AKSI NYATA Numerasi Meningkatkan Kompetensi Murid_compressed (1) (1).pptx
Terminologi Hukum Sah, Batal, 'Azimah dan Rukhshah
1. Presentasi ke-3 dan ke-4
HUKUM SYARA’:
Sah dan Batal, ‘Azimah & Rukhshah,
Hakim, Mahkum Fih, Mahkum ‘Alaih
Oleh: Hj. Marhamah Saleh, Lc. MAOleh: Hj. Marhamah Saleh, Lc. MA
2. SAH dan BATAL
Shihhah/Shah/Sah, maksudnya perbuatan hukum yang sesuai
dengan tuntutan syara’, yaitu terpenuhinya sebab, syarat,
dan tidak ada māni’. SAH dapat diartikan lepas tanggung
jawab atau gugur kewajiban di dunia serta memperoleh
pahala dan ganjaran di akhirat. Misal: mengerjakan shalat
dhuhur setelah tergelincir matahari (sebab), didahului dengan
wudhu’ (syarat), dan tidak ada halangan haid bagi pelakunya
(māni’). Shalat yg dilakukan itu hukumnya sah. Tapi jika
sebab tidak ada, syarat tidak terpenuhi, maka shalatnya
dikatakan tidak sah, walaupun māni’-nya tidak ada.
Buthlan/Bathil/Batal, yaitu terlepasnya hukum syara’ dari
ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang
ditimbulkannya. Batal juga dapat diartikan tidak melepaskan
tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban
di dunia, dan di akhirat tidak memperoleh pahala.
3. SAH, FASID dan BATAL
Setiap perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf sudah ditetapkan
rukun dan syaratnya serta disesuaikan dengan perintah Allah. Jika
telah memenuhi semua ketentuan syara’ maka perbuatan itu
dikatakan sah. Sebaliknya perbuatan yang kurang rukun dan syarat
serta bertentangan dengan syara’ dinamakan batal.
Di kalangan mazhab Syafi’i, tidak ada perbedaan pada ibadah dan
muamalah, dalam keduanya berlaku “sah atau batal”.
Sebagian ulama mazhab Hanafi sependapat dengan mazhab Syafi’i
dalam hal ibadah, hanya ada “sah atau batal”. Namun dalam masalah
‘uqud, perjanjian yang tidak sah terbagi dua: batal dan fasid (rusak).
Bila cacat terdapat dalam rukun & syarat, maka akad menjadi batal,
ia tidak mengakibatkan timbulnya hukum karena tidak ada sebab.
Sedang jika cacat itu ada dalam suatu syarat dari beberapa syarat
yang berhubungan dengan hukum maka akad itu menjadi fasid, tapi
tidak batal, dan berakibat timbulnya sebagian pengaruh hukum. Misal:
akad nikah dengan wanita muhrimat adalah batal. Tapi pernikahan yg
tidak dihadiri dua orang saksi disebut fasid, pengaruhnya
suami wajib bayar mahar, isteri tetap menjalankan masa
‘iddah, anak masih dapat dihubungkan dgn suaminya.
4. ‘AZIMAH dan RUKHSHAH
‘Azimah adalah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah kepada
seluruh hamba-Nya sejak semula. Imam al-Baidhawi mengatakan
‘azimah adalah hukum yang ditetapkan tidak berbeda dengan dalil
yang ditetapkan karena ada ‘udzur. Misal: Hukum shalat Dhuhur 4
raka’at disebut ‘azimah. Jika ada dalil lain yang membolehkan musafir
shalat dhuhur 2 raka’at, maka itu disebut rukhshah (keringanan).
Prof. Muhammad Abu Zahrah memasukkan ‘azimah & rukhshah
dalam rangkaian hukum taklifi (bukan wadh’i), karena menyangkut
transformasi dari satu hukum taklifi kepada hukum yang lain, seperti
dari hukum asalnya haram menjadi mubah, atau dari wajib menjadi
jaiz (boleh ditinggalkan) pada kondisi tertentu.
Al-Ghazali, al-Amidi, al-Syathibi memasukkannya dalam hukum
wadh’i, karena pada dasarnya seluruh hukum itu bersifat ‘azimah,
status ini tidak berubah menjadi rukhshah, kecuali ada penyebabnya.
Faktor Penyebab adanya Rukhshah: (1) Dharurat, seperti orang
sangat lapar dikhawatirkan akan mati, sementara yg ada
di hadapannya makanan haram, maka ia boleh makan,
bahkan wajib makan untuk menjaga jiwanya. (2) Untuk
menghilangkan masyaqqah (keberatan) & kesempitan.
5. Macam-macam RUKHSHAH
1. Rukhshah untuk mengerjakan suatu perbuatan.
2. Rukhshah untuk meninggalkan suatu perbuatan.
Jika ‘azimah berupa larangan, maka rukhshahnya berupa dispensasi
untuk mengerjakan. Sebaliknya, jika ‘azimah berupa kewajiban,
maka rukhshahnya berupa dispensasi untuk meninggalkannya.
Contoh: Mengucapkan kalimat yg menimbulkan syirik/kufur hukum
asalnya haram/dilarang, tapi bagi yg diancam bunuh dengan senjata
boleh mengucapkannya asalkan hatinya masih teguh dalam
keimanan. Lihat QS. al-Nahl, 106:
Ada pula yang membagi Rukhshah menjadi:Ada pula yang membagi Rukhshah menjadi:
1. Rukhshah Isqath: Jika seseorang diwajibkan melaksanakan
rukhshah tersebut lantaran hukum ‘azimah telah gugur. Misal: Wajib
makan bangkai dalam keadaan terpaksa, jika tidak, ia bisa mati.
2. Rukhshah Tarfih: Jika hukum rukhshah dan hukum ‘azimah masih
dapat dilakukan semuanya. Misal: Pada kasus memakan harta orang
lain ketika sangat lapar, masih dapat dilaksanakan hukum
‘azimah. Jika ia bersabar dan tidak makan harta orang,
hingga ia mati, maka tidak berdosa. Karena haramnya
makan harta orang lain selalu ada pada hukum ‘azimah.
6. Macam-macam ‘AZIMAH
Hukum yang disyari’atkan sejak semula untuk kemaslahatan
manusia seluruhnya, seperti ibadah, muamalah, jinayah, dsb yang
bertujuan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Hukum yang disyari’atkan karena adanya suatu sebab yang muncul,
seperti larangan mencaci berhala atau tuhannya agama lain, karena
yang dicela akan berbalik mencela Allah Swt. QS. Al-An’am: 108.
Hukum yang disyari’atkan sebagai pembatal (nasikh) bagi hukum
sebelumnya, sehingga mansukh seakan-akan tidak pernah ada.
Status nasikh dalam hal seperti ini adalah ‘azimah. Seperti masalah
pengalihan arah kiblat dari masjidil aqsha ke masjidil haram. QS. Al-
Baqarah: 144.
Hukum pengecualian dari hukum-hukum yang berlaku umum, seperti
pada QS. Al-Nisa`: 24 Allah mengharamkan mengawini para wanita
yang telah bersuami (muhshanat) denga lafaz yang bersifat umum,
kemudian dikecualikan dengan wanita yg menjadi budak.
7. Hakim (Pembuat Hukum / Allah)
Kata hakim secara etimologi berarti orang yang
memutuskan hukum. Dalam fiqih, istilah hakim semakna
dengan qadhi. Namun, dalam ushul fiqh, kata hakim berarti
pihak penentu dan pembuat hukum syari’at secara hakiki.
Ulama Ushul sepakat bahwa yang menjadi sumber atau
pembuat hakiki dari hukum syari’at adalah Allah Swt.
(QS. Al-An’am: 57)
Para ulama Ushul berbeda pendapat dalam masalah:
Apakah hukum-hukum yang dibuat Allah Swt hanya dapat
diketahui dengan turunnya wahyu dan datangnya Rasulullah
Saw, atau apakah akal mempunyai kewenangan dalam
penetapan hukum-hukum syari’at?
Perbedaan ini berpangkal dari perbedaan pandangan tentang
fungsi akal dalam mengetahui baik dan buruk suatu hal (tahsīn
‘aqli wa taqbīh ‘aqli).
8. Perbedaan Tentang Baik dan Buruk
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan dapat
dibagi kepada dua kategori: (1) Perbuatan yang sifat baik atau
buruknya bersifat esensial (hasan lidzātih dan qabīh lidzātih).
Kekuatan akal yang sehat secara independen mampu
mengetahuinya. Fungsi wahyu untuk memberitahukan suatu
perbuatan adalah baik atau buruk, dikemas dalam bentuk
perintah dan larangan.
(2) Perbuatan yang tidak dapat diketahui oleh akal terhadap nilai
baik dan buruknya, seperti ibadah dan cara-caranya. Secara
mutlak, diperlukan wahyu untuk mengetahui baik buruknya.
Golongan Maturidiyah membagi sesuatu perbuatan itu kepada:
Hasan lidzātih, qabīh lidzātih, dan sesuatu yang ada diantara
keduanya dan ini tergantung pada perintah dan larangan Allah
Swt. Menurut mereka, akal semata tidak dapat dijadikan landasan
hukum, setiap hukum haruslah bereferensi kepada wahyu.
Golongan Asy’ariyah berpendapat tidak ada yang bersifat baik
dan buruk menurut esensinya. Baik dan buruk bagi sesuatu
adalah sifat yang datang kemudian, bukan bersifat esensial. Yang
membuat sesuatu baik atau buruk adalah perintah atau larangan
Allah Swt, akal tidak mempunyai kewenangan menetapkannya.
9. Mahkum Fih
Mahkūm Fīh berarti perbuatan orang mukallaf sebagai tempat
menghubungkan hukum syara’. Misal, dalam QS. Al-Maidah: 1
Yang menjadi objek perintah dalam ayat tsb adalah perbuatan
orang mukallaf, yaitu perbuatan menyempurnakan janji yang
diwajibkan.
SYARAT-SYARAT MAHKŪM FĪH :
1.Perbuatan itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang
mukallaf sehingga suatu perintah dapat dilaksanakan secara lengkap
seperti yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Ayat-ayat al-
Quran yang bersifat global, baru wajib dilaksanakan setelah ada
penjelasan secara rinci tatacaranya dari Rasulullah Saw. seperti
shalat, puasa, zakat, haji, dsb.
2.Diketahui secara pasti oleh mukallaf bahwa perintah itu datang
dari Allah Swt dan Rasul-Nya. Itulah sebabnya setiap upaya mencari
pemecahan hukum, yang paling utama dilakukan adalah
pembahasan tentang validitas suatu dalil sebagai sumber hukum.
3.Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa
perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan
atau meninggalkannya.
10. Mahkum ‘Alaih (Subjek Hukum)
Mahkūm ‘Alaih berarti orang mukallaf (orang yang layak
dibebani hukum taklifi), jika telah memenuhi beberapa persyaratan.
SYARAT-SYARAT MAHKŪM ‘ALAIH :
1.Mampu memahami khithab syar’i dan dalil-dalil hukum baik
secara mandiri atau dengan bantuan orang lain minimal sebatas
memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat atau hadis.
Adanya kemampuan memahami hukum taklifi disebabkan seseorang
mempunyai akal yang sehat sempurna. Jika diukur secara fisik, batas
baligh berakal pada wanita ditandai dengan menstruasi, sedangkan
pada pria ditandai dengan mimpi basah. QS. Al-Nur: 59.
2.Mempunyai ahliyat al-ada`, yaitu kecakapan untuk bertindak
secara hukum atau memikul beban taklif. Dengan adanya kecakapan
seperti itu seseorang disebut mukallaf, artinya segala perbuatannya
diperhitungkan oleh hukum Islam, ia diperingatkan untuk
melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangan. Kecakapan
seperti itu baru dimiliki seseorang jika ia baligh, berakal sehat, bebas
dari segala hal yang menjadi penghalang bagi kecakapan tsb seperti
keadaan tertidur, gila, lupa, terpaksa, dsb. Khusus tasharruf harta,
kewenangan seseorang baru dianggap sah disamping sudah baligh
berakal juga setelah rusyd (kemampuan mengendalikan hartanya).
11. Tentang Ahliyyah
Secara etimologi, ahliyyah berarti kecakapan menangani suatu
urusan. Secara terminologi, ahliyyah adalah:
Suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh
syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan
syara’.
Ahliyyah ada 2 macam:
1.Ahliyyat al-ada`, sifat kecakapan bertindak hukum bagi
seseorang yang telah dianggap sempurna untuk
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik positif
maupun negatif. Ukurannya adalah ‘aqil, baligh dan rusyd (QS. Al-
Nisa`: 6).
2.Ahliyyat al-Wujub, sifat kecakapan seseorang untuk menerima
hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum mampu untuk dibebani
seluruh kewajiban. Misal: ia telah berhak menerima hibah, jika
hartanya dirusak orang lain, ia diangap mampu menerima ganti rugi.
Selain itu, ia juga dianggap mampu untuk menerima harta waris.
Namun, ia dianggap belum mampu untuk dibebani kewajiban syara’
seperti shalat, puasa, haji dsb. Maka walaupun ia mengerjakan
amalan tsb statusnya sekedar pendidikan bukan kewajiban. Ukuran
yang digunakan adalah sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi
12. Pembagian Ahliyyah Al-Wujub
Ahliyyah al-wujub terbagi dua:
(1) ahliyyat al-wujub al-naqishah,
yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin), ada
4 hak baginya: hak keturunan dari ayahnya, hak warisan, wasiat, dan
harta wakaf yang ditujukan kepadanya.
(2) ahliyyat al-wujub al-kamilah,
kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke
dunia sampai dinyatakan baligh dan berakal.
Jika seseorang melakukan tindakan hukum yang bersifat
merugikan orang lain, maka orang yang berstatus ahliyyah al-ada`
ataupun ahliyyah al-wujub al-kamilah wajib
mempertanggungjawabkannya, wajib memberikan ganti rugi dari
hartanya sendiri, dan pengadilan berhak memerintahkan wali atau
washi untuk mengeluarkan ganti rugi dari harta anak itu sendiri.
Tapi jika tindakannya bersifat mencederai fisik atau bahkan
membunuh orang lain, maka tindakan anak kecil yang berstatus
ahliyyat al-wujub al-kamilah belum dapat ditindak secara hukum,
maka hukumannya tidak dengan qishash, tetapi dianggap melukai
atau pembunuhan semi-sengaja yang hukumnya dikenakan diyat
atau ta’zir.