Bab 7 - Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial.pptx
Pro dan Kontra Sebutan Pancasila sebagai Salah Satu Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara serta Strategi Inovatif Penyebarannya
1. PRO DAN KONTRA SEBUTAN PANCASILA SEBAGAI SALAH SATU
PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA SERTA
STRATEGI INOVATIF PENYEBARANNYA
Manik Sukoco*
Abdul Gafur**
*Prodi PPKn Program Pascasarjana UNY, E-mail: itsmanik@fastmail.net
**Dosen Pengampu Prodi PPKn Program Pascasarjana UNY,
Jalan Colombo No.1 Yogyakarta 55281, E-mail: agafur68@gmail.com
Diskusi tentang Pancasila mungkin dianggap membosankan bagi sebagian
besar kalangan masyarakat Indonesia. Sejak runtuhnya kekuasaan rezim otoriter pada
pertengahan Mei 1998, Pancasila tidak lagi populer dalam kehidupan masyarakat.
Istilah pilar kebangsaan muncul setelah pengesahan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Partai Politik. Pada akhir tahun 2011, dan sepanjang tahun 2012, sosialisasi mengenai
Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara mulai dilakukan. Pada bulan Maret 2013,
diskusi mengenai Pancasila semakin marak terdengar. Salah satu penyebabnya adalah
pengukuhan gelar kehormatan doctor honoris causa dari Universitas Trisakti kepada
Mantan Ketua MPR RI, Alm. Taufiq Kiemas atas jasanya telah melahirkan gagasan
sosialisasi 4 pilar kebangsaan Indonesia, yakni: 1) Pancasila, 2) Bhineka Tunggal Ika, 3)
UUD 1945, dan 4) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lebih lanjut, Taufiq
Kiemas berpendapat bahwa 4 pilar bangsa harus dijabarkan dan menjiwai semua
peraturan perundangan, institusi pendidikan, pertahanan serta semua sendi kehidupan
bernegara. Namun, jika ditelaah lebih lanjut, ternyata istilah empat pilar kebangsaan
dan kenegaraan tersebut kurang tepat jika ditinjau secara mandalam, baik dari sisi
historis, yuridis, maupun ilmiah.
A. Awal Kemunculan
Landasan hukum dipakainya istilah “Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara”
adalah disahkannya UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Pada Pasal 34 ayat
(3b) dicantumkan bahwa Pancasila merupakan pilar berbangsa dan bernegara. Sebutan
itu berangkat dari makna harfiah pilar sebagai tiang penguat atau penyangga. Apabila
pilar ini tidak kokoh atau rapuh, maka akan berakibat robohnya bangunan yang
disangganya. Demikian pula halnya dengan bangunan negara-bangsa, membutuhkan
pilar yang merupakan tiang penyangga yang kokoh, agar rakyat yang mendiami akan
merasa nyaman, aman, tenteram, dan sejahtera, terhindar dari segala macam
gangguan dan bencana. Jadi “Empat Pilar Kebangsaan” dimaknai MPR sebagai empat
tiang penguat atau penyangga untuk menjaga keutuhan berkehidupan kebangsaan
Indonesia. Gagasan ini lalu gencar disosialisasikan sejak tahun 2011 oleh MPR. MPR
menilai bahwa sosialisasi ini sangat efektif guna menanamkan kembali nilai-nilai luhur
yang perlu dijadikan acuan dan pedoman bagi setiap warga negara dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Namun dalam perjalanannya, sebutan Pancasila sebagai salah satu pilar
berkehidupan, berbangsa, dan bernegara ternyata menuai pro dan kontra baik dari
masyarakat, maupun dari kalangan akademisi. Banyak pemberitaan di media cetak
maupun elektronik yang mengulas mengenai pendapat masyarakat dan akademisi
mengenai sosialisasi 4 pilar berbangsa dan bernegara yang dilakukan oleh MPR.
2. B. Pendapat Pro
MPR adalah pendukung terbesar dari kampanye “Empat Pilar Berbangsa dan
Bernegara”. Hal ini dikarenakan paska reformasi, Pancasila menjadi tidak populer
bahkan dilupakan urgensinya dalam kehidupan masyarakat. Terjadinya krisis multi-
dimensi di berbagai wilayah Indonesia juga menuntut dilakukannya revitalisasi nilai-
nilai Pancasila. MPR memandang perlunya kampanye dan pengenalan kembali
Pancasila kepada generasi muda, supaya mereka dapat mengetahui kedudukan
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ditinjau dari aspek yuridis,
sosialisasi empat pilar kebangsaan ini merupakan tindak lanjut dari Ketetapan MPR
Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional dan
kondisi bangsa Indonesia pada saat itu, yaitu: a) Nilai-nilai agama dan nilai-nilai
budaya bangsa tidak lagi dijadikan sumber etika dalam berbangsa dan bernegara oleh
sebagian masyarakat. Hal itu kemudian melahirkan krisis akhlak dan moral yang
berupa ketidakadilan, pelanggaran hukum, dan pelanggaran HAM, b) Konflik sosial
budaya telah terjadi karena kemajemukan suku, kebudayaan, dan agama yang tidak
dikelola dengan baik dan adil oleh pemerintah maupun masyarakat, c) Penegakan
hukum tidak berjalan dengan baik dan pelaksanaannya telah diselewengkan
sedemikian rupa, sehingga bertentangan dengan prinsip keadilan, yaitu persamaan hak
warga negara di hadapan hukum, d) Perilaku ekonomi yang berlangsung diwarnai
dengan praktek KKN (kolusi, korupsi, nepotisme), serta kurangnya keberpihakan pada
kelompok usaha kecil dan menengah, e) Sistem politik tidak berjalan dengan baik,
sehingga belum dapat melahirkan pemimpin-pemimpin yang amanah, mampu
memberikan teladan, dan memperjuangkan kepentingan masyarakat, f) Peralihan
kekuasaan yang sering menimbulkan konflik, pertumpahan darah, dan dendam antara
kelompok masyarakat karena proses demokrasi yang tidak berjalan dengan baik, g)
Aparat pemerintah sering mengabaikan proses demokrasi sehingga rakyat tidak dapat
menyalurkan aspirasi politiknya. Hal ini menimbulkan gejolak politik lalu bermuara
pada gerakan masyarakat yang menuntut kebebasan, kesetaraan, dan keadilan, h)
Penyalahgunaan kekuasaan sebagai akibat dari lemahnya fungsi pengawasan oleh
internal pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat, serta terbatasnya pengawasan
oleh masyarakat dan media massa pada masa lampau, telah menjadikan transparansi
dan pertanggungjawaban pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang
bersih dan bertanggungjawab tidak terlaksana. Akibatnya, kepercayaan masyarakat
kepada penyelenggara negara menjadi berkurang, i) Globalisasi dalam kehidupan
politik, ekonomi, sosial, dan budaya dapat memberikan keuntungan bagi bangsa
Indonesia, tetapi jika tidak diwaspadai, dapat memberi dampak negatif terhadap
kehidupan berbangsa, j) Kurangnya pemahaman, penghayatan, dan kepercayaan akan
keutamaan nilai-nilai yang terkandung pada setiap sila Pancasila dan keterkaitannya
satu sama lain, untuk kemudian diamalkan secara konsisten dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
C. Pendapat Kontra
Pendapat Kontra akan sebutan Pancasila sebagai salah satu pilar berkehidupan
berbangsa dan bernegara datang terutama dari kalangan akademisi. Prof. Sujito, yang
merupakan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM menolak pendapat tersebut dengan 4
alasan yaitu: 1) Pancasila seharusnya dipandang sebagai way of life atau pandangan
hidup bangsa Indonesia bukan sebagai tiang penyangga negara. 2) Pancasila dimaknai
3. sebagai dasar negara yang kemudian oleh Bung Karno disebut sebagai philosofische
grondslag bagi Negara Indonesia, 3) Pancasila merupakan ideologi negara, bukan
merupakan pilar kebangsaan, dan 4) Pancasila dipandang sebagai paradigma ilmu.
Dalam berbagai kedudukan fungsi dan maknanya itu, Pancasila harus diamalkan
sebagai satu kesatuan secara simultan, tidak boleh dipecah-pecah, apalagi diganti
istilah dan kedudukan maknanya menjadi pilar. Prof. Sujito juga mengutip pendapat
pakar politik Edward Silen bahwa syarat pertama dan utama agar kehidupan bernegara
mantap, stabil, dan dinamis yaitu bila suatu bangsa sudah memiliki pemahaman dan
kesepakatan tentang sistem nilainya. Sistem nilai yang dianut Indonesia adalah
Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila tidak bisa digoyang-goyang dengan berbagai
macam cara baik dari sisi istilah, predikat, kedudukan, fungsi, dan maknanya. Apabila
pemahaman Pancasila masih rancu, kacau, chaos, dasar negara disamakan dengan
pilar, dan penggunaan istilah pilar dikatakan tidak bermasalah, maka bangsa ini
berada di ambang kehancuran.
Guru Besar Filsafat UGM, Prof. Kaelan, menolak sebutan Pancasila sebagai
salah satu pilar berkehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan 4 alasan yaitu: 1)
Pada UU No. 2 Tahun 2011 Pasal 1 ayat (1) ditegaskan Pancasila sebagai dasar negara,
adapun pada Pasal 34 ayat (3b), Pancasila dicantumkan sebagai pilar berbangsa dan
bernegara. Hal ini mengandung arti bahwa UU No. 22 Tahun 2011 tersebut cacat
secara hukum (memiliki ketidakonsistenan dan ketidakkoherenan). Jika Pancasila
diletakkan sebagai pilar negara, maka akan memiliki konsekuensi yaitu mengacaukan
sistem penormaan hukum di Indonesia, 2) Pasca reformasi, nilai-nilai Pancasila
sebagai dasar filsafat negara dihilangkan dari kancah kehidupan kenegaraan dan
Kebangsaan sehingga bangsa Indonesia kehilangan ideologi dan pandangan filosofis
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, munculnya istilah
Pancasila sebagai pilar akan merusak sistem pengetahuan tentang Pancasila, 3)
ketidaktahuan tentang Pancasila sebagai dasar filsafat negara dengan kehadiran
terminologi Pancasila sebagai pilar kebangsaan akan mengacaukan pengetahuan
tentang Pancasila. 4) Program MPR tentang pemasyarakatan dan pembudayaan
Pancasila sangat mulia dan masyarakat harus mendukungnya. Namun, istilah
Pancasila sebagai pilar kebangsaan tidaklah tepat dan perlu dikoreksi.
Prof. Jawahir Thontowi, Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Islam
Indonesia juga menolak sebutan Pancasila sebagai salah satu pilar berkehidupan
berbangsa dan bernegara berdasarkan 3 alasan yaitu: 1) Penggunaan empat pilar
kebangsaan yang saat ini sedang diupayakan untuk disosialisasikan dengan merujuk
pada Pasal 34 ayat (3b) UU No. 2 Tahun 2011 merupakan suatu keputusan politik yang
tidak memiliki sumber yang dapat dipertanggung-jawabkan, baik secara historis,
yuridis, maupun ilmiah. Sehingga, pro kontra yang timbul dalam masyarakat dan
bangsa Indonesia terkait dengan 4 pilar kebangsaan yang mensejajarkan atau
menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan tidak menemukan
kebenaran secara de facto dan de jure, 2) Secara kualitatif keberadaan Pasal 34 ayat
(3b) telah melanggar konstitusi, mengingat secara faktual pelanggaran yang terjadi
justru karena bertentangan dengan alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Mengacu
pada argumentasi sejarah hukum perjanjian dan hukum kebiasaan internasional,
khususnya terkait dengan pacta sunt servanda dan asas good faith dalam hukum
kebiasaan, termasuk juga keberadaan UUD, menunjukkan bukti bahwa norma hukum
4. 4 pilar kebangsaan tidak memiliki derajat dan kualitas sebanding. Jika ditinjau secara
filosofis, kedudukan Pancasila sebagai pilar kebangsaan sangat lemah untuk
dipertahankan dan jelas menimbulkan ketidakpastian hukum baik dalam arti kognitif,
afektif, dan juga psikomotorik bagi keberadaan Pancasila sebagai dasar negara di
Indonesia, 3) Ketidakpastian hukum sebagai akibat pertentangan serius antara Pasal
34 ayat (3b) dengan Pembukaan UUD 1945 khususnya alinea keempat, kerugian
konstitusional, potensial, dan material tanpa ada keraguan sedikit pun (beyond
reasonable doubt) telah terlihat gamblang dan jelas, sehingga dengan asas iktikad baik
Pemerintah, MPR, DPR, DPD, serta pihak-pihak pendukung tidak selayaknya
mempertahankan metode pendidikan politik melalui 4 pilar kebangsaan tanpa
dukungan dan kajian akademis mendalam dan komprehensif.
Selain maraknya pemberitaan di media cetak maupun elektronik, protes dan
unjuk rasa juga beberapa kali terjadi mengenai perlunya koreksi akan sebutan
Pancasila sebagai salah satu pilar berbangsa dan bernegara. Di berbagai daerah terjadi
gejolak protes terhadap MPR, salah satunya di Lampung pada November 2012, di
PBNU pusat pada bulan Agustus 2013, di Semarang oleh BEM IAIN Wali Songo, di
UNDIP Semarang. Lalu juga di Riau, Surakarta, Surabaya, Malang, Bali, dan
Yogyakarta. Beberapa seminar terkait juga diselenggarakan sebagai respon dari
sosialisasi MPR mengenai 4 pilar kebangsaan, diantaranya Kongres Pancasila IV, 1
Juni 2012, Kongres Pancasila V di UGM, 1 Juni 2013, dan Sarasehan Nasional dalam
rangka Dies Natalis ke-50 Fakultas Geografi UGM, 31 Agustus 2013 di Fakultas
Geografi UGM Yogyakarta. Lebih lanjut diajukanlah Perkara No. 100/PUU-XI/2013
Perihal Pengujian UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik terhadap UUD 1945 melalui MK.
D. Kelanjutan Sebutan Pancasila sebagai Salah Satu Pilar Berbangsa dan
Bernegara
Setelah masyarakat melakukan gugatan Perkara No. 100/PUU-XI/2013 Perihal
Pengujian UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang
Partai Politik terhadap UUD 1945 melalui MK, maka MK pada tanggal 3 April 2014,
mengeluarkan putusan untuk membatalkan istilah Empat Pilar Berbangsa dan
Bernegara. Namun dalam prakteknya, MPR ternyata tidak dapat meninggalkan
warisan dari pimpinan MPR sebelumnya, Taufik Kiemas, mengenai penggunaan istilah
“empat pilar”. Frase tersebut dianggap sudah cukup menjadi merk dalam rangka
sosialisasi Pancasila, UUD Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Untuk itu, pada pertengahan Februari 2015, Pimpinan MPR melakukan
konsultasi dengan pimpinan MK untuk menegaskan kembali aspek legalitas dari
kegiatan sosialisasi empat pilar yang diselenggarakan oleh MPR. Kemudian, MPR
menempuh jalan tengah. MPR akan tetap menghormati putusan MK mengenai
pelarangan penggunaan istilah "Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara". Sebagai
konsekuensinya, Badan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI tidak diperkenankan lagi
mempergunakan istilah "Sosialisasi Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara", namun
menggantinya dengan istilah "Sosialisasi Empat Pilar MPR RI".
E. Pendapat Penulis
Dalam hal ini penulis tidak setuju mengenai sebutan Pancasila sebagai salah
satu pilar berbangsa dan bernegara. Jika ditinjau dari aspek yuridis, penulis sepakat
5. dengan teori yang ditulis oleh Maria Farida Indrati dalam Sistem Norma Hukum di
Indonesia dimana, “Keseluruhan sistem norma hukum Negara Republik Indonesia
merupakan suatu sistem yang berjenjang, dimulai dari staat fundamental norm
(Pancasila), kemudian disusul dengan verfassungsnorm (UUD 1945), lalu grundgesetz
norm (ketetapan MPR), serta gesetz norm (Undang-Undang). Konsekuensinya,
Pancasila merupakan sumber dan dasar bagi pembentukkan pasal-pasal dalam
verfassungsnorm. Sedangkan aturan yang ada dalam verfassungsnorm merupakan
sumber dan dasar bagi pembentukan aturan-aturan grundgesetz norm, dan juga
sekaligus merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan gesetz norm. Dalam
kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia, pada
hakikatnya merupakan sumber dan asas kerohanian bagi sistem peraturan perundang-
undangan di Indonesia. Apabila menganalisis UU No. 2 Tahun 2011 Pasal 1 ayat (1),
disana disebutkan bahwa Pancasila merupakan dasar negara. Namun pada Pasal 34
ayat (3b) disebutkan kedudukan Pancasila sebagai pilar berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan teori sistem norma hukum, bisa disimpulkan bahwa ada kekacauan
penormaan hukum di dalam UU No. 2 Tahun 2011 yaitu di antara staat fundamental
norm dengan gesetz norm. Manakala di dalam peraturan perundang-undangan
terdapat ketidakserasian atau ketidakkonsistenan, apalagi dengan Pancasila sebagai
sumbernya, maka hal ini akan menyebabkan inkonstitusionalitas dan ketidaklegalan.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika norma hukum tersebut batal demi hukum.
Adapun jika ditinjau dari sisi historis, konsensus mengenai Pancasila sebagai
staat fundamental norm terjadi tatkala Pancasila disepakati pada tanggal 22 Juni
1945. Jika kesepakatan itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara dan
juga tidak ditutup kemungkinan akan terjadi suatu chaos, perang sipil, atau bahkan
suatu revolusi. Hal ini pernah terjadi 1789 di Perancis, kemudian di Amerika 1776, di
Rusia pada tahun 1917, demikian pula di Uni Soviet, dan Yugoslavia.
Jika ditinjau dari segi filosofis, dalam rangka menjamin kebersamaan dalam
kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan,
cita-cita bersama yang terumuskan di dalam filsafat dasar negara, yaitu Pancasila.
Kedudukan Pancasila sebagai philosofische grondslag merupakan harga mati. Oleh
karena itu, perubahan Pancasila, baik dari sisi istilah, predikat, kedudukan, fungsi, dan
maknanya tidak diperbolehkan.
F. Strategi Inovatif Penyebarluasan Empat Pilar MPR RI
Ada beberapa pendekatan yang saat ini digunakan untuk menyebarluaskan
empat pilar MPR RI. Keempat pendekatan tersebut yaitu: 1) Pendekatan kultural,
dengan memperkenalkan tentang budaya dan kearifan lokal kepada generasi muda.
Hal ini dibutuhkan agar pembangunan oleh generasi muda di masa depan tetap
mengedepankan norma dan budaya bangsa. Pembangunan dilakukan dengan
memperhatikan potensi dan kekayaan budaya daerah tanpa menghilangkan adat
istiadat yang berlaku; 2) Pendekatan edukatif, dengan mendidik generasi muda melalui
wadah-wadah yang tepat seperti kegiatan Pramuka; 3) Pendekatan hukum, dengan
menindak tegas tindakan kekerasan atau pelanggaran norma; 4) Pendekatan
struktural, dengan mengajak berbagai lapisan struktur sekolah, masyarakat, dan
pemerintah untuk bekerjasama mengurai benang kusut budaya korupsi, kerusuhan
sosial dan konflik horizontal, lemahnya taraf hidup masyarakat, minimnya akses akan
pendidikan dan kesehatan, juga berbagai belitan persoalan lainnya.