Teks tersebut menceritakan perjalanan spiritual seorang santri bernama Ode. Ode memiliki banyak pertanyaan mengenai agama dan nilai-nilai kehidupan yang belum terjawab dengan baik oleh gurunya. Ia kemudian mencari jawaban sendiri melalui pemikiran mendalam dan bermimpi. Teks ini juga menggambarkan kasih sayang Ode kepada ayah dan gurunya serta komitmen untuk merawat ibunya yang sakit.
1. Tutur Tinular,
Santri Berdarah Liberal
“tutur tinular: siji
“apa
maksud
ditutur, siji dilaku, siji ditular”
kalimat itu, Pak?”
“sadar
ataupun
adalah
makhluk
contoh dan kita
orang
sebelum
yang
mungkin kurang
bisa-bisa
diu-sa-ha-kan”
tidak sebagai manusia kita
peniru. Banyak hal yang kita
ambil pelajaran dari orangkita. Bisa jadi itu warisan
menguntungkan,
atau
menguntungkan,
bahkan
merugikan… semua… yang..
Belum
penjelasan yang tak
suara
gurunya
patahan
suara
digantikan dengan
ingatannya.
rampung
mendengar
dapat ditangkap, lamat-lamat
semakin menuju patahanmendekati volume 0.5 MHz
bisikan gemuruh dari dinding ruang kelasnya. Gemuruh yang menyadap
Ingatan, ketika matahari itu masih buta, selepas dari shalat ia lekas bersiap-siap, berdandan
rapi untuk menemui Kyai Bustan, Pengasuh Pesantren. Ayun pikirannya hendak meminta wejangan
secara pribadi kepada beliau tentang aurat wanita. Bagaimana seorang muslimah menjadi begitu
bebas tanpa merasa berdosa sama sekali memperlihatkan anggota-anggota tubuh yang semestinya
‘terlarang’. Bagaimana mungkin para aparat-aparat Islam sanggup mencanangkan dan
memberlakukan peraturan tertib menutup aurat di negara ini. Jika semuanya sudah ‘buka-bukaan’
lalu yang mana yang aurat, apa batasan aurat adalah bagaian tubuh yang kalau dilihat akan
menimbulkan hasrat. Lalu bagaimana jika batasan yang seperti itu larut, karena mungkin nanti
bahkan seorang perempuan tanpa sehelai benangpun dan beraksi bagaimanapun, pria-pria tidak akan
berhasrat. Jadi aurat itu pada hakikatnya tiada apalagi batasannya, nihil. Seperti itulah daftar
pertanyaan Ode tercatat dalam otaknya.
Beberapa kali menemui Kyainya, akan tetapi tidak juga merasa puas dengan jawaban-jawaban
yang ia terima. Berminggu-minggu di kamar dengan pintu terkunci. Seakan ruang yang dipenuhinya
dengan privasi. Ode sanggup seharian hanya ditemani beberapa batang rokok hingga satu-persatu
berakhir di asbak lengkap menjadi jelaga dan puntung batas terpendek. Pikirannya terus meraba
beberapa kemungkinan yang ia inginkan menjadi kesimpulan untuk mendapatkan kepuasan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaannya. Memang, akhirnya ia yang harus memuaskan sendiri kehausan
pikirannya. Dalam tidur dan terjaga ia bermimipi dan mencari pendapat pandangan dunia atau world
view yang paling ideal. Tapi yang ditemuinya hanya kekecewaan bahwa Islam nanti takkan berbekas
samasekali dalam tata dan nilai kehidupan manusia. Ode yang malang.
2. “baiklah, Ode. Seperti itu penjelasannya. Sudah paham?”
Ode masih dalam dimensi suara dinding ruang kelas yang semakin menghentak-hentak
seakan berusaha rubuh menimpanya. Tapi ia tak hendak bergeming dari kursi seperti cecunguk yang
lari dikejar ketakutan.
“Ode, Ode! Kau mendengarkan?”
“iya, sangat ribut, Pak”
“apakah semua manusia benar-benar sudah sangat gemar meniru?”
“ribut, berisik sekali, ramai”
“setidaknya kau mendengar penjelasanku. Kau lihat apa?
“Pohon”
“Mengapa kau memandangi pohon?”
“Untuk melihatnya dengan baik.
Untuk merasakannya
untuk memahami pemikirannya dan...,mendengarkan apa yang dikatakannya padaku.”
“baiklah, Ode. Aku paham. Mungkin kau merindukan seseorang, yang mungkin bukan
seorang kekasih atau pacar. Tapi bisa jadi memang kau berpikir manusia juga meniru
pepohonan”
Sebuah jalan lama membentuk wajah ayahku.
Bahkan bunga liar kesepian malu-malu berpaling.
Begitu dalam cintaku.
Bagaimana hatiku berdesir dikala
mendengar lagu samar darimu.
Aku mendoakanmu.
Sebelum menyeberangi sungai hitam.
Dengan napas terakhir jiwaku.
Aku mulai bermimpi...,
di suatu pagi yang cerah...,
aku terjaga lagi, dibutakan oleh cahaya...,
dan bertemu denganmu...,
berdiri di sisiku.
21 April 2017
Ode, sering kali merindukan ayahnya. Tulisan di buku catatannya menjadi berlembar-lembar
rangkaian kerinduan yang mendalam. Benar, ia bungsu yang paling suka menikmati kesendirian
daripada kesembilan saudaranya yang lain. Sementara di pesantren, Kyai Bustan cukup senang ketika
3. tahu Ode menganggap beliau sebagai ayah. Dan Ode memang anak yang cerdas dan selalu haus
pengetahuan sehingga Kyai Bustan pun menyukainya.
“kemarilah, Ode…”
“iya, kak. Ada apa?”
“Kyai Bustan ingin bicara denganmu”
“baik, saya segera ke ndhalem, kak”
“saya tahu banyak pertanyaan-pertanyaanmu yang jawabanku belum juga memuaskanmu,
karena sebenarnya kau juga memiliki jawaban sendiri. Saya juga sering mengalami hal seperti
yang kamu rasakan. Akan tetapi ingatlah satu patokan, nak. Semua yang digariskan dalam
kehidupan manusia baik tata dan nilainya, semuanya pasti mengalami perkembangan kearah
semakin buruk. Namun tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita harus terus menerus berdo’a
semoga iman kita dikuatkan, dan saat ini sudah saatnya kita menjadi ghuroba’. Islam datang
sebagai yang asing dan akan kembali menjadi asing. Seperti itulah hukum alam, Ode.. Kau
pasti akan paham yang kumaksudkan. Aku tak bisa lama-lama menemanimu”
“nggeh, Kyai.. saya berusaha memahami yang Kyai sampaikan”
“baiklah, semoga kau lulus ujian”
“terimakasih do’anya, Kyai..”
Tak lama beberapa bulan kemudian Kyai Bustan wafat…
“kau mau melanjutkan ke Perguruan Tinggi, Ode?
“mungkin nanti, Kak Arif.. saya masih harus menemani Ibu saya.”
“baiklah, semoga Ibumu lekas sehat. Salam untuk Ibumu.”
“terimakasih, Kak”
Ode telah lulus SMA. Ia mengemasi pakaian dan barang-barang. Ia ingin segera memulai
pengembaraan ilmu ketempat yang lain. Akan tetapi keinginannya menuntut ilmu di Makkah alMukarramah kandas, karena Ibunya sakit keras. Ia benar-benar harus berdiam di rumah sembari
membantu Kakaknya mengajar di pesantren kecil di samping rumahnya. Dan entah apakah dia akan
menjadi ghuroba’.
Yogyakarta, 8 Muharram 1434