1. VARIETAS UNGGUL KEDELAI
UNTUK BAHAN BAKU INDUSTRI PANGAN
Erliana Ginting1, Sri Satya Antarlina2, dan Sri Widowati3
1Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Jalan Raya Kendal Payak, Kotak Pos 66 Malang 65101
Telp. (0341) 801468, Faks. (0341) 801496, E-mail: blitkabi@telkom.net; erlianag@hotmail.com
2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, Jalan Raya Karangploso km 4, Kotak Pos 188 Malang 65101
Telp. (0341) 494052, 485056, Faks. (0341) 471255, E-mail: bptp-jatim@litbang.deptan.go.id; bptpjatim@yahoo.com
3Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Jalan Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114
Telp. (0251) 8321762, 8350920, Faks. (0251) 8321762, E-mail: bb_pascapanen@litbang.deptan.go.id
Diajukan: 24 Juli 2009; Diterima: 11 Agustus 2009
ABSTRAK
Produksi kedelai Indonesia hanya mampu memenuhi 38% kebutuhan untuk konsumsi, sedang sisanya harus diimpor.
Penggunaan varietas unggul berpotensi hasil tinggi (> 2 t/ha) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
produksi kedelai. Selama 15 tahun terakhir telah dilepas 37 varietas unggul kedelai, namun adopsinya di tingkat
petani masih lambat. Selain itu, pengrajin tempe dan tahu cenderung memilih kedelai impor karena terjamin
pasokan bahan bakunya, lebih bersih, dan lebih besar ukuran bijinya dibanding kedelai lokal. Varietas unggul baru
seperti Burangrang, Bromo, dan Argomulyo dapat menghasilkan tempe yang kualitasnya sama dengan kedelai
impor, bahkan kandungan proteinnya lebih tinggi. Demikian pula untuk tahu, varietas-varietas unggul baru yang
kadar protein bijinya > 40% basis kering (bk), menghasilkan bobot dan tekstur yang lebih baik dibanding kedelai
impor yang kadar proteinnya 35−37% bk. Kadar protein biji berkorelasi positif dengan bobot dan tekstur tahu,
terutama dipengaruhi oleh fraksi globulin. Biji kedelai varietas Lokal Ponorogo, dan varietas unggul Wilis, Bromo,
Argomulyo serta Anjasmoro yang berwarna kuning dengan kadar protein tinggi (37−43% bk) dan intensitas langu
rendah, sesuai untuk bahan baku susu kedelai. Merapi, Cikuray, dan Mallika merupakan varietas unggul kedelai
hitam yang kadar proteinnya 37–42% bk, sesuai untuk bahan baku kecap, namun ukuran bijinya relatif kecil. Dua
varietas baru kedelai hitam (Detam-1 dan Detam-2) berukuran biji besar (± 14 g/100 biji) dengan potensi hasil 3−
3,50 t/ha dan kadar protein paling tinggi (43–44,60% bk), menghasilkan kecap manis yang kadar proteinnya
sedikit lebih tinggi dibanding kedelai kuning, sedang bobot dan volume kecap serta sifat sensorisnya relatif sama.
Penyebaran varietas unggul kedelai tersebut perlu didukung dengan ketersediaan benih di tingkat petani, sedangkan
benih sumbernya (BS) diproduksi oleh Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.
Kata kunci: Kedelai, varietas unggul, kualitas, produk pangan
ABSTRACT
The suitability of improved soybean varieties for food industry ingredient
Soybean production in Indonesia can only meet 38% of the consumption needs, while the rest is imported. The use
of high potential yield of improved soybean varieties (> 2 t/ha) is essential to increase the domestic production.
About 37 improved soybean varieties have been released since the last 15 years, however they are slowly adopted
by farmers’. In addition, tempe and tofu processors tend to select imported soybean as an ingredient due to its
guaranteed supply and better physical quality relative to domestic soybean. In fact, new improved soybean
varieties like Burangrang, Bromo, and Argomulyo showed similar quality of tempe with higher protein content
than imported soybean. Similarly, new improved varieties which have high protein content (> 40% dry weight)
gave higher weight and better texture of tofu compared to those of imported soybean with protein content about
35−37% dw. The protein content of soybean seed positively correlated with the weight and texture of tofu,
particularly dicatated by the globulin fraction. Yellow seeded soybean varieties with high protein content (37−43%
dw) and low beany flavour intensity, like Local Ponorogo, Wilis, Bromo, Argomulyo, and Anjasmoro are suitable
for soymilk ingredient. Merapi, Cikuray and Mallika are black seeded soybean varieties with protein content
around 37−42% dw and suitable as ingredients for soy sauce preparation. However, their seed sizes are relatively
small. Two new black seeded soybean varieties, namely Detam-1 and Detam-2 with bigger seed sizes (± 14 g/100
seeds), higher potential yield (3−3.50 t/ha) and highest protein content (43–44.60% dw) produced soy sauce with
slightly higher protein content than that of yellow seeded soybean, while the weight, volume and sensorial
attributes were similar. The seed availability of these improved soybean varieties is then essentially needed to
support their adoption by farmers’ while the breeder seed is produced by Indonesian Legumes and Tuber Crops
Research Institute.
Keywords: Soybean, improved varieties, quality, food products
Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009 79
2. Sekitar 90% kedelai yang tersedia di
Indonesia, digunakan sebagai bahan
pangan, dan sisanya untuk pakan ternak
dan benih (FAOSTAT 2005). Produk
olahan kedelai, seperti tempe, tahu, kecap,
tauco, susu kedelai, dan taoge merupakan
menu penting dalam pola konsumsi
sebagian besar masyarakat Indonesia,
terutama sebagai sumber protein yang
relatif murah harganya. Tempe dan tahu
mendominasi pemanfaatan kedelai untuk
bahan pangan, yakni masing-masing 50%
dan 40%, sedangkan sisanya digunakan
untuk pengolahan susu kedelai, kecap,
taoge, tauco, tepung, dan olahan lainnya
(Silitonga dan Djanuwardi 1996). Menurut
BPS (1999), sekitar 24% dan 19% rumah
tangga di Indonesia mengonsumsi tempe
dan tahu setiap hari
Konsumsi kedelai terus meningkat
seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk, sehingga sebagian besar harus
diimpor karena produksi dalam negeri
belum mencukupi kebutuhan. Dengan
tingkat konsumsi 8,10 kg/kapita/tahun
pada tahun 2005 dan produksi 808.353
ton (BPS 2006), diperlukan impor kedelai
62% atau sekitar 1,20 juta t/tahun
(FAOSTAT 2005). Impor kedelai pada
tahun 2007 bahkan mencapai 1,30 juta ton
karena produksi kedelai dalam negeri
menurun menjadi 608.262 ton (Kompas
2008).
Kebutuhan kedelai untuk konsumsi
diproyeksikan akan meningkat rata-rata
2,44%/tahun (Sudaryanto dan Swastika
2007). Dewasa ini kedelai tidak hanya
digunakan sebagai sumber protein, tetapi
juga sebagai pangan fungsional yang
dapat mencegah timbulnya penyakit
degeneratif seperti penuaan dini, jantung
koroner, dan hipertensi. Senyawa iso-flavon
yang terdapat pada kedelai ternyata
berfungsi sebagai antioksidan. Beragam-nya
penggunaan kedelai tersebut menjadi
pemicu peningkatan konsumsi kedelai.
Untuk memenuhi kebutuhan kedelai,
diperlukan upaya peningkatan produksi
dalam negeri melalui penggunaan varietas
unggul yang berpotensi hasil tinggi dan
sesuai mutu bijinya untuk produk olahan
tertentu. Sejak 15 tahun terakhir, telah
dilepas 37 varietas unggul kedelai dengan
potensi hasil rata-rata > 2 t/ha (Balitkabi
2008). Namun, adopsi varietas unggul
tersebut oleh petani relatif lambat karena
rendahnya akses petani terhadap infor-masi
varietas unggul dan kurang memadai-nya
ketersediaan benih di lapangan,
sehingga petani tetap menanam varietas
yang telah lama mereka kenal.
Di samping itu, kalangan pengrajin
tempe cenderung memilih kedelai impor
sebagai bahan baku dibanding kedelai
nasional karena pasokan bahan bakunya
terjamin, kualitas biji dan tempe lebih baik
(lebih bersih dan lebih mekar) (Setiadi dan
Nainggolan 1998). Kedelai yang dijual di
pasaran umumnya merupakan varietas
lokal atau varietas unggul lama, seperti
Wilis yang ukuran bijinya lebih kecil
dibanding kedelai impor. Menurut
Krisdiana (2005), sekitar 93% pengrajin
tempe menyukai kedelai yang berkulit
kuning dan berbiji besar (82%) karena
menghasilkan tempe yang warnanya cerah
dan volumenya besar. Jenis tersebut
banyak tersedia di pasaran, yakni kedelai
impor. Sementara untuk tahu, masing-masing
33; 30; dan 20% pengrajin memilih
kedelai yang warna bijinya kuning, hijau
atau kuning kehijauan sebagai bahan baku
dengan ukuran biji beragam, yakni besar
(36%), sedang (33%), dan kecil (18%).
Untuk memenuhi kebutuhan industri
berbahan baku kedelai, beberapa varietas
unggul kedelai yang dilepas akhir-akhir ini
memiliki sifat yang beragam. Umumnya
varietas-varietas tersebut memiliki biji
besar dan berwarna kuning, seperti Argo-mulyo,
Bromo, Burangrang, Panderman,
Anjasmoro, dan Grobogan yang ukuran
bijinya sama, bahkan lebih besar diban-ding
kedelai impor, dan kadar proteinnya
lebih tinggi dibanding kedelai impor
maupun varietas Wilis yang sudah lama
dibudidayakan petani (Tabel 1). Untuk
bahan baku kecap yang memerlukan biji
kedelai hitam, telah dilepas varietas unggul
Merapi, Cikuray, dan Mallika yang kadar
proteinnya cukup tinggi, namun ukuran
bijinya relatif kecil. Oleh karena itu, pada
tahun 2008 Balai Penelitian Tanaman
Kacang-kacangan dan Umbi-umbian
(Balitkabi) melepas dua varietas kedelai
Tabel 1. Ukuran biji (bobot 100 biji) dan komposisi kimia beberapa varietas/galur kedelai.
Varietas/galur
Bobot 100 biji
(g) Warna kulit biji
(% bk) (% bk) (t/ha) Tahun dilepas
Protein Lemak Potensi hasil
Argomulyo1, 2, 4 18−19 Kuning 37−40,20 19,30−20,80 2 1998
Grobogan1 18 Kuning 43,90 18,40 3,40 2008
Panderman1 15−17 Kuning 36,90 17,70 2,40 2003
Burangrang1, 2, 3 14,90−17 Kuning 39−41,60 20 2,50 1999
Kedelai impor2, 3 14,80−15,80 Kuning 35−36,80 21,40−21,70 − −
Bromo2, 3 14,40−15,80 Kuning 37,80−42,60 19,50 2,50 1998
Anjasmoro1 14,80−15,30 Kuning 41,80−42,10 17,20−18,60 2,30 2001
Detam-11 14,80 Hitam 45,40 13,10 3,50 2008
Detam-21 13,50 Hitam 45,60 14,80 3 2008
Tampomas1, 2 10,90−11 Kuning 34−41,20 18−19,60 1,90 1992
Cikuray1, 2 9,10−11 Hitam 35−42,40 17−19 1,70 1992
Wilis1, 2, 3 8,90−11 Kuning 37−40,50 18−8,80 1,60 1983
Kawi1, 2 10,10−10,50 Kuning 38,50−44,10 16,60−17,50 2 1998
Mallika1 9−10 Hitam 37 20 2,90 2007
Merapi1, 4 8−9,50 Hitam 41−42,60 7,50−13 1 1938
Krakatau1, 2 8−9,10 Kuning 36−44,30 16−17 1,90 1992
bk = basis kering.
Sumber: 1Balitkabi (2008); 2Antarlina et al. (2002); 3Antarlina (2002); 4Ginting dan Suprapto (2004).
80 Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
3. hitam yang ukuran bijinya besar dan kadar
proteinnya lebih tinggi .
Di samping warna dan ukuran biji,
varietas-varietas unggul kedelai tersebut
juga memiliki potensi hasil yang cukup
tinggi, yakni > 2 t/ha (Tabel 1). Namun,
informasi kesesuaiannya untuk diolah
menjadi beragam produk pangan perlu
disosialisasikan untuk mempercepat laju
adopsi varietas-varietas unggul kedelai
tersebut baik di tingkat petani maupun
pengrajin/industri. Hasil-hasil penelitian
kualitas produk olahan dari varietas-varietas
unggul tersebut dibandingkan
dengan kedelai impor juga penting
diinformasikan untuk meningkatkan
apresiasi dan penggunaan kedelai dalam
negeri. Makalah ini membahas kualitas
produk olahan kedelai, seperti tempe, tahu,
susu kedelai, dan kecap dari beberapa
varietas unggul kedelai nasional dan
kedelai impor.
VARIETAS KEDELAI
UNTUK TEMPE
Tempe merupakan produk olahan kedelai
hasil fermentasi jamur Rhizopus sp. yang
bernilai gizi tinggi dan disukai cita rasanya.
Cita rasa langu yang secara alami terdapat
pada biji kedelai dapat dieliminasi selama
proses pengolahan tempe. Sejauh ini,
bahan baku tempe sebagian besar masih
menggunakan kedelai impor yang diang-gap
memiliki kualitas fisik lebih baik
dibanding kedelai lokal. Beberapa varietas
unggul baru kedelai memiliki warna dan
ukuran biji yang relatif sama dengan
kedelai impor. Menurut Susanto dan
Saneto (1994), ukuran biji kedelai ter-golong
kecil bila memiliki bobot 8−10 g/
100 biji, sedang jika bobotnya 10−13 g/
100 biji, dan besar bila > 13 g/100 biji.
Kadar protein kedelai ini juga lebih tinggi
dibanding kedelai impor, yang kemung-kinan
mengalami penurunan karena
lamanya penyimpanan dari saat panen
sampai dipasarkan di Indonesia.
Antarlina et al. (2002) melaporkan,
ukuran biji kedelai merupakan faktor
penentu kualitas tempe karena berkorelasi
positif dengan bobot (r = 0,86**) dan
volume tempe (r = 0,95**) (Gambar 1).
Bobot tempe merupakan berat tempe segar
yang diperoleh dari 100 g biji kedelai,
sementara volume tempe merupakan hasil
perkalian panjang, lebar dan tinggi tempe
yang diperoleh dari 100 g biji kedelai.
Penelitian ini menggunakan lima varietas
(Burangrang, Bromo, Kawi, Jayawijaya,
Wilis) dan satu galur kedelai (MSC-9102-
D-1) yang ukuran bijinya bervariasi antara
8,30 – 15,90 g/100 biji. Sifat sensoris tempe
(warna, kenampakan/penampilan, aroma,
tekstur, dan rasa) dari tiga varietas kedelai
yang ukuran bijinya besar (bobot 100 biji
± 15 g), yakni Burangrang, Argomulyo, dan
Bromo, tidak berbeda nyata skornya
(antara sedang sampai baik) dengan tempe
dari kedelai impor, baik yang diperoleh dari
Malang maupun Yogyakarta (Gambar 2).
Antarlina (2002) juga melaporkan,
tempe dari biji kedelai varietas Bromo dan
Burangrang memiliki rendemen dan kadar
protein yang lebih tinggi dibanding tempe
dari kedelai impor, dan sama tingkat
kesukaan panelis terhadap sifat
sensorisnya (Tabel 2). Ini mengisyaratkan
bahwa kualitas tempe dari kedua varietas
tersebut tidak kalah dengan tempe dari
kedelai impor dan telah memenuhi standar
mutu tempe untuk kriteria kadar air, abu,
dan protein (minimal 20% bb) (BSN 1998).
Demikian pula pada penelitian yang
menggunakan varietas Argomulyo,
Jayawijaya, Ringgit, Pangrango, dan
Tampomas, dihasilkan tempe dengan
kadar protein 27,70−30,60% bb, lebih
tinggi dibanding tempe dari kedelai impor
(26,70% bb) pada tingkat kadar air yang
relatif sama, yakni 53−54% (Antarlina et
al. 2003). Varietas kedelai Argopuro dan
Gumitir (dilepas tahun 2005) yang ukuran
bijinya masing-masing 15 g dan 18 g/100
biji, juga menunjukkan rendemen (bobot)
tempe rata-rata lebih tinggi 18% dibanding
kedelai impor (Adie et al. 2008).
Bobot tempe
(g)
Volume tempe
(cm3)
a
WL
JW
KA
MI
BR
BU
r = 0,856**, n = 6
0 5 10 15 20
Ukuran biji (bobot 100 biji) (g)
270
240
210
180
150
120
r = 0,950**, n = 6
0 5 10 15 20
BU = Burangrang KA = Kawi
BR = Bromo WL = Wilis
MI = MSC-9102-D-1 JW = Jayawijaya
b
WL MI
KA
JW
BU
BR
190
180
170
160
150
140
Ukuran biji (bobot 100 biji) (g)
Gambar 1. Hubungan antara ukuran biji kedelai dengan (a) bobot tempe dan (b) volume tempe yang dihasilkan dari enam
varietas/galur kedelai (Antarlina et al. 2002).
Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009 81
4. Skor sifat
sensoris tempe
5
4
3
2
1
0
ab
b b b
Burangrang
Argomulyo
Bromo
Kedelai impor asal Malang
Kedelai impor asal Yogyakarta
a
13 14 15 16 17
Ukuran biji (bobot 100 biji) (g)
Gambar 2. Hubungan antara ukuran biji kedelai dan tingkat penerimaan sifat
sensoris tempe dari lima varietas kedelai dengan skor 1 = jelek; 3 =
sedang; dan 5 = baik. Skor masing-masing varietas yang diikuti huruf
sama, tidak berbeda nyata pada uji BNT 5% (Antarlina et al. 2002).
Tabel 2. Kualitas tempe dari varietas unggul kedelai dan kedelai impor.
Kriteria Burangrang Bromo Kedelai impor
Bobot 100 biji (g) 16,20 15,80 16
Kadar protein biji (% bk) 39,20 37,80 35
Kadar protein tempe (% bb) 26,70 24,30 22,10
Rendemen (%) 152,50 148,40 138,40
Tingkat kecerahan warna (% Y)1 67,90 69,80 67,60
Warna, tekstur, aroma, dan rasa tempe2 3 3,10 3
bk = basis kering; bb = basis basah; 1nilai Y 100% (putih) sampai 0% (hitam);
2Tingkat kesukaan dengan uji Hedonic menggunakan 20 orang panelis.
Sumber: Antarlina (2002).
VARIETAS KEDELAI
UNTUK TAHU
Tahu merupakan produk olahan kedelai
yang diekstrak proteinnya (susu kedelai)
lalu digumpalkan dengan bahan peng-gumpal
(koagulan) yang dapat berupa
batu tahu (kalsium sulfat), biang/whey
(hasil pengepresan yang didiamkan se-malam),
asam asetat atau glucono delta
lactone (GDL). Perbedaan jenis peng-gumpal
Cukup suka Cukup suka Cukup suka
akan menentukan tekstur dan cita
rasa tahu yang dihasilkan (Watanabe 1997
dalam Poysa dan Woodrow 2002). Kadar
protein tahu lebih rendah dibanding tempe
(sekitar 6−8,40%). Namun dengan nilai
cerna sekitar 95%, tahu aman dikonsumsi
oleh semua golongan umur (Kusbiantoro
1993).
Tahu merupakan gel protein kedelai,
sehingga kualitas tahu, terutama ren-demen
dan teksturnya sangat ditentukan
oleh jumlah protein yang dapat terekstrak
dalam susu kedelai sebelum digumpalkan
(Poysa dan Woodrow 2002). Itulah sebab-nya
jenis/varietas kedelai dan teknik
pengolahan yang digunakan merupakan
faktor penentu kedua kriteria tersebut (Cai
dan Chang 1999; Mujoo et al. 2003). Hasil
penelitian Antarlina et al. (2002) yang
menggunakan 12 jenis varietas unggul
kedelai, satu galur, dan dua varietas impor
dengan variasi bobot 100 biji sekitar 6,10−
15,90 g menunjukkan, kadar protein biji
berkorelasi positif dengan bobot tahu
(merefleksikan rendemen) dan tingkat
kekerasan tahu (r = 0,703**) (Gambar 3).
Bobot tahu dari ke-13 varietas unggul/
galur kedelai tersebut lebih tinggi dan
teksturnya lebih keras dibanding tahu dari
kedelai impor, karena kadar protein bijinya
(39,90−44,30% bk) lebih tinggi dibanding
kedelai impor (36−36,80% bk). Korelasi
positif antara kadar protein biji dengan
bobot (r = 0,85**) dan tekstur tahu (r =
0,63**) juga dilaporkan oleh Poysa dan
Woodrow (2002) pada 10 varietas/galur
kedelai dengan menggunakan bahan
penggumpal GDL, dan sedikit lebih kecil
nilainya (r = 0,79** dan r = 0,59**) pada
tahu dengan bahan penggumpal kalsium
sulfat.
Fakta di atas memberi gambaran bahwa
ukuran biji ke-15 varietas/galur kedelai
tersebut tidak berpengaruh terhadap
rendemen dan tekstur tahu. Itulah sebab-nya
para pengrajin tahu tidak begitu
mempermasalahkan ukuran biji dibanding
untuk tempe yang menghendaki biji
kedelai berukuran besar (Krisdiana 2005).
Di samping itu, warna tahu dari biji kedelai
varietas unggul juga lebih cerah dibanding
tahu dari biji kedelai impor (Antarlina et
al. 2002). Warna biji kedelai impor relatif
lebih kusam akibat lamanya penyimpanan
(6−12 bulan) sebelum dipasarkan di
Indonesia, sementara biji kedelai varietas-varietas
unggul tersebut langsung diolah
setelah panen dan dikeringkan.
Fenomena meningkatnya rendemen
tahu seiring dengan meningkatnya kadar
protein biji kedelai juga diamati oleh
Kusbiantoro (1993) pada 16 varietas/galur
kedelai. Namun, Indrasari dan Damardjati
(1991) serta Soejadi dan Mudjisihono
(1995) tidak mendapatkan korelasi yang
positif antara kadar protein biji dan
rendemen tahu pada pengamatan 22
varietas/galur kedelai. Hal ini menunjuk-kan
bahwa kadar protein biji bukan
merupakan satu-satunya faktor penentu
rendemen tahu. Wijaya dan Rohman (2001)
82 Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
5. variasi (Tabel 3). Rendemen tahu basah
(kadar air 74−79%) berkisar antara 151−
191%, sedangkan rendemen tahu kering
(bobot tahu kering dibagi bobot kedelai
kering) berkisar antara 40% (Lumajang
Brewok) dan 49% (Tambora). Rendemen
tahu berkorelasi positif dengan fraksi
globulin dan berkorelasi negatif dengan
fraksi prolamin (Widowati dan Emilia
1994).
Berdasarkan sifat kelarutannya meng-gunakan
analisis ultra-sentrifugal, protein
kedelai dapat diklasifikasikan menjadi
empat fraksi, yaitu fraksi 2S (15%), 7S
(34%), 11S (41,9%), dan 15S (9,1%)
(Fukushima 1991 dalam Zhao et al. 2008).
Fraksi 2S terdiri atas antitripsin dan
sitokinin, sedangkan fraksi 7S terdiri atas
lipoksigenase, amilase, dan globulin.
Fraksi 11S, semuanya adalah globulin dan
fraksi 15S terdiri atas polimer protein
(Kinsella 1979). Oleh karena itu, dapat
dijelaskan bahwa di antara 10 varietas
yang diteliti, varietas Tambora mem-punyai
rendemen kering tahu tertinggi
(49%) karena kadar globulinnya paling
tinggi (24,16%), sedangkan varietas
Lumajang Brewok rendemen keringnya
terendah (40%) karena kadar globulinnya
juga paling kecil (15,89%). Kadar globulin
varietas Cikuray dan Lumpobatang tidak
berbeda nyata dengan varietas Tambora,
namun rendemen tahunya sedikit lebih
rendah. Perbedaan fraksi protein globulin,
terutama 7S dan 11S dapat menyebabkan
perbedaan hasil tersebut. Fraksi 11S
(glisinin) dan 7S (beta konglisinin)
merupakan protein dominan pada biji
kedelai (sekitar 80%), yang kandungannya
dipengaruhi oleh jenis/varietas kedelai
dan lingkungan tumbuhnya (Cai dan
Chang 1999). Perbedaan sifat pemben-tukan
gel protein kedelai yang menentukan
kualitas tahu diyakini erat kaitannya
dengan keberadaan kedua fraksi tersebut
(Mujoo et al. 2003).
Fraksi globulin dapat difraksinasi lebih
lanjut berdasarkan perbedaan titik
isoelektriknya, yakni pH di mana protein
mempunyai tingkat kelarutan terendah
(mengendap). Titik isoelektrik fraksi 7S dan
11S berturut-turut adalah pH 4,80 dan 6,40.
Tabel 4 menunjukkan bahwa persentase
fraksi 7S dan 11S berbeda nyata pada 10
varietas kedelai. Demikian pula pada
penelitian tujuh varietas kedelai dengan
kisaran nilai yang lebih lebar, yakni 19,50−
23,10% untuk fraksi 11S dan 10−12,70%
untuk fraksi 7S (Mujoo et al. 2003). Pada
penelitian tersebut, fraksi 11S dilaporkan
berkorelasi positif dengan rendemen (r =
0,86**) dan tingkat kekerasan tahu (r =
0,82**). Sementara fraksi 7S dan nisbah
fraksi 11S/7S masing-masing berkorelasi
negatif (r = -0,83**) dan positif (r = 0,86**)
dengan tingkat kekerasan tahu (Mujoo et
al. 2003). Hal ini menunjukkan bahwa biji
kedelai dengan kandungan fraksi protein
menyatakan bahwa mutu hasil olahan
kedelai dipengaruhi oleh fraksi proteinnya.
Komposisi fraksi-fraksi protein ber-dasarkan
sifat kelarutannya berpengaruh
terhadap rendemen tahu (Widowati dan
Emilia 1994). Hasil penelitian pada 10
varietas kedelai menunjukkan bahwa
fraksi-fraksi protein kedelai sangat ber-
Bobot tahu
x
kekerasan tahu
(kg Newton)
2
1,50
1
0,50
0
Y = 0,0729x - 1,74
r = 0,703**, n = 15
IM
IY
AM
WL
MC
RI
KR
KA
LS
JW
BR
MI
BU
TA
DI
30 35 40 45
BU = Burangrang
AM = Argomulyo
BR = Bromo
JW = Jayawijaya
KR = Krakatau
Kadar protein biji (% basis kering)
LS = Leuser
DI = Dieng
RI = Ringgit
IM = Kedelai impor asal Malang
IY = Kedelai impor asal Yogyakarta
KA = Kawi
WL = Wilis
MI = MSC-9102-D-1
TA = Tidar
MC = MSC-9021-C-10-2
Gambar 3. Hubungan antara kadar protein biji dengan bobot dan kekerasan tahu
dari 15 varietas/galur kedelai (Antarlina et al. 2002).
Tabel 3. Fraksi protein biji kedelai dari 10 varietas (persentase dihitung
terhadap bobot kedelai).
Varietas
Albumin Globulin Prolamin Glutelin
(%) (%) (%) (%)
Lumajang Brewok 5,10 15,89 0,56 2,54
Tidar 4,40 16,58 0,27 2,64
Lokon 8,08 22,40 0,24 3,76
Malabar 5,62 18,50 0,13 3,03
Kerinci 4,93 20,82 0,12 3,35
Galunggung 8,12 19,05 0,11 2,68
Cikuray 5,98 22,86 0,13 2,94
Tambora 6,87 24,16 0,12 2,86
Wilis 8,25 20,66 0,10 2,80
Lumpobatang 5,54 22,73 0,09 2,06
Sumber: Widowati dan Emilia (1994).
Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009 83
6. Tabel 4. Fraksi protein globulin 7S dan 11S dari 10 varietas kedelai.
Varietas
Fraksi 7S Fraksi 11S
(%) (%) Nisbah 11S/7S
Cikuray 10,20 13,70 1,34
Raung 12,75 14,70 1,15
Petek 14,70 12 0,82
Galunggung 14,60 14,20 0,97
Tidar 16,30 17 1,05
Jayawijaya 17,50 13,28 0,77
Lokon 8,70 21,90 2,51
Malabar 14,30 14,80 1,05
Rinjani 8,60 28,20 3,28
Tampomas 14,30 14,70 1,03
Sumber: Widowati et al. (1998).
11S dan nisbah fraksi 11S/7S tinggi,
cenderung menghasilkan rendemen tahu
yang tinggi dan tekstur tahu yang keras.
Hasil penelitian Widowati et al. (1998)
menggunakan 10 varietas kedelai,
menunjukkan bahwa varietas Rinjani
mempunyai fraksi 11S dan nisbah 11S/7S
paling tinggi sehingga baik kualitasnya
bila diolah menjadi tahu. Berdasarkan hasil-hasil
penelitian yang telah diuraikan di
atas, maka varietas kedelai yang sesuai
untuk bahan baku tahu adalah Tambora,
Lokon, Lumpobatang, dan Rinjani.
VARIETAS KEDELAI UNTUK
SUSU KEDELAI
Susu kedelai merupakan salah satu produk
kedelai yang memiliki kelebihan, antara lain
relatif lebih murah dibanding susu sapi,
bernilai gizi tinggi, sesuai bagi penderita
lactose intolerance, tidak mengandung
kolesterol, dan tidak menyebabkan alergi.
Dilaporkan bahwa mutu protein susu
kedelai 80% mutu susu sapi dengan nilai
nisbah keefisienan protein (PER) 2,30
(Winarno 1985). Namun, tingkat konsumsi
susu kedelai di Indonesia masih relatif
rendah, terutama bila dibandingkan
dengan Cina, Filipina atau Thailand.
Salah satu penyebab kurang berkem-bangnya
konsumsi susu kedelai adalah
karena adanya cita rasa langu (beany
flavour) yang kurang disukai. Cita rasa
langu tersebut timbul akibat aktivitas
enzim lipoksigenase yang secara alami
terdapat pada biji kedelai. Enzim ini aktif
saat biji kedelai pecah pada proses pe-ngupasan
kulit dan penggilingan karena
kontak dengan udara (oksigen). Menurut
Adie (1997), kandungan enzim lipoksige-nase
bervariasi antarvarietas/galur kedelai.
Hal ini menyebabkan intensitas langu
masing-masing varietas kedelai juga
bervariasi. Di samping varietas, mutu susu
kedelai juga dipengaruhi oleh cara
pengolahan, seperti perendaman, pengu-pasan
biji, inaktivasi enzim lipoksigenase
dengan pemanasan dan pemberian bahan
kimia, seperti NaOH 0,05% atau NaHCO3
0,15% (Winarno 1985; Santosa et al. 1994;
Widowati 2007), sekaligus sebagai upaya
untuk meningkatkan rendemen dan
kandungan protein susu kedelai.
Ginting dan Antarlina (2002) telah
melakukan penelitian pembuatan susu
kedelai dari empat varietas dan satu galur
kedelai dengan cara basah (perendaman
8 jam) dan cara kering (pengupasan kulit
secara mekanis). Kadar protein tertinggi
diperoleh pada susu kedelai varietas
Bromo yang diolah dengan cara kering
(4,89%; Tabel 5). Pengolahan cara kering
menghasilkan susu kedelai dengan kadar
protein 1,50-2 kali lebih tinggi dibanding
cara basah, demikian pula untuk total
padatan terlarut (TPT). Padatan ter-ekstrak,
terutama protein dan karbohidrat
berkurang jumlahnya pada pengolahan
cara basah akibat hilang atau tercuci selama
proses perendaman. Namun, rendemen
susu yang dihasilkan dengan cara kering
rata-rata relatif lebih rendah 17,60%. Pada
cara basah, terjadi peningkatan kadar air
biji akibat perendaman, sehingga berat
akhir susu kedelai meningkat. Kadar
protein susu kedelai yang dihasilkan
dalam penelitian ini telah memenuhi
standar mutu yang ditetapkan, yakni
minimal 2% (DSN 1995).
Berdasarkan kriteria sifat sensoris
(warna, aroma, rasa, dan intensitas langu),
kadar protein dan TPT, susu kedelai dari
varietas Lokal Ponorogo yang diolah
dengan cara kering menunjukkan hasil
terbaik, disusul varietas Wilis dan Bromo
yang juga diolah dengan cara kering
(Tabel 6). Menurut Adie (1997), kandung-an
enzim lipoksigense biji kedelai varietas
Lokal Ponorogo lebih rendah dibanding
Wilis, sehingga intensitas langunya juga
lebih rendah. Pengolahan susu kedelai
cara kering prospektif untuk dikembang-kan,
terutama bila alat pengupas biji kedelai
tersedia. Sementara untuk varietas, kedelai
yang bijinya berwarna kuning dengan
kadar protein tinggi dan intensitas langu
rendah sesuai untuk bahan baku susu
kedelai. Menurut Poysa dan Woodrow
(2002), kadar protein dan padatan terlarut
susu kedelai pada pengolahan cara basah
Tabel 5. Rata-rata kadar protein, total padatan terlarut (TPT), dan rendemen
susu kedelai pada tingkat kadar air 90% yang diolah dari beberapa
varietas/galur kedelai.
Varietas
Cara Protein T P T Rendemen
pengolahan (%) (%) (%)
Bromo Basah 2,24 6,44 585
Kering 4,89 10,60 428
Burangrang Basah 2,19 6,53 620
Kering 4,13 10,67 566
Wilis Basah 1,97 5,57 589
Kering 4 10,60 469
Lokal Ponorogo Basah 2,47 6,68 631
Kering 3,74 10,60 495
MSC-9102-D-1 Basah 2,09 5,64 571
Kering 3,31 10,60 510
Sumber: Ginting dan Antarlina (2002).
84 Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
7. Tabel 6. Rata-rata tingkat kesukaan terhadap warna, aroma, rasa, dan
intensitas langu susu kedelai dari beberapa varietas/galur kedelai.
Varietas Cara Warna Aroma Rasa Intensitas
pengolahan langu
Bromo Basah 3,1 3,4 3,5 3,6
Kering 3 3,6 3,6 2,9
Burangrang Basah 3,7 3 2,8 3,1
Kering 3,5 2,8 2,4 2,6
Wilis Basah 3,7 3,5 3,4 3,4
Kering 4,1 3,1 3,8 3
Lokal Ponorogo Basah 3,8 3,7 3,2 3,3
Kering 3,9 3,6 4 3,5
MSC-9012-D-1 Basah 4,2 3,7 3,6 3
Kering 4,1 3,6 3,6 2,8
Skor penilaian warna, aroma, dan rasa mulai dari 1 (sangat tidak suka) sampai 5 (sangat
suka), sedang untuk intensitas langu mulai dari 1 (sangat langu) sampai 5 (tidak langu).
Sumber: Ginting dan Antarlina (2002).
berkorelasi positif (masing-masing r =
0,88** dan r = 0,93**) dengan kadar
protein biji kedelai. Varietas unggul kedelai
Argomulyo dan Anjasmoro yang mirip
sifat fisik dan kimianya dengan varietas
Bromo, tampaknya juga sesuai untuk susu
kedelai.
VARIETAS KEDELAI UNTUK
KECAP
Kecap merupakan produk fermentasi
kedelai yang digunakan sebagai bahan
penyedap dan pemberi warna pada
makanan. Untuk bahan baku kecap,
disukai kedelai berbiji hitam karena dapat
memberi warna hitam alami pada produk-nya
(Damardjati et al. 1996). Namun akhir-akhir
ini, penggunaan kedelai kuning
meningkat dengan makin terbatasnya
pasokan kedelai hitam. Petani beralih
menanam kedelai berbiji kuning yang lebih
tinggi produksinya dan lebih besar ukuran
bijinya dibanding kedelai hitam yang
umumnya berbiji kecil.
Jumlah varietas kedelai berbiji hitam
juga sangat terbatas, baik lokal maupun
unggul. Cikuray dan Merapi merupakan
dua varietas unggul kedelai hitam yang
telah lama dilepas dan sesuai untuk bahan
baku kecap karena kadar proteinnya cukup
tinggi, namun ukuran bijinya tergolong
kecil. Mallika, varietas kedelai hitam yang
dilepas tahun 2007, juga berbiji kecil (9,50
g/100 biji) dengan kadar protein lebih
rendah (37%). Hasil penelitian Ginting dan
Suprapto (2004) menunjukkan bahwa
kedelai hitam varietas Merapi sedikit lebih
baik kualitasnya bila diolah menjadi kecap
manis dibanding kedelai kuning varietas
Argomulyo (Tabel 7). Kecap dari kedua
varietas kedelai tersebut telah memenuhi
standar kadar protein, yakni minimal 2,50%
bb atau 3,70% bk (BSN 1999).
Beberapa varietas dan galur kedelai
hitam berbiji besar yang merupakan hasil
persilangan biji hitam dengan biji kuning
(Kawi dan Wilis) telah dikembangkan, di
antaranya Detam-1 dan Detam-2 dengan
kadar protein yang relatif tinggi (Tabel 8).
Hasil penelitian Ginting dan Adie (2007)
menggunakan kedelai hitam tersebut
menunjukkan bahwa bobot dan volume
kecap manis yang dihasilkan relatif sama
dengan kedelai berbiji kuning (Wilis dan
Burangrang), sedangkan kadar protein
kecap tertinggi diperoleh pada lima
varietas/galur kedelai hitam, termasuk
Detam-1 dan Detam-2, meskipun per-bedaan
tersebut relatif kecil. Relatif
rendahnya kadar protein kecap dari biji
kedelai hitam pada penelitian ini dibanding
penelitian Ginting dan Suprapto (2004)
(Tabel 7), kemungkinan disebabkan oleh
kurang maksimalnya hidrolisis protein
pada waktu fermentasi I karena pertum-buhan
miselia jamur tidak dapat menutupi
seluruh permukaan biji kedelai yang besar,
sehingga perlu ditambah konsentrasi
jamurnya (Ginting dan Adie 2007).
Sementara untuk warna, aroma, dan rasa
kecap relatif sama dengan kecap dari
kedelai kuning. Penambahan bumbu dan
gula merah pada pembuatan kecap manis
tampaknya juga berpengaruh terhadap
warna dan cita rasa kecap di samping
varietas kedelai yang digunakan. Hasil
kedua penelitian tersebut di atas menun-jukkan
bahwa varietas unggul kedelai
berbiji hitam sesuai untuk pengolahan
kecap, terutama ditinjau dari kadar
proteinnya. Khusus varietas kedelai baru
Detam-1 dan Detam-2 juga unggul dari sisi
potensi hasilnya (3−3,50 t/ha) yang lebih
tinggi dibanding varietas-varietas kedelai
hitam sebelumnya, seperti Merapi,
Cikuray, dan Mallika serta beberapa
varietas unggul berbiji kuning.
Adopsi varietas-varietas unggul
kedelai yang sesuai untuk pengolahan
tempe, tahu, susu kedelai, dan kecap harus
dipacu dengan ketersediaan benihnya di
tingkat petani. Untuk kepentingan
tersebut, Balitkabi diberi wewenang oleh
Departemen Pertanian untuk memproduksi
Tabel 7. Komposisi kimia biji dan kecap manis dari dua varietas kedelai.
Varietas kedelai Komposisi kimia Biji kedelai Kecap manis
Argomulyo Bobot 100 biji (g) 17,20 −
(warna biji kuning) Kadar air (%) 8,15 39,01
Kadar protein (% bk) 37,03 3,89
Warnaa − 3
Rasaa − 2
Merapi Bobot 100 biji (g) 9,50 −
(warna biji hitam) Kadar air (%) 7,18 37,37
Kadar protein (% bk) 42,56 5,11
Warnaa − 4
Rasaa − 3
bk = basis kering.
aSkor warna dan rasa: 1 = sangat tidak enak sampai 5 = sangat enak.
Sumber: Ginting dan Suprapto (2004).
Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009 85
8. Tabel 8. Sifat fisik dan kimia biji delapan varietas/galur kedelai serta sifat kimia dan sensoris kecap manis yang
dihasilkan dari 200 g biji.
Varietas/galur kedelai Warna Bobot 100 biji Protein biji Bobot kecap Volume kecap Protein kecap Warna Rasa
kulit biji (g) (% bk) (g) (ml) (% bk) kecapa kecapa
Detam-1 Hitam 14 45,40 121 72,70 2,70 3,30 3
Detam-2 Hitam 13,70 45,60 117,50 73,50 2,70 4 3,30
9837/Kawi-D-3-185 Hitam 14 45,60 124,80 74,20 2,90 3,60 3,20
9837/Wilis-D-6-220 Hitam 11,50 43 124,10 75,40 2,30 3,70 3,10
9637/Kawi-D-3-185 Hitam 14,20 43,90 121,70 75 3 3,80 3,20
Cikuray Hitam 11,50 43,80 121,60 73,80 2,80 3,80 3,10
Burangrang Kuning 14,90 44 117,50 73,10 2,40 4 3
Wilis Kuning 11 40,60 116,50 73,80 2,60 3,80 3,30
aSkor warna dan rasa: 1 = sangat tidak suka sampai 5 = sangat suka.
Sumber: Ginting dan Adie (2007).
dan memasarkan benih penjenis atau
benih sumbernya (BS) melalui Unit
Produksi Benih Sumber (UPBS). Untuk
benih dasar, benih pokok, dan benih sebar
dapat diproduksi oleh balai benih induk
palawija yang terdapat di daerah-daerah
maupun penangkar benih lokal.
KESIMPULAN
Tingkat ketergantungan yang tinggi
terhadap kedelai impor untuk bahan
pangan harus diatasi dengan meningkat-kan
produksi kedelai dalam negeri melalui
penggunaan varietas unggul berpotensi
hasil tinggi (> 2 t/ha), berbiji kuning dan
berukuran besar, mirip dengan karak-teristik
kedelai impor. Varietas Bromo,
Argomulyo, Burangrang, Anjasmoro,
Panderman, dan Grobogan mempunyai
ukuran biji sama atau lebih besar dan
kadar protein (37−43% bk) lebih tinggi
dibanding kedelai impor (35−37% bk).
Ukuran biji kedelai merupakan faktor
penentu kualitas tempe, terutama bobot
dan volume tempe serta sifat sensorisnya.
Varietas berbiji besar Burangrang, Bromo,
dan Argomulyo (bobot 100 biji sekitar 15
g), sesuai untuk bahan baku tempe.
Kualitas tempenya (warna atau tingkat
kecerahan, tekstur, aroma, dan rasa) relatif
sama dengan tempe dari kedelai impor,
bahkan lebih baik karena kadar proteinnya
lebih tinggi.
Untuk produk tahu, kadar protein biji,
terutama fraksi globulin merupakan faktor
penentu rendemen dan tekstur tahu yang
dihasilkan. Tahu yang diolah dari 13
varietas/galur kedelai unggul memiliki
bobot, tekstur, dan warna yang lebih baik
dibanding kedelai impor. Varietas Tambora,
Lokon, Lumpobatang, dan Rinjani meng-hasilkan
rendemen tahu yang tinggi
ditinjau dari fraksi protein globulinnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adie, M.M. 1997. Identifikasi enzim lipoksigenase
pada beberapa genotipe kedelai. Zuriat 8: 78−
83.
Adie, M.M., H. Soewanto, N. Saleh, T. Agus, J.S.
Wahono, dan G.W. Anggoro. 2008. K-27
dan K-25: Galur harapan kedelai berkadar
lemak tinggi dan sesuai untuk tahu dan
tempe. hlm 65−72. Dalam A. Harsono, A.
Taufiq, A.A. Rahmianna, Suharsono, M.M.
Adie, F. Rozi, A. Wijanarko, dan R. Soehendi
(Ed.). Inovasi Teknologi Kacang-kacangan
dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian
Pangan dan Kecukupan Energi. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan, Bogor.
Antarlina, S.S. 2002. Penggunaan varietas kedelai
unggul dan penambahan tapioka dalam
pembuatan tempe. hlm. 146−157. Dalam
D.M. Arsyad, J. Soejitno, A. Kasno,
Sudaryono, A.A. Rahmianna, Suharsono, dan
J.S. Utomo (Ed.). Kinerja Teknologi untuk
Meningkatkan Produktivitas Tanaman
Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan, Bogor.
Varietas kedelai Lokal Ponorogo, Wilis,
dan Bromo yang berbiji kuning dengan
kadar protein tinggi dan intensitas langu
rendah, sesuai untuk bahan baku susu
kedelai. Pengolahan cara kering meng-hasilkan
susu kedelai dengan kadar
protein 1,50 kali lebih tinggi dibanding cara
basah, namun rendemennya berkurang
17,60%.
Varietas kedelai berbiji hitam dengan
kadar protein tinggi (37−42% bk), seperti
Merapi, Cikuray, dan Mallika sesuai untuk
bahan baku kecap, namun ukuran bijinya
relatif kecil. Kecap manis yang diolah dari
varietas/galur kedelai hitam berbiji besar,
di antaranya Detam-1 dan Detam-2 menun-jukkan
kadar protein sedikit lebih tinggi
dibanding kedelai kuning, sementara
bobot dan volume kecap serta sifat
sensorisnya relatif sama. Kedua varietas
baru tersebut juga unggul ditinjau dari
potensi hasilnya (3−3,50 t/ha).
Antarlina, S.S., J.S. Utomo, E. Ginting, and S.
Nikkuni. 2002. Evaluation of Indonesian
soybean varieties for food processing. p. 58−
68. In A.A. Rahmianna and S. Nikkuni (Eds.).
Soybean Production and Postharvest Tech-nology
for Innovation in Indonesia. Procee-dings
of RILET- JIRCAS Workshop on Soy-bean
Research. Malang, 28 September 2000.
Antarlina, S.S., E. Ginting, dan J.S. Utomo. 2003.
Kualitas tempe kedelai unggul selama
penyimpanan beku. Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan 22(2): 106−113.
86 Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009
9. Balitkabi. 2008. Deskripsi Varietas Unggul
Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balai
Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan
Umbi-umbian, Malang.171 hlm.
BPS. 1999. Statistik Kesehatan 1998. Biro Pusat
Statistik, Jakarta.
BPS. 2006. Angka Tetap Tahun 2005 dan Angka
Ramalan II Tahun 2006 Produksi Tanaman
Pangan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
BSN. 1998. Standar Nasional Indonesia untuk
Tempe Kedelai. SNI 01-3144-1998. Badan
Standarisasi Nasional, Jakarta. 5 hlm.
BSN. 1999. Standar Nasional Indonesia untuk
Kecap Kedelai. SNI 01-3543-1999. Badan
Standarisasi Nasional, Jakarta. 7 hlm.
Cai, T. and K.C. Chang. 1999. Processing effect
on soybean storage proteins and their
relationship with tofu quality. J. Agric. Food
Chem. 47: 720−727.
Damardjati, D.S., S. Widowati, and H. Taslim.
1996. Soybean processing and utilization in
Indonesia. Indon. Agric. Res. Dev. J. 18 (1):
13−25.
DSN. 1995. Standar Nasional Indonesia untuk
Susu Kedelai. SNI 01-3830-1995. Dewan
Standarisasi Nasional, Jakarta. 4 hlm.
FAOSTAT. 2005. Statistical data of food balance
sheet. www.fao.org [accessed on 23 March,
2007].
Ginting, E. dan S.S. Antarlina. 2002. Pengaruh
varietas dan cara pengolahan terhadap mutu
susu kedelai. Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan 21(2): 48−57.
Ginting, E. dan Suprapto. 2004. Kualitas kecap
yang dihasilkan dari kedelai hitam dan
kuning. hlm. 267−276. Dalam S. Harda-ningsih,
J. Soejitno, A.A. Rahmianna,
Marwoto, Heriyanto, I.K. Tastra, E. Ginting,
M.M. Adie, dan Trustinah (Ed.). Teknologi
Inovatif Agribisnis Kacang-kacangan dan
Umbi-umbian untuk Mendukung Ketahanan
Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan, Bogor.
Ginting, E. dan M.M, Adie. 2007. Sifat fisik dan
kimia lima galur kedelai hitam serta kualitas
kecap yang dihasilkan. hlm. 495−510.
Dalam D. Harnowo, A.A. Rahmianna,
Suharsono, M.M. Adie, F. Rozi, Subandi, dan
A.K. Makarim (Ed.). Peningkatan Produksi
Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendu-kung
Kemandirian Pangan. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan,
Bogor.
Indrasari, S.D. dan D.S. Damardjati. 1991. Sifat
fisik dan kimia varietas kedelai dan
hubungannya dengan rendemen dan mutu
tahu. Media Penelitian Sukamandi 9: 43−50.
Kinsella, J.E. 1979. Functional properties of
soybean protein. J. Am. Oil Chem. Soc. 56:
242−247.
Kompas. 2008. Produksi kedelai mesti
ditingkatkan. Kompas, 15 Januari 2008.
Krisdiana, R. 2005. Preferensi industri tahu dan
tempe dalam menggunakan bahan baku
kedelai di Jawa Timur. hlm. 540−548. Dalam
A.K. Makarim, Marwoto, M.M. Adie, A.A.
Rahmianna, Heriyanto, dan I.K. Tastra (Ed.).
Kinerja Penelitian Mendukung Agribisnis
Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan, Bogor.
Kusbiantoro, B. 1993. Sifat Fisiko Kimia dan
Karakteristik Protein Kedelai (Glycine max
(L.) Merril) dalam Hubungannya dengan Mutu
Tahu yang Dihasilkan. Tesis, Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Mujoo, R., D.T. Trinh, and P.K.W. Ng. 2003.
Characterization of storage proteins in
different soybean varieties and their
relationship to tofu yield and texture. Food
Chem. 82: 265−273.
Poysa, V. and L. Woodrow. 2002. Stability of
soybean seed composition and its effect on
soymilk and tofu yield and quality. Food Res.
Intern. 35: 337−345.
Santoso, B.A.S., E.Y. Purwani, dan S. Rijanti.
1994. Susu kedelai campuran dan cara
penyimpanannya pada suhu rendah. Media
Penelitian Sukamandi 15: 12−17.
Setiadi, N. dan B. Nainggolan. 1998. Kedelai,
potret komoditas yang terhempas. Kompas,
20 April 1998.
Silitonga, C. dan B. Djanuwardi. 1996. Konsumsi
tempe. hlm. 209−229. Dalam Sapuan dan
Noer Sutrisno (Ed.). Bunga Rampai Tempe
Indonesia. Yayasan Tempe Indonesia, Ja-karta.
Soejadi dan R. Mudjisihono. 1995. Evaluasi mutu
tahu dari berbagai varietas dan galur kedelai.
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 5(1): 46−
53.
Sudaryanto, T. dan D.K. Swastika. 2007.
Ekonomi kedelai di Indonesia. hlm. 1−27.
Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono,
Hermanto, dan H. Kasim (Ed.). Kedelai
Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan, Bogor.
Susanto, T. dan B. Saneto. 1994. Teknologi
Pengolahan Hasil Pertanian. Bina Ilmu,
Surabaya.
Widowati, S. dan E. Emilia.1994. Hubungan
distribusi fraksi protein berbagai varietas
kedelai dengan rendemen dan mutu tahu yang
dihasilkan serta kecepatan pengendapan
protein. Laporan Hasil Penelitian. Balai
Penelitian Tanaman Pangan Bogor.
Widowati, S., S.K. Susi Wijaya, dan R. Yulianti.
1998. Fraksi globulin dan sifat fungsional
isolat protein dari sepuluh varietas kedelai
Indonesia. Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan 17(1): 52−58.
Widowati, S. 2007. Teknologi pengolahan
kedelai. hlm. 491−521. Dalam Sumarno,
Suyamto, A. Widjono, Hermanto, dan H.
Kasim (Ed.). Kedelai Teknik Produksi dan
Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pe-ngembangan
Tanaman Pangan, Bogor.
Wijaya, S.K.S. dan L. Rohman. 2001. Fraksinasi
dan karakterisasi protein utama biji kedelai.
Jurnal Ilmu Dasar 2(1): 49−54.
Winarno, F.G. 1985. Pengolahan kedelai menjadi
minyak dan bahan-bahan industri. hlm. 483−
508. Dalam S. Somaatmadja, M. Ismunadji,
Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, dan
Yuswadi (Ed.). Kedelai. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Zhao, X., F. Chen, W. Xue, and L. Lee. 2008.
FTIR spectra studies on the secondary
structures of 7S and 11S globulins from
soybean proteins using AOT reverse micellar
extraction. Food Hydrocolloids 22: 568−
575.
Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009 87