Dokumen tersebut membahas tentang privatisasi BUMN di Indonesia sejak 1990an hingga 2008. Privatisasi dilakukan untuk meningkatkan kinerja BUMN, meskipun kemudian tujuannya berubah menjadi memenuhi kebutuhan keuangan negara. Beberapa metode privatisasi yang digunakan adalah penjualan saham ke pasar modal atau investor strategis. Namun, ada juga kasus privatisasi yang dinilai merugikan negara seperti penjualan Semen Gresik dan B
Good Stuff Happens in 1:1 Meetings: Why you need them and how to do them well
Privatisasi di laos
1. A. Privatisasi Di Negara Indonesia
Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka pada
tanggal 17 Agustus 1945. Indonesia adalah negara Kesatuan, dengan luas
wilayah 1,9 juta mil persegi. Di tahun 2007 jumlah penduduk Indonesia
mencapai sekitar 238 juta jiwa yang tersebar pada 33 privinsi,
Kabupaten/Kota.
Secara ekonomi, Indonesia pernah menjadi negara yang disegani
di Asia Tenggara. Namun setelah krisis 1997, ekonomi negara ini
mengalami keterpurukan. Pada beberapa tahun terakhir, meskipun lambat
negara ini mulai bangkit sehingga pertumbuhan PDB Indonesia pada
tahun 2004 mencapai 5 %. Setelah itu pertumbuhan PDB meningkat
menjadi 5,7 % pada Tahun 2005 dan 5,5 % pada Tahun 2006.
Privatisasi di Indonesia mulai dilaksanakan sekitar tahun 1990an,
setelah diterbitkannya Keppres No. 5/1988 yang berisi antara lain
ketentuan tentang restrukturisasi, merger, dan privatisasi BUMN. BUMN
yang pertama diprivatisasi adalah PT Semen Gresik pada Tahun 1991,
melalui pelepasan 27 % saham pemerintah ke pasar modal. Tahap
berikutnya, pada tahun 1994 pemerintah melepas 10 % sahamnya dari PT
Indosat.
Adapun tujuan utama privatisasi pada saat itu adalah untuk
meningkatkan efektifitas, efisiensi dan nilai tambah BUMN. Disadari oleh
pemerintah Indonesia bahwa sebagian besar BUMN memiliki kinerja yang
rendah, sehingga tidak mampu memberikan kontribusi yang memadai bagi
negara. Pada tahun 1990/1991 kontribusi BUMN dari dividen adalah Rp.
1,096 triliun atau 46 % dari total penerimaan bukan pajak yang sebesar
Rp. 2,383 triliun. Pada tahun 1995/1996 kontribusi BUMN dari dividen
meningkat menjadi Rp. 1,477 triliun, tetapi proporsinya terhadap total
penerimaan bukan pajak hanya 14 % dari Rp. 7,801 triliun. Penurunan ini
juga nyata pada kontribusi pajak penghasilan (PPh) yang diterima dari
BUMN terhadap total penerimaan pajak. Pada Tahun 1990/1991,
penerimaan pajak dari PPh BUMN mencapai Rp. 1,438 triliun atau 41,2 %
dari total penrimaan pajak sebesar Rp. 3,489 triliun. Selanjutnya, pada
2. tahun 1995/1996 penerimaan pajak dari PPh BUMN meskipun mengalami
kenaikan menjadi Rp. 2,020 triliun tetapi hanya merupakan 9,8 % dari total
penerimaan pajak tahun tersebut. Demikian pula halnya dengan
profitabilitas BUMN. Meskipun terjadi peningkatan asset BUMN dari tahun
1990/1991 yang senilai Rp. 179,153 triliun menjadi Rp. 312,802 triliun di
Tahun 1995/1996 (peningkatan sekitar 75 %), laba BUMN hanya
meningkat 12 % pada kurun waktu tersebut.
Dalam perkembangan kemudian, seiring dengan memburuknya
ekonomi negara, tujuan privatisasi kemudian lebih diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan keuangan Negara. Strategi utama privatisasi
BUMN, oleh karenanya adalah divestiture (divestasi) yaitu dengan
pengalihan asset pemerintah yang terdapat pada BUMN kepada pihak
lain. Sampai dengan pertengahan tahun 1997 pemerintah telah berhasil
melakukan privatisasi saham minoritas atas kepemilikan saham mayoritas
yang dimilikinya pada sejumlah BUMN termasuk penawaran saham
perdana untuk 6 perusahaan yaitu Telkom, Indosat, Tambang Timah,
Aneka Tambang, Semen Gresik dan BNI.
Proses penjualan asset ini terus berlanjut. Pada tahun 1998/1999
dilakukan privatisasi atas sejumlah perusahaan termasuk Semen Gresik,
Telkom (lanjutan), Pelindo, Indosat, Kimia Farma, Bank Mandiri, dan
lainnya. Namun berbeda dengan proses privatisasi di Indonesia untuk
kurun waktu 1994 sampai 1997 yang tidak pernah mengalami hambatan,
privatisasi yang dilakukan setelah tahun 1997 terlihat banyak sekali
mengalami hambatan tidak hanya dari pihak legislatif dan karyawan
namun juga dari masyarakat yang sangat reaktif terhadap setiap usaha
yang mengarah ke privatisasi BUMN yang mencapai puncaknya pada
proses spin off Semen Padang.
Privatisasi terus dilakukan dari tahun ketahun. Pada tahun 2002,
pemerintah menyusun Masterplan BUMN 2002-2006 sebagai pedoman
untuk reformasi BUMN yang dilakukan untuk kurun waktu 2002-2006.
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah juga
menyusun Masterplan 2005-2009. Pada masa ini, privatisasi tidak
3. mendapatkan reaksi yang keras sebagaimana diterima pemerintahan
sebelumnya. Pada tahun 2008, dari total jumlah BUMN yang mencapai
140 perusahaan, sudah sekitar 10 % yang diprivatisasi.
1) Metode Privatisasi
Sejak privatisasi dikenalkan pertama kali sampai waktu sekarang
ini, strategi privatisasi adalah divestiture. Hal ini dapat dipahami, karena
pemahaman pemerintah tentang privatisasi adalah penjualan saham
pemerintah yang terdapat pada Persero. Dalam penjualan saham
pemerintah ini, pada awalnya pemerintah mengembangkan dua metode,
yaitu penjualan saham kepada masyarakat melalui penawaran langsung
dan penjualan saham secara langsung kepada mitra strategis. Pada
perkembangan kemudian, metode penjualan diperluas menjadi tiga
metode privatisasi, meliputi :
a. penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal;
b. penjualan saham langsung kepada investor;
c. penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan yang
bersangkutan.
Dari ketiga metode ini, kemudian dikenal adanya initial public offering
(IPO), strategic sales (SS), placement, dan emloyee managemnet buy out
(EMBO).
Adapun BUMN yang sudah diprivatisasi sejak tahun 1991 hingga
2004, beserta metode privatisasnya adalah sebagaimana ditunjukan
dalam Tabel . berikut:
Tabel
Metode Privatisasi BUMN
Tahun BUMN Metode privatisasi
1991 PT Semen Gresik Tbk IPO
1994 PT Indosat, Tbk IPO
1995 PT Tambang Timah, Tbk IPO
PT Telkom, Tbk IPO
4. 1996 PT BNI, Tbk IPO
1997 PT Aneka Tambang, Tbk IPO
1998 PT Semen Gresik, Tbk SS
1999 PT Pelindo II SS
PT Pelindo III SS
PT Telkom, Tbk Placement
2001 PT Kimia Farma, Tbk IPO
PT Indofarma, Tbk IPO
PT Sucofindo SS
PT Telkom, Tbk Placement
2002 PT Indosat, Tbk Placement/SS
PT Telkom, Tbk Placement
PT Tambang Batubara Bukit Asam, Tbk IPO
PT WNI SS
2003 PT Bank Mandiri, Tbk IPO
PT Indocement TP, Tbk SS
PT BRI, Tbk IPO
PT PGN, Tbk IPO
2004 PT Pembangunan Perumahan EMBO
PT Adhi Karya EMBO/IPO
PT Bank Mandiri, Tbk Placement
PT Tambang Batubara Bukit Asam, Tbk SS
Catatan:
IPO: Initial public offering
SS : Strategic Sales
EMBO: Employee Managemet Buy Out
Sementara strategi non-divestiture yang diterapkan oleh
pemerintah adalah restrukturisasi. Pada strategi ini, pemerintah
menetapkan tiga kebijakan pokok, meliputi::
5. 1) peningkatan intensitas persaingan usaha, terutama di sektor-sektor
yang terdapat monopoli, baik yang diregulasi maupun monopoli
alamiah;
2) penataan hubungan fungsional antara pemerintah selaku regulator dan
BUMN selaku badan usaha, termasuk di dalamnya penerapan prinsip-
prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan menetapkan arah dalam
rangka pelaksanaan kewajiban pelayanan publik;
3) restrukturisasi internal yang mencakup keuangan, organisasi/
manajemen, operasional, sistem, dan prosedur.
Hanya saja strategi restrukturisasi ini tidak populer bagi pemerintah,
meskipun sejak tahun 1998 strategi ini telah diperkenalkan ke publik.
Beberapa metode yang dikembangkan dari restrukturiasasi antara lain
adalah pembentukan holding company dan merger/akuisisi antar BUMN.
2) Manfaat Privatisasi
Dalam menghadapi situasi krisis ekonomi, penjualan asset BUMN
telah menjadi strategi utama pemerintah Indonesia. Pada tahun 2001
proporsi hasil privatisasi terhadap PDB adalah 0,5 %. Sedangkan pada
tahun 2002 angka tersebut menurun menjadi 0,2 % terhadap PDB.
Dengan berkurangnya jumlah BUMN, hal ini bearti juga semakin
berkurangnya beban administrasi pemerintah. Namun demikian, dari
seluruh proyek privatisasi yang dilakukan pemerintah, beberapa kasus
dinilai banyak pihak justru merugikan negara. Kasus-kasus privatisasi
yang dinilai tidak menguntungkan antara lain adalah sebagaimana
ditunjukan dalam Tabel . berikut:
6. Tabel
Beberapa Kasus Privatisasi BUMN yang Dinilai Tidak
Menguntungkan
No BUMN Keterangan
.
1. Semen Privatisasi (private placement) atas SG pada tahun
Gresik (SG, 1998 merugikan negara dalam dua hal. Pertama,
1998) transaksi ini menghasilkan kontrak jual beli
(conditional sale and purchase agreement/CSPA)
yang merugikan Pemerintah RI. Kedua, Pemerintah
RI tidak memperoleh harga yang adil. CSPA
menyebutkan Cemex yang hanya memiliki 14%
saham (lalu menjadi 25,53% setelah membeli saham
milik publik) memiliki kekuasaan setara dengan
Pemerintah RI yang mempunyai 51% saham.
Cemex mendapat jatah wakil direktur utama dan
wakil komisaris di jajaran manajemen, yang
kekuasaannya sama dengan direktur utama dan
komisaris utama. Setiap pengambilan keputusan
direktur utama dan komisaris utama (yang orang
Indonesia) harus mendapat persetujuan dari
wakilnya. Transaksi jual beli saham SG ke Cemex
juga merugikan karena Pemerintah RI tidak
memperoleh harga adil (fair value) alias terlalu
murah (undervalued). Harga SG yang terlalu murah
ini dapat dikonfirmasikan berdasar data pembanding
negara-negara tetangga (Vietnam, Filipina, China,
dan Bangladesh) yang dilaporkan majalah Asia
Cement (1998). Lorenzo H Zambrano, bos Cemex,
dalam Annual Report Cemex 1998, mengakui bahwa
"pembelian saham Semen Gresik itu amat
menguntungkan Cemex". Kepada para pemegang
7. saham, ia mengklaim keberhasilannya membeli
saham SG dengan harga murah (favorable price).
2. BCA, dikelola Divestasi 51% saham BCA pada tahun 2002 dengan
BPPN (2002) perolehan dana sekitar Rp5,345 trliun sangat
merugikan. Ini mengingat, dana rekapitalisasi BCA
mencapai Rp59,7 triliun. Setelah mendapatkan
Rp5,345 triliun, Pemerintah RI masih menanggung
biaya bunga obligasi rekap. Pada akhir 2002, BCA
memiliki portofolio obligasi rekap Rp47,7 triliun. Bila
menggunakan bunga SBI 8% sebagai patokan
(konservatif), dengan rata-rata obligasi rekap BCA
(2002-2006) sekitar Rp36,5 triliun, berarti BCA
membukukan pendapatan bunga dari pembayaran
obligasi rekap sebesar Rp2,9 triliun. Sementara,
ratarata laba bersih BCA dalam kurun waktu 5 tahun
terakhir sekitar Rp3,2 triliun. Itu artinya, sekitar 90%
dari laba bersih BCA berasal dari pembayaran
bunga rekap Pemerintah RI.
3. Indosat Sebelum Mei 2002, Indosat bersama Deutsche
(2002) Telekom (DT) memiliki Satelindo dengan struktur
kepemilikan Indosat 75% dan 25%. Mei 2002,
Indosat membeli 25% saham DT di Indosat dengan
harga $325 juta. Akibat transaksi ini, maka nilai
(value) Satelindo 100%-nya adalah $1,3 miliar.
Setelah transaksi ini, berarti Indosat memiliki 100%
saham Satelindo. Pada Oktober 2002, STT
Telemedia (Singapura) membeli 41,94% saham
pemerintah di PT. Indosat dengan harga $624 juta.
Dengan kata lain, 100% saham PT Indosat dihargai
oleh STT senilai $1,487 miliar. Karena harga 100%
Satelindo sebesar $1,3 miliar, maka itu artinya,
harga 100% saham Indosat minus Satelindo hanya
8. $187 juta. Dengan kata lain, 41,94% saham
pemerintah di Indosat yang dibeli STT hanya
dihargai sebesar $79 juta. Dengan harga $79 juta
tersebut, kini STT telah menguasai bisnis satelit dan
hak operator fixed-line. Dengan harga $79 juta tadi,
STT juga menjadi penguasa mayoritas bisnis seluler
di Indonesia.
4. PGN (2006) Penjualan saham PGN telah direncanakan sejak
Agustus 2005. Saham PGN yang akan dijual
sebanyak 5,8% (185 juta lembar saham). Ketika itu,
harga saham PGN baru sekitar Rp5.500 per lembar.
Namun, pelaksanaan privatisasi PGN baru
dieksekusi pada Desember 2006 pada harga
Rp11.350 atau premium Rp50 per lembar
dibandingkan harga penutupan sebesar Rp11.300,
namun lebih rendah dibandingkan harga pada
Agustus 2006 yang mencapai Rp13.600
5. BNI (2007) Pemerintah memutuskan melepas sebanyak 3,95
miliar saham BNI dengan harga Rp2.050 per saham.
Harga itu lebih murah 28% atau Rp800 dari harga
pasar tertingginya Rp2.850 pada penutupan 25 Juli
2007. Selain itu, harga penjualan saham BNI juga
ditetapkan di batas terbawah dari kisaran harga
awal, yakni Rp2.050-Rp2.700 per saham. Dengan
selisih Rp800 per saham, negara berpotensi
kehilangan Rp3,16 triliun.
9. B. Privatisasi Di Negara Laos
Sebagai bagian dari transisi menuju ekonomi pasar, Rakyat Laos
Republik Demokratik (Lao PDR) memulai program privatisasi pada tahun
1988 di bawah Mekanisme Ekonomi Baru (NEM) kerangka.
Pada tahun 1996, pemerintah menjelaskan rencana privatisasi
pelaksanaannya dengan menerbitkan daftar badan usaha milik negara
(BUMN) yang akan dipertahankan dan yang akan diprivatisasi sepanjang
1997. Pada saat itu, 510 keluar dari 640 BUMN yang asli secara total
mengubah status mereka. Sebuah tambahan 59 unit yang direncanakan
untuk menjalani proses. Dengan demikian, pada akhir 1997, hanya 30
perusahaan yang diperkirakan akan tetap berada di bawah kontrol negara
(Chit, 1998: 1).
Meskipun jumlah mereka yang kecil, BUMN yang tersisa masih
memegang posisi strategis dan memainkan peran penting dalam
pembangunan negara. Akibatnya, BUMN mempekerjakan sekitar 3,4%
dari total tenaga kerja PDR Laos non-pertanian dan memberikan
kontribusi sekitar 50% dari produk nasional bruto negara (GNP).
Seperti di negara-negara sosialis kebanyakan, BUMN di Laos
sering menderita kerugian besar dan mengalami masalah manajerial
banyak. Diperkirakan bahwa lebih dari 50% dari BUMN yang ada tidak
dapat bertahan hidup tanpa subsidi keuangan negara dan perawatan
istimewa (Chit, 1998:1).
Dalam rangka meningkatkan tingkat efektivitas dan efisiensi BUMN
yang saat ini beroperasi, pemeriksaan komprehensif seluruh struktur
mereka dibutuhkan. Salah satu faktor keberhasilan yang paling penting
adalah sumber daya manusia. Ini penawaran kertas dengan masalah
pengembangan sumber daya manusia (SDM) dengan maksud untuk
meningkatkan pos Status privatisasi BUMN di Laos. Temuan dari survei
terhadap 10 BUMN yang dipilih (Lampiran 1) akan digunakan untuk
menggambarkan saling ketergantungan antara faktor sumber daya
manusia dan kinerja keseluruhan dari perusahaan.
10. 1) Proses Privatisasi
Sebagai tanggapan terhadap meningkatnya perhatian terhadap
lemahnya kinerja sektor publik, pemerintah Laos mulai merumuskan
strategi untuk privatisasi BUMN dan reformasi BUMN pada akhir 1980-an.
Antara 1988-1990, penekanan diletakkan pada pemberian otonomi
operasional yang lebih besar untuk BUMN dan ruang lingkup dari program
privatisasi terutama terbatas pada usaha kecil. Pada awal Maret 1991,
fokus program itu dialihkan untuk menyertakan perusahaan yang jauh
lebih besar. Sebuah rencana yang lebih konkret diumumkan di mana
semua tapi segelintir 'perusahaan strategis' harus diprivatisasi dalam
waktu tiga tahun.
Menurut Pasal 2 Keputusan No 17 tahun 1990, BUMN harus
disimpan di bawah kontrol negara termasuk yang strategis harus
"perekonomian, masyarakat, pertahanan, dan keamanan internal".
Awalnya, industri ini menargetkan tertutup bisnis utama seperti
pembangkit listrik dan distribusi, pos dan telekomunikasi, farmasi,
perbankan dan asuransi, penerbangan komersial, pertambangan, logging,
dan pertahanan nasional industri, dll Pada tahap selanjutnya, kampanye
privatisasi memperluas ruang lingkup mempengaruhi semua industri,
dengan pengecualian kehutanan dan pertahanan. Pembesaran lingkup
membantu mempercepat proses, sehingga jumlah BUMN dari 640 pada
tahun 1989 turun menjadi hanya 55 pada bulan Januari 1998 (Tabel 1).
2) Badan Usaha Milik Negara Sebelum Tahun 1990
Pada akhir 1989, perusahaan publik menyumbang hampir semua
sektor 'modern' industri, menyediakan diperkirakan 16.000 pekerjaan atau
sekitar 10% dari kekuatan non-pertanian total tenaga kerja (Chit, 1998: 19-
20). Sekitar sepertiga dari perusahaan-perusahaan, terutama yang
terbesar, yang dikelola secara terpusat, sedangkan sisanya ditempatkan di
bawah pengawasan pemerintah provinsi dan kabupaten. Tiga perempat
dari mereka bergerak di bidang manufaktur, yang lain dalam konstruksi,
11. listrik pertambangan, dan.
tabel 1
Badan Usaha Milik Negara di Lao PDR
1989 1994 Jan 1998
Jumlah BUMN 640 NA 55
yang terpusat dikendalikan 200 74 35
% Dari GNP NA NA 50,5%
Jumlah karyawan di BUMN 16.000 NA 10.460
Sebelum pengenalan NEM pada tahun 1985, BUMN tidak memiliki
otonomi operasi. Sebagai imbalan untuk subsidi negara, mereka
diwajibkan untuk mentransfer kembali ke anggaran negara, di bawah
bentuk kontribusi, semua surplus operasi mereka dan mengembalikan
pinjaman yang mereka terima dari pemerintah untuk modal investasi
mereka.
Pada Maret 1988, BUMN menjadi bebas untuk pertama kalinya
untuk memutuskan tingkat produksi mereka, kebijakan upah dan harga,
dan rencana investasi. Pada saat yang sama, subsidi dan transfer modal
dari segala macam kepada BUMN dihentikan. Hal ini disebabkan
tantangan serius bagi BUMN kebanyakan karena mereka berjuang untuk
mengatasi dengan situasi baru.
3) Strategi Privatisasi
Awalnya, Keputusan tentang Privatisasi Maret 1988 ditujukan untuk
memperkuat kegiatan sektor swasta dengan mengurangi peran
mendominasi sektor negara. Keputusan itu, bagaimanapun, gagal untuk
memberikan pedoman yang diperlukan untuk privatisasi, seperti pemilihan
perusahaan yang akan diprivatisasi, prosedur penilaian aset, dan standar
penawaran. Barulah pada tahun 1990-an bahwa olahraga menjadi lebih
sistematis dan praktis. Perusahaan-perusahaan calon harus dipilih
12. berdasarkan kriteria berikut: (1) biaya untuk anggaran, (2) kebutuhan
modal, (3) daya tarik bagi investor, dan (4) kemampuan pekerja untuk
mengelola atau memiliki perusahaan. Faktor lain yang juga
dipertimbangkan, seperti ukuran perusahaan, kemampuan untuk
melakukan penilaian aset dapat diterima, dan dampak yang diharapkan
kerja.
4) Awal Hasil Privatisasi
Setelah awal yang lambat, proses privatisasi dipercepat dalam
beberapa tahun terakhir. Antara 1989-1992, tiga puluh sembilan BUMN
yang diprivatisasi dengan total nilai US $ 41,4 juta. Selama 1993-1994,
batch lain dari 25 perusahaan yang ditambahkan ke dalam daftar dengan
aset keseluruhan sebesar $ AS 26,8 juta.
Meskipun 64 perusahaan awalnya dilaporkan telah diprivatisasi,
hanya 60 di antaranya dapat dikonsolidasikan dalam hal mode privatisasi
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2, karena inkonsistensi dalam sistem
pelaporan (Chit, 1988: 71 & 72).
tabel 2
Awal Hasil Privatisasi
(1989-1994)
Model Privatisasi
Tahun Nr. BUMN Dibeli/
Disewa/Leased Terjual/Sold
Purchased
1989 2 2
1990 3 3
1991 11 10 1
1992 24 20 1 3
1993 14 9 1 4
1994 7 4 3
Total 60 47 2 11
Sumber: Chit (1998, Lampiran 1, hlm 71-72)
13. Dengan demikian, pada akhir tahun 1994, tujuh puluh delapan dari 60
BUMN diprivatisasi yang disewakan, 19% dijual (langsung), dan 3% yang
dibeli. Kepemilikan baru dibagi antara investor domestik (42%), usaha
patungan (26%), dan investor asing (32%) (Gambar 1a dan 1b).
Gambar 1a&b
Sejauh ini, belum ada dampak negatif yang serius terhadap lapangan
kerja sebagai akibat langsung dari privatisasi. Secara resmi, laporan dari
Kantor Tetap Komite Privatisasi (POPC) pada 28 BUMN diprivatisasi
mengungkapkan bahwa ada penurunan dari 14% pada total 3.459 pekerja
incumbent, seperti 430 dari mereka dibuat berlebihan (sebagian besar
pensiun dini dan erosi alami ) setelah perusahaan-perusahaan mengubah
status mereka (Chit, 1998: 22). Data yang tersedia juga menunjukkan
bahwa kontingen besar pekerja yang diserap oleh perusahaan diambil alih
oleh investor asing dan perusahaan patungan. Hal ini mengamati bahwa
kehilangan pekerjaan sering lebih rendah di perusahaan-perusahaan
melakukan divestasi dengan kelompok pertama daripada pemilik lokal,
mungkin karena mantan secara finansial lebih layak untuk menanggung
kerja berlebih dan lebih bersedia untuk melatih dan mengembangkan
tenaga kerja yang ada (Chit, 1998: 22) .
14. 5) Implementasi Tanggung Jawab
Meskipun kementerian sangat penting untuk pelaksanaan program
privatisasi, mereka tetap tidak terlibat dalam pengawasan proses.
Sebelum tahun 1992, tanggung jawab pelaksanaan beristirahat dengan
Ekonomi Mekanisme Keuangan New Committee (NEMFC) di bawah
Kementerian Ekonomi, Perencanaan dan Keuangan. Setelah itu,
tanggung jawab untuk perumusan kebijakan dipindahkan ke Komite
Privatisasi Komite Perencanaan dan Kerjasama (BPK), sedangkan
pelaksanaan kebijakan ditugaskan ke Kantor Tetap Komite Privatisasi
(POPC) pada bulan Maret 1993. Namun, karena kurangnya sumber daya
dan informasi, badan pelaksana didelegasikan kepada kementerian tugas
untuk mengidentifikasi, mengklasifikasi, menghargai, dan memprioritaskan
perusahaan untuk privatisasi, dan tetap hanya pengawasan keseluruhan
proses.
6) Hadir Status Badan Usaha Milik Negara
Tentunya, kemajuan yang signifikan telah dibuat sejak awal
program privatisasi dengan dampak kecil terhadap lapangan kerja. Untuk
waktu mendatang, program ini akan tetap menjadi inti dari liberalisasi
ekonomi negara. Perbaikan lebih lanjut ke dalam BUMN yang ada akan
membantu Laos meletakkan dasar yang kokoh bagi pembangunan
berkelanjutan di masa depan.
7) Jenis BUMN
Menurut sebuah laporan dari Kantor Perdana Menteri, ada dua jenis
utama dari BUMN (Chit, 1998:25):
Pelayanan publik BUMN, dan
Berorientasi bisnis BUMN.
Kategori pertama melibatkan mereka menyediakan kebutuhan
dasar bagi masyarakat dan pada prinsipnya, adalah perusahaan nirlaba.
Mereka digunakan untuk menikmati hak istimewa besar dan subsidi dari
15. negara dan, dalam prakteknya, sangat didukung oleh program bantuan
internasional, e. g, Nampapa Lao dan Electricite du Laos (EDL),.
kebanyakan dari mereka adalah media sampai dengan ukuran yang lebih
besar setelah bekerja antara 20 dan 100 dan lebih pekerja masing-
masing.
Sebaliknya, berorientasi bisnis BUMN yang mencari laba
perusahaan yang memiliki otonomi penuh di bidang keuangan dan semua
aktivitas operasi lainnya. Dalam prakteknya, kementerian pemerintah dan
garis cadangan kewenangan untuk campur tangan bila diperlukan,
terutama dalam menentukan ruang lingkup operasi, menyediakan
pedoman, dan bahkan memutuskan hal-hal personel dari unit-unit ini.
8) Masalah Konsolidasi
Sulit untuk menyimpulkan pada jumlah yang tepat dan konsisten
dari BUMN di Laos. Ini mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa
wewenang atas BUMN dapat umum bersama oleh kementerian,
Departemen Keuangan, Kantor Perdana Menteri, Bank Nasional, dan
pemerintah daerah. Menurut dokumen PBB yang diterbitkan pada tahun
1997, tiga puluh satu perusahaan publik yang diperkirakan akan
dipertahankan di bawah kepemilikan negara di seluruh negeri. Namun,
dalam laporan resmi dari Kantor Perdana Menteri, jumlah ini didirikan di
sekitar 90 pada akhir tahun itu (Chit, 1998: 28). Sebuah survei melalui
organisasi pemerintah terkait dan lembaga yang dilakukan oleh penelitian
ini pada bulan Januari 1998 menunjukkan bahwa jumlah konsolidasi akan
35, tidak termasuk yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Peran yang
terakhir (20 unit total) tidak signifikan dalam ukuran dan ruang lingkup.
Perbedaan dalam jumlah BUMN adalah karena sistem pelaporan yang
tidak konsisten dan duplikasi kepemilikan atas BUMN antara pemerintah
pusat dan daerah di negara ini.
16. 9) Struktur manajemen
Secara resmi, BUMN terpusat dikendalikan harus dikelola oleh
sebuah Dewan Eksekutif (EC) yang biasanya terdiri dari 5 sampai 7
anggota yang mewakili Departemen Keuangan, Kantor Perdana Menteri,
Bank Nasional, kementerian lini ditambah Direktur perusahaan. Pada
kenyataannya, tubuh ini hanya ada di nama di BUMN sebagian.
10) Distribusi dan Bidang Tanggung Jawab
BUMN terutama dimiliki oleh pemerintah pusat dan dioperasikan di
bawah pengawasan kementerian. Sebagian besar BUMN yang dikelola
terpusat yang menengah berukuran besar dan memainkan 'strategis'
peran dalam mendukung pembangunan sosial-ekonomi nasional seperti
listrik, air bersih, dan telekomunikasi yang bermarkas terletak di ibukota
Vientiane dengan layanan besar mereka cabang di provinsi-provinsi.
Sebagian besar BUMN lokal telah ditransfer dari kepemilikan pusat.
Mereka dalam ukuran kecil, menggunakan kurang dari 20 pekerja dan
memiliki ruang lingkup operasi yang terbatas, yang pada akhirnya dapat
dibubarkan karena manajemen yang buruk, kurangnya tujuan bisnis yang
jelas, atau studi kelayakan tidak pantas.
11) Masalah Menghadapi BUMN
Menurut sebuah laporan dari Kantor Perdana Menteri (1997),
permasalahan yang ada dan tantangan yang dihadapi oleh BUMN dapat
diringkas sebagai berikut:
Kurangnya kontrol terpusat dan audit. Ada konflik konstan dalam
kontrol di antara kementerian, Departemen Keuangan dan Kantor
Perdana Menteri.
Kurangnya status beton dan realistis, strategi perusahaan dan
otonomi didefinisikan dengan baik.
Menghadapi persaingan dari manajer terampil dan berpengalaman
lokal dan asing, terutama setelah Laos menjadi anggota ASEAN.
17. Evolusi teknologi yang dinamis membutuhkan tenaga kerja
berkualitas yang seluruh negeri ini sangat perlu.
Kurangnya pengetahuan dan keterampilan manajemen, terutama
dalam ekonomi pasar, kekurangan serius dari manajer profesional
dan kompeten.
Pendidikan yang rendah tingkat karyawan.
Karyawan yang rendah 'gaji dapat menyebabkan luas' brain drain
'ke sektor swasta.
Keputusan jelas dan lambat dari pembuat kebijakan menghambat
upaya BUMN untuk meningkatkan tingkat efektifitas dan efisiensi.
Konflik antara praktek saat ini dan peraturan baru akan lebih
mempersulit tanggung jawab lini dan dukungan antara kementerian
dan lembaga terkait.
Kebingungan dalam jumlah yang tepat dan kepemilikan BUMN
bersama-sama dengan masalah internal mereka manajerial tentu akan
membuat sulit untuk merencanakan dan mengantisipasi kebutuhan
untuk pengembangan sumber daya manusia dalam periode pasca-
privatisasi.
12) Pedoman untuk Meningkatkan BUMN
Meskipun manfaat awal privatisasi dan reformasi, BUMN saat ini
beroperasi dalam situasi yang sangat dinamis dan kritis. Hanya sebagian
dari mereka melanjutkan operasi normal mereka, sedangkan sisanya tidak
yakin tentang keberadaan masa depan mereka. Namun, beberapa BUMN
tambahan direncanakan akan dibuat segera. Secara umum, situasi saat
ini BUMN dapat digambarkan sebagai berikut:
melanjutkan operasi normal;
menjalani reorganisasi atau restrukturisasi untuk meningkatkan
efisiensi;
dalam proses audit;
dalam persiapan untuk privatisasi;
18. menunggu keputusan dari pusat;
melakukan studi kelayakan untuk bisnis masa depan yang
direncanakan, dan
bersiap-siap untuk dikonversi menjadi unit-unit administrasi.
Sebuah laporan yang ditulis oleh Deputi Menteri Kantor Perdana Menteri
yang dikeluarkan Mei 1996 menyediakan pedoman pemerintah untuk
masalah ini. Ini menekankan pentingnya langkah-langkah yang berkaitan
dengan restrukturisasi organisasi, sistem manajemen dan sumber daya
manusia dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
BUMN yang tersisa. Poin-poin berikut merupakan inti dari upaya
reformasi:
Pelayanan publik BUMN bisa disubsidi oleh pemerintah dalam
kasus yang diperlukan, untuk menjamin penyediaan layanan yang
dibutuhkan untuk masyarakat.
Mencari keuntungan BUMN harus diberikan otonomi penuh dalam
operasi serta di bidang keuangan. Negara menyediakan modal dan
dukungan manajemen dan pedoman kebijakan, tetapi tidak untuk
mensubsidi mereka.
BUMN harus direstrukturisasi dalam ukuran yang tepat sesuai
dengan kapasitas manajemen yang ada dan kondisi teknologi
produksi.
Sebuah sistem informasi yang komprehensif dan dapat diandalkan
(bank data, studi penelitian, dll) harus ditetapkan sebagai dasar
untuk rencana perbaikan dan pengembangan BUMN.
Tergantung pada analisis situasi dan studi kelayakan, keputusan
akan diambil untuk BUMN yang diberikan seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 3.
Mengubah beberapa BUMN yang penting bagi kementerian, tetapi
membuat kerugian besar dalam bisnis, menjadi unit-unit
administrasi.
Mengeluarkan undang-undang yang realistis dan efektif mengenai
milik negara dan BUMN.
19. Meningkatkan manajemen BUMN menjadi sistem yang efisien
mampu beroperasi dalamotonomi penuh, dengan mengaktifkan
peran Komisi Eropa, fungsi, dan otonomi dalampengambilan
keputusan, dan menyiapkan Status beton untuk setiap BUMN,
merumuskanstrategi jangka pendek dan jangka panjang membuat
mereka responsif terhadap bisnis lingkungan.
Merekrut dan memilih orang-orang yang berkualitas, kompeten dan
berbakat untuk BUMN, menekankan pelatihan sumber daya
manusia dan pembangunan di BUMN di seluruh papan.
Agar efektif, setiap BUMN harus memiliki anggaran yang tepat
untuk pelatihan dan pengembangan.
Titik terakhir menunjukkan perhatian khusus pemerintah untuk
pengembangan sumber daya manusia, menggunakannya sebagai mesin
untuk meningkatkan kinerja BUMN biasa-biasa saja.
Tabel 3
Opsi-opsi Strategis untuk Meningkatkan Kinerja BUMN
Prestasi
Efektif TidakEfektif
Cari tahu penyebab dan
memperbaiki.
Penting Promosikan Dikonversi menjadi unit
administratif.
Kategori
BUMN Melepaskan
Menjual habis
TidakPenting Promosikan Usaha patungan
Menggabungkan
Catatan: 'Efektif' = membuat keuntungan, 'tidak efektif' = tidak
20. menguntungkan; 'Penting' = BUMN yang memainkan 'peran penting'
dalam masyarakat, misalnya. keamanan, pertahanan, pembangunan
pedesaan, dll, sisanya dapat dilihat sebagai 'tidak penting' dan karenanya
dapat diprivatisasi.
C. Penutup
Kebijakan privatisasi yang dikembangkan Indonesia memiliki warna
yang berbeda dengan yang dikembangkan oleh Laos. Hal ini pun
kemudian berlanjut pada perbedaan hasil dari penerapan privatisasi pada
kedua negara tersebut. Secara umum, privatisasi di Laos menunjukan
keberhasilan yang tinggi, dan banyak memberikan manfaat kepada
banyak pihak, baik BUMN yang diprivatisasi, pemerintah maupun bagi
masyarakat. Meskipun privatisasi di Malaysia juga membawa ekses lain
seperti kenaikan harga pelayanan publik. Sedangkan pada Indonesia,
privatisasi diakui oleh pemerintah telah meningkakan kinerja BUMN yang
diprivatisasi dan juga dapat meningkatkan jumlah kapital yang diperoleh
pemerintah. Akan tetapi kapital yang diterima pemerintah dianggap
banyak pihak tidak sepadan dengan nilai yang mestinya diterima.
Tentu saja, banyak faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil dari
privatisasi pada kedua negara tersebut. Namun terkait dengan penerapan
kebijakan privatisasi ini, untuk peningkatan kinerja privatisasi di Indonesia
pada masa mendatang sepertinya pemerintah Indonesia perlu belajar dari
Laos. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian para pengambil
kebijakan privatisasi di Indonesia antara lain adalah:
1. Komitmen pemerintah terhadap kebijakan investasi. Pemerintah Laos
memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap privatisasi. Economic
Planning Unit memiliki kewenangan untuk menangani privatisasi
BUMN Laos, dan bertangungjawab langsung kepada Perdana Menteri.
Demikian pula, kebijakan privatisasi dirancang dengan baik, melalui
penyusunan Privatization Masterplan yang berkesinambungan dan
dirancang ulang setiap lima tahun. Selain itu, strategi privatisasi yang
telah dicanangkan juga benar-benar dilaksanakan, sehingga pada
21. akhirnya tujuan privatisasi untuk meningkatkan kinerja BUMN,
mengurangi beban administrasi dan keuangan pemerintah. Integrasi
strategi non-divestiture dalam kebijakan privatisasi. Bagi pemerintah
Laos, penjualan asset baru dilakukan setelah BUMN benar-benar
memiliki ”nilai jual”. Sebelum nilai tersebut tercapai, maka BUMN
diprivatisasi melalui strategi non-divestiture. Pada periode tahun 1983-
1990, 1991-1995, dan 1996-2000, jumlah proyek yang diprivatisasi
melalui metode non-divestiture rata-rata sebanding dengan jumlah
proyek yang diprivatisasi melalui divestiture.
2. Privatisasi dimaknai bukan hanya penjualan asset. Sebagai strategi
untuk meningkatkan kinerja BUMN dalam pemberian pelayanan publik,
privatisasi juga mencakup berbagai metode yang menekankan
pengalihan peran atau fungsi penyediaan pelayanan publik tanpa
dibarengi dengan pengalihan kepemilikan pemerintah kepada swasta.
Beberapa metode dimaksud antara lain, management contracts,
leases, concessions, contracting out, dan joint venture.
Belajar dari keberhasilan penerapan privatisasi di Laos, maka
banyak hal yang harus diperbaiki oleh pemerintah Indonesia untuk
penerapan kebijakan privatisasi di masa mendatang. Kebijakan privatisasi
di Indonesia dan penerapannya harus dievaluasi ulang. Dalam hal ini,
kebijakan privatisasi di Laos dapat digunakan sebagai acuan dalam
formulasi kebijakan dan strategi privatisasi di Indonesia. Namun demikian,
Indonesia harus tetap hati-hati dalam pengambilan kebijakan tersebut,
karena laos dan Indonesia bagaimanapun juga memiliki karakteristik yang
berbeda, terutama dalam bidang ekonomi.