Rangkuman singkat dari dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas pokok-pokok pikiran koalisi masyarakat sipil dalam merevisi UU Migas 22/2001, terkait permasalahan produksi migas yang menurun, tata kelola yang kurang transparan, dan persoalan hukum kelembagaan pengelolaan migas.
2. Usulan revisi UU Migas menegaskan pentingnya perencanaan migas untuk ketahanan energi
Pokok-Pokok Pikiran Usulan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Revisi UU Migas 22/2001
1. POSITION NOTE : POKOK POKOK PIKIRAN USULAN REVISI UU MIGAS
Pokok Pokok Pikiran
Usulan Koalisi Masyarakat Sipil
dalam Revisi UU Migas 22/2001
POSITION NOTE
JUNI, 2015
Position Notes
Konteks
Penyusunan kembali kebijakan sektor Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, melalui
undang-undang adalah mutlak diperlukan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi (UU 22/2001) dinilai kurang memberikan daya
dorong bagi perkembangan sektor Minyak dan Gas Bumi (Migas) di Indonesia serta
kurang menjawab aspek ketahanan energi kita. Hal ini ditandai dengan sejumlah
persoalan-persoalan antara lain jumlah produksi yang terus menyusut, krisis energi,
tata kelola yang kurang transparan dan akuntabel, serta persoalan hukum
kelembagaan pengelola sektor migas.
Terkait produksi, sebagai contoh pada tahun 2005, total produksi minyak
Indonesia tidak mampu mengimbangi kebutuhan domestik Indonesia. Pada saat itu
konsumsi minyak Indonesia mencapai 1,3 Juta barel/hari dengan produksi nasional
Indonesia sebesar 1.1 Juta barel/hari. Tren ini berlanjut hingga 2014 dengan posisi
konsumsi domestik Indonesia sebanyak 1,6 Juta Barel/hari, sedangkan produksi
menyusut menjadi 800 ribu barel/hari.
Pada isu tata kelola, penerapan UU 22/2001 memiliki beberapa persoalan
pada sektor hulu, mid-stream dan hilir, terutama menyangkut aspek transparansi
dan akuntabilititas. Pada sektor hulu terkait cost recovery, audit BPK menunjukan
adanya potensi kerugian negara dari dispute yang terjadi, sebagaimana temuan
audit BPK tahun 2013 terkait biaya penyimpangan pembayaran cost recovery
sebesar USD 221,5 juta atau Rp. 2,25 triliun pada periode 2010-2012. Pada sektor
mid-stream, penjualan dan pembelian minyak mentah ditengarai sarat dengan
praktek mafia pemburu ‘rente’, yang salah satunya diindikasikan dengan temuan
kasus suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penjualan minyak
mentah dan kondensat bagian negara (government entitlement). Pada sektor hilir,
misalnya diindikasikan oleh dugaan praktek ketertutupan dan ketidakefisienan
dalam proses pengadaan minyak mentah untuk kebutuhan BBM dalam negeri oleh
Petral yang dinyatakan oleh Menteri ESDM baru-baru ini.
Terkait investasi sektor hulu, ketentuan yang berlaku dalam UU 22/2001
berupa penyertaan modal (participating interest) sebesar 10% yang menjadi hak
daerah pun tidak sepi dari isu pemburu rente, yang alih-alih menguntungkan
daerah, melainkan bagi hasil keuntungan penyertaan (dividen) yang lebih lebih
besar dinikmati oleh pihak ketiga (pemodal). Sedangkan pada subtansi hukum, UU
22/2001 setidak-tidaknya telah tiga kali dimintakan uji materi kepada Mahkamah
Konstitusi (MK), yang kemudian diputuskan melalui Putusan MK No. 002/PUU-I/
2003, Putusan MK No. 20/PUU-V/2007, dan Putusan MK No. 36/PUU-X/2012.
Dari ketiga putusan tersebut, Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 memiliki
dampak signifikan kepada sektor Migas di Indonesia dengan membubarkan BP
Migas sebagai lembaga pelaksana kegiatan hulu Migas di Indonesia
2. POSITION NOTE : POKOK POKOK PIKIRAN USULAN REVISI UU MIGAS
Berdasarkan uraian permasalah tersebut, maka
diperlukan sebuah rumusan undang-undang baru di sektor
Migas yang dapat menjawab persoalan-persoalan di atas.
Usulan Materi Revisi UU Migas
Rancangan Undang-Undang Migas usulan koalisi
masyarakat sipil ini mengusulkan pengaturan-pengaturan
untuk menjawab permasalahan UU 22/2001 sebagaimana
diuraikan di atas. Secara umum usulan RUU ini
menggarisbawahi aspek perencanaan dan pencadangan migas
untuk ketahanan energi; sinergi kegiatan migas dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; prinsip
transparansi, partisipasi dan akuntabilitas;; pemanfaatan
migas untuk pengembangan energi bersih-terbarukan dan
stabilisasi ekonomi; serta kepentingan daerah dan
pembangunan yang mensejahterakan masyarakat
.
1. Perencanaan dan Pencadangan Migas
Perencanaan memiliki peran penting dalam pengelolaan
migas di Indonesia, yaitu: Pertama, adanya pendekatan secara
komprehensif yang terintegrasi antara sektor hulu dan hilir.
Kedua, melakukan sinkronisasi berbagai rencana kebijakan
pemerintah terkait dengan pencadangan dan pemenuhan
kebutuhan energi nasional sebagai strategi ketahanan energi.
Ketiga, menyelaraskan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan
migas dengan kebijakan di sektor lingkungan hidup, tata
ruang, pertanahan, dan aspek pembangunan berkelanjutan
lainnya.
Penegasan aspek perencanaan dalam RUU migas ini
merupakan inisiatif untuk melakukan koreksi terhadap UU
22/2001 yang kental dengan nuansa eksplorasi dan eksploitasi
(pelaksanaan kegiatan usaha/pemanfaatan migas), tanpa
adanya perencanaan yang komperehensif sebagai bagian dari
strategi ketahanan energi. RUU Migas ini mengatur
pengelolaan migas dengan pendekatan komprehensif sejak
dari perencanaan, eksplorasi-eksploitasi, produksi dan
penerimaan negara, hingga manajemen hasil dan ketahanan
energi hingga aspek penegakan hukum. Oleh karena itu pada
tataran implementasi, pemerintah seharusnya telah
mempersiapkan instrumen perencanaan terlebih dahulu
sebelum memanfaatkan migas untuk strategi pembangunan.
Perencanaan migas disusun berdasarkan pertimbangan:
• hasil inventarisasi potensi dan cadangan minyak dan gas
bumi; dengan mempertimbangkan laju eksploitasi dan
pertimbangan tingkat pengembalian cadangan (reserve
replacement ratio) yang ideal.
• kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Energi
Nasional sebagaimana diatur dalam undang-undang dan
Peraturan Pemerintah.
• Kajian Lingkungan Hidup Strategis dan Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang
pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup;
• Rencana pembangunan nasional baik jangka menengah
maupun panjang; agar selaras dengan strategi
pembangunan lainnya
serta terdapat indikator dan proses
minitoring dan evaluasi yang sistemik.
• Rencana Tata Ruang dan Wilayah; termasuk pemanfaatan
lahan, pemanfaatan hutan dan kawasan lainnya.
• Sebaran penduduk, kondisi geografis dan
kearifan lokal.
• Strategi pengembangan ekonomi yang distributif, dan
berkeadilan sosial
Perencanaan ini setidaknya memuat:
• Pemenuhan kebutuhan energi nasional dari sektor minyak
dan gas bumi;
• Inventarisasi dan keseimbangan neraca potensi,
pencadangan dan pemanfaatan minyak bumi
• Pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup yang
terkena dampak dari kegiatan usaha minyak dan gas bumi;
• Pengendalian dan pengawasan industri hulu minyak dan gas
bumi; serta pengawasan pemanfaatan dan distribusi di
sektor hilir
• Strategi pengurangan tingkat ketergantungan pada energi
fosil, melalui substitusi secara bertahap pemenuhan energi
dari sumber minyak dan gas bumi ke sumber energi yang
terbarukan.
Kewajiban Pemenuhan Kebutuhan Domestik
(Domestic Market Obligation)
Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 membatalkan
Pasal 22 ayat (1) UU 22/2001. MK berpendapat bahwa frasa
“paling banyak” dalam Pasal tersebut berarti hanya ada pagu
atas (patokan persentase tertinggi) tanpa memberikan batasan
pagu terendah, hal ini berpotensi digunakan oleh pelaku
usaha untuk menyerahkan DMO bagiannya dengan
persentase serendah-rendahnya. Hal ini bertentangan dengan
prinsip Pasal 33 UUD RI Tahun 1945.
Putusan MK tersebut menyatakan bahwa pasal
tentang DMO dalam UU Migas 22/2001 telah tidak memiliki
kekuatan hukum tetap. Dengan demikian kami memandang
bahwa pengaturan DMO harus disesuaikan dengan
perencanaan dan dan prioritas pemenuhan kebutuhan dalam
negeri. Dimana, besaran DMO ditetapkan strateginya oleh
Pemerintah yang selaras dengan proses perencanaan
pembangunan dengan pertimbangan DPR. Hal tersebut juga
dimaksudkan agar Pemerintah tidak memiliki batasan dalam
mengatur ketentuan DMO, sebagai pengejawantahan fungsi
penguasaan dan pengaturan sebagaimana mandat pasal 33
UUD 1945.
POSITION NOTE
JUNI, 2015
3. POSITION NOTE : POKOK POKOK PIKIRAN USULAN REVISI UU MIGAS
2. Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Migas
Dalam penyelenggaraan kegiatan usaha migas, koalisi
ini memberikan penekanan pada aspek model dan mekanisme
pelaksanaan kontrak migas, aspek kelembagaan di sektor hulu
maupun hilir, aspek penerimaan negara dan perpajakan, cost
recovery, serta aspek perlindungan atas dampak lingkungan
dari kegiatan migas.
Model Pelaksanaan Kontrak Migas
Koalisi ini memandang bahwa model Kontrak Kerja
Sama (baik Production Sharing Contract (PSC) maupun Technical
Assistant Contract (TAC) secara umum saat ini masih dapat
untuk dipertahankan, namun jika terdapat kebutuhan
dimungkinkan untuk adanya variasi misalnya pada fiscal term
atau ketentuan perpajakan (taxation) lainnya. Pada proses
tender penawaran Wilayah Kerja (WK) baru ataupun proses
perpanjangan, perlu dibuat mekanisme yang lebih baku,
dengan kriteria yang jelas dan proses due diligent yang lebih
transparan dan akuntabel untuk menghindari ruang bagi
diskresi para negosiator yang sangat rentan terhadap korupsi.
Pada Blok Migas perpanjangan, hak pertama penawaran
pertama diutamakan untuk BUMN, dan perlu diatur
mekanisme transisi yang menguntungkan bagi semua pihak
agar tidak menimbulkan krisis produksi dan kinerja
pengelolaan migas.
Setting Kelembagaan Sektor Hulu dan Hilir
Pada dasarnya, hak kepemilikan Migas ada pada
negara (mining property right) yang hak pengelolaannya menjadi
tanggung jawab Pemerintah (economic right). Pemerintah
kemudian membentuk kelembagaan di sektor migas, yang
diberi mandat untuk menjalankan fungsi pemanfaatan,
pengaturan, pengusahaan, pengelolaan, dan pengawasan di
sektor migas. Lembaga tersebut berupa Badan Usaha Khusus
yang berbentuk BUMN untuk menjalankan 5 (lima) fungsi
strategis di atas, yang diawasi oleh lembaga pengawas yang
juga melibatkan unsur independen.
Putusan MK No.36/PUU-X/2012 menyatakan bahwa:
“Dalam menjalankan penguasaan Negara atas
sumber daya alam Migas, Pemerintah
melakukan tindakan pengurusan atas sumber
daya alam Migas dengan memberikan konsesi
kepada satu atau beberapa Badan Usaha Milik
Negara untuk mengelola kegiatan usaha Migas
pada sektor hulu, kemudian Badan Usaha Milik
Negara itulah yang akan melakukan KKS
dengan Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi,
Usaha Kecil, badan hukum swasta, atau Bentuk
Usaha Tetap.”
Berdasarkan Putusan MK tersebut, Negara melakukan
keseluruhan pengelolaan migas. Dalam hal ini, Negara
menguasai sumber daya migas sebagai kekayaan
nasional. Penguasaan Negara tersebut kemudian
diselenggarakan oleh Pemerintah. Penyelenggaraan oleh
Pemerintah meliputi: penyelenggaraan fungsi
pengaturan dan pengurusan oleh Menteri ESDM,
penyelenggaraan fungsi pengelolaan oleh BUMN, dan
penyelenggaraan fungsi pengawasan oleh Badan
Pengawas.
Fungsi Pengaturan dan pengurusan dilakukan
dengan penyusunan regulasi dan peraturan perundang-
undangan serta pemberian izin kuasa pertambangan. Fungsi
Pengelolaan dilakukan oleh BUMN sebagai penerima kuasa
pertambangan. Fungsi Pengawasan dilakukan terhadap
kegiatan hulu dan kegiatan hilir migas.
“Dalam menjalankan penguasaan Negara atas sumber daya
alam Migas, Pemerintah melakukan tindakan pengurusan atas
sumber daya alam Migas dengan memberikan konsesi kepada
satu atau beberapa Badan Usaha Milik Negara untuk
mengelola kegiatan usaha Migas pada sektor hulu, kemudian
Badan Usaha Milik Negara itulah yang akan melakukan KKS
dengan Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Usaha Kecil,
badan hukum swasta, atau Bentuk Usaha Tetap.”
Putusan MK No.36/PUU-X/2012
POSITION NOTEPOSITION NOTE
JUNI, 2015
4. POSITION NOTE : POKOK POKOK PIKIRAN USULAN REVISI UU MIGAS
BUMN Pengelola
Dalam melaksanakan fungsi pengelolaan migas,
pemerintah melimpahkan Kuasa Pertambangan kepada
BUMN Pengelola untuk melakukan fungsi pengelolaan hulu
migas. Dalam hal BUMN Pengelola tidak dapat melakukan
pengelolaan sendiri, maka dapat melakukan kerja sama
dengan badan usaha lain melalui mekanisme Kontrak Kerja
Sama. BUMN Pengelola memiliki tugas menjamin kebutuhan
nasional atas Migas baik untuk konsumsi maupun mendukung
kegiatan ekonomi nasional dan mencari cadangan strategis
Migas untuk ketahanan energi baik di dalam maupun di luar
negeri. Dalam melaksanakan tugas tersebut BUMN Pengelola
memiliki kewenangan untuk melakukan kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi di Wilayah Kerja secara intensif serta
memproduksi Migas secara optimal dengan Kaidah
Keteknikan yang baik dan melakukan manajemen operasi
secara transparan dan akuntabel.
Badan Pengawas
Putusan MK No.36/PUU-X/2012 dalam
pertimbangannya, menyatakan bahwa pengawasan menjadi
salah satu makna “penguasaan Negara” dalam Pasal 33 UUD
1945. Selain mengadakan kebijakan, pengurusan, pengaturan,
dan pengelolaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Perubahan struktur kelembagaan tidak serta merta
memberikan jaminan adanya kinerja yang efektif. Pengalaman
di Negara lain menunjukkan bahwa dibutuhkan mekanisme
untuk menjamin akuntabilitas terhadap publik maupun antar
lembaga pemerintah jika lembaga-lembaga tersebut ingin
dapat memaksimalkan efektivitasnya, serta mengurangi resiko
terjadinya skandal atau konflik kepentingan. Dengan
demikian pengawasan menjadi salah satu agenda utama yang
harus diatur dalam UU Migas yang baru. Dalam hal
melakukan pengawasan, Pemerintah yang dalam hal ini
adalah Presiden mengangkat Badan Pengawas untuk
melakukan pengawasan atas kegiatan usaha hulu dan hilir
migas, yang dilakukan oleh BUMN Pengelola serta Badan
Usaha. Badan Pengawas beranggotakan 5 (lima) orang yang
mewakili unsur pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan
dunia usaha.
Penerimaan Negara dan Perpajakan
(Revenue dan Taxation)
Mekanisme perpajakan dan penerimaan negara dari
sektor migas hendaknya didorong untuk mengatasi persoalan
pengembangan sektor migas, pemenuhan kebutuhan energi
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta menopang
ketahanan energi yang berkelanjutan. Mekanisme perpajakan
dan penerimaan negara didorong menjadi lebih adil,
transparan dan akuntabel, dengan memperhatikan
pemanfaatan penerimaan negara bagi kesejahteraan
masyarakat. Dalam hal ini juga diperlukan kepastian hukum
dari mekanisme perpajakan di sektor migas. Pembelanjaan
Penerimaan negara sektor migas didorong pelaksanaannnya
secara efektif, tepat sasaran, berkelanjutan dan
memperhatikan kepentingan inter-generasi.
Koalisi ini mendorong penguatan inisiatif
transparansi penerimaan melalui mekanisme EITI (Extractive
Industries Transparency Initiative). EITI merupakan mekanisme
pelaporan penerimaan negara (pajak dan non-pajak) yang
dibayarkan oleh perusahaan ekstraktif dan yang diterima oleh
pemerintah. Indonesia telah menjadi anggota EITI sejak
tahun 2010 yang mekanisme pelaksanaannya diatur melalui
Peraturan Presiden No.26/2010. Melalui EITI, diharapkan
dapat terjadi: crosscheck and balance antara pemerintah-
pengusaha-dan masyarakat, terutama terkait informasi
produksi/lifting, penerimaan negara dan dana bagi hasil
migas. Melalui EITI, persoalan asimetri informasi yang
menimbulkan ketidakpercayaan publik diharapkan dapat
terkurangi secara bertahap.
Cost Recovery
Dengan model kelembagaan hulu migas yang baru
(sesuai usulan koalisi ini), cost recovery dilakukan oleh BUMN
Pengelola. RUU ini menekankan pada aspek transparansi cost
recovery. Ketertutupan dalam penentuan dan perincian cost
recovery selama ini ditengarai memberi peluang terjadinya
praktek-praktek kolusi dan korupsi sebagaimana terafirmasi
dalam temuan pemeriksaan BPK pada tahun 2013 dimana
ditemukan biaya penyimpangan pembayaran cost recovery
sebesar USD 221,5 juta atau Rp. 2,25 triliun pada periode
2010-2012.2 Penerapan transparansi merupakan kunci untuk
meningkatkan akuntabilitas perhitungan cost recovery yang
dibayarkan
kepada kontraktor KKS.
Selain itu, mengenai biaya-biaya operasi apa saja
yang bisa di-recover, RUU ini mengusulkan agar biaya
pengelolaan lingkungan hidup tidak dimasukkan dalam cost
recovery agar perusahaan migas terdorong untuk benar-benar
mengelola lingkungannya dengan baik. Apabila terjadi
pencemaran/kerusakan lingkungan hidup, perusahaan lah
yang akan bertanggung jawab atas segala kerugian yang
ditimbulkan dan biaya pemulihan lingkungan sesuai dengan
asas polluters pays principle yang diatur di UU No.32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan instrumen hukum internasional.
Perlindungan Lingkungan
Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi (UU 22/2001) tidak banyak mengatur
aspek lingkungan dalam kegiatan migas. Padahal, kegiatan
usaha migas merupakan salah satu kegiatan yang memiliki
dampak terhadap lingkungan. Selain dampak perubahan
permukaan tanah, kegiatan usaha migas juga mengeluarkan
emisi yang menjadi salah satu penyebab perubahan iklim.
UU 22/2001 mengatur aspek lingkungan dalam
kesatuannya dengan aspek Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3), sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 40 ayat (2):
INVESTOR NEWSLETTER ISSUE N°3
FALL 2009POSITION NOTE
JUNI, 2015
5. POSITION NOTE : POKOK POKOK PIKIRAN USULAN REVISI UU MIGAS
Secara substansi dan tujuan,
K3 dan pengelolaan lingkungan hidup
memiliki perbedaan yang signifikan,
sehingga seharusnya pengaturanya
dipisah. Oleh karena itu, RUU Migas
usulan koalisi masyarakat ini mengatur
aspek lingkungan hidup terpisah dari
ketentuan K3.
Pengaturan aspek lingkungan
hidup mencakup kewajiban BUMN dan
Badan Usaha dalam menjamin
perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dan kewajiban bagi
usaha tertentu untuk memiliki asuransi
lingkungan hidup. Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup mencakup
kegiatan pencegahan, penanggulangan,
dan pemulihan atas terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan akibat kegiatan migas.
Pengaturan mengenai asuransi
lingkungan hidup dilakukan sebagai
upaya memperkuat konsep strict liability
(tanggung jawab mutlak) dalam kasus
lingkungan yang saat ini telah diatur
dalam Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan
diaturnya jaminan keuangan/asuransi,
perusahaan tidak diperbolehkan
melakukan pengeboran apabila tidak
memiliki asuransi/jaminan keuangan
dengan minimum cakupan sebagaimana
ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan.
Sedangkan pengaturan
mengenai K3 ditujukan untuk
memberikan perlindungan bagi sumber
daya manusia yang bekerja pada industri
migas. Perlindungan K3 dilakukan sesuai
dengan standar dan mutu yang berlaku,
kaidah keteknikan yang baik, dan
peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Perlindungan lainnya terkait
dengan kegiatan migas adalah terkait
dengan pengadaan tanah untuk
kepentingan migas. Pasal 10 huruf e
Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum menyatakan bahwa kegiatan
migas masuk dalam kategori kegiatan
pembangunan untuk kepentingan umum.
Oleh karena itu, pengadaan tanah untuk
kegiatan migas harus tunduk kepada UU
2/2012. Meski demikian, pengadaan
tanah untuk kegiatan migas ini harus
pula mempertimbangkan eksistensi dan
kepemilikan tanah serta hutan adat oleh
masyarakat adat sebagaimana juga telah
dikuatkan oleh Keputusan Mahkamah
Konstitusi.
3. Peranan Pemerintah
Daerah
Sejak reformasi, kebijakan
desentralisasi yang dilaksanakan
diantaranya bertujuan untuk
memberikan kewenangan yang lebih
besar kepada pemerintah daerah untuk
mendesain prioritas pembangunannya
sendiri dan menggunakan SDA yang
tersedia untuk membangun daerah.
Meskipun pengelolaan sektor Migas
masih sangat terpusat, dalam konteks
desentralisasi pemerintah daerah
mengambil peran yang lebih besar
untuk mengelola pendapatan dari
Migas lewat mekanisme Dana Bagi
Hasil (DBH) Migas yang ditransfer
pemerintah Pusat ke kas daerah.
Prosentasi DBH untuk APBD
daerah-daerah penghasil Migas
meningkat cukup signifikan dan
memiliki pengaruh yang besar
terhadap kapasitas fiskal daerah.
Karena itu APBD untuk daerah-
daerah penghasil Migas memiliki resiko
yang cukup besar terhadap volatilitas
harga komoditas dunia dengan
demikian keberlangsungan
perencanaan pembangunan daerah
sangat dipengaruhi oleh situasi pasar
dunia yang relatif tidak stabil. Dalam
konteks tersebut diperlukan mekanisme
di daerah-daerah penghasil untuk
dapat meminimalisir resiko volatilitas
harga komoditas dunia terhadap
perencanaan pembangunan dan
kapasitas fiskal daerah lewat Sovereight
Wealth Funds (SWF) sebagaimana
telah disebutkan di atas. .
“Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap menjamin
keselamatan dan kesehatan
kerja serta pengelolaan
lingkungan hidup dan menaati
ketentuan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku dalam kegiatan usaha
Minyak dan Gas Bumi.”
Pasal 40 ayat (2), UU Migas
22/2001
INVESTOR NEWSLETTER ISSUE N°3
FALL 2009POSITION NOTE
JUNI, 2015
6. POSITION NOTE : POKOK POKOK PIKIRAN USULAN REVISI UU MIGAS
Participating Interest
Masalah yang kerap terjadi pada participating
interest adalah daerah tidak mampu mengambil keseluruhan
hak participating interest, kecuali mereka menggandeng pihak
swasta. Hal ini membuat tujuan adanya participating interest,
yaitu untuk melibatkan, serta memberikan manfaat kepada
pemerintah daerah, perusahaan daerah dan warga lokal
menjadi tidak tercapai, dikarenakan skema kerja sama yang
lebih menguntungkan pihak ketiga. RUU Migas usulan
masyarakat ini mengusulkan besaran skema participating
interest sebesar maksimal 10% dimana Pemda diberi
fleksibilitas untuk mengambil bagian sesuai kemampuannya.
Koalisi ini mendorong agar BUMD dapat meminjam kepada
lembaga pembiayaan seperti Pusat Investasi Pemerintah atau
menerbitkan obligasi untuk menghimpun dana dari
masyarakat. Selain itu, BUMD yang dapat mengambil
participating interest adalah BUMD yang kepemilikan
modalnya 100% dikuasai oleh Pemerintah Daerah.
4. Transparansi, Akuntabilitas dan Partisipasi
Di era modern saat ini, aspek keterbukaan informasi,
akuntabilitas dan partisipasi merupakan elemen penting
dalam penyelenggaraan negara dan tata pemerintahan yang
baik. Oleh karena ini, RUU usulan masyarakat ini mendorong
penguatan aspek keterbukaan informasi, akuntabilitas dan
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sektor migas.Hal
tersebut juga sejalan dengan keikutsertaan Pemerintah dalam
mendorong keterbukaan tata pemerintahan secara global,
misalnya melalui standar EITI maupun Open Government
Partnerhsip (OGP).
Dalam pelaksanaan kegiatan sektor migas,
keterbukaan informasi secara pro-aktif (setiap saat), berkala,
maupun serta merta selaras dengan pelaksanaan Undang-
Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU 14/2008). UU
ini juga mewajibkan pembentukan Pejabat Pengelola
Informasi dan Dokumentasi (PPID) di setiap badan publik,
guna memenuhi hak publik atas informasi. Keterbukaan
informasi, akuntabilitas dan partisipasi didorong terjadi di
sepanjang rantai proses industri migas, sektor hulu maupun
hilir. Di sektor hulu, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi
didorong terjadi saat proses penawaran wilayah kerja (kontrak
blok migas), proses eksplorasi dan eksploitasi, produksi dan
penjualan migas, proses pembayaran penerimaan negara,
dana bagi hasil, maupun alokasi pembelanjaan pendapatan
migas. Di sektor hilir, transparansi, akuntabilitas dan
partisipasi didorong terjadi dalam proses transportasi,
pengangkutan dan distribusi hasil migas, pengadaan minyak
mentah untuk BBM, serta perhitungan dan alokasi subsidi
migas berikut pembiayaan dan distribusinya.
RUU Migas ini juga harus dapat menegaskan
pentingnya akses informasi publik atas dokumen dan proses
pemberian kontrak kerja sama, dengan tentu saja
menghormati kepentingan para pihak sebagaimana diatur
dalam Pasal 17 UU KIP. Pada proses lelang dan pemberian
kontrak didorong agar lebih transparan dan fair, dimana pada
setiap proses diharapkan pemerintah memberikan argumen
secara terbuka kepada publik sebagai dasar pengambilan
keputusannya. Hal tersebut juga akan memudahkan DPR
(dan juga publik) untuk melakukan pengawasan terhadap
proses lelang dan pelaksanaan sebuah kontrak kerja sama
migas.
Penutup
Position note ini disusun sebagai gambaran pokok-pokok
fikiran dari usulan revisi Undang-Undang Migas 22/2001
yang disusun oleh jaringan koalisi masyarakat sipil Publish
What You Pay Indonesia yang diinisiasi oleh kelompok kerja
advokasi revisi undang-undang migas, terdiri dari Indonesia
Center for Environmental Law (ICEL), Pusat Studi Hukum
dan Kebijakan (PSHK), Institut for Essential Services Reform
(IESR), dan Indonesia Parliamentary Center (IPC). Position
note ini merupakan brief singkat dari isi draft Revisi Undang
Undang Migas-versi usulan masyarakat sipil, berikut
penjelasannya yang juga dilengkapi oleh Naskah Akademik
dalam dokumen yang terpisah.
POSITION NOTE
JUNI, 2015
Tim Penyusun
Dessy Eko Prayitno, Nisa Istiqomah, M. Giri Taufik, Maryati Abdullah,Aryanto Nugroho, Sulastio, Emanuel Bria.
Alamat
Sekretariat Nasional Publish WhatYou Pay Indonesia
Jl.Tebet Utara 2C No.22B,Tebet, Jakarta Selatan 12810, Indonesia
T/F : +62 21 8355560 | sekretariat@pwyp-indonesia.org | www.pwyp-indonesia.org