Dokumen tersebut membahas tentang peningkatan peran pemerintah dalam mencegah dan menangani konflik sosial di DKI Jakarta. Dibahas sumber-sumber potensial konflik sosial seperti keluarga miskin, lingkungan kumuh, sekolah, pasar tradisional, dan pemukiman yang akan digusur. Juga dibahas upaya-upaya seperti memberikan pendidikan, pelatihan kerja, bantuan modal usaha, dan perbaikan lingkungan untuk mence
Musni Umar: Pemilu Sarana Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia
Musni Umar: Peningkatan Peran Pemerintah dalam Mencegah dan Mengantisipasi Konflik di DKI Jakarta
1.
2. Peningkatan Peran Pemerintah dalam
Mencegah dan Pengantisipasi Konflik
Sosial di DKI Jakarta
Oleh Musni Umar, Ph.D
Sociologist and Researcher
Direktur Eksekutif Institute
for Social Empowerment and Democracy
3. Pengantar
Fenomena konflik sosial dan kerawanan sosial di DKI Jakarta
sangat menarik karena sumbu konflik sosial dan kerawanan
sosial berada dimana-mana dan bisa meledak setiap saat.
Dalam membincangkan konflik sosial di DKI Jakarta, maka
tepat sekali topik sarasehan pagi ini yang bertajuk
"Pencegahan dan Penanganan Konflik Sosial di DKI Jakarta".
Saya diminta untuk membahas materi “Peningkatan Peran
Pemerintah Dalam Mengantisipasi Konflik dan Kerawanan
Sosial”. Menurut saya, kalau ingin meningkatkan peran
pemerintah dalam mengantisi konflik dan kerawanan sosial,
maka harus difokuskan pada upaya pencegahan konflik
karena ada pepatah yang mengatakan "Mencegah lebih baik
daripada mengobati". Pepatah tersebut cukup relevan jika
dikaitkan dengan tajuk sarasehan pencegahan dan
penangangan konflik sosial di DKI Jakarta.
4. Sumbu Konflik
Kalau ingin mencegah atau mengobati suatu
penyakit, maka harus terlebih dahulu mengetahui
penyebabnya yang bersangkutan sehingga menjadi
sakit. Demikian pula dalam mengantisipasi konflik
dan kerawanan sosial, harus terlebih dahulu
dianalisis sumber konflik yang merupakan sumbu
konflik itu sendiri.
Dalam upaya menganalsis dan mengantisipasi
konflik, maka sumber konflik yang setiap saat bisa
meledak harus dikemukakan. Mengawali bahasan
itu, saya coba mengemukakan struktur sosial
(piramida sosial) untuk membedah sumber konflik.
5.
6. Pertama, keluarga masyarakat bawah
Sumbu konflik pertama adalah keluarga dari masyarakat dan sangat bawah.
Mereka dapat dikatakan “nothing to lose” (tidak akan rugi) jika
menciptakan huru-hara di keluarga dan lingkungannya.
Dalam struktur sosial sebagaimana gambar di atas, terdapat kelompok
bawah dan paling bawah yang mayoritas dari penduduk DKI Jakarta yang
disebut lower and lower-lower class. Keluarga masyarakat bawah dan
paling bawah itu, pada umumnya menempati tempat tinggal yang sempit
berukuran 2 X 3 m2, 3 x 3 m2, 3 x 4 m2, dihuni lebih dari satu kepala rumah
tangga, dan bergantian tidur kalau malam.
Selain itu, tingkat pendidikan mereka pada umumnya rendah, hanya tamat
SD dan tidak tamat SMP. Akibatnya hanya bisa bekerja disektor informal
dan menjadi kuli (buruh) serabutan. Dampak lebih jauh, mereka miskin,
kurang pendidikan, banyak yang menganggur. Anak-anak dan remaja lebih
banyak main diluar rumah (dijalanan) dan tingkat pendidikan mereka sama
dengan orang tua mereka yaitu tamat SD dan mayoritas tidak tamat SMP.
Keluarga semacam itu, merupakan sumbu konflik yang setiap saat bisa
meledak jika ada yang menyulutnya.
7. Kedua, lingkungan padat dan kumuh.
Sumbu konflik kedua ialah lingkungan padat, kumuh
dan miskin. Masyarakat bawah pada umumnya
bermukim diperkampungan padat, kumuh dan miskin.
Mereka adalah kumpulan keluarga dari masyarakat
bawah dan sangat bawah yang hidup marjinal dari segi
sosial, ekonomi, dan politik.
Lingkungan tempat tinggal mereka yang padat dan
kumuh serta kehidupan sosial ekonomi yang minim
merupakan sumbu konflik yang setiap saat bisa
meledak dan mengagnggu stabilitas keamanan DKI
Jakarta.
Mereka pada umumnya bermukim di pantaran kali,
kawasan padat dan kumuh, dan di pinggir laut dan
perkampungan padat lainnya.
8. Ketiga, sekolah dan lingkungan sekolah.
Sumbu konflik yang ketiga adalah sekolah dan
lingkungan sekolah. Anak-anak sekolah dari SD
sampai SMA, bahkan di Universitas merupakan
sumbu konflik. Kalau ada yang menyulut dengan
sekejap sumbu itu menyala dan meledak yang
membakar lingkungannya.
Dalam berbagai kasus konflik di DKI Jakarta, faktor
sekolah telah menjadi arena untuk melakukan
konflik. Karena itu, kita bisa mengatakan bahwa
sekolah dan lingkungan sekolah menjadi sumbu
konflik.
9. Keempat, pasar tradisional dan preman pasar
Sumbu konflik yang keempat adalah pasar-pasar
tradisional. Dalam kunjungan saya di berbagai pasar
tradisional di DKI Jakarta, saya menerima banyak
keluhan dari para pedagang kaki lima (PKL) yang
banyak di “peras” oleh para preman pasar. Mereka
mengeluh, tetapi terpaksa harus melayani mereka
dengan membayar retribusi setiap hari sampai Rp
9.000 (Sembilan ribu rupiah). Walaupun berat tetapi
mereka harus memenuhinya karena takut
mendapatkan ancaman misalnya tidak boleh
berdagang. Mereka sudah memberitahu kepada
kepala pasar PD Pasar Jaya, tetapi tidak ada realisasi
10. Kelima, lokasi PKL yang digusur
Lokasi PKL yang digusur dan dikejar-kejar oleh
Satpol PP dengan “jargon penertiban”, juga sumbu
konflik sosial. Dalam berbagai konflik sosial di DKI
Jakarta yang mendapat liputan luas dari media ialah
konflik yang melibatkan antara Satpol PP dan PKL.
Disamping itu, fenomena konflik sosial di DKI sering
pula terjadi antara anggota ormas yang satu dengan
ormas lainnya. Penyebab konflik, tidak lain dan
tidak bukan adalah perebutan sumber-sumber
ekonomi di pasar.
11. Keenam, di kawasan peredaran narkoba
Kawasan tempat peredaran narkoba seperti
kampung Ambon yang sudah banyak diberitakan
media. Begitu juga kawasan lainnya harus
dibersihkan (distreilkan).
Kawasan yang telah dijadikan lahan untuk
melakukan transaksi narkoba dan barang haram
lainnya, merupakan sumbu konflik, antara lain
untuk mengelabui aparat polisi.
12. Ketujuh, pemukiman yang akan digusur
kawasan pemukiman dan tempat berdagang yang
akan digusur, dengan berbagai alasan misalnya
pemilikannya liar (tidak sah secara hukum) atau
mau dijadikan tempat proyek bisa menjadi sumbu
konflik sosial yang banyak terjadi di DKI Jakarta.
Di seluruh kawasan DKI Jakarta, selalu terjadi
penggusuran, yang korban adalah rakyat bawah
yang tidak berdaya. Masalh ini harus diperhatikan
dan diantisipasi karena menimbulkan kerawanan
sosial.
13.
14. Kedelapan, kawasan industri
Kawasan industri yang banyak mempekerjakan
buruh. Mereka sering melakukan pemogokan
untuk menuntut perbaikan nasib. Akan tetapi, pihak
majikan banyak yang tidak peka dan tidak peduli
atas tuntutan buruh, maka dalam banyak kasus,
akhirnya para buruh melalukan tindakan anarkhis
yang menimbulkan konflik sosial (antara buruh
dengan buruh, antara buruh dengan aparat
keamanan dan majikan).
15. Kesembilan, kawasan kuburan kramat
kawasan kuburan yang dianggap kramat, juga menjadi sumbu konflik sosial di DKI Jakarta.
17. Pemicu Konflik
Kesepuluh sumbu konflik yang dikemukakan, tak obah ilalang
kering yang sangat mudah disulut dan secara cepat dapat
membakar berbagai kawasan yang disebutkan, dan kawasan
lainnya terutama berbagai perumahan elit yang tersebar di DKI
Jakarta, pusat-pusat pemerintahan serta obyek vital lainnya.
Adapun pemicu konflik yang mudah menyulut konflik sosial antara
lain:
Pertama, isu ekonomi, seperti kenaikan harga sembako atau BBM,
isu kesenjangan sosial ekonomi dan sebagainya.
Kedua, isu politik, dengan mengeksploitasi berbagai kegagalan
dalam pembangunan, bisa menyulut kemarahan masyarakat yang
kemudian dilampiaskan dalam berbagai bentuk seperti konflik
sosial.
Ketiga, isu ketidak-adilan dalam bidang hokum seperti teori pisau
tumpul ke atas, tajam ke bawah, artinya dalam penegakan hukum
keras kepada rakyat kecil, tetapi lunak kepada mereka yang
memiliki kekuasaan dan uang.
18. Keempat, isu sosial, seperti pendidikan gratis untuk semua,
orang-orang kaya dan berpangkat, anak dan cucu mereka
memperoleh pendidikan gratis, sementara anak-anak miskin
yang sekolah di swasta tetap membayar uang sekolah dan
semua hal yang berkaitan proses belajar. Kartu Jakarta Pintar
misalnya, bisa juga menimbulkan konflik sosial, jika hanya
sebagian yang memperolehnya, sementara yang lain tidak
memperoleh. Begitu, isu Jakarta Sehat, juga bisa
menimbulkan konflik sosial.
Kelima, isu keamanan dan pertahanan yaitu kesejahteraan
yang dianggap tidak adil antara TNI dan Polisi, bisa
menimbulkan konflik antara anggota TNI dan polisi. Begitu
pula, perilaku oknum polisi misalnya, bisa menimbulkan
konflik sosial seperti yang terjadi diberbagai daerah, polisi
dihakimi oleh massa.
Akumulasi dari berbagai persoalan yang tidak terpecahkan
dan berlarut-larut, kalau ada persoalan kecil saja apalagi
persoalan besar, bisa dengan cepat memicu untuk membakar
sumbu-sumbu konflik yang berada di sekitar kita.
19. Peningkatan Peran Pemerintah
Dalam upaya meningkatkan peran pemerintah dalam
mengantispasi konflik dan kerawanan sosial di DKI Jakarta, maka
sebaiknya meningkatkan peran pemerintah dalam memecahkan
berbagai persoalan yang ada di dalam masyarakat DKI Jakarta.
Oleh karena masyarakat merupakan subyek dan obyek
pembangunan, maka mau tidak mau dan suka tidak suka harus
mengajak, membujuk, memandu, memberi pencerahan,
penyadaran, contoh teladan kepada seluruh warga DKI Jakarta,
mulai dari pemecahan:
1) Permasalahan keluarga masyarakat bawah misalnya
pendidikan anak-anak miskin, beri mereka bea siswa yang cukup
dan suruh keluar dari kampung halamannya untuk belajar di
dalam dan luar negeri. Kalau masalah kemiskinan keluarga yang
menimbulkan permasalahan, beri pelatihan dan praktik kerja
kepada suami atau isteri secara gratis dan beri peluang untuk
berusaha dan bekerja. Beri semangat dan motivasi hidup
20.
21. 2) Permasalahan Kampung Padat dan Kumuh, yang menjadi
sumbu konflik sosial, sukseskan pembangunan kampun deret.
3) Permasalahan Sekolah dan Lingkungan Sekolah yang
menjadi sumbu konflik. Latih para guru menjadi motivator
untuk memberi terus-menerus pencerahan dan penyadaran
kepada anak didik setiap mau memberi mata pelajaran.
Tegakkan disiplin kepada para guru dan pelajar, beri reward
dan punishment dan teladan kepada pelajar.
4) Permasalahan pasar tradisional, dan preman pasar yang
menjadi sumbu konflik sosial, atasi dengan bangun tempat
berusaha yang layak dan enak untuk didatangi pembeli,
tempatnya strategis dan ada parkir mobil dan motor.
Sedangkan para preman pasar, latih mereka menjadi
usahawan, beri tempat berusaha, beri pinjaman modal, izin
usaha dan lakukan pengawasan agar mereka sukses. Jangan
tangkap mereka seperti sekarang tanpa solusi.
22.
23.
24.
25. 5) Permasalahan Pedagang Kaki Lima PKL) harus diatasi dengan
memberi mereka tempat berdagang yang permanen dan
layak. Beri kepada PKL keringanan sewa gedung, bantuan
modal, izin usaha, pelatihan pemasaran dan cara-cara
berdagang, dan awasi mereka.
6) Permasalahan kawasan tempat peredaran narkoba,
bebaskan kawasan itu dari tempat peredaran narkoba
dengan tindakan hukum yang tegas, jangan pagar makan
tanaman.
7) Permasalahan kawasan pemukiman yang akan digusur,
jangan asal gusur, lakukan perundingan dan negosiasi, karena
masalah ini merupakan salah satu sumbu konflik sosial.
8) Permasalahan kawasan industri yang banyak
mempekerjakan buruh yang juga sumbu konflik sosial,
pemerintah harus mendorong kemitraan antara pengusaha
dan buruh secara baik, yaitu partnership in production,
partnership in responsibility, and partnership in profit. Beri
pencerahan dan penyadaran kepada pengusaha dan buruh
supaya bekerja sama untuk membangun ekonomi bangsa
Indonesia.
26.
27. 9) Permasalahan kawasan kuburan yang dianggap
kramat, jangan asal gusur kalau mau pindahkan.
Dengar pandangan dari tokoh agama dan masyarakat,
lakukan pendekatan, perundingan dan lobby untuk
mencegah hal-hal yang bisa memicu terjadinya konflik
sosial.
10) Permasalahan kawasan miskin, harus dipecahkan
dengan menyukseskan pembangunan kampung deret
sebagaimana halnya dalam memecahkan kampung
kumuh dan padat. Beri pendidikan ketrampilan kepada
warga miskin, sediakan tempat mereka berdagang
(berusaha), beri izin usaha, bantuan modal kerja dan
modal usaha, latih mereka berdagang, beri motivasi
dalam upaya merubah budaya dan mental, dan awasi
dalam kegiatan usaha.
28.
29. Kesimpulan
Dalam upaya menciptakan DKI Jakarta yang aman, tertib, damai
dan semakin berkurang konflik sosial, maka peran pemerintah
harus semakin ditingkatkan dengan meningkatkan antisipasi
konflik dan kerawanan sosial melalui berbagai upaya pencegahan
supaya sumber konflik yang berada di mana-mana dan setiap saat
bisa meledak dapat dikurangi dan dihilangkan.
Cara mencegah agar konflik sosial semakin berkurang di DKI
Jakarta, sebaiknya aparat pemerintah semakin peka terhadap
penderitaan masyarakat bawah. Sumbu konflik sosial yang ada di
mana-mana, wajib diatasi dengan memecahkan akar
permasalahan dari persoalan yang dihadapi masyarakat bawah.
Sudah saatnya, akar permasalahan yang dihadapi masyarakat
dipecahkan, jangan akibat dari permasalahan. Jangan hanya
meredam tanpa memecahkan akar permasalahan.
* Tulisan ini merupakan makalah yang dipresentasikan dalam
Sarasehan Pencegahan dan Penanganan Konflik Sosial di DKI
Jakarta, yang dilaksanakan Kesbangpol DKI Jakarta, 02 Mei 2013,
di Hotel Grand Mutiara, Cipayung Bogor, Jawa Barat