Jurnal ini membahas perjalanan panjang menuju pendidikan inklusif, dimulai dari pendidikan khusus hingga berbagai model seperti mainstreaming, REI, dan inklusi. Kuncinya adalah menyatukan sistem pendidikan khusus dan umum serta memperhatikan sikap guru dan orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus."
1. Reading Report dan Review Jurnal
Oleh
Uswatun Nisa
Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Studi Disabilitas dan Pendidikan Inklusif
2. Jurnal ini berisi tentang kumpulan hasil berbagai macam
penelitian berkaitan dengan isu seputar pendidikan
inklusif yang telah diwacanakan sejak tahun 1975-an di
Amerika Serikat. Pembahasan ini mencakup tentang
bagaimana persepsi dan sikap anak didik -dengan ataupun
tanpa- disabilitas, guru dan para stakeholder serta orang tua
dalam menanggapi konsep atau ide pendidikan inklusif.
Kemudian tujuan pendidikan inklusif itu sendiri, kesiapan
dan kecakapan para guru terhadap sekolah inklusif dan
pembahasan antara teori, ideologi, praktek di lapangan,
dan tidak lupa pro-kontra pendidikan inklusif.
Pendahuluan
3.
Inklusi adalah sebuah gerakan untuk menciptakan sebuah
sekolah yang menggabungkan seluruh anak –dengan dan
tanpa- disabilitas dalam sebuah komunitas belajar atau
ruang kelas reguler untuk dididik secara bersama-sama.
Diskusi tentang inklusi terus menjadi topik hangat oleh
sebab nilai filosofisnya. Sehingga perdebatan tidak hanya
terfokus pada kondisi dan keadaan anak difabel dengan
berbagai macam tipe dan levelnya, namun penekanannya
lebih kepada nilai filosofis dibalik inklusi itu sendiri untuk
menciptakan sebuah pendidikan untuk semua anak dalam
satu wadah pendidikan reguler atau pendidikan umum.
Apa itu Inklusi?
4.
Sejak tahun 1997, terhitung selama 25 tahun
lamanya, Amerika Serikat telah membuat sebuah
aturan dalam dunia pendidikan untuk menerapkan
‘pendidikan terintegrasi atau pendidikan terpadu’ di
semua jenjang sekolah. Pendidikan terintegrasi ini
95% menempatkan anak difabel dalam setting
pendidikan reguler. Kemudian menuju gerakan
yang lebih terintegrasi lagi, sehingga mengakibatkan
perubahan struktur yang signifikan terhadap
pendidikan khusus (Pendidikan Luar Biasa/Special
Education).
Perjalanan Panjang
Menuju Inklusi
5.
Sebelum melanjutkan pembahasan ‘Perjalanan
Panjang Menuju Inklusi’ ada baiknya terlebih
dahulu kita memahami dua sisi pandangan yang
berbeda.
Secara garis besar ada dua visi atau pandangan yang
melatarbelakangi pro-kontra dalam pendidikan
inklusi itu sendiri.
Sebuah Pertentangan
Visi
6.
1. Vision Of Benighted. Pandangan ini juga disebut sebagai
Individual/Medical Model of Disability. Secara singkat lebih
menekankan pada pemaknaan terhadap disabilitas
sebagai penyakit individu (individual pathology) atau
kekurangan fisik (impairment).
2. Vision Of Anointed. Pandangan ini juga disebut sebagai
Social Model Of Disability. Pandangan yang lebih
menitikberatkan pada pemberdayaan individu, pilihan
dan penegasan hak difabel sebagai warga negara.
Sebuah Pertentangan
Visi
7.
Vision Of Anointed lebih seperti landasan ideologis
yang belum memberikan definisi yang jelas,
argumen yang logis, dan bukti empirik. Fakta dari
penelitian di lapangan tidak menjadi faktor yang
utama dalam visi atau pandangan ini, oleh sebab
lebih menekankan pada ideologi filosofisnya dan
kepedulian sosial yang tinggi. Pandangan ini
berpendapat bahwa jika hanya fakta yang selalu
dicari tanpa adanya ideologi, maka tidak akan
pernah berjalan selamanya ide atau konsep tentang
pendidikan inklusi itu sendiri.
Sebuah Pertentangan
Visi
8.
Vision Of Benighted pun tidak kalah berdebat. Mereka
berpendapat bahwa selama ini kepedulian sosial
juga menjadi fokus perhatian mereka. Namun para
Benighted ini melakukan sesuatu berdasarkan fakta
empirik yang ilmiah dari hasil penelitian lapangan
sebagai pijakan dalam membuat pertimbangan,
kebijakan dan keputusan. Sehingga pada akhirnya
sesuai dengan kebutuhan, kebenaran dan
menunjang keberhasilan dalam prakteknya.
Sebuah Pertentangan
Visi
10.
Kembali lagi pada lanjutan slide sebelumnya (h. 4)
tentang perjalanan panjang menuju inklusi. Tentang
sejarah dan perspektif yang diawali dari Pendidikan
Khusus (Special Education) pada tahun 1980 an
mengalami perubahan struktur yang signifikan dan
memunculkan banyak gerakan yang menawarkan
berbagai solusi terkait aturan pemerintah Amerika
Serikat untuk ‘mengintegrasikan’ antara anak –
dengan dan tanpa- disabilitas dalam satu wadah
pendidikan yang sama (equal).
Perjalanan Panjang
Menuju Inklusi
11.
Menurut sejarah, pendidikan khusus (atau yang biasa kita
sebut sekarang dengan SLB/PLB) dalam sistem sekolah
umum telah dikembangkan sebagai program yang
dikhususkan terpisah dari pendidikan reguler atau
pendidikan umum, dan penempatannya pun dalam kelas
yang khusus.
Kelas khusus pada waktu itu dipandang sebagai tahapan
kemajuan bagi kedekatan antara guru-murid, adanya
guru khusus yang terlatih, pengarahan dan bimbingan
individu yang lebih banyak dalam suasana ruang kelas
yang sama.
Penekanan kurikulumnya ada pada kecakapan sosial dan
kecakapan kejuruan atau khusus.
Perjalanan Panjang
Menuju Inklusi
12. 1. Mainstreaming (Tendensi/kecenderungan untuk
terintegrasi)
Merupakan sebuah gerakan yang ditujukan untuk
menciptakan suatu lingkungan dengan ‘keterbatasan’ yang
paling sedikit (Least Restrictive Environment/LRE). Sistem
dalam Mainstreaming ini berusaha untuk menyatukan anak
difabel dan non difabel ke dalam satu ruang kelas yang
sama, dengan syarat terpenuhinya pelayanan dan
kebutuhan mereka selama berada di kelas reguler atau kelas
umum. Pengecualian apabila segala bantuan dan layanan
tidak dapat menunjang pembelajaran bagi anak difabel,
maka dapat dipindah tempatkan pada ruang sumber belajar
yang berbeda namun tetap pada sekolah reguler yang sama.
Perjalanan Panjang
Menuju Inklusi
13.
Mainstreaming atau LRE ini membawa perubahan besar
terhadap kerangka pendidikan khusus (Special
Education), dengan membuat suatu model ruang
sumber belajar sebagai pilihan penempatan yang
utama, disertai guru pendamping pendidikan khusus
yang bertugas memberikan arahan akademik untuk
jangka waktu tertentu bagi anak difabel. Setengah hari
mereka berada dalam kelas pendidikan reguler dan
setengah harinya lagi berada pada ruang sumber
belajar yang sedikit terbatas (LRE).
Perjalanan Panjang
Menuju Inklusi
14.
2. REI (The Regular Education Initiative atau Inisitif
Pendidikan Reguler).
Asumsi yang melandasi gerakan ini adalah bahwasanya
setiap anak itu lebih banyak memiliki kemiripan daripada
perbedaan. Maka sejatinya ‘pengajaran ynag khusus’ itu
tidak dibutuhkan, sebab seorang guru yang baik akan dapat
mengajar semua jenis anak dengan layanan pendidikan
yang berkwalitas tanpa merujuk pada kategori pendidikan
khusus. Guru yang baik dapat mengatur ruang kelas
pendidikan reguler tanpa adanya pemisahan atau segregasi
yang secara fisk merupakan bentuk diskriminasi dan
ketidakadilan.
Perjalanan Panjang
Menuju Inklusi
15. Meski demikian, REI menuai banyak kritik beserta pro dan
kontranya merujuk kepada fakta penelitian terhadap REI.
Sejumlah kekurangan dan kelebihan REI pun dipaparkan
berikut.
Di dalam pelaksanaan REI di lapangan, didapati bahwa tugas
antara anak –dengan dan tanpa- disabilitas tidak dibedakan
standarnya, dalam artian semua disama-ratakan. Namun
demikian, beberapa anak difabel seperti LD (Learning
Disabilites/anak berkesulitan belajar) dan EBD (Emotional and
Behavioral Disabilities/anak dengan gangguan emosi dan prilaku)
ketika ditempatkan pada REI, ditemukan adanya kemajuan
akademik yang lebih baik. Meskipun tidak berlaku pada anak
difabel dengan tipe lainnya seperti MMR (Mild Mental
Retardation/anak dengan tunagrahita IQ di bawah rata-rata)
masih lebih baik jika ditempatkan dalam setting kelas
pendidikan khusus.
Perjalanan Panjang
Menuju Inklusi
16.
REI berpendapat bahwa apabila dua sistem
pendidikan ‘umum dan khusus’ ini tidak disatukan,
maka hanya akan memberikan ‘label’ kepada anak
difabel terkait diri mereka yang tidak mampu untuk
selama-lamanya, baik dalam hal akademik maupun
bersosialisasi.
Perjalanan Panjang
Menuju Inklusi
17.
3. Inklusi: Part Time To Full Time
Para inclusionist mengemukakan 3 hal yang mendorong
diperlukannya perubahan dalam sistem pendidikan
khusus:
1) Perlunya untuk mengubah perspektif ‘tempat’
(lingkungan) sebab akan berpengaruh pada outcome
(lulusan) anak difabel
2) Perlunya untuk memilih ide daripada sekedar
pencitraan
3) Untuk menghindari fanatisme
Perjalanan Panjang
Menuju Inklusi
18.
Pada dasarnya semua model dari inklusi ditujukan untuk
kembali membangun dan menyatukan sistem dari
pendidikan khusus ke dalam pendidikan reguler atau
pendidikan umum. Meski pada awalnya terjadi
pertentangan antara part time inclusion yang sebagian sisa
waktu luang anak dimanfaatkan untuk mengikuti pull-out
program, atau full time inclusion yang menempatkan anak
–dengan dan tanpa- difabel di dalam satu kelas reguler
sehari penuh. Kemudian yang menjadi fokus dalam
pendidikan inklusi adalah lebih menekankan pada aspek
keterampilan sosial yang pada akhirnya dapat menunjang
pencapaian akademik anak difabel yang lebih baik.
Perjalanan Panjang
Menuju Inklusi
20.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa penekanan dalam pendidikan khusus sebagai
sebuah wadah yang ditujukan bagi anak difabel
untuk dapat dididik secara khusus dan intensif.
Jika pendidikan khusus ingin digabungkan dalam
sistem pendidikan reguler, maka harus ada bentuk
kebijakan yang menanggapi sikap, persepsi dan
keyakinan masing-masing individu di masyarakat.
Klise Pendidikan Khusus
(Antara Praktek dan Kenyataan)
21.
Sikap dan Keyakinan
Berhasil atau tidaknya sebuah kebijakan pendidikan tidak
lepas dari sikap dan persepsi –pertama- yang ada dalam diri
dan mind-set guru. Sebagaimana penelitian yang pernah
dilakukan bahwasanya guru menerima ide dan konsep
pendidikan terintegrasi. Hanya saja sebagian praktisi guru
yang lainnya merasa tidak mampu ketika menghadapi dan
melayani anak difabel di dalam kelas, sebab tentu
membutuhkan tambahan tanggung jawab untuk mengurus
bagian dari mereka. Meski demikian ada saja guru yang
memberikan perhatian lebih terhadap anak difabel yang
memiliki kelambanan dalam belajar (akademik).
Klise Pendidikan Khusus
(Antara Praktek dan Kenyataan)
22.
Kedua, tentang sikap para stakeholder administrasi
pendidikan, yang berperan dalam posisi kepemimpinan di
sekolah.
Ketiga, persepsi dan sikap para anak non difabel terhadap
anak difabel. Sebagian besar menunjukkan kecenderungan
sikap yang toleran ketika berkontak mata secara langsung
dengan mereka. Menunjukkan perhatian yang lebih, meski
pada sebagian anak ada saja yang merasa tidak nyaman
ketika mengalami kesulitan dalam komunikasi kepada
anak difabel. Kemudian anak difabel yang sulit dalam
kecakapan sosial atau beradaptasi dengan lingkungan
rentan untuk dimarginalkan.
Klise Pendidikan Khusus
(Antara Praktek dan Kenyataan)
23.
Keempat, sikap, persepsi dan keyakinan orang tua dalam
menanggapi pendidikan inklusif menunjukkan respon
yang positif. Meski sebagian orang tua yang memiliki
anak difabel mencemaskan dan meragukan tentang
kecocokan pendidikan inklusif dengan anaknya. Sebab
praktek di lapangan terkadang kehilangan layanan
pendidikan khusus-nya atau tidak seberhasil demikian.
Maka diperlukan adanya riset yang lebih banyak di
kemudian hari untuk menunjukkan kesesuaian
pendidikan inklusi guna mengokohkan konsep dan
idenya.
Klise Pendidikan Khusus
(Antara Praktek dan Kenyataan)
24.
Ada 4 hal yang harus diperhatikan dalam
pendidikan khusus:
1. Perhatian terhadap akademis anak
2. Perhatian terhadap sosio-emosional anak
3. Perhatian terhadap administrasi sekolah, dan
4. Perhatian terhadap peranan dan tanggung jawab
guru
Klise Pendidikan Khusus
(Antara Praktek dan Kenyataan)
25.
Dari keempat hal tersebut, point no. 4 memberikan
pengaruh yang besar terhadap kesuksesan anak di dalam
kelas. Pertama, kepribadian atau tingkat kepercayaan diri
seorang guru untuk mengajar anak difabel. Guru yang
memiliki pengalaman mengajar yang terbatas akan
mengkhawatirkan dampak pengajaran mereka. Kedua,
pengaruh dari tipe dan level disabilitas itu sendiri.
Beberapa guru cenderung lebih nyaman dan memberikan
respon positif terhadap anak difabel dengan cacat fisik
dibandingkan dengan anak difabel yang mengalami
hambatan akademis dan perilaku.
Klise Pendidikan Khusus
(Antara Praktek dan Kenyataan)
26.
Berdasarkan hasil survey penelitian yang dilakukan terhadap hampir 10.000
orang guru pendidikan reguler, ditemukan bahwa:
2/3 guru pend. Reguler menerima ide dan konsep pend. Terintegrasi,
hanya sama sedikit sekali yang menerapkan dalam praktek nyatanya.
1/3 guru meyakini bahwa ruang kelas pend. Reguler akan menghasilkan
manfaat dan keuntungan yang lebih besar dibanding penempatan ruang
sumber belajar lainnya (dengan syarat melihat tingkatan disabilitas anak).
1/3 guru menolak secara keras penggabungan anak –dengan dan tanpa-
difabel. Mereka berasumsi bahwa peng-integrasi-an ini hanya anak
membawa dampak negatif di ruang kelas pend. Reguler.
Dan hanya ¼ guru yang yakin dan mengusahakan terlaksananya pend.
Inklusif dengan baik. Mereka benar-benar mempersiapkan diri untuk
mengajar anak difabel, dan bersedia untuk mengikuti pelatihan pend.
Inklusif.
Singkatnya, para guru mendukung adanya pemberlakuan integrasi. Namun
untuk menuju inklusi itu sendiri harus ditujukkan pada perubahan kebijakan
pemerintah untuk mendukung keberhasilan pelaksanaanya.
Klise Pendidikan Khusus
(Antara Praktek dan Kenyataan)
27.
Ada apa dengan kelas pendidikan umum (reguler)?
Fakta di lapangan menunjukkan sebuah ruang kelas
pendidikan umum (reguler) yang menempatkan dan
mencakup beragam anak yang berbeda-beda; pengajaran
dalam jumlah atau scope yang luas; perhatian guru yang
lebih kepada cara mengajar dibandingkan materi yang
diajarkan terhadap individu -anak- yang memiliki
kemampuan yang berbeda pula.
Realitas Pendidikan Umum
28.
Beberapa fakta di lapangan selanjutnya menunjukkan
bahwa tidak semua kebutuhan anak difabel terpenuhi ketika
berada di dalam kelas (seperti tidak mendapatkan layanan
pendidikan khusus atau pendampingan); masih banyak
kondisi guru umum yang belum dilatih utnuk menghadapi
perbedaan cara mengajar (baik dari metode ataupun
strategi), sedikit sekali design atau bentuk variasi pengajaran
yang khusus yang diberikan pada anak difabel sesuia
keunikan mereka; tidak ditemukannya spesifikasi
pengajaran, individualisasi, intensif, dan remidial bagi anak
dengan akademik yang rendah.
Realitas Pendidikan Umum
29. Ada berbagai hal terkait gambaran keadaan atau situasi sosial di
dalam pendidikan umum:
1. Memunculkan rasa toleransi dan dukungan sosial dari anak non
difabel terhadap anak difabel.
2. Terdapat beberapa konsekuen yang negatif dalam diri anak
difabel, seperti terbatas atau rendahnya tingkat kepercayaan diri
anak, kurangnya konsep diri dan kemampuan yang kurang
memadai, memunculkan perasaan marah, malu, frustasi dan
pandangan yang tidak menyenangkan lainnya (terhadap anak
difabel).
3. Beberapa kondisi masih menunjukkan kurangnya interaksi
positif antara guru dengan anak difabel, antara anak difabel
dengan teman sebayanya yang terkadang ditolak kehadirannya
di lingkungan.
Realitas Pendidikan Umum
30. Kemampuan dan kecakapan guru:
1. Ada kekhawatiran dalam diri guru bahwa mereka akan
memberikan perhatian, waktu dan usaha yang lebih guna
memenuhi kebutuhan anak difabel, yang pada akhirnya hanya
akan membatasi kesediaan waktu yang optimal terhadap anak
non difabel (tanggung jawab yang berlebih).
2. Tidak semua sekolah siap untuk memutuskan rekonstruksi
untuk pendidikan inklusi, sebab masih menimbang-nimbang
dalam peranan persepsi, gaya mengajar, orientasi filosofis,
pengaturan waktu, koordinasi jadwal, dukungan administratif,
ketidakmampuan membangun komunikasi dan mengatasi
perbedaan pengajaran, kurangnya sumber daya untuk
mencukupi kebutuhan khusus anak difabel di dalam kelas
umum, dan kurangnya kesempatan berkolaborasi antara guru
umum dan guru khusus.
Realitas Pendidikan Umum
31.
Ini merupakan landasan filosofis, dimana post-modernisme
menolak pandangan modern dari ilmu pengetahuan
sebagai sebuah sistem yang terfokus pada penyelesaian
masalah dengan konstruksi, evaluasi, dan pengujian
hipotesis yang berbeda terkait solusi yang optimal. Post-
modern menjauhkan diri dari batasan disiplin ilmu yang
kaku dan menantang kemungkinan dari penciptakan dunia
yang meliputi semua sudut pandang.
Post-Modernisme dan Inklusi
32.
Ciri-ciri post-modernisme tertuju pada pemisahan elemen
yang terisolasi dari hubungan yang spesifik, dan
membentuk perpaduan dari hal-hal yang berlawanan atau
sebaliknya. Mereka menawarkan keadaan yang tidak dapat
dipastikan kepada sebuah penentuan, perbedaan keragaman
daripada kesatuan ragam, perbedaan daripada persatuan,
kompleksitas daripada penyederhanaan, mereka melihat
pada keunikan daripada hal-hal yang bersifat umum, lintas
tekstual daripada hubungan sebab akibat. Dengan adanya
perspektif postmodernisme ini, ilmu sosial menjadi lebih
subjektif.
Post-Modernisme dan Inklusi
33.
Mendiskusikan tentang kemungkinan pendidikan inklusif
untuk dapat berada dalam konteks dunia nyata seakan
terhalang oleh bukti atau fakta empirik. Pada dasarnya
sistem pendidikan khusus merugikan anak, seperti halnya di
AS, keberadaan anak minoritas selalu terusir dari
masyarakat, dan dianggap berada dalam kasta yang rendah,
mereka diberi label terhadap citra diri mereka. Maka
pendidikan khusus dianggap sebagai hal yang mendorong
pada ketidakmungkinan untuk meraih keadilan. Oleh sebab
itu, situasi dapat diperbaiki hanya dengan menempatkan
semua anak dalam lingkup pendidikan umum.
Post-Modernisme dan Inklusi
34. Ideologi, Politik dan Keyakinan
Perbedaan konsep inklusi dengan yang lain ada pada hasil
ideologi, bukan pada penafsiran ilmiah. Ideologi pada dasarnya
tidak mempertimbangkan sikap ilmiah. Ide tentang paradigma
dan perkembangan ilmiah menekankan pada pelaksanaan
penelitian yang menggambarkan kemajuan dan kemunduran
ketika ada kekurangan validasi fakta dan bukti penelitian, dan
pengalaman percobaan teori yang gagal harus dimodifikasi
untuk mengakomodasi keberhasilan sejak dini. Tanpa adanya
bukti ilmiah, maka teori menjadi tidak ada. Bukti ilmiah
kemudian penting untuk menguatkan penelitian sehingga ia
maju.
Post-Modernisme dan Inklusi
35.
Seperti halnya pendidikan khusus yang menekankan
pada kelas khusus dan menunjukkan beberapa
keberhasilan dalam pelaksanaannya melalui model
sumber belajar, model kolaboratif, pendidikan bina diri
(penyesuaian diri), tutor sebaya, strategi pendidikan
yang diindividualisasikan (IEP/PPI), dan strategi
inovatif, telah menunjukkan respon dari kemajuan
pendidikan khusus.
Post-Modernisme dan Inklusi
36. Sebaliknya para inclusionist gagal untuk menunjukkan kemajuan
dalam penelitiannya. Faktanya, bukti empirik gagal untuk
diidentifikasikan, argumen pendukung hanya sebatas studi kasus
dan testimoni, bukan berdasarkan fakta penelitian kuantitatif
(metodologis). Oleh sebab itu, ‘inklusi’ membutuhkan lebih banyak
penelitian, karena penyederhanaan hanya akan menggiring pada
sesuatu yang tidak teruji secara faktual. Ideologi boleh jadi berguna
untuk mengukuhkan tujuan dan sasaran. Namun praktek nyata
adalah hal yang terbaik dari penelitian ilmiah. Tidak heran jika
pendidikan khusus menjadi rujukan dalan kebijakan politik,
meskipun ideologi juga memerankan peranan yang utama dalam
sebuah aturan (sebelum diberlakukannya sebuah aturan atau
penetapan kebijakan).
Post-Modernisme dan Inklusi
37.
Perdebatan pelik antara para inclusionist atau postmodernisme
atau sederhananya dapat disebut sebagai sosiolog pendidikan
dengan para praktisi pendidikan khusus menghasilkan
pandangan yang berbeda.
1. Para inclusonist menginginkan sebuah ‘inklusi’ itu menjadi
landasan ideologi, terwujud dalam sebuah gerakan nyata
secara menyeluruh dan menjadi rujukan kebijakan
pemerintah. Mereka berpendapat bahwa memperjuangkan
hak asasi para difabel sebagai warga negara tidak selalu
menuntut bukti empiris. Apabila tidak digalakkan secara
radikal maka tidak akan pernah tercapai sebuah ‘inklusi’ yang
diharapkan. Kecemasan para inclusionist ini ada pada stigma
atau labelling yang dikaitkan dengan tempat.
Ingat!
38.
2. Para ilmuwan atau praktisi pendidikan khusus
menyebutkan bahwa perubahan yang progresif ke
arah kemajuan terjadi dalam sistem pendidikan
khusus. Mereka menantang kebermanfaatan praktek
inklusi dalam realita yang tidak hanya sebatas retorika
ideologi (fakta empiris terkait keberhasilan pendidikan
inklusif). Mereka menilai bahwa masih banyak sisi
kekurangan menghadapi inklusi itu sendiri, seperti;
perspektif guru yang tidak sepenuhnya positif,
kekhawatiran orang tua, dan tidak semua anak non
difabel akan menerima anak difabel level berat dsb.
Ingat!
39. Pembahasan integrasi anak –dengan dan tanpa- disabilitas bukan
sebuah hal yang baru lagi, hal ini sudah terjadi selama 25 tahun
yang lalu terhitung sejak 1970-an. Ketika aturan tentang LRE
ternyata tidak menunjukkan peningkatan hasil. Meskipun ada
dukungan ideologi dan politik untuk gerakan ‘inklusi’, namun tetap
saja bukti empirik kurang meyakinkan. Kenyataan di sekolah
reguler, masih belum menempatkan sikap, persepsi, akomodasi,
dan berbagai penyesuaian adaptif lainnya pada porsi dan
kebutuhannya. Maka diperlukan adanya penelitian lebih lanjut.
Oleh sebab itu, diantara dua pandangan yang berbeda, harus
ditengahi oleh pandangan yang logis. Belajar dari banyaknya
pengalaman sebelumnya, bahwa pendidikan khusus-lah yang
menjadi posisi terbaik (menurut penulis dalam artikel jurnal ini)
untuk mewujudkan misi keberhasilan dalam menyediakan
pendidikan terbaik bagi anak difabel.
Kesimpulan
40. 1. Artikel jurnal ini menyuguhkan berbagai laporan hasil
penelitian terkait praktek penyelenggaraan pendidikan khusus
dan menuju inklusi di lapangan.
2. Penulis dalam artikel jurnal ini adalah praktisi dan pakar
pendidikan khusus di AS; Kenneth A. Kavale dan Steven R.
Forness.
3. Jarak spasial dalam artikel jurnal ini berkisar antara tahun 1970
an sampai 1985-an. Oleh sebab itu diperlukan adanya penelitian
lanjutan dan terbaru terkait antar keduanya; pendidikan
khusus dan pendidikan inklusif.
4. Pendidikan khusus secara esensi memang tidak dapat
dihilangkan, sebab keberadaan sebenarnya menunjang
keberhasilan pendidikan inklusi.
5. Pendidikan inklusi juga diperlukan penyelenggaraannya secara
menyeluruh, agar dampak positif dalam kacamata sosial lebih
terwujud.
Tanggapan, Kritik dan Saran