1989, perusahaan publik menyumbang hampir semua sektor 'modern' industri, menyediakan diperkirakan 16.000 pekerjaan atau sekitar 10% dari kekuatan non-pertanian total tenaga kerja (Chit, 1998: 19- 20). Sekitar sepertiga dari perusahaan-perusahaan, terutama yang terbesar, yang dikelola secara terpusat, sedangkan sisanya ditempatkan di bawah pengawasan pemerintah provinsi dan kabupaten. Tiga perempat dari mereka bergerak di bidang manufaktur, yang lain dalam konstruksi,
  • 11. listrik pertambangan, dan. tabel 1 Badan Usaha Milik Negara di Lao PDR 1989 1994 Jan 1998 Jumlah BUMN 640 NA 55 yang terpusat dikendalikan 200 74 35 % Dari GNP NA NA 50,5% Jumlah karyawan di BUMN 16.000 NA 10.460 Sebelum pengenalan NEM pada tahun 1985, BUMN tidak memiliki otonomi operasi. Sebagai imbalan untuk subsidi negara, mereka diwajibkan untuk mentransfer kembali ke anggaran negara, di bawah bentuk kontribusi, semua surplus operasi mereka dan mengembalikan pinjaman yang mereka terima dari pemerintah untuk modal investasi mereka. Pada Maret 1988, BUMN menjadi bebas untuk pertama kalinya untuk memutuskan tingkat produksi mereka, kebijakan upah dan harga, dan rencana investasi. Pada saat yang sama, subsidi dan transfer modal dari segala macam kepada BUMN dihentikan. Hal ini disebabkan tantangan serius bagi BUMN kebanyakan karena mereka berjuang untuk mengatasi dengan situasi baru. 3) Strategi Privatisasi Awalnya, Keputusan tentang Privatisasi Maret 1988 ditujukan untuk memperkuat kegiatan sektor swasta dengan mengurangi peran mendominasi sektor negara. Keputusan itu, bagaimanapun, gagal untuk memberikan pedoman yang diperlukan untuk privatisasi, seperti pemilihan perusahaan yang akan diprivatisasi, prosedur penilaian aset, dan standar penawaran. Barulah pada tahun 1990-an bahwa olahraga menjadi lebih sistematis dan praktis. Perusahaan-perusahaan calon harus dipilih
  • 12. berdasarkan kriteria berikut: (1) biaya untuk anggaran, (2) kebutuhan modal, (3) daya tarik bagi investor, dan (4) kemampuan pekerja untuk mengelola atau memiliki perusahaan. Faktor lain yang juga dipertimbangkan, seperti ukuran perusahaan, kemampuan untuk melakukan penilaian aset dapat diterima, dan dampak yang diharapkan kerja. 4) Awal Hasil Privatisasi Setelah awal yang lambat, proses privatisasi dipercepat dalam beberapa tahun terakhir. Antara 1989-1992, tiga puluh sembilan BUMN yang diprivatisasi dengan total nilai US $ 41,4 juta. Selama 1993-1994, batch lain dari 25 perusahaan yang ditambahkan ke dalam daftar dengan aset keseluruhan sebesar $ AS 26,8 juta. Meskipun 64 perusahaan awalnya dilaporkan telah diprivatisasi, hanya 60 di antaranya dapat dikonsolidasikan dalam hal mode privatisasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2, karena inkonsistensi dalam sistem pelaporan (Chit, 1988: 71 & 72). tabel 2 Awal Hasil Privatisasi (1989-1994) Model Privatisasi Tahun Nr. BUMN Dibeli/ Disewa/Leased Terjual/Sold Purchased 1989 2 2 1990 3 3 1991 11 10 1 1992 24 20 1 3 1993 14 9 1 4 1994 7 4 3 Total 60 47 2 11 Sumber: Chit (1998, Lampiran 1, hlm 71-72)
  • 13. Dengan demikian, pada akhir tahun 1994, tujuh puluh delapan dari 60 BUMN diprivatisasi yang disewakan, 19% dijual (langsung), dan 3% yang dibeli. Kepemilikan baru dibagi antara investor domestik (42%), usaha patungan (26%), dan investor asing (32%) (Gambar 1a dan 1b). Gambar 1a&b Sejauh ini, belum ada dampak negatif yang serius terhadap lapangan kerja sebagai akibat langsung dari privatisasi. Secara resmi, laporan dari Kantor Tetap Komite Privatisasi (POPC) pada 28 BUMN diprivatisasi mengungkapkan bahwa ada penurunan dari 14% pada total 3.459 pekerja incumbent, seperti 430 dari mereka dibuat berlebihan (sebagian besar pensiun dini dan erosi alami ) setelah perusahaan-perusahaan mengubah status mereka (Chit, 1998: 22). Data yang tersedia juga menunjukkan bahwa kontingen besar pekerja yang diserap oleh perusahaan diambil alih oleh investor asing dan perusahaan patungan. Hal ini mengamati bahwa kehilangan pekerjaan sering lebih rendah di perusahaan-perusahaan melakukan divestasi dengan kelompok pertama daripada pemilik lokal, mungkin karena mantan secara finansial lebih layak untuk menanggung kerja berlebih dan lebih bersedia untuk melatih dan mengembangkan tenaga kerja yang ada (Chit, 1998: 22) .
  • 14. 5) Implementasi Tanggung Jawab Meskipun kementerian sangat penting untuk pelaksanaan program privatisasi, mereka tetap tidak terlibat dalam pengawasan proses. Sebelum tahun 1992, tanggung jawab pelaksanaan beristirahat dengan Ekonomi Mekanisme Keuangan New Committee (NEMFC) di bawah Kementerian Ekonomi, Perencanaan dan Keuangan. Setelah itu, tanggung jawab untuk perumusan kebijakan dipindahkan ke Komite Privatisasi Komite Perencanaan dan Kerjasama (BPK), sedangkan pelaksanaan kebijakan ditugaskan ke Kantor Tetap Komite Privatisasi (POPC) pada bulan Maret 1993. Namun, karena kurangnya sumber daya dan informasi, badan pelaksana didelegasikan kepada kementerian tugas untuk mengidentifikasi, mengklasifikasi, menghargai, dan memprioritaskan perusahaan untuk privatisasi, dan tetap hanya pengawasan keseluruhan proses. 6) Hadir Status Badan Usaha Milik Negara Tentunya, kemajuan yang signifikan telah dibuat sejak awal program privatisasi dengan dampak kecil terhadap lapangan kerja. Untuk waktu mendatang, program ini akan tetap menjadi inti dari liberalisasi ekonomi negara. Perbaikan lebih lanjut ke dalam BUMN yang ada akan membantu Laos meletakkan dasar yang kokoh bagi pembangunan berkelanjutan di masa depan. 7) Jenis BUMN Menurut sebuah laporan dari Kantor Perdana Menteri, ada dua jenis utama dari BUMN (Chit, 1998:25): Pelayanan publik BUMN, dan Berorientasi bisnis BUMN. Kategori pertama melibatkan mereka menyediakan kebutuhan dasar bagi masyarakat dan pada prinsipnya, adalah perusahaan nirlaba. Mereka digunakan untuk menikmati hak istimewa besar dan subsidi dari
  • 15. negara dan, dalam prakteknya, sangat didukung oleh program bantuan internasional, e. g, Nampapa Lao dan Electricite du Laos (EDL),. kebanyakan dari mereka adalah media sampai dengan ukuran yang lebih besar setelah bekerja antara 20 dan 100 dan lebih pekerja masing- masing. Sebaliknya, berorientasi bisnis BUMN yang mencari laba perusahaan yang memiliki otonomi penuh di bidang keuangan dan semua aktivitas operasi lainnya. Dalam prakteknya, kementerian pemerintah dan garis cadangan kewenangan untuk campur tangan bila diperlukan, terutama dalam menentukan ruang lingkup operasi, menyediakan pedoman, dan bahkan memutuskan hal-hal personel dari unit-unit ini. 8) Masalah Konsolidasi Sulit untuk menyimpulkan pada jumlah yang tepat dan konsisten dari BUMN di Laos. Ini mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa wewenang atas BUMN dapat umum bersama oleh kementerian, Departemen Keuangan, Kantor Perdana Menteri, Bank Nasional, dan pemerintah daerah. Menurut dokumen PBB yang diterbitkan pada tahun 1997, tiga puluh satu perusahaan publik yang diperkirakan akan dipertahankan di bawah kepemilikan negara di seluruh negeri. Namun, dalam laporan resmi dari Kantor Perdana Menteri, jumlah ini didirikan di sekitar 90 pada akhir tahun itu (Chit, 1998: 28). Sebuah survei melalui organisasi pemerintah terkait dan lembaga yang dilakukan oleh penelitian ini pada bulan Januari 1998 menunjukkan bahwa jumlah konsolidasi akan 35, tidak termasuk yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Peran yang terakhir (20 unit total) tidak signifikan dalam ukuran dan ruang lingkup. Perbedaan dalam jumlah BUMN adalah karena sistem pelaporan yang tidak konsisten dan duplikasi kepemilikan atas BUMN antara pemerintah pusat dan daerah di negara ini.
  • 16. 9) Struktur manajemen Secara resmi, BUMN terpusat dikendalikan harus dikelola oleh sebuah Dewan Eksekutif (EC) yang biasanya terdiri dari 5 sampai 7 anggota yang mewakili Departemen Keuangan, Kantor Perdana Menteri, Bank Nasional, kementerian lini ditambah Direktur perusahaan. Pada kenyataannya, tubuh ini hanya ada di nama di BUMN sebagian. 10) Distribusi dan Bidang Tanggung Jawab BUMN terutama dimiliki oleh pemerintah pusat dan dioperasikan di bawah pengawasan kementerian. Sebagian besar BUMN yang dikelola terpusat yang menengah berukuran besar dan memainkan 'strategis' peran dalam mendukung pembangunan sosial-ekonomi nasional seperti listrik, air bersih, dan telekomunikasi yang bermarkas terletak di ibukota Vientiane dengan layanan besar mereka cabang di provinsi-provinsi. Sebagian besar BUMN lokal telah ditransfer dari kepemilikan pusat. Mereka dalam ukuran kecil, menggunakan kurang dari 20 pekerja dan memiliki ruang lingkup operasi yang terbatas, yang pada akhirnya dapat dibubarkan karena manajemen yang buruk, kurangnya tujuan bisnis yang jelas, atau studi kelayakan tidak pantas. 11) Masalah Menghadapi BUMN Menurut sebuah laporan dari Kantor Perdana Menteri (1997), permasalahan yang ada dan tantangan yang dihadapi oleh BUMN dapat diringkas sebagai berikut: Kurangnya kontrol terpusat dan audit. Ada konflik konstan dalam kontrol di antara kementerian, Departemen Keuangan dan Kantor Perdana Menteri. Kurangnya status beton dan realistis, strategi perusahaan dan otonomi didefinisikan dengan baik. Menghadapi persaingan dari manajer terampil dan berpengalaman lokal dan asing, terutama setelah Laos menjadi anggota ASEAN.
  • 17. Evolusi teknologi yang dinamis membutuhkan tenaga kerja berkualitas yang seluruh negeri ini sangat perlu. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan manajemen, terutama dalam ekonomi pasar, kekurangan serius dari manajer profesional dan kompeten. Pendidikan yang rendah tingkat karyawan. Karyawan yang rendah 'gaji dapat menyebabkan luas' brain drain 'ke sektor swasta. Keputusan jelas dan lambat dari pembuat kebijakan menghambat upaya BUMN untuk meningkatkan tingkat efektifitas dan efisiensi. Konflik antara praktek saat ini dan peraturan baru akan lebih mempersulit tanggung jawab lini dan dukungan antara kementerian dan lembaga terkait. Kebingungan dalam jumlah yang tepat dan kepemilikan BUMN bersama-sama dengan masalah internal mereka manajerial tentu akan membuat sulit untuk merencanakan dan mengantisipasi kebutuhan untuk pengembangan sumber daya manusia dalam periode pasca- privatisasi. 12) Pedoman untuk Meningkatkan BUMN Meskipun manfaat awal privatisasi dan reformasi, BUMN saat ini beroperasi dalam situasi yang sangat dinamis dan kritis. Hanya sebagian dari mereka melanjutkan operasi normal mereka, sedangkan sisanya tidak yakin tentang keberadaan masa depan mereka. Namun, beberapa BUMN tambahan direncanakan akan dibuat segera. Secara umum, situasi saat ini BUMN dapat digambarkan sebagai berikut: melanjutkan operasi normal; menjalani reorganisasi atau restrukturisasi untuk meningkatkan efisiensi; dalam proses audit; dalam persiapan untuk privatisasi;
  • 18. menunggu keputusan dari pusat; melakukan studi kelayakan untuk bisnis masa depan yang direncanakan, dan bersiap-siap untuk dikonversi menjadi unit-unit administrasi. Sebuah laporan yang ditulis oleh Deputi Menteri Kantor Perdana Menteri yang dikeluarkan Mei 1996 menyediakan pedoman pemerintah untuk masalah ini. Ini menekankan pentingnya langkah-langkah yang berkaitan dengan restrukturisasi organisasi, sistem manajemen dan sumber daya manusia dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi BUMN yang tersisa. Poin-poin berikut merupakan inti dari upaya reformasi: Pelayanan publik BUMN bisa disubsidi oleh pemerintah dalam kasus yang diperlukan, untuk menjamin penyediaan layanan yang dibutuhkan untuk masyarakat. Mencari keuntungan BUMN harus diberikan otonomi penuh dalam operasi serta di bidang keuangan. Negara menyediakan modal dan dukungan manajemen dan pedoman kebijakan, tetapi tidak untuk mensubsidi mereka. BUMN harus direstrukturisasi dalam ukuran yang tepat sesuai dengan kapasitas manajemen yang ada dan kondisi teknologi produksi. Sebuah sistem informasi yang komprehensif dan dapat diandalkan (bank data, studi penelitian, dll) harus ditetapkan sebagai dasar untuk rencana perbaikan dan pengembangan BUMN. Tergantung pada analisis situasi dan studi kelayakan, keputusan akan diambil untuk BUMN yang diberikan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3. Mengubah beberapa BUMN yang penting bagi kementerian, tetapi membuat kerugian besar dalam bisnis, menjadi unit-unit administrasi. Mengeluarkan undang-undang yang realistis dan efektif mengenai milik negara dan BUMN.
  • 19. Meningkatkan manajemen BUMN menjadi sistem yang efisien mampu beroperasi dalamotonomi penuh, dengan mengaktifkan peran Komisi Eropa, fungsi, dan otonomi dalampengambilan keputusan, dan menyiapkan Status beton untuk setiap BUMN, merumuskanstrategi jangka pendek dan jangka panjang membuat mereka responsif terhadap bisnis lingkungan. Merekrut dan memilih orang-orang yang berkualitas, kompeten dan berbakat untuk BUMN, menekankan pelatihan sumber daya manusia dan pembangunan di BUMN di seluruh papan. Agar efektif, setiap BUMN harus memiliki anggaran yang tepat untuk pelatihan dan pengembangan. Titik terakhir menunjukkan perhatian khusus pemerintah untuk pengembangan sumber daya manusia, menggunakannya sebagai mesin untuk meningkatkan kinerja BUMN biasa-biasa saja. Tabel 3 Opsi-opsi Strategis untuk Meningkatkan Kinerja BUMN Prestasi Efektif TidakEfektif Cari tahu penyebab dan memperbaiki. Penting Promosikan Dikonversi menjadi unit administratif. Kategori BUMN Melepaskan Menjual habis TidakPenting Promosikan Usaha patungan Menggabungkan Catatan: 'Efektif' = membuat keuntungan, 'tidak efektif' = tidak
  • 20. menguntungkan; 'Penting' = BUMN yang memainkan 'peran penting' dalam masyarakat, misalnya. keamanan, pertahanan, pembangunan pedesaan, dll, sisanya dapat dilihat sebagai 'tidak penting' dan karenanya dapat diprivatisasi. C. Penutup Kebijakan privatisasi yang dikembangkan Indonesia memiliki warna yang berbeda dengan yang dikembangkan oleh Laos. Hal ini pun kemudian berlanjut pada perbedaan hasil dari penerapan privatisasi pada kedua negara tersebut. Secara umum, privatisasi di Laos menunjukan keberhasilan yang tinggi, dan banyak memberikan manfaat kepada banyak pihak, baik BUMN yang diprivatisasi, pemerintah maupun bagi masyarakat. Meskipun privatisasi di Malaysia juga membawa ekses lain seperti kenaikan harga pelayanan publik. Sedangkan pada Indonesia, privatisasi diakui oleh pemerintah telah meningkakan kinerja BUMN yang diprivatisasi dan juga dapat meningkatkan jumlah kapital yang diperoleh pemerintah. Akan tetapi kapital yang diterima pemerintah dianggap banyak pihak tidak sepadan dengan nilai yang mestinya diterima. Tentu saja, banyak faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil dari privatisasi pada kedua negara tersebut. Namun terkait dengan penerapan kebijakan privatisasi ini, untuk peningkatan kinerja privatisasi di Indonesia pada masa mendatang sepertinya pemerintah Indonesia perlu belajar dari Laos. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian para pengambil kebijakan privatisasi di Indonesia antara lain adalah: 1. Komitmen pemerintah terhadap kebijakan investasi. Pemerintah Laos memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap privatisasi. Economic Planning Unit memiliki kewenangan untuk menangani privatisasi BUMN Laos, dan bertangungjawab langsung kepada Perdana Menteri. Demikian pula, kebijakan privatisasi dirancang dengan baik, melalui penyusunan Privatization Masterplan yang berkesinambungan dan dirancang ulang setiap lima tahun. Selain itu, strategi privatisasi yang telah dicanangkan juga benar-benar dilaksanakan, sehingga pada
  • 21. akhirnya tujuan privatisasi untuk meningkatkan kinerja BUMN, mengurangi beban administrasi dan keuangan pemerintah. Integrasi strategi non-divestiture dalam kebijakan privatisasi. Bagi pemerintah Laos, penjualan asset baru dilakukan setelah BUMN benar-benar memiliki ”nilai jual”. Sebelum nilai tersebut tercapai, maka BUMN diprivatisasi melalui strategi non-divestiture. Pada periode tahun 1983- 1990, 1991-1995, dan 1996-2000, jumlah proyek yang diprivatisasi melalui metode non-divestiture rata-rata sebanding dengan jumlah proyek yang diprivatisasi melalui divestiture. 2. Privatisasi dimaknai bukan hanya penjualan asset. Sebagai strategi untuk meningkatkan kinerja BUMN dalam pemberian pelayanan publik, privatisasi juga mencakup berbagai metode yang menekankan pengalihan peran atau fungsi penyediaan pelayanan publik tanpa dibarengi dengan pengalihan kepemilikan pemerintah kepada swasta. Beberapa metode dimaksud antara lain, management contracts, leases, concessions, contracting out, dan joint venture. Belajar dari keberhasilan penerapan privatisasi di Laos, maka banyak hal yang harus diperbaiki oleh pemerintah Indonesia untuk penerapan kebijakan privatisasi di masa mendatang. Kebijakan privatisasi di Indonesia dan penerapannya harus dievaluasi ulang. Dalam hal ini, kebijakan privatisasi di Laos dapat digunakan sebagai acuan dalam formulasi kebijakan dan strategi privatisasi di Indonesia. Namun demikian, Indonesia harus tetap hati-hati dalam pengambilan kebijakan tersebut, karena laos dan Indonesia bagaimanapun juga memiliki karakteristik yang berbeda, terutama dalam bidang ekonomi.