1. PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA MUNGGUNAKAN
PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK
INDONESIA (PMRI)
Eko Septiansyah Putra
Program Studi Megister Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya
e-mail: mafia_konoha@yahoo.com
Abstrak
Secara umum telah kita ketahui bahwa matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang
diberikan kepada semua peserta didik dari tingkat sekolah dasar sampai ke tingkat perguruan
tinggi. Di dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan matematika sekolah dasar ada beberapa
materi yang harus dikuasai peserta didik dimana materi ini dapat membentuk pola pikir
siswa menjadi kritis, analitis, dan sistematis, salah satu kajian materi tersebut adalah
perkalian. Konsep-konsep di dalam perkalian merupakan dasar untuk mempelajari konsep
selanjutnya. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa siswa mengalami
kesulitan dalam pemahaman konsep dasar operasi perkalian. Siswa cenderung dikenalkan
dengan penggunaan rumus tanpa melibatkan konsep itu sendiri. Memberikan lingkungan
belajar kontekstual akan membantu peserta didik dalam membangun pemahaman konsep.
Pendekatan matematika realistik Indonesia (PMRI) memiliki karakteristik yang
memungkinkan siswa berkembang secara optimum, seperti kebebasan siswa untuk
menyampaikan pendapatnya, adanya masalah kontekstual yang dapat mengkaitkan konsep
matematika dengan kehidupan nyata, dan pembuatan model yang dapat memudahkan siswa
dalam menyelesaikan masalah.
Kata kunci: Pemahaman konsep, Perkalian, PMRI
PENDAHULUAN
Secara umum telah kita ketahui bahwa matematika merupakan salah satu mata
pelajaran yang diberikan kepada semua peserta didik dari tingkat sekolah dasar sampai ke
tingkat perguruan tinggi guna untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir
logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta memiliki kemampuan bekerjasama (Syaiful,
2011). Dengan kemampuan– kemampuan tersebut diharapkan peserta didik dapat bersaing
pada kondisi yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
2. Pada umumnya banyak orang menganggap bahwa matematika adalah pelajaran yang
sulit, membosankan, menakutkan, hanya punya jawaban tunggal untuk setiap permasalahan,
dan hanya dapat dipahami oleh segelintir orang. Hal ini senada yang diungkapkan dalam
penelitian Marhamah (2009) bahwa masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam
mempelajari matematika sehingga mereka mengeluh dan beranggapan bahwa matematika itu
sangat sulit dan menakutkan. Rasa takut terhadap pelajaran matematika (fobia matematika)
sering kali menghinggapi perasaan para siswa dari tingkat SD sampai dengan SMA bahkan
hingga perguruan tinggi.
Supartono (2006) menyatakan bahwa yang masih sering ditemui adalah masih banyak
siswa yang mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika. Beberapa penyebab
kesulitan tersebut antara lain pelajaran matematika tidak tampak kaitannya dengan kehidupan
sehari-hari, cara penyajian pelajaran matematika yang monoton dari konsep abstrak menuju
ke kongkrit, tidak membuat anak senang belajar. Menurut Rohani (2005) siswa belajar
matematika tanpa menyadari
kegunaannya. Sedangkan menurut Zulkardi (2007) ada masalah besar dalam pendidikan
matematika di Indonesia. Masalah tersebut adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan
suatu problem yang berhubungan dengan kehidupan seharihari masih rendah. Hal ini dapat
dilihat dari hasil tes TIMSS tahun 2015 penguasaan siswa Indonesia berada di peringkat 36
dari 49 negara. Salah satu penyebabnya, jika diperhatikan karena model soal yang diujikan
banyak yang berhubungan dengan
masalah kontekstual. Hal ini didukung pendapat Suryanto (2002), pembelajaran matematika
saat ini banyak disajikan sebagai “barang jadi”, yaitu sebagai sistem deduktif. Tugas murid
adalah menghapal definisi dan teorema, mengerjakan soalsoal atau berlatih menerapkan
rumus-rumus.
Di dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) matematika sekolah dasar ada
beberapa kajian materi yang harus dikuasai oleh peserta didik dimana kajian materi ini dapat
membentuk pola pikir siswa menjadi lebih logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif. Salah
satu bidang kajian materi tersebut adalah perkalian serta aplikasi dari perkalian di dalam
kehidupan sehari-hari. Konsep- konsep di dalam perkalian merupakan dasar untuk
mempelajari konsep selanjutnya. Treffers (1991) menyatakan pengalaman belajar yang lalu
dari seorang siswa akan mempengaruhi proses belajar matematika selanjutnya. Dengan
demikian pemahaman konsep perkalian di sekolah dasar akan sangat berpengaruh terhadap
penguasaan materi lebih lanjut.
3. Konsep matematika adalah abstrak dan hal ini membuat siswa merasa sulit untuk
belajar matematika. Akibatnya, siswa kurang pengalaman dan memahami konsep matematika
dalam kehidupan sehari-hari (Haris, 2011). Hal ini senada dengan Prahmana (2010) yang
mengatakan proses pembelajaran matematika siswa belum bermakna, sehingga pemahaman
siswa tentang konsep masih lemah.
PEMBAHASAN
Salah satu materi matematika yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari
adalah perkalian. Selain itu perkalian juga merupakan dasar dalam belajar matematika lebih
lanjut. Namun kenyataan yang terjadi materi perkalian masih dirasakan sulit oleh siswa,
seperti hal nyas iswa mengalami kesulitan dalam pemahaman konsep dasar operasi perkalian.
Siswa lebih cenderung dikenalkan dengan penggunaan rumus tanpa melibatkan konsep itu
sendiri. (Prahmana, 2012).
Di dalam belajar perkalian dengan pecahan di Indonesia, sebagian besar siswa dituntut
untuk menguasai prosedur dan algoritma. Mereka hanya perlu menghafal rumus dan trik
dalam perhitungan untuk memecahkan masalah. Namun, kita tidak tahu apakah siswa
mengetahui dan memahami arti prosedur dan algoritma di balik itu (Shanty, 2011). Selain itu,
belajar matematika siswa belum bermakna, sehingga pengertian siswa tentang konsep sangat
lemah.
Kairuddin (2011) menyatakan bahwa fakta- fakta ini menunjukan bahwa pembelajaran
disekolah tersebut masih konvensional dimana proses pembelajaran masih dengan berlatih
simbol matematika dan menekankan pada pemberian informasi dan penerapan algoritma
matematika. Kairuddin (2011) menyatakan bahwa metode ini konvensional yaitu
ketergantungan pada metode ceramah, sifat pasif yang ditunjukan pelajar dalam proses
pembelajaran, hanya jawaban yang benar diterima, kurangnya siswa dalam bertanya, dan
seluruh kegiatan kelas hanya mencatat. Melihat keadaan seperti ini maka perlu adanya
perubahan-perubahan kearah yang lebih baik terutama pada pengembangan materi, dimana
perlu diterapkannya suatu pendekatan pembelajaran yang melibatkan siswa dan dimulai dari
hal yang nyata serta dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa, sehingga proses
pembelajaran matematika menjadi lebih menarik, bermakna, dan tidak membosankan serta
tidak menakutkan bagi siswa.
Matematika bukan hanya materi yang di transfer oleh guru ke siswa (Gravemeijer,
1994). Siswa seharusnya tidak dianggap sebagai penerima pasif yang hanya menerima materi
matematika dengan sekedar menggunakan rumus dan prosedur tertentu untuk menyelesaikan
suatu permasalahan, tetapi lebih dari itu siswa diberi kesempatan dan dibimbing kedalam
4. situasi untuk menemukan kembali (reinvent) konsep matematika dengan cara mereka sendiri.
Untuk mengkondisikan siswa ke dalam situasi tersebut pembelajaran matematika di kelas
ditekankan pada keterhubungan antara konsep matematika dengan pengalaman siswa sehari
hari.
Memberikan anak-anak lingkungan belajar kontekstual akan membantu mereka untuk
membangun pemahaman konsep. Indonesia adalah negara yang besar dan besar yang
memiliki banyak konteks. odong-odong, ojek, angkutan kota (angkot) adalah konteks yang
dapat ditemukan di setiap tempat di Indonesia, khusus untuk angkot, transportasi ini
digunakan oleh sebagian besar penduduk desa dan kota sebagai kendaraan atau transportasi
untuk pergi ke setiap tempat (Kairuddin, 2011). Selain itu permainan tradisional merupakan
aspek menarik yang membantu anak untuk mengalami berbagai situasi yang mengajak
mereka untuk bersentuhan dengan suara, simbol, dan arti yang berkaitan dengan bilangan
(Nasrullah, 2011).
Salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang menekankan kegunaan dalam
arti khusus, yaitu pembelajaran yang menekankan penggunaan masalah kontekstual sebagai
titik awal pembelajaran matematika adalah Realistic Mathematics Education (RME), sebuah
pendekatan pembelajaran matematika yang dikembangkan Freudenthal di Belanda pada
tahun 1970. Gravemeijer (1994) mengungkapkan realistic mathematics education is rooted in
Freudenthal’s interpretation of mathematics as an activity. Ungkapan Gravemeijer tersebut
menunjukkan bahwa pembelajaran matematika realistik dikembangkan berdasar pandangan
Freudenthal yang menyatakan matematika sebagai suatu aktivitas. Lebih lanjut Gravemeijer
(1994) menjelaskan bahwa yang dapat digolongkan sebagai aktivitas tersebut meliputi
aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah dan mengorganisasi pokok persoalan. Terkait
dengan konsep pembelajaran matematika realistik di atas Gravemeijer (1994) menyatakan
mathematics is viewed as an activity, a way of working. Learning mathematics means doing
mathematics, of which solving everyday life problem is an essential part. Gravemeijer
menjelaskan bahwa dengan memandang matematika sebagai suatu aktivitas maka belajar
matematika berarti bekerja dengan matematika dan pemecahan masalah hidup sehari-hari
merupakan bagian penting dalam pembelajaran.
Konsep lain dari pembelajaran matematika realistik dikemukakan Treffers (1991)
dalam pernyataan berikut ini The key idea of RME is that children should be given the
opportunity to reinvent mathematics under the guidance of an adult (teacher). In addition,
the formal mathematical knowledge can be developed from children’s informal knowledge.
Dalam ungkapan di atas Treffers menjelaskan ide kunci dari pembelajaran matematika
5. realistik yang menekankan perlunya kesempatan bagi siswa untuk menemukan kembali
matematika dengan bantuan orang dewasa (guru). Selain itu disebutkan pula bahwa
pengetahuan matematika formal dapat dikembangkan (ditemukan kembali) berdasar
pengetahuan informal yang dimiliki siswa.
Pernyataan-pernyataan yang dikemukakan di atas menjelaskan suatu cara pandang
terhadap pembelajaran matamatika yang ditempatkan sebagai suatu proses bagi siswa untuk
menemukan sendiri pengetahuan matematika berdasar pengetahuan informal yang
dimilikinya. Dalam pandangan ini matematika disajikan bukan sebagai barang “jadi” yang
dapat dipindahkan oleh guru ke dalam pikiran siswa.
Dalam sudut pandang pendekatan matematika realistik, siswa di tempatkan sebagai
individu yang memiliki pengalaman dan pengetahuan sebagai dari hasil interaksi dengan
lingkungannya. Pendekatan ini pula diyakini bahwa siswa mempunyai kemampuan atau
potensi untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang matematika.
Dengan melakukan eksplorasi dalam berbagai masalah, baik yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari sampai masalah matematika, diharapkan siswa dapat merekontruksi kembali
temuan-temuan dalam matematika. Dalam pendekatan matematika realistik, guru dapat
dikatakan sebagai fasilitator, moderator dan evaluator yang memberikan kesempatan siswa
untuk memunculkan ide dan menemukan konsep matematika dengan cara mereka sendiri.
Realistic mathematic education (RME) kemudian diadaptasi oleh Indonesia, yang
kemudian dinamakan dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Dalam
Dikdasmen (2004) prinsip dasar PMRI adalah materi matematika ditransmisikan sebagai
aktivitas manusia (human activity), memberi kesempatan siswa menemukan kembali
(reinvention) melalui praktek (doing it). Pembelajaran matematika dengan menggunakan
PMRI lebih menekankan kepada “student oriented” atau “problem oriented” sehingga akan
mengurangi banyak dominasi guru. Dengan menggunakan pendekatan ini, siswa akan belajar
konsep-konsep matematika berdasarkan realitas atau lingkungan di sekitar mereka.
Dalam hal ini pendekatan realistik merupakan pendekatan dalam proses belajar
matematika yang dikembangkan guna untuk mendekatkan matematika kepada siswa,
sehingga proses pembelajaran matematika dapat menarik dan bermakna. Masalah-masalah
nyata dari kehidupan sehari-hari siswa bisa digunakan sebagai titik awal dari proses
pembelajaran matematika untuk menunjukan bahwa matematika sangatlah dekat dengan
kehidupan sehari-hari yang oleh Gravemeijer (1994) menyebut sebagai mematisasi dari
kehidupan sehari-hari. Benda-benda nyata yang akrab dengan kehidupan sehari-hari siswa
bisa digunakan dan dijadikan sebagai alat peraga dalam memulai proses belajar matematika .
6. PMRI menyediakan dan mengembangkan pendekatan cara baru mengajar matematika
menerapkan strategi yang memungkinkan siswa untuk menjadi pemikir yang lebih aktif
(Haris, 2011).
Ide utama pembelajaran matematika realistik adalah siswa harus diberi kesempatan
untuk menemukan kembali (reinvention) konsep matematika dengan bimbingan orang
dewasa. Prinsip menemukan kembali berarti siswa diberi kesempatan menemukan sendiri
konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai soal kontekstual. Berdasarkan soal siswa
membangun model dari (model of) situasi soal kemudian menyusun model matematika
(model for) untuk menyelesaikan hingga mendapatkan pengetahuan formal matematika
(Gravemeijer, 1994). Selain itu dalam pandangan ini, matematika dipandang sebagai suatu
kegiatan manusia. Menurut Marpaung (2007), beberapa hasil penelitian dan pengalaman
menggunakan PMRI di beberapa sekolah terlihat kemajuan dalam persepsi siswa tentang
matematika, dari yang biasanya menakutkan dan tidak disenangi menjadi tidak lagi
menakutkan, walaupun belum sampai tahap disenangi.
Penelitian kairuddin (2011) didapat bahwa siswa menggunakan banyak strategi ketika
proses pembelajaran dilaksanakan. Penggunaan PMRI dengan kontek angkot juga dapat
membantu siswa untuk memahami konsep dasar dari penjumlahan dan pengurangan.
Penelitian Haris (2011) menyatakan bahwa hasil dari teaching experiment menunjukkan
konteks yang digunakan yakni kontek anyaman dapat merangsang siswa untuk
mengembangkan pengetahuan mereka tentang konsep luas. Sehingga dapat di simpulkan
penggunaan konteks dalam PMRI dapat membantu memahami konsep luas dari level
informal ke level formal. Penelitian Nasrullah (2011) menggunakan permainan dalam proses
pembelajaran, misalnya, pembelajaran matematika untuk sekolah dasar dapat menjadi suatu
program pelajaran matematika untuk anak-anak. Penelitian Nenden (2011) menyimpulkan
bahwa penggunanan PMRI dalam pembelajaran siswa mengenai materi perkalian pecahan
dengan bilangan bulat dimana proses belajar lebih progresif berkembang melalui tingkatan
yang berbeda-beda. Dalam penelitian Prahmana (2011) penggunaan konteks permainan
tradisional tepuk bergambar (PT2B) menunjukkan bahwa konteks PT2B dapat merangsang
siswa untuk memahami pengetahuan mereka tentang konsep perkalian. Seluruh strategi dan
model yang siswa temukan, gambarkan serta diskusikan menunjukkan bagaimana konstruksi
atau konstribusi siswa dapat digunakan untuk membantu pemahaman awal mereka tentang
konsep perkalian. Tahapan-tahapan dalam lintasan belajar siswa memiliki peranan penting
dalam memahami konsep operasi perkalian dari level informal ke formal.
7. KESIMPULAN
Berdasarkan latar belakang dan hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, PMRI adalah salah satu pendekatan pembelajaran yang akan menggiring siswa
memahami konsep matematika dengan mengkontruksi sendiri melalui pengetahuan
sebelumnya yang berhubungan dengan kehidupan sehariharinya, menemukan sendiri konsep
tersebut sehingga belajarnya menjadi bermakna.
8. DAFTAR PUSTAKA
BSNP. (2006). Panduan penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan
dasar dan menengah. Jakarta: BNSP
Dikdasmen. (2004). Materi pelatihan terintegrasi. Jakarta: Proyek pengembangan sistem dan
pengendalian program.
Gravemeijer, K. (1994). Developing realistic mathematics education. Utrecht: Technipress,
Culemborg.
Haris, D., & Ilma, R. (2011). The role of context in third graders’ learning of area
measurement. Journal on Mathematics Education (IndoMS-JME), 2(1): 55-66.
Kairuddin., & Darmawijoyo. (2011). The Indonesian’s road transportations as the contexts to
support primary school students learning number operation. Journal on Mathematics
Education (IndoMS-JME), 2(1): 67-78.
Marhamah. (2009). Pengembangan materi ajar pecahan dengan pendekatan PMRI di SD
Negeri 21 Palembang. (Tesis). Palembang:Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya.
Marpaung, Y. (2007). Pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI: Matematisasi
horizontal dan matematisasi vertikal. Jurnal Pendidikan Matematika, 1(1): 1-20.
Nasrullah., & Zulkardi. (2011). Building counting by traditional game: A mathematics
program for young children. Journal on Mathematics Education (IndoMS-JME), 2(1):
41-54.
Prahmana, R.C.I., Zulkardi., & Hartono, Y. (2011). Learning multiplication using Indonesian
traditional game in third grade. Journal on Mathematics Education (IndoMS-JME),
3(2): 115-132.
Rohani, A. 2005. Pengelolaan pengajaran. Edisi revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Shanty, N.O., Hartono, Y., Ilma, R., & Hann, D. (2011). Design research on mathematics
education: investigating the progress of Indonesian fifth grade students’ learning on
multiplication of fractions with natural numbers. Journal on Mathematics Education
(IndoMS-JME), 2(2): 147-162.
Supartono. 2006. Pengembangan perangkat pembelajaran matematika realistik untuk materi
lingkaran di kelas VIII SMP Negeri 1 Bubulan Bojonegoro. Mathedu, 1 ( 2): 161- 171.
Suryanto. 2002. Penggunaan masalah kontekstual dalam pembelajaran matematika. Pidato
pengukuhan guru besar. Yogyakarta: UNY.
Syaiful. (2011). Metakognisi siswa dalam pembelajaran matematika realistik di sekolah
menengah. Edumatics, 1(2): 1-13.
Treffers. (1991). Realistic mathematics education in The Netherlands 1980- 1990. In L
Streefland (Ed.), Realistic mathematics educatioan in primary school. Utrecht: CD- β
Press/ Freudenthal Institute.
Zulkardi. 2007. Arti PISA, TIMSS, &UN bagi guru matematika. Makalah seminar nasional
pendidikan. FKIP UNSRI. PPS- UNSRI, 4 September 2007.