1. Dokumen tersebut merangkum singkat tentang kehidupan dan perjuangan Imam Husain as, cucu Nabi Muhammad saw.
2. Imam Husain as tumbuh dalam keluarga yang suci dan mendapat pendidikan langsung dari kakeknya Nabi Muhammad saw.
3. Beliau berjuang melawan kezaliman dan penyimpangan kepemimpinan Bani Umayyah hingga akhirnya syahid di Karbala dalam perjuangan merevolusi kepemimpinan
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
SEJARAH AL-HUSAIN DAN TRAGEDI KARBALA
1. 1
Bab I
I. Abstraksi Singkat Imam Husain as
Imam Abu Abdillah al-Husain, putra Ali bin Abu
Thalib as, yang gugur sebagai syahid di Karbala adalah Imam
ketiga dari rangkaian para Imam Ahlulbait setelah wafatnya
Rasulullah saw. Pemimpin pemuda surga ini—seperti
kesepakatan seluruh ahli hadis—adalah salah seorang dari dua
pribadi yang darinya keturunan Rasulullah saw berlanjut.
Beliaulah salah seorang dari empat orang yang diajak Nabi
Muhammad saw untuk ber-mubahalah dengan pemimpin
kaum Nasrani Najran. Beliaulah salah seorang dari lima orang
yang berada dalam selimut (al-Kisa’) Rasulullah. Allah telah
menjauhkan mereka dari segala bentuk kekotoran dan nista
serta mensucikan mereka dengan sesuci-sucinya. Beliaulah
salah seorang dari anggota keluarga Rasulullah saw. Allah
Swt telah memerintahkan kita untuk mencintainya. Imam
Husain adalah salah satu dari dua pusaka yang ditinggalkan
oleh Rasulullah saw, pusaka yang akan menyelamatkan
siapapun ang berpegang teguh kepada keduanya dan akan
tersesat bagi siapapun yang meninggalkan dan
mengabaikannya.
Al-Husain dan saudaranya al-Hasan as tumbuh
berkembang dalam asuhan ibu, ayah dan kakek yang suci dan
penuh berkah. Dia mendapatkan tauladan akhlak yang agung
dari sumber yang paling jernih yakni kakeknya, al-Musthafa
saw yang menyayanginya. Dalam keluarga itulah dia
mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang besar. Dia
mewarisi tingkah laku, hidayah, sifat dan keberanian dari
Rasulullah saw. Karena itulah beliau memiliki kesiapan
2. 2
sebagai pemimpin besar setelah ayahnya, Ali al-Murtadha dan
saudaranya Hasan al-Mujtaba.
Nabi Muhammad saw telah menjelaskan keimamahan
Al-Husain dalam beberapa kesempatan kepada kaum
muslimin. Di antara sabda beliau tentang kepemimpinannya
adalah sebagai berikut:
“Al-Hasan dan al-Husain adalah dua imam, baik
ketika berdiri (bangkit berjuang) atau duduk (berdamai).”
“Ya Allah sungguh aku mencintai keduanya, maka
cintailah siapa pun yang mencintai keduanya.”
Imam Husain berkepribadian mulia dan mewarisi
keutamaan para nabi sebagai pemimpin. Hirarki keturunannya
paling terhormat. Seluruh muslimin mendapati kepribadian
kakek, ayah dan ibunya dalam diri Imam Husain yang suci,
tulus, gagah berani dan dermawan. Setiap orang yang
mengenal beliau, niscaya teringat kepada kakek, ayah dan
ibunya. Karenanya umat Islam mencintai dan
mengagungkannya.
Kecuali keutamaan itu semua, Imam Husain menjadi
satu-satunya rujukan untuk menyelesaikan segala problema
dunia dan akhirat setelah ayah dan saudaranya syahid,
khususnya ketika umat berada dalam kesulitan karena ditindas
para tiran bar bar Bani Umayyah. Para tiran inilah yang
menghimpit dan menyengsarakan mereka. Kejahatan Bani
Umayyah tiada bandingnya.
Al-Husain sebagai satu-satunya wujud Islam yang
hidup telah berhasil menyelematkan umat Muhammad saw
khususnya, dan kemanusiaan pada umumnya dari virus
jahiliyah modern yang berbahaya.
Selama hidupnya, al-Husain menjelmakan kembali
kepribadian ayah dan kakaknya. Dia bersikap sama seperti
ayahnya (Ali al-Murtadha) dan dan saudaranya (Hasan al-
3. 3
Mujtaba) yang menjadi insan sempurna, risalah yang hidup,
pengejawantah keluhuran akhlak Nabi ketika bersabar
menanggung semua derita. Semua itu dilakukan karena Allah.
Al-Husain menolak kezaliman sebagai abdi-Nya.
Beliau memegang teguh kebenaran hingga menggelegarkan
revolusi melawan kebatilan. Beliau simbol kepahlawanan,
perjuangan di jalan Allah, wujud amar makruf dan nahi
mungkar, teladan sempurna sebagai pribadi yang selalu
mendahulukan kepentingan orang lain. Beliaulah wujud nyata
pengorbanan yang menghidupkan nilai-nilai tinggi ajaran
kakeknya, pemimpin para rasul. Oleh karena itu, Rasulullah
Muhammad saw bersabda, “Husain dariku dan aku dari
Husain.” Sabda ini berbanding lurus dengan ketinggian dan
keagungan kepribadian al-Husain sebab Rasulullah saw
sendirilah yang mendidiknya secara langsung.
Setelah kakeknya wafat, al-Husain dibimbing
Fathimah az-Zahra, penghulu para wanita dan ayahnya Ali al-
Murtadha, pemimpin kaum muslimin yang hidup pada era
semaraknya penyelewengan kepemimpinan umat;
kepemimpinan tanpa legalitas syariah. Pada era ini, Imam
Husain as dan kakaknya masih sangat muda usianya. Meski
dalam usianya yang muda, beliau memahami dengan
sempurna arti kesengsaraan dan musibah yang mereka alami.
Masa belianya dijalani pada masa kekhalifahan ke
dua, Umar bin Khattab. Beliau menarik diri untuk terlibat
langsung dalam kegiatan politik dan kekuasaan bersama
saudara dan ayahnya. Beliau lebih banyak menghabiskan hari-
harinya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat Islam
akan ajaran Islam yang murni karena beliaulah pewaris risalah
Nabi, seperti ayahnya Ali bin Abi Thalib as.
Pada masa kekhalifaan Utsman, Imam Husain
menginjak usia remaja. Beliau mengerahkan seluruh
4. 4
kemampuan demi Islam bersama ayahnya. Imam Husain dan
ayahnya adalah benteng pelindung umat dari kerusakan sosial
pada masa kepemimpinan Usman dan kroninya. Beliau tidak
pernah bertindak melebihi sikap ayahnya. Al-Husain menjadi
prajurit murni yang dikomando syariat seperti ketetapan
Rasulullah saw tentang kewenangan ayahnya Ali al-Murtadha
as.
Pada masa kepemimpinan Imam Ali as, Imam Husain
as selalu berada dalam barisan sang ayah yang memimpin
umat serta bertahan dan menghadang serangan musuh. Al-
Husain tidak mundur sejengkal pun ketika terjadi peperangan
Nakitsin, Qasitin dan Mariqin, meskipun ayahnya sangat ingin
dia dan saudaranya al-Hasan terus hidup agar keturunan
Rasulullah saw tidak terputus jika keduanya mati. Keduanya
selalu bersama Imam Ali bin Abu Thalib sampai sang ayah
menghembuskan nafas terakhir. Keduanya menghadapi hal
yang sama seperti ayahnya. Ali Bin Abu Thalib meneguk
cawan syahadah di salah satu rumah Allah, di Mihrab Masjid
Kufah, Irak. Kematian ayah Imam Husain terjadi pada waktu
yang paling istimewa; ketika beribadah dan bermunajat
kepada Allah, Pemilik Ka’bah. Ketika kepalanya tertetak
pedang, Ali bin Abu Thalib as tersungkur sambil berteriak,
“Fuztu Wa rabbil ka’bah (Demi Pemilik Ka’bah, aku telah
meraih kemenangan).”
Setelah itu beliau bergabung dan menyatakan baiat
kepada kakaknya, Hasan al-Mujtaba as, sebagaimana kaum
muslimin di Kufah, dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta
orang-orang yang mengikutinya. Imam Husain as tidak
pernah mendahului atau bertindak tanpa izin saudaranya. Hal
ini disebabkan Imam Hasan as telah ditunjuk sebagai
pemimpin oleh ayah dan kakeknya. Al-Husain tetap
mendukung secara total kepemimpinan kakaknya meski
5. 5
Muawiyah melancarkan berbagai siasat licik serta adu domba
untuk menjatuhkan Imam Hasan dan memporakporandakan
kepemimpinan dan pemerintahannya.
Al-Husain sangat memahami strategi dan pencapaian
saudaranya dengan sempurna. Imam Husain as memahami
situasi dan kondisi umat Islam setelah ayahnya syahid. Pada
saat itu berbagai rekayasa dan tipu daya Muawiyah menjadi
penyebab banyaknya umat Islam awam mati. Masyarakat
yang menjadi korban itu kebanyakan dari Kufah, pusat
kekhalifahan Islam. Propaganda dan fitnah yang ditebar
Muawiyah banyak menjadikan kalangan muslimin meragukan
kebenaran Imam Ali dan kebijakan-kebijakan yang
diambilnya.
Imam Hasan as dengan segala kepiawaian politiknya,
keberanian dan kehebatan retorikanya, tidak juga menjadikan
rakyat sadar atas tipuan, kepalsuan dengan dalih perdamaian
yang dilakukan Muawiyah dan antek-anteknya. Tujuan
Muawiyah menebar propaganda tersebut adalah untuk
merampas kepemimpinan dengan harga murah. Semua itu
memaksa Imam Hasan as untuk menerima tawaran
perdamaian yang diajukan oleh Muawiyah, setelah semua
strategi politik beliau terapkan.
Akal sehat tak lagi dikehendaki. Seorang pemimpin
pilihan Nabi saw diragukan keabsahannya. Masyarakat Islam
secara umum tidak berkenan menerima pemimpin Ilahiah.
Kondisi politik seperti ini memaksa Imam Hasan as
melepaskan kursi khilafah, setelah menyepakati perjanjian
damai dengan Muawiyah. Namun Imam Hasan as tidak
pernah melegalkan kepemimpinan Muawiyah.
Terbukti syarat-syarat damai yang telah disepakati,
semuanya dilanggar oleh Muawiyah. Kebusukan Muawiyah
6. 6
dan kepemimpinan Bani Umayyah telah terbukti ketika
berkuasa.
Setelah melewati perjuangan yang sulit, termasuk
menghadapi berbagai gangguan dan intimidasi segenap
musuh dan pengkhianatan dari orang-orang terdekatnya,
Imam Hasan as akhirnya berhasil menguak realitas
kepemimpinan Bani Umayyah yang menampilkan kembali
masa jahiliyah dengan memakai baju Islam. Slogan
perdamaian Muawiyah menjadikan mayoritas muslimin lupa
diri. Strategi Muawiyah yang mengaku sebagai klan suku
Quraisy, suku Rasulullah saw, menjadikan kaum muslimin
lupa bahwa sebenarnya keluarga Abu Sufyan telah merampas
tahta suci kepemimpinan atas nama Rasulullah. Padahal
mereka adalah orang-orang yang memerangi Rasulullah dan
Islam.
Dengan menandatangani perjanjian damai tersebut,
berarti Imam Hasan telah mempersiapkan masyarakat untuk
bangkit melawan kepemimpinan barbar Bani Umayyah yang
mengenakan simbol Islam.
Muawiyah telah melanggar semua pasal perjanjian
tersebut, temasuk di dalamnya keharusan untuk tidak
mengganggu dan mengintimidasi para pengikut serta pecinta
Ahlulbayt dan tidak mengangkat pemimpin setelahnya.
Pasal perjanjian tersebut membuat Muawiyah
kehabisan akal dan strategi. Dia menempuh jalan pintas
dengan meracun Imam Hasan as untuk dapat mewariskan
kepemimpinan kepada anaknya, Yazid yang fasik. Namun
Muawiyah tidak menyadari akibat pelanggaran dan konspirasi
busuknya. Meski lama berselang, setelah dua periode
kepemimpinan Bani Umayyah, akhirnya kaum muslimin
mengetahui kebobrokan dan tindakan barbar yang
dilakukannya.
7. 7
Melihat kenyataan tersebut, masyarakat Syiah
perlahan memiliki semangat bangkit melawan rezim yang
sedang berkuasa. Hari demi hari semangat tersebut semakin
kokoh hingga mencapai puncaknya ketika Muawiyah
menemui ajal setelah menobatkan Yazid sebagai khalifah.
Yazid adalah seorang fasik yang terang-terangan
melanggar dan melecehkan aturan-aturan agama. Lelaki inilah
yang memaksa para pemuka sahabat dan tabiin untuk
membaiatnya. Si fasik ini sangat mengutamakan baiat Imam
Husain as, imam kaum muslimin, figur yang menolak segala
bentuk kompromi dan kezaliman.
Muawiyah berkuasa selama hampir dua puluh tahun.
Selama itu pula dia mengumbar kekejian tak
berprikemanusiaan. Dia menindas, membunuh, dan menipu.
Tindakannya ini membuka tabir kepalsuan dirinya.
Akhirnya tidak sedikit masyarakat yang sadar dan
terjaga dari tidur panjangnya. Mereka mulai yakin bahwa
langkah-langkah Ahlulbait as benar. Namun mereka tidak
memiliki keberanian untuk bangkit melawan kezaliman yang
mereka rasakan.
Farazdaq, seorang penyair terkenal saat itu berkata
kepada Imam Husain as yang menuju Irak untuk memenuhi
panggilan rakyat di sana, “Hati-hati dengan mereka yang
mengundangmu namun pedang-pedang mereka terhunus
untukmu.”
Imam Husain as merasa kewajiban syar‘i di
pundaknya harus ditunaikan. Beliau harus bangkit dan
melakukan revolusi. Surat-surat undangan rakyat Kufah
kepada Imam Husain as berisi berita kesediaan mereka
dipimpin oleh beliau. Bukan hanya itu, mereka juga memberi
tahu bahwa antek-antek Muawiyah telah diusir dari kota itu.
Mereka meyakinkan bahwa kota itu telah dihuni masyarakat
8. 8
yang menyadari kebobrokan pemerintahan Muawiyah dan
anaknya Yazid.
Situasi dan kondisi pada zaman Imam Husain as
sangat berbeda dengan zaman kepemimpinan Imam Hasan as.
Pada zaman Imam Hasan as masyarakat berada dalam
kubangan kebodohan. Mereka tidak sadar akan kebejatan
Muawiyah. Pada masa itu revolusi tidak akan efektif.
Imam Husain as menerima ajakan rakyat Kufah.
Secara bulat, Imam Husain as telah mengambil keputusan
untuk bangkit dan melakukan revolusi. Keputusan ini tetap
beliau jalankan meskipun beliau tahu dan sadar bahwa rakyat
Kufah tidak akan mampu untuk setia kepada janji mereka
sendiri. Semangat rakyat Kufah akan dikalahkan oleh rayuan,
teror, intimidasi rezim yang berkuasa. Namun, Imam Husain
as tetap harus melakukan perubahan karena beliau harus
mengobati penyakit baru yang menjangkiti muslimin waktu
itu. Jika keputusan itu tidak beliau ambil, maka ajaran Islam
akan lenyap dan sistem kepemimpinan Islam akan berubah
menjadi sistem kerajaan atau kekaisaran. Imam Husain as
menjalankan keputusannya untuk menunjukkan bahwa
kepemimpinan Yazid dan kroninya adalah ilegal. Tindakan
beliau telah membuka mata dunia bahwa kepemimpinan Bani
Umayyah telah menghidupkan kembali budaya jahiliyah
berkedok Islam. Akhirnya semua tahu, merekalah yang telah
berusaha sekuat tenaga untuk menghancurkan Islam.
Setelah semua syarat untuk bangkit melawan
kezaliman telah terkumpul dan hasil-hasil serta tujuan yang
akan diraihnya telah diperhitungkan secara sempurna dengan
segala kemampuan, maka Imam Husain as merevolusi pola
pikir dan budaya umat Islam. Sejarah mencatat konsep dan
terapan revolusi beliau yang abadi.
9. 9
Hati yang telah sekarat bahkan mati dihidupkan
kembali oleh Imam Husain as. Sisi kemanusiaan yang sejak
lama ditinggal oleh masyarakat telah tampil kembali karena
misi Imam Husain as. Beliau telah membumikan pandangan
dunia tauhid. Penolakan kepada penguasa tiran telah
dikumandangkan oleh beliau. Jargon-jargon tipuan dan tabir
kepalsuan telah disingkapnya. Inilah tugas keagamaan yang
disandangkan kepada beliau, jejak yang harus ditapaki oleh
setiap generasi sepanjang masa.
Para tiran tidak mampu mereduksi nilai-nilai revolusi
Imam Husain as. Mereka tak kuasa menghentikan dan
memadamkan semangat revolusioner para pencinta al-Husain
as sepanjang masa. Revolusi beliau telah menjadi mercusuar
risalah bagi seluruh umat dan menjadi tolok ukur penilaian
seluruh rezim dan penguasa. Salam sejahtera baginya sang
penyongsong syahadah.
II. Sebuah Memoar Sejarah
Catatan dalam al-Quran
Tidak pernah ada kesepakatan pendapat di kalangan
muslimin seperti kesepakatan mereka tentang keutamaan
Ahlulbait as. Allah Swt telah menitahkan agar manusia
mencontoh ketinggian ilmu, spiritualitas dan sifat-sifat
kesempurnaan Ahlulbait as. Kesepakatan ini diambil karena
ayat-ayat al-Quran dengan jelas memaktubkan hal itu. Al-
Quran menjelaskan bahwa mereka disucikan dari berbagai
noda dan dosa serta mewajibkan untuk mencintai mereka
sebagai upah risalah yang diminta Allah Swt dari semua
manusia. Al-Quran menyebut bahwa merekalah hamba-
hamba Allah yang baik, tulus dalam ketaatan kepada Allah,
10. 10
takut akan siksa-Nya. Karenanya, Allah menjamin surga dan
keselamatan dari siksa neraka bagi mereka.
Imam Husain as adalah Ahlulbait yang telah disucikan
dari noda dan dosa. Bahkan beliau adalah putra Rasulullah
sesuai dengan ayat mubahalah yang mengisahkan rencana
Rasulullah melakukan mubahalah dengan para pendeta
Najran. Dalam ayat tersebut Allah Swt berfirman, Siapapun
yang membantahmu tentang kisah Isa setelah ilmu (yang
meyakinkanmu), maka katakanlah (kepada mereka), "Marilah
kita menyertakan anak-anak kami dan anak-anakmu, istri-
istri kami dan istri-istrimu, diri kami dan dirimu, kemudian
marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta agar
laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang (di antara kita)
yang dusta”.
Kesepakatan para ahli hadis yang diriwayatkan
melalui banyak jalur dan mutawatir bahwa ayat di atas turun
untuk Ahlulbait, yaitu Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan
Husain. Para ahli hadits pun menjelaskan pula bahwa yang
dimaksud dengan kata “anak” (abna’) adalah Hasan dan
Husain.
Kisah itu memberikan keterangan yang jelas bahwa
mereka adalah sebaik-baik manusia yang ada di muka bumi.
Karenanya Nabi Muhammad saw melakukan mubahalah
dengan menyertakan mereka, seperti pengakuan pendeta
Najran yang berkata, “Aku melihat wajah-wajah yang jika
seseorang memohon kepada Allah demi mereka untuk
11. 11
memindahkan gunung, maka pasti Allah pindahkan gunung
itu.”1
Ayat dan kisah tersebut menunjukkan dengan jelas
akan ketinggian kedudukan, keutamaan mereka serta
kecintaan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka. Bahkan ayat
dan kisah tersebut ingin menjelaskan bahwa tidak ada
seorangpun yang mampu menandingi mereka.
Al-Quran tidak pernah menisbahkan kemaksuman
kepada selain para nabi, kecuali kepada Ahlulbait as, seperti
kehendak Allah bahwa mereka disucikan dan dijauhkan dari
berbagai noda dan nista, seperti penegasan Allah Swt dalam
al-Quran, Sesungguhnya Allah berketetapan menghilangkan
dosa dari kalian wahai Ahlulbayt, dan mensucikan kalian
sesuci-sucinya (QS. Al-Ahzab : 33).
Meski kaum muslimin berselisih pendapat tentang
siapa saja yang dimaksud Ahlulbayt itu dan mempertanyakan
apakah para istri Nabi juga termasuk Ahlulbait, namun
mereka tidak pernah berselisih bahwa Ali, Fathimah, Hasan
dan Husain adalah orang-orang yang dimaksud oleh ayat
mulia tersebut.2
Dari sinilah kita bisa memahami rahasia kewajiban
untuk mencintai dan mengikuti langkah-langkah mereka serta
1
Kitâb Nûrul Abshâr; hal. 100 dan beberapa kitab tafsir: Al-Jalâlain,
Rûhul Bayân, Al-Kasysyâf, Al Baydhawi dan Ar- Râzi. Beberapa kitab
hadis juga menyebutnya: Shahîh Tirmidzi, juz 2 hal. 166, Sunanul
Baihaqi, juz 7 hal. 63, Shahîh Muslim, Musnad Ahmad, juz 1 hal. 85,
Mashâbihus Sunnah, juz 2 hal. 201.
2
Fakhrur Razi, Tafsîrul Kabîr. Tafsîr Naisaburi. Shahîh Muslim, juz 2,
hal. 33. Khashâishun Nasâi; hal .4. Musnad Ahmad; juz 4 hal. 107.
Sunanul Baihaqi; juz 2 hal. 150. Musykilul Âtsar; juz 1, hal. 334.
Mustadrakush Shahîhain, juz 2 hal. 416. Usdul Ghabah; juz 5 hal. 521.
12. 12
keharusan mencintai mereka lebih dari yang lain sebagaimana
disebutkan di dalam beberapa ayat al-Quran yang mulia.
Kesucian dan keterpeliharaan Ahlulbait dari kesalahan
dan dosa adalah bukti yang kuat, bahwa mengikuti mereka
meniscayakan keselamatan ketika dihadapkan kepada banyak
pilihan dan beragam ajakan hawa nafsu. Jika seseorang yang
telah dijamin selamat dari kesalahan, maka pastilah dia akan
selamat dan pengikutnya pun akan selamat.
Nabi Muhammad saw menjelaskan dalam sebuah
hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa ayat tentang
kewajiban mencintai keluarga Nabi, Katakanlah (wahai
Muhammad), “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu apapun
atas seruanku, kecuali kasih sayang terhadap keluargaku"
(QS. Asy-Syura: 23). Ketika ayat ini turun, sebagian sahabat
bertanya kepada beliau tentang siapakah yang dimaksud oleh
ayat tersebut sehingga kaum muslimin wajib mencintainya.
Beliau bersabda, “Mereka adalah Ali, Fathimah dan kedua
putranya.”3
Dalam ayat lain, yaitu surah Saba’, Allah Swt
3
Ayat tersebut dikenal dengan sebutan “ayat Mawaddah.” Jabir bin
Abdullah meriwayatkan bahwa ada seorang Arab dari desa menjumpai
Nabi Muhammad saw. Dia meminta Nabi untuk menjelaskan tentang
Islam. Nabi Muhammad menegaskan kepadanya, “Hendaknya engkau
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu
(bagi-Nya) dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-
Nya.” Kemudian orang itu bertanya kembali kepada Nabi, “Apakah karena
hal ini engkau meminta upah (seperti yang ditegaskan ayat Mawaddah)?”
Nabi menegaskan, “Tidak. Kecuali (upah itu adalah) kasih sayang kepada
keluarga.” Orang itu bertanya lagi, “Kepada keluargaku atau
keluargamu?” Nabi menegaskan, “Keluargaku.” Orang itu menimpali,
“Baiklah. Sejak saat ini aku mengikutimu. Bagi orang yang tidak
mencintaimu dan keluargamu, semoga laknat Allah ditimpakan
13. 13
berfirman, Apa yang aku minta dari kalian sebagai upah itu
adalah untuk (kemaslahatan) kalian.
Al-Quran menjelaskan kepada kita sebab-sebab
mengapa Allah menganugerahkan keutamaan begitu tinggi
kepada mereka, seperti disebutkan di dalam surah ad- Dahr
atau al-Insan yang turun sebagai penjelas keagungan diri dan
ketulusan mereka dalam ketaatan dan bakti. Sesuai dengan
firman-Nya, Sesungguhnya kami memberi makanan
kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah,
kami tidak mengharapkan balasan dari kamu dan tidak pula
(ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan azab
suatu hari yang pedih, penuh kesulitan dari Tuhan kami.
Maka Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan
memberikan kepada mereka kejernihan dan kebahagiaan hati.
Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran
mereka (dengan) surga dan sutera (QS. Al-Insan : 9-12).
Para ahli tafsir dan hadis meriwayatkan bahwa ayat
tersebut turun setelah Hasan dan Husain sakit. Imam Ali as
bernazar puasa tiga hari sebagai rasa syukur kepada Allah jika
keduanya sembuh. Setelah keduanya sembuh, maka Imam Ali
as memenuhi nazarnya. Penunaian nazar yang indah, Imam
Ali as menunjukkan sikap mendahulukan orang lain dari diri
sendiri. Karena sikap Imam Ali as inilah, Allah memujinya
dengan firman-Nya, Sesungguhnya orang-orang yang
berbuat kebajikan minum dari gelas yang campurannya
adalah air Kafur,4
yaitu mata air yang darinya hamba-hamba
Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan
kepadanya.” Nabi menjawab, “Amin.” (At-Turmudzi; Fadhâil al-
Khamsah)—penyunting.
4
Kafur adalah nama satu mata air di surga yang airnya putih beraroma
harum dengan rasa yang sangat lezat.
14. 14
sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar dan takut akan
suatu hari yang azabnya merata di mana-mana (QS. Al-Insan
: 5-7). Allah berterimakasih kepada mereka dengan apa yang
diberikan kepada mereka di akhirat kelak. Bukan hanya itu
Allah menjadikan mereka di dunia ini sebagai pemimpin
kaum muslimin.
Catatan dalam Hadis Nabi
Rasulullah Muhammad saw yang agung menyifati
kedua cucunya, Hasan dan Husain dengan berbagai
keistimewaan yang menjelaskan kepada kita betapa mulia
ketinggian kedudukan keduanya. Di antaranya sebagai
berikut:
“Dua buah hati kebahagiaanku di antara umat dan dunia ini.”5
“(Al-Hasan dan al-Husain) sebaik-baik penduduk bumi.”6
“Dua pemimpin pemuda Surga.”7
“Dua pemimpin baik berdiri (bangkit berjuang) atau duduk
(berdamai).”8
“Keduanya dari Ahlulbait yang tidak akan berpisah dengan al-
Quran hingga hari kiamat dan umat tidak akan tersesat dengan
berpegang teguh kepada keduanya.”9
“Keduanya adalah Ahlulbait, seperti bahtera yang akan
menyelamatkan siapapun yang menaikinya.”10
5
Shahîh Bukhari, juz 2 hal. 188. Sunanut Tirmidzi, hal. 539.
6
‘Uyûn Akhbârir Ridhâ, juz 2 hal. 62
7
Sunan Ibnu Majah, juz 1 hal. 56. Sunan At-Tirmidzi; hal. 539.
8
Syahr Ibn Asyub, Al-Manâqib, menukil dari Musnad Ahmad, Jâmi’ At-
Tirmidzi, Ibnu Majah, dll.
9
Jâmi’ At-Tirmidzi, hal. 541. Mustadrak Hâkim; juz 3 hal. 109.
15. 15
“Keduanya adalah Ahlulbait, laksana bintang-bintang yang
akan menjadi penyelamat penduduk bumi dari kesesatan dan
perselisihan.”11
Keduanya disebut dalam hadits yang diriwayatkan melalui
banyak jalur para sahabat; “Ya Allah Engkau tahu bahwa aku
mencintai keduanya, maka cintailah siapa yang mencintai
keduanya.”12
Pengakuan Orang-Orang yang Sezaman dengan
Imam Husain
Umar bin Khattab
Khalifah Umar bin Khattab berkata kepada beliau,
“Sungguh yang menyebabkan tumbuhnya (uban) yang Anda
lihat di atas kepala kami adalah Allah, kemudian Anda.”13
Utsman bin Affan
Khalifah Utsman bin Affan berkata tentang Imam
Hasan dan Imam Husain serta Abdullah bin Ja’far bin Abu
Thalib, “Mereka telah mengumpulkan ilmu semua orang ke
dalam diri mereka dan mereka telah meraih kebaikan dan
hikmah.”14
Abu Hurairah
10
Hilyatul Auliyâ’, juz 4 hal. 306.
11
Mustadrak Hâkim, juz 3 hal. 149.
12
Khashâishun Nasâ i. hal. 26.
13
Al-Ishâbah, juz 1 hal. 323.
14
Al-Khishâl, hal. 136.
16. 16
Abu Hurairah mencatat sejumlah riwayat:
1. Suatu hari Abdullah bin Abbas memegang tali
kendali unta yang ditunggangi Imam Hasan dan Imam
Husain. Karena tindakannya ini banyak orang yang
menyalahkannya. Alasan mereka adalah keduanya lebih muda
darinya. Abdullah bin Abbas menimpali mereka, “Sungguh
keduanya adalah putra Rasulullah saw. Bukankah sebuah
kebahagiaan bagiku melakukan hal ini.”15
2. Ketika Imam Hasan wafat, Muawiyah berkata
kepada Ibnu Abbas, “Anda telah menjadi pemimpin kaum
Anda.” Ibnu Abbas menjawab, “Tidak! Karena Allah telah
mempersiapkan Abu Abdillah al-Husain.”16
3. Ketika Anas bin Malik melihat Imam Husain, dia
berkata, “Sungguh beliau paling mirip dengan Rasulullah
saw.”17
Zaid bin Arqam
Zaid bin Arqam berkata kepada Ibnu Ziyad ketika
menyodok-nyodok bibir Imam Husain dengan tongkatnya,
“Jauhkan dari dia tongkat itu! Sungguh aku berkali-kali
melihat bibir Rasulullah saw mencium bibirnya.” Kemudian
dia menangis.
Ibnu Ziyad berkata, “Semoga Allah menjadikan kedua
matamu terus menangis. Demi Allah sekiranya kamu bukan
orang tua renta, maka pasti aku akan menebas batang
lehermu.”
15
Tarîkh Ibnu Asâkir, juz 4 hal. 322.
16
Al-Qurasyi, Imâm Husain, juz 2 hal. 500.
17
A’yânusy Syî'ah, juz 1 hal. 536.
17. 17
Zaid bin Arqam keluar dari ruangan Ibnu Ziyad sambil
berkata, “Wahai bangsa Arab kalian telah menjadi hamba-
hamba sahaya sejak hari ini. Kalian membunuh al-Husain,
putra Fathimah, dan kalian mengangkat Ibnu Marjanah
sebagai pemimpin kalian. Dia telah membunuh orang-orang
baik di antara kalian dan membiarkan hidup orang-orang jahat
di antara kalian.”18
Abu Barzah al-Aslami
Abu Barzah al-Aslami berkata kepada Yazid ketika
memukul-mukul gigi al-Husain, “Bagaimana bisa engkau
menari-narikan tongkatmu dan engkau pukulkan ke gigi mulia
al-Husain? Bukankah engkau akan datang pada hari kiamat
dengan didampingi Ibnu Ziyad! Sedangkan pada hari itu al-
Husain akan didampingi Muhammad saw.”19
Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib
Muawiyah berkata kepada Abdullah bin Ja’far bin
Abu Thalib, “Engkau adalah peghulu Bani Hasyim?”
Abdullah menjawab, “Penghulu Bani Hasyim adalah Hasan
dan Husain.”20
Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib menulis surat
kepada Imam Husain as, “Jika Anda meninggal, maka
18
Usdul Ghabah, juz 2 hal. 21.
19
Al-Hasan dan Al-Husain cucu Rasulullah, hal 197.
20
Kâmil Sulaiman, Al-Hasan bin Alî, hal. 173.
18. 18
padamlah cahaya Islam, karena Andalah mercusuar para
pencari hidayah dan harapan kaum mukminin.”21
Abdullah bin Umar
Abdullah bin Umar ditanya oleh seseorang tentang
baju yang terkena darah nyamuk, “Apakah boleh melakukan
shalat dengan baju tersebut?”
Abdullah balik bertanya, “Darimanakah Anda?”
Dia menjawab, “Dari Irak.”
Abdullah berkata kepada para hadirin, “Saksikanlah
orang ini! Dia bertanya tentang darah nyamuk, sedangkan
mereka telah membunuh putra Rasulullah! Padahal aku
mendengar Rasulullah saw besabda, ‘Keduanya (Hasan dan
Husain) adalah dua buah hati yang aku senangi dari dunia.’”22
Muhammad ibnu Hanafiah
Muhammad ibnu Hanafiah berkata, “Sesungguhnya
al-Husain paling alim, paling pemaaf dan paling dekat dengan
Rasulullah di antara kami. Dia seorang fakih dan Imam.” 23
Amr bin Ash
Ketika Amr bin Ash duduk di sebelah Ka’bah, al-
Husain lewat di depannya. Saat itulah Amr bin Ash berkata,
“Inilah orang yang paling dicintai di bumi oleh penduduk
bumi dan penduduk langit.”24
21
Al-Bidâyah Wan Nihâyah, juz 8 hal. 167.
22
Tarîkh Ibnu Asâkir, juz 4 hal. 314.
23
Bihârul Anwâr, juz 10 hal. 140.
24
Tarîkh Ibnu Asâkir; juz 4 hal. 322.
19. 19
Kemudian Amr bin Ash berkata, “Siapapun yang ingin
melihat orang yang paling dicintai di bumi oleh penduduk
langit, maka lihatlah orang yang sedang lewat ini.”25
Muawiyah bin Yazid
Ketika Yazid menyuruh anaknya menyebutkan sifat-
sifat tercela al-Husain untuk ditulis dalam surat balasan yang
akan dikirimkan kepadanya, Muawiyah bin Yazid berkata,
“Aku berusaha untuk menyebutkan hal itu, tapi demi Allah
aku tidak mendapatkannya dari diri al-Husain.”26
Al-Walid bin Utbah bin Abi Sufyan
Setelah Marwan bin Hakam memerintah untuk
membunuh al-Husain karena menolak untuk berbaiat, al-
Walid bin Utbah bin Abi Sufyan (walikota Madinah) berkata,
“Demi Allah, wahai Marwan, aku tidak akan membunuh al-
Husain walaupun aku mendapat imbalan dunia dan isinya.
Maha suci Allah, bagaimana aku akan membunuhnya ketika
dia menolak untuk berbaiat? Sungguh orang yang membunuh
al-Husain akan ringan timbangan amal baiknya kelak pada
hari kiamat.”27
Qais bin Mashar As-Shaidawi
Setelah menangkap Qais bin Mashar as-Shaidawi,
delegasi al-Husain untuk penduduk Kufah, Ibnu Ziyad
menyuruhnya naik ke mimbar untuk mencaci-maki al-Husain
25
Bihârul Anwâr; juz 10 hal. 83.
26
A’yânusy Syî'ah, juz 1 hal. 583.
27
Al-Bidâyah Wan Nihâyah, juz 8 hal. 148.
20. 20
dan ayahnya. Maka Qais bin Mashar pun naik ke mimbar,
setelah memuji Allah dan Rasulullah dia berkata, “Wahai
manusia, sungguh al-Husain putra Ali adalah sebaik-baik
makhluk Allah. Dia adalah putra Fathimah putri Rasulullah
saw. Aku adalah orang yang beliau utus untuk kalian. Aku
berpisah dengan beliau di kawasan Hajir Dzir Rummah.
Sambutlah kedatangannya! Dengarkan dan patuhilah
sabdanya!” Kemudian Qais bin Mashar As-Shaidawi
mengutuk Ubaidillah bin Ziyad dan ayahnya serta berdoa
untuk Imam Ali dan Imam Husain. Ibnu Ziyad memerintah
beberapa algo untuk menyeretnya dari mimbar menuju
menara istana, kemudian Qais bin Mashar As-Shaydawy
diterjunbebaskan hidup-hidup hingga terhempas ke tanah.28
Yazid bin Mas’ud An Nahasyli
Yazid bin Mas’ud an-Nahasili di sela-sela khotbahnya
berkata, “Inilah Husain bin Ali putra Rasulullah, pemilik
kemuliaan sejati dan gagasan cemerlang. Keutamaannya tak
dapat diungkapkan dengan kata-kata. Ilmunya tak ada
hentinya. Dia lebih berhak untuk memimpin dari selainnya
karena usianya, kedekatannya dengan Rasulullah saw dan
lebih lama hidup bersama Rasulullah dari pada lainnya. Dia
menyayangi yang lebih muda, menghormati yang lebih tua,
maka seluruh rakyat menjadi mulia karenanya. Nasihat
menjadi efektif karenanya dan dia adalah imam dan hujjah
Allah yang sempurna.” 29
28
Ibid, juz 18 hal. 168.
29
A’yânusy Syî'ah, juz 1 hal. 590.
21. 21
Abdullah bin Hurr al-Ju’fi
Abdullah bin Hurr al-Ju’fi berkata, “Aku tidak pernah
melihat orang yang lebih baik dan lebih sejuk dipandang mata
dari al-Husain.”30
Ibrahim an-Nakh’iy
Ibrahim an-Nakh’iy berkata, “Seandainya aku berada
di dalam barisan yang memerangi al-Husain, meskipun kelak
aku masuk surga, pasti malu menampakkan wajahku di
hadapan Rasulullah saw.”31
Pengakuan Generasi Sepanjang Sejarah
Ar-Rabi’ bin Haitsam.
Ar-Rabi’ bin Haitsam berkata kepada sebagian orang
yang menyaksikan pembunuhan al-Husain as, “Demi Allah
kalian telah membunuh seorang suci. Seandainya Rasulullah
masih hidup bersamanya, maka pasti beliau mencium dan
mendudukkan dia di pangkuannya.”32
Ibnu Sirin
Ibnu Sirin berkata, “Langit tidak pernah menangisi
seseorang setelah mangkatnya Nabi Zakaria bin Yahya,
kecuali al-Husain as. Ketika beliau terbunuh, langit
menghitam, bintang-bintang bermunculan pada siang hari,
pucat menampakkan duka mendalam.”33
Ali Jalal al-Husaini
30
Ibid, juz 4 hal. 118.
31
Al-Ishâbah, juz 1 hal. 335.
32
Bihârul Anwâr, juz 10 hal. 79.
33
Tarîkh Ibnu Asâkir, juz 4 hal. 339.
22. 22
Ali Jalal al-Husaini berkata, “Abu Abdillah al-Husain
as adalah pemimpin suci, putra dari putri Rasulullah saw dan
buah hati beliau, putra Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib.
Dia memiliki kemuliaan naungan kenabian. Dialah pemilik
nasab dan kepribadian paling terhormat. Di dalam dirinya
telah terkumpul seluruh keutamaan, sifat-sifat mulia dan
seluruh amal baik. Dialah pemilik cita-cita tertinggi. Dialah
simbol puncak keberanian dan kedermawanan. Dialah pemilik
rahasia-rahasia ilmu dan kefasihan lidah. Dialah yang telah
berjuang demi kebenaran, mencegah kemungkaran, melawan
kezaliman. Dialah yang memiliki kerendahhatian, kemuliaan,
keadilan, kesabaran. Dia pemaaf. Dialah yang memiliki harga
diri dan wara’.
Putra Ali ini memiliki keistimewaan dan fitrah yang
lurus, paras yang tampan, akal yang cemerlang dan tubuh
yang kuat. Lebih dari itu semua keutamaan itu, beliau banyak
beribadah, seperti shalat, haji, derma dan berjihad di jalan
Allah. Pada saat beliau di Madinah atau di tempat lain, ilmu
selalu ditebarkannya, bimbingan selalu diberikan kepada
orang lain, akhlak orang lain dibenahi dengan kemuliaan
akhlaknya. Dialah pendidik umat dengan kefasihan tutur
katanya. Dialah yang mendermakan hartanya dan rendah hati
kepada para fakir. Dia mulia di hadapan para penguasa. Dia
penyambung tali silaturrahmi dengan memberikan sedekah
kepada para yatim dan orang miskin. Dialah yang berpihak
kepada orang-orang teraniaya. Dialah yang selalu sibuk
dengan ibadah dan menunaikan ibadah haji dengan berjalan
kaki dari Madinah ke Mekkah sebanyak dua puluh lima kali.
Al-Husain adalah mercusuar hidayah pada zamannya
dan cahaya seluruh penduduk bumi. Sejarah kehidupannya
adalah pelita bagi orang yang menginginkan petunjuk dan
23. 23
bimbingannya, bagi mereka yang berniat menapaki jejak dan
keutamaannya.”34
Muhammad Ridha al-Misri
Muhammad Ridha al-Misri berkata, “Dialah putra dari
putri Rasulullah, panji para pendamba hidayah dan harapan
para mukminin.”35
Umar Ridha Kahalah
Umar Ridha Kahalah berkata, “Husain bin Ali adalah
penghulu penduduk Irak baik dalam bidang keilmuan (fikih),
spritual, kedermawanan dan pengorbanan.”36
Abdullah al-Alayili
Abdullah al-Alayili berkata, “Sungguh al-Husain telah
menorehkan sejarah. Dia adalah cermin dari kekek agungnya
yang telah memancarkan sinar kecintaan. Sempurnalah
cermin itu karena menjadi nyata. Karena itu derajatnya
mencuat dari fase manusia ke wilayah kenabian, kemudian
kembali dari kenabian menjelma kembali kepada derajat
manusia.37
Sejahteralah dia pada saat dilahirkan.” 38
Umar Abu Nashr
34
Kitâbul Husain as, juz 1 hal 6. Majma’uz zawâid, juz 9 hal. 201. Bihârul
Anwâr, juz 44 hal. 193.
35
Al-Hasan wa al-Husain Sibtha Rasulullâh, hal. 75.
36
A’lâmun Nisâ’; juz 1 hal. 28.
37
Ucapan ini adalah perluasan atau pengejawantahan makna dari sabda
Rasulullah Muhammad saw, “Husain dari aku dan aku dari Husain.”—
Penyunting.
38
Tarîkhul Husain; hal. 226.
24. 24
Umar Abu Nashr berkata, “Inilah kisah keluarga
Quraisy yang mengibarkan panji pengorbanan, kepahlawanan
dan syahadah dari bumi Timur hingga Barat. Sejarah mereka
dirajut oleh pemuda-pemuda yang menjalani hidup berbeda
dengan kebanyakan orang. Kematiannya tidak seperti
kebanyakan orang. Hal itu karena Allah telah memuliakan
mereka di antara makhluknya dengan kenabian, wahyu dan
ilham yang menaungi sudut-sudut rumah mereka. Allah Swt
tidak menginginkan mereka melakukan ibadah seperti orang
biasa. Allah ingin episode istimewa mereka jalani, yaitu
keterasingan dan kesyahidan. Allah ingin babak demi babak
kehidupan mereka menjadi tauladan paling sempurna bagi
amar makruf dan nahi munkar. Allah ingin mereka menjadi
pengibar panji ketakwaan dan perdamaian hingga keturunan
terakhirnya.”39
Abus Su’ud Abdul Hafidh
Abus Su’ud Abdul Hafidh berkata, “Dialah figur
pejuang merdeka, pelaksana jihad terhormat, wujud
pengorbanan di jalan akidah dan pandangan dunia yang tidak
tunduk kepada kezaliman penguasa tiran.” 40
Ahmad Hasan Lutfi
Ahmad Hasan Lutfi berkata, “Sungguh kematian yang
ditawarkannya adalah buah dari pemahamannya.
Semboyannya pada saat itu adalah semboyan paling indah
dalam kehidupan. Dia merupakan jalan Allah, tempat bermula
dan berakhir segala sesuatu. Dialah jalan menuju kemenangan
39
Âlu Muhammad Fi Karbalâ; hal. 30.
40
Sibtha Rasulullâh al-Hasan wal Husain, hal 188.
25. 25
dan kehidupan abadi. Dialah pahlawan paling agung peraih
kemenangan dengan kematian.”41
III. Sekelumit Kepribadian Imam Husain
Al-Husain putra Ali dilahirkan di rumah tempat
turunnya para malaikat dan wahyu; sepetak tanah suci yang
selalu berhubungan dengan langit. Ayat-ayat al-Quran yang
dibaca pada siang dan malam menyatu dengan nafasnya. Al-
Husain dibesarkan di tengah pribadi-pribadi suci dan agung.
Nabi yang pengasih penyayang telah menyusun sendi-
sendi kepribadiannya dengan pancaran kemuliaan akhlak dan
keagungan jiwanya. Karenanya al-Husain menjadi cermin
Nabi Muhammad di tengah-tengah umatnya. Al-Husain selalu
bergerak sesuai dengan petunjuk al-Quran dan bertutur kata
dengan tujuan kenabian, berjalan sesuai dengan jejak langkah
kakeknya yang agung. Dialah penjelas kemuliaan akhlak.
Al-Husain mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk
untuk membina umat. Tidak sedikitpun dia lalai ketika
membimbing, menasihati dan menolong mereka. Dia jadikan
dirinya sebagai teladan hidup seperti harapan Rasulullah
sebagai pelanjut misi dakwah.
Al-Husain adalah peta petunjuk bagi mereka yang
salah jalan. Dialah sungai Salsabil yang airnya jernih dan
menghapus dahaga pendambanya. Beliaulah tempat bersandar
kaum mukminin, hujjah orang-orang saleh yang menjadi
tolok ukur kebenaran ketika orang-orang berseteru.
41
As-Syahîdul Khâlid al-Husain bin Alî, hal. 47.
26. 26
Al-Husain adalah pedang keadilan yang marah dan
bangkit karena Allah. Ketika berjuang, dia menjadi pemandu
risalah seperti kakeknya, Muhammad saw.
Dengan memperhatikan secara seksama kepribadian
istimewa al-Husain as, maka kita akan mendapatkan beberapa
sifat baik sebagai berikut:
Rendah Hati (Tawadhu)
Sifat tawadhu dan tidak egois adalah bagian tak
terpisahkan dari jati diri Imam Husain as. Nasabnya mulia.
Kedudukannya di sisi Rasulullah saw sangat istimewa.
Namun, meski demikian beliau hidup berbaur bersama umat,
tidak menjauhi orang-orang fakir dan lemah serta tidak
menyombongkan diri kepada siapapun. Beliau mewujudkan
kembali kepribadian kakeknya yang diutus Allah sebagai
rahmat bagi seluruh alam. Harapan dan tujuannya ketika
mendidik umat hanya satu, yaitu keridhaan Allah Swt.
Banyak kisah beliau bersama kaum muslimin yang
menunjukkan kerendahatian sebagai jelmaan kemudahan
risalah. Kisah-kisah tersebut antara lain:
Suatu hari Imam Husain as melewati sejumlah orang
miskin yang sedang duduk bersama menyantap beberapa
potong roti kering. Saat itulah beliau mengucapkan salam
kepada mereka. Setelah menjawab salam beliau, mereka
mempersilahkan beliau. Imam Husain as pun duduk bersama
mereka dan berkata, “Sendainya makanan ini bukan berasal
dari sedekah (yang diharamkan kepada kami, Ahlulbayt—
Penerjemah), maka pastilah aku akan menikmati makanan ini
bersama kalian.” Setelah itu beliau mengajak mereka ke
rumahnya, membekali mereka dengan makanan, pakaian dan
sejumlah uang.
27. 27
Dikisahkan juga bahwa suatu hari Imam Husain as
melewati ahlussuffah yang sedang makan siang. Mereka
berkata kepada beliau, “Mari makan siang bersama kami!”
Beliau duduk bersama mereka, kemudian menyantap dan
menikmati makanan bersama mereka. Setelah selesai, beliau
berkata kepada mereka, “Aku telah memenuhi ajakan kalian,
sekarang kalian harus memenuhi ajakanku untuk berkunjung
ke rumahku.” Mereka menjawab, “Baiklah!” Mereka pergi
bersama ke rumah beliau. Sesampainya di rumah, al-Husain
meminta istrinya untuk menyuguhkan semua yang
dimilikinya.42
Ramah dan Pemberi Maaf
Al-Husain dididik langsung oleh Rasulullah. Jiwanya
adalah jiwa kakeknya yang memaafkan orang yang
memerangi dan menghambat dakwahnya. Beliau memiliki
dada yang lapang dan selalu punya keinginan kuat untuk
mencerahkan umat meski mereka memperlakuan beliau
dengan buruk. Beliau mengharapkan ridha Allah. Beliau
mendekati orang-orang berdosa, menenangkan mereka dan
menumbuhkan harapan mereka untuk mendapatkan rahmat
dan kasih sayang Allah. Karenanya beliau tidak pernah
membalas kejelekan dengan kejelekan, namun beliau
menyayangi mereka dan membimbing mereka ke jalan yang
benar serta menyelamatkan mereka dari kesesatan.
Diriwayatkan bahwa beliau bersabda, “Jika seseorang
mencaci maki aku di telinga kananku, kemudian meminta
maaf di telinga kiriku, maka pasti aku terima permintaan
maafnya. Hal ini dikarenakan Amirul mukminin Ali bin Abu
42
A’yânusy Syî'ah, juz 1 hal. 580. Tarîkh Ibnu Asâkir, Tarjamah Imâm
Husain as, hadis 196. Tafsîr Al Burhân, juz 2 hal. 363.
28. 28
Thalib as menyampaikan sabda Rasulullah kepadaku, ‘Tidak
berhak meminum dari telagaku (al-Haudh) orang yang tidak
menerima permintaan maaf dari orang yang benar dan
salah.”43
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa seorang budak
beliau melakukan satu kesalahan yang layak untuk
mendapatkan sanksi. Namun budak itu mengujarkan ayat,
“Wal kadzimînal ghaidz (dan orang-orang baik itu selalu
menahan amarahnya).” Beliau berkata, “Lepaskan dia!”
Sang budak membaca ayat lain, “Wal ‘afîna ‘anin nâs
(mereka memaafkan kesalahan orang lain)”.
Beliau berkata, “Telah aku maafkan engkau.”
Sang budak membaca ayat lain, “Wallâhu yuhibbul
muhsinîn (dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan)."
Mendengar itu, beliau berkata, “Sejak saat ini engkau
bebas karena Allah dan engkau berhak mendapatkan uang dua
kali lipat dari apa yang telah aku berikan kepadamu.”44
Dermawan
Dengan jiwa yang besar beliau membantu orang-orang
fakir yang membutuhkan. Beliau menyayangi anak-
anak yatim dan para janda. Beliau penuhi kebutuhan hajat
para peminta tanpa menjadikan mereka merasa hina. Beliau
sambung tali silaturrahmi. Tidak pernah beliau menerima
43
Ihqâqul haq, juz 11 hal. 431.
44
Kasyful Ghummah, juz 2 hal. 31. Ibnu Shabbagh, Al-Azhar Fushûlul
Muhimmah, hal. 168. A’yânusy Syî'ah, juz 4 hal. 53.
29. 29
uang kecuali beliau bagi-bagikan dan infakkan. Seperti inilah
sifat para dermawan dan kebiasaan orang-orang mulia.
Seringkali al-Husain memikul karung yang penuh
makanan di pundaknya dan membawa uang di malam hari
untuk beliau bagi-bagikan ke rumah para janda dan anak
yatim. Muawiyah pun memberikan kesaksian atas kebiasaan
beliau ini, “Al-Husain memulai pemberiannya kepada anak-
anak yatim yang ayahnya terbunuh ketika mendampingi
ayahnya di Shiffin. Jika masih tersisa, barulah dia
menyembelih kambing dan memerah susu untuk lainnya.”45
Ketika seorang budaknya memberi hormat, beliau
membalasnya dengan memerdekakannya. Anas berkata,
“Suatu hari aku duduk bersama al-Husain, tak lama kemudian
masuklah seorang budak perempuan dengan membawa
sekuntum bunga dan menyerahkannya kepada beliau. Beliau
menerimanya dan berkata kepadanya, ‘Aku merdeka Engkau
karena Allah.’”
Anas terheran-heran dan berkata, “Budakmu memberi
sekuntum bunga kepadamu dan karena itu engkau
memerdekakannya?”
Al-Husain menjawab, “Beginilah Allah Swt
mengajarkan kepada kita, Jika kalian mendapatkan ucapan
selamat maka balaslah dengan yang lebih baik ... Tiada yang
lebih baik baginya kecuali kemerdekaan dirinya.”46
45
Hayâtul Imâm Husain, juz 1 hal. 128, dinukil dari kitab Uyûnul Akhbâr.
46
Kasyful Ghummah, juz 3 hal. 31. Al-Fushûlul Muhimmah, hal. 167.
30. 30
Beliau pernah melunasi hutang Usamah bin Zaid agar
dia keluar dari masalah dan krisis ketika sakit.47
Padahal
Usamah berada dalam barisan musuh yang memerangi
ayahnya.
Suatu hari seorang pengemis berdiri di depan pintu
rumahnya sambil mengumandangkan sebuah syair:
Sungguh tiada kecewa pengharapmu
Dermawan tempat kami berlindung, dirimu
Pembunuh orang-orang fasik, ayahmu
Mendengar syair itu, Imam Husain as bergegas
menghampiri pelantunnya. Setibanya di hadapan Sang
penyair, beliau mendapati tanda-tanda kefakiran melekat
padanya. Kemudian beliau memanggil pembantunya, Qanbar,
dan bertanya kepadanya, “Apa yang kita miliki dari
persediaan nafkah kita?” Dia menjawab, “200 dirham yang
telah Anda perintahkan kami untuk membagi-bagikannya
kepada beberapa anggota keluargamu.” Imam Husain berkata,
“Ambillah karena dia yang lebih berhak untuk menerimanya.”
Beliau pun mengambilnya dan menyerahkannya kepada
pengemis tersebut sambil berkata, “Ambillah dan maafkan
aku. Ketahuilah bahwa aku menyayangimu.”
Sang pengemis mengambilnya dan mengucapkan
terimakasih, kemudian mendoakan beliau dengan kebaikan
sambil memuji beliau dengan syairnya:
Mereka disucikan
Kantong-kantong mereka bersih
47
Bihârul Anwâr; juz 44 hal. 189. Manâqib Alî bin Abî Thâlib, juz 4 hal.
65.
31. 31
Senantiasa mengalir
shalawat untuk mereka
di mana pun mereka disebut
Kalianlah pemilik derajat mulia
Bersama kalian Ilmu al-Kitab
Bersama kalian surah-surah yang diturunkan48
Pemberani
Setiap orang pasti tidak mampu melukiskan
keberanian Imam Husain as. Dia mewarisi keberanian nenek
moyangnya yang lahir dalam semangat heroisme. Al-Husain
lahir dari tambang patriotisme. Al-Husain mewujudkan
keberanian dalam kebenaran ucapannya. Beliaulah singa
pembela kebenaran. Sifat ini diwarisi dari kakeknya nan
agung, Nabi Muhammad saw, yang berdiri tegar menghadapi
kekuatan musyrikin dan menuai kemenangan dengan akidah,
iman dan jihad fi sabilillah.
Al-Husain telah berjuang bersama ayahnya, Amirul
Mukminin Ali bin Abu Thalib untuk mengembalikan Islam
sebagai hakim dan bangkit bersama umat dalam rangka
mengajak mereka melawan kesesatan dan penyelewengan.
Hal ini beliau lakukan dengan nasehat dan perbuatan, bahkan
dengan angkat senjata untuk mengembalikan kebenaran pada
tempatnya.
Al-Husain juga berjuang bersama saudaranya, Imam
Hasan as, pejuang yang mengorbankan dirinya demi
keselamatan umat, penjamin kehidupan orang-orang pilihan
48
Tarîkh Ibnu 'Asâkir, juz 4 hal. 32. Manâqib Alî bin Abî Thâlib, juz 4
hal. 65.
32. 32
dari kaum mukminin yang berpegang teguh dengan misi
risalah Islam.
Al-Husain tetap berdiri tegar menghadapi rezim
Muawiyah dan antek-anteknya yang sesat. Al-Husain tetap
bersiteguh melawan para durjana itu yang mencemari
kesucian agama meski umat tidak mematuhinya.
Dia tidak pernah takut terhadap segala ancaman, tidak
pula merasa khawatir atas semua resiko yang akan
diterimanya akibat bangkit dan menghidupkan kembali risalah
kakeknya, Nabi Muhammad saw. Beliau tetap melawan
kezaliman dan kerusakan danemi menegakkan Islam. Beliau
bangkit dan menyerahkan segala urusan kepada Allah,
tujuannya hanya satu; mengharap ridha-Nya.
Hur bin Yazid Ar-Riyahi pernah mengancam beliau,
“Aku ingatkan kepadamu! Demi Allah jika engkau bermaksud
membunuhku, maka pasti engkau telah binasa.” Imam Husain
as menjawab, “Jangan engkau menakut-nakutiku dengan
kematian!”49
Imam Husain as memberi tauladan menakjubkan pada
hari Asyura. Setiap pemilik akal sehat pasti terpesona. Beliau
tidak patah semangat, meski musibah yang dihadapinya
teramat besar, bahkan ketika beliau harus berjuang seorang
diri. Imam Husain as bagai gunung kokoh. Tak seorang
musuh pun berani mendekat karena takut. Betapa wibawa
beliau tak pernah berkurang sekalipun banyak luka parah
tergores di sekujur tubuhnya. Musuh-musuh beliau pun
menyaksikan kondisi Imam Husain itu, seperti yang dikatakan
oleh Hamid bin Muslim, “Demi Allah aku tidak pernah
melihat orang yang telah tinggal seorang diri, berhadapan
dengan musuh yang banyak. Anaknya, seluruh keluarga dan
49
Tarîkhuth Thabârî, juz 4 hal. 254. Al-Kâmil fit-Târikh, juz 3 hal. 270.
33. 33
sahabatnya telah terbunuh, namun semangatnya semakin
menggelora. Ketegaran sikapnya semakin tampak. Dia orang
yang tabah menanggung duka. Jika datang sekelompok
penunggang kuda yang akan menyerangnya, maka saat itulah
beliau menyerang dengan pedangnya ke arah kanan dan kiri.
Pasti musuh-musuhnya porak-poranda. Mereka menjadi
ketakutan laksana kambing berhadapan dengan singa.”50
Anti Kompromi
Imam Husain as adalah cermin seorang muslim
revolusioner paling sempurna. Beliau tidak berkompromi dan
menolak berdiam diri. Beliau bangkit melawan kezaliman.
Beliau telah memberi teladan kepada generasi setelahnya
bahwa jiwa penolakan dan pengorbanan demi menegakkan
akidah harus tetap terpelihara. Teladan ini bisa disaksikan
ketika beliau berdiri membawa misi agung yang
menggelorakan semangat umat agar tidak mati dalam
kehinaan dan kenistaan karena membaiat Yazid bin
Muawiyah seorang fasik. Dalam hal ini beliau menegaskan,
“Orang sepertiku tidak layak berbaiat kepada orang seperti
dia.”
Beliau juga menegaskan sikapnya kepada Muhammad
ibnu Hanafiah, saudaranya, “Wahai saudaraku, demi Allah,
seandainya di dunia ini tidak ada lagi tempat berlari dan
berlindung bagiku, aku tetap tidak akan berbaiat kepada Yazid
putra Muawiyah.”51
Seandainya setan telah menguasai hati semua orang
kemudian mematikannya hingga mereka rela menjadi hina,
50
A’lâmul Warâ, juz 1 hal. 468. Tarîkh At-Thabârî, juz 5 hal. 540.
51
Ibnu A’tsâm, Al-Futûh, juz 5 hal. 23. Al Khawarizmi, Maqtalul Husain,
juz 1 hal. 188. Bihârul Anwâr juz. 44 hal. 329.
34. 34
namun Imam Husain tetap tidak bergeming dan berdiri tegak
sembari berteriak di hadapan pasukan jahat dan zalim Bani
Umayyah. Beliau menegaskan, “Demi Allah, aku tidak akan
memberikan tangan laksana seorang hina. Aku tidak akan
melarikan diri laksana seorang budak. Sungguh aku
berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kalian.”52
Apa yang disampaikan oleh Imam Abu Abdillah al-
Husain as menunjukkan kemuliaan tertinggi sikap para
pejuang. Inilah ungkapan yang menunjukkan keteguhan
dasar-dasar akidah dan nilai-nilai moral serta pengemban
risalah. Hal ini mencerminkan kemuliaan dan kepercayaan
dirinya. Beliau berkata, “Ketahuilah bahwa dia telah
menyuruhku memilih antara kematian dan kehinaan. Sungguh
jauh dari kami kehinaan. Allah, Rasulullah dan orang-orang
mukmin menolak hal itu. begitu juga setiap pangkuan yang
bersih dan suci.”53
Imam Husain as telah mengajarkan nilai kemanusiaan
dengan menunjukkan sikap yang harus diambil: penolakan
terhadap kenistaan dan pengorbanan demi risalah.
Tegas
Revolusi Imam Husain as menjadi bom waktu yang
mampu meledakkan hati orang-orang yang lemah untuk
menegakkan kebenaran. Al-Husain adalah medan magnet
yang menarik setiap pemilik jiwa revolusioner dan tulus untuk
memperjuangkan akidah dan misi Islam. Beliaulah penempuh
52
Al-Muqarram, Maqtalul Husain, hal. 280. Tarîkhuth Thabâri, juz 4 Hal.
330. A’lâmul Warâ, juz 1 hal. 188. Bihârul Anwâr, juz 44 hal. 329.
53
A’yânusy Syî'ah, juz 1 hal. 603. Al-Ihtijâj, juz 2 hal. 24. Al
Khawarizmi, Maqtalul Husain, juz 2 hal. 6.
35. 35
titian cerah demi membangun masyarakat saleh sesuai
keinginan Allah Swt dan Rasul-Nya saw.
Imam Husain as lugas dan tegas ketika menjelaskan
kepada umat tentang garis pemisah antara kebenaran dengan
kesesatan. Beliau menghadapi para tiran yang
mengancamnya. Beliau mengingatkan mereka untuk tidak
tenggelam dalam kebejatan dan kedurjanaan. Sebagaimana
surat-suratnya kepada Muawiyah, beliau menulis dengan
tegas tanpa kerancuan dan keraguan sedikitpun. Surat dan
teguran lisan beliau kepada Muawiyah dalam rangka
mengingatkannya agar tidak meneruskan kezaliman yang
dilakukannya. Beliau menjelaskan kepada umat bahwa
Muawiyah sesat dan bejat.54
Ketegasan dan ketegaran sikap itu menjadikan beliau
menolak berbaiat kepada Yazid putra Muawiyah. Beliau
menjelaskan kepada Walid bin Utbah, salah seorang walikota
Yazid, “Kami dari Ahlulbayt Nabi, tambang risalah, tempat
lalu lalang para malaikat, tempat turunnya rahmat Allah,
dengan kami Allah memulai dan mengakhiri. Sedangkan
Yazid seorang fasik dan durhaka, peminum khamr, pembunuh
orang-orang tak bersalah, terang-terangan dalam kefasikan
dan maksiat. Sungguh, orang sepertiku tidak akan berbaiat
kepada orang sepertinya”55
Kelugasan beliau adalah pelita terang benderang di
tengah para sahabat dan para penolongnya. Di tengah
perjalanan menuju Kufah, saat itu berita tentang terbunuhnya
Muslim bin Aqil dan sikap orang-orang Kufah yang
mengabaikannya sampai kepada beliau. Beliau berkata kepada
54
Al-Imâmah Was Siyâsah, juz 1 hal. 189 dan 195.
55
Al-Futuh, juz 5 hal. 14. Al Khawarizmi, Maqtalul Husain; juz 1 hal.
184. Bihârul Anwâr, juz 44 hal. 325.
36. 36
orang-orang yang bersamanya dan menginginkan
keselamatan, “Sungguh pengikut kami telah menghinakan
kami, maka siapa di antara kalian yang ingin untuk
memisahkan dirinya, maka hendaklah ia meninggalkan aku
tanpa rasa sungkan. Sungguh tidak ada beban dariku di
pundaknya.”56
Mendengar ungkapan ini, orang-orang yang memiliki
ambisi duniawi dan keyakinannya lemah bercerai-berai.
Hanya sahabat-sahabat pilihan dan anggota keluarga yang
terus menyertai beliau. Beliau tidak mengancam dan merayu
sahabatnya agar tetap menolongnya ketika dibutuhkan.
Sebelum peperangan dimulai, beliau mengizinkan
orang-orang tulus yang tetap menyertai beliau untuk
meninggalkannya. Beliau berkata, “Sungguh aku tidak pernah
tahu ada sahabat dan anggota keluarga yang lebih setia, loyal
dan utama dari kalian. Semoga Allah membalas kalian dengan
kebaikan. Malam telah tiba, bangkitlah dan jadikanlah ia
sebagai sarana yang baik bagi kalian untuk meninggalkanku.
Hendaknya setiap dari kalian mengajak saudara dan anggota
keluargaku. Berpisahlah kalian di kegelapan malam ini.
Tinggalkan aku bersama rombongan mereka (musuh) karena
mereka hanya menginginkan aku. Jika mereka telah
mendapatkan diriku dan berhasil membunuhku, maka pasti
mereka tidak akan mencari kalian.”57
Secara jujur, siapa saja yang menelaah sejarah
kebangkitan Imam Husain as, niscaya akan menemukan
56
Al-Irsyâd, juz 2 hal. 75. Tarîkhuth Thabâri, juz 3 hal. 303. Al-Bidâyah
Wan Nihâyah, juz 8 hal. 182. Bihârul Anwâr, juz 44 hal. 374.
57
Al-Futûh, juz 5 hal. 105. Tarîkhuth Thabâri, juz 3 hal. 315. A’yânusy
Syî'ah, juz 1 hal. 600.
37. 37
makna kejujuran, ketegasan dan keberanian yang menyatu
dalam ucapan dan perbuatan.
Ahli Ibadah
Abu Abdillah al-Husain as tidak pernah putus
hubungan dengan Tuhannya di setiap gerak dan diamnya.
Beliau selalu mengejawantahkan hubungannya ini dalam
bentuk ibadah kepada-Nya, kemudian memperkuatnya dengan
Sang Pencipta Yang Maha Besar kuasa-Nya. Beliau telah
memberikan pengorbanan dengan ketaatan kepada Allah dan
meleburkan diri dalam Zat Allah. Ibadahnya adalah buah
makrifah sejati dari Allah Swt.
Sesungguhnya, ketika kita sekilas melihat doanya pada
hari Arafah, maka akan terbukti dalamnya makrifah dan
kuatnya hubungan beliau dengan Allah Swt. Kami akan
menukil beberapa kalimat dari doa beliau:
Tiada mungkin menjadi dalil penjelas keberadaan-
Mu,
sesuatu yang keberadaannya membutuhkan-Mu!
Adakah selain-Mu yang tampak, namun ia bukan dari-
Mu, hingga ia menjadi penjelas keberadaan-Mu?
Kapan Engkau pernah tersembunyi, hingga Engkau
membutuhkan alasan untuk menjelaskan keberadaan-
Mu?
Kapan Engkau pernah menjauh, hingga mahluk
menjadi sarana untuk sampai kepada-Mu?
Sungguh buta mata yang tidak melihat-Mu sebagai
Pengawas!
Sungguh sia-sia upaya seorang hamba yang tidak
menjadikan kecintaan kepada-Mu sebagai bagian
darinya!
38. 38
Tuhanku, inilah kehinaanku yang tampak jelas di
hadapan-Mu.
Inilah keadaanku yang tidak tersembunyi dari-Mu.
Aku memohon-Mu agar Engkau menyambungkan
diriku dengan-Mu dan dengan-Mu aku berdalih
keberadaan-Mu.
Berilah aku petunjuk melalui cahaya-Mu untuk
menuju-Mu.
Bimbinglah aku dengan pengabdian sejati kepada-Mu.
Engkaulah yang memancarkan cahaya di hati para
kekasih-Mu hingga mereka mengenal-Mu dan
mengesakan-Mu.
Engkaulah yang menghilangkan selain-Mu dari hati
orang-orang yang mencintai-Mu hingga mereka tidak
mencintai selain-Mu dan tidak bergantung kepada
selain-Mu.
Engkaulah yang menenangkan mereka ketika alam
mengkhawatirkan mereka.
Tiada sesuatupun diraih oleh yang tidak
mendapatkan-Mu.
Tiada sesuatupun yang tidak diraih oleh yang telah
mendapatkan-Mu?
Merugilah orang yang mencukupkan dirinya kepada
selain-Mu.
Merugilah orang mengharapkan pengganti selain-Mu.
Wahai Zat yang menjadikan para pecinta-Nya
merasakan manisnya berdua dengan-Nya hingga
mereka bangkit berdiri di hadapan-Nya dengan
semangat menggelora dan harapan yang luas.
39. 39
Aduhai yang membusanai para kekasih-Nya dengan
toga kebesaran-Nya, hingga mereka bangkit dan
berdiri di hadapan-Nya, memohon ampunan-Nya.58
Ketika melantunkan doa ini, rasa takut dan sopan-
santunnya yang dahsyat tampak jelas di wajah Imam Husain
as. Seseorang berkata kepada beliau, “Bagaimana rasa
takutmu kepada Tuhanmu terlihat begitu dahsyat?” Beliau
menjawab, “Tidak akan ada orang yang merasa aman pada
hari kiamat, kecuali orang yang takut kepada-Nya di dunia.”59
Ibadah bagi Ahlulbait as adalah keberadaan dan
kehidupan itu sendiri. Kenikmatan mereka adalah ketika
bermunajat kepada Allah Swt. Ibadah mereka
berkesinambungan siang dan malam, dalam kesendirian
maupun di tengah khalayak. Imam Husain as adalah salah
satu tiang keluarga suci itu. Beliau berdiri di hadapan Tuhan-
nya Yang Maha perkasa sebagai seorang yang memiliki
makrifah sempurna, penuh keyakinan, alim dan berbakti.
Setiap kali berwudhu, saat itu pula wajahnya menjadi pucat
dan seluruh persendian tubuhnya gemetar. Seseorang
menanyakan hal ini kepada beliau. Beliau menjawab,
“Sangatlah pantas orang yang berdiri di hadapan Yang Maha
Perkasa kemudian menjadi pucat wajahnya dan gemetar
seluruh persendiannya.”60
Al-Husain memiliki keinginan yang kuat untuk
menegakkan shalat meski pada saat yang paling sulit
sekalipun. Bahkan beliau melaksanakan shalat Dhuhur di
58
Al-Muntakhabul Hasanî, hal. 924-925.
59
Bihârul Anwâr, juz 44 hal. 190.
60
Jamî’ul Akhbâr, hal. 76. Ihqâqul Haq, juz 11 hal. 422.
40. 40
puncak perang pada hari Asyura.61
Padahal pasukan musuh
yang sesat mengepung beliau dari seluruh penjuru dan
membidikkan anak panah dari semua arah.
Pada bulan Dzulhijjah Imam Husain as keluar menuju
Baitullah untuk menunaikan ibadah haji. Ibadah ini beliau
lakukan dengan penuh kerendahan dan kekhusyukan. Selama
hidupnya, beliau melakukan ibadah haji sebanyak dua puluh
lima kali dengan berjalan kaki.62
Telah tersohor di kalangan para perawi hadis Syiah
tentang kekhusyukan beliau di padang Arafah pada hari-hari
pelaksanaan ibadah haji. Begitu pula munajat panjangnya
yang beliau lakukan dalam keadaan berdiri di jalan menuju
bukit dan jamaah lainnya mengelilingi beliau.
Al-Husain banyak berinfak, bersedekah dan berbuat
kebajikan. Diriwayatkan bahwa beliau mendapatkan warisan
dari ayahnya sebidang tanah dan beberapa barang lainnya.
Namun beliau sedekahkan semuanya sebelum beliau
menyentuhnya. Beliau juga acap kali membawa makanan
ketika malam gelap ke rumah-rumah kaum miskin Madinah
tanpa mengharap apa-apa kecuali pahala dari Allah dan ber-
taqarrub kepada-Nya.63
Bab II
I. Pertumbuhan Imam Husain
Beliau adalah cucu ke dua Rasulullah dan penghulu
pemuda surga, buah hati al-Musthafa, salah seorang di antara
61
Yanâbi’ul Mawaddah, hal 410. Al Khawarizmi, Maqtalul Husain, juz 2
hal. 17.
62
Siyâr A’lâmun Nubalâ’, juz 3 hal. 193. Majma’uz Zawâid, juz 9 hal.
201.
63
Hayâtul Imâm al-Husain, juz 1 hal. 135.
41. 41
lima orang pribadi suci yang diselimuti oleh Rasulullah dan
penghulu para syahid. Ibunya adalah Fathimah, putri
Rasulullah saw.
Mayoritas sejarawan mencatat bahwa beliau dilahirkan
di Madinah pada tanggal 3 Sya’ban tahun ke empat Hijrah.64
Hanya sekelompok kecil menyebutkan bahwa beliau
dilahirkan pada tahun ke tiga Hijrah.65
Mimpi Ummu Aiman
Rasulullah saw menafsirkan mimpi yang dialami oleh
Ummu Aiman yang ketakutan karena dalam mimpinya
melihat ada sebagian anggota tubuh beliau yang jatuh di
rumahnya. Rasulullah saw menjelaskan bahwa mimpi tersebut
berkaitan dengan kelahiran al-Husain yang akan datang ke
rumahnya untuk disusui. Diriwayatkan bahwa Imam Ja’far
Shadiq as bersabda, “Beberapa orang dari tetangga Ummu
Aiman datang menemui Rasulullah saw dan berkata kepada
beliau, ‘Wahai Rasulullah, Ummu Aiman tadi malam tidak
dapat tidur karena menangis sampai subuh.’ Rasulullah
menyuruh seseorang agar memanggilnya. Ummu Aiman pun
datang menemui Rasulullah. Rasulullah bertanya kepadanya,
‘Wahai Ummu Aiman, semoga Allah tidak membuat matamu
menangis lagi. Tetangga-tetanggamu datang kepadaku dan
memberitahuku bahwa semalam engkau tidak tidur sama
sekali sambil menangis. Apa gerangan yang membuatmu
menangis seperti itu?’ Ummu Ayman menjawab, ‘Wahai
Rasulullah, aku melihat dalam tidurku peristiwa dahsyat,
64
Tarîkh Ibnu Asâkir, juz 14 hal. 313. Maqâtiluth Thâlibîn, hal. 78.
Majma’uz Zawâid, juz 9 hal. 194. Usdul Ghabah, juz 2 hal. 17. Al-Irsyâd,
hal. 18.
65
Ushûlul Kâfi, juz 1 hal. 463. Al-Istiy’ab yang dicetak sebagai catatan
pinggir kitab Al-Ishâbah, juz 1 hal. 377.
42. 42
karenanya aku terus menangis sepanjang malam.’ Rasulullah
meminta, ‘Ceritakanlah kepadaku, sungguh Allah dan Rasul-
Nya lebih mengetahui. Ummu Aiman bertutur, 'Sungguh berat
bagiku untuk menceritakannya kepadamu wahai Rasulullah.'
Rasulullah mengulangi perintahnya, ‘Ceritakanlah, karena
yang akan terjadi tidak seperti apa yang engkau lihat.’ Ummu
Aiman berkata, ‘Aku melihat dalam tidurku, sebagian
tubuhmu berjatuhan di rumahku.’ Rasulullah menjelaskan
kepadanya, ‘Semoga matamu dapat tidur dengan nyenyak.
Fathimah putriku akan melahirkan. Engkau akan merawatnya
dan memberinya susu. Itulah maksud dari sebagian dari
tubuhku akan berada di rumahmu.’”66
Masa Bayi yang Penuh Berkah
Setelah Sayyidah Fathimah melahirkan bayinya yang
mulia, maka disampaikanlah kabar gembira ini kepada
Rasulullah saw. Beliau pun bergegas menuju rumah putrinya
dan bersabda kepada Asma, “Berikan anakku kepadaku!”
Asma datang membawa bayi itu yang dibungkus kain putih.
Nabi tampak gembira dan memeluknya. Kemudian beliau
azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kirinya.
Kemudian meletakkanya di pangkuannya lalu menangis.
Asma bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, ayah dan
ibuku menjadi tebusanmu. Apa gerangan yang
menyebabkanmu menangis?” Rasulullah menjawab, “Anakku
ini.” Kemudian terhenti. Asma dengan heran berkata, “Dia
baru saja lahir.” Nabi menjelaskan, “Wahai Asma, dia akan
dibunuh oleh kelompok bejat setelah kematianku. Sungguh,
mereka tidak akan mendapatkan syafaatku.”67
66
Bihârul Anwâr, juz 43 hal. 242.
67
I’lâmul Warâ bi A’lâmul Hudâ, juz 1 hal. 428.
43. 43
Kemudian Rasulullah bertanya kepada Ali as,
“Engkau beri nama siapa anakku ini?” Imam Ali as
menjawab, “Aku tidak akan mendahuluimu, wahai
Rasulullah.” Saat itu turunlah wahyu dari Allah untuk
memberi nama bayi yang penuh dengan berkah itu. Lalu
Rasulullah menoleh kepada Imam Ali dan bersabda, “Berilah
dia nama Husain.”
Pada hari ke tujuh, Rasulullah bergegas ke rumah
putrinya Fathimah. Lalu beliau menyembelih seekor kambing
sebagai akikah kemudian menyuruh untuk mengkhitannya
dan mencukur rambutnya serta bersedekah perak seberat
rambutnya.68
Sebagaimana yang Rasulullah lakukan untuk cucu
beliau sebelumnya, al-Hasan, beliau juga melakukan hal yang
sama dengan mengadakan tasyakuran.
Perhatian Nabi kepada Al-Husain as
Banyak hadis yang disampaikan oleh rasulullah tentang
al-Husain. Tentunya hadis tersebut menunjukkan kedudukan
mulia beliau yang akan diperankannya di tengah umat demi
mengemban misi Rasulullah. Kami memilih beberapa hadis
tentang hal ini:
1. Salman meriwayatkan bahwa dia mendengar
Rasulullah saw berdoa untuk Imam Hasan dan Husain
as, “Ya Allah aku mencintai keduanya, maka cintailah
orang yang mencintai keduanya.”69
2. “Siapa yang mencintai Hasan dan Husain, maka aku
mencintainya. Siapa yang aku cintai, maka Allah akan
mencintainya. Siapa yang dicintai oleh Allah, maka
68
I’lâmul Warâ; juz 1 hal. 427.
69
Al-Irsyâd, juz 2 hal. 28.
44. 44
Dia akan memasukkannya ke dalam surga. Siapa yang
membenci keduanya, maka aku pun membencinya.
Siapa yang aku benci, maka Allah akan membencinya
dan siapa yang dibenci oleh Allah, maka Allah akan
mengekalkannya di neraka.”70
3. “Dua anakku ini adalah buah hati kesenanganku di
antara (penduduk) dunia ini.”71
4. Ibnu Mas’ud berkata, “Suatu hari Rasulullah sedang
melaksanakan shalat. Tiba-tiba al-Hasan dan al-
Husain datang. Kemudian keduanya menaiki
punggung Rasulullah ketika sedang sujud. Rasulullah
mengangkat kepalanya dengan pelan dan mengangkat
keduanya. Ketika beliau sujud kembali, kedua anak itu
melakukan hal yang sama. Setelah selesai shalat beliau
mendudukkan keduanya di paha kanan dan kiri beliau.
Saat itulah beliau bersabda, ‘Siapa yang mencintaiku,
maka hendaklah mencintai kedua anak ini.’72
5. “Husain dari aku dan aku dari Husain. Husain adalah
salah seorang cucuku.”73
6. “Hasan dan Husain adalah sebaik-baik penduduk bumi
setelahku dan setelah ayah keduanya. Sedangkan
ibunya adalah wanita termulia di atas muka bumi.”74
7. “Al-Hasan dan al-Husain pemimpin pemuda surga.”75
70
Ibid.
71
Shahîhul Bukhari, juz 2 hal. 188. Sunanut Tirmidzi, juz 5 hal. 615. Al-
Irsyâd, juz 2 hal. 28.
72
Mustadrakul Hâkim, juz 3 hal. 166. Kifâyatuth Thâlib, hal. 422. I’lâmul
Warâ, juz 1 hal. 132.
73
Bihârul Anwâr; juz 43 hal. 261. Musnad Ahmad; juz 4 hal. 172. Shahîh
Tirmidzi, juz 5 hal. 658.
74
Bihârul Anwâr, juz 43 hal. 261. Uyûn Akhbârir Ridhâ, juz 2 hal. 62.
45. 45
8. Barrah, putri Umayyah al-Khuza’iy, berkata, “Ketika
Fathimah mengandung putranya, al-Hasan, Rasulullah
akan melakukan perjalanan ke luar kota. Sebelum
berangkat beliau berkata kepada Fathimah, ‘Jibril telah
mengucapkan selamat kepadaku. Sebentar lagi engkau
akan melahirkan seorang bayi laki-laki. Janganlah
engkau beri air susu sehingga aku kembali.’ Tak lama
kemudian Fathimah melahirkan dan aku datang
menjenguknya. Tiga hari telah berlalu dan beliau tidak
menyusui bayinya. Aku berkata kepadanya,
‘Berikanlah kepadaku, aku akan memberi dia susu.’
Fathimah menolak untuk memberikannya kepadaku.
Namun dia tidak kuasa lagi menahan perasaan sayang
seorang ibu dan akhirnya dia menyusuinya. Setelah
Nabi kembali, beliau bertanya kepadanya, ‘Apa yang
telah engkau lakukan?’ Fathimah menjawab, ‘Rasa
kasih sayang seorang ibu telah mengalahkanku dan
akhirnya aku beri dia susuku.’ Nabi bersabda, ‘Allah
enggan untuk terjadinya sesuatu kecuali sesuai dengan
apa yang Dia kehendaki.’ Ketika Fathimah
mengandung al-Husain, Nabi pun berpesan sama agar
tidak memberinya air susu hingga beliau kembali
bahkan sekalipun berlalu satu bulan lamanya.
Fathimah berjanji kepada beliau untuk melakukan hal
itu. Nabi pergi ke luar kota dan Fathimah melahirkan
seorang anak laki-laki. Dia pun tidak menyusuinya
hingga Nabi kembali. Setelah kembali beliau bertanya
kepadanya, ‘Apa yang engkau lakukan?’ Fathimah
menjawab, ‘Aku belum memberinya air susu.’ Maka
75
Sunan Ibnu Majah, juz 1 hal. 56. Shahîh Tirmidzi, juz 5 hal. 614.
Bihârul Anwâr, juz 43 hal. 265.
46. 46
Nabi menggendongnya dan memasukkan lidahnya ke
dalam mulut al-Husain. Al-Husain pun menghisapnya.
Kemudian Nabi berkata, ‘Sungguh Allah memang
menginginkan hal itu kepada keturunanmu.’”76
9. Suatu hari Nabi Muhammad saw sedang duduk.
Kemudian al-Hasan dan al-Husain menghampiri.
Setelah Nabi melihat keduanya, maka beliau bangun
dan menyuruh mereka berdua agar berhenti dan tidak
mendekati beliau. Kemudian beliau sendiri yang
menghampiri dan menggendong mereka di
pundaknya. Kemudian Nabi bersabda, “Ini adalah
tunggangan kalian dan kalian berdua sebaik-baik
penunggang. Namun, ayah kalian lebih baik dari
kalian berdua.”77
Gelar dan julukannya
Beliau dijuluki dan dipanggil dengan nama Abu Abdillah.
Gelar yang disandangkan kepada beliau banyak sekali,
diantaranya:
• Ar-Rasyiyd : Yang mendapatkan
petunjuk dan bimbingan.
• Al-Wafiy : Yang menepati janji.
• Ath-Thayyib : Yang baik.
• As-Sayyid : Pemimpin
• Az-Zakiy : Yang bersih dan suci.
• Al-Mubarak : Yang diberkati.
• At-Tabi’ li Mardhatillah : Yang mengikuti
kerelaan Allah.
76
Bihârul Anwâr, juz 43 hal. 254. Al-Manâqib, juz 3 hal. 50.
77
Bihârul Anwâr, juz 43 hal. 254. Dzakhâirul ‘Uqba, hal. 130.
47. 47
• Ad-Daliyl ‘ala Dzatillah : Yang menjadi petunjuk
menuju Allah.
• As-Sibth : Cucu (Nabi saw).
Diantara gelar-gelar tersebut yang paling dikenal adalah
As-Sayyid dan As-Sibth, seperti yang disebutkan oleh
kakeknya, Nabi saw, dalam dua hadis berikut:
• “Mereka berdua (al-Hasan dan al-Husain) adalah dua
pemimpin (sayyid) pemuda surga.”
• “Husain adalah seorang cucu di antara cucu-
cucuku.”78
II. Fase-Fase Kehidupan Imam Husain as
Kehidupan setiap imam maksum dapat dibagi ke
dalam dua fase:
Pertama, ketika beliau lahir hingga menerima tugas
kepemimpinan dari Allah Swt melalui ketetapan Nabi saw
atau para Imam itu sendiri.
Kedua, ketika menerima tugas untuk memimpin umat hingga
hari wafat sebagai syahid.
Masing-masing dari fase di atas mencakup beberapa
bagian sesuai dengan situasi dan kondisi khusus yang dialami
pada setiap fase.
Kita akan mempelajari fase pertama dengan semua
bagian-bagian dan peristiwa-peristiwa penting pada pasal III
bab II. Fase ke dua dan semua bagian-bagiannya akan kita
pelajari secara rinci pada bab III.
Fase pertama dari kehidupan Imam Husain as
memiliki empat bagian:
78
A’yânusy Syî'ah, juz 1 hal. 579.
48. 48
1. Masa beliau hidup bersama kakeknya, yaitu dari tahun
ke empat Hijriah hingga tahun ke sepuluh Hijriah.
2. Masa kepemimpinan tiga Khalifah, yaitu dari tahun 11
Hijriah hingga tahun 35 Hijriah.
3. Masa kepemimpinan ayahnya, yaitu dari tahun 35
hingga 40 Hijriah
4. Masa kepemimpinan saudaranya Hasan al-Mujtaba as,
yaitu sekitar 10 tahun dari akhir bulan Ramadhan
tahun 40 Hijriah hingga bulan Shafar tahun 50 Hijriah,
saat itu beliau memegang pucuk kepemimpinan
menggantikan saudaranya al-Hasan.
Fase kedua dari kehidupan beliau, yaitu dimulai
setelah kesyahidan saudaranya, Imam Hasan as, dan berakhir
dengan kesyahidan beliau di bumi Karbala pada hari Asyura,
10 Muharram 61 Hijriah. Fase ini memiliki dua bagian
penting:
1. Masa hidup beliau di bawah kekuasaan rezim
Muawiyah. Pada saat itu beliau berpegang teguh
kepada perjanjian damai yang telah ditandatangani,
sekalipun Muawiyah melanggar seluruh pasal-pasal
yang telah disepakati bersama saudaranya al-Hasan as.
Pelanggaran yang paling jelas dan tragis adalah
pembunuhan Imam Hasan as dengan racun. Tujuan
Muawiyah meracun Imam Hasan as adalah demi
terbentangnya jalan untuk menobatkan anaknya yang
bernama Yazid sebagai penggantinya.
2. Pengangkatan Yazid oleh Muawiyah sebagai khalifah
setelah kematiannya. Penobatan ini membuat
Muawiyah dan Yazid berusaha sekuat tenaga untuk
mendapatkan baiat dari Imam Husain as. Tujuan
Yazid agar dia mendapatkan legitimasi setelah
ditentang oleh umat Islam sejak masa kepemimpinan
49. 49
ayahnya. Pada saat inilah al-Husain as bangkit.
Sebelumnya semangat perlawanan beliau masih
tersimpan yang pada akhirnya meledak ketika
kefasikan dan kedurjanaan mengangkangi kursi
kepemimpinan kaum muslimin. Imam Husain as
memulai gerakannya dari Madinah menuju Mekkah
kemudian Irak. Di Irak beliau melengkapi kesabaran
dan jihadnya. Mengenakan mahkota yang dirajut
dengan darah suci beliau dan darah Ahlulbait serta
sahabat pilihannya. Beliau mempersembahkan mereka
semua di jalan Allah Swt.
III. Sejak Kelahiran Hingga Masa Imamah al-Husain as
Pada Masa Kakeknya
Pada masa Nabi Muhammad saw dan awal risalah
Islam, keluarga Ali, Fathimah dan dua orang putranya as
memiliki peran yang luas. Penghuni rumah inilah yang akan
mengemban kelanjutan risalah dan khilafah serta
tanggungjawab mempertahankan kemurnian agama dan umat.
Sudah selayaknya keluarga ini mendapatkan cinta,
perhatian dan pengayoman istimewa dari Nabi Muhammad
saw. Rasulullah Muhammad saw menyiram “pohon berkah”
ini setiap siang dan malam. Beliau juga menjelaskan bahwa
nasib umat bergantung kepada penghuni rumah rumah ini dan
berpesan kepada umat agar selalu mentaati mereka. Masalah
ini dapat dengan jelas kita pahami dari sabda Nabi saw,
50. 50
“Sesungguhnya Ali adalah panji hidayah setelahku dan imam
para kekasihku serta pelita bagi yang patuh kepadaku.”79
Dunia bersinar karena kelahiran al-Husain as. Al-
Husain as menempati ruang istimewa di hati Nabi
Muhammad saw karena kelak dia menjadi pewaris risalah
beliau. Dengan pandangan tajam kemaksuman serta kabar
dari langit, Nabi Muhammad saw melihat bayi yang baru lahir
itu sebagai orang yang siap menerima warisan risalah. Beliau
melihat cucunya itu akan bangkit di tengah umat yang lalai
dibuai mimpi. Pada pribadi cucunya itu, Nabi Muhammad
saw melihat jiwa reformis melekat erat ketika agamanya kelak
diselewengkan bahkan di ambang kepunahan. Nabi saw
mendapati bahwa al-Husain akan menghidupkan sunnah yang
diabaikan dan diingkari. Karena itulah Nabi saw selalu
mempersiapkannya untuk mengemban tugas pelanjut risalah
dengan belaian kasih sayangnya dan memanfaatkan waktunya
untuk membimbing al-Husain as dengan ilmunya. Hal
tersebut dilakukan Nabi Muhammad untuk
mempersiapkannya sebagai imam pelanjut risalah terakhir
seperti yang diperintahkan Allah Swt.
Nabi Muhammad saw bersabda, “Al-Hasan dan al-
Husain adalah anakku. Barangsiapa mencintai mereka maka
berarti telah mencintaiku. Barangsiapa yang mencintaiku
maka dia telah dicintai oleh Allah. Barangsiapa yang dicintai
oleh Allah, maka Allah akan memasukkan ke surga-Nya.
79
Hilyatul Auliyâ’, juz 1 hal. 67. Nadzmu Durarus Simthain, hal 114.
Tarîkh Ibnu Asâkir, juz 2 hal. 189. Maqtal Al-Khawarizmi, juz 1 hal. 43.
As Suyuthi, Jamî’ul Jawâmi’, juz 6 hal. 396. Muntakhabul Kanz, juz 6
hal. 953. Ibnu Shabbagh, Al-Fushûlul Muhimmah, hal. 107. As Suyuthi,
Tarîkhul Khulafâ’; hal. 173. Majma’uz Zawâid, juz 9 hal. 135. Kanzul
‘Ummâl, juz 5 hal. 153. Shahîh Tirmidzi, juz 5 hal. 327. Usdul Ghabah;
juz 2 hal. 12.
51. 51
Namun, barangsiapa membenci mereka berdua, maka dia
telah membenciku. Barangsiapa yang membenciku maka dia
telah dibenci oleh Allah. Dan barangsiapa yang dibenci oleh
Allah maka Allah akan memasukkannya ke neraka.”80
Cinta adalah langkah awal untuk ketaatan dan
menerima wilayah (kepemimpinan). Demikianlah hakikat
cinta. Nabi Muhammad saw telah merasa sakit karena
tangisan al-Husain as. Beliau selalu mengawasinya dalam
keadaan terjaga dan tidur, bahkan selalu berpesan kepada
ibunya, Fathimah, agar selalu memperlakukan al-Husain
dengan kasih sayang dan lemah lembut.81
Ketika al-Husain mulai bisa berjalan, Nabi
Muhammad saw mulai menarik perhatian orang-orang agar
tertuju kepadanya. Rasulullah Muhammad saw bahkan
memperlama sujudnya ketika al-Husain naik ke atas
punggung beliau. Beliau juga menghentikan khotbahnya
kemudian turun dari mimbar ketika melihat al-Husain berlari
menujunya. Lalu beliau menggendongnya dan membawanya
ke atas mimbar. Kemudian beliau melanjutkan khotbahnya.
Tindakan ini adalah cara pertama Rasulullah saw agar mereka
menerima wasiatnya sekaligus menunjukkan kepada umat
bahwa beliau sangat mencintai al-Husain as. Dengan itu
beliau menunjukkan kedudukan al-Husain kepada umat. 82
Rasulullah Muhammad saw melakukannya untuk memberi
tahu umat bahwa al-Husain yang akan menentukan masa
depan mereka.
80
Mustadrakul Hâkim, juz 3 hal. 166. Tarîkh Ibnu Asâkir; Tarjamatul
Imâm Husain as. I’lâmul Warâ, juz 1 hal. 432.
81
Majma’uz Zawâid, juz 9 hal. 210. Siyâr A’lâmin Nubalâ’, juz 3 hal.
191. Dzakhâirul ‘Uqba; hal. 143.
82
Musnad Ahmad, juz 5 hal. 354. I’lâmul Wara, juz 1 hal. 433. Kanzul
Ummâl; juz 7 hal. 167. Shahîh Tirmidzi, juz 5 hal. 616.
52. 52
Ketika rombongan pendeta nasrani Najran datang,
Nabi Muhammad saw mengajak mereka berdialog dan
menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang memiliki
pandangan dunia tauhid murni. Namun mereka menolak.
Padahal kebenaran sudah jelas dihadapan mereka. Maka
Allah memerintah Nabi Muhammad saw agar mengajak
mereka ber-mubahalah.
Pada waktu yang disepakati, Nabi keluar menuju para
pendeta itu dengan membawa serta pribadi-pribadi terbaik,
paling bertakwa dan paling mulia kedudukannya di sisi Allah.
Mereka adalah Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Nabi
menyertakan insan-insan teragung itu untuk ber-mubahalah
dengan pihak penentang kebenaran dan musyrik yang
menyimpang dari akidah. Pada saat yang sama Nabi
Muhammad saw ingin menunjukkan bahwa mereka yang
bersama beliau adalah Ahlulbait Nabi yang akan memegang
peranan penting, melanjutkan risalah Islam. Tindakan lugas
yang beliau lakukan adalah demi tegaknya akidah.83
Mubahalah tersebut gagal setelah para pendeta Najran
melihat wajah-wajah bersinar memancarkan cahaya tauhid
dan kemaksuman. Para pendeta Najran menyerah dan rela
membayar pajak serta hidup damai di bawah naungan Islam.
Masa singkat yang dijalani al-Husain bersama
kakeknya saw merupakan bagian terpenting sepanjang sejarah
Islam secara keseluruhan. Pada masa itu Nabi Muhammad
saw telah menancapkan dasar-dasar pemerintahannya yang
penuh berkah. Beliau membangunnya dengan landasan iman,
ilmu, memporakporandakan pasukan syirik, meruntuhkan
83
Musnad Ahmad, juz 1 hal. 185. Shahîh Tirmidzi, juz 4 hal. 293.
Mustadrakush Shahîhain, juz 3 hal. 150. Shahîh Muslim: kitâb fadhâil;
bab fadîlatu Imâm Alî, juz 2 hal. 360.
53. 53
tiang-tiang kekafiran dan menarik penolong serta pembela
dari para sahabat setianya. Karenanya beliau menyaksikan
kemenangan dengan masuknya orang-orang ke dalam agama
Allah.
Tak berselang setelah semua keberhasilan tersebut,
umat dikejutkan dengan sebuah musibah besar. Rasulullah
saw wafat. Umat diliputi kesedihan mendalam, terutama
Ahlulbait.
Warisan Nabi untuk kedua Cucunya
Setelah Sayyidah Fathimah merasakan masa
perpisahan dengan ayahnya segera tiba, beliau membawa dua
putranya, Hasan dan Husain, menemui Nabi saw dan berkata
kepada beliau, “Wahai ayahku, ini adalah dua putramu.
Berilah sesuatu kepada mereka sebagai warisan darimu.” Nabi
bersabda, “Al-Hasan akan mewarisi kewibawaan dan
kepiawaianku. Al-Husain akan mewarisi keberanian dan
kedermawananku.”84
Wasiat Nabi untuk mereka
Kurang dari tiga hari menjelang wafat, Nabi
Muhammad saw mewasiatkan kepada Imam Ali agar
memperhatikan kedua cucunya. Beliau bersabda, “Salam
bagimu wahai ayah dua buah hatiku. Aku berpesan
kepadamu, dua buah hatiku di dunia ini, sebentar lagi akan
runtuh dua rukunmu dan Allah yang akan menjagamu.” Maka
setelah Rasulullah wafat, Imam Ali as berkata, “Ini adalah
84
Bihârul Anwâr; juz 43 hal. 264. Manâqib Alî Abî Thâlib, juz 2 hal.465.
Nadzmu Duraris Simthain, hal. 212.
54. 54
salah satu dari dua rukun yang disabdakan Rasulullah
kepadaku.” Kemudian ketika Fathimah wafat, Imam Ali
bersabda, “Ini adalah rukun ke dua yang disabdakan oleh
Rasulullah kepadaku.”85
Saat-Saat Terakhir Usia Nabi saw
Ketika Nabi Muhammad saw terbaring sakit dan
menjelang akhir hayatnya, al-Husain datang menghampirinya.
Nabi Muhammad saw mendekap al-Husain ke dadanya dan
bersabda, “Apa gerangan kesalahanku kepada Yazid?
Sungguh, Allah tidak akan memberinya berkah.” Setelah itu
beliau jatuh pingsan dalam rentang waktu yang lama. Setelah
sadar, beliau kembali menciumi al-Husain sambil
mengucurkan air mata dan berkata, “Sungguh, aku memiliki
punya perhitungan khusus kepada pembunuhmu kelak pada
hari kiamat.”86
Pada detik-detik terakhir dari usia beliau, dua cucu
beliau menjatuhkan dirinya di pelukan Rasulullah dengan air
mata bercucuran. Nabi Muhammad menciuminya. Imam Ali
hendak mengangkat kedua putranya, namun Nabi
melarangnya dengan mengatakan, “Biarkanlah mereka berdua
mengambil bekal terakhir dariku dan aku pun mengambil
bekal terakhir dari mereka. Setelah aku, engkau akan
mendapatkan itsrah.”87
Kemudian Nabi menoleh ke arah orang-orang yang
menjenguknya dan bersabda kepada mereka, “Aku telah
85
Bihârul Anwâr, juz 43 hal. 264.
86
Baqir Syarif Al-Qurasyiy, Hayâtul Imâm Husain, juz 1 hal. 218, dinukil
dari kitab Mutsîrul Ahzân.
87
Al-Khawarizmi, Maqtalul Husain, juz 1 hal. 114.
55. 55
tinggalkan di antara kalian kitab Allah dan itrah keluargaku.
barangsiapa menyia-nyiakan kitab Allah sama dengan
menyia-nyiakan sunnahku dan barangsiapa menyia-nyiakan
sunnahku sama dengan menyian-nyiakan itrah keluargaku.
Sungguh keduanya tidak akan berpisah hingga bertemu
denganku di haudh.”88
Pada Masa Tiga Khalifah
Pada Masa Khalifah Pertama
Ahlulbayt, termasuk al-Hasan dan al-Husain
dirundung duka mendalam karena wafatnya Rasulullah
Muhammad saw. Kesedihan masih menyelimuti mereka dan
mereka sibuk mengurus tubuh suci Nabi termulia yang dicatat
oleh sejarah sebagai penjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Namun, tiba-tiba mereka dihadapkan kepada masalah baru
yang melipatgandakan kesedihan mereka. Hak-hak mereka
yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw dicerabut.
Masalah itu adalah masalah kepemimpinan umat.
Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib as disingkirkan dari
kursi kepemimpinan yang sejak lama telah dimandatkan oleh
Nabi saw melalui perintah Allah Swt.
Masalah besar ini adalah awal dari malapetaka besar
yang kemudian berlanjut dengan serangkaian intimidasi
kepada Ahlulbayt yang dilancarkan oleh pemegang pucuk
pimpinan pasca wafat Nabi Muhammad saw kepada
Ahlulbayt. Mereka berkeinginan menjauhkan Ahlulbayt dari
kepemimpinan umat.
88
Ibid.
56. 56
Fathimah Zahra Wafat
Ketika kakek yang mencintainya meninggal, al-Husain
baru berusia delapan tahun. Jiwa sucinya berkabung dan
sedih. Tidak lama berselang, kesedihannya bertambah karena
kepergian ibundanya, Fathimah az-Zahra, yang menyusul
kakeknya. Ibunya wafat dalam keadaan menyedihkan setelah
mengalami berbagai perlakuan yang tidak semestinya. Bunda
Fathimah selalu tenggelam dalam duka setelah kepergian
ayahnya. Seperti ibundanya, al-Husain melewati hari demi
hari dengan kesedihan dan tangisan.
Sejak kepergian Rasulullah saw, al-Husain tidak dapat
menahan air matanya ketika melihat ibundanya menangis.
Banyak perawi mencatat bahwa sejak kepergian
Rasulullah saw, sayyidah Fathimah selalu mengikat
kepalanya. Badannya semakin kurus. Dia selalu menangis.
Sepanjang harinya adalah kesedihan. Bahkan sesekali beliau
pingsan. Pernah beliau berkata kepada kedua anaknya,
“Manakah orang tua kalian yang selalu memuliakan dan
menggendong kalian? Manakah orang tua kalian yang sangat
mencintai kalian sampai-sampai tidak pernah membiarkan
kalian berjalan di atas tanah? Mengapa sekarang tidak lagi
aku melihatnya membuka pintu rumah ini kemudian
menggendong kalian seperti biasanya?”89
Setelah kepergian ayahnya, Fathimah Zahra selalu
mengajak Hasan dan Husain ke Baqi’. Di sanalah mereka
menangis di alam terbuka beratap langit hingga Imam Ali
datang dan mengajak mereka pulang ke rumah.
Asma’ binti Umais mengisahkan detik-detik setelah
Fathimah wafat. Dia mencatat bahwa setelah beberapa saat
Fathimah menghembuskan nafas terakhirnya, al-Hasan dan al-
89
Bihârul Anwâr, juz 43 hal. 181.
57. 57
Husain memasuki rumah. Dengan heran mereka bertanya
kepada Asma’, “Wahai Asma’, mengapa ibu kami tidur pada
waktu seperti ini? apakah gerangan yang menyebabkannya
tidur?” Asma’ menjawab, “Wahai putra Rasulullah, Ibu kalian
tidak sedang tidur namun telah meninggalkan dunia ini untuk
selamanya. Al-Hasan merobohkan badannya ke tubuh suci
sang bunda dan menciumnya sambil berkata, “Bunda,
bicaralah sebelum ruhku meninggalkan badanku.” Al-Husain
pun mendekat dan mencium kaki sang bunda sambil berkata,
“Bunda, aku Husain, putramu. Bicaralah sebelum hatiku
hancur berantakan kemudian mati.” Kemudian Asma’
menyuruh keduanya untuk memanggil ayah mereka dan
memberitahu kematian ibunya. Maka keduanya pergi menuju
mesjid namun sebelum masuk mereka berdua berteriak dan
menangis dengan keras hingga seluruh sahabat yang ada di
dalam mesjid keluar menemui mereka berdua dan bertanya,
“Apa yang terjadi?”90
Setelah Imam Ali datang dan memandikan jenazah
suci sang istri, beliau memanggil putra-putrinya satu persatu
dan pembantunya Fidhdhah, “Kemarilah Ummu Kultsum,
Zainab, Sukainah, Hasan, Husain dan Fidhdhah! Kemarilah,
ambillah bekal dari ibumu utuk terakhir kalinya. Ini adalah
perjumpaan terakhir kalian dengannya hingga kita bertemu
kelak di surga.”
Hasan dan Husain mendekat dan memeluk tubuh sang
bunda sambil berteriak, “Sungguh kesedihan dan duka ini tak
akan pernah padam karena kepergian kakekku al-Musthafa
dan ibuku Az-Zahra!”
Imam Ali berkata, “Aku bersaksi, demi Allah aku
mendengar Fathimah merintih dan membentangkan kedua
90
Bihârul Anwâr, juz 43 hal. 186
58. 58
tangannya kemudian memeluk Hasan dan Husain ke dadanya.
Tak lama kemudian aku mendengar teriakan dari langit,
‘Wahai Ali, ambil dan angkatlah keduanya.’ Demi Allah
pemandangan ini telah menjadikan seluruh malaikat
penduduk langit menangis.”91
Banyak perawi yang meriwayatkan bahwa keduanya
juga ikut hadir bersama ayahnya dalam seluruh proses
kewajiban kifayah yang dilakukan pada malam hari, mulai
dari memandikan, mengkafani, menshalati dan
menguburkan.92
Al-Husain yang masih sangat belia menghadapi duka
mendalam secara beruntun. Setelah kakeknya wafat, tak lama
berselang ibunya meninggal, kemudian tanah fadak milik
keluarganya dirampas dan ayahnya dikhianati.
Al-Husain juga menyaksikan perlakuan para
pengkhianat melakukan intimidasi kepada ayahnya beserta
para sahabatnya. Mereka merampas khumus dari ayahnya
secara khusus dan para sahabat setianya secara umum.
Pada Masa Khalifah Kedua
Para pencatat sejarah menyebutkan bahwa pada masa
kekhalifahan kedua, Umar bin Khattab sering mendatangi
Imam Ali untuk mendapatkan jawaban atas problema yang
dihadapinya. Inilah sebab mengapa khalifah tidak
memarjinalkan Imam Ali as ke luar Madinah seperti sahabat-
sahabat lainnya karena tidak ada seorang pun selain Imam Ali
yang dapat menyelesaikan problem-problem yang sering
dihadapinya. Dengan penuh hikmah, kepiawaian dan
91
Bihârul Anwâr, juz 43 hal. 179.
92
Ibid.
59. 59
kesabaran, Imam Ali menahan diri meski harus
mengorbankan hak-haknya.
Al-Husain yang baru menginjak remaja merasakan
kepedihan semua itu bersama sang ayah. Dia menyaksikan
betapa ayahnya menyikapi masalah yang dihadapinya dengan
tetap berpegang kepada kemaslahatan umat Islam. Al-Husain
selalu ingat bagaimana kakeknya, Rasulullah, selalu
mendahulukan ayahnya di atas seluruh sahabat lainnya dan
selalu berpesan agar umat memperlakukannya dengan baik.
Namun al-Husain dijauhkan dari posisi yang sebenarnya dan
tiada jalan lain yang dapat dilakukannya kecuali menahan diri
dan bersabar.
Suatu hari khalifah sedang berkhotbah. Tanpa disadari
olehnya, al-Husain menaiki mimbar dan berkata kepadanya,
“Turunlah dari mimbar ayahku dan pergilah ke mimbar
ayahmu!” Khalifah diam membisu dan tertegun beberapa
saat, kemudian menggendong dan memangkunya sambil
berkata menenangkan perasaannya sendiri. “Benar apa yang
kamu katakan. Tapi ayahku tidak memiliki mimbar.
Beritahukan kepadaku, siapakah yang mengajarimu berkata
seperti itu?” Imam Husain menjawab, “Demi Allah, tiada
seorang pun yang mengajariku.”93
Di riwayat lain disebutkan bahwa khalifah sangat
memperhatikan Imam Husain as dan menyuruhnya agar
menemuinya ketika membutuhkan sesuatu. Suatu hari al-
Husain as datang ke tempatnya namun dia menemui khalifah
bersama Muawiyah dan putranya. Abdullah bin Umar berdiri
di pintu dan al-Husain as meminta izin untuk masuk namun
dia menolaknya dan keduanya bergegas pergi. Al-Husain as
pun pulang. Keesokan harinya khalifah menemuinya dan
93
Al-Ishâbah, juz 1 hal. 332.
60. 60
bertanya, “Mengapa engkau tidak menemuiku?” Imam
menjawab, “Aku datang namun engkau sedang berdua dengan
Muawiyah, maka aku pulang dengan putramu Abdullah.”
Umar berkata, “Sungguh engkau lebih berhak dari anakku
Abdullah. Demi Allah, yang menyebabkan tumbuhnya uban
di kepalaku, seperti engkau lihat adalah kalian (Ahlulbayt).”94
Pada Masa Khalifah Ketiga
Pada masa ini, al-Husain menginjak usia dewasa.
Umurnya sekitar 30-an. Akhlaknya sempurna, karena risalah
dan adab kenabian serta sifat-sifat utama menyatu
bersamanya. Pada masa ini beliau hidup di tengah permainan
politik rekayasa sebagian orang, serta penyisihan ayahnya
agar tidak menduduki kursi khalifah. Mereka berusaha sekuat
tenaga agar ayahnya tetap duduk di rumah dan jauh dari
medan politik. Khalifah kedua, Umar bin Khattab, tidak
mencukupkan diri dengan memaksakan kehendak dan
pandangannya kepada umat meski mereka tak mampu
melakukannya. Dia menggelar suksesi yang dihadiri enam
orang dan akhirnya terpilihlah Usman.
Imam Ali menyifati era tersebut sebagai masa
pengorbanan haknya sebagai pemimpin demi kemaslahatan
agama dan umat. Karena itulah beliau bersabar. Beliau
melukiskan kesabarannya dalam khotbahnya, “Maka aku
bersabar menanggung ........... yang ada di mataku dan tulang
yang ada di tenggorakanku ..............95
Pada era ini, tanggungjawab dan peran Ahlulbait
bersinggungan dengan episode baru yang lebih berat dan
lebih rumit. Sebelumnya mereka harus berupaya menjelaskan
94
Ibid.
95
Nahjul Balâghah: Khotbah Syiqsyiqiyah.
61. 61
kepada umat atas penyimpangan khilafah agar agama dan
umat tidak lengah dan kehilangan nilai-nilai dan pondasi
Islam. Pada era ini, intimidasi kepada para sahabat yang
sebelumnya masih mendapatkan kehormatan dan kedudukan
yang layak semakin terasa. Sebagian mereka dihina, dihajar
bahkan dibuang ke luar kota Madinah. Pada saat yang sama,
mereka yang berlomba-lomba untuk mendapatkan posisi
pemerintahan adalah para thulaqa’ (sebutan Nabi bagi orang-
orang yang masuk Islam karena kalah perang) dan anak-anak
mereka. Mereka hidup di bawah bayang-bayang kelemahan
Usman, baik dari sisi keilmuan ataupun manajemen, ditambah
lagi oleh fanatisme keluarga Bani Umayyah yang selalu
ditonjolkan.96
Dalam khotbah yang dikenal dengan nama khotbah
Syiqsyiqiyyah, Imam Ali melukiskan kesulitan umat karena
kepemimpinan ketiga khalifah, khususnya pada masa khalifah
ketiga. Beliau bersabda, .. hingga akhirnya pemimpin ketiga
dari mereka yang mengangkat tangannya ..............
Perlakuan Usman atas Abu Dzar Al-Ghifari
Utsman menghadapi setiap orang yang menentang
kebijakan politiknya dengan tegas tanpa memperhatikan
kehormatan dan kemuliaan mereka yang notabene adalah
sahabat Nabi saw. Ia memarahi mereka secara berlebihan dan
membalas mereka dengan kezaliman. Abu Dzar –sahabat
Nabi yang paling awal memeluk Islam- salah seorang dari
pribadi-pribadi yang terlibat oposisi dan penentangan pada
politik Utsman. Utsman telah mencegahnya untuk
melanjutkan penolakan dan penentangan tersebut. Namun ia
96
Tarîkhul Khulafâ’, hal. 57.
62. 62
tetap melakukannya. Hingga Utsman tidak menemukan cara
lain untuk mendiamkannya kecuali membuangnya ke Syam
(Syiria). Namun di kota tersebut Abu Dzar masih melanjutkan
aksinya dengan mengingatkan kaum muslimin agar mereka
sadar dan tidak tertipu dengan politik Umawiyah yang dirajut
oleh Muawiyah, walikota Syam yang diangkat oleh Utsman.
Muawiyah marah dan merasa kebakaran jenggot
mendengar hal itu, maka ia menulis surat kepada Utsman
menceritakan bahaya Abu Dzar. Utsman memanggil Abu
Dzar kembali ke Madinah. Namun sahabat yang agung ini
malah melanjutkan tugas amar makruf nahi munkarnya dan
berusaha menyadarkan umat agar selalu waspada terhadap
bahaya Bani Umayyah yang telah menyusup ke dalam tubuh
Islam dan muslimin. Hal itu menjadikan Utsman tidak
menemukan jalan lain kecuali mengasingkan Abu Dzar ke
tempat yang jauh dari Madinah dan tak ada orang yang akan
berhubungan dengannya di tempat itu yang dikenal dengan
nama Rabadzah. Lebih dari itu Utsman telah
menginstruksikan kepada Marwan bin Hakam agar melarang
setiap orang yang akan menghantarkannya ke perbatasan kota
Madinah di saat kepergiannya meninggalkan kota Madinah.
Namun para sahabat setia Nabi tidak mengindahkan hal itu.
Di hari perpisahan dan di saat-saat terakhir ia akan
meninggalkan Madinah, terlihat Imam Ali bersama dua
putranya, Hasan dan Husain, saudaranya, Aqil dan
keponakannya, Abdullah bin Ja'far, serta Ammar bin Yasir
menemani Abu Dzar hingga perbatasan kota Madinah sebagai
bentuk perwujudan dukungan mereka pada aksi Abu Dzar dan
penolakannya mereka pada politik dan kebijakan Utsman.
Sejarah mencatat Imam Husain as saat itu mengumandangkan
sebuah orasi yang penuh hikmah yang berbunyi: Duhai
pamanku! Sungguh Allah Maha Kuasa untuk mengubah apa
63. 63
yang telah terjadi. Kullu Yaumin huwa fi sya’n. Mereka telah
mencegahmu untuk mendapatkan dunia mereka dan engkau
telah mencegah mereka untuk mendapatkan agamamu.
Sungguh, engkau tidak membutuhkan apa yang telah mereka
cegah engkau untuk mendapatkannya dan alangkah butuhnya
mereka atas apa yang telah engkau cegah mereka untuk
mendapatkannya. Maka mohonlah kepada Allah kesabaran,
berlindunglah kepada-Nya dari kesedihan yang melampaui
batas dan al -jaza’ wal jasya’ sebab kesabaran adalah bagian
dari agama dan nilai kemuliaan sedangkan keduanya (al jaza’
wal jasya’) tidak akan mendatangkan rezeki dan tidak akan
mengakhirkan ajal kematian.97
Abu dzar kemudian menangis dengan dahsyatnya dan
memandangi wajah-wajah Ahlulbayt yang ia cintai dengan
tulus dan merekapun telah tulus dalam persahabatan
dengannya. Abu Dzar berkata," Semoga Allah merahmati
kalian wahai keluarga rumah kenabian yang penuh rahmat.
Setiap aku menatap wajah kalian, maka pandanganku
mengingatkanku kepada Rasulullah saw. Aku tidak lagi
memiliki tempat yang akan aku tuju di Madinah ini kecuali
kalian. Aku telah melakukan protes pada Utsman di Hijaz dan
Muawiyah di Syam serta aku sampaikan hal itu pada semua
orang, maka mereka enggan untuk hidup bersama saudara dan
anak pamannya di dua kota ini. Oleh karena itu aku dibuang
ke tempat yang tak ada lagi penolong dan pembela bagiku.
Demi Allah aku tidak menginginkan sahabat kecuali Allah
dan aku tidak takut kepada siapapun di saat bersama-Nya."98
97
Bihârul Anwâr, juz 22 hal. 412 dan Murûjudz Dzhahab, juz 2 hal. 350
98
Bihârul Anwâr, juz 22 hal. 412. Murûjudz Dzhahab, juz 2 hal. 350.
64. 64
Pada Masa Kepemimpinan Imam Ali
Masa pemerintahan tiga khalifah telah berakhir
dengan terbunuhnya Utsman. Berakhir pula problema umat
selama dua puluh lima tahun. Pada masa ini umat mulai sadar
bahwa Imam Ali as yang dapat merealisasikan harapan-
harapan mereka serta mengembalikan harkat dan martabat
mereka. Mereka yakin, dengan hidup di bawah kepemimpinan
Imam Ali as, kebebasan akan diraih, keadilan dan persamaan
hak akan dijunjung tinggi. Karena itulah umat mendesak
Imam Ali as untuk menerima baiat mereka.
Sebelumnya, selama puluhan tahun (sejak wafatnya
Rasulullah saw) umat ditimpa berbagai problema: bahaya
penyimpangan agama besar-besaran, lenyapnya semangat
berkorban untuk mempertahankan agama, terseret oleh ambisi
atau kepentingan pribadi, terjebak ke dalam fanatisme
kesukuan dan golongan yang sempit.
Imam Ali menolak untuk menjadi pemimpin mereka.
Beliau menjelaskan, “Sungguh aku tidak memiliki
kepentingan sedikitpun untuk memimpin kalian. Pilihlah yang
kalian sukai dan aku akan mengikuti keinginan kalian.”99
Imam Ali melakukan hal itu karena beliau tahu betapa
sulitnya mengembalikan hukum-hukum Islam yang telah
diubah oleh para khalifah sebelumnya berdasarkan ijtihad
salah mereka. Beliau sadar dan yakin bahwa masyarakat yang
telah terbiasa dengan kesalahan-kesalahan tersebut akan
menentang dan menghalangi beliau untuk menjalankan
kebijakan politiknya. Namun Imam Ali tetap menegakkan
merealisasikan keadilan dan menumpas setiap bentuk
penyelewengan dan kezaliman. Akibat atau reaksi masyarakat
yang telah beliau prediksi sebelumnya benar-benar terjadi.
99
Bihârul Anwâr, juz 32 hal. 7.
65. 65
Dengan bekal pengalaman dan pemahaman Islam yang
komprehensif: sebagai satu-satunya orang yang pertama
masuk Islam, sebagai orang yang piawai dalam pengambilan
kebijakan politik, sebagai ahli dalam hal kepemimpinan,
beliau berusaha sekuat tenaga berjuang. Namun, masyarakat
tetap tidak beranjak dari jalan menyimpang. Virus
penyelewengan mendarah-daging dalam tubuh masyarakat.
Keadilan dan kebenaran ditolak. Pihak-pihak munafik, orang-
orang yang terancam kepentingannya dan orang-orang yang
menyembunyikan benci kepada Allah dan Rasul-Nya,
semuanya menghadang dan memerangi Imam Ali. Beliau
memaparkan hal ini dalam khotbah syiqsyiqiyah. Petikan
khotbah tersebut sebagai berikut:
Setelah aku menerima kepemimpinan ini, satu
kelompok dari mereka telah melanggar janji dan
baiatnya. 100
Sebagian lain memisahkan dirinya dari
barisan.101
Dan sekolompok lagi melakukan kezaliman
dan menimbulkan kekacauan.102
Seolah-olah mereka
belum mendengar firman Allah Swt, Kehidupan
akhirat itu kami persiapkan bagi mereka yang tidak
menginginkan kesombongan dan kerusakan di atas
muka bumi. Sungguh akibat (baik) itu adalah bagi
orang-orang yang bertaqwa.103
Padahal, demi Allah,
mereka telah mendengar dan memahaminya. Namun
100
Yaitu orang-orang yang memerangi beliau dalam perang Jamal (An-
Nakitsin).
101
Yaitu kaum Khawarij yang memerangi beliau dalam perang Nahrawan
(Al-Mariqin).
102
Yaitu mereka yang memerangi beliau dalam perang Shiffin (Al-
Qasithiyn).
103
QS. Al-Qashash : 83.
66. 66
mata-mata mereka telah silau oleh keindahan dan
gemerlap dunia.104
Imam Husain Membenahi Umat Bersama Ayahnya
Setelah menduduki kursi khilafah, Imam Ali berupaya
melakukan pembenahan dengan mengembalikan umat kepada
kebenaran dan keadilan. Beliau menghidupkan kembali
sunnah Rasulullah saw. Beliau memulai langkahnya dengan
melakukan pembenahan manajemen yang kacau; pembagian
harta baitul mal yang tidak adil. Penegakan hukum dan
mengembalikan kehormatan agama serta kaum muslimin
beliau lakukan. Namun yang tak dapat dihindari adalah beliau
berhadapan dengan pihak-pihak yang tidak menyetujui
keputusan beliau.
Imam Ali as tidak memiliki sedikitpun keraguan
dalam memberantas segala bentuk kemunafikan dan
mencabutnya hingga ke akarnya. Tujuan beliau adalah
menyelamatkan umat dan risalah suci Islam. Beliau dan
anggota keluarganya harus menghadapi berbagai peperangan
ketika menegakkan Islam. Imam Ali as mengikuti jejak
langkah yang dicontohkan Rasulullah saw.
Demikian juga dengan al-Husain. Beliau berperan
aktif dalam seluruh peperangan yang dihadapi oleh ayahnya.
Beliau maju ke medan laga pada setiap kesempatan dan
mendapatkan izin dari ayahnya. Sejarah mencatat sebuah
orasi perang yang ditujukan oleh al-Husain kepada mereka
yang sedang bergerak menuju perang Shiffin. Setelah
bersyukur dan memuji Allah, beliau bersabda, “Wahai
penduduk Kufah! Kalian adalah orang-orang yang kami cintai
104
Nahjul Balâghah: Khotbah Syiqsyiqiyah.
67. 67
dan kami muliakan. .......................... bersungguh-sungguhlah
dalam upaya memadamkan ...........105
Imam Ali Ingin al-Husain Selamat
Menurut sebagian catatan sejarah disebutkan bahwa
al-Husain as ikut serta dalam peperangan Shiffin dan Jamal.
Padahal Imam Ali as melarang beliau dan saudaranya al-
Hasan untuk ikut serta dalam peperangan itu sebab beliau
khawatir keturunan Rasulullah terputus jika mereka berdua
terbunuh dalam peperangan tersebut. Di antara catatan sejarah
yang menunjukkan hal itu adalah riwayat ketika Imam Ali
melihat Imam Hasan turun ke medan laga di perang Shiffin,
beliau berkata, “Peganglah putraku ini. Sungguh aku tidak
.......... karena keduanya lebih mulia dari diriku untuk
menerima kematian, agar tidak terputus keturunan Nabi
saw.”106
Perawi yang lain menuturkan bahwa Imam Ali
beberapa kali mengutus putranya yang bernama Muhammad
ibnu Hanafiah untuk maju ke medan laga, namun tidak
mengizinkan putranya Hasan dan Husain untuk maju. Ketika
Muhammad ibnu Hanafiah bertanya mengapa beliau
bertindak demikian, Imam Ali menjawab, “Mereka berdua
adalah kedua mataku, sementara aku adalah tangan baginya
yang selalu menepis setiap bahaya yang akan menimpa mata.”
Jawaban ini menunjukkan betapa perhatian beliau sangat
besar kepada Imam Hasan dan Imam Husain.
Sejarah mencatat bahwa al-Husain selalu bersama
ayahnya pasca perang Shiffin, tragedi “tahkim” dan perang
105
Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balâghah, juz 1 hal 118.
106
NahjulBalâghah: Khotbah 207.
68. 68
Nahrawan. Sangat jelas, betapa kehidupan al-Husain bersama
ayahnya didera oleh berbagai kesulitan dan peristiwa pahit
yang mencapai puncaknya ketika kelompok Khawarij
bersepakat membunuh ayahnya, manusia paling sempurna
setelah Rasulullah saw. Pedang beracun ditetakkan oleh
Abdurrahman bin Muljam al-Muradi al-Khariji tepat
mengenai kepala Imam Ali ketika beliau sedang
melaksanakan shalat di mihrabnya.
Imam Ali Berwasiat kepada al-Husain
Wasiat Imam Ali as kepada al-Hasan dan al-Husain
merupakan bukti yang menunjukkan perhatian besar dan
kecintaan beliau kepada mereka berdua. Diriwayatkan di
dalam kitab Nahjul Balâghah bahwa ketika sakit dan
terbaring di tempat tidurnya akibat tetakan pedang
Abdurrahman bin Muljam, Imam Ali berwasiat kepada al-
Hasan dan al-Husain sebagai berikut: “Aku wasiatkan kepada
kalian berdua agar bertakwa kepada Allah! Janganlah kalian
menginginkan dunia walaupun ia menginginkan kalian!
Janganlah kalian bersedih atas urusan dunia yang telah
dijauhkan dari kalian! Berkatalah benar! Berbuatlah hanya
untuk mendapat pahala Allah! Bantulah orang-orang teraniaya
dan musuhilah orang-orang yang berbuat aniaya!
Aku Wasiatkan kepada kalian berdua, kepada semua
anak dan anggota keluarga serta kepada setiap orang yang
sampai kepadanya ucapanku ini agar mereka bertakwa kepada
Allah dan merapikan urusannya dengan baik, serta berupaya
mendamaikan pertikaian karena aku telah mendengar
Rasulullah saw bersabda, ‘Mendamaikan pertikaian itu lebih
utama dari seluruh shalat dan puasa.’ Selanjutnya
perhatikanlah anak-anak yatim, takutlah kalian kepada Allah,