SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 122
Downloaden Sie, um offline zu lesen
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
ANALISA UNJUK KERJA POMPA HIDRAM PARALEL DENGAN VARIASI
BERAT BEBAN DAN PANJANG LANGKAH KATUP LIMBAH
Muhamad Jafri, Ishak Sartana Limbong
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT
This study aims to determine the influence of pump efficiency variations hydram with
heavy loads and stroke waste valve. The method used is the experimental method used to
pump dimensions are 2 inches, has a diameter of inlet (D): 1.5 inch diameter pipe and
expenses (d): ½ inch. From the results of testing and regression analysis found that the
variation of load weight and stroke waste valve hydram effect on pump efficiency. The
highest efficiency of this result on hydram pumps connected in parallel with stroke 0.5 cm
and weighs 400 grams valve that is 55.30% in efficiency D'Aubuission.
Keywords : pump hydram, waste valve, efficiency.
Kenyataan menunjukkan bahwa
masih banyak pemukiman di pedesaan
yang sulit memperoleh air bersih untuk
keperluan rumah tangga, kehidupan
sayur-sayuran maupun untuk
keberlangsungan hidup bagi hewan
ternak. Kebanyakan sumber air yang ada
berada pada posisi lebih rendah dari
pemukiman penduduk.
Penggunaan pompa Hidraulik Ram
(Hidram) yang mana tanpa membutuhkan
energi listrik, serta pengoperasiannya
sederhana, mempunyai prospek yang
baik.
Pompa hidram merupakan suatu
alat yang digunakan untuk menaikkan air
dari sumber air yang rendah atau yang
berada ke tempat yang lebih tinggi secara
automatik. Sumber energi dari pompa
berasal dari tekanan dinamik atau gaya
air yang timbul karena perbedaan
ketinggian sumber air ke pompa. Gaya
tersebut akan digunakan untuk
mengerakkan katup limbah sehingga
diperoleh gaya yang lebih besar untuk
mendorong air.
Untuk unit-unit pompa yang bekerja
secara paralel, pompa haruslah bekerja
pada daerah yang stabil, ini dapat
diilustrasikan dengan menganggap bahwa
dua unit pompa yang sedang beroperasi
atau bekerja pada kapasitas rendah di
daerah tak stabil karena adanya
perbedaan tekanan dan ketinggian pada
susunan pipa dan kerugian gesekkan.
Penelitian pompa hidram dengan
variasi beban katup limbah dilakukan
oleh Cahyanta, dkk, (2008). Hasil
1
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
penelitian mununjukkan bahwa kapasitas
aliran maksimum, dan efisiensi
maksimum dicapai pada berat beban
katup limbah 410 gram yaitu sebesar
11,146 x 10-5
m3
/s, dan efisiensi
maksimum 16,302%.
Penelitian serupa juga dilakukan
oleh Gan, et al. (2002). Hasil percoban
dan analisa varians serta regresi response
surface diporoleh bahwa faktor volume
tabung dan beban katup limbah
berpengaruh pada efisiensi pompa, begitu
pula interaksi antara kedua faktor.
Efisiensi terbaik adalah volume tabung
1300 ml dan beban katup 400 g untuk
mendapatkan efisiensi 42,9209%.
Gambar 1. Instalasi pompa hidram
Sumber : Jurnal teknik mesin
Sistem instalasi pompa hidram
terdiri atas beberapa bagian antara lain:
1. Pipa pemasukan
Pipa pemasukan merupakan saluran
antara sumber air dan pompa.
2. Rumah Pompa
Rumah pompa merupakan ruang
utama dan tempat terjadinya proses
pemompaan.
3. Katup limbah
Merupakan tempat keluarnya air yang
berfungsi memancing gerakan air
yang berasal dari reservoir. Katup
limbah yang berat dan langkah katup
yang panjang memungkinkan
kecepatan aliran air dalam pipa
mencapai titik maksimum, sehingga
pada saat katup limbah menutup
terjadi energi tekanan (efek water
hammer) yang besar dan daya
pemompaan yang tinggi, namun debit
2
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
air yang terbuang relatif banyak.
Katup limbah yang relatif ringan dan
langkah yang pendek akan
memberikan denyutan yang lebih
cepat dan hasil pemompaan lebih
besar pada tinggi pemompaan yang
rendah. (Hanafie & Longh, 1979).
Kompoen katup buang jenis kerdam
sederhana;
Gambar 2. Komponen katup limbah jenis kerdam
4. Katup pengantar
Katup yang menghantarkan air dari
rumah pompa ke tabung udara, serta
menahan air yang telah masuk agar
tidak kembali masuk ke rumah
pompa.
5. Tabung udara
Tabung ini berfungsi untuk
memperkuat tekanan dinamik.
6. Pipa pengantar
Pipa pengantar merupakan saluran air
yang mengantarkan air dari pompa ke
bak penampung.
Tinggi Tekan Total (Head)
Head total (H) pompa yang harus
disediakan untuk mengalirkan jumlah air
seperti direncanakan, dapat ditentukan
dari kondisi instalasi yang akan dilayani
oleh pompa (Sularso dan Tahara, 2004) :
dimana :
3
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
: head total pompa (m)
: head statis pompa (m)
: selisih head tekanan (m)
: kerugian gesek (m)
: head kecepatan (m)
Head Kerugian
Head kerugian terbagi dalam dua
kelompok yaitu mayor losses dan minor
losses. Mayor losses adalah kerugian
yang disebabkan karena gesekan yang
dapat dihitung dengan persamaan Darcy,
sebagai berikut (Sularso dan Tahara,
2004),
dimana : = Koefisien kerugian gesek
= Panjang pipa (m)
= Diameter dalam pipa (m)
= kecepatan rata-rata aliran
dalam pipa (m/s)
Sedangkan minor losses adalah
kerugian akibat perubahan penampang,
perubahan ukuran pada saluran;
sambungan, belokan, katup, dan aksesoris
yang lainnya (Sularso dan Tahara, 2004),
Debit Air
Debit merupakan banyaknya
volume air yang melewati suatu saluran
persatuan waktu. Apabila Q (m3
/s )
menyatakan debit air dan v (m3)
menyatakan volume air, sedangkan ∆t (s)
adalah selang waktu tertentu mengalirnya
air tersebut, maka hubungan antara
ketiganya dapat dinyatakan sebagai
berikut:
Efisiensi Pompa Hidram
Untuk mengetahui efisiensi pompa
hidram, dalam penelitian ini digunakan
dua persamaan efisiensi yaitu efisiensi
D’Aubuisson dan efisiensi Rankine.
Efisiensi D’Aubuission dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan
(Michael and Kheepar,1997):
dimana :
: efisiensi pompa hidram (%)
: debit air pemompaan ( )
: debit air yang terbuang (m3
/s)
: Tinggi jatuh air (m)
: Tinggi angkat (m)
Efisiensi menurut Rankine merupakan
perbandingan antara selisih tinggi tekan
isap dan sisi buang dikali kapasitas
pengisapan, dengan tinggi tekan isap
dikalikan kapasitas air yang dipindahkan
(Michael and Kheepar,1997):
dimana :
: efisiensi pompa hidram (%)
Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui pengaruh berat beban dan
panjang langkah katup limbah terhadap
unjuk kerja pompa hidram yang dirangkai
paralel terhadap efisiensi.
Manfaat penelitian adalah
diperolehnya ukuran katup limbah yang
4
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
sesuai kondisi debit air masuk, dan dapat
menghasilkan debit air sesuai kebutuhan.
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kali
Bonik Kelurahan Sikumana dari bulan
Juli s/d Agustus 2010.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah
pompa hidram 2 inchi 2 buah, stopwatch,
meteran air, dan GPS. Sedangkan bahan
yang digunakan : timah, plat 5 ml dan
isolasi.
Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan
melakukan percobaan terhadap objek
penelitian serta adanya kontrol, dengan 7
variasi beban, yakni 400 g sampai 700 g
dengan selisih 50 g, serta variasi panjang
angkah katup limbah, yakni 0,5 cm; 1
cm; 1,5 cm.
Pengambilan Data
Variabel yang akan diamati
adalah; tinggi jatuh air (Hs), tinggi
pemompaan (Hd), debit air terbuang,
debit pemompaan, ukuran diameter
lubang katup dan beban katup limbah,
jarak mata air ke pompa.
Teknik Analisa Data
Hasil penelitian dianalisa
menggunakan rumus yang ada untuk
mengetahui efisiensi pompa dan analisis
regresi sederhana untuk mengetahui
pengaruh antara variabel bebas dan
variabel terikat. Bentuk umum regresi
kuadratik sederhana (Sugiono, 2008):
dimana: Y adalah nilai variabel terikat
yang diprediksikan, a adalah harga Y bila
X = 0 (harga kostan), b1 dan b2 adalah
koefisien regresi, sedangkan X adalah
nilai variabel bebas. Untuk menguji
tingkat signifikansi koefisien regresi,
digunakan rumus (Sudjana, 2002):
Koefisien determinasi adalah suatu
alat ukur untuk mengetahui sejauh mana
tingkat hubungan antar variabel X dan Y.
R = R2
x 100 %
Beban
5
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil eksperimen diperoleh debit air
terbuang (Qp), debit pemompaan (QW)
dan jumlah denyutan adalah sebagai
berikut :
Tabel 1. Debit Pemompaan, Qp (m3
/s)
Untuk Setiap Variasi Pembebanan
dan Panjang Langkah Katup
Limbah.
Panjang Langkah (cm)
Qp (10‐5
× m3
/s)  0,5 1 1,5
400 11,5 9 8,5
450 7 7 6
500 7 6,5 5
550 5 4,5 3,5
600 3,5 3,5 0
650 0 0 0
BeratBebankatuplimbah
(gram)
700 0 0 0
Tabel 2.Debit Air Terbuang (Qw) (m3
/s)
Untuk Setiap Variasi
Pembebanan dan Panjang
Langkah Katup Limbah
Panjang Langkah (cm)
Qp (10‐5
× m3
/s)  0,5 1 1,5
400 7 7 7
450 7 8 8
500 7,6 8 9,4
550 9 9,4 1,4
600 1 1 0
650 0 0 0
BeratBebankatuplimbah
(gram)
700 0 0 0
Tabel 3. Denyutan Untuk Setiap Variasi
Pembebanan dan Panjang
Langkah katup limbah.
Panjang Langkah (cm)
Denyutan / 20
detik  0,5 1 1,5
400 28 21 20
450 24 19 17
500 20 18 13
550 14 13 6
600 8 4 0
650 0 0 0
BeratBebankatuplimbah
(gram)
700 0 0 0
Pengolahan Data
Head efektif untuk pipa pemasukan
dan pipa pengantar diketahui dengan
menghitung head loss pipa pemasukan
dan pengantar. Nilai koefisien untuk
setiap head loss ditunjukkan pada tabel
berikut :
Tabel 4. Data koefisien head loss untuk
pipa pemasukan dan pipa
pengeluaran
Koefisien head lossBentuk head
loss Pipa
Pemasukan
Pipa
pengantar
Katup (f) 10,0 10,0
Belokan 90°(f) 1,265 -
Pembesaran
penampang (f)
1 -
Sambungan T (f) 2,0 2,0
Ujung masuk
pipa (f)
0,56 -
Gesekan 0,08
Ujung keluar
pipa (f)
- 1,0
Efisiensi Pompa Hidram
Efisiensi pompa hidram
menggunakan persamaan D’Aubuission
dan Rankine.
6
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Tabel 5. Efisiensi D’Aubuission (%)
Untuk Setiap Variasi Pembebanan
dan Panjang Langkah Katup
Limbah.
Panjang Langkah (cm)
ηD(%)  0,5 1 1,5
400 55.3098 43.1137 39.9662
450 31.2452 30.1967 25.0204
500 30.5051 27.5576 20.0879
550 20.0062 17.7927 14.7511
600 13.6169 13.6169 0
650 0 0 0
BeratBebankatuplimbah
(gram)
700 0 0 0
Tabel 6. Efisiensi Rankine (%) Untuk
Setiap Variasi Pembebanan dan
Panjang Langkah Katup Limbah.
Panjang Langkah (cm)
ηD(%)  0,5 1 1,5
400 47.9679 35.7997 32.6764
450 24.3696 24.0889 19.3969
500 24.1043 21.6716 15.8373
550 15.5621 13.8573 12.1338
600 10.5935 10.5935 0
650 0 0 0
BeratBebankatuplimbah
(gram)
700 0 0 0
Grafik dan Pembahasan
Gambar 3. Grafik Pengaruh Pembebanan
dan Panjang Langkah Katup
Limbah Terhadap Debit Air
Terbuang (Qw).
Grafik ini menunjukkan bahwa
pada awalnya untuk semua variasi
panjang langkah, debit air yang terbuang
cenderung naik. Hal ini terjadi karena
semakin panjang jarak tempuh yang
dijalani torak maka akan memberi waktu
yang lama pada air untuk keluar. Namun
untuk panjang langkah 1,5 cm,
penambahan beban sampai 600 gram
debit air yang terbuang menurun secara
drastis, ini terjadi karena dengan jarak
tempuh yang dilalui katup cukup jauh
dan beban yang diterima oleh katup tidak
sebanding dengan dorongan yang
diberikan air. Sedangkan untuk panjang
langkah 0,5 cm dan 1 cm, debit air baru
mulai menurun ketika penambahan beban
650 gram. Ini juga terjadi karena dengan
jarak tempuh yang dilalui katup cukup
pendek dorongan air yang datang masih
dapat mengimbangi beban 500 gram –
600 gram. Pada pompa hidram yang
dihubungkan secara paralel debit air
terbuang minimum diperoleh 0,0007
m3
/s pada panjang langkah 0,5 cm dan
berat katup 400 gram.
7
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 4. Grafik Pengaruh Berat
Beban dan Panjang Langkah
Katup Limbah Terhadap
Debit Air Pemompaan (Qp).
Grafik di atas menunjukkan bahwa
debit pemompaan di pengaruhi oleh
pembebanan dan panjang langkah katup
limbah. Hasil ini sebenarnya merupakan
kebalikan dari debit air yang terbuang.
Dimana semakin berat beban katup
limbah dan panjang langkah ditambah
maka debit pemompaan yang dihasilkan
akan semakin kecil. Hasil penelitian
menunjukkan debit pemompaan
maksimum pompa hidram paralel
diperoleh sebesar 0,000115 m3
/s pada
panjang langkah 0,5 cm dan berat beban
katup limbah 400 gram.
Gambar 5. Grafik Pengaruh Berat
Beban dan Panjang Langkah
Katup Limbah Terhadap
Denyutan.
Grafik pada gambar 5 menunjukkan
bahwa penambahan berat beban dan
panjang langkah katup limbah
memperkecil jumlah denyutan, karena
semakin berat katup limbah maka waktu
yang dibutuhkan katup limbah untuk
menutup akan semakin lambat. Semakin
tinggi penambahan panjang langkah
maka semakin kecil jumlah denyutan
yang terjadi. Denyutan terbesar sebanyak
28 kali yaitu pada panjang langkah 0,5
cm dan berat katup 400 gram.
8
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 6. Grafik Pengaruh Berat
Beban dan Panjang Langkah
Katup Limbah Terhadap
Efiaiensi (D’Aubuission).
Gambar 7. Grafik Pengaruh Berat
Beban dan Panjang Langkah
Katup Limbah Terhadap
Efisiensi (Rankine).
Grafik pada gambar 6 dan 7,
menunjukkan bahwa efisiensi pompa
hidram dipengaruhi oleh berat beban dan
panjang langkah katup limbah yaitu
efisiensi semakin kecil jika berat beban
dan panjang langkah katup limbah di
tambah. Hubungan ini merupakan
hubungan secara tidak langsung, karena
dari persamaan efisiensi, baik efisiensi
D’Aubuission maupun Rankine besaran
yang digunakan adalah debit air terbuang,
debit air pemompaan, head efektif
masukkan dan head efektif pemompaan.
Walaupun debit air terbuang dan debit air
pemopaan sangat dipengaruhi oleh berat
beban dan panjang langkah katup limbah,
yang telah ditunjukkan oleh grafik pada
gambar 4.1 dan grafik 4.2. Efisiensi
D’aubuission minimum diperoleh sebesar
13,61% terjadi pada berat beban 600 cm
dan panjang langkah katup limbah 1 cm,
sedangkan efisiensi tertinggi dari hasil
eksperimen adalah 55,31% efisiensi
D’Aubuission pada panjang langkah 0,5
cm dan beban katup limbah 400 gram.
Efisiensi Rankine minimum
diperoleh sebesar 10,59% terjadi pada
berat beban katup limbah 600 gram dan
panjang langkah 1 cm, sedangkan
efisiensi tertinggi dari hasil eksperimen
adalah 47,97% efisiensi Rankine pada
panjang langkah 0,5 cm dan berat beban
katup limbah 400 gram pada pompa
hidram yang dihubungkan secara paralel.
9
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 8. Grafik Analisa Statistik
Pengaruh Berat Beban
Terhadap Efiaiensi
(D’Aubuission).
Gambar 9. Grafik Pengaruh
Panjang Langkah Katup
Limbah Terhadap Efisaiensi
(D’Aubuission).
Grafik pada gambar 8 dan 9
menunjukkan berat beban lebih
berpengaruh terhadap efisiensi pompa
hidram dibanding dengan panjang
langkah katup limbah, hal ini sesuai
dengan hasil analisa statistik yang telah
dilakukan di mana nilai rata-rata efisiensi
pompa hidram 91,1 % ditentukan oleh
faktor berat beban dengan persamaan
regresi Y = 178,8 - 0,441 X1 – 0,0002 X1
2
sedangkan nilai rata-rata efisiensi pompa
hidram 3,5% ditentukan oleh faktor
panjang langkah katup limbah dengan
persamaan regresi Y = 22,15 + 0,76 X2 –
4,013 X2
2
.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
analisis yang telah dilakukankan faktor
beban dan panjang langkah katup limbah
berpengaruh pada efisiensi pompa
hidram. Lebih jauh lagi diperoleh bahwa
untuk pompa hidram yang dirangkai
secara paralel menunjukkan bahwa
penambahan beban dan panjang langkah
katup limbah menurunkan efisiensi
pompa hidram. Efisiensi tertinggi pompa
hidram adalah : 55,30% efisiensi
D’Aubuission pada berat beban 400 gram
dan panjang langkah 0,5 cm. Sedangkan
Efisiensi Rankine yang tertinggi adalah
47,96% pada berat katup 400 gram dan
panjang langkah 0,5 cm. Faktor berat
beban lebih berpengaruh terhadap
efisiensi pompa hidram dibandingkan
dengan panjang langkah katup limbah.
10
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
DAFTAR PUSTAKA
Cahyanta, Y.A., Taufik, I., 2008. Studi Terhadap Prestasi Pompa Hidraulik Ram Dengan
Variasi Beban Katup Limbah. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin CAKRAM. Vol. 2 No. 2 (92
–96).
Gan, S.S., Santoso, G., 2002. Studi Karakteristik Tabung Udara dan Beban Katup Limbah
Terhadap Efisiensi Pompa Hydraulic Ram. Jurnal Teknik Mesin. Vol.4 No.2 (81 –
87).http://puslit.petra.ac.id/journals/mechanical/ .
Hanafie, J., de Longh, H., 1979. Teknologi Pompa Hidraolik Ram Buku Petunjuk Untuk
Pembuatan dan Pemasangan. PTP-ITB Ganesha, Bandung.
Michael, A.M., and S. D. Kheper., 1997, Water Well Pump Engineering, McGraw Hill
Publishing Compact Limited, New Delhi.
Sudjana., 2002. Metode Statisika. Tarsito, Bandung.
Sugiono., 2008. Metode Penelitian Administrasi Dilengkapi Dengan Metode R & D.
Alfabeta, Jakarta.
Sularso., Tahara, H,. 2004. Pompa Dan Kompresor Pemilihan, Pemakaian dan
Pemeliharaan. Pradya Paramita, Jakarta.
11
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
ANALISIS KEMAMPUAN MATERIAL REMOVAL RATE DAN ELECTRODE
RELATIVE WEAR KOMPOSIT CU – FE SEBAGAI ELEKTRODA EDM
TERHADAP PENAMBAHAN PARTIKEL GRAFIT
Dominggus G.H. Adoe
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT
This research studied the effect of adding graphite particles as reinforcement of the ability
of the material removal rate (MRR) and electrod erelative wear (ERW) of the composite
Cu-Fe as an EDM electrode made using powder metallurgy techniques. Of 0 wt% graphite,
2.5 wt%, 5 wt%, 7.5 wt%, 10 wt%, 5.12 wt% and 15 wt% added to the Cu-1wt% Fe. Each
composition of the powder into a green body dikompaksi use single action uniaxial
pressing with pressure of 350 MPa, 500 MPa and 650 MPa sintered by using a horizontal
tube furnace in an argon gas environment at 840 ° C sintering temperature, 870 ° C and
900 ° C. Tests performed on MRR and ERW EDM machine Genspark 50p with normal
polarity and a large current 10 A. Results ability greatest MRR 0.0416 g / min and the
smallest ERW 19.31% achieved by the composite with a composition of 15 wt% graphite
dikompaksi at 350 MPa pressure and sintered at a temperature of 840 º C. The ability of
the highest MRR is achieved on the addition of 7.5 wt% graphite. While the rate decreases
with an increase ERW wt% graphite.
Keywords: Cu-Fe composites, sintered, EDM, MRR, ERW
EDM (Electrical Discharge
Machining) adalah suatu proses
pemesinan nonkonvensional yang
pemakanan material benda kerja
dilakukan oleh loncatan bunga api listrik
( spark) melalui celah antara elektroda
dan benda kerja yang berisi cairan
dielektrik (Nadkarni, ASM 07,1998).
Tidak terjadi kontak antara benda kerja
dan elektroda pada saat proses
pemakanan material terjadi. Kondisi
pemakanan material yang ideal adalah
ERW yang seminimum mungkin MRR
semaksimal mungkin. Oleh karena itu
diperlukan material elektroda yang
mampu memenuhi kondisi tersebut.
Beberapa jenis material yang lazim
digunakan sebagai elektroda pada proses
EDM antara lain tembaga, grafit, dan
tungsten.
Tembaga murni walaupun
memiliki sifat konduktivitas elektrik dan
panas yang baik, tahan terhadap korosi,
dan mampu terhadap temperatur tinggi
tetapi memiliki machinability yang
buruk sehingga sangat sulit dikerjakan
dengan metode pemesinan konvensional.
Untuk memperbaiki machinability dan
sifat mekanis tembaga perlu
ditambahkan unsur-unsur logam atau
12
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
nonlogam agar mudah dibentuk dengan
metode pemesinan konvensional.
Grafit adalah material yang
paling umum digunakan sebagai bahan
elektroda EDM karenamemiliki sifat
machinability yang baik dan juga
karakteristik keausan yang rendah.
Kelemahan yang ada pada grafit adalah
sifatnya yang rapuh yang menjadi
kendala apabila dikehendaki bentuk
elektroda bersudut tajam karena bagian
ini akan terabrasi oleh aliran cairan
dielektrik pada saat proses pemesinan
EDM berlangsung.
Menggabungkan tembaga dan
grafit menjadi sebuah komposit matriks
logam (MMCs, Metal Matrix Composi
tes) merupakan hal yang banyak
dilakukan pada pembuatan elektroda
EDM, karena MMCs merupakan
gabungan logam matriks dan material
penguat tertentu (serat, whisker atau
partikel) pada skala makroskopis untuk
mendapatkan sifat yang lebih baik dari
material pembentuknya. MMCs memiliki
potensi yang besar pada perkembangan
teknologi karena dapat menghasilkan
paduan baru ke arah hasil yang lebih baik
(Kainer, 2006).
MMCs dengan material penguat
partikel, dibuat dengan metode metalurgi
serbuk yang prosesnya meliputi:
pencampuran serbuk (mixing), kompaksi
serbuk (compaction), dan proses sinter.
Kelebihan metode metalurgi serbuk
diantaranya adalah dapat diperoleh
bentuk akhir komponen sehingga
mengurangi biaya permesinan,
mengurangi tahap - tahap proses
produksi selanjutnya, laju produksi yang
tinggi sehingga sangat cocok untuk
produksi massal, dan hampir tanpa
material limbah (German, 1994).
Serbuk tembaga merupakan
salah satu material dasar pada
pembuatan komponen dengan metode
metalurgi serbuk yang menduduki
peringkat ketiga setelah besi dan baja.
Komposit tembaga secara umum
digunakan untuk komponen elektrik.
Sedangkan penambahan serbuk besi
dalam jumlah tertentu pada matriks
komposit tembaga akan meningkatkan
densitas komposit tersebut (Heikkinen,
2003). Dengan meningkatnya densitas
maka porositas komposit akan menurun
sehingga konduktivitas elektrik akan
meningkat. Selain daripada hal tersebut
diatas, partikel besi juga akan mengikat
unsur karbon yang terdapat pada grafit
dengan lebih baik. Grafit di industri juga
di gunakan sebagai elektroda EDM
karena memiliki sifat tahan terhadap
temperatur tinggi dan tahan kejutan
panas (thermal-shock) yang terjadi pada
saat proses discharge berlangsung,
harganya lebih murah. Kelemahan
13
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
material grafit adalah bersifat abrasive
dan getas (Bagiasna, 1979).
Pada penelitian ini dipelajari
pengaruh penambahan partikel grafit
pada komposit matriks logam Cu-1 wt%
Fe terhadap Material Removal Rate ,
dan Electrode Relative Wear yang
digunakan sebagai elektroda EDM.
Komposisi grafit pada komposit adalah 0
wt%, 2.5 wt%, 5 wt%, 7.5 wt%, 10 wt%,
12.5 wt% dan 15 wt%. Variasi tekanan
kompaksi adalah 350 MPa, 500 MPa
dan 650 MPa sedangkan sintering
dilakukan pada temperature 840 0
C , 870
0
C dan 900 0
C.
Penelitian tentang metode
metalurgi serbuk dengan material dasar
tembaga telah dilakukanoleh beberapa
orang peneliti, antara lain : Heikkinen
(2003), Husain dan Han (2005), Chen
dkk(2004), Tsai dkk (2003), Kovacik dkk
(2004 dan 2008), Mataram (2007), dan
Nawangsari (2008).
Heikkinen (2003) menyatakan
bahwa cara terbaik untuk meningkatkan
konduktivitas termal dan elektrik dari
tembaga adalah mengurangi tingkat
ketidakmurnian (impurity levels). Tetapi
penambahan unsur lain juga diperlukan
untuk meningkatkan densitas material
paduan tersebut. Sedangkan densitas
berkaitan erat dengan porositas pada
material yang ada dan semakin rendah
porositas suatu material maka
konduktivitas elektrikalnya akan lebih
baik (German, 1994). Penambahan unsur
besi sebesar 1wt% pada tembaga
menghasilkan nilai resistivitas elektrikal
terendah, yaitu 0,016 Ω mm2
/m.(Heikkinen, 2003).
Hussain dan Han (2005) telah
melakukan penelitian tentang pengaruh
variasi partikel penguat alumina (Al2O3)
berdasar fraksi berat sebesar 2,5; 5; 7,5
dan 10 % pada matriks tembaga yang
dikompaksi pada tekanan 200 MPa dan
disinter pada temperatur 950 0
C selama
1 jam, dari hasil penelitiannya
dilaporkan bahwa meningkatnya
kandungan alumina (Al2 O3) nilai
kekerasan komposit akan meningkat,
sedangkan nilai konduktivitas elektrik
dan densitas menurun seiring dengan
meningkatnya komposisi Al2O3.
Komposisi yang stabil untuk mencapai
keseimbangan pada kekerasan dan
konduktivitas elektrik dicapai pada
kandungan 5 % berat.
Selanjutnya dalam penelitian
dengan penambahan partikel penguat
juga d ilakukan oleh Chen dkk (2004),
penelitiannya mempelajari pengaruh
kandungan tembaga dan perunggu
sebesar 0, 4, 8, dan 15 % berat yang
ditambahkan pada Stainless Steel 316L
dengan tekanan kompaksi 650 MPa dan
disinter pada temperatur 1150 °C selama
14
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
1 jam. Hasilnya menunjukkan bahwa
dengan meningkatnya kandungan
tembaga maka densitas komposit
meningkat. Hal ini disebabkan oleh
aktivasi fase cair sintering terjadi pada
tembaga dan perunggu dan dalam
penambahan partikel penguat, densitas
tembaga dan perunggu lebih besar
dibanding dengan Stainless Steel 316L
sehingga komposit matriks Stainless
Steel 316L apabila dipadukan dengan
penguat tembaga dan perunggu nilai
densitas aktual komposit akan
meningkat. Sedangkan penelitian
Mataram (2007) menggunakan serbuk
karbon sebagai penguat sebesar 0, 5, 10,
dan 15% berat dengan matriks tembaga
yang dikompaksi pada tekanan 333 MPa
dan disinter pada variasi temperatur
8000
C, 8500
C, 9000
C, dan 9500
C
menyimpulkan bahwa dengan
penambahan penguat karbon sampai 5%
berat dan meningkatnya temperatur
sintering akan meningkatkan sifat
mekanis dari komposit.
Penelitian mengenai pembuatan
elektroda EDM dengan metalurgi serbuk
telah dilakukan oleh Tsai dkk (2003)
tembaga sebagai matriks dipadukan
dengan partikel penguat Cr sebesar 0, 20,
dan 43 wt% untuk membentuk elektroda
EDM dan dikompaksi pada tekanan 10
MPa, 20 MPa, dan 30 MPa hasilnya
menunjukkan bahwa Cu-0% berat Cr
yang dikompaksi 20 MPa diperoleh yang
paling baik.
Elektroda EDM dengan matriks
tembaga dan penguat karbon diteliti oleh
Nawangsari (2008)dengan partikel
penguat C sebesar 0 wt%; 2.5 wt%;
5wt%, dan 7.5 wt% pada tekanan
kompaksi 350MPa hasilnya
menunjukkan MRR tertinggi sebesar
0,067 g/min dicapai oleh spesimen
pengujian dengan penambahan 0%
karbon yang disi nter pada 9000
C.
Sedangkan ERW terendah sebesar
16,13% dicapai oleh spesimen dengan
penambahan 5% karbon yang disinter
pada 9000
C.
MATERI DAN METODE
Material yang digunakan adalah
copper fine powder ukuran +230 mesh
ASTM (<63 µm) ex Merck sebagai
matriks, iron powder extra pure ukuran
+ 270 mesh ASTM ( <53 µm) ex
Merck sebagai penguat dan serbuk grafit
ex Cina ukuran +270 mesh ASTM
(<53µm) sebagai penguat.
Pembuatan spesimen dan Prosedur
Pengujian
Serbuk tembaga dan serbuk besi
dicampur terlebih dahulu d engan
rotating cylinder mixer selama 2 jam
untuk mendapatkan distribusi partikel
tercampur merata, kemudian serbuk
grafit ditambahkan sesuai komposisi
15
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
masing -masing dan pencampuran
dilanjutkan hingga 5 jam.
Green body dengan ukuran Ø 10
mm seberat 4 gram dibuat dengan
menggunakan peralatan kompaksi tipe
uniaxial pressing single action yang
terbuat dari stainless steel AISI 304
untuk die dan baja Special K (ex Böhler)
untuk punch, pada tekanan yang telah
ditentukan dengan menggunakan mesin
Tarno Grocky ti pe UPHG 20.
Selanjutnya green body disinter dengan
horizontal tube furnace (Type HVT
15/75/450 Carbolite) di lingkungan gas
argon dengan variasi temperatur sinter
8400
C, 8700
C, dan 9000
C selama 1 jam
dengan laju pemanasan 50
C /min. Hasil
dari contoh spesimen yang sudah disinter
dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Spesimen setelah disinter dengan variasi temperatur dan tekanan kompaksi
Spesimen yang telah disinter
digunakan sebagai elektroda EDM untuk
uji MRR dan ERW pada material benda
kerja baja S45C dengan menggunakan
mesin Genspark 50P. Besar arus 10 A
dan polaritas normal dalam cairan
dielektrik ESSO Univolt 64, waktu
pengujian ditentukan 10 menit.
Pengukuran Material Removal Rate
(MRR) dan Electrode Relative Wear
(ERW)
Material Removal Rate (MRR)
adalah laju pengerjaan material terhadap
waktu dengan menggunakan elektroda
EDM. MRR diukur dengan membagi
berat benda kerja sebelum dan setelah
proses machining terhadap waktu yang
dicapai (Rival, 2005) atau volume
material yang telah dikerjakan terhadap
waktu (Bagiasna, 1979).
Persamaan yang digunakan adalah:
dengan :
Wb = berat benda kerja sebelum
machining (g)
Wa = berat benda kerja setelah
machining (g)
tm = waktu yang digunakan untuk proses
machining (min)
16
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Nilai MRR sangat penting untuk
menunjukkan efisiensi dan efektivitas
biaya dari proses EDM.
Sedangkan ERW adalah material
removal yang terjadi pada elektroda dan
persamaan yang digunakan untuk
menghitung nilai ERW adalah :
dengan, EWW : selisih berat elektroda
sebelum dan setelah digunakan (g)
WRW : selesih berat benda kerja sebelum
dan setelah dikerjakan (g)
Semakin kecil nilai ERW
menunjukkan minimumnya perubahan
bentuk dari elektroda, sehingga akan
menghasilkan ketelitian yang lebih baik
dari produk yang dihasilkan. Contoh
spesimen elektroda komposit dan benda
kerja S45C yang telah diuji MRR dan
ERW dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Contoh hasil Uji MRR dan
ERW
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengujian MRR dan ERW
untuk masing-masing specimen dapat
dilihat pada grafikgrafik di bawah ini.
Gambar 3. Grafik wt% grafit vs MRR
dari spesimen yang disinter pada
temperatur 8400
C
Gambar 4. Grafik wt% grafit vs ERW
dari spesimen yang disinter pada
temperatur 8400
C
Penambahan partikel grafit akan
meningkatkan MRR komposit yang
disinter pada temperatur 8400
C dalam
berbagai variasi tekanan kompaksi. Nilai
MRR tertinggi dicapai oleh komposit
dengan penambahan grafit sebesar 7.5
wt% tetapi kemampuan MRR akan
menurun apabila partikel grafit. > 7.5
wt% seperti yang terlihat pada Gambar 3.
Sedangkan pengaruh peningkatan wt%
partikel grafit terhadap nilai ERW
menunjukkan kecenderungan menurun
seiring dengan bertambahnya wt%
partikel grafit. Nilai ERW paling rendah
dicapai oleh komposit dengan partikel
grafit sebesar 15 wt%. Kecenderungan
17
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
yang sama terjadi pada komposit yang
disinter pada temperatur 870ºC dan
900ºC dalam berbagai tingkat tekanan
kompaksi. Ini membuktikan bahwa
tingkat tekanan kompaksi yang bervariasi
dari 350 MPa sampai 650 MPa pada saat
pembuatan green body tidak memberikan
pengaruh yang berarti terhadap
kemampuan MRR dan ERW komposit.
SIMPULAN
Komposit Cu-1wt% Fe akan
mengalami peningkatan MRR apabila
ditambah dengan partikel grafit karena
grafit adalah penghantar listrik yang baik
dan peningkatan kemampuan MRR
tertinggi dicapai oleh komposit pada
penambahan partikel grafit sebesar 7.5
wt%, tetapi apabila penambahan partikel
grafit > 7.5 wt% terjadi penurunan
kemampuan MRR seiring besarnya wt%
partikel grafit. Hal ini dikarenakan
semakin besar wt% grafit pada komposit
densitas semakin rendah.
Nilai ERW akan menurun sesuai
peningkatan wt% partikel grafit pada
komposit karena selain penghantar listrik
yang baik grafit adalah material elektroda
EDM yang terbaik.
Komposit Cu-1wt% Fe-Grafit
yang memiliki komposisi 10 wt% grafit
dengan tekanan kompaksi 350 Mpa dan
disinter pada 840 ºC merupakan bahan
elektroda EDM yang terbaik karena
memiliki kemampuan MRR terbesar dan
ERW terendah, yaitu 0,0534 g/mnt dan
20,22 % masing-masing.
Ucapan Terima Kasih
Pada kesempatan ini diucapkan
terima kasih kepada Kepala
Laboratorium Bahan Teknik, Jurusan
Teknik Mesin dan Industri, Fakultas
Teknik, Universitas Gadjah Mada dan
Kepala Laboratorium Teknik Produksi
Jurusan Teknik Mesin Universitas Negeri
Yogyakarta atas fasilitas dan bantuan
selama penelitian, serta ucapan terima
kasih yang sama kepada Bapak Aryo
Satito, Bapak Sunadji dan Bapak
Profesor Jamasri atas bantuan dan
kerjasama selama penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
ASM International, 2002,” ASM Introducing to Machining Process vol. 16”
Bagiasna, K., 1979,”Proses-proses Pemesinan Nonkonvensional”, Departemen Mesin,
ITB. pp. 78-95
18
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Callister, W.,2001,”Fundamental of Material Science and Engineering”, John Willey &
Son Inc.
German, R.M, 1994, "Powder Metallurgy Science, 2nd edition", Metal Powder Industries
Federation, Princenton, New Jersey.
Heikkinen, Samuli,2003,” Copper Alloy Properties”, Kovave Materialy, 38
Hussain, Z., dan Han, K., 2005, "Studies on Alumina Dispersion-Strengthened Copper
Composite Trough Ball Milling and Mechanical Alloying Method",
Jurnal Teknologi, vol. 43, pp. 1-10.
Kainer, K.U., 2006,” Metal Matrix Composites, Custom Made Material for Automotive
and Aerospace Engineering”, Willey-VCH Verlag GmBH & Co. KGAa,
WeinHeim.
Kovacik,J.,Emmer, S., Bielek, J., and Kalesi, L., 2004, "Thermal Properties of of Cu-
graphite Composites", Kovave Materialy, 42
Mataram, A., 2007, " Studi Sifat Fisis dan Mekanis komposit Cu/C", Thesis S2, Teknik
Mesin UGM.
Nawangsari, Putri., 2008, “ Pengaruh Penambahan Partikel Karbon Terhadap Densitas,
Kekerasan, Konduktivitas Panas, Material Removal Rate, dan Electrode
relative wear Pada Komposit Matriks Tembaga Sebagai Elektroda
EDM”, Thesis S2, Teknik Mesin UGM
Rival, 2005, "Electrical Discharge Machining of Titanium Alloy Using Copper Tungsten
Electrode With SiC Powder Suspension Dielectric Fluid", Thesis S2,
Fakulti Kejuruteraan Mekanikal, Universiti Teknologi Malaysia.
Tsai, H.C., Yan, B.H., dan Huang, F.Y., 2003, "EDM Performance of Cu/Cr- Based
Composite Electrode", International Journal of Machine Tool &
Manufacture, vol 43, pp. 245 – 252.
19
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
APLIKASI METODE ELECTRE PADA PENGAMBILAN KEPUTUSAN
MULTI KRITERIA (Literature Review)
Marlina Setia Sinaga
Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT
In this paper, we analyze application of the ELECTRE method for multicriterial decision
making. Over the last three decades a large body of research in the field of ELECTRE
family methods appeared. Using the ELECTRE evaluation method in the absence of a
differentiation process may produce results opposite to those desired by a decision maker.
The purpose of this paper is to present a survey of the ELECTRE methods since their first
appearance in mid-sixties, when ELECTRE I was proposed by Bernard Roy.
Keywords: ELECTRE, decision making, evaluation method
Terjadinya proses pengambilan
keputusan disebabkan adanya beberapa
alternatif keputusan yang dapat
dipertimbangkan. Pada problema tertentu,
tidak cukup hanya pengidentifikasian
semua alternatif yang ada, tetapi juga
harus memilih keputusan optimal
berdasarkan berbagai hal antara lain
seperti: tujuan yang ingin dicapai, nilai-
nilai yang telah ditetapkan dengan
objektip, dan lain sebagainya (Harris,
1998). Tulisan ini akan mengkaji metode
ELECTRE sebagai salah satu metode
yang dapat dipergunakan untuk masalah
pengambilan keputusan. ELimination Et
Choix Traduisant la REalité atau
ELimination and Choice Expressing
REality (ELECTRE) mulai dikenal di
Eropa pada pertengahan tahun 1960
sebagai salah satu metode analisa
keputusan multi kriteria. ELECTRE
pertama kali diperkenalkan oleh Bernard
Roy melalui tulisannya pada jurnal
operations research di Prancis (Roy,
!968). Pada awalnya ELECTRE
merupakan metode pemilihan aksi terbaik
dari sekumpulan aksi yang ada, namun
selanjutnya dengan cepat berkembang
pada tiga ide dasar yakni: memilih,
meranking dan mensortir. Belakangan
ELECTRE berevolusi menjadi
ELECTRE I, ELECTRE II, ELECTRE
III, ELECTRE IV, ELECTRE IS, DAN
ELECTRE TRI (Figueira dkk, 2005).
PENGKAJIAN
ELimination and Choice Expressing
REality (ELECTRE)
Aplikasi metode ELECTRE
terdiri dari dua fase yakni fase pertama
pembentukan dari satu atau beberapa
relasi outranking dengan tujuan untuk
20
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
membandingkan setiap pasangan aksi
atau alternatif, dan fase kedua merupakan
eksploitasi dari hasil yang telah diperoleh
pada fase pertama. Keseluruhan evolusi
dari metode ELECTRE seperti
ELECTRE I, ELECTRE II, ELECTRE
III, ELECTRE IV, ELECTRE IS, DAN
ELECTRE A berdasarkan pada indeks
konkordansi dan indeks diskordansi.
Untuk menghindari perbedaan keputusan
(kejanggalan/ diskordansi) berdasarkan
subjektifitas pengambil keputusan atau
setidaknya untuk memperkecil
perbedaan, maka tentunya seorang
pengambil keputusan harus memiliki
informasi selengkap mungkin dan
memahami setiap keanekaragaman
alternatif yang ada. Maka evaluasi
terhadap indeks diskordansi menjadi
tolak ukur pada metode evaluasi
ELECTRE (Huang-Chen, 2005).
Indeks konkordansi
Berdasarkan data pada matriks
keputusan, asumsikan bobot dari semua
kriteria sama dengan 1. Jika problema
pengambilan keputusan multi kriteria
berbentuk:
max{f1(a), f2(a),...,fk(a) : aA}
(P)
maka untuk setiap pasangan aksi atau
pasangan alternatif (Al, Ak), atau al, ak 
A memiliki indeks konkordansi clk
sebagai jumlah dari bobot semua kriteria
dengan syarat bahwa alternatif al tidak
lebih lemah atau setidaknya sama kuat
dengan alternatif ak.
clk = i
afafi
w
kili
 )()(/
; l,k = 1, ..., n;
l  k.
dimana A adalah himpunan alternatif
keputusan sebanyak n, dan f1, f2, ..., fk
adalah kriteria-kriteria yang digunakan
untuk mengevaluasi alternatif keputusan.
Indeks konkordansi hanya akan berkisar
diantar nilai 0 dan 1 (Fülöp,_).
Nilai dari semua indeks-indeks
konkordansi dapat dibentuk sebagai
matriks konkordansi C. Indeks
konkordansi adalah merupakan ukuran
tingkat dominasi alternatif al terhadap
alternatif ak (Hunjak,1997).
Indeks diskordansi
Indeks diskordansi menunjukkan
tingkat resistensi dari suatu alternatif
terhadap alternatif yang dominan
(Hunjak,1997). Karena setiap kriteria
memiliki ukuran tingkat resistensi yang
berbeda-beda maka dilakukan
normalisasi vektor agar semua ukuran
dapat dibandingkan satu sama lain.
Normalisasi untuk problema (P)
dilakukan pada kriteria fj(ai):
k
kj
ij
x
x
2
dimana xij = fj(ai).
Indeks diskordansi dkl dihitung sebagai
berikut:
21
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
dkl = **
**
)()(/
max
max
ljkj
Jj
ljkj
afafj
xx
xx
kjlj




Selanjutnya matriks diskordansi D
dibentuk dari indeks-indeks diskordansi.
Matriks MI dibentuk dari matriks
konkordansi dan matriks diskordansi.
Ambil c i d sebagai nilai rata-rata
indeks konkordansi dari indeks
diskordansi untuk membentuk matriks
MI.
mij =


 
selainnya,0
ddancjikahanyadanjika,1 ijij dc
Jika mij = 1 artinya alternatif ai
mendominasi alternatif aj sehingga
terbentuk matriks dari indeks graph
dimana alternatif-alternatif sebagai buhul
dan alternatif yang dominan terhubung
oleh arch. Alternatif yang dominan
menjadi buhul ujung dari suatu arch.
Alternatif-alternatif yang tidak dominan
membentuk kernel graph. Keputusan
akhir diambil berdasarkan analisis kernel
dengan menghitung perubahan nilai dari
indeks c i d dan bobot dari kriteria.
Selanjutnya untuk meranking semua
alternatif pada set A dapat dilanjutkan
dengan menggunakan metode ELECTRE
II. Dengan memakai metode ELECTRE
II harus dihitung nilai konkordansi dari
dominan
ck = 
n
kii
kic
,1
- 
n
kii
ikc
,1
dan juga nilai diskordansi dari dominan
dk = 
n
kii
kid
,1
- 
n
kii
ikd
,1
Alternatif-alternatif diranking
berdasarkan nilai rata-rata tertinggi.
Pada ELECTRE TRI pengambian
keputusan multi kriteria ditambahkan
dengan teknik untuk mensortir kriteria,
dan harus ditetapkan pula nilai untuk
parameter yang digunakan.
Contoh sederhana normalisasi
Pada Tabel 1, diberikan tiga
alternatif a1, a2, a3 dan enam kriteria c1,
c2, c3, c4, c5, c6. Dengan hipotesa ketiga
alternatif melebihi threshold dari indeks
konkordansi dan nilai penyebut dari
indeks diskordansi sama.
Tabel 1. Data contoh pembentukan
normalisasi
c1 c2 c3 c4 c5 c6
a1 2 2 2 2 2 4
a2 3 3 3 3 3 1
a3 3 7 5 1 5 6
Diasumsikan bahwa nilai preferensi dari
pengambil keputusan untuk setiap kriteria
adalah 1, artinya  j = 1 adalah nilai dari
penyebut untuk setiap kriteria. Untuk
menghitung indeks diskordansi
digunakan evaluasi maksimum selisih
22
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
absolut dan jumlah selisih absolut,
sebagai berikut:
a12 = max (|2-3|,|2-3|,|2-3|,|2-3|,|2-3|)
= max (1,1,1,1,1) = 1
a21 = max (|1-4|) = max (3) = 3
a13 = max (|2-3|,|2-7|,|2-5|,|2-5|,|4-6|)
= max (1,5,3,3,2) = 5
a31 = max (|1-4|) = max (3) = 3
a23 = max (|3-7|,|3-5|,|3-5|,|1-6|)
= max (4,2,2,5) = 5
a32 = max (|1-3|) = max (2) = 2
Dari hubungan a1 dan a2 dapat
dibandingkan bahwa a12 < a21, maka
untuk indeks diskordansi a1 superior
terhadap a2. Selanjutnya dengan cara
yang sama semua hubungan alternatif
masing-masing dibandingkan dan hasil
akhir diperoleh bahwa a3>a1>a2.
Pada metode evaluasi ELECTRE,
alternatif dengan indeks diskordansi lebih
kecil akan menjadi alternatif yang dipilih.
Evaluasi jumlah selisih absolut.
a12 = (|2-3|+|2-3|+|2-3|+|2-3|+|2-3|)
= (1+1+1+1+1) = 5
a21 = (|1-4|) = (3) = 3
a13 = (|2-3|+|2-7|+|2-5|+|2-5|+|4-6|)
= (1+5+3+3+2) = 14
a31 = (|1-4|) = (3) = 3
a23 = (|3-7|+|3-5|+|3-5|+|1-6|)
= (4+2+2+5) = 13
a32 = (|1-3|) = (2) = 2
Dengan cara yang sama seperti evaluasi
maksimum selisih absolut, dibandingkan
setiap hasil sehingga diperoleh hasil akhir
bahwa a3>a2>a1.
Dapat dilihat bahwa hasil yang diperoleh
dengan menggunakan evaluasi
maksimum selisih absolut (a3>a1>a2)
berbeda dari hasil yang diperoleh dengan
evaluasi jumlah selisih absolut
(a3>a2>a1). Posisi urutan ranking
alternatif a1 dan a2 bertukar tempat pada
kedua hasil tersebut. Sementara alternatif
a3 merupakan alternatif yang paling
optimal, maka tentu saja perbedaan relatif
antara a3 dengan a1 dan a3 dengan a2
akan berubah secara signifikan. Misalnya
a3 dengan a1, indeks diskordansi kedua
alternatif tersebut akan meningkat dari 4
(a13 - a31 = 5 - 1 = 4) menjadi 13 (a13 -
a31 = 14-1 = 13) dengan demikian
perbedaannya sangatlah signifikan.
Perbedaan bahkan bisa lebih signifikan
jika jumlah kriteria evaluasi bertambah
banyak. Namun sesungguhnya kedua cara
evaluasi tersebut memberikan makna
yang berbeda. Evaluasi maksimum selisih
absolut menujukkan bahwa fokus dari
pembuat keputusan adalah pada
perbedaan utilitas terbesar dari kriteria,
sementara evaluasi jumlah selisih absolut
fokus pada jumlah perbedaan utilitas.
PENUTUP
Simpulan
Dengan menggunakan metode
evaluasi, nilai mutlak dari perbedaan
23
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
maksimum antara alternatif-alternatif
digunakan sebagai indeks diskordansi.
Pada artikel ini difokuskan pada
perbedaan dari kriteria dominan tunggal.
Nilai mutlak dari jumlah semua
perbedaan kriteria dipakai pada
keseluruhan kriteria-kriteria yang
digunakan.
Elemen utama dari metode evaluasi
adalah perhitungan indeks konkordansi
dan indeks diskordansi.
Rekomendasi
Banyak penelitian yang telah
dilakukan pada metode ELECTRE
dengan perspektif yang berbeda-beda.
Tentunya masih terbuka peluang yang
besar untuk melanjutkan penelitian yang
lebih rasional untuk evaluasi ELECTRE.
Metode evaluasi ELECTRE dapat
diterapkan bersama-sama dengan metode
evaluasi lainnya untuk menentukan
urutan ranking alternatif-alternatif.
Namun, tentunya perlu diteliti lebih
lanjut apa keuntungan dan kelemahan
dari kombinasi berbagai metode evaluasi
serta perbedaan-perbedaan di antara
metode tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Figueira, José; Salvatore Greco, Matthias Ehrgott, 2005. Multiple Criteria Decision
Analysis: State of the Art Surveys, New York: Springer Science + Business Media.
Fülöp, J., ________, Introduction to Decision Making Methods, Hungarian Academy of
Sciences.
Harris, R., 1998. Introduction to Decision Making, VirtualSalt.
http://www.virtualsalt.com/crebook5.htm
Huang, W. C and Chen, C. H, 2005. Using The Electre II Method to Apply and Analyze the
Differentiation Theory, Proceedings of the Eastern Asia Sociaty for Transportation
Studies, Vol. 5, pp. 2237-2249.
Hunjak, T., 1997. Mathematical Foundations of The Methods for Multicriterial Decision
Making, Mathematical Communications 2: pp 161-169
Roy, Bernard, 1968. “Classement et choix en presence de points de vue multiples (la
méthode ELECTRE)”. la Revue d’Informatique et de Recherche Opérationelle
(RIRO) (8): 57-75.
24
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
DEGRADASI PARAQUAT (1,1-DIMETIL-4,4-BIPIRIDILIUM)
DALAM LINGKUNGAN TANAH DESA OEMATANUNU
KECAMATAN KUPANG BARAT
Hermania Em Wogo, Sherlly M.F. Ledoh, Philiphi de Rozari, Andri Dikson Mbolik
Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT
In this research, the kinetics of paraquat degradation in a medium of Oematanunu
soil filtrate medium at two conditions, i. e. light condition and dark condition (on direct
sunshine for 8 hours per day) has been studied. To study the effect of sunshine in paraquat
degradation, it has been carried out a paraquat degradation in medium of sterilized
aquadest, sterilized well water, sterilized Oematanunu soil filtrate, medium without
sterilization like: medium aquadest, medium well water and medium Oematanunu soil
filtrate without sterilization. On certain time interval, the rest of paraquat was determined
by UV-Vis spectrophotometry after being reduced with sodium dithionite at a maximum
wavelength of 604 nm. The results indicated that sunshine increased the rate of paraquat
degradation. Paraquat degradation studied medium followed kinetics of the first order. The
rate constant of paraquat in Oematanunu soil filtrate medium (0,06998 0,00336 day-1
)
higher than that in medium without sterilization and anothers sterilization medium, as well
as in well water medium (0,06217 ± 0,00317 day-1
), aquadest medium (0,03458 ± 0,00252
day-1
), for anothers sterilized medium as Oematanunu soil filtrate medium (0,06086 ±
0,00285 day-1
), sterilized well water medium (0,04720 ± 0,00182 day-1
) and sterilized
aquadest medium (0,03472  0,00251 day-1
).
Keywords: Kinetics, Degradation, Paraquat, Oematanunu
Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dalam perekonomian, dapat
membantu meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Peningkatan taraf hidup
masyarakat dapat dilakukan melalui
sektor pertanian, karena Indonesia
merupakan negara agraris. Pertanian
merupakan andalan untuk meningkatkan
taraf hidup masyarakat, sehingga harus
dimaksimalkan kegiatan peningkatan
kemajuan pertanian. Berbagai cara telah
dilakukan dalam upaya untuk
meningkatkan produksi hasil pertanian.
Salah satu cara yang dilakukan adalah
dengan menggunakan bahan-bahan kimia
yang diproduksi untuk keperluan
pertanian. Hal ini dilakukan untuk
membasmi hama, penyakit dan gulma
yang dapat merusak tanaman yang akan
penyebabkan menurunnya hasil
pertanian. Salah satu bahan kimia yang
digunakan adalah pestisida.
Pestisida adalah semua zat kimia
dan bahan lain serta jasad renik dan virus
yang dipergunakan sebagai pemberantas
atau pencegah hama atau penyakit yang
25
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
dapat merusak tanaman atau hasil
pertanian (Peraturan pemerintah No.7
Tahun 1973 dalam Sudarmo, 1991).
Penggunaan pestisida semakin meningkat
dari tahun ke tahun hal ini dikarenakan
oleh formulasi produk pestisida yang
telah terdaftarkan dan diizinkan
penggunaannya di Indonesia semakin
banyak (Sudarmo, 1991). Kebutuhan
pestisida akan terus meningkat sebelum
ditemukan adanya cara-cara lain yang
lebih baik di dalam mengendalikan
organisme penggangu tanaman yang
menyebabkan menurunnya produktivitas
hasil pertanian.
Menurut Djojosumarto (2000)
herbisida merupakan jenis pestisida yang
digunakan untuk mengendalikan gulma
atau tumbuhan penggangu yang tidak
dikehendaki. Semakin banyak produsen
yang memakai herbisida maka perlu
adanya perhatian khusus dalam hal ini
sebab akan semakin meningkat pula
residu yang akan tertinggal di dalam
tanah yang dapat merusak tanaman yang
sangat peka pada musim tanam
berikutnya. Gramoxone adalah salah satu
jenis herbisida yang berbahan aktif
paraquat (1,1-dimetil-4,4-bipiridilium)
yang banyak digunakan di lahan
pertanian (Muktamar, dkk., 2004).
Paraquat yang merupakan bahan aktif
dari jenis herbisida gramoxone dan
paracol diklarifikasikan sebagai herbisida
purna tumbuh golongan piridin yang
bersifat kontak non selektif (Nanik, dkk.,
2006).
Menurut Nanik dkk., (2006),
paraquat diketahui sebagai senyawa yang
sangat toksik. Oleh karena itu semakin
meningkatnya pemakaian gramoxone
dalam kurun waktu yang panjang dapat
mengganggu kesetimbangan ekosistem,
maka diperlukan sebuah studi dalam
memahami perilaku gramoxone di dalam
tanah untuk mencegah bahaya yang
mungkin ditimbulkan terhadap
lingkungan. Dari uraian di atas tentang
penggunaan gramoxone oleh masyarakat
di sektor pertanian telah mendorong
penulis untuk melakukan sebuah peneliti
untuk melakukan penelitian guna
mengetahui perilaku gramoxone di
lingkungan sehingga dapat digunakan
sebagai bahan referensi dan informasi
bagi masyarakat pertanian dalam
mengurangi dampak negatif dari
penggunaan herbisida.
MATERI DAN METODE
Sampel dari penelitian ini diambil
dari tanah pertanian yang berlokasi di
kabupaten Kupang yakni, tepatnya di
desa Oematanunu kecamatan Kupang
Barat. Sampel tanah yang digunakan
dalam penelitian ini diambil masih dalam
bentuk bongkahan. Sampel tanah yang
26
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
diambil mempunyai kedalaman 0–30 cm
dari atas permukaan tanah.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: Sampel tanah dari
desa Oematanunu, larutan Paraquat
aplikasi (gramoxon), NaOH (E.Merck),
Natrium ditionit (E.Merck), air sumur
dan akuades.
Alat yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi spektrofotometer
UV-VIS (Spektronik 21D milton roy),
ayakan 60 dan 80 mesh, neraca analitik,
sentrifius, botol film atau selongsong
film, kertas karbon, kertas saring
Whatman 42, pH meter, shaker, autoklaf
dan alat-alat penunjang berupa alat-alat
gelas laboratorium.
Prosedur Penelitian
Preparasi tanah
Sampel tanah dikering-anginkan
dan diayak dengan menggunakan ayakan
60-80 mesh. Tanah hasil ayakan dioven
selama ± 4 jam pada suhu 70 o
C untuk
menurunkan kadar air dalam tanah.
Persiapan pembuatan sampel
a. Seratus gram tanah dicampur dengan
satu liter air sumur sedikit demi
sedikit dan diaduk dengan
menggunakan shaker selama ± 3 jam.
Campuran didiamkan selama ± 24
jam, disentrifius dan disaring dengan
menggunakan kertas saring Whatman
42.
b. Lima ratus mililiter filtrat hasil
penyaringan disterilkan dengan
autoklaf. Sterilisasi juga dilakukan
terhadap akuades dan air sumur
sebagai pembanding.
c. Wadah yang digunakan adalah botol
film sebanyak 240 buah. Sebelum
digunakan, botol film dicuci dan
dikeringkan. Seratus dua puluh botol
diantaranya dibalut kertas karbon
untuk kondisi gelap.
d. Membuat media A yaitu larutan hasil
penyaringan tanpa sterilisasi. Diambil
1,1 mL larutan paraquat 2760 mg/L
(hasil pengenceran 100 kali paraquat
stok) dan diencerkan sampai 100 mL
dengan larutan hasil penyaringan
tanpa sterilisasi sehingga diperoleh
larutan paraquat dengan konsentrasi
30,36 mg/L. Pengenceran dilakukan
sebanyak empat kali sehingga
diperoleh 400 mL larutan paraquat
dengan pelarut filtrat tanah tidak steril
30,36 mg/L.
e. Membuat media B yaitu larutan hasil
penyaringan dengan sterilisasi dengan
cara yang sama seperti media A
sehingga diperoleh 400 mL larutan
paraquat dengan pelarut filtrat tanah
yang disterilkan sehingga
konsentrasinya 30,36 mg/L.
f. Membuat media C yaitu akuades
steril dengan cara yang sama seperti
media A sehingga diperoleh 400 mL
27
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
larutan paraquat dengan pelarut
akuades steril sehingga
konsentrasinya 30,36 mg/L.
g. Membuat media D yaitu akuades
tidak steril dengan cara yang sama
seperti media A sehingga diperoleh
400 mL larutan paraquat dengan
pelarut akuades tidak steril sehingga
konsentrasinya 30,36 mg/L.
h. Membuat media E yaitu air sumur
steril dengan cara yang sama seperti
media A sehingga diperoleh 400 mL
larutan paraquat dengan pelarut air
sumur steril sehingga konsentrasinya
30,36 mg/L.
i. Membuat media F yaitu air sumur
tidak steril dengan cara yang sama
seperti media A sehingga diperoleh
400 mL larutan paraquat dengan
pelarut air sumur tidak steril sehingga
konsentrasinya 30,36 mg/L.
j. Larutan dari tiap media (A, B, C, D,
E, F) masing-masing diambil 10 mL
dan dimasukan ke dalam botol film
sehingga terdapat 40 wadah dimana
20 wadah tanpa kertas karbon dan 20
wadah lain dibalut seluruh permukaan
botolnya dengan kertas karbon untuk
kondisi gelap.
k. Seluruh sampel disinari dengan sinar
matahari. Sampel yang dikondisikan
untuk kondisi terang saat dijemur
harus dibuka tutup botolnya sehingga
sinar matahari dapat masuk tanpa
dihalangi. Sedang yang dikondisikan
untuk kondisi gelap tetap tertutup
seluruh permukaannya dengan kertas
karbon. Penjemuran dilakukan selama
8 jam sehari dengan waktu antara jam
07:00 sampai 15:00 WITA.
Kehilangan volume karena
penguapan segera diganti sesudah
dilakukan penjemuran sehingga
volume sampel tetap. Sampel diambil
untuk dianalisis pada hari ke 0, 1, 2,
5, 7, 10, 14, 26, 38 dan 50. Setiap
pengambilan sampel langsung
dilakukan preparasi dan ditentukan
jumlah paraquat hari itu juga.
Penentuan panjang gelombang
maksimum
Dalam penentuan panjang
gelombang maksimum dibuat larutan
paraquat dengan konsentrasi 30,36 mg/L
dari larutan stok (konsentrasi 276
gram/L). Kemudian ditimbang 0,05 gram
natrium dithionit dan dilarutkan dengan 5
mL larutan NaOH 4 % b/v sehingga
diperoleh larutan natrium dithionit 1 %
dalam NaOH 4 % b/v. Dari 10 mL
larutan paraquat 30,36 mg/L kemudian
ditambah 2 mL larutan 1 % natrium
dithionit dalam NaOH 4 % dan direkam
spektra absorbansinya pada λ antara 500
sampai 800 nm dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis. Hasil
pengukuran absorbansi ditampilkan
dalam bentuk grafik A vs λ dan dapat
28
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
ditentukan panjang gelombang
maksimumnya.
Penetapan konsentrasi paraquat dalam
sampel dengan spektrofotometer
a. Pembuatan kurva standar
1. Paraquat dengan konsentrasi 27,6
mg/L diambil masing-masing 1,0;
2,0; 3,0; 4,0 dan 6,0 mL dan
dimasukan pada labu takar 10 mL
kemudian diencerkan dengan
akuades, sehingga diperoleh seri
larutan paraquat dengan konsentrasi
berturut-turut: 2,76; 5,52; 8,28; 11,04;
13,8 dan 16,56 mg/L. Diambil juga
1,0 mL paraquat 27,6 mg/L dan
dimasukan dalam labu takar 25 mL
kemudian diencerkan dengan akuades
sehingga diperoleh larutan paraquat
dengan konsentrasi 1,104 mg/L.
2. Masing-masing konsentrasi larutan
standar diambil 10 mL dan ditambah
dengan 2,0 mL larutan natrium
dithionit 1 % dalam larutan NaOH 4
% dan direkam absorbansinya pada
panjang gelombang maksimum. Dari
data tersebut dapat dibuat kurva
standar Absorbansi lawan
konsentrasi.
3. Untuk setiap pengukuran konsentrasi
paraquat dalam sampel dibuat seri
larutan standar terlebih dahulu.
b. Pengukuran absorbansi sampel
Pengukuran absorbansi sampel
dilakukan pada hari ke 0, 1, 2, 5, 7, 10,
14, 26, 38 dan 50. Dari setiap media
diambil dua botol sampel yang
dikondisikan dalam keadaan terang dan
dua botol sampel yang lain dikondisikan
dalam keadaan gelap.
Masing-masing sampel dengan
volume 10 mL ditambahkan 2 mL larutan
natrium dithionit 1 % dalam larutan
NaOH 4 % dan diukur absorbansinya
pada panjang gelombang maksimum.
Penambahan 2 mL larutan natrium
dithionit 1 % dalam NaOH 4 %
dilakukan saat akan diukur absorbansi
sampelnya.
c. Penetapan konsentrasi paraquat
Data absorbansi sampel yang
diperoleh diekstrapolasikan ke kurva
standar dan diperoleh konsentrasi sampel
dari tiap media pada masing-masing
kondisi. Hasil akhir berupa grafik
konsentrasi vs waktu untuk tiap media
yang masing-masing terdiri dari kondisi
gelap dan terang. Kemudian dilakukan
penentuan konstanta laju degradasi
paraquat pada kondisi terang dan gelap
untuk mengetahui kinetika degradasi
paraquat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Evaluasi Metode Analisis Paraquat
Secara Spektrofotometri UV-Vis
Penentuan Panjang Gelombang
Maksimum
Penetapan panjang gelombang
maksimum untuk paraquat secara
29
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
spektrofotometri Ultra Violet-Visibel
dilakukan mengikuti metode analisis
yang dikembangkan oleh Constenla
(1990) dengan mengukur larutan standar
paraquat 30,36 mg/L yang telah direduksi
dengan natrium ditionit dalam suasana
basa. Syarat terjadinya reaksi dalam
mereduksi paraquat adalah dalam suasana
basa maka digunakan larutan natrium
dithionit 1% dalam larutan NaOH 4%.
Warna larutan yang telah direduksi akan
menghasilkan warna biru dengan serapan
pada panjang gelombang sekitar 600 nm.
Pengukuran panjang gelombang
yang memberikan serapan maksimum
dari larutan paraquat yang telah direduksi
dilakukan pada panjang gelombang
antara 500 sampai 800 nm, seperti terlihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Kurva panjang gelombang
maksimum paraquat tereduksi
Berdasarkan hasil pengukuran
panjang gelombang maksimum yang
dilakukan dengan menggunakan
spektofotometer UV-Vis diperoleh
serapan maksimum paraquat tereduksi
pada panjang gelombang 604 nm, artinya
pada panjang gelombang ini paraquat
tereduksi menyerap radiasi sinar Ultra
Violet-Visibel. Panjang gelombang
maksimum inilah yang akan digunakan
dalam melakukan pengukuran absorbansi
untuk menghitung konsentrasi paraquat
dalam sampel. Dalam melakukan
pengukuran absorbansi paraquat hal yang
perlu diperhatikan adalah stabilitas
reduktor natrium ditionit, hal ini perlu
dilakukan karena natrium ditionit sebagai
pereduktor sangat menentukan besarnya
nilai absorbansi yang akan terukur oleh
alat spektrofotometri UV-Vis.
Reduksi paraquat dengan
menggunakan natrium ditionit dalam
suasana basa akan menghasilkan radikal
kation yang bersifat kurang stabil yang
berwarna biru (Hassal, 1982). Radikal
kation ini akan mengalami autooksidasi
sehingga akan kembali membentuk ion
paraquat karena keberadaan air dan
oksigen seperti terlihat jelas dari
persamaan reaksi pada Gambar 2.
Mengingat sifat dari paraquat tereduksi
yang kurang stabil ini maka dalam
melakukan analisis dengan metode yang
dikembangkan oleh Constenla (1990)
harus dilakukan secepat mungkin.
30
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
Gambar 2. Skema proses reduksi
paraquat
Sensitivitas dan Batas Deteksi
Hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan suatu analisis adalah
parameter sensitivitas dan batas deteksi
karena dapat memberikan informasi
mengenai metode yang digunakan dalam
suatu penelitian apakah sudah memiliki
ketelitian dan ketepatan yang tinggi atau
belum. Kedua jenis parameter ini dapat
ditentukan dengan membuat kurva
hubungan antara absorbansi dan
konsentrasi dari setiap seri larutan standar
yang dibuat setiap kali melakukan
analisis sampel.
Pada penelitian ini dilakukan
pembuatan kurva kalibrasi dengan
menggunakan panjang gelombang
serapan maksimum paraquat diklorida
tereduksi dengan natrium ditionit dalam
suasana basa yakni pada panjang
gelombang 604 nm. Konsentrasi seri
larutan standar yang diukur untuk
membuat kurva kalibrasi dibuat pada
rentang konsentrasi 1,104 mg/L sampai
16,56 mg/L. Konsentrasi seri larutan
standar yang telah diukur akan digunakan
untuk menganalisis sampel pada waktu
yang telah ditentukan yakni pada hari ke-
0, 1, 2, 5, 7, 10, 14, 26, 38, dan 50.
Setiap pengukuran seri larutan
standar, data-data yang diperoleh
diplotkan dalam sebuah kurva sehingga
dari setiap kurva kalibrasi yang dibuat
diperoleh persamaan regresi linear (y =
ax + b ), dengan (a) adalah slop dan (b)
adalah intersep. Besarnya nilai slop dari
setiap kurva kalibrasi yang dibuat
menunjukkan sensitivitas (Skoog, 1985).
Nilai slop dari setiap kurva kalibrasi yang
dibuat pada penelitian ini jika
dibandingkan setiap kali melakukan
pengukuran konsentrasi sampel tidak
berbeda secara signifikan (Tabel 1),
dengan rata-rata sensitivitas adalah
0,0399 LA/mg. Hal ini menunjukkan
bahwa kurva standar yang diperoleh
dapat digunakan untuk menganalisis
konsentrasi paraquat dalam sampel. Pada
Tabel 1 juga disajikan nilai batas deteksi
dari masing-masing kurva kalibrasi,
dimana batas deteksi merupakan
konsentrasi analit terendah yang masih
terukur yang dapat ditentukan berbeda
nyata secara statistik dari pengukuran
blanko (Skoog, 1985).
NCH3 N CH3
2
Autooksidasi 2O2 + 2H2O 2H2O2 +O2
e
NH3C N CH3
31
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
Tabel 1. Data Kurva kalibrasi dan parameter analitik
Kurva Kalibrasi Parameter Analitik
Hari Persamaan regresi
linear
r
Sensitivitas
(LA/mg)
Batas deteksi
0 Y = 0,03792x + 0,01705 0,99994 0,03792 0,14456
1 Y = 0,03854x + 0,05694 0,99958 0,03854 0,38546
2 Y = 0,03989x + 0,00857 0,99994 0,03989 0,14478
5 Y = 0,04242x + 0,01526 0,99953 0,04242 0,40741
7 Y = 0,04881x + 0,01445 0,99964 0,04881 0,35818
10 Y = 0,04707x + 0,00971 0,99980 0,04707 0,26397
14 Y = 0,05267x – 0,00344 0,99986 0,05267 0,22320
26 Y = 0,05075x – 0,00136 0,99968 0,05075 0,33677
38 Y = 0,04120x + 0,02549 0,99966 0,04120 0,34924
50 Y = 0,04058x + 0,02530 0,99972 0,04058 0,31739
Menurut Miller dan Miller (1991)
batas deteksi dapat ditentukan sebagai
konsentrasi yang menghasilkan
absorbansi sebesar tiga kali standar
deviasi intersep (3 x Sa intersep) dibagi
slop dari kurva kalibrasi, dimana standar
deviasi intersep dihitung dengan
menggunakan program microsoft office
excel. Sehingga dari hasil perhitungan
didapat batas deteksi dari masing-masing
kurva standar seperti yang disajikan pada
Tabel 1.
Suatu kurva kalibrasi memiliki
ketelitian yang cukup tinggi apabila
koefisien korelasinya (r) mendekati satu.
Dari hasil perhitungan seperti yang
disajikan pada Tabel 1, dapat dilihat nilai
koefisien dari masing-masing kurva
kalibrasi berkisar antara 0,99953 sampai
0,99994.
Kinetika Degradasi Paraquat
Hasil perhitungan yang diperoleh
dengan menggunakan kurva kalibrasi
selanjutnya digunakan untuk mempelajari
kinetika degradasi paraquat diklorida.
Dalam penelitian ini dipelajari pengaruh
sinar matahari yang diduga dapat
meningkatkan laju degradasi paraquat.
Dalam penelitian ini dilakukan dua
macam perlakuan sampel yakni
perlakuan pada kondisi terang dimana
sampel dibiarkan berkontak dengan sinar
matahari secara langsung tanpa ada
penghalang. Sedangkan pada kondisi
gelap dimana semua permukaan wadah
sampel dibalut dengan menggunakan
kertas karbon. Kedua jenis perlakuan ini
masing-masing masih dibedakan
berdasarkan kesterilan sampel dengan
menggunakan autoklaf dan tanpa
sterilisasi.
Pengaruh sinar matahari terhadap
laju degradasi ditinjau berdasarkan
perbandingan antar media pada masing-
masing kondisi berdasarkan berbagai
media percobaan. Hasil perhitungan yang
32
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
diperoleh dari percobaan menunjukkan
bahwa telah terjadi penurunan
konsentrasi paraquat pada kondisi terang
untuk keenam media yang dibuat yaitu
akuades steril, air sumur steril, filtrat
tanah Oematanunu steril, akuades tidak
steril, air sumur tidak steril dan filtrat
tanah Oematanunu tidak steril. Hal ini
dapat terlihat jelas pada Gambar 3, yang
menunjukkan perbandingan penurunan
konsentrasi paraquat pada kondisi terang
dan gelap untuk keenam media percobaan
yang digunakan dalam penelitian ini.
a. Media akuades steril
b. Media air sumur steril
33
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
c. Media filtrat tanah Oematanunu steril
d. Media akuades tidak steril
e. Media air sumur tidak steril
34
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
f. Media filtrat tanah Oematanunu tidak steril
Gambar 3. Grafik hubungan antara konsentrasi paraquat dan waktu pada berbagai media
percobaan
Pada keenam gambar grafik pada
Gambar 3, untuk media kondisi terang
menunjukkan telah terjadi penurunan
konsentrasi yang sangat berbeda pada
keenam media percobaan. Hal ini
menurut Hassal (1982) disebabkan oleh
karena sinar ultra violet dari sinar
matahari yang diserap oleh molekul
paraquat diklorida dapat menyebabkan
terjadinya pembukaan salah satu cincin
piridin yang menghasilkan N-metil-4-
karboksipiridinium (Gambar 4).
N N
+
N NH
CHO
CH3
CH3
H3C
H3C Cl-
2+
2Cl-
+
NH3C COO Cl- + CH3NH2HCl
Gambar 4. Skema degradasi paraquat
oleh sinar UV dari matahari
(Wogo, 2002)
Media percobaan untuk kondisi
gelap dari grafik yang disajikan tidak
menunjukkan penurunan yang begitu
berbeda untuk keenam media yang
dibandingkan. Dari perbandingan ini
dapat dikatakan bahwa pada media
percobaan untuk kondisi terang telah
terjadi peristiwa degradasi paraquat oleh
sinar UV matahari. Sedangkan untuk
35
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
keenam media percobaan pada kondisi
gelap tidak terjadi peristiwa degradasi.
Kajian kinetika degradasi dari
masing-masing media dalam penelitian
ini dilakukan melalui penentuan orde
dan konstanta degradasi. Hasil
perhitungan orde dan konstanta laju
degradasi paraquat pada kondisi terang
dari masing-masing media dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Data orde dan konstanta laju degradasi paraquat (k) dari berbagai media
Media Orde k  Standar deviasi
Akuades steril 1 0,02984 ± 0,00408
Akuades tidak steril 1 0,03458 ± 0,00252
Air sumur steril 1 0,04720 ± 0,00182
Air sumur tidak steril 1 0,06217 ± 0,00317
Filtrat Oematanunu steril 1 0,06086 ± 0,00285
Filtrat Oematanunu tidak steril 1 0,06998 0,00336
Sinar matahari dapat meningkatkan laju
degradasi paraquat. Penyinaran selama 50
hari (8 jam/hari) mampu mendegradasi
paraquat mencapai 96,00501 % untuk
media filtrat tanah Oematanunu tidak
steril, media filtrat tanah Oematanunu
steril mencapai 93,95629 %, media air
sumur tidak steril mencapai 94,27148 %,
media air sumur steril mencapai
90,56803 %, media akuades tidak steril
mencapai 81,97919 % dan media akuades
steril mencapai 71,65681 %.
SIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
uraian pada pembahasan yang telah
dilakukan dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari keenam media yang dibuat
(akuades steril, air sumur steril, filtrat
tanah Oematanunu steril, akuades
tidak steril, air sumur tidak steril dan
filtrat tanah Oematanunu tidak steril).
Pada kondisi terang dan gelap
mengikuti reaksi orde I, dengan
konstanta laju degradasi paraquat
dalam media steril dan tidak steril
pada kondisi terang adalah :
a. Media steril: akuades (0,02984
hari-1
), air sumur (0,04720 hari -1
),
filtrat tanah Oematanunu (0,06086
-1
).
b. Media tidak steril: akuades
(0,03458 hari-1
), air sumur
(0,06217 hari-1
), filtrat tanah
Oematanunu (0,06998 hari -1
).
2. Sinar matahari dapat meningkatkan
degradasi paraquat dengan lama
36
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
penyinaran selama 50 hari (8 jam/
hari) mampu mendegradasi paraquat
mencapai 71,65681 - 96,00501 %.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai proses lain yang dapat
menurunkan konsentrasi paraquat di
dalam lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Constenla, M.A., 1990, Paraquat Behavior in Costa Rica Soils and Residues in Coffee,
Journal Agriculture Food Chemistry, Vol. 38
Djojosumarto, P., 2000, Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian, Kanasius, Yogyakarta
Hassal, K.A., 1982, The Biochemistry and Uses of Pesticides, 2nd
edition, Macmillan Press,
New York
Miller, J. C., and Miller, J. N., diterjemahkan oleh Suroso, 1991, Statistika Untuk Kimia
Analitik, ITB, Bandung
Muktamar, Z., Sukisno dan Nanik, S., 2004, Adsorpsi dan Desorpsi Herbisida Paraquat
Oleh Bahan Organik Tanah, Jurnal Akta Agrosia Vol. 7, Fakultas Pertanian,
Universitas Bengkulu
Nanik, S., Zainal, M., Doni, H., 2006, Mobilitas Herbisida Paraquat Melalui Kolom Tanah
Dystrandept dan Dystrudept, Jurnal Akta Agrosia Vol. 9, Fakultas Pertanian,
Universitas Bengkulu
Skoog, D.A., 1985, Principles of Instruments Analysis, 3rd
edition, Saunders College
Publishing
Sudarmo, S., 1991, Pestisida, Kanisius, Yogyakarta
Wogo, H.E., 2002, Studi Kinetika Degradasi Paraquat (1,1-Dimetil-4,4-Bipiridilium)
Dalam Lingkungan Tanah Lombok, Skripsi, UGM, Yogyakarta
37
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
ISOLASI METIL OLEAT HASIL TRANSESTERIFIKASI MINYAK JARAK
PAGAR (JATROPHA CURCAS L) MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI KOLOM
Febri Odel Nitbani
Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT
Isolation methyl oleic from transesterification product mixture of castrol oil
(Jatropha curcas L.) has been done. The process of methyl oleic isolation via colum
cromatography was done using chloroform : n-hexsane : formic acid (90:10:1) as an eluen
and silica gel H40 as a stationary fase. The methyl oleic was tested with Gas
Chromatography-Massa Spectroscopy (GC-MS). The result showed that the percentage of
methyl oleic is 65,18 %.
Keywords : Castrol oil, methyl oleic, colum chromatography
Indonesia adalah salah satu
negara penghasil minyak nabati di dunia.
Minyak nabati yang dihasilkan seperti,
minyak sawit, minyak jarak, minyak
kopra, dalam jumlah yang cukup besar.
Minyak nabati yang terkandung dalam
biji tumbuhan merupakan trigliserida
(gambar 1) yang tersusun oleh asil-asil
dari asam lemak jenuh maupun tidak
jenuh yang diperoleh melalui proses
maserasi menggunakan pelarut polar dan
non polar( Gunston dan Hamilton, 2001).
H2C O C R1
O
H2C O C R2
O
HC O C R3
O
Gambar 1 Trigliserida
Transesterifikasi berkatalis basa
minyak jarak pagar (Jatropha curcas L.)
menghasilkan metil oleat 33%
(Kusumawati, 2009). Hidrolisis metil
oleat akan menghasilkan asam oleat yang
merupakan asam lemak esensial.
Senyawa-senyawa asam lemak seperti
asam oleat berperan untuk menghasilkan
produk yang secara komersil penting dan
ditemukan aplikasinya dalam berbagai
bidang diantaranya sebagai pemplastis
(plastizier) dan penstabil (stabilizer)
untuk resin polivinil klorida (PVC)
(Yadav dan Satoskar, 1997). Sumber-
sumber asam oleat dalam minyak nabati
terutama dihasilkan dari zaitun, kedelai
dan biji bunga matahari (Gan et al, 1992).
Lemak atau minyak merupakan
salah satu jenis makanan yang banyak
digunakan untuk diet sehari- hari.
Beberapa hal yang mempengaruhi sifat-
38
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
sifat minyak adalah asam lemak
penyusunnya yaitu asam lemak jenuh
(Saturated fatty acid) dan asam lemak tak
jenuh (Unsaturated fatty acid), yang
terdiri atas Monounsaturated fatty acid
(MUFA) dan poly unsaturated fatty acid
(PUFA). Salah satu jenis MUFA adalah
asam oleat (asam lemak omega 9)
mampu menurunkan lipoprotein yang
densitasnya sangat rendah (low density
lipoprotein = LDL) dan meningkatkan
lipoprotein yang densitasnya tinggi (High
density lipoprotein = HDL). Asam lemak
Omega 9 mampu mencegah penyakit
jantung koroner yang sudah teruji secara
laboratoris dan epidemologis. Asam oleat
banyak terdapat pada bahan makanan
seperti minyak kelapa sawit, yoghurt,
susu, keju, miyak zaitun, tempe, tahu dan
lain-lain.
Metode kromatografi kolom
sudah digunakan sebagai metode
pemisahan untuk memisahkan metil ester
dari asam-asam lemak dalam minyak
kemiri (Tarigan, 2009). Berdasarkan
hasil penelitian bahwa minyak jarak
pagar mengandung metil oleat 33 % dan
manfaat penting asam oleat sebagai asam
lemak esensial maka melalui penelitian
ini akan dilakukan isolasi metil oleat
hasil transesterifikasi minyak jarak pagar
(Jatropha curcas L.) menggunakan
teknik pemisahan kromatografi kolom.
Penelitian ini diharapkan menaikkan nilai
guna biji jarak pagar selain sebagai bahan
bakar juga dapat dimanfaatkan sebagai
sumber asam lemak esensial.
MATERI DAN METODE
Bahan
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah biji jarak pagar
(Jatropha curcas L ), Petroleum eter,
metanol, NaOH, Na2SO4 anhidrat, Silika
gel H- 40, Kloroform, n-Heksana dan
Asam format.
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah : alat gelas
laboratorium, satu set alat ekstraksi
sokhlet, satu set alat evaporator Buchii
tipe R-124, alat timbangan elektrik
(Libror EB-330 Shimadzu), tabung
kolom, pipa kapiler, plat kromatografi
lapis tipis, pipet tetes dan Kromatografi
Gas–Spektroskopi Massa ( GC-MS,
Shimadzu QP-2010).
Prosedur Kerja
a. Penyiapan sampel campuran metil
ester minyak jarak pagar
(Kusumawati, 2009)
Ekstraksi Biji Jarak Pagar
Minyak biji jarak pagar
(Jatropha curcas L) diperoleh dengan
ekstraksi pelarut menggunakan petroleum
eter menghasilkan minyak berwarna
kuning dan berbau kas minyak jarak
kemudiaan dilakukanan dengan tahap
netralisasi yang merupakan proses
pemurnian minyak jarak pagar.
39
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
Reaksi Transesterifikasi
Minyak jarak pagar (Jatropha
curcas L) yang sudah dinetralisasi
sebanyak 100 gram dimasukkan ke dalam
labu yang sudah dilengkapi dengan
pengaduk magnet dan larutan metoksida
(campuran 20 mL metanol 90% dan 2
gram NaOH yang telah tercampur
sempurna). Campuran diaduk selama 90
menit sampai reaksi transesterifikasi
sempurna. Hasil reaksi dievaporasi dan
residu dilarutkan dalam 75 mL PE ,
dimasukkan dalam corong pisah dan
dicuci dengan air sampai pH netral.
Lapisan organik dikeringkan dengan
Na2SO4 anhidrat, dan filtratnya
dievaporasi.
b. Isolasi Metil Oleat
Isolasi metil oleat dilakukan
dengan menggunakan kromatografi
kolom menggunakan silika gel H-40 dan
eluent yang digunakan kloroform : n-
heksana : asam format 90:10:1 (v:v:v).
hasil yang diperoleh kemudian dianalisis
menggunakan GC-MS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk
mengisolasi metil oleat dari campuran
metil ester hasil transesterifikasi minyak
jarak pagar (Jatropha curcass L)
menggunakan kromatografi kolom.
Bahan dasar untuk proses isolasi ini
menggunakan minyak jarak pagar yang
sudah ditransesterifikasi menggunakan
katalis basa oleh Kusumawati (2009).
Berdasarkan hasil penelitian
Kusumawati, metil oleat yang terdapat
dalam campuran metil ester hasil
transesterifikasi minyak jarak adalah
sebesar 33 %. Untuk teknik pemisahan
dengan kromatografi kolom digunakan
fase diam berupa silika gel H40 dan fase
gerak berupa campuran kloroform : n-
heksana : asam format (90: 10 : 1).
Campuran metil ester minyak jarak pagar
dimasukan dalam kolom berisi fase diam
dan dialiri eluen dengan laju satu tetes
setiap 15 menit. Komponen- komponen
yang terpisah akan terbawa oleh fase
gerak keluar kolom dan ditampung tiap 5
ml dalam botol sampel. Tiap sampel
hasil kolom kromatografi dianalisis
menggunakan kromatografi lapis tipis
dan sampel-sampel yang menujukkan
noda atau harga Rf yang sama
dikumpulkan jadi satu. Sampel dengan
harga Rf 0,9 cm selanjutnya dianalisis
menggunakan Kromatografi gas–
spektroskopi massa (KG–MS). Analisis
Menggunakan KG-MS menghasilkan
kromatogram seperti ditampilkan pada
gambar
40
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
Gambar 2. Kromatogram sampel Rf= 0,9
Kromatogram (Gambar 2)
menunjukkan bahwa terdapat 5 puncak
dengan waktu retensi dan kadar yang
berbeda-beda yang berarti terdapat 5
senyawa berbeda dalam sampel yang
dianalisis. Masing-masing puncak
dideskripsikan secara lengkap dalam
tabel 1. Puncak 3 dengan waktu retensi
17,33 menit merupakan puncak dengan
kelimpahan terbesar dalam campuran
yaitu 65,18 %, sedangkan puncak lain
berada dalam kelimpahan yang kecil
yaitu dibawah 25 %.
Tabel 1. Waktu retensi dan kadar
senyawa dalam sampel
dengan Rf 0,9 cm
Puncak dan
Waktu retensi
(menit)
Persentase(%)
(1) 15.234 1.773
(2) 15.489 21.965
(3) 17.332 65.185
(4) 17.442 10.706
(5) 19.093 0.370
Spektra massa puncak 1 dengan
waktu retensi 15.234 menit yang
memiliki kadar 1.77 % ditampilkan pada
gambar 3.
Gambar 3. Spektra massa puncak 1
Spektra massa (gambar 3)
menunjukkan ion molekuler pada m/z =
281 dan puncak dasar pada m/z = 55,1
yang sesuai sesuai dengan berat molekul
metil palmitoleat (gambar 4).
O
O
Gambar 4. Struktur senyawa metil
palmitoleat
Spektra massa senyawa puncak 2
dengan waktu retensi 15.489 menit dan
kadar 21 % memberikan ion molekuler
pada m/z =283 yang sesuai dengan berat
molekul dari metil palmitat dan memiliki
struktur seperti pada gambar 5.
O
O
Gambar 5. Struktur senyawa metil
palmitat
Spektra massa senyawa puncak 3
dengan waktu retensi 17.332 menit dan
kelimpahan terbesar yaitu 65.185 %
ditunjukan pada gambar 6.
41
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
Gambar 6. Spektra massa puncak 3
Dari spektrum massa dengan ion
molekuler pada m/z = 296 dan puncak
dasar pada m/z = 55 dapat disimpulkan
bahwa senyawa puncak 3 adalah metil
oleat (gambar 7). Pemurnian atau
pemisahan metil oleat dalam campuran
metil ester hasil transesterifikasi dengan
kromatografi kolom ternyata menaikkan
kemurnian metil oleat dari 33 % menjadi
65 %.
Metil oleat sendiri merupakan
ester dari asam oleat dimana asam oleat
adalah asam lemak omega 9 yang
merupakan asam lemak esensial dan
sangat penting bagi kesehatan manusia.
Asam oleat sendiri dapat diperoleh
dengan menghidrolisis metil oleat. Selain
fungsi kesehatan, asam oleat juga banyak
digunakan sebagai bahan baku dalam
industri makanan, kosmetik maupun
polimer. Oleh karena itu menemukan
bahan atau sumber asam oleat merupakan
hal yang sangat penting apalagi
sumbernya berasal dari sumber bahan
alam terbarukan yaitu biji jarak pagar.
O
O
Gambar 7. Struktur senyawa metil oleat
Spektra masa puncak 4 (gambar
8) pada waktu retensi 17.442 menit
dengan kadar relatif 10 % menunjukan
ion molekuler pada m/z = 298 sangat
sesuai dengan berat molekul metil stearat
(gambar 9). Hidrolisis terhadap metil
stearat akan menghasilkan asam stearat
sebagai suatu asam lemak jenuh.
Gambar 8. Spektra massa puncak 4
O
O
Gambar 9. Struktur senyawa metil
stearat
Spektra masa puncak 5 (gambar
10) pada waktu retensi 19,093 menit
dengan kadar relatif 0,3 % menunjukan
ion molekuler pada m/z = 326 sangat
sesuai dengan berat molekul metil
arakidonat (gambar 11).
42
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
Gambar 10. Spektra massa puncak 5
O
O
Gambar 11. Struktur senyawa metil
arakidonat
Berdasarkan hasil interpretasi
spektrum massa masing-masing puncak
kromatogram maka dapat disimpulkan
bahwa sampel hasil kromatografi kolom
dari campuran metil ester minyak jarak
mengandung senyawa-senyawa seperti
yang dirangkum dalam tabel 3.
Tabel 3. Jenis senyawa hasil kolom
kromatografi campuran metil ester
Puncak
Waktu
retensi
(menit)
Senyawa
Kadar
(%)
1 15,237
Metil
palmitoleat
1,773
2 15,491
Metil
palmitat
21,965
3 17,334 Metil oleat 65,185
4 17,443
Metil
stearat
10,706
5 19,093
Metil
arakidonat
0,370
SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai
berikut :
1. Metil oleat dapat dipisahkan dari
campuran metil ester minyak jarak
pagar (Jatropha curcas L.)
menggunakan teknik kromatografi
kolom
2. Metil oleat yang dihasilkan memiliki
kadar 65,185 %
3. Teknik pemisahan dengan
kromatografi kolom dapat menaikkan
kemurnian metil oleat
DAFTAR PUSTAKA
Gunstone, F.D., dan Hamilton, R.J., 2001, Oleochemical Manufacture and Applications,
Sheffield Academic Press Ltd, London
Gan, L.H., Goh, S.H., dan Ooi, K.S., 1992, Kinetic Studies of Epoxidation and Oxiran
Cleavage of Palm Oil Methyl Esters, J. Am. Oil Chem. Soc, 69(4):347-349
43
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
Kusumawati, A, 2009, Sintesis senyawa Epoksida Turunan Minyak Jarak (Jatropha
curcas L.) Melalui Reaksi Transesterifikasi Dan Epoksidasi, Universitas Nusa
Cendana-Kupang
Silverstein, R.M., dan Bassler, G.C., 1991, Spectrometric Identification of Organic
Compounds, Fourth Edition, John Wiley and Sons, New Yor
Tarigan, D., 2009, Pembuatan Senyawa Alkanolamida Tetrahidroksi Oktadekanoat yang
Diturunkan dari Minyak Kemiri, Indo.J.Chem., 9 (2), 271-277
Yadav, G. D., dan Satoskar, D. V., 1997, Kinetic of Epoxidation of Alkyl Esters of
Undecylenic Acid: Comparation of Traditional Routes vs Ishii-Venturello
Chemistry, J. Am. Oil Chem. Soc,74(4):397-407.
44
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
KARAKTERISTIK PASANG SURUT LAUT DAN PASANG SURUT BUMI
DI DAERAH CILACAP
Abdul Wahid
Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana
ABSTRACT
It has been done a research about earth tide characteristic to the ocean tide analysis
at station Cilacap, . The aim is to determine the characteristic of the earth tide and the
ocean tide, and the existence of semidiurnal variation, diurnal variation, periodicity and
correlation of both natural phenomena (earth tide and ocean tide).The analysis was done by
three stages, i.e: phase different analysis, periodicity analysis, and correlation analysis.
Based on the analysis, it reveals that there are phase lags of the ocean tide from the
earth tide, i.e: the north beach stations Cilacap, is 100 minutes in average. The periodicity
at the north beach stations have tide prevailing semidiurnal variation.
Keywords: tide, correlation, semidiurnal variation
 
Pasang surut merupakan salah
satu gejala alam yang perubahannya
secara periodik sesuai dengan posisi dan
letak benda angkasa (utamanya bulan dan
matahari) terhadap bumi, sehingga
terjadinya gaya pembangkit pasang surut,
secara garis besar gaya pembangkit
pasang surut ditimbulkan oleh tiga
gerakan utama: revolusi bulan terhadap
bumi, revolusi bumi terhadap matahari
dan rotasi bumi terhadap sumbunya
(Wahid, 2008).
Pasang surut bumi sangat penting
untuk koreksi pada pengukuran gravitasi
dengan menggunakan alat gravitymeter
La Coste Romberg yang variasinya antara
puncak positif dan negatif adalah 300
mikrogal serta dimanfaatkan pada
pengukuran sifat datar teliti. Pasang surut
laut digunakan untuk kepentingan
perhubungan pelayaran laut, pemanfaatan
sumberdaya hayati perairan, pariwisata,
pencemaran lingkungan, pertahanan
nasional serta pengembangan
pemanfaatan pasang surut laut sebagai
salah satu sumber energi alternatif .
Secara umum tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui
dan memahami karakteristik pasang surut
bumi dan pasang surut laut Stasiun
Cilacap, serta menganalisa data pasang
surut laut dan data pasang surut bumi
sehingga dapat diperoleh informasi
tentang: adanya variasi tengah harian
(semidiurnal variation) dan variasi harian
(diurnal variation) jenis periodesitas
serta korelasinya.
45
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
Dengan memperhatikan letak
Perairan Indonesia yang diapit oleh
Lautan Pasifik dan Lautan Hindia serta
merupakan perairan yang setengah
tertutup, terlihat bahwa Perairan
Indonesia agak terbatas untuk
berinteraksi secara maksimal dengan
gaya pembangkit pasang surut, tetapi
merupakan reaksi dari sistem pembangkit
pasang surut dari Lautan Pasifik dan
Lautan Hindia. Disamping kondisi
tersebut, pengaruh resonansi lokal berupa
bentuk, luas, kedalaman, keadaan
topografi bawah air dan lain-lain, juga
memiliki andil dalam proses perambatan
pasang surut di Perairan Indonesia
(Pariwono, 1989)
MATERI DAN METODE
MATERI
Pasang Surut Bumi
Pada dasarnya semua benda-
benda angkasa yang memiliki massa akan
mempengaruhi titik-titik massa di bumi,
tapi karena posisinya sangat jauh maka
pengaruh tersebut dapat diabaikan, hal ini
sesuai dengan Hukum Newton tentang
gravitasi (Longman,1959):
122
12
21
21
ˆ)( r
r
mm
GrF 

(1)
dimana: F adalah gaya tarik menarik, G
konstanta gravitasi, m1 dan m2 massa
benda 1 dan benda 2, r jarak antara
benda1 ke benda 2.
Gaya – gaya Pasang Surut Akibat
Bulan dan Matahari
Besarnya potensial pada
sembarang titik di permukaan bumi
akibat dari gaya gravitasi bulan dan rotasi
bulan, jika bumi dianggap sebagai benda
rigid, maka kuat medan gravitasi pasang
surut bumi pada titik P dipermukaan
bumi akibat gaya dari bulan adalah
(Stacey,1977):
 1cos3 2
3
 
R
Gma
g (2)
Dari persamaan (2) terlihat bahwa
pasang surut yang diakibatkan oleh bulan
berbanding terbalik dengan jarak pangkat
tiga, sehingga gaya pasang surut karena
matahari adalah 0,46 kali dari pasang
surut akibat bulan.
Pasang Surut Bumi Metode Broucke
Menurut Broucke at al (1972),
besarnya komponen tegak pasang surut
bumi akibat bulan, adalah
(Sunarjo,1988):



 



 

2
3
2
3
2
cos1  zkpgm (3)
dengan 2
1a
GM
k m
 ;
zcos21 2
  ;
  2
sin1 fp 
 coscoscossinsincos z
dimana: G konstanta gravitasi, p
horisontal paralaks, mM massa bulan, 1a
jari – jari equator, z sudut zenith bulan, 
46
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
lintang tempat pengamat,  deklinasi
bulan,  sudut jam bulan setempat, 
right ascension, f konstanta
penggepengan bumi (1/298), dan 
kemiringan bidang eliptik.
Sedangkan pasang surut bumi
komponen tegak akibat matahari adalah:
 1cos3  
D
rGM
g s
s (4)
dimana: sM massa matahari, r jarak
pengamat dengan pusat bumi, D jarak
pusat bumi dengan pusat matahari,
 sudut zenith matahari.
Sehingga besar total pasang surut
bumi akibat dari bulan dan matahari
Metoda Bruocke at al (1972) adalah
(Longman,1959):
smtotal ggg  (5)
Dari persamaan (3), (4) dan (5)
terlihat bahwa besarnya pasang surut
bumi komponen tegak tergantung pada
posisi pengamat dan waktu.
Pasang Surut Laut
Pasang surut laut merupakan
fenomena naik turunnya muka laut secara
periodik karena adanya gaya pembangkit
pasang surut terhadap massa air di
permukaan bumi, yang dapat diamati
secara nyata di daerah pantai.
Gaya pembangkit pasang surut
Karena adanya rotasi bumi bulan
pada sumbu perputaran bersama maka
setiap titik massa yang ada di permukaan
bumi bekerja gaya sentrifugal (Fc)
arahnya berlawanan dengan posisi bulan,
selain itu titik massa yang ada di
permukaan bumi akan mengalami gaya
gravitasi bulan (Fg) yang arahnya menuju
pusat massa bulan dan besarnya
bergantung pada jarak antara titik massa
yang ditinjau dengan pusat massa bulan.
Proses ini terjadi secara simultan dan
berperiodik menyebabkan peristiwa
pasang surut (Fp) di permukaan bumi
akibat bulan (Gambar1)
Gambar 1. Gaya pembangkit pasang surut akibat bulan (Pariwono, 1989)
Gaya pembangkit pasut yang diakibatkan oleh posisi bulan pada satuan titik massa
di permukaan bumi ketika bulan berada pada titik Zenith atau Nadir adalah:
Fg
Fc
Fp
Bumi
Bumi
Bulan
47
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
Tabel 1. Gaya pembangkit pasut akibat bulan (Djaja,1989)
Posisi Bulan Gaya Tarik Gaya Sentrifugal Gaya Pembangkit Pasut
Zenith  2
rR
GM

2
R
GM

  322
211
R
rGM
RrR
GM 









Pusat Bumi 2
R
GM
2
R
GM

0
Nadir  2
rR
GM

2
R
GM

  322
211
R
rGM
rRR
GM 









Dimana: G merupakan konstanta
gravitasi, M massa bulan, r jari –jari
bumi, R jarak antara pusat bumi dan
pusat bulan.
Tipe – tipe pasang surut laut
Tipe-tipe pasang surut laut secara
garis besar dibedakan menjadi
(Triatmodjo,1999).:
1. Pasang Surut Tengah Harian (Semi
Diurnal Tide).
2. Pasang Surut Harian (Diurnal Tide).
3. Pasang Surut Campuran Dominan
Tengah Harian (Mixed Tide
Prevailing Semi Diurnal),
4. Pasang Surut Campuran Dominan
Harian (Mixed Tide Prevailing
Diurnal),
Pasang surut perbani dan pasang
surut purnama
Karena peredaran bumi dan bulan
pada orbitnya, revolusi bulan terhadap
bumi ,serta rotasi bumi terhadap
matahari, sehingga posisi bulan – bumi –
matahari selalu berubah secara periodik,
sehingga terjadinya pasang surut perbani
(pasang kecil, neap tide) dan pasang surut
purnama (pasang besar , spring tide)
(Wahid,2007).
48
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
Komponen Harmonik Pasang Surut
Tabel 2. Komponen pasang surut yang penting (Pariwono ,1989)
Nama Komponen Simbol Periode (jam)
Perbandingan
(relatif)
Tengah Harian (semi diurnal)
 Principal Lunar
 Principal Solar
 Larger Lunar Elliptic
 Luni Solar semi diurnal
Harian (diurnal)
 Luni Solar diurnal
 Principal Lunar diurnal
 Principal Solar diurnal
 Larger Lunar Elliptic
Periode Panjang (long period)
 Lunar fortnightly
 Lunar monthly
 Solar semi annual
M2
S2
N2
K2
K1
O1
P1
Q1
Mf
Mm
Ssa
12,42
12,00
12,66
11,96
23,93
25,82
24,07
26,91
328,0
661.0
2.191,0
1,000
0,466
0,192
0,127
0,584
0,415
0,194
0.008
0,017
0,009
0,008
METODE
Lokasi dan Posisi Penelitian
Lokasi penelitian adalah pada
Stasiun Pasang Surut Cilacap dengan
posisi 1090
00’E - 70
45’S Sebagai
referensi, pengukuran data pasang surut
gravitasi bumi dilakukan di
Lab.Geofisika UGM posisi 1100
46’E -
70
22’S untuk menguji keakuratan
Program pasang surut teoritik yang di
buat oleh Broucke at al (1972).
Pengukuran pasang surut bumi di
Laboratorium Geofisika UGM
Pengukuran pasang surut bumi
dilakukan di laboratorium Geofisika
UGM menggunakan alat La Coste &
Romberg Gravitymeter selama 15 hari
(03 hingga 17 Mei 2001), dengan rentang
waktu data pengukuran satu menit, data
terekam secara otomatis melalui
komputer yang dirangkai dengan alat
tersebut. Program pasang surut teoritik
yang di buat oleh Broucke at al (1972),
melalui program tersebut, data pasang
surut bumi teoritik tanggal 03 hingga 17
mei 2001 dapat diedit secara langsung
dengan input berupa posisi, waktu dan
ketinggian lokasi.
49
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
Melalui program pasang surut
bumi Broucke at al, dapat diperoleh data
pasang surut bumi untuk stasiun
Surabaya, sehingga dapat dilakukan
analisis untuk data sekunder pasang surut
laut pada waktu yang sama
Pengumpulan data pasang surut laut.
Data pasang surut laut merupakan
data sekunder yang diperoleh dari Pusat
Pemetaan Dasar Kelautan dan
Kedirgantaraan BAKOSURTANAL, data
Stasiun Cilacap dengan tahun
pengukuran 1997, dengan bentangan
waktu pengukuran 1 jam, dari data itu
ada beberapa bulan data yang error dan
tidak dapat digunakan.
Pengeditan data pasang surut bumi
teoritik
Melalui Program pasang surut
bumi teoritik Metode Broucke at al
(1972), diperoleh data pasang surut bumi,
dengan input posisi, waktu pengukuran
dan ketinggian, pada Stasiun Surabaya,
tahun dan bentangan waktu pengukuran
yang sama dengan stasiun pasang surut
laut, agar dapat dilakukan analisis beda
fase, periodesitas dan korelasi.
Analisis Data
Analisis beda fase dilakukan
untuk melihat seberapa jauh perbedaan
fase yang terjadi antara pengukuran
pasang surut bumi di Lab Geofisika
UGM dengan Metode Broucke dan data
pasang surut laut. Data pasang surut bumi
dan laut diplot dalam bentuk grafik
amplitudo gelombang versus waktu
pengukuran, dengan menggunakan
Program Matlab diperoleh beda fase.
Analisis periodesitas dilakukan
untuk menampilkan periodesitas
komponen harmonik variasi data pasang
surut bumi dan laut , data dalam kawasan
waktu diubah dalam kawasan frekuensi
dengan memanfaatkan Transformasi
Fourier Cepat (Fast Fourier Transform =
FFT). Melalui program Matlab diperoleh
keluaran berupa grafik antara frekuensi
(siklus/jam) versus normalisasi
amplitudo, periodesitas komponen
harmonik variasi harian dan variasi
tengah harian.
Analisis korelasi dilakukan untuk
melihat sejauhmana hubungan antara data
pasang surut bumi dan pasang surut laut
dengan menghitung koefisien korelasinya
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pasang surut bumi pengamatan dan
teoritik Lab. Geofisika UGM
Dari referensi diperoleh pasang
surut bumi di Laboratorium Geofisika
UGM antara teoritik dan hasil
pengamatan memiliki pola komponen
harmonik yang sama, bertipe variasi
campuran dominan tengah harian
(Wahid. 2007).
50
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
Pasang surut bumi dan pasang surut
laut stasiun Cilacap.
Dari analisis beda fase stasiun
pasang surut bumi dan pasang surut laut,
terlihat bahwa pada stasiun pasang surut
Cilacap pasang surut bumi mendahului
pasang surut laut dengan beda fase rata-
rata 100 menit.(Gambar 2)
Dari analisis periodesitas Stasiun
Cilacap memperlihatkan periodesitas
pasang surut bumi dan pasang surut laut
memperlihatkan pola spektrum yang
sama dimana komponen harmonik
pasang surut variasi tengah harian lebih
dominan daripada variasi harian
(komponen pasang surut M2, S2, N2 dan
K2) (Gambar. 3).
Sedangkan dari analisis korelasi
diperoleh bahwa korelasi antara pasang
surut laut dan pasang surut bumi
memiliki korelasi yang sangat kuat
dengan koefisien korelasi rata-rata 0.8960
jauh di atas nilai kritis dari nilai tabel
0.080 untuk taraf kepercayaan 5%
(Gambar 2), (Gambar 3).
Perairan Indonesia tidak
digerakkan oleh aksi gravitasi bulan dan
matahari secara langsung, walaupun ada
tetapi kecil, namun merupakan cerminan
dari sistem pasang surut Lautan Fasifik
dan Lautan Hindia, selain itu resonansi
lokal dan pengaruh topografi dasar
Lautan Indonesia memberikan pengaruh
yang sangat nyata, menyebabkan kondisi
pasang surut Perairan Indonesia menjadi
kompleks .
Pasang surut bumi dan pasang
surut laut untuk stasiun Cilacap memiliki
korelasi yang sangat kuat, karena
keduanya mendapatkan pengaruh
langsung dari gaya pembangkit pasang
surut yang sama.
Stasiun Cilacap pengaruh pasang
surut laut dari gaya pembangkit pasang
surut Lautan Hindia sedangkaan pasang
surut bumi yang didasarkan pada gaya
tarik benda-benda angkasa, posisi, serta
ketinggian dari permukaan laut, atau
dengan kata lain digerakkan oleh gaya
pembangkit pasang surut akibat gravitasi
bulan dan matahari.
51
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 7 0 0 8 0 0 9 0 0 1 0 0 0
- 4 0 0
- 3 0 0
- 2 0 0
- 1 0 0
0
1 0 0
2 0 0
3 0 0
4 0 0
G e lo m b a n g P a s a n g S u r u t L a u t S t a s i u n C i la c a p 1 9 9 7
W a k t u P e n g u k u r a n D a l a m J a m
AmplitudoGelombangDalamCm
100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000
-150
-100
-50
0
50
100
150
200
W aktu Pengukuran Dalam Jam
AmplitudoGelombangDalamMikrogal
Gelombang Pasang Surut Bumi Teoritik Stasiun Cilacap 1997
Gambar 2. Gelombang pasang surut laut dan pasang surut bumi Cilacap
52
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
1 0 1 2 1 4 1 6 1 8 2 0 2 2 2 4 2 6 2 8 3 0
0
0 . 1
0 . 2
0 . 3
0 . 4
0 . 5
0 . 6
0 . 7
0 . 8
0 . 9
1
M 2
S 2
K 2
N 2 K 1
P 1
O 1
S p e k t ru m F F T D a t a P a s a n g S u ru t L a u t S t a s iu n C ila c a p 1 9 9 7
NormalisasiSpektrumAmplitudo
P e rio d e s it a s D a la m J a m
1 0 1 2 1 4 1 6 1 8 2 0 2 2 2 4 2 6 2 8 3 0
0
0 . 2
0 . 4
0 . 6
0 . 8
1
M 2
S 2
K 2 N 2 K 1 P 1 O 1
S p e k t ru m F F T D a t a P a s a n g S u ru t B u m i T e o rit ik S t a s iu n C ila c a p 1 9 9 7
NormalisasiSpektrumAmplitudo
2 0 2 1 2 2 2 3 2 4 2 5 2 6 2 7 2 8 2 9 3 0
0
0 . 0 0 2
0 . 0 0 4
0 . 0 0 6
0 . 0 0 8
0 . 0 1
K 1
P 1
O 1
NormalisasiSpektrumAmplitudo
P e rio d e s it a s D a la m J a m
Gambar 3. Periodesitas pasang surut laut dan pasang surut bumi Cilacap
53
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
SIMPULAN
Berdasarkan analisis beda fase
dan korelasi antara gejala alam pasang
surut bumi dan pasang surut laut untuk
lokasi stasiun Cilacap memperlihatkan
bahwa kejadian pasang surut bumi
mendahului pasang surut laut dengan
beda fase 100 menit, sedangkan dari
analisis periodesitas memiliki pola
spektrum yang sama dimana komponen
harmonik pasang surut variasi tengah
harian lebih dominan daripada variasi
harian.
DAFTAR PUSTAKA
Djaja, R., 1989, Pengamatan pasang surut laut untuk penentuan datum ketinggian, ( Asean
Australia Cooperatif Programs on Marine Science Project I : Tides and Tidal
Phenomena), LIPI dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Jakarta,149-
191.
Longman, I.M., 1959, Formulas for computing the tidal accelerations due to the moon and
the sun, JGR, Vol. 64 , 2351-2355.
Pariwono, J.I., 1989, Gaya penggerak pasang surut ( Asean Australia Cooperatif
Programs on Marine Science Project I : Tides and Tidal Phenomena), LIPI dan Pusat
Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Jakarta ,13-22.
Stacey, F.D.,1976, Physics of the earth, second edition, John Willey and Sons, New York .
Sunarjo., 1988, Studi perbandingan pasang surut bumi secara teori dan pengamatan,
Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Proceedings HAGI.
Triatmodjo, B., 1999, Teknik pantai, Beta Offset, Yogyakarta.
Wahid, A., 2007, Penentuan Komponen Pasang Surut Bumi pada Bidang Equator Bumi
dengan Metode Broucke, Bulletin Penenlitian Dan Pengembangan , Alumni IAEUP,
Vol:8, no: 1, Hlm 13-21
Wahid, A. 2008, Karakteristik pasang surut bumi dan pasang surut laut Stasiun Surabaya,
Bulletin Penenlitian Dan Pengembangan , Alumni IAEUP, Vol:9, no: 1, Hlm 23-31.
54
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
PENENTUAN BEBERAPA SIFAT OPTIK MINYAK KULIT BIJI JAMBU METE
ASAL KABUPATEN BELU
Zakarias Seba Ngara
Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan teknik, Univesitas Nusa Cendana
ABSTRACT
Determination of absorption coefficient, refraction index and dielectric constant of
CNSL from Belu regency has been done. The aim of this researching is to find its optic
properties such as absorption coefficient, refraction index and dielectric constant of CNSL
from Belu regency . Those optic properties can be determined from its absorption analysis.
Its Absorption spectra has been obtained in researching that has been done by Ngara and
Budiana in 2008.
Based on its absorption spectra, CNSL from Belu has Absorption coefficient value
is 410 m-1
. While the value of its refraction index and dielectric constant in complex is
ix 6
1068,886,0 
 and ix 6
1054,174,0 
 , respectively.
Keyword: CNSL, optic property, absorption coefficient, refraction index, dielectric
constant
Nusa tenggara Timur (NTT)
merupakan salah satu daerah penghasil
jambu mete Di Indonesia. Di NTT,
daerah penghasil jambu mete adalah
Sumba Barat Daya, Sikka, Flores Timur,
Kupang, Belu, dan Alor (Ngara &
Budiana, 2008; Ngara, 2009).
Tanaman jambu mete merupakan
bahan organik. Pada saat ini, penelitian
sifat-sifat kimia dan fisika bahan-bahan
organik sebagai bahan aktif alternatif
dalam piranti elektronika mengalami
perkembangan pesat mengingat a) bahan-
bahan organik harganya murah dan
melimpah, b) Sifat-sifat kimia dan fisika
material organik dapat dikarakterisasi
dengan sintesis bahan organik yang tepat,
c) Material organik dapat diatur (tuned)
secara kimia untuk mengatur pemisahan
celah energinya (Ngara, 2007), d)
deposisi bahan organik di atas substrat
tertentu dapat dilakukan dengan metoda
evaporasi dan spin-coating (Ngara,
2006).
Sifat-sifat optik material antara
lain koefisien serapan, indeks bias,
konstanta dielektrik, dan lain-lain.
Koefisien serapan dan indeks bias suatu
material dapat ditentukan dari spektrum
serapan material yang diperoleh dari
analisis spektrofotometer UV-VIS
(Ngara, 2009). Sedangkan konstanta
dielektrik diperoleh dari nilai indeks
biasnya (Rachmantio, 2004; Ngara, 2010)
Pada tahun 2008, Ngara &
Budiana, dalam Penelitian Dosen Muda
55
Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011
 
 
(PDM) telah berhasil menentukan celah
energi chasew Nut Shield Liquid (CNSL)
hasil ekstraksi dari kulit biji jambu mete
asal Nusa Tenggara Timur (NTT).
Berdasarkan hasil penelitian mereka,
celah energi CNSL asal Alor, Belu, Kota
Kupang, Sikka, dan Sumba Barat Daya
(SBD) masing-masing adalah 3,02 eV,
3,22 eV, 3,1eV, 2,99 eV, dan 3,06 eV.
Pada tahun 2009, Ngara, dkk telah
berhasil melakukan isolasi CNSL asal
Alor untuk mendapatkan senyawa
kardanol. Penelitian mereka tersebut telah
berhasil pula menentukan celah energi
senyawa kardanol dan
pemanfaatansenyawa kompleks kardanol
sebagai bahan aktif pada sel surya
organik. Indri amitiran, 2010, telah
menentukan koefisien serapan serapan
senyawa kardanol asal Alor dan Belu.
Pada tahun 2009, Astri laka telah
menentukan koefisien serapan dan indeks
bias CNSL asal sumba timur. Pada 2009,
Ngara telah menentukan koefisien
serapan dan indeks bias CNSL asal
sumba Barat Daya dan Sikka (Ngara,
2009). Pada tahun 2010, Ngara telah
menentukan indeks bias dan konstanta
dielektrik senyawa kardanol asal Alor.
Koefisien serapan ini berkaitan
dengan absorbansi dan indeks bias suatu
material. Indeks bias suatu material
diperoleh dari analisis spektrum
serapannya. Dengan mengetahui nilai
indeks bias suatu material, beberapa
besaran fisika dapat ditentukan, antara
lain konduktivitas listrik, permeativitas
dan permeabilitas material, konstanta
dielektrik, dan lain-lain (Rachmantio,
2004). Bahan organik yang dikaji
ditentukan koefisien serapan dan indeks
biasnya dalam tulisan ini adalah CNSL
asal kabupaten Belu dan Kota Kupang.
Penelitian ini mengkaji data-data
sekunder artinya spektrum serapan CNSL
sudah ada yang telah diperoleh dalam
penelitian Dosen Muda yang dilakukan
oleh Ngara dan Budiana pada tahun 2008.
MATERI DAN METODE
Jambu Mete
Ditinjau dari aspek botani,
tanaman jambu mete (anacardium
occidentale L) termasuk dalam famili
anacardiaceae dan Spesis Anacardium
occidentale L (Muljoharjo, 1990) Produk
utama jambu mete adalah biji dan buah
mete. Kulit biji jambu mete jika
diektraksi dengan pelarut organik,
misalnya pelarut etanol (C2H5OH) akan
menghasilkan CNSL. bentuk buah jambu
mete ditunjukkan pada gambar 1.
Kulit biji jambu mete terdiri atas
lapisan epikarp, mesokarp dan endokarp
yang beratnya kira-kira 40-50 % dari
berat total buah mete glondong. Dalam
lapisan mesokarp mengandung CNSL.
Biji mete berwarna putih menyerupai
56
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011
Volume 10 nomor 1 a april 2011

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Analisis Hydraulic Ram Pump (HYDRAM)
Analisis Hydraulic Ram Pump (HYDRAM)Analisis Hydraulic Ram Pump (HYDRAM)
Analisis Hydraulic Ram Pump (HYDRAM)FreddyTaebenu
 
How to measure preassure &amp; flow utut muhammad
How to measure preassure &amp; flow utut muhammadHow to measure preassure &amp; flow utut muhammad
How to measure preassure &amp; flow utut muhammadumammuhammad27
 
Perencanaan bendung
Perencanaan bendungPerencanaan bendung
Perencanaan bendungironsand2009
 
Studi evaluasi-normalisasi-saluran-drainase-tanjung-sadari-krembangan-surabay...
Studi evaluasi-normalisasi-saluran-drainase-tanjung-sadari-krembangan-surabay...Studi evaluasi-normalisasi-saluran-drainase-tanjung-sadari-krembangan-surabay...
Studi evaluasi-normalisasi-saluran-drainase-tanjung-sadari-krembangan-surabay...Elma Puspaningtyas
 
LAPORAN PRAKTIKUM HIDROLIKA PINTU AIR BAB 1-4
LAPORAN PRAKTIKUM HIDROLIKA PINTU AIR BAB 1-4LAPORAN PRAKTIKUM HIDROLIKA PINTU AIR BAB 1-4
LAPORAN PRAKTIKUM HIDROLIKA PINTU AIR BAB 1-4MOSES HADUN
 
pengukuran perhitungan volume minyak standard di tangki darat
pengukuran perhitungan volume minyak standard di tangki daratpengukuran perhitungan volume minyak standard di tangki darat
pengukuran perhitungan volume minyak standard di tangki daratHelmi Wijaya
 
1797 chapter ii
1797 chapter ii1797 chapter ii
1797 chapter iibaadsah
 
Perancangan sistem plambing_instalasi_air_bersih_d (1)
Perancangan sistem plambing_instalasi_air_bersih_d (1)Perancangan sistem plambing_instalasi_air_bersih_d (1)
Perancangan sistem plambing_instalasi_air_bersih_d (1)deni_hermawan
 
Hidrolika
HidrolikaHidrolika
HidrolikaJack_20
 
Shell and Tube Heat Exchanger
Shell and Tube Heat ExchangerShell and Tube Heat Exchanger
Shell and Tube Heat ExchangerOlivia Cesarah
 
Jaringan Transmisi - Sistem Jaringan Perpipaan
Jaringan Transmisi - Sistem Jaringan Perpipaan Jaringan Transmisi - Sistem Jaringan Perpipaan
Jaringan Transmisi - Sistem Jaringan Perpipaan Yahya M Aji
 
Bab ix perencanaan-bangunan-air
Bab ix perencanaan-bangunan-airBab ix perencanaan-bangunan-air
Bab ix perencanaan-bangunan-airRazali Effendi
 

Was ist angesagt? (20)

7 pengukuran level
7 pengukuran level7 pengukuran level
7 pengukuran level
 
Jurnal ppm_hidram
Jurnal  ppm_hidramJurnal  ppm_hidram
Jurnal ppm_hidram
 
Analisis Hydraulic Ram Pump (HYDRAM)
Analisis Hydraulic Ram Pump (HYDRAM)Analisis Hydraulic Ram Pump (HYDRAM)
Analisis Hydraulic Ram Pump (HYDRAM)
 
Materi rotor terpadu
Materi rotor terpaduMateri rotor terpadu
Materi rotor terpadu
 
Hidrolika dua
Hidrolika duaHidrolika dua
Hidrolika dua
 
How to measure preassure &amp; flow utut muhammad
How to measure preassure &amp; flow utut muhammadHow to measure preassure &amp; flow utut muhammad
How to measure preassure &amp; flow utut muhammad
 
Perencanaan bendung
Perencanaan bendungPerencanaan bendung
Perencanaan bendung
 
Studi evaluasi-normalisasi-saluran-drainase-tanjung-sadari-krembangan-surabay...
Studi evaluasi-normalisasi-saluran-drainase-tanjung-sadari-krembangan-surabay...Studi evaluasi-normalisasi-saluran-drainase-tanjung-sadari-krembangan-surabay...
Studi evaluasi-normalisasi-saluran-drainase-tanjung-sadari-krembangan-surabay...
 
Peta Dasar
Peta DasarPeta Dasar
Peta Dasar
 
LAPORAN PRAKTIKUM HIDROLIKA PINTU AIR BAB 1-4
LAPORAN PRAKTIKUM HIDROLIKA PINTU AIR BAB 1-4LAPORAN PRAKTIKUM HIDROLIKA PINTU AIR BAB 1-4
LAPORAN PRAKTIKUM HIDROLIKA PINTU AIR BAB 1-4
 
pengukuran perhitungan volume minyak standard di tangki darat
pengukuran perhitungan volume minyak standard di tangki daratpengukuran perhitungan volume minyak standard di tangki darat
pengukuran perhitungan volume minyak standard di tangki darat
 
1797 chapter ii
1797 chapter ii1797 chapter ii
1797 chapter ii
 
Perancangan sistem plambing_instalasi_air_bersih_d (1)
Perancangan sistem plambing_instalasi_air_bersih_d (1)Perancangan sistem plambing_instalasi_air_bersih_d (1)
Perancangan sistem plambing_instalasi_air_bersih_d (1)
 
Hidrolika
HidrolikaHidrolika
Hidrolika
 
Shell and Tube Heat Exchanger
Shell and Tube Heat ExchangerShell and Tube Heat Exchanger
Shell and Tube Heat Exchanger
 
Sistem hidrolik[1]
Sistem hidrolik[1]Sistem hidrolik[1]
Sistem hidrolik[1]
 
Pemeliharaaninstalasi air dingin
Pemeliharaaninstalasi air dinginPemeliharaaninstalasi air dingin
Pemeliharaaninstalasi air dingin
 
Jaringan Transmisi - Sistem Jaringan Perpipaan
Jaringan Transmisi - Sistem Jaringan Perpipaan Jaringan Transmisi - Sistem Jaringan Perpipaan
Jaringan Transmisi - Sistem Jaringan Perpipaan
 
PPT Perencanaan Waduk
PPT Perencanaan WadukPPT Perencanaan Waduk
PPT Perencanaan Waduk
 
Bab ix perencanaan-bangunan-air
Bab ix perencanaan-bangunan-airBab ix perencanaan-bangunan-air
Bab ix perencanaan-bangunan-air
 

Ähnlich wie Volume 10 nomor 1 a april 2011

PENGARUH VOLUME TABUNG UDARA TERHADAP EFISIENSI POMPA HIDRAM.pptx
PENGARUH VOLUME TABUNG UDARA TERHADAP EFISIENSI POMPA HIDRAM.pptxPENGARUH VOLUME TABUNG UDARA TERHADAP EFISIENSI POMPA HIDRAM.pptx
PENGARUH VOLUME TABUNG UDARA TERHADAP EFISIENSI POMPA HIDRAM.pptxBahrulWarwer
 
ITP UNS SEMESTER 2 Satop acara 1 Unit Penghisap
ITP UNS SEMESTER 2 Satop acara 1 Unit PenghisapITP UNS SEMESTER 2 Satop acara 1 Unit Penghisap
ITP UNS SEMESTER 2 Satop acara 1 Unit PenghisapFransiska Puteri
 
Badrawada 2092
Badrawada 2092Badrawada 2092
Badrawada 2092idnasam
 
Perencanaan ubi jalar ungu
Perencanaan ubi jalar unguPerencanaan ubi jalar ungu
Perencanaan ubi jalar ungussuserf63ae2
 
Flow simulator group e
Flow simulator group eFlow simulator group e
Flow simulator group eIndiana Agak
 
Slide-CIV407-CIV407-Slide-13.pptx
Slide-CIV407-CIV407-Slide-13.pptxSlide-CIV407-CIV407-Slide-13.pptx
Slide-CIV407-CIV407-Slide-13.pptxUmiKalsum53666
 
eksperimen fisika 2
eksperimen fisika 2eksperimen fisika 2
eksperimen fisika 2DEDI RIWANTO
 
Draft seminar awet setiawan 20120130138
Draft seminar awet setiawan 20120130138Draft seminar awet setiawan 20120130138
Draft seminar awet setiawan 20120130138awet setiawan
 
Laporan praktikum loncatan hidrolis ( modul 3 ) itb fixs
Laporan praktikum loncatan hidrolis ( modul 3 ) itb fixsLaporan praktikum loncatan hidrolis ( modul 3 ) itb fixs
Laporan praktikum loncatan hidrolis ( modul 3 ) itb fixsHealth Polytechnic of Bandung
 
1 pengaruh debit terhadap unjuk kerja alat penukar kalor dan penurunan suhu r...
1 pengaruh debit terhadap unjuk kerja alat penukar kalor dan penurunan suhu r...1 pengaruh debit terhadap unjuk kerja alat penukar kalor dan penurunan suhu r...
1 pengaruh debit terhadap unjuk kerja alat penukar kalor dan penurunan suhu r...Mirmanto
 
Modul pengukuran. aliran fluida.
Modul   pengukuran. aliran fluida.Modul   pengukuran. aliran fluida.
Modul pengukuran. aliran fluida.bacukids
 
Laporan praktikum alat ukur debit saluran terbuka ( modul 4 ) itb
Laporan praktikum alat ukur debit saluran terbuka ( modul 4 ) itbLaporan praktikum alat ukur debit saluran terbuka ( modul 4 ) itb
Laporan praktikum alat ukur debit saluran terbuka ( modul 4 ) itbHealth Polytechnic of Bandung
 
ITP UNS SEMESTER 1 Praktikum fisika Dinamika fluida
ITP UNS SEMESTER 1 Praktikum fisika Dinamika fluidaITP UNS SEMESTER 1 Praktikum fisika Dinamika fluida
ITP UNS SEMESTER 1 Praktikum fisika Dinamika fluidaFransiska Puteri
 
PPT Evaluasi Kinerja PT. PALYJA BARU LAGI FIXXX
PPT Evaluasi Kinerja PT. PALYJA BARU LAGI FIXXXPPT Evaluasi Kinerja PT. PALYJA BARU LAGI FIXXX
PPT Evaluasi Kinerja PT. PALYJA BARU LAGI FIXXXdedeksy
 

Ähnlich wie Volume 10 nomor 1 a april 2011 (20)

PENGARUH VOLUME TABUNG UDARA TERHADAP EFISIENSI POMPA HIDRAM.pptx
PENGARUH VOLUME TABUNG UDARA TERHADAP EFISIENSI POMPA HIDRAM.pptxPENGARUH VOLUME TABUNG UDARA TERHADAP EFISIENSI POMPA HIDRAM.pptx
PENGARUH VOLUME TABUNG UDARA TERHADAP EFISIENSI POMPA HIDRAM.pptx
 
ITP UNS SEMESTER 2 Satop acara 1 Unit Penghisap
ITP UNS SEMESTER 2 Satop acara 1 Unit PenghisapITP UNS SEMESTER 2 Satop acara 1 Unit Penghisap
ITP UNS SEMESTER 2 Satop acara 1 Unit Penghisap
 
Badrawada 2092
Badrawada 2092Badrawada 2092
Badrawada 2092
 
Dasar teori
Dasar teoriDasar teori
Dasar teori
 
Chapter ii 4
Chapter ii 4Chapter ii 4
Chapter ii 4
 
Perencanaan ubi jalar ungu
Perencanaan ubi jalar unguPerencanaan ubi jalar ungu
Perencanaan ubi jalar ungu
 
Flow simulator group e
Flow simulator group eFlow simulator group e
Flow simulator group e
 
1.pdf
1.pdf1.pdf
1.pdf
 
Slide-CIV407-CIV407-Slide-13.pptx
Slide-CIV407-CIV407-Slide-13.pptxSlide-CIV407-CIV407-Slide-13.pptx
Slide-CIV407-CIV407-Slide-13.pptx
 
Laporan praktikum aliran seragam ( modul 2 )itb
Laporan praktikum aliran seragam ( modul 2 )itbLaporan praktikum aliran seragam ( modul 2 )itb
Laporan praktikum aliran seragam ( modul 2 )itb
 
PRATIKUM FENOMENA & PENGUKURAN DASAR MESIN
PRATIKUM FENOMENA & PENGUKURAN DASAR MESINPRATIKUM FENOMENA & PENGUKURAN DASAR MESIN
PRATIKUM FENOMENA & PENGUKURAN DASAR MESIN
 
eksperimen fisika 2
eksperimen fisika 2eksperimen fisika 2
eksperimen fisika 2
 
Draft seminar awet setiawan 20120130138
Draft seminar awet setiawan 20120130138Draft seminar awet setiawan 20120130138
Draft seminar awet setiawan 20120130138
 
Laporan praktikum loncatan hidrolis ( modul 3 ) itb fixs
Laporan praktikum loncatan hidrolis ( modul 3 ) itb fixsLaporan praktikum loncatan hidrolis ( modul 3 ) itb fixs
Laporan praktikum loncatan hidrolis ( modul 3 ) itb fixs
 
1 pengaruh debit terhadap unjuk kerja alat penukar kalor dan penurunan suhu r...
1 pengaruh debit terhadap unjuk kerja alat penukar kalor dan penurunan suhu r...1 pengaruh debit terhadap unjuk kerja alat penukar kalor dan penurunan suhu r...
1 pengaruh debit terhadap unjuk kerja alat penukar kalor dan penurunan suhu r...
 
Modul pengukuran. aliran fluida.
Modul   pengukuran. aliran fluida.Modul   pengukuran. aliran fluida.
Modul pengukuran. aliran fluida.
 
Laporan praktikum alat ukur debit saluran terbuka ( modul 4 ) itb
Laporan praktikum alat ukur debit saluran terbuka ( modul 4 ) itbLaporan praktikum alat ukur debit saluran terbuka ( modul 4 ) itb
Laporan praktikum alat ukur debit saluran terbuka ( modul 4 ) itb
 
ITP UNS SEMESTER 1 Praktikum fisika Dinamika fluida
ITP UNS SEMESTER 1 Praktikum fisika Dinamika fluidaITP UNS SEMESTER 1 Praktikum fisika Dinamika fluida
ITP UNS SEMESTER 1 Praktikum fisika Dinamika fluida
 
PPT Evaluasi Kinerja PT. PALYJA BARU LAGI FIXXX
PPT Evaluasi Kinerja PT. PALYJA BARU LAGI FIXXXPPT Evaluasi Kinerja PT. PALYJA BARU LAGI FIXXX
PPT Evaluasi Kinerja PT. PALYJA BARU LAGI FIXXX
 
Chp 55
Chp 55Chp 55
Chp 55
 

Volume 10 nomor 1 a april 2011

  • 1. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 ANALISA UNJUK KERJA POMPA HIDRAM PARALEL DENGAN VARIASI BERAT BEBAN DAN PANJANG LANGKAH KATUP LIMBAH Muhamad Jafri, Ishak Sartana Limbong Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana ABSTRACT This study aims to determine the influence of pump efficiency variations hydram with heavy loads and stroke waste valve. The method used is the experimental method used to pump dimensions are 2 inches, has a diameter of inlet (D): 1.5 inch diameter pipe and expenses (d): ½ inch. From the results of testing and regression analysis found that the variation of load weight and stroke waste valve hydram effect on pump efficiency. The highest efficiency of this result on hydram pumps connected in parallel with stroke 0.5 cm and weighs 400 grams valve that is 55.30% in efficiency D'Aubuission. Keywords : pump hydram, waste valve, efficiency. Kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak pemukiman di pedesaan yang sulit memperoleh air bersih untuk keperluan rumah tangga, kehidupan sayur-sayuran maupun untuk keberlangsungan hidup bagi hewan ternak. Kebanyakan sumber air yang ada berada pada posisi lebih rendah dari pemukiman penduduk. Penggunaan pompa Hidraulik Ram (Hidram) yang mana tanpa membutuhkan energi listrik, serta pengoperasiannya sederhana, mempunyai prospek yang baik. Pompa hidram merupakan suatu alat yang digunakan untuk menaikkan air dari sumber air yang rendah atau yang berada ke tempat yang lebih tinggi secara automatik. Sumber energi dari pompa berasal dari tekanan dinamik atau gaya air yang timbul karena perbedaan ketinggian sumber air ke pompa. Gaya tersebut akan digunakan untuk mengerakkan katup limbah sehingga diperoleh gaya yang lebih besar untuk mendorong air. Untuk unit-unit pompa yang bekerja secara paralel, pompa haruslah bekerja pada daerah yang stabil, ini dapat diilustrasikan dengan menganggap bahwa dua unit pompa yang sedang beroperasi atau bekerja pada kapasitas rendah di daerah tak stabil karena adanya perbedaan tekanan dan ketinggian pada susunan pipa dan kerugian gesekkan. Penelitian pompa hidram dengan variasi beban katup limbah dilakukan oleh Cahyanta, dkk, (2008). Hasil 1
  • 2. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 penelitian mununjukkan bahwa kapasitas aliran maksimum, dan efisiensi maksimum dicapai pada berat beban katup limbah 410 gram yaitu sebesar 11,146 x 10-5 m3 /s, dan efisiensi maksimum 16,302%. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Gan, et al. (2002). Hasil percoban dan analisa varians serta regresi response surface diporoleh bahwa faktor volume tabung dan beban katup limbah berpengaruh pada efisiensi pompa, begitu pula interaksi antara kedua faktor. Efisiensi terbaik adalah volume tabung 1300 ml dan beban katup 400 g untuk mendapatkan efisiensi 42,9209%. Gambar 1. Instalasi pompa hidram Sumber : Jurnal teknik mesin Sistem instalasi pompa hidram terdiri atas beberapa bagian antara lain: 1. Pipa pemasukan Pipa pemasukan merupakan saluran antara sumber air dan pompa. 2. Rumah Pompa Rumah pompa merupakan ruang utama dan tempat terjadinya proses pemompaan. 3. Katup limbah Merupakan tempat keluarnya air yang berfungsi memancing gerakan air yang berasal dari reservoir. Katup limbah yang berat dan langkah katup yang panjang memungkinkan kecepatan aliran air dalam pipa mencapai titik maksimum, sehingga pada saat katup limbah menutup terjadi energi tekanan (efek water hammer) yang besar dan daya pemompaan yang tinggi, namun debit 2
  • 3. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 air yang terbuang relatif banyak. Katup limbah yang relatif ringan dan langkah yang pendek akan memberikan denyutan yang lebih cepat dan hasil pemompaan lebih besar pada tinggi pemompaan yang rendah. (Hanafie & Longh, 1979). Kompoen katup buang jenis kerdam sederhana; Gambar 2. Komponen katup limbah jenis kerdam 4. Katup pengantar Katup yang menghantarkan air dari rumah pompa ke tabung udara, serta menahan air yang telah masuk agar tidak kembali masuk ke rumah pompa. 5. Tabung udara Tabung ini berfungsi untuk memperkuat tekanan dinamik. 6. Pipa pengantar Pipa pengantar merupakan saluran air yang mengantarkan air dari pompa ke bak penampung. Tinggi Tekan Total (Head) Head total (H) pompa yang harus disediakan untuk mengalirkan jumlah air seperti direncanakan, dapat ditentukan dari kondisi instalasi yang akan dilayani oleh pompa (Sularso dan Tahara, 2004) : dimana : 3
  • 4. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 : head total pompa (m) : head statis pompa (m) : selisih head tekanan (m) : kerugian gesek (m) : head kecepatan (m) Head Kerugian Head kerugian terbagi dalam dua kelompok yaitu mayor losses dan minor losses. Mayor losses adalah kerugian yang disebabkan karena gesekan yang dapat dihitung dengan persamaan Darcy, sebagai berikut (Sularso dan Tahara, 2004), dimana : = Koefisien kerugian gesek = Panjang pipa (m) = Diameter dalam pipa (m) = kecepatan rata-rata aliran dalam pipa (m/s) Sedangkan minor losses adalah kerugian akibat perubahan penampang, perubahan ukuran pada saluran; sambungan, belokan, katup, dan aksesoris yang lainnya (Sularso dan Tahara, 2004), Debit Air Debit merupakan banyaknya volume air yang melewati suatu saluran persatuan waktu. Apabila Q (m3 /s ) menyatakan debit air dan v (m3) menyatakan volume air, sedangkan ∆t (s) adalah selang waktu tertentu mengalirnya air tersebut, maka hubungan antara ketiganya dapat dinyatakan sebagai berikut: Efisiensi Pompa Hidram Untuk mengetahui efisiensi pompa hidram, dalam penelitian ini digunakan dua persamaan efisiensi yaitu efisiensi D’Aubuisson dan efisiensi Rankine. Efisiensi D’Aubuission dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (Michael and Kheepar,1997): dimana : : efisiensi pompa hidram (%) : debit air pemompaan ( ) : debit air yang terbuang (m3 /s) : Tinggi jatuh air (m) : Tinggi angkat (m) Efisiensi menurut Rankine merupakan perbandingan antara selisih tinggi tekan isap dan sisi buang dikali kapasitas pengisapan, dengan tinggi tekan isap dikalikan kapasitas air yang dipindahkan (Michael and Kheepar,1997): dimana : : efisiensi pompa hidram (%) Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh berat beban dan panjang langkah katup limbah terhadap unjuk kerja pompa hidram yang dirangkai paralel terhadap efisiensi. Manfaat penelitian adalah diperolehnya ukuran katup limbah yang 4
  • 5. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 sesuai kondisi debit air masuk, dan dapat menghasilkan debit air sesuai kebutuhan. MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kali Bonik Kelurahan Sikumana dari bulan Juli s/d Agustus 2010. Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah pompa hidram 2 inchi 2 buah, stopwatch, meteran air, dan GPS. Sedangkan bahan yang digunakan : timah, plat 5 ml dan isolasi. Rancangan Penelitian Penelitian dilakukan dengan melakukan percobaan terhadap objek penelitian serta adanya kontrol, dengan 7 variasi beban, yakni 400 g sampai 700 g dengan selisih 50 g, serta variasi panjang angkah katup limbah, yakni 0,5 cm; 1 cm; 1,5 cm. Pengambilan Data Variabel yang akan diamati adalah; tinggi jatuh air (Hs), tinggi pemompaan (Hd), debit air terbuang, debit pemompaan, ukuran diameter lubang katup dan beban katup limbah, jarak mata air ke pompa. Teknik Analisa Data Hasil penelitian dianalisa menggunakan rumus yang ada untuk mengetahui efisiensi pompa dan analisis regresi sederhana untuk mengetahui pengaruh antara variabel bebas dan variabel terikat. Bentuk umum regresi kuadratik sederhana (Sugiono, 2008): dimana: Y adalah nilai variabel terikat yang diprediksikan, a adalah harga Y bila X = 0 (harga kostan), b1 dan b2 adalah koefisien regresi, sedangkan X adalah nilai variabel bebas. Untuk menguji tingkat signifikansi koefisien regresi, digunakan rumus (Sudjana, 2002): Koefisien determinasi adalah suatu alat ukur untuk mengetahui sejauh mana tingkat hubungan antar variabel X dan Y. R = R2 x 100 % Beban 5
  • 6. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil eksperimen diperoleh debit air terbuang (Qp), debit pemompaan (QW) dan jumlah denyutan adalah sebagai berikut : Tabel 1. Debit Pemompaan, Qp (m3 /s) Untuk Setiap Variasi Pembebanan dan Panjang Langkah Katup Limbah. Panjang Langkah (cm) Qp (10‐5 × m3 /s)  0,5 1 1,5 400 11,5 9 8,5 450 7 7 6 500 7 6,5 5 550 5 4,5 3,5 600 3,5 3,5 0 650 0 0 0 BeratBebankatuplimbah (gram) 700 0 0 0 Tabel 2.Debit Air Terbuang (Qw) (m3 /s) Untuk Setiap Variasi Pembebanan dan Panjang Langkah Katup Limbah Panjang Langkah (cm) Qp (10‐5 × m3 /s)  0,5 1 1,5 400 7 7 7 450 7 8 8 500 7,6 8 9,4 550 9 9,4 1,4 600 1 1 0 650 0 0 0 BeratBebankatuplimbah (gram) 700 0 0 0 Tabel 3. Denyutan Untuk Setiap Variasi Pembebanan dan Panjang Langkah katup limbah. Panjang Langkah (cm) Denyutan / 20 detik  0,5 1 1,5 400 28 21 20 450 24 19 17 500 20 18 13 550 14 13 6 600 8 4 0 650 0 0 0 BeratBebankatuplimbah (gram) 700 0 0 0 Pengolahan Data Head efektif untuk pipa pemasukan dan pipa pengantar diketahui dengan menghitung head loss pipa pemasukan dan pengantar. Nilai koefisien untuk setiap head loss ditunjukkan pada tabel berikut : Tabel 4. Data koefisien head loss untuk pipa pemasukan dan pipa pengeluaran Koefisien head lossBentuk head loss Pipa Pemasukan Pipa pengantar Katup (f) 10,0 10,0 Belokan 90°(f) 1,265 - Pembesaran penampang (f) 1 - Sambungan T (f) 2,0 2,0 Ujung masuk pipa (f) 0,56 - Gesekan 0,08 Ujung keluar pipa (f) - 1,0 Efisiensi Pompa Hidram Efisiensi pompa hidram menggunakan persamaan D’Aubuission dan Rankine. 6
  • 7. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 Tabel 5. Efisiensi D’Aubuission (%) Untuk Setiap Variasi Pembebanan dan Panjang Langkah Katup Limbah. Panjang Langkah (cm) ηD(%)  0,5 1 1,5 400 55.3098 43.1137 39.9662 450 31.2452 30.1967 25.0204 500 30.5051 27.5576 20.0879 550 20.0062 17.7927 14.7511 600 13.6169 13.6169 0 650 0 0 0 BeratBebankatuplimbah (gram) 700 0 0 0 Tabel 6. Efisiensi Rankine (%) Untuk Setiap Variasi Pembebanan dan Panjang Langkah Katup Limbah. Panjang Langkah (cm) ηD(%)  0,5 1 1,5 400 47.9679 35.7997 32.6764 450 24.3696 24.0889 19.3969 500 24.1043 21.6716 15.8373 550 15.5621 13.8573 12.1338 600 10.5935 10.5935 0 650 0 0 0 BeratBebankatuplimbah (gram) 700 0 0 0 Grafik dan Pembahasan Gambar 3. Grafik Pengaruh Pembebanan dan Panjang Langkah Katup Limbah Terhadap Debit Air Terbuang (Qw). Grafik ini menunjukkan bahwa pada awalnya untuk semua variasi panjang langkah, debit air yang terbuang cenderung naik. Hal ini terjadi karena semakin panjang jarak tempuh yang dijalani torak maka akan memberi waktu yang lama pada air untuk keluar. Namun untuk panjang langkah 1,5 cm, penambahan beban sampai 600 gram debit air yang terbuang menurun secara drastis, ini terjadi karena dengan jarak tempuh yang dilalui katup cukup jauh dan beban yang diterima oleh katup tidak sebanding dengan dorongan yang diberikan air. Sedangkan untuk panjang langkah 0,5 cm dan 1 cm, debit air baru mulai menurun ketika penambahan beban 650 gram. Ini juga terjadi karena dengan jarak tempuh yang dilalui katup cukup pendek dorongan air yang datang masih dapat mengimbangi beban 500 gram – 600 gram. Pada pompa hidram yang dihubungkan secara paralel debit air terbuang minimum diperoleh 0,0007 m3 /s pada panjang langkah 0,5 cm dan berat katup 400 gram. 7
  • 8. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 Gambar 4. Grafik Pengaruh Berat Beban dan Panjang Langkah Katup Limbah Terhadap Debit Air Pemompaan (Qp). Grafik di atas menunjukkan bahwa debit pemompaan di pengaruhi oleh pembebanan dan panjang langkah katup limbah. Hasil ini sebenarnya merupakan kebalikan dari debit air yang terbuang. Dimana semakin berat beban katup limbah dan panjang langkah ditambah maka debit pemompaan yang dihasilkan akan semakin kecil. Hasil penelitian menunjukkan debit pemompaan maksimum pompa hidram paralel diperoleh sebesar 0,000115 m3 /s pada panjang langkah 0,5 cm dan berat beban katup limbah 400 gram. Gambar 5. Grafik Pengaruh Berat Beban dan Panjang Langkah Katup Limbah Terhadap Denyutan. Grafik pada gambar 5 menunjukkan bahwa penambahan berat beban dan panjang langkah katup limbah memperkecil jumlah denyutan, karena semakin berat katup limbah maka waktu yang dibutuhkan katup limbah untuk menutup akan semakin lambat. Semakin tinggi penambahan panjang langkah maka semakin kecil jumlah denyutan yang terjadi. Denyutan terbesar sebanyak 28 kali yaitu pada panjang langkah 0,5 cm dan berat katup 400 gram. 8
  • 9. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 Gambar 6. Grafik Pengaruh Berat Beban dan Panjang Langkah Katup Limbah Terhadap Efiaiensi (D’Aubuission). Gambar 7. Grafik Pengaruh Berat Beban dan Panjang Langkah Katup Limbah Terhadap Efisiensi (Rankine). Grafik pada gambar 6 dan 7, menunjukkan bahwa efisiensi pompa hidram dipengaruhi oleh berat beban dan panjang langkah katup limbah yaitu efisiensi semakin kecil jika berat beban dan panjang langkah katup limbah di tambah. Hubungan ini merupakan hubungan secara tidak langsung, karena dari persamaan efisiensi, baik efisiensi D’Aubuission maupun Rankine besaran yang digunakan adalah debit air terbuang, debit air pemompaan, head efektif masukkan dan head efektif pemompaan. Walaupun debit air terbuang dan debit air pemopaan sangat dipengaruhi oleh berat beban dan panjang langkah katup limbah, yang telah ditunjukkan oleh grafik pada gambar 4.1 dan grafik 4.2. Efisiensi D’aubuission minimum diperoleh sebesar 13,61% terjadi pada berat beban 600 cm dan panjang langkah katup limbah 1 cm, sedangkan efisiensi tertinggi dari hasil eksperimen adalah 55,31% efisiensi D’Aubuission pada panjang langkah 0,5 cm dan beban katup limbah 400 gram. Efisiensi Rankine minimum diperoleh sebesar 10,59% terjadi pada berat beban katup limbah 600 gram dan panjang langkah 1 cm, sedangkan efisiensi tertinggi dari hasil eksperimen adalah 47,97% efisiensi Rankine pada panjang langkah 0,5 cm dan berat beban katup limbah 400 gram pada pompa hidram yang dihubungkan secara paralel. 9
  • 10. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 Gambar 8. Grafik Analisa Statistik Pengaruh Berat Beban Terhadap Efiaiensi (D’Aubuission). Gambar 9. Grafik Pengaruh Panjang Langkah Katup Limbah Terhadap Efisaiensi (D’Aubuission). Grafik pada gambar 8 dan 9 menunjukkan berat beban lebih berpengaruh terhadap efisiensi pompa hidram dibanding dengan panjang langkah katup limbah, hal ini sesuai dengan hasil analisa statistik yang telah dilakukan di mana nilai rata-rata efisiensi pompa hidram 91,1 % ditentukan oleh faktor berat beban dengan persamaan regresi Y = 178,8 - 0,441 X1 – 0,0002 X1 2 sedangkan nilai rata-rata efisiensi pompa hidram 3,5% ditentukan oleh faktor panjang langkah katup limbah dengan persamaan regresi Y = 22,15 + 0,76 X2 – 4,013 X2 2 . SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukankan faktor beban dan panjang langkah katup limbah berpengaruh pada efisiensi pompa hidram. Lebih jauh lagi diperoleh bahwa untuk pompa hidram yang dirangkai secara paralel menunjukkan bahwa penambahan beban dan panjang langkah katup limbah menurunkan efisiensi pompa hidram. Efisiensi tertinggi pompa hidram adalah : 55,30% efisiensi D’Aubuission pada berat beban 400 gram dan panjang langkah 0,5 cm. Sedangkan Efisiensi Rankine yang tertinggi adalah 47,96% pada berat katup 400 gram dan panjang langkah 0,5 cm. Faktor berat beban lebih berpengaruh terhadap efisiensi pompa hidram dibandingkan dengan panjang langkah katup limbah. 10
  • 11. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 DAFTAR PUSTAKA Cahyanta, Y.A., Taufik, I., 2008. Studi Terhadap Prestasi Pompa Hidraulik Ram Dengan Variasi Beban Katup Limbah. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin CAKRAM. Vol. 2 No. 2 (92 –96). Gan, S.S., Santoso, G., 2002. Studi Karakteristik Tabung Udara dan Beban Katup Limbah Terhadap Efisiensi Pompa Hydraulic Ram. Jurnal Teknik Mesin. Vol.4 No.2 (81 – 87).http://puslit.petra.ac.id/journals/mechanical/ . Hanafie, J., de Longh, H., 1979. Teknologi Pompa Hidraolik Ram Buku Petunjuk Untuk Pembuatan dan Pemasangan. PTP-ITB Ganesha, Bandung. Michael, A.M., and S. D. Kheper., 1997, Water Well Pump Engineering, McGraw Hill Publishing Compact Limited, New Delhi. Sudjana., 2002. Metode Statisika. Tarsito, Bandung. Sugiono., 2008. Metode Penelitian Administrasi Dilengkapi Dengan Metode R & D. Alfabeta, Jakarta. Sularso., Tahara, H,. 2004. Pompa Dan Kompresor Pemilihan, Pemakaian dan Pemeliharaan. Pradya Paramita, Jakarta. 11
  • 12. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 ANALISIS KEMAMPUAN MATERIAL REMOVAL RATE DAN ELECTRODE RELATIVE WEAR KOMPOSIT CU – FE SEBAGAI ELEKTRODA EDM TERHADAP PENAMBAHAN PARTIKEL GRAFIT Dominggus G.H. Adoe Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana ABSTRACT This research studied the effect of adding graphite particles as reinforcement of the ability of the material removal rate (MRR) and electrod erelative wear (ERW) of the composite Cu-Fe as an EDM electrode made using powder metallurgy techniques. Of 0 wt% graphite, 2.5 wt%, 5 wt%, 7.5 wt%, 10 wt%, 5.12 wt% and 15 wt% added to the Cu-1wt% Fe. Each composition of the powder into a green body dikompaksi use single action uniaxial pressing with pressure of 350 MPa, 500 MPa and 650 MPa sintered by using a horizontal tube furnace in an argon gas environment at 840 ° C sintering temperature, 870 ° C and 900 ° C. Tests performed on MRR and ERW EDM machine Genspark 50p with normal polarity and a large current 10 A. Results ability greatest MRR 0.0416 g / min and the smallest ERW 19.31% achieved by the composite with a composition of 15 wt% graphite dikompaksi at 350 MPa pressure and sintered at a temperature of 840 º C. The ability of the highest MRR is achieved on the addition of 7.5 wt% graphite. While the rate decreases with an increase ERW wt% graphite. Keywords: Cu-Fe composites, sintered, EDM, MRR, ERW EDM (Electrical Discharge Machining) adalah suatu proses pemesinan nonkonvensional yang pemakanan material benda kerja dilakukan oleh loncatan bunga api listrik ( spark) melalui celah antara elektroda dan benda kerja yang berisi cairan dielektrik (Nadkarni, ASM 07,1998). Tidak terjadi kontak antara benda kerja dan elektroda pada saat proses pemakanan material terjadi. Kondisi pemakanan material yang ideal adalah ERW yang seminimum mungkin MRR semaksimal mungkin. Oleh karena itu diperlukan material elektroda yang mampu memenuhi kondisi tersebut. Beberapa jenis material yang lazim digunakan sebagai elektroda pada proses EDM antara lain tembaga, grafit, dan tungsten. Tembaga murni walaupun memiliki sifat konduktivitas elektrik dan panas yang baik, tahan terhadap korosi, dan mampu terhadap temperatur tinggi tetapi memiliki machinability yang buruk sehingga sangat sulit dikerjakan dengan metode pemesinan konvensional. Untuk memperbaiki machinability dan sifat mekanis tembaga perlu ditambahkan unsur-unsur logam atau 12
  • 13. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 nonlogam agar mudah dibentuk dengan metode pemesinan konvensional. Grafit adalah material yang paling umum digunakan sebagai bahan elektroda EDM karenamemiliki sifat machinability yang baik dan juga karakteristik keausan yang rendah. Kelemahan yang ada pada grafit adalah sifatnya yang rapuh yang menjadi kendala apabila dikehendaki bentuk elektroda bersudut tajam karena bagian ini akan terabrasi oleh aliran cairan dielektrik pada saat proses pemesinan EDM berlangsung. Menggabungkan tembaga dan grafit menjadi sebuah komposit matriks logam (MMCs, Metal Matrix Composi tes) merupakan hal yang banyak dilakukan pada pembuatan elektroda EDM, karena MMCs merupakan gabungan logam matriks dan material penguat tertentu (serat, whisker atau partikel) pada skala makroskopis untuk mendapatkan sifat yang lebih baik dari material pembentuknya. MMCs memiliki potensi yang besar pada perkembangan teknologi karena dapat menghasilkan paduan baru ke arah hasil yang lebih baik (Kainer, 2006). MMCs dengan material penguat partikel, dibuat dengan metode metalurgi serbuk yang prosesnya meliputi: pencampuran serbuk (mixing), kompaksi serbuk (compaction), dan proses sinter. Kelebihan metode metalurgi serbuk diantaranya adalah dapat diperoleh bentuk akhir komponen sehingga mengurangi biaya permesinan, mengurangi tahap - tahap proses produksi selanjutnya, laju produksi yang tinggi sehingga sangat cocok untuk produksi massal, dan hampir tanpa material limbah (German, 1994). Serbuk tembaga merupakan salah satu material dasar pada pembuatan komponen dengan metode metalurgi serbuk yang menduduki peringkat ketiga setelah besi dan baja. Komposit tembaga secara umum digunakan untuk komponen elektrik. Sedangkan penambahan serbuk besi dalam jumlah tertentu pada matriks komposit tembaga akan meningkatkan densitas komposit tersebut (Heikkinen, 2003). Dengan meningkatnya densitas maka porositas komposit akan menurun sehingga konduktivitas elektrik akan meningkat. Selain daripada hal tersebut diatas, partikel besi juga akan mengikat unsur karbon yang terdapat pada grafit dengan lebih baik. Grafit di industri juga di gunakan sebagai elektroda EDM karena memiliki sifat tahan terhadap temperatur tinggi dan tahan kejutan panas (thermal-shock) yang terjadi pada saat proses discharge berlangsung, harganya lebih murah. Kelemahan 13
  • 14. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 material grafit adalah bersifat abrasive dan getas (Bagiasna, 1979). Pada penelitian ini dipelajari pengaruh penambahan partikel grafit pada komposit matriks logam Cu-1 wt% Fe terhadap Material Removal Rate , dan Electrode Relative Wear yang digunakan sebagai elektroda EDM. Komposisi grafit pada komposit adalah 0 wt%, 2.5 wt%, 5 wt%, 7.5 wt%, 10 wt%, 12.5 wt% dan 15 wt%. Variasi tekanan kompaksi adalah 350 MPa, 500 MPa dan 650 MPa sedangkan sintering dilakukan pada temperature 840 0 C , 870 0 C dan 900 0 C. Penelitian tentang metode metalurgi serbuk dengan material dasar tembaga telah dilakukanoleh beberapa orang peneliti, antara lain : Heikkinen (2003), Husain dan Han (2005), Chen dkk(2004), Tsai dkk (2003), Kovacik dkk (2004 dan 2008), Mataram (2007), dan Nawangsari (2008). Heikkinen (2003) menyatakan bahwa cara terbaik untuk meningkatkan konduktivitas termal dan elektrik dari tembaga adalah mengurangi tingkat ketidakmurnian (impurity levels). Tetapi penambahan unsur lain juga diperlukan untuk meningkatkan densitas material paduan tersebut. Sedangkan densitas berkaitan erat dengan porositas pada material yang ada dan semakin rendah porositas suatu material maka konduktivitas elektrikalnya akan lebih baik (German, 1994). Penambahan unsur besi sebesar 1wt% pada tembaga menghasilkan nilai resistivitas elektrikal terendah, yaitu 0,016 Ω mm2 /m.(Heikkinen, 2003). Hussain dan Han (2005) telah melakukan penelitian tentang pengaruh variasi partikel penguat alumina (Al2O3) berdasar fraksi berat sebesar 2,5; 5; 7,5 dan 10 % pada matriks tembaga yang dikompaksi pada tekanan 200 MPa dan disinter pada temperatur 950 0 C selama 1 jam, dari hasil penelitiannya dilaporkan bahwa meningkatnya kandungan alumina (Al2 O3) nilai kekerasan komposit akan meningkat, sedangkan nilai konduktivitas elektrik dan densitas menurun seiring dengan meningkatnya komposisi Al2O3. Komposisi yang stabil untuk mencapai keseimbangan pada kekerasan dan konduktivitas elektrik dicapai pada kandungan 5 % berat. Selanjutnya dalam penelitian dengan penambahan partikel penguat juga d ilakukan oleh Chen dkk (2004), penelitiannya mempelajari pengaruh kandungan tembaga dan perunggu sebesar 0, 4, 8, dan 15 % berat yang ditambahkan pada Stainless Steel 316L dengan tekanan kompaksi 650 MPa dan disinter pada temperatur 1150 °C selama 14
  • 15. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 1 jam. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan meningkatnya kandungan tembaga maka densitas komposit meningkat. Hal ini disebabkan oleh aktivasi fase cair sintering terjadi pada tembaga dan perunggu dan dalam penambahan partikel penguat, densitas tembaga dan perunggu lebih besar dibanding dengan Stainless Steel 316L sehingga komposit matriks Stainless Steel 316L apabila dipadukan dengan penguat tembaga dan perunggu nilai densitas aktual komposit akan meningkat. Sedangkan penelitian Mataram (2007) menggunakan serbuk karbon sebagai penguat sebesar 0, 5, 10, dan 15% berat dengan matriks tembaga yang dikompaksi pada tekanan 333 MPa dan disinter pada variasi temperatur 8000 C, 8500 C, 9000 C, dan 9500 C menyimpulkan bahwa dengan penambahan penguat karbon sampai 5% berat dan meningkatnya temperatur sintering akan meningkatkan sifat mekanis dari komposit. Penelitian mengenai pembuatan elektroda EDM dengan metalurgi serbuk telah dilakukan oleh Tsai dkk (2003) tembaga sebagai matriks dipadukan dengan partikel penguat Cr sebesar 0, 20, dan 43 wt% untuk membentuk elektroda EDM dan dikompaksi pada tekanan 10 MPa, 20 MPa, dan 30 MPa hasilnya menunjukkan bahwa Cu-0% berat Cr yang dikompaksi 20 MPa diperoleh yang paling baik. Elektroda EDM dengan matriks tembaga dan penguat karbon diteliti oleh Nawangsari (2008)dengan partikel penguat C sebesar 0 wt%; 2.5 wt%; 5wt%, dan 7.5 wt% pada tekanan kompaksi 350MPa hasilnya menunjukkan MRR tertinggi sebesar 0,067 g/min dicapai oleh spesimen pengujian dengan penambahan 0% karbon yang disi nter pada 9000 C. Sedangkan ERW terendah sebesar 16,13% dicapai oleh spesimen dengan penambahan 5% karbon yang disinter pada 9000 C. MATERI DAN METODE Material yang digunakan adalah copper fine powder ukuran +230 mesh ASTM (<63 µm) ex Merck sebagai matriks, iron powder extra pure ukuran + 270 mesh ASTM ( <53 µm) ex Merck sebagai penguat dan serbuk grafit ex Cina ukuran +270 mesh ASTM (<53µm) sebagai penguat. Pembuatan spesimen dan Prosedur Pengujian Serbuk tembaga dan serbuk besi dicampur terlebih dahulu d engan rotating cylinder mixer selama 2 jam untuk mendapatkan distribusi partikel tercampur merata, kemudian serbuk grafit ditambahkan sesuai komposisi 15
  • 16. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 masing -masing dan pencampuran dilanjutkan hingga 5 jam. Green body dengan ukuran Ø 10 mm seberat 4 gram dibuat dengan menggunakan peralatan kompaksi tipe uniaxial pressing single action yang terbuat dari stainless steel AISI 304 untuk die dan baja Special K (ex Böhler) untuk punch, pada tekanan yang telah ditentukan dengan menggunakan mesin Tarno Grocky ti pe UPHG 20. Selanjutnya green body disinter dengan horizontal tube furnace (Type HVT 15/75/450 Carbolite) di lingkungan gas argon dengan variasi temperatur sinter 8400 C, 8700 C, dan 9000 C selama 1 jam dengan laju pemanasan 50 C /min. Hasil dari contoh spesimen yang sudah disinter dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Spesimen setelah disinter dengan variasi temperatur dan tekanan kompaksi Spesimen yang telah disinter digunakan sebagai elektroda EDM untuk uji MRR dan ERW pada material benda kerja baja S45C dengan menggunakan mesin Genspark 50P. Besar arus 10 A dan polaritas normal dalam cairan dielektrik ESSO Univolt 64, waktu pengujian ditentukan 10 menit. Pengukuran Material Removal Rate (MRR) dan Electrode Relative Wear (ERW) Material Removal Rate (MRR) adalah laju pengerjaan material terhadap waktu dengan menggunakan elektroda EDM. MRR diukur dengan membagi berat benda kerja sebelum dan setelah proses machining terhadap waktu yang dicapai (Rival, 2005) atau volume material yang telah dikerjakan terhadap waktu (Bagiasna, 1979). Persamaan yang digunakan adalah: dengan : Wb = berat benda kerja sebelum machining (g) Wa = berat benda kerja setelah machining (g) tm = waktu yang digunakan untuk proses machining (min) 16
  • 17. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 Nilai MRR sangat penting untuk menunjukkan efisiensi dan efektivitas biaya dari proses EDM. Sedangkan ERW adalah material removal yang terjadi pada elektroda dan persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai ERW adalah : dengan, EWW : selisih berat elektroda sebelum dan setelah digunakan (g) WRW : selesih berat benda kerja sebelum dan setelah dikerjakan (g) Semakin kecil nilai ERW menunjukkan minimumnya perubahan bentuk dari elektroda, sehingga akan menghasilkan ketelitian yang lebih baik dari produk yang dihasilkan. Contoh spesimen elektroda komposit dan benda kerja S45C yang telah diuji MRR dan ERW dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Contoh hasil Uji MRR dan ERW HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian MRR dan ERW untuk masing-masing specimen dapat dilihat pada grafikgrafik di bawah ini. Gambar 3. Grafik wt% grafit vs MRR dari spesimen yang disinter pada temperatur 8400 C Gambar 4. Grafik wt% grafit vs ERW dari spesimen yang disinter pada temperatur 8400 C Penambahan partikel grafit akan meningkatkan MRR komposit yang disinter pada temperatur 8400 C dalam berbagai variasi tekanan kompaksi. Nilai MRR tertinggi dicapai oleh komposit dengan penambahan grafit sebesar 7.5 wt% tetapi kemampuan MRR akan menurun apabila partikel grafit. > 7.5 wt% seperti yang terlihat pada Gambar 3. Sedangkan pengaruh peningkatan wt% partikel grafit terhadap nilai ERW menunjukkan kecenderungan menurun seiring dengan bertambahnya wt% partikel grafit. Nilai ERW paling rendah dicapai oleh komposit dengan partikel grafit sebesar 15 wt%. Kecenderungan 17
  • 18. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 yang sama terjadi pada komposit yang disinter pada temperatur 870ºC dan 900ºC dalam berbagai tingkat tekanan kompaksi. Ini membuktikan bahwa tingkat tekanan kompaksi yang bervariasi dari 350 MPa sampai 650 MPa pada saat pembuatan green body tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap kemampuan MRR dan ERW komposit. SIMPULAN Komposit Cu-1wt% Fe akan mengalami peningkatan MRR apabila ditambah dengan partikel grafit karena grafit adalah penghantar listrik yang baik dan peningkatan kemampuan MRR tertinggi dicapai oleh komposit pada penambahan partikel grafit sebesar 7.5 wt%, tetapi apabila penambahan partikel grafit > 7.5 wt% terjadi penurunan kemampuan MRR seiring besarnya wt% partikel grafit. Hal ini dikarenakan semakin besar wt% grafit pada komposit densitas semakin rendah. Nilai ERW akan menurun sesuai peningkatan wt% partikel grafit pada komposit karena selain penghantar listrik yang baik grafit adalah material elektroda EDM yang terbaik. Komposit Cu-1wt% Fe-Grafit yang memiliki komposisi 10 wt% grafit dengan tekanan kompaksi 350 Mpa dan disinter pada 840 ºC merupakan bahan elektroda EDM yang terbaik karena memiliki kemampuan MRR terbesar dan ERW terendah, yaitu 0,0534 g/mnt dan 20,22 % masing-masing. Ucapan Terima Kasih Pada kesempatan ini diucapkan terima kasih kepada Kepala Laboratorium Bahan Teknik, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada dan Kepala Laboratorium Teknik Produksi Jurusan Teknik Mesin Universitas Negeri Yogyakarta atas fasilitas dan bantuan selama penelitian, serta ucapan terima kasih yang sama kepada Bapak Aryo Satito, Bapak Sunadji dan Bapak Profesor Jamasri atas bantuan dan kerjasama selama penelitian. DAFTAR PUSTAKA ASM International, 2002,” ASM Introducing to Machining Process vol. 16” Bagiasna, K., 1979,”Proses-proses Pemesinan Nonkonvensional”, Departemen Mesin, ITB. pp. 78-95 18
  • 19. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 Callister, W.,2001,”Fundamental of Material Science and Engineering”, John Willey & Son Inc. German, R.M, 1994, "Powder Metallurgy Science, 2nd edition", Metal Powder Industries Federation, Princenton, New Jersey. Heikkinen, Samuli,2003,” Copper Alloy Properties”, Kovave Materialy, 38 Hussain, Z., dan Han, K., 2005, "Studies on Alumina Dispersion-Strengthened Copper Composite Trough Ball Milling and Mechanical Alloying Method", Jurnal Teknologi, vol. 43, pp. 1-10. Kainer, K.U., 2006,” Metal Matrix Composites, Custom Made Material for Automotive and Aerospace Engineering”, Willey-VCH Verlag GmBH & Co. KGAa, WeinHeim. Kovacik,J.,Emmer, S., Bielek, J., and Kalesi, L., 2004, "Thermal Properties of of Cu- graphite Composites", Kovave Materialy, 42 Mataram, A., 2007, " Studi Sifat Fisis dan Mekanis komposit Cu/C", Thesis S2, Teknik Mesin UGM. Nawangsari, Putri., 2008, “ Pengaruh Penambahan Partikel Karbon Terhadap Densitas, Kekerasan, Konduktivitas Panas, Material Removal Rate, dan Electrode relative wear Pada Komposit Matriks Tembaga Sebagai Elektroda EDM”, Thesis S2, Teknik Mesin UGM Rival, 2005, "Electrical Discharge Machining of Titanium Alloy Using Copper Tungsten Electrode With SiC Powder Suspension Dielectric Fluid", Thesis S2, Fakulti Kejuruteraan Mekanikal, Universiti Teknologi Malaysia. Tsai, H.C., Yan, B.H., dan Huang, F.Y., 2003, "EDM Performance of Cu/Cr- Based Composite Electrode", International Journal of Machine Tool & Manufacture, vol 43, pp. 245 – 252. 19
  • 20. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 APLIKASI METODE ELECTRE PADA PENGAMBILAN KEPUTUSAN MULTI KRITERIA (Literature Review) Marlina Setia Sinaga Jurusan Matematika, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana ABSTRACT In this paper, we analyze application of the ELECTRE method for multicriterial decision making. Over the last three decades a large body of research in the field of ELECTRE family methods appeared. Using the ELECTRE evaluation method in the absence of a differentiation process may produce results opposite to those desired by a decision maker. The purpose of this paper is to present a survey of the ELECTRE methods since their first appearance in mid-sixties, when ELECTRE I was proposed by Bernard Roy. Keywords: ELECTRE, decision making, evaluation method Terjadinya proses pengambilan keputusan disebabkan adanya beberapa alternatif keputusan yang dapat dipertimbangkan. Pada problema tertentu, tidak cukup hanya pengidentifikasian semua alternatif yang ada, tetapi juga harus memilih keputusan optimal berdasarkan berbagai hal antara lain seperti: tujuan yang ingin dicapai, nilai- nilai yang telah ditetapkan dengan objektip, dan lain sebagainya (Harris, 1998). Tulisan ini akan mengkaji metode ELECTRE sebagai salah satu metode yang dapat dipergunakan untuk masalah pengambilan keputusan. ELimination Et Choix Traduisant la REalité atau ELimination and Choice Expressing REality (ELECTRE) mulai dikenal di Eropa pada pertengahan tahun 1960 sebagai salah satu metode analisa keputusan multi kriteria. ELECTRE pertama kali diperkenalkan oleh Bernard Roy melalui tulisannya pada jurnal operations research di Prancis (Roy, !968). Pada awalnya ELECTRE merupakan metode pemilihan aksi terbaik dari sekumpulan aksi yang ada, namun selanjutnya dengan cepat berkembang pada tiga ide dasar yakni: memilih, meranking dan mensortir. Belakangan ELECTRE berevolusi menjadi ELECTRE I, ELECTRE II, ELECTRE III, ELECTRE IV, ELECTRE IS, DAN ELECTRE TRI (Figueira dkk, 2005). PENGKAJIAN ELimination and Choice Expressing REality (ELECTRE) Aplikasi metode ELECTRE terdiri dari dua fase yakni fase pertama pembentukan dari satu atau beberapa relasi outranking dengan tujuan untuk 20
  • 21. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 membandingkan setiap pasangan aksi atau alternatif, dan fase kedua merupakan eksploitasi dari hasil yang telah diperoleh pada fase pertama. Keseluruhan evolusi dari metode ELECTRE seperti ELECTRE I, ELECTRE II, ELECTRE III, ELECTRE IV, ELECTRE IS, DAN ELECTRE A berdasarkan pada indeks konkordansi dan indeks diskordansi. Untuk menghindari perbedaan keputusan (kejanggalan/ diskordansi) berdasarkan subjektifitas pengambil keputusan atau setidaknya untuk memperkecil perbedaan, maka tentunya seorang pengambil keputusan harus memiliki informasi selengkap mungkin dan memahami setiap keanekaragaman alternatif yang ada. Maka evaluasi terhadap indeks diskordansi menjadi tolak ukur pada metode evaluasi ELECTRE (Huang-Chen, 2005). Indeks konkordansi Berdasarkan data pada matriks keputusan, asumsikan bobot dari semua kriteria sama dengan 1. Jika problema pengambilan keputusan multi kriteria berbentuk: max{f1(a), f2(a),...,fk(a) : aA} (P) maka untuk setiap pasangan aksi atau pasangan alternatif (Al, Ak), atau al, ak  A memiliki indeks konkordansi clk sebagai jumlah dari bobot semua kriteria dengan syarat bahwa alternatif al tidak lebih lemah atau setidaknya sama kuat dengan alternatif ak. clk = i afafi w kili  )()(/ ; l,k = 1, ..., n; l  k. dimana A adalah himpunan alternatif keputusan sebanyak n, dan f1, f2, ..., fk adalah kriteria-kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi alternatif keputusan. Indeks konkordansi hanya akan berkisar diantar nilai 0 dan 1 (Fülöp,_). Nilai dari semua indeks-indeks konkordansi dapat dibentuk sebagai matriks konkordansi C. Indeks konkordansi adalah merupakan ukuran tingkat dominasi alternatif al terhadap alternatif ak (Hunjak,1997). Indeks diskordansi Indeks diskordansi menunjukkan tingkat resistensi dari suatu alternatif terhadap alternatif yang dominan (Hunjak,1997). Karena setiap kriteria memiliki ukuran tingkat resistensi yang berbeda-beda maka dilakukan normalisasi vektor agar semua ukuran dapat dibandingkan satu sama lain. Normalisasi untuk problema (P) dilakukan pada kriteria fj(ai): k kj ij x x 2 dimana xij = fj(ai). Indeks diskordansi dkl dihitung sebagai berikut: 21
  • 22. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 dkl = ** ** )()(/ max max ljkj Jj ljkj afafj xx xx kjlj     Selanjutnya matriks diskordansi D dibentuk dari indeks-indeks diskordansi. Matriks MI dibentuk dari matriks konkordansi dan matriks diskordansi. Ambil c i d sebagai nilai rata-rata indeks konkordansi dari indeks diskordansi untuk membentuk matriks MI. mij =     selainnya,0 ddancjikahanyadanjika,1 ijij dc Jika mij = 1 artinya alternatif ai mendominasi alternatif aj sehingga terbentuk matriks dari indeks graph dimana alternatif-alternatif sebagai buhul dan alternatif yang dominan terhubung oleh arch. Alternatif yang dominan menjadi buhul ujung dari suatu arch. Alternatif-alternatif yang tidak dominan membentuk kernel graph. Keputusan akhir diambil berdasarkan analisis kernel dengan menghitung perubahan nilai dari indeks c i d dan bobot dari kriteria. Selanjutnya untuk meranking semua alternatif pada set A dapat dilanjutkan dengan menggunakan metode ELECTRE II. Dengan memakai metode ELECTRE II harus dihitung nilai konkordansi dari dominan ck =  n kii kic ,1 -  n kii ikc ,1 dan juga nilai diskordansi dari dominan dk =  n kii kid ,1 -  n kii ikd ,1 Alternatif-alternatif diranking berdasarkan nilai rata-rata tertinggi. Pada ELECTRE TRI pengambian keputusan multi kriteria ditambahkan dengan teknik untuk mensortir kriteria, dan harus ditetapkan pula nilai untuk parameter yang digunakan. Contoh sederhana normalisasi Pada Tabel 1, diberikan tiga alternatif a1, a2, a3 dan enam kriteria c1, c2, c3, c4, c5, c6. Dengan hipotesa ketiga alternatif melebihi threshold dari indeks konkordansi dan nilai penyebut dari indeks diskordansi sama. Tabel 1. Data contoh pembentukan normalisasi c1 c2 c3 c4 c5 c6 a1 2 2 2 2 2 4 a2 3 3 3 3 3 1 a3 3 7 5 1 5 6 Diasumsikan bahwa nilai preferensi dari pengambil keputusan untuk setiap kriteria adalah 1, artinya  j = 1 adalah nilai dari penyebut untuk setiap kriteria. Untuk menghitung indeks diskordansi digunakan evaluasi maksimum selisih 22
  • 23. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 absolut dan jumlah selisih absolut, sebagai berikut: a12 = max (|2-3|,|2-3|,|2-3|,|2-3|,|2-3|) = max (1,1,1,1,1) = 1 a21 = max (|1-4|) = max (3) = 3 a13 = max (|2-3|,|2-7|,|2-5|,|2-5|,|4-6|) = max (1,5,3,3,2) = 5 a31 = max (|1-4|) = max (3) = 3 a23 = max (|3-7|,|3-5|,|3-5|,|1-6|) = max (4,2,2,5) = 5 a32 = max (|1-3|) = max (2) = 2 Dari hubungan a1 dan a2 dapat dibandingkan bahwa a12 < a21, maka untuk indeks diskordansi a1 superior terhadap a2. Selanjutnya dengan cara yang sama semua hubungan alternatif masing-masing dibandingkan dan hasil akhir diperoleh bahwa a3>a1>a2. Pada metode evaluasi ELECTRE, alternatif dengan indeks diskordansi lebih kecil akan menjadi alternatif yang dipilih. Evaluasi jumlah selisih absolut. a12 = (|2-3|+|2-3|+|2-3|+|2-3|+|2-3|) = (1+1+1+1+1) = 5 a21 = (|1-4|) = (3) = 3 a13 = (|2-3|+|2-7|+|2-5|+|2-5|+|4-6|) = (1+5+3+3+2) = 14 a31 = (|1-4|) = (3) = 3 a23 = (|3-7|+|3-5|+|3-5|+|1-6|) = (4+2+2+5) = 13 a32 = (|1-3|) = (2) = 2 Dengan cara yang sama seperti evaluasi maksimum selisih absolut, dibandingkan setiap hasil sehingga diperoleh hasil akhir bahwa a3>a2>a1. Dapat dilihat bahwa hasil yang diperoleh dengan menggunakan evaluasi maksimum selisih absolut (a3>a1>a2) berbeda dari hasil yang diperoleh dengan evaluasi jumlah selisih absolut (a3>a2>a1). Posisi urutan ranking alternatif a1 dan a2 bertukar tempat pada kedua hasil tersebut. Sementara alternatif a3 merupakan alternatif yang paling optimal, maka tentu saja perbedaan relatif antara a3 dengan a1 dan a3 dengan a2 akan berubah secara signifikan. Misalnya a3 dengan a1, indeks diskordansi kedua alternatif tersebut akan meningkat dari 4 (a13 - a31 = 5 - 1 = 4) menjadi 13 (a13 - a31 = 14-1 = 13) dengan demikian perbedaannya sangatlah signifikan. Perbedaan bahkan bisa lebih signifikan jika jumlah kriteria evaluasi bertambah banyak. Namun sesungguhnya kedua cara evaluasi tersebut memberikan makna yang berbeda. Evaluasi maksimum selisih absolut menujukkan bahwa fokus dari pembuat keputusan adalah pada perbedaan utilitas terbesar dari kriteria, sementara evaluasi jumlah selisih absolut fokus pada jumlah perbedaan utilitas. PENUTUP Simpulan Dengan menggunakan metode evaluasi, nilai mutlak dari perbedaan 23
  • 24. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 maksimum antara alternatif-alternatif digunakan sebagai indeks diskordansi. Pada artikel ini difokuskan pada perbedaan dari kriteria dominan tunggal. Nilai mutlak dari jumlah semua perbedaan kriteria dipakai pada keseluruhan kriteria-kriteria yang digunakan. Elemen utama dari metode evaluasi adalah perhitungan indeks konkordansi dan indeks diskordansi. Rekomendasi Banyak penelitian yang telah dilakukan pada metode ELECTRE dengan perspektif yang berbeda-beda. Tentunya masih terbuka peluang yang besar untuk melanjutkan penelitian yang lebih rasional untuk evaluasi ELECTRE. Metode evaluasi ELECTRE dapat diterapkan bersama-sama dengan metode evaluasi lainnya untuk menentukan urutan ranking alternatif-alternatif. Namun, tentunya perlu diteliti lebih lanjut apa keuntungan dan kelemahan dari kombinasi berbagai metode evaluasi serta perbedaan-perbedaan di antara metode tersebut. DAFTAR PUSTAKA Figueira, José; Salvatore Greco, Matthias Ehrgott, 2005. Multiple Criteria Decision Analysis: State of the Art Surveys, New York: Springer Science + Business Media. Fülöp, J., ________, Introduction to Decision Making Methods, Hungarian Academy of Sciences. Harris, R., 1998. Introduction to Decision Making, VirtualSalt. http://www.virtualsalt.com/crebook5.htm Huang, W. C and Chen, C. H, 2005. Using The Electre II Method to Apply and Analyze the Differentiation Theory, Proceedings of the Eastern Asia Sociaty for Transportation Studies, Vol. 5, pp. 2237-2249. Hunjak, T., 1997. Mathematical Foundations of The Methods for Multicriterial Decision Making, Mathematical Communications 2: pp 161-169 Roy, Bernard, 1968. “Classement et choix en presence de points de vue multiples (la méthode ELECTRE)”. la Revue d’Informatique et de Recherche Opérationelle (RIRO) (8): 57-75. 24
  • 25. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 DEGRADASI PARAQUAT (1,1-DIMETIL-4,4-BIPIRIDILIUM) DALAM LINGKUNGAN TANAH DESA OEMATANUNU KECAMATAN KUPANG BARAT Hermania Em Wogo, Sherlly M.F. Ledoh, Philiphi de Rozari, Andri Dikson Mbolik Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana ABSTRACT In this research, the kinetics of paraquat degradation in a medium of Oematanunu soil filtrate medium at two conditions, i. e. light condition and dark condition (on direct sunshine for 8 hours per day) has been studied. To study the effect of sunshine in paraquat degradation, it has been carried out a paraquat degradation in medium of sterilized aquadest, sterilized well water, sterilized Oematanunu soil filtrate, medium without sterilization like: medium aquadest, medium well water and medium Oematanunu soil filtrate without sterilization. On certain time interval, the rest of paraquat was determined by UV-Vis spectrophotometry after being reduced with sodium dithionite at a maximum wavelength of 604 nm. The results indicated that sunshine increased the rate of paraquat degradation. Paraquat degradation studied medium followed kinetics of the first order. The rate constant of paraquat in Oematanunu soil filtrate medium (0,06998 0,00336 day-1 ) higher than that in medium without sterilization and anothers sterilization medium, as well as in well water medium (0,06217 ± 0,00317 day-1 ), aquadest medium (0,03458 ± 0,00252 day-1 ), for anothers sterilized medium as Oematanunu soil filtrate medium (0,06086 ± 0,00285 day-1 ), sterilized well water medium (0,04720 ± 0,00182 day-1 ) and sterilized aquadest medium (0,03472  0,00251 day-1 ). Keywords: Kinetics, Degradation, Paraquat, Oematanunu Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam perekonomian, dapat membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Peningkatan taraf hidup masyarakat dapat dilakukan melalui sektor pertanian, karena Indonesia merupakan negara agraris. Pertanian merupakan andalan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, sehingga harus dimaksimalkan kegiatan peningkatan kemajuan pertanian. Berbagai cara telah dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan produksi hasil pertanian. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan bahan-bahan kimia yang diproduksi untuk keperluan pertanian. Hal ini dilakukan untuk membasmi hama, penyakit dan gulma yang dapat merusak tanaman yang akan penyebabkan menurunnya hasil pertanian. Salah satu bahan kimia yang digunakan adalah pestisida. Pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan sebagai pemberantas atau pencegah hama atau penyakit yang 25
  • 26. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 dapat merusak tanaman atau hasil pertanian (Peraturan pemerintah No.7 Tahun 1973 dalam Sudarmo, 1991). Penggunaan pestisida semakin meningkat dari tahun ke tahun hal ini dikarenakan oleh formulasi produk pestisida yang telah terdaftarkan dan diizinkan penggunaannya di Indonesia semakin banyak (Sudarmo, 1991). Kebutuhan pestisida akan terus meningkat sebelum ditemukan adanya cara-cara lain yang lebih baik di dalam mengendalikan organisme penggangu tanaman yang menyebabkan menurunnya produktivitas hasil pertanian. Menurut Djojosumarto (2000) herbisida merupakan jenis pestisida yang digunakan untuk mengendalikan gulma atau tumbuhan penggangu yang tidak dikehendaki. Semakin banyak produsen yang memakai herbisida maka perlu adanya perhatian khusus dalam hal ini sebab akan semakin meningkat pula residu yang akan tertinggal di dalam tanah yang dapat merusak tanaman yang sangat peka pada musim tanam berikutnya. Gramoxone adalah salah satu jenis herbisida yang berbahan aktif paraquat (1,1-dimetil-4,4-bipiridilium) yang banyak digunakan di lahan pertanian (Muktamar, dkk., 2004). Paraquat yang merupakan bahan aktif dari jenis herbisida gramoxone dan paracol diklarifikasikan sebagai herbisida purna tumbuh golongan piridin yang bersifat kontak non selektif (Nanik, dkk., 2006). Menurut Nanik dkk., (2006), paraquat diketahui sebagai senyawa yang sangat toksik. Oleh karena itu semakin meningkatnya pemakaian gramoxone dalam kurun waktu yang panjang dapat mengganggu kesetimbangan ekosistem, maka diperlukan sebuah studi dalam memahami perilaku gramoxone di dalam tanah untuk mencegah bahaya yang mungkin ditimbulkan terhadap lingkungan. Dari uraian di atas tentang penggunaan gramoxone oleh masyarakat di sektor pertanian telah mendorong penulis untuk melakukan sebuah peneliti untuk melakukan penelitian guna mengetahui perilaku gramoxone di lingkungan sehingga dapat digunakan sebagai bahan referensi dan informasi bagi masyarakat pertanian dalam mengurangi dampak negatif dari penggunaan herbisida. MATERI DAN METODE Sampel dari penelitian ini diambil dari tanah pertanian yang berlokasi di kabupaten Kupang yakni, tepatnya di desa Oematanunu kecamatan Kupang Barat. Sampel tanah yang digunakan dalam penelitian ini diambil masih dalam bentuk bongkahan. Sampel tanah yang 26
  • 27. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 diambil mempunyai kedalaman 0–30 cm dari atas permukaan tanah. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Sampel tanah dari desa Oematanunu, larutan Paraquat aplikasi (gramoxon), NaOH (E.Merck), Natrium ditionit (E.Merck), air sumur dan akuades. Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi spektrofotometer UV-VIS (Spektronik 21D milton roy), ayakan 60 dan 80 mesh, neraca analitik, sentrifius, botol film atau selongsong film, kertas karbon, kertas saring Whatman 42, pH meter, shaker, autoklaf dan alat-alat penunjang berupa alat-alat gelas laboratorium. Prosedur Penelitian Preparasi tanah Sampel tanah dikering-anginkan dan diayak dengan menggunakan ayakan 60-80 mesh. Tanah hasil ayakan dioven selama ± 4 jam pada suhu 70 o C untuk menurunkan kadar air dalam tanah. Persiapan pembuatan sampel a. Seratus gram tanah dicampur dengan satu liter air sumur sedikit demi sedikit dan diaduk dengan menggunakan shaker selama ± 3 jam. Campuran didiamkan selama ± 24 jam, disentrifius dan disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman 42. b. Lima ratus mililiter filtrat hasil penyaringan disterilkan dengan autoklaf. Sterilisasi juga dilakukan terhadap akuades dan air sumur sebagai pembanding. c. Wadah yang digunakan adalah botol film sebanyak 240 buah. Sebelum digunakan, botol film dicuci dan dikeringkan. Seratus dua puluh botol diantaranya dibalut kertas karbon untuk kondisi gelap. d. Membuat media A yaitu larutan hasil penyaringan tanpa sterilisasi. Diambil 1,1 mL larutan paraquat 2760 mg/L (hasil pengenceran 100 kali paraquat stok) dan diencerkan sampai 100 mL dengan larutan hasil penyaringan tanpa sterilisasi sehingga diperoleh larutan paraquat dengan konsentrasi 30,36 mg/L. Pengenceran dilakukan sebanyak empat kali sehingga diperoleh 400 mL larutan paraquat dengan pelarut filtrat tanah tidak steril 30,36 mg/L. e. Membuat media B yaitu larutan hasil penyaringan dengan sterilisasi dengan cara yang sama seperti media A sehingga diperoleh 400 mL larutan paraquat dengan pelarut filtrat tanah yang disterilkan sehingga konsentrasinya 30,36 mg/L. f. Membuat media C yaitu akuades steril dengan cara yang sama seperti media A sehingga diperoleh 400 mL 27
  • 28. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 larutan paraquat dengan pelarut akuades steril sehingga konsentrasinya 30,36 mg/L. g. Membuat media D yaitu akuades tidak steril dengan cara yang sama seperti media A sehingga diperoleh 400 mL larutan paraquat dengan pelarut akuades tidak steril sehingga konsentrasinya 30,36 mg/L. h. Membuat media E yaitu air sumur steril dengan cara yang sama seperti media A sehingga diperoleh 400 mL larutan paraquat dengan pelarut air sumur steril sehingga konsentrasinya 30,36 mg/L. i. Membuat media F yaitu air sumur tidak steril dengan cara yang sama seperti media A sehingga diperoleh 400 mL larutan paraquat dengan pelarut air sumur tidak steril sehingga konsentrasinya 30,36 mg/L. j. Larutan dari tiap media (A, B, C, D, E, F) masing-masing diambil 10 mL dan dimasukan ke dalam botol film sehingga terdapat 40 wadah dimana 20 wadah tanpa kertas karbon dan 20 wadah lain dibalut seluruh permukaan botolnya dengan kertas karbon untuk kondisi gelap. k. Seluruh sampel disinari dengan sinar matahari. Sampel yang dikondisikan untuk kondisi terang saat dijemur harus dibuka tutup botolnya sehingga sinar matahari dapat masuk tanpa dihalangi. Sedang yang dikondisikan untuk kondisi gelap tetap tertutup seluruh permukaannya dengan kertas karbon. Penjemuran dilakukan selama 8 jam sehari dengan waktu antara jam 07:00 sampai 15:00 WITA. Kehilangan volume karena penguapan segera diganti sesudah dilakukan penjemuran sehingga volume sampel tetap. Sampel diambil untuk dianalisis pada hari ke 0, 1, 2, 5, 7, 10, 14, 26, 38 dan 50. Setiap pengambilan sampel langsung dilakukan preparasi dan ditentukan jumlah paraquat hari itu juga. Penentuan panjang gelombang maksimum Dalam penentuan panjang gelombang maksimum dibuat larutan paraquat dengan konsentrasi 30,36 mg/L dari larutan stok (konsentrasi 276 gram/L). Kemudian ditimbang 0,05 gram natrium dithionit dan dilarutkan dengan 5 mL larutan NaOH 4 % b/v sehingga diperoleh larutan natrium dithionit 1 % dalam NaOH 4 % b/v. Dari 10 mL larutan paraquat 30,36 mg/L kemudian ditambah 2 mL larutan 1 % natrium dithionit dalam NaOH 4 % dan direkam spektra absorbansinya pada λ antara 500 sampai 800 nm dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Hasil pengukuran absorbansi ditampilkan dalam bentuk grafik A vs λ dan dapat 28
  • 29. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 ditentukan panjang gelombang maksimumnya. Penetapan konsentrasi paraquat dalam sampel dengan spektrofotometer a. Pembuatan kurva standar 1. Paraquat dengan konsentrasi 27,6 mg/L diambil masing-masing 1,0; 2,0; 3,0; 4,0 dan 6,0 mL dan dimasukan pada labu takar 10 mL kemudian diencerkan dengan akuades, sehingga diperoleh seri larutan paraquat dengan konsentrasi berturut-turut: 2,76; 5,52; 8,28; 11,04; 13,8 dan 16,56 mg/L. Diambil juga 1,0 mL paraquat 27,6 mg/L dan dimasukan dalam labu takar 25 mL kemudian diencerkan dengan akuades sehingga diperoleh larutan paraquat dengan konsentrasi 1,104 mg/L. 2. Masing-masing konsentrasi larutan standar diambil 10 mL dan ditambah dengan 2,0 mL larutan natrium dithionit 1 % dalam larutan NaOH 4 % dan direkam absorbansinya pada panjang gelombang maksimum. Dari data tersebut dapat dibuat kurva standar Absorbansi lawan konsentrasi. 3. Untuk setiap pengukuran konsentrasi paraquat dalam sampel dibuat seri larutan standar terlebih dahulu. b. Pengukuran absorbansi sampel Pengukuran absorbansi sampel dilakukan pada hari ke 0, 1, 2, 5, 7, 10, 14, 26, 38 dan 50. Dari setiap media diambil dua botol sampel yang dikondisikan dalam keadaan terang dan dua botol sampel yang lain dikondisikan dalam keadaan gelap. Masing-masing sampel dengan volume 10 mL ditambahkan 2 mL larutan natrium dithionit 1 % dalam larutan NaOH 4 % dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum. Penambahan 2 mL larutan natrium dithionit 1 % dalam NaOH 4 % dilakukan saat akan diukur absorbansi sampelnya. c. Penetapan konsentrasi paraquat Data absorbansi sampel yang diperoleh diekstrapolasikan ke kurva standar dan diperoleh konsentrasi sampel dari tiap media pada masing-masing kondisi. Hasil akhir berupa grafik konsentrasi vs waktu untuk tiap media yang masing-masing terdiri dari kondisi gelap dan terang. Kemudian dilakukan penentuan konstanta laju degradasi paraquat pada kondisi terang dan gelap untuk mengetahui kinetika degradasi paraquat. HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi Metode Analisis Paraquat Secara Spektrofotometri UV-Vis Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Penetapan panjang gelombang maksimum untuk paraquat secara 29
  • 30. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 spektrofotometri Ultra Violet-Visibel dilakukan mengikuti metode analisis yang dikembangkan oleh Constenla (1990) dengan mengukur larutan standar paraquat 30,36 mg/L yang telah direduksi dengan natrium ditionit dalam suasana basa. Syarat terjadinya reaksi dalam mereduksi paraquat adalah dalam suasana basa maka digunakan larutan natrium dithionit 1% dalam larutan NaOH 4%. Warna larutan yang telah direduksi akan menghasilkan warna biru dengan serapan pada panjang gelombang sekitar 600 nm. Pengukuran panjang gelombang yang memberikan serapan maksimum dari larutan paraquat yang telah direduksi dilakukan pada panjang gelombang antara 500 sampai 800 nm, seperti terlihat pada Gambar 1. Gambar 1. Kurva panjang gelombang maksimum paraquat tereduksi Berdasarkan hasil pengukuran panjang gelombang maksimum yang dilakukan dengan menggunakan spektofotometer UV-Vis diperoleh serapan maksimum paraquat tereduksi pada panjang gelombang 604 nm, artinya pada panjang gelombang ini paraquat tereduksi menyerap radiasi sinar Ultra Violet-Visibel. Panjang gelombang maksimum inilah yang akan digunakan dalam melakukan pengukuran absorbansi untuk menghitung konsentrasi paraquat dalam sampel. Dalam melakukan pengukuran absorbansi paraquat hal yang perlu diperhatikan adalah stabilitas reduktor natrium ditionit, hal ini perlu dilakukan karena natrium ditionit sebagai pereduktor sangat menentukan besarnya nilai absorbansi yang akan terukur oleh alat spektrofotometri UV-Vis. Reduksi paraquat dengan menggunakan natrium ditionit dalam suasana basa akan menghasilkan radikal kation yang bersifat kurang stabil yang berwarna biru (Hassal, 1982). Radikal kation ini akan mengalami autooksidasi sehingga akan kembali membentuk ion paraquat karena keberadaan air dan oksigen seperti terlihat jelas dari persamaan reaksi pada Gambar 2. Mengingat sifat dari paraquat tereduksi yang kurang stabil ini maka dalam melakukan analisis dengan metode yang dikembangkan oleh Constenla (1990) harus dilakukan secepat mungkin. 30
  • 31. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011 Gambar 2. Skema proses reduksi paraquat Sensitivitas dan Batas Deteksi Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan suatu analisis adalah parameter sensitivitas dan batas deteksi karena dapat memberikan informasi mengenai metode yang digunakan dalam suatu penelitian apakah sudah memiliki ketelitian dan ketepatan yang tinggi atau belum. Kedua jenis parameter ini dapat ditentukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dan konsentrasi dari setiap seri larutan standar yang dibuat setiap kali melakukan analisis sampel. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan kurva kalibrasi dengan menggunakan panjang gelombang serapan maksimum paraquat diklorida tereduksi dengan natrium ditionit dalam suasana basa yakni pada panjang gelombang 604 nm. Konsentrasi seri larutan standar yang diukur untuk membuat kurva kalibrasi dibuat pada rentang konsentrasi 1,104 mg/L sampai 16,56 mg/L. Konsentrasi seri larutan standar yang telah diukur akan digunakan untuk menganalisis sampel pada waktu yang telah ditentukan yakni pada hari ke- 0, 1, 2, 5, 7, 10, 14, 26, 38, dan 50. Setiap pengukuran seri larutan standar, data-data yang diperoleh diplotkan dalam sebuah kurva sehingga dari setiap kurva kalibrasi yang dibuat diperoleh persamaan regresi linear (y = ax + b ), dengan (a) adalah slop dan (b) adalah intersep. Besarnya nilai slop dari setiap kurva kalibrasi yang dibuat menunjukkan sensitivitas (Skoog, 1985). Nilai slop dari setiap kurva kalibrasi yang dibuat pada penelitian ini jika dibandingkan setiap kali melakukan pengukuran konsentrasi sampel tidak berbeda secara signifikan (Tabel 1), dengan rata-rata sensitivitas adalah 0,0399 LA/mg. Hal ini menunjukkan bahwa kurva standar yang diperoleh dapat digunakan untuk menganalisis konsentrasi paraquat dalam sampel. Pada Tabel 1 juga disajikan nilai batas deteksi dari masing-masing kurva kalibrasi, dimana batas deteksi merupakan konsentrasi analit terendah yang masih terukur yang dapat ditentukan berbeda nyata secara statistik dari pengukuran blanko (Skoog, 1985). NCH3 N CH3 2 Autooksidasi 2O2 + 2H2O 2H2O2 +O2 e NH3C N CH3 31
  • 32. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     Tabel 1. Data Kurva kalibrasi dan parameter analitik Kurva Kalibrasi Parameter Analitik Hari Persamaan regresi linear r Sensitivitas (LA/mg) Batas deteksi 0 Y = 0,03792x + 0,01705 0,99994 0,03792 0,14456 1 Y = 0,03854x + 0,05694 0,99958 0,03854 0,38546 2 Y = 0,03989x + 0,00857 0,99994 0,03989 0,14478 5 Y = 0,04242x + 0,01526 0,99953 0,04242 0,40741 7 Y = 0,04881x + 0,01445 0,99964 0,04881 0,35818 10 Y = 0,04707x + 0,00971 0,99980 0,04707 0,26397 14 Y = 0,05267x – 0,00344 0,99986 0,05267 0,22320 26 Y = 0,05075x – 0,00136 0,99968 0,05075 0,33677 38 Y = 0,04120x + 0,02549 0,99966 0,04120 0,34924 50 Y = 0,04058x + 0,02530 0,99972 0,04058 0,31739 Menurut Miller dan Miller (1991) batas deteksi dapat ditentukan sebagai konsentrasi yang menghasilkan absorbansi sebesar tiga kali standar deviasi intersep (3 x Sa intersep) dibagi slop dari kurva kalibrasi, dimana standar deviasi intersep dihitung dengan menggunakan program microsoft office excel. Sehingga dari hasil perhitungan didapat batas deteksi dari masing-masing kurva standar seperti yang disajikan pada Tabel 1. Suatu kurva kalibrasi memiliki ketelitian yang cukup tinggi apabila koefisien korelasinya (r) mendekati satu. Dari hasil perhitungan seperti yang disajikan pada Tabel 1, dapat dilihat nilai koefisien dari masing-masing kurva kalibrasi berkisar antara 0,99953 sampai 0,99994. Kinetika Degradasi Paraquat Hasil perhitungan yang diperoleh dengan menggunakan kurva kalibrasi selanjutnya digunakan untuk mempelajari kinetika degradasi paraquat diklorida. Dalam penelitian ini dipelajari pengaruh sinar matahari yang diduga dapat meningkatkan laju degradasi paraquat. Dalam penelitian ini dilakukan dua macam perlakuan sampel yakni perlakuan pada kondisi terang dimana sampel dibiarkan berkontak dengan sinar matahari secara langsung tanpa ada penghalang. Sedangkan pada kondisi gelap dimana semua permukaan wadah sampel dibalut dengan menggunakan kertas karbon. Kedua jenis perlakuan ini masing-masing masih dibedakan berdasarkan kesterilan sampel dengan menggunakan autoklaf dan tanpa sterilisasi. Pengaruh sinar matahari terhadap laju degradasi ditinjau berdasarkan perbandingan antar media pada masing- masing kondisi berdasarkan berbagai media percobaan. Hasil perhitungan yang 32
  • 33. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     diperoleh dari percobaan menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan konsentrasi paraquat pada kondisi terang untuk keenam media yang dibuat yaitu akuades steril, air sumur steril, filtrat tanah Oematanunu steril, akuades tidak steril, air sumur tidak steril dan filtrat tanah Oematanunu tidak steril. Hal ini dapat terlihat jelas pada Gambar 3, yang menunjukkan perbandingan penurunan konsentrasi paraquat pada kondisi terang dan gelap untuk keenam media percobaan yang digunakan dalam penelitian ini. a. Media akuades steril b. Media air sumur steril 33
  • 34. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     c. Media filtrat tanah Oematanunu steril d. Media akuades tidak steril e. Media air sumur tidak steril 34
  • 35. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     f. Media filtrat tanah Oematanunu tidak steril Gambar 3. Grafik hubungan antara konsentrasi paraquat dan waktu pada berbagai media percobaan Pada keenam gambar grafik pada Gambar 3, untuk media kondisi terang menunjukkan telah terjadi penurunan konsentrasi yang sangat berbeda pada keenam media percobaan. Hal ini menurut Hassal (1982) disebabkan oleh karena sinar ultra violet dari sinar matahari yang diserap oleh molekul paraquat diklorida dapat menyebabkan terjadinya pembukaan salah satu cincin piridin yang menghasilkan N-metil-4- karboksipiridinium (Gambar 4). N N + N NH CHO CH3 CH3 H3C H3C Cl- 2+ 2Cl- + NH3C COO Cl- + CH3NH2HCl Gambar 4. Skema degradasi paraquat oleh sinar UV dari matahari (Wogo, 2002) Media percobaan untuk kondisi gelap dari grafik yang disajikan tidak menunjukkan penurunan yang begitu berbeda untuk keenam media yang dibandingkan. Dari perbandingan ini dapat dikatakan bahwa pada media percobaan untuk kondisi terang telah terjadi peristiwa degradasi paraquat oleh sinar UV matahari. Sedangkan untuk 35
  • 36. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     keenam media percobaan pada kondisi gelap tidak terjadi peristiwa degradasi. Kajian kinetika degradasi dari masing-masing media dalam penelitian ini dilakukan melalui penentuan orde dan konstanta degradasi. Hasil perhitungan orde dan konstanta laju degradasi paraquat pada kondisi terang dari masing-masing media dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Data orde dan konstanta laju degradasi paraquat (k) dari berbagai media Media Orde k  Standar deviasi Akuades steril 1 0,02984 ± 0,00408 Akuades tidak steril 1 0,03458 ± 0,00252 Air sumur steril 1 0,04720 ± 0,00182 Air sumur tidak steril 1 0,06217 ± 0,00317 Filtrat Oematanunu steril 1 0,06086 ± 0,00285 Filtrat Oematanunu tidak steril 1 0,06998 0,00336 Sinar matahari dapat meningkatkan laju degradasi paraquat. Penyinaran selama 50 hari (8 jam/hari) mampu mendegradasi paraquat mencapai 96,00501 % untuk media filtrat tanah Oematanunu tidak steril, media filtrat tanah Oematanunu steril mencapai 93,95629 %, media air sumur tidak steril mencapai 94,27148 %, media air sumur steril mencapai 90,56803 %, media akuades tidak steril mencapai 81,97919 % dan media akuades steril mencapai 71,65681 %. SIMPULAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pada pembahasan yang telah dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dari keenam media yang dibuat (akuades steril, air sumur steril, filtrat tanah Oematanunu steril, akuades tidak steril, air sumur tidak steril dan filtrat tanah Oematanunu tidak steril). Pada kondisi terang dan gelap mengikuti reaksi orde I, dengan konstanta laju degradasi paraquat dalam media steril dan tidak steril pada kondisi terang adalah : a. Media steril: akuades (0,02984 hari-1 ), air sumur (0,04720 hari -1 ), filtrat tanah Oematanunu (0,06086 -1 ). b. Media tidak steril: akuades (0,03458 hari-1 ), air sumur (0,06217 hari-1 ), filtrat tanah Oematanunu (0,06998 hari -1 ). 2. Sinar matahari dapat meningkatkan degradasi paraquat dengan lama 36
  • 37. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     penyinaran selama 50 hari (8 jam/ hari) mampu mendegradasi paraquat mencapai 71,65681 - 96,00501 %. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai proses lain yang dapat menurunkan konsentrasi paraquat di dalam lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Constenla, M.A., 1990, Paraquat Behavior in Costa Rica Soils and Residues in Coffee, Journal Agriculture Food Chemistry, Vol. 38 Djojosumarto, P., 2000, Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian, Kanasius, Yogyakarta Hassal, K.A., 1982, The Biochemistry and Uses of Pesticides, 2nd edition, Macmillan Press, New York Miller, J. C., and Miller, J. N., diterjemahkan oleh Suroso, 1991, Statistika Untuk Kimia Analitik, ITB, Bandung Muktamar, Z., Sukisno dan Nanik, S., 2004, Adsorpsi dan Desorpsi Herbisida Paraquat Oleh Bahan Organik Tanah, Jurnal Akta Agrosia Vol. 7, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu Nanik, S., Zainal, M., Doni, H., 2006, Mobilitas Herbisida Paraquat Melalui Kolom Tanah Dystrandept dan Dystrudept, Jurnal Akta Agrosia Vol. 9, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu Skoog, D.A., 1985, Principles of Instruments Analysis, 3rd edition, Saunders College Publishing Sudarmo, S., 1991, Pestisida, Kanisius, Yogyakarta Wogo, H.E., 2002, Studi Kinetika Degradasi Paraquat (1,1-Dimetil-4,4-Bipiridilium) Dalam Lingkungan Tanah Lombok, Skripsi, UGM, Yogyakarta 37
  • 38. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     ISOLASI METIL OLEAT HASIL TRANSESTERIFIKASI MINYAK JARAK PAGAR (JATROPHA CURCAS L) MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI KOLOM Febri Odel Nitbani Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana ABSTRACT Isolation methyl oleic from transesterification product mixture of castrol oil (Jatropha curcas L.) has been done. The process of methyl oleic isolation via colum cromatography was done using chloroform : n-hexsane : formic acid (90:10:1) as an eluen and silica gel H40 as a stationary fase. The methyl oleic was tested with Gas Chromatography-Massa Spectroscopy (GC-MS). The result showed that the percentage of methyl oleic is 65,18 %. Keywords : Castrol oil, methyl oleic, colum chromatography Indonesia adalah salah satu negara penghasil minyak nabati di dunia. Minyak nabati yang dihasilkan seperti, minyak sawit, minyak jarak, minyak kopra, dalam jumlah yang cukup besar. Minyak nabati yang terkandung dalam biji tumbuhan merupakan trigliserida (gambar 1) yang tersusun oleh asil-asil dari asam lemak jenuh maupun tidak jenuh yang diperoleh melalui proses maserasi menggunakan pelarut polar dan non polar( Gunston dan Hamilton, 2001). H2C O C R1 O H2C O C R2 O HC O C R3 O Gambar 1 Trigliserida Transesterifikasi berkatalis basa minyak jarak pagar (Jatropha curcas L.) menghasilkan metil oleat 33% (Kusumawati, 2009). Hidrolisis metil oleat akan menghasilkan asam oleat yang merupakan asam lemak esensial. Senyawa-senyawa asam lemak seperti asam oleat berperan untuk menghasilkan produk yang secara komersil penting dan ditemukan aplikasinya dalam berbagai bidang diantaranya sebagai pemplastis (plastizier) dan penstabil (stabilizer) untuk resin polivinil klorida (PVC) (Yadav dan Satoskar, 1997). Sumber- sumber asam oleat dalam minyak nabati terutama dihasilkan dari zaitun, kedelai dan biji bunga matahari (Gan et al, 1992). Lemak atau minyak merupakan salah satu jenis makanan yang banyak digunakan untuk diet sehari- hari. Beberapa hal yang mempengaruhi sifat- 38
  • 39. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     sifat minyak adalah asam lemak penyusunnya yaitu asam lemak jenuh (Saturated fatty acid) dan asam lemak tak jenuh (Unsaturated fatty acid), yang terdiri atas Monounsaturated fatty acid (MUFA) dan poly unsaturated fatty acid (PUFA). Salah satu jenis MUFA adalah asam oleat (asam lemak omega 9) mampu menurunkan lipoprotein yang densitasnya sangat rendah (low density lipoprotein = LDL) dan meningkatkan lipoprotein yang densitasnya tinggi (High density lipoprotein = HDL). Asam lemak Omega 9 mampu mencegah penyakit jantung koroner yang sudah teruji secara laboratoris dan epidemologis. Asam oleat banyak terdapat pada bahan makanan seperti minyak kelapa sawit, yoghurt, susu, keju, miyak zaitun, tempe, tahu dan lain-lain. Metode kromatografi kolom sudah digunakan sebagai metode pemisahan untuk memisahkan metil ester dari asam-asam lemak dalam minyak kemiri (Tarigan, 2009). Berdasarkan hasil penelitian bahwa minyak jarak pagar mengandung metil oleat 33 % dan manfaat penting asam oleat sebagai asam lemak esensial maka melalui penelitian ini akan dilakukan isolasi metil oleat hasil transesterifikasi minyak jarak pagar (Jatropha curcas L.) menggunakan teknik pemisahan kromatografi kolom. Penelitian ini diharapkan menaikkan nilai guna biji jarak pagar selain sebagai bahan bakar juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber asam lemak esensial. MATERI DAN METODE Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji jarak pagar (Jatropha curcas L ), Petroleum eter, metanol, NaOH, Na2SO4 anhidrat, Silika gel H- 40, Kloroform, n-Heksana dan Asam format. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : alat gelas laboratorium, satu set alat ekstraksi sokhlet, satu set alat evaporator Buchii tipe R-124, alat timbangan elektrik (Libror EB-330 Shimadzu), tabung kolom, pipa kapiler, plat kromatografi lapis tipis, pipet tetes dan Kromatografi Gas–Spektroskopi Massa ( GC-MS, Shimadzu QP-2010). Prosedur Kerja a. Penyiapan sampel campuran metil ester minyak jarak pagar (Kusumawati, 2009) Ekstraksi Biji Jarak Pagar Minyak biji jarak pagar (Jatropha curcas L) diperoleh dengan ekstraksi pelarut menggunakan petroleum eter menghasilkan minyak berwarna kuning dan berbau kas minyak jarak kemudiaan dilakukanan dengan tahap netralisasi yang merupakan proses pemurnian minyak jarak pagar. 39
  • 40. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     Reaksi Transesterifikasi Minyak jarak pagar (Jatropha curcas L) yang sudah dinetralisasi sebanyak 100 gram dimasukkan ke dalam labu yang sudah dilengkapi dengan pengaduk magnet dan larutan metoksida (campuran 20 mL metanol 90% dan 2 gram NaOH yang telah tercampur sempurna). Campuran diaduk selama 90 menit sampai reaksi transesterifikasi sempurna. Hasil reaksi dievaporasi dan residu dilarutkan dalam 75 mL PE , dimasukkan dalam corong pisah dan dicuci dengan air sampai pH netral. Lapisan organik dikeringkan dengan Na2SO4 anhidrat, dan filtratnya dievaporasi. b. Isolasi Metil Oleat Isolasi metil oleat dilakukan dengan menggunakan kromatografi kolom menggunakan silika gel H-40 dan eluent yang digunakan kloroform : n- heksana : asam format 90:10:1 (v:v:v). hasil yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan GC-MS. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi metil oleat dari campuran metil ester hasil transesterifikasi minyak jarak pagar (Jatropha curcass L) menggunakan kromatografi kolom. Bahan dasar untuk proses isolasi ini menggunakan minyak jarak pagar yang sudah ditransesterifikasi menggunakan katalis basa oleh Kusumawati (2009). Berdasarkan hasil penelitian Kusumawati, metil oleat yang terdapat dalam campuran metil ester hasil transesterifikasi minyak jarak adalah sebesar 33 %. Untuk teknik pemisahan dengan kromatografi kolom digunakan fase diam berupa silika gel H40 dan fase gerak berupa campuran kloroform : n- heksana : asam format (90: 10 : 1). Campuran metil ester minyak jarak pagar dimasukan dalam kolom berisi fase diam dan dialiri eluen dengan laju satu tetes setiap 15 menit. Komponen- komponen yang terpisah akan terbawa oleh fase gerak keluar kolom dan ditampung tiap 5 ml dalam botol sampel. Tiap sampel hasil kolom kromatografi dianalisis menggunakan kromatografi lapis tipis dan sampel-sampel yang menujukkan noda atau harga Rf yang sama dikumpulkan jadi satu. Sampel dengan harga Rf 0,9 cm selanjutnya dianalisis menggunakan Kromatografi gas– spektroskopi massa (KG–MS). Analisis Menggunakan KG-MS menghasilkan kromatogram seperti ditampilkan pada gambar 40
  • 41. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     Gambar 2. Kromatogram sampel Rf= 0,9 Kromatogram (Gambar 2) menunjukkan bahwa terdapat 5 puncak dengan waktu retensi dan kadar yang berbeda-beda yang berarti terdapat 5 senyawa berbeda dalam sampel yang dianalisis. Masing-masing puncak dideskripsikan secara lengkap dalam tabel 1. Puncak 3 dengan waktu retensi 17,33 menit merupakan puncak dengan kelimpahan terbesar dalam campuran yaitu 65,18 %, sedangkan puncak lain berada dalam kelimpahan yang kecil yaitu dibawah 25 %. Tabel 1. Waktu retensi dan kadar senyawa dalam sampel dengan Rf 0,9 cm Puncak dan Waktu retensi (menit) Persentase(%) (1) 15.234 1.773 (2) 15.489 21.965 (3) 17.332 65.185 (4) 17.442 10.706 (5) 19.093 0.370 Spektra massa puncak 1 dengan waktu retensi 15.234 menit yang memiliki kadar 1.77 % ditampilkan pada gambar 3. Gambar 3. Spektra massa puncak 1 Spektra massa (gambar 3) menunjukkan ion molekuler pada m/z = 281 dan puncak dasar pada m/z = 55,1 yang sesuai sesuai dengan berat molekul metil palmitoleat (gambar 4). O O Gambar 4. Struktur senyawa metil palmitoleat Spektra massa senyawa puncak 2 dengan waktu retensi 15.489 menit dan kadar 21 % memberikan ion molekuler pada m/z =283 yang sesuai dengan berat molekul dari metil palmitat dan memiliki struktur seperti pada gambar 5. O O Gambar 5. Struktur senyawa metil palmitat Spektra massa senyawa puncak 3 dengan waktu retensi 17.332 menit dan kelimpahan terbesar yaitu 65.185 % ditunjukan pada gambar 6. 41
  • 42. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     Gambar 6. Spektra massa puncak 3 Dari spektrum massa dengan ion molekuler pada m/z = 296 dan puncak dasar pada m/z = 55 dapat disimpulkan bahwa senyawa puncak 3 adalah metil oleat (gambar 7). Pemurnian atau pemisahan metil oleat dalam campuran metil ester hasil transesterifikasi dengan kromatografi kolom ternyata menaikkan kemurnian metil oleat dari 33 % menjadi 65 %. Metil oleat sendiri merupakan ester dari asam oleat dimana asam oleat adalah asam lemak omega 9 yang merupakan asam lemak esensial dan sangat penting bagi kesehatan manusia. Asam oleat sendiri dapat diperoleh dengan menghidrolisis metil oleat. Selain fungsi kesehatan, asam oleat juga banyak digunakan sebagai bahan baku dalam industri makanan, kosmetik maupun polimer. Oleh karena itu menemukan bahan atau sumber asam oleat merupakan hal yang sangat penting apalagi sumbernya berasal dari sumber bahan alam terbarukan yaitu biji jarak pagar. O O Gambar 7. Struktur senyawa metil oleat Spektra masa puncak 4 (gambar 8) pada waktu retensi 17.442 menit dengan kadar relatif 10 % menunjukan ion molekuler pada m/z = 298 sangat sesuai dengan berat molekul metil stearat (gambar 9). Hidrolisis terhadap metil stearat akan menghasilkan asam stearat sebagai suatu asam lemak jenuh. Gambar 8. Spektra massa puncak 4 O O Gambar 9. Struktur senyawa metil stearat Spektra masa puncak 5 (gambar 10) pada waktu retensi 19,093 menit dengan kadar relatif 0,3 % menunjukan ion molekuler pada m/z = 326 sangat sesuai dengan berat molekul metil arakidonat (gambar 11). 42
  • 43. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     Gambar 10. Spektra massa puncak 5 O O Gambar 11. Struktur senyawa metil arakidonat Berdasarkan hasil interpretasi spektrum massa masing-masing puncak kromatogram maka dapat disimpulkan bahwa sampel hasil kromatografi kolom dari campuran metil ester minyak jarak mengandung senyawa-senyawa seperti yang dirangkum dalam tabel 3. Tabel 3. Jenis senyawa hasil kolom kromatografi campuran metil ester Puncak Waktu retensi (menit) Senyawa Kadar (%) 1 15,237 Metil palmitoleat 1,773 2 15,491 Metil palmitat 21,965 3 17,334 Metil oleat 65,185 4 17,443 Metil stearat 10,706 5 19,093 Metil arakidonat 0,370 SIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Metil oleat dapat dipisahkan dari campuran metil ester minyak jarak pagar (Jatropha curcas L.) menggunakan teknik kromatografi kolom 2. Metil oleat yang dihasilkan memiliki kadar 65,185 % 3. Teknik pemisahan dengan kromatografi kolom dapat menaikkan kemurnian metil oleat DAFTAR PUSTAKA Gunstone, F.D., dan Hamilton, R.J., 2001, Oleochemical Manufacture and Applications, Sheffield Academic Press Ltd, London Gan, L.H., Goh, S.H., dan Ooi, K.S., 1992, Kinetic Studies of Epoxidation and Oxiran Cleavage of Palm Oil Methyl Esters, J. Am. Oil Chem. Soc, 69(4):347-349 43
  • 44. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     Kusumawati, A, 2009, Sintesis senyawa Epoksida Turunan Minyak Jarak (Jatropha curcas L.) Melalui Reaksi Transesterifikasi Dan Epoksidasi, Universitas Nusa Cendana-Kupang Silverstein, R.M., dan Bassler, G.C., 1991, Spectrometric Identification of Organic Compounds, Fourth Edition, John Wiley and Sons, New Yor Tarigan, D., 2009, Pembuatan Senyawa Alkanolamida Tetrahidroksi Oktadekanoat yang Diturunkan dari Minyak Kemiri, Indo.J.Chem., 9 (2), 271-277 Yadav, G. D., dan Satoskar, D. V., 1997, Kinetic of Epoxidation of Alkyl Esters of Undecylenic Acid: Comparation of Traditional Routes vs Ishii-Venturello Chemistry, J. Am. Oil Chem. Soc,74(4):397-407. 44
  • 45. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     KARAKTERISTIK PASANG SURUT LAUT DAN PASANG SURUT BUMI DI DAERAH CILACAP Abdul Wahid Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana ABSTRACT It has been done a research about earth tide characteristic to the ocean tide analysis at station Cilacap, . The aim is to determine the characteristic of the earth tide and the ocean tide, and the existence of semidiurnal variation, diurnal variation, periodicity and correlation of both natural phenomena (earth tide and ocean tide).The analysis was done by three stages, i.e: phase different analysis, periodicity analysis, and correlation analysis. Based on the analysis, it reveals that there are phase lags of the ocean tide from the earth tide, i.e: the north beach stations Cilacap, is 100 minutes in average. The periodicity at the north beach stations have tide prevailing semidiurnal variation. Keywords: tide, correlation, semidiurnal variation   Pasang surut merupakan salah satu gejala alam yang perubahannya secara periodik sesuai dengan posisi dan letak benda angkasa (utamanya bulan dan matahari) terhadap bumi, sehingga terjadinya gaya pembangkit pasang surut, secara garis besar gaya pembangkit pasang surut ditimbulkan oleh tiga gerakan utama: revolusi bulan terhadap bumi, revolusi bumi terhadap matahari dan rotasi bumi terhadap sumbunya (Wahid, 2008). Pasang surut bumi sangat penting untuk koreksi pada pengukuran gravitasi dengan menggunakan alat gravitymeter La Coste Romberg yang variasinya antara puncak positif dan negatif adalah 300 mikrogal serta dimanfaatkan pada pengukuran sifat datar teliti. Pasang surut laut digunakan untuk kepentingan perhubungan pelayaran laut, pemanfaatan sumberdaya hayati perairan, pariwisata, pencemaran lingkungan, pertahanan nasional serta pengembangan pemanfaatan pasang surut laut sebagai salah satu sumber energi alternatif . Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami karakteristik pasang surut bumi dan pasang surut laut Stasiun Cilacap, serta menganalisa data pasang surut laut dan data pasang surut bumi sehingga dapat diperoleh informasi tentang: adanya variasi tengah harian (semidiurnal variation) dan variasi harian (diurnal variation) jenis periodesitas serta korelasinya. 45
  • 46. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     Dengan memperhatikan letak Perairan Indonesia yang diapit oleh Lautan Pasifik dan Lautan Hindia serta merupakan perairan yang setengah tertutup, terlihat bahwa Perairan Indonesia agak terbatas untuk berinteraksi secara maksimal dengan gaya pembangkit pasang surut, tetapi merupakan reaksi dari sistem pembangkit pasang surut dari Lautan Pasifik dan Lautan Hindia. Disamping kondisi tersebut, pengaruh resonansi lokal berupa bentuk, luas, kedalaman, keadaan topografi bawah air dan lain-lain, juga memiliki andil dalam proses perambatan pasang surut di Perairan Indonesia (Pariwono, 1989) MATERI DAN METODE MATERI Pasang Surut Bumi Pada dasarnya semua benda- benda angkasa yang memiliki massa akan mempengaruhi titik-titik massa di bumi, tapi karena posisinya sangat jauh maka pengaruh tersebut dapat diabaikan, hal ini sesuai dengan Hukum Newton tentang gravitasi (Longman,1959): 122 12 21 21 ˆ)( r r mm GrF   (1) dimana: F adalah gaya tarik menarik, G konstanta gravitasi, m1 dan m2 massa benda 1 dan benda 2, r jarak antara benda1 ke benda 2. Gaya – gaya Pasang Surut Akibat Bulan dan Matahari Besarnya potensial pada sembarang titik di permukaan bumi akibat dari gaya gravitasi bulan dan rotasi bulan, jika bumi dianggap sebagai benda rigid, maka kuat medan gravitasi pasang surut bumi pada titik P dipermukaan bumi akibat gaya dari bulan adalah (Stacey,1977):  1cos3 2 3   R Gma g (2) Dari persamaan (2) terlihat bahwa pasang surut yang diakibatkan oleh bulan berbanding terbalik dengan jarak pangkat tiga, sehingga gaya pasang surut karena matahari adalah 0,46 kali dari pasang surut akibat bulan. Pasang Surut Bumi Metode Broucke Menurut Broucke at al (1972), besarnya komponen tegak pasang surut bumi akibat bulan, adalah (Sunarjo,1988):            2 3 2 3 2 cos1  zkpgm (3) dengan 2 1a GM k m  ; zcos21 2   ;   2 sin1 fp   coscoscossinsincos z dimana: G konstanta gravitasi, p horisontal paralaks, mM massa bulan, 1a jari – jari equator, z sudut zenith bulan,  46
  • 47. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     lintang tempat pengamat,  deklinasi bulan,  sudut jam bulan setempat,  right ascension, f konstanta penggepengan bumi (1/298), dan  kemiringan bidang eliptik. Sedangkan pasang surut bumi komponen tegak akibat matahari adalah:  1cos3   D rGM g s s (4) dimana: sM massa matahari, r jarak pengamat dengan pusat bumi, D jarak pusat bumi dengan pusat matahari,  sudut zenith matahari. Sehingga besar total pasang surut bumi akibat dari bulan dan matahari Metoda Bruocke at al (1972) adalah (Longman,1959): smtotal ggg  (5) Dari persamaan (3), (4) dan (5) terlihat bahwa besarnya pasang surut bumi komponen tegak tergantung pada posisi pengamat dan waktu. Pasang Surut Laut Pasang surut laut merupakan fenomena naik turunnya muka laut secara periodik karena adanya gaya pembangkit pasang surut terhadap massa air di permukaan bumi, yang dapat diamati secara nyata di daerah pantai. Gaya pembangkit pasang surut Karena adanya rotasi bumi bulan pada sumbu perputaran bersama maka setiap titik massa yang ada di permukaan bumi bekerja gaya sentrifugal (Fc) arahnya berlawanan dengan posisi bulan, selain itu titik massa yang ada di permukaan bumi akan mengalami gaya gravitasi bulan (Fg) yang arahnya menuju pusat massa bulan dan besarnya bergantung pada jarak antara titik massa yang ditinjau dengan pusat massa bulan. Proses ini terjadi secara simultan dan berperiodik menyebabkan peristiwa pasang surut (Fp) di permukaan bumi akibat bulan (Gambar1) Gambar 1. Gaya pembangkit pasang surut akibat bulan (Pariwono, 1989) Gaya pembangkit pasut yang diakibatkan oleh posisi bulan pada satuan titik massa di permukaan bumi ketika bulan berada pada titik Zenith atau Nadir adalah: Fg Fc Fp Bumi Bumi Bulan 47
  • 48. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     Tabel 1. Gaya pembangkit pasut akibat bulan (Djaja,1989) Posisi Bulan Gaya Tarik Gaya Sentrifugal Gaya Pembangkit Pasut Zenith  2 rR GM  2 R GM    322 211 R rGM RrR GM           Pusat Bumi 2 R GM 2 R GM  0 Nadir  2 rR GM  2 R GM    322 211 R rGM rRR GM           Dimana: G merupakan konstanta gravitasi, M massa bulan, r jari –jari bumi, R jarak antara pusat bumi dan pusat bulan. Tipe – tipe pasang surut laut Tipe-tipe pasang surut laut secara garis besar dibedakan menjadi (Triatmodjo,1999).: 1. Pasang Surut Tengah Harian (Semi Diurnal Tide). 2. Pasang Surut Harian (Diurnal Tide). 3. Pasang Surut Campuran Dominan Tengah Harian (Mixed Tide Prevailing Semi Diurnal), 4. Pasang Surut Campuran Dominan Harian (Mixed Tide Prevailing Diurnal), Pasang surut perbani dan pasang surut purnama Karena peredaran bumi dan bulan pada orbitnya, revolusi bulan terhadap bumi ,serta rotasi bumi terhadap matahari, sehingga posisi bulan – bumi – matahari selalu berubah secara periodik, sehingga terjadinya pasang surut perbani (pasang kecil, neap tide) dan pasang surut purnama (pasang besar , spring tide) (Wahid,2007). 48
  • 49. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     Komponen Harmonik Pasang Surut Tabel 2. Komponen pasang surut yang penting (Pariwono ,1989) Nama Komponen Simbol Periode (jam) Perbandingan (relatif) Tengah Harian (semi diurnal)  Principal Lunar  Principal Solar  Larger Lunar Elliptic  Luni Solar semi diurnal Harian (diurnal)  Luni Solar diurnal  Principal Lunar diurnal  Principal Solar diurnal  Larger Lunar Elliptic Periode Panjang (long period)  Lunar fortnightly  Lunar monthly  Solar semi annual M2 S2 N2 K2 K1 O1 P1 Q1 Mf Mm Ssa 12,42 12,00 12,66 11,96 23,93 25,82 24,07 26,91 328,0 661.0 2.191,0 1,000 0,466 0,192 0,127 0,584 0,415 0,194 0.008 0,017 0,009 0,008 METODE Lokasi dan Posisi Penelitian Lokasi penelitian adalah pada Stasiun Pasang Surut Cilacap dengan posisi 1090 00’E - 70 45’S Sebagai referensi, pengukuran data pasang surut gravitasi bumi dilakukan di Lab.Geofisika UGM posisi 1100 46’E - 70 22’S untuk menguji keakuratan Program pasang surut teoritik yang di buat oleh Broucke at al (1972). Pengukuran pasang surut bumi di Laboratorium Geofisika UGM Pengukuran pasang surut bumi dilakukan di laboratorium Geofisika UGM menggunakan alat La Coste & Romberg Gravitymeter selama 15 hari (03 hingga 17 Mei 2001), dengan rentang waktu data pengukuran satu menit, data terekam secara otomatis melalui komputer yang dirangkai dengan alat tersebut. Program pasang surut teoritik yang di buat oleh Broucke at al (1972), melalui program tersebut, data pasang surut bumi teoritik tanggal 03 hingga 17 mei 2001 dapat diedit secara langsung dengan input berupa posisi, waktu dan ketinggian lokasi. 49
  • 50. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     Melalui program pasang surut bumi Broucke at al, dapat diperoleh data pasang surut bumi untuk stasiun Surabaya, sehingga dapat dilakukan analisis untuk data sekunder pasang surut laut pada waktu yang sama Pengumpulan data pasang surut laut. Data pasang surut laut merupakan data sekunder yang diperoleh dari Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan Kedirgantaraan BAKOSURTANAL, data Stasiun Cilacap dengan tahun pengukuran 1997, dengan bentangan waktu pengukuran 1 jam, dari data itu ada beberapa bulan data yang error dan tidak dapat digunakan. Pengeditan data pasang surut bumi teoritik Melalui Program pasang surut bumi teoritik Metode Broucke at al (1972), diperoleh data pasang surut bumi, dengan input posisi, waktu pengukuran dan ketinggian, pada Stasiun Surabaya, tahun dan bentangan waktu pengukuran yang sama dengan stasiun pasang surut laut, agar dapat dilakukan analisis beda fase, periodesitas dan korelasi. Analisis Data Analisis beda fase dilakukan untuk melihat seberapa jauh perbedaan fase yang terjadi antara pengukuran pasang surut bumi di Lab Geofisika UGM dengan Metode Broucke dan data pasang surut laut. Data pasang surut bumi dan laut diplot dalam bentuk grafik amplitudo gelombang versus waktu pengukuran, dengan menggunakan Program Matlab diperoleh beda fase. Analisis periodesitas dilakukan untuk menampilkan periodesitas komponen harmonik variasi data pasang surut bumi dan laut , data dalam kawasan waktu diubah dalam kawasan frekuensi dengan memanfaatkan Transformasi Fourier Cepat (Fast Fourier Transform = FFT). Melalui program Matlab diperoleh keluaran berupa grafik antara frekuensi (siklus/jam) versus normalisasi amplitudo, periodesitas komponen harmonik variasi harian dan variasi tengah harian. Analisis korelasi dilakukan untuk melihat sejauhmana hubungan antara data pasang surut bumi dan pasang surut laut dengan menghitung koefisien korelasinya HASIL DAN PEMBAHASAN Pasang surut bumi pengamatan dan teoritik Lab. Geofisika UGM Dari referensi diperoleh pasang surut bumi di Laboratorium Geofisika UGM antara teoritik dan hasil pengamatan memiliki pola komponen harmonik yang sama, bertipe variasi campuran dominan tengah harian (Wahid. 2007). 50
  • 51. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     Pasang surut bumi dan pasang surut laut stasiun Cilacap. Dari analisis beda fase stasiun pasang surut bumi dan pasang surut laut, terlihat bahwa pada stasiun pasang surut Cilacap pasang surut bumi mendahului pasang surut laut dengan beda fase rata- rata 100 menit.(Gambar 2) Dari analisis periodesitas Stasiun Cilacap memperlihatkan periodesitas pasang surut bumi dan pasang surut laut memperlihatkan pola spektrum yang sama dimana komponen harmonik pasang surut variasi tengah harian lebih dominan daripada variasi harian (komponen pasang surut M2, S2, N2 dan K2) (Gambar. 3). Sedangkan dari analisis korelasi diperoleh bahwa korelasi antara pasang surut laut dan pasang surut bumi memiliki korelasi yang sangat kuat dengan koefisien korelasi rata-rata 0.8960 jauh di atas nilai kritis dari nilai tabel 0.080 untuk taraf kepercayaan 5% (Gambar 2), (Gambar 3). Perairan Indonesia tidak digerakkan oleh aksi gravitasi bulan dan matahari secara langsung, walaupun ada tetapi kecil, namun merupakan cerminan dari sistem pasang surut Lautan Fasifik dan Lautan Hindia, selain itu resonansi lokal dan pengaruh topografi dasar Lautan Indonesia memberikan pengaruh yang sangat nyata, menyebabkan kondisi pasang surut Perairan Indonesia menjadi kompleks . Pasang surut bumi dan pasang surut laut untuk stasiun Cilacap memiliki korelasi yang sangat kuat, karena keduanya mendapatkan pengaruh langsung dari gaya pembangkit pasang surut yang sama. Stasiun Cilacap pengaruh pasang surut laut dari gaya pembangkit pasang surut Lautan Hindia sedangkaan pasang surut bumi yang didasarkan pada gaya tarik benda-benda angkasa, posisi, serta ketinggian dari permukaan laut, atau dengan kata lain digerakkan oleh gaya pembangkit pasang surut akibat gravitasi bulan dan matahari. 51
  • 52. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 7 0 0 8 0 0 9 0 0 1 0 0 0 - 4 0 0 - 3 0 0 - 2 0 0 - 1 0 0 0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 G e lo m b a n g P a s a n g S u r u t L a u t S t a s i u n C i la c a p 1 9 9 7 W a k t u P e n g u k u r a n D a l a m J a m AmplitudoGelombangDalamCm 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 -150 -100 -50 0 50 100 150 200 W aktu Pengukuran Dalam Jam AmplitudoGelombangDalamMikrogal Gelombang Pasang Surut Bumi Teoritik Stasiun Cilacap 1997 Gambar 2. Gelombang pasang surut laut dan pasang surut bumi Cilacap 52
  • 53. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     1 0 1 2 1 4 1 6 1 8 2 0 2 2 2 4 2 6 2 8 3 0 0 0 . 1 0 . 2 0 . 3 0 . 4 0 . 5 0 . 6 0 . 7 0 . 8 0 . 9 1 M 2 S 2 K 2 N 2 K 1 P 1 O 1 S p e k t ru m F F T D a t a P a s a n g S u ru t L a u t S t a s iu n C ila c a p 1 9 9 7 NormalisasiSpektrumAmplitudo P e rio d e s it a s D a la m J a m 1 0 1 2 1 4 1 6 1 8 2 0 2 2 2 4 2 6 2 8 3 0 0 0 . 2 0 . 4 0 . 6 0 . 8 1 M 2 S 2 K 2 N 2 K 1 P 1 O 1 S p e k t ru m F F T D a t a P a s a n g S u ru t B u m i T e o rit ik S t a s iu n C ila c a p 1 9 9 7 NormalisasiSpektrumAmplitudo 2 0 2 1 2 2 2 3 2 4 2 5 2 6 2 7 2 8 2 9 3 0 0 0 . 0 0 2 0 . 0 0 4 0 . 0 0 6 0 . 0 0 8 0 . 0 1 K 1 P 1 O 1 NormalisasiSpektrumAmplitudo P e rio d e s it a s D a la m J a m Gambar 3. Periodesitas pasang surut laut dan pasang surut bumi Cilacap 53
  • 54. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     SIMPULAN Berdasarkan analisis beda fase dan korelasi antara gejala alam pasang surut bumi dan pasang surut laut untuk lokasi stasiun Cilacap memperlihatkan bahwa kejadian pasang surut bumi mendahului pasang surut laut dengan beda fase 100 menit, sedangkan dari analisis periodesitas memiliki pola spektrum yang sama dimana komponen harmonik pasang surut variasi tengah harian lebih dominan daripada variasi harian. DAFTAR PUSTAKA Djaja, R., 1989, Pengamatan pasang surut laut untuk penentuan datum ketinggian, ( Asean Australia Cooperatif Programs on Marine Science Project I : Tides and Tidal Phenomena), LIPI dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Jakarta,149- 191. Longman, I.M., 1959, Formulas for computing the tidal accelerations due to the moon and the sun, JGR, Vol. 64 , 2351-2355. Pariwono, J.I., 1989, Gaya penggerak pasang surut ( Asean Australia Cooperatif Programs on Marine Science Project I : Tides and Tidal Phenomena), LIPI dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Jakarta ,13-22. Stacey, F.D.,1976, Physics of the earth, second edition, John Willey and Sons, New York . Sunarjo., 1988, Studi perbandingan pasang surut bumi secara teori dan pengamatan, Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Proceedings HAGI. Triatmodjo, B., 1999, Teknik pantai, Beta Offset, Yogyakarta. Wahid, A., 2007, Penentuan Komponen Pasang Surut Bumi pada Bidang Equator Bumi dengan Metode Broucke, Bulletin Penenlitian Dan Pengembangan , Alumni IAEUP, Vol:8, no: 1, Hlm 13-21 Wahid, A. 2008, Karakteristik pasang surut bumi dan pasang surut laut Stasiun Surabaya, Bulletin Penenlitian Dan Pengembangan , Alumni IAEUP, Vol:9, no: 1, Hlm 23-31. 54
  • 55. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     PENENTUAN BEBERAPA SIFAT OPTIK MINYAK KULIT BIJI JAMBU METE ASAL KABUPATEN BELU Zakarias Seba Ngara Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan teknik, Univesitas Nusa Cendana ABSTRACT Determination of absorption coefficient, refraction index and dielectric constant of CNSL from Belu regency has been done. The aim of this researching is to find its optic properties such as absorption coefficient, refraction index and dielectric constant of CNSL from Belu regency . Those optic properties can be determined from its absorption analysis. Its Absorption spectra has been obtained in researching that has been done by Ngara and Budiana in 2008. Based on its absorption spectra, CNSL from Belu has Absorption coefficient value is 410 m-1 . While the value of its refraction index and dielectric constant in complex is ix 6 1068,886,0   and ix 6 1054,174,0   , respectively. Keyword: CNSL, optic property, absorption coefficient, refraction index, dielectric constant Nusa tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu daerah penghasil jambu mete Di Indonesia. Di NTT, daerah penghasil jambu mete adalah Sumba Barat Daya, Sikka, Flores Timur, Kupang, Belu, dan Alor (Ngara & Budiana, 2008; Ngara, 2009). Tanaman jambu mete merupakan bahan organik. Pada saat ini, penelitian sifat-sifat kimia dan fisika bahan-bahan organik sebagai bahan aktif alternatif dalam piranti elektronika mengalami perkembangan pesat mengingat a) bahan- bahan organik harganya murah dan melimpah, b) Sifat-sifat kimia dan fisika material organik dapat dikarakterisasi dengan sintesis bahan organik yang tepat, c) Material organik dapat diatur (tuned) secara kimia untuk mengatur pemisahan celah energinya (Ngara, 2007), d) deposisi bahan organik di atas substrat tertentu dapat dilakukan dengan metoda evaporasi dan spin-coating (Ngara, 2006). Sifat-sifat optik material antara lain koefisien serapan, indeks bias, konstanta dielektrik, dan lain-lain. Koefisien serapan dan indeks bias suatu material dapat ditentukan dari spektrum serapan material yang diperoleh dari analisis spektrofotometer UV-VIS (Ngara, 2009). Sedangkan konstanta dielektrik diperoleh dari nilai indeks biasnya (Rachmantio, 2004; Ngara, 2010) Pada tahun 2008, Ngara & Budiana, dalam Penelitian Dosen Muda 55
  • 56. Jurnal MIPA FST UNDANA, Volume 10, Nomor 1A, April 2011     (PDM) telah berhasil menentukan celah energi chasew Nut Shield Liquid (CNSL) hasil ekstraksi dari kulit biji jambu mete asal Nusa Tenggara Timur (NTT). Berdasarkan hasil penelitian mereka, celah energi CNSL asal Alor, Belu, Kota Kupang, Sikka, dan Sumba Barat Daya (SBD) masing-masing adalah 3,02 eV, 3,22 eV, 3,1eV, 2,99 eV, dan 3,06 eV. Pada tahun 2009, Ngara, dkk telah berhasil melakukan isolasi CNSL asal Alor untuk mendapatkan senyawa kardanol. Penelitian mereka tersebut telah berhasil pula menentukan celah energi senyawa kardanol dan pemanfaatansenyawa kompleks kardanol sebagai bahan aktif pada sel surya organik. Indri amitiran, 2010, telah menentukan koefisien serapan serapan senyawa kardanol asal Alor dan Belu. Pada tahun 2009, Astri laka telah menentukan koefisien serapan dan indeks bias CNSL asal sumba timur. Pada 2009, Ngara telah menentukan koefisien serapan dan indeks bias CNSL asal sumba Barat Daya dan Sikka (Ngara, 2009). Pada tahun 2010, Ngara telah menentukan indeks bias dan konstanta dielektrik senyawa kardanol asal Alor. Koefisien serapan ini berkaitan dengan absorbansi dan indeks bias suatu material. Indeks bias suatu material diperoleh dari analisis spektrum serapannya. Dengan mengetahui nilai indeks bias suatu material, beberapa besaran fisika dapat ditentukan, antara lain konduktivitas listrik, permeativitas dan permeabilitas material, konstanta dielektrik, dan lain-lain (Rachmantio, 2004). Bahan organik yang dikaji ditentukan koefisien serapan dan indeks biasnya dalam tulisan ini adalah CNSL asal kabupaten Belu dan Kota Kupang. Penelitian ini mengkaji data-data sekunder artinya spektrum serapan CNSL sudah ada yang telah diperoleh dalam penelitian Dosen Muda yang dilakukan oleh Ngara dan Budiana pada tahun 2008. MATERI DAN METODE Jambu Mete Ditinjau dari aspek botani, tanaman jambu mete (anacardium occidentale L) termasuk dalam famili anacardiaceae dan Spesis Anacardium occidentale L (Muljoharjo, 1990) Produk utama jambu mete adalah biji dan buah mete. Kulit biji jambu mete jika diektraksi dengan pelarut organik, misalnya pelarut etanol (C2H5OH) akan menghasilkan CNSL. bentuk buah jambu mete ditunjukkan pada gambar 1. Kulit biji jambu mete terdiri atas lapisan epikarp, mesokarp dan endokarp yang beratnya kira-kira 40-50 % dari berat total buah mete glondong. Dalam lapisan mesokarp mengandung CNSL. Biji mete berwarna putih menyerupai 56