SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 38
By:
Lia Puspasari
Pencegahan &
Pengendalian
Vector Borne Disease
di Indonesia
Vektor penyakit
Vektor : tidak menyebabkan penyakit tetapi
menyebarkannya dengan membawa patogen dari
satu inang ke yang lainnya.
Vektor penyakit juga dikenal sebagai arthropod -
borne diseases atau sering juga disebut sebagai
vector – borne diseases yang merupakan penyakit
yang penting dan seringkali bersifat endemis
maupun epidemis dan menimbulkan bahaya bagi
kesehatan sampai kematian.
Vektor merupakan arthropoda yang dapat
menularkan, memindahkan atau menjadi sumber
penularan penyakit pada manusia
(Peraturan Menteri Kesehatan No.374 tahun 2010)
Berdasarkan laporan WHO (2004), angka
kematian akibat penyakit tular vektor di
Indonesia berkisar antara 50-200 juta jiwa. Saat
ini Indonesia menjadi daerah endemis bagi
beberapa wabah penyakit yang ditularkan oleh
vektor seperti Demam Berdarah Dengue
(DBD), kaki gajah (filariasis), dan Chikungunya
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti.
Thorax Aedes albopictus
Thorax Aedes aegyti
1. chikungunya
Chikungunya disease atau demam Chikungunya
adalah satu di antara penyakit tular vektor
(nyamuk) yang saat ini banyak terjadi di
Indonesia tidak hanya di daerah perkotaan tetapi
banyak juga di daerah pedesaan.
Penyebab penyakit ini adalah sejenis virus, yaitu
Alphavirus (famili Togaviridae).
Pertama kali tahun 1952 di Afrika pada suatu
tempat yang dinamakan Makonde Plateau.
Di Indonesia, infeksi virus Chikungunya telah
ada sejak abad ke-18 seperti yang dilaporkan
oleh David Bylon seorang dokter
berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus ini
menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai
penyakit demam 5 hari (vijfdaagse koorts) yang
kadangkala disebut juga sebagai demam sendi
(knokkel koorts).
Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit Chikungunya pertama
kali dilaporkan pada tahun 1973 di Samarinda Provinsi
Kalimantan Timur dan di Jakarta.
Sejak tahun 1985 seluruh provinsi di Indonesia pernah
melaporkan adanya KLB Chikungunya. KLB Chikungunya
mulai banyak dilaporkan sejak tahun 1999-2011.
Penderita sebagian besar perempuan (56,5%) dan
diderita paling banyak pada kelompok umur di atas 31-40
tahun sebanyak 42 kasus, kelompok umur 10-20 tahun
sebanyak 37 kasus, dan usia 21-30 tahun sebanyak 37
kasus (Kemenkes, 2012).
Cara Penularan
Virus chikungunya (Alphavirus) ditularkan melalui gigitan
Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Umumnya penderita sembuh secara spontan dan diikuti
dengan imunitas homolog yang berlangsung
lama, terjadinya serangan kedua oleh penyakit ini belum
di ketahui.
Infeksi yang tidak jelas sering terjadi, terutama pada
anak-anak. Pada saat terjadi wabah, poliartritis, arthritis
lebih sering terjadi pada wanita dewasa dan pada orang-
orang yang secara genetis memiliki fenotipe HLA DR7
Gm a+x+b+ .
gejala
Tanda utama: tiba-tiba tubuh terasa demam diikuti dengan
linu di persendian (timbulnya rasa pegal-pegal, ngilu, juga
timbul rasa sakit pada tulang-tulang, ada yang menamainya
sebagai demam tulang atau flu tulang). Masa inkubasi 7-10
hari.
Penyakit ini tidak sampai menyebabkan kematian.
Nyeri pada persendian tidak akan menyebabkan kelumpuhan.
Setelah lewat lima hari, demam akan berangsur-angsur
reda, rasa ngilu maupun nyeri pada persendian dan otot
berkurang, dan penderitanya akan sembuh seperti semula.
Penderita dalam beberapa waktu kemudian bisa
menggerakkan tubuhnya seperti sedia kala.
Nyeri tertinggal hanya jika sebelumnya, penderita memiliki
riwayat nyeri tulang dan otot.
Program di Indonesia
Upaya pengendalian Chikungunya pada dasarnya sama dengan
pengendalian DBD, yaitu:
1. mengobati penderita dengan memberi obat penurun panas dan obat
nyeri sendi;
2. Istirahat;
3. penyemprotan wilayah untuk membunuh nyamuk yang terinfeksi;
4. membersihkan lingkungan dari jentik dan genangan air melalui PSN
(Pemberantasan Sarang Nyamuk) 3M-plus secara teratur seminggu
sekali dan lebih sering ketika setelah hujan turun.
5. promosi kesehatan yang dapat menciptakan perilaku baru (perubahan
perilaku).
strategi promosi kesehatan: pemberdayaan masyarakat, pembinaan
suasana lingkungan sosialnya dan advokasi kesehatan kepada pihak-pihak
yang dapat mendukung terlaksananya kegiatan pengendalian Chikungunya.
Adanya kemitraan dengan melibatkan berbagai sektor yaitu lembaga
pemerintah, dunia usaha, media massa dan organisasi masyarakat lainnya
dalam upaya menanggulangi masalah kesehatan.
Program di Hong Kong
Aedes aegypty sudah tidak ditemukan lagi sejak
pertengahan tahun 1950
Pada tahun 2006-2008 ditemukan 5 kasus chikungunya
karena adanya riwayat perjalanan ke luar negeri.
strategi pengendalian chikungunya berupa pelaporan
dini, investigasi kasus, surveilens dan pengengendalian
vektor, serta pendidikan kesehatan masyarakat berupa
pameran kesehatan, talk-show, poster, dan lain-lain
Perbedaan
Program yang dilaksanakan di Hong Kong lebih
menekankan kepada Health Education yang
mengarahkan perubahan perilaku masyarakat
secara sukarela,
sedangkan program di Indonesia lebih
menekankan pada Health Promotion yang
menggabungkan antara Health Education dengan
aspek-aspek pendukung seperti
sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain yang
membantu tercapainya perubahan perilaku.
2. DBD (Demam Berdarah Dengue)
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus dengue yang
termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan
mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu ; DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4.
Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap
serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk
terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat
memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain
tersebut.
Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi
oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus
dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.
Cara Penularan
Vektor DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor
utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder.
Nyamuk Ae. aegypti lebih banyak ditemukan berkembang biak di tempat-
tempat penampungan air buatan antara lain: bak mandi, ember, vas
bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan sejenisnya di
dalam rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah di wilayah
perkotaan
Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air alami di luar
rumah, seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu dan
sejenisnya terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan, namun juga
ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam dan di luar rumah.
Bersifat anthrofilik dan multiple feeding. Sifat tersebut meningkatkan
risiko penularan DBD di wilayah perumahan yang penduduknya lebih
padat.
Gejala
Gejala klinis DBD pada awalnya muncul menyerupai gejala flu dan tifus (typhoid).
Gejala-gejala tersebut, yaitu:
• Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari (38 - 40 derajat Celsius)
• Pada pemeriksaan uji torniquet, tampak adanya bintik-bintik perdarahan
• Adanya bentuk perdarahan di kelopak mata bagian dalam
(konjungtiva), mimisan (epitaksis), buang air besar dengan kotoran (feses)
berupa lendir bercampur darah (melena), dan lain-lain
• Adanya pembesaran hati (hepatomegali)
• Tekanan darah menurun sehingga menyebabkan syok
• Pada pemeriksaan laboratorium (darah) hari ke 3 - 7 terjadi penurunan
trombosit dibawah 100.000 /mm3 (trombositopeni), terjadi peningkatan
nilai hematokrit diatas 20% dari nilai normal (hemokonsentrasi)
• Timbulnya beberapa gejala klinik yang menyertai seperti
mual, muntah, penurunan nafsu makan (anoreksia), sakit
perut, diare, menggigil, kejang dan sakit kepala
• Mengalami perdarahan pada hidung (mimisan) dan gusi
• Demam yang dirasakan penderita menyebabkan keluhan pegal/sakit pada
persendian
• Munculnya bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah
bintik-bintik perdarahan
Program di Indonesia
Adanya program pengendalian vektor yang diatur dalam Kepmenkes
No. 581 tahun 1992, bahwa kegiatan pemberantasan sarang nyamuk
(PSN) dilakukan secara periodik oleh masyarakat yang dikoordinir oleh
RT/RW dalam bentuk PSN dengan pesan inti 3M plus.
Kegiatan PSN telah dilaksanakan secara intensif sejak tahun 1992 dan
pada tahun 2002 dikembangkan menjadi 3M Plus, dengan cara
menggunakan larvasida, memelihara ikan dan mencegah gigitan
nyamuk.
Keberhasilan kegiatan PSN antara lain dapat diukur dengan Angka
Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95%
diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Tetapi
selama tiga tahun terakhir pada tahun 2007 sampai tahun 2009 angka
Bebas Jentik belum berhasil mencapai target (>95%).
Penyebab: belum adanya perubahan perilaku
masyarakat dalam upaya PSN
Solusi pemerintah: mengembangkan teknik komunikasi
perubahan perilaku masyarakat secara spesifik yaitu
Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP)/Communication
for Behavioral Impact (COMBI) yang dapat menjadi salah
satu upaya pengendalian DBD di Indonesia. Penerapan
metode tersebut dimulai dengan pengadaan sumber
daya manusia yang memiliki ketrampilan yang memadai
melalui pelatihan disetiap jenjang administrasi.
Program di Morelos, Mexico
• Pengendalian vektor (penyuluhan, implementasi, dan monitoring),
• bangunan publik yang bebas perindukan nyamuk (inspeksi dan
pemberian sanksi),
• kampanye kesehatan (brosur untuk sekolah, poster, radio, televisi),
• kerja bakti pada hari senin di sekolah tingkat SD dan SMP
Tetapi untuk pelaksanaan di tingkat SMA dan universitas kurang
berhasil karena kurangnya antusiasme dari murid.
Semakin tinggi institusi pendidikan tersebut maka semakin rendah
masalah tempat perindukan nyamuk sejalan dengan banyaknya
sarana dan prasarana yang memadai untuk kebersihan dan perbaikan
daripada sekolah tingkat SD dan SMP.
Penyebab
• Tingkat keberhasilan program pencegahan dan
pengendalian DBD di Morelas, Mexico sangat
dipengaruhi oleh perubahan pemikiran masyarakat dan
keadaan sosio-ekonominya karena adanya daerah di
Morelos yang mengalami kemiskinan sehingga tidak
tersedianya fasilitas publik.
masyarakat di Indonesia juga dipengaruhi oleh sosio-
ekonomi sehingga memerlukan promosi kesehatan yang
intensif.
3. Filariasis (Kaki Gajah)
Filariasis merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan melalui
berbagai jenis nyamuk.
Terdapat tiga spesies cacing penyebab Filariasis yaitu:
Wuchereria bancrofti; Brugia malayi; Brugia timori.
Semua spesies tersebut terdapat di Indonesia, namun
lebih dari 70% kasus filariasis di Indonesia disebabkan
oleh Brugia malayi.
Cacing tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah
bening sehingga menyebabkan kerusakan pada sistem
limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut dan
kronis.
Cara penularan
Melalui gigitan nyamuk yang mengandung larva infektif.
- W. bancrofti ditularkan melalui berbagai spesies
nyamuk, yang paling dominan adalah Culex
quinquefasciatus, Anopheles gambiae, An.
funestus, Aedes polynesiensis, An. scapularis dan Ae.
pseudoscutellaris.
- Brugia malayi ditularkan oleh spesies yang bervariasi
dari Mansonia, Anopheles dan Aedes.
- Brugia timori ditularkan oleh An. barbirostris.
Di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 23 spesies vektor
nyamuk penular filariasis yang terdiri dari genus
Anopheles, Aedes, Culex, Mansonia, dan Armigeres. Untuk
menimbulkan gejala klinis penyakit filariasis diperlukan beberapa
kali gigitan nyamuk terinfeksi filaria dalam waktu yang lama.
Gejala klinis akut
• Demam berulang ulang selama 3-5 hari, demam
dapat hilang bila istirahat dan timbul lagi setelah
bekerja berat
• Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada
luka) di daerah lipatan paha, ketiak (limfadenitis)
yang tampak kemerahan, panas dan sakit
• Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa
panas dan sakit yang menjalar dari pangkal ke arah
ujung kaki atau lengan
• Abses filaria terjadi akibat seringnya pembengkakan
kelenjar getah bening, dapat pecah dan dapat
mengeluarkan darah serta nanah
• Pembesaran tungkai, lengan, buah dada dan alat
kelamin perempuan dan laki-laki yang tampak
kemerahan dan terasa panas.
Gejala klinis kronis
• Limfedema : Infeksi Wuchereria mengenai kaki
dan lengan, skrotum, penis, vulva vagina dan
payudara, Infeksi Brugia dapat mengenai kaki
dan lengan dibawah lutut / siku (lutut dan siku
masih normal)
• Hidrokel : Pelebaran kantung buah zakar yang
berisi cairan limfe, dapat sebagai indikator
endemisitas filariasis bancrofti
• Kiluria : Kencing seperti susu (kebocoran sel
limfe di ginjal) jarang ditemukan
Program di Indonesia
Pada tahun 1975 sampai 1983 program penanganan
filariasis menggunakan DEC dosis standar 5 mg/kg berat
badan/hari selama 10–15 hari.
tahun 1984 diganti menjadi dosis bertahap, yaitu Tahap I
untuk usia 2-10 tahun ½ tablet dan usia > 10 tahun 1 tablet
selama 4 hari. Dilanjutkan dengan tahap II, yaitu diberikan
5 mg/kgBB/hari selama 8-13 hari.
Tahun 1991 dosis yang digunakan adalah dosis
rendah, yaitu untuk usia 2-10 tahun diberi hanya ½
tablet, sedangkan > 10 tahun diberi 1 tablet; tetapi dosis
rendah ini diberikan selama 40 hari. Selain itu juga pernah
dicoba memberi DEC dalam garam dengan dosis 0.2-0.4 %
selama 9–12 bulan.
Pengobatan tidak berhasil karena
• pengobatan harus dilakukan dalam waktu
lama (tingkat kepatuhan (compliance) sangat
rendah)
• Masa terapi yang lama, dengan efek samping
yang terjadi sepanjang masa terapi
menyebabkan pasien DO dan program pun
gagal.
Program eliminasi filariasis
Program eleminasi filariasis di dunia dimulai
berdasarkan deklarasi WHO tahun 2000. Filariasis
ditargetkan untuk dieliminasi sebagai penyebab
masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2020
Melalui program eliminasi global dengan
pengobatan kombinasi DEC 6 mg/kg BB dan
albendazol 400 mg yang diberikan sekali setahun
selama 4-6 tahun pada seluruh penduduk yang
tinggal di daerah endemis (prevalensi mf > 1%).
Program Eliminasi Filariasis merupakan salah satu program
prioritas nasional pemberantasan penyakit menular sesuai
dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7
tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional tahun 2004 – 2009.
Tujuan umum: filariasis tidak menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia pada tahun 2020.
Tujuan khusus : (a) menurunnya angka mikrofilaria
(microfilaria rate) menjadi kurang dari 1% di setiap
Kabupaten/Kota, (b) mencegah dan membatasi kecacatan
karena filariasis.
Di Indonesia
Strategi (2010-2014)
1. Memantapkan perencanaan dan persiapan
pelaksanaan termasuk sosialisasi pada masyarakat
2. Memastikan ketersediaan obat dan distribusinya
serta dana operasional
3. Meningkatkan peran Kepala Daerah dan para
pemangku kepentingan lainnya
4. Memantapkan pelaksanaan POMP filariasis yang
didukung oleh sistem pengawasan dan pelaksanaan
pengobatan dan pengamanan kejadian ikutan pasca
pengobatan
5. Meningkatkan monitoring dan evaluasi.
2 pokok kegiatan (2010-2014)
1) Program akselerasi eliminiasi filariasis, ketersediaan dan
distribusi obat; mencakup: mempertahankan dan meningkatkan
cakupan pelaksanaan POMP filariasis untuk seluruh penduduk di
daerah endemis secara bertahap dengan target utama tahun
2014 adalah semua pulau di wilayah Indonesia Timur telah
melaksanakannya, meningkatkan pelaksanaan kasus klinis
filariasis dan pasca pengobatan, mengintegrasikan dengan
program terkait lain, serta menjamin ketersediaan dan distribusi
obat filariasis.
2) Program penguatan manejemen mencakup: penguatan
program dan sistem kesehatan dan sumber daya
manusia, peningkatan pencatatan dan pelaporan yang tepat
waktu, meningkatkan monitoring dan evaluasi, meningkatkan
komitmen dan dukungan pendanaan dan program melalui
advokasi, dan sosialisasi dan mobilisasi, meningkatkan
kesadaran masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan, serta
meningkatkan surveilans.
Tujuan program akselerasi eliminasi filariasis
adalah pada tahun 2014 semua kabupaten/kota
endemis wilayah Indonesia Timur telah
melakukan POMP filariasis.
Prioritas di Indonesia bagian timur dikarenakan
pertimbangan tingginya prevalensi microfilaria
yang tinggi (39%). Kabupaten/kota endemis
daerah Indonesia barat dan tengah juga
diharapkan akan melaksanakan POMP filariasis
secara bertahap.
Keberhasilan program pengendalian penyakit
Filariasis pada tahun 2012
Peningkatan prosentase cakupan pengobatan
massal filariasis terhadap jumlah penduduk
endemis, pada tahun 2012 56,53% sedangkan
data tahun 2011 adalah 37,84%
Program di Filipina
Untuk mendukung program eliminasi global
filariasis pada tahun 2020 yang dideklarasikan
oleh WHO, Filipina membuat program berskala
nasional dengan tujuan mengeliminasi Filariasis
limfatik sebagai masalah kesehatan masyarakat
di Filipina pada tahun 2017.
Target program tersebut mencakup
individu, keluarga, dan masyarakat yang hidup di
daerah endemic di 44 provinsi yang ada di
Filipina (30 juta orang untuk pengobatan masal
atau 1/3 total populasi penduduk Filipina).
Strategi
1. pemetaaan daerah endemic,
2. penyediaan sarana,
3. pengobatan masal,
4. program dukungan pengendalian,
5. monitoring dan supervisi,
6. evaluasi,
7. sertifikasi nasional,
8. Sertifikasi internasional.
Manajemen kegiatan yang dilakuakan
1. Pengobatan selektif (mengobati individu yang positif
mikrofilaria dalam darah saat pemeriksaan)
2. Pemberian obat: Diethylcarbamazine Citrate (dosis
tunggal berdasarkan 6 mg/kgBB)
3. Pengobatan masal (memberikan obat kepada semua
populasi dari usia 2 tahun keatas yang ada di daerah
endemic, obat berupa Diethlcarbamazine Citrate dan
Albendazole 400 mg yang diberikan sekali setahun)
4. Pencegahan kecacatan berupa perawatan di rumah
maupun di komunitas untuk penderita lymphedema &
elephantiasis
Secara umum program pencegahan dan
penanggulangan yang diadakan di Indonesia dan
Filipina hampir sama karena bertujuan untuk
mendukung program eliminasi global terhadap
filariasis tahun 2020, tetapi Filipina menargetkan
bebas filariasis pada tahun 2017 sedangkan
Indonesia menargetkan pada tahun 2014. Hal
tersebut disesuaikan dengan tinggi rendahnya
prevalensi filariasis dan kebijakan yang ada. Pada
tahun 1997, prevalensi penderita filariasis di
Filipina mencapai 9,7% per 1000 penduduk, 43
provinsi mengalami endemik filariasis dengan
total populasi yang berisiko sebanyak 30 juta
jiwa.
Terima Kasih
Watch out!!!

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Makalah penyakit menular dan tidak menular
Makalah penyakit menular dan tidak menularMakalah penyakit menular dan tidak menular
Makalah penyakit menular dan tidak menular
Mansurudin Rafa
 
Unit 8 epidemiologi penyakit berjangkit dan berbahaya
Unit 8 epidemiologi penyakit berjangkit dan berbahayaUnit 8 epidemiologi penyakit berjangkit dan berbahaya
Unit 8 epidemiologi penyakit berjangkit dan berbahaya
norizan simbok
 
Askep komunitas penyakit menular
Askep komunitas penyakit menularAskep komunitas penyakit menular
Askep komunitas penyakit menular
heri damanik
 
10.faktor2 yang mempengaruhi terjadinya penyakit infeksi
10.faktor2 yang mempengaruhi terjadinya penyakit infeksi10.faktor2 yang mempengaruhi terjadinya penyakit infeksi
10.faktor2 yang mempengaruhi terjadinya penyakit infeksi
yemima wau
 
Makalah DHF demam berdarah dengue
Makalah DHF demam berdarah dengueMakalah DHF demam berdarah dengue
Makalah DHF demam berdarah dengue
MJM Networks
 

Was ist angesagt? (20)

Askep dbd AKPER PEMKAB MUNA
Askep dbd AKPER PEMKAB MUNA Askep dbd AKPER PEMKAB MUNA
Askep dbd AKPER PEMKAB MUNA
 
1 o penyakit yang menyebabkan wabah
1 o penyakit yang menyebabkan wabah1 o penyakit yang menyebabkan wabah
1 o penyakit yang menyebabkan wabah
 
Sap dbd
Sap dbdSap dbd
Sap dbd
 
Makalah penyakit menular dan tidak menular
Makalah penyakit menular dan tidak menularMakalah penyakit menular dan tidak menular
Makalah penyakit menular dan tidak menular
 
Kempen Demam Denggi (Media Baru)
Kempen Demam Denggi (Media Baru)Kempen Demam Denggi (Media Baru)
Kempen Demam Denggi (Media Baru)
 
Unit 8 epidemiologi penyakit berjangkit dan berbahaya
Unit 8 epidemiologi penyakit berjangkit dan berbahayaUnit 8 epidemiologi penyakit berjangkit dan berbahaya
Unit 8 epidemiologi penyakit berjangkit dan berbahaya
 
Makalah Penyakit Menular Morbus Hansen
Makalah Penyakit Menular Morbus HansenMakalah Penyakit Menular Morbus Hansen
Makalah Penyakit Menular Morbus Hansen
 
SAP Demam Berdarah + Leaflet
SAP Demam Berdarah + LeafletSAP Demam Berdarah + Leaflet
SAP Demam Berdarah + Leaflet
 
BAB 8 Epidemiologi Penyakit Menular Infeksi menular seksual
BAB 8 Epidemiologi Penyakit Menular  Infeksi menular seksualBAB 8 Epidemiologi Penyakit Menular  Infeksi menular seksual
BAB 8 Epidemiologi Penyakit Menular Infeksi menular seksual
 
4E LISAN
4E LISAN4E LISAN
4E LISAN
 
3. arbani batubara, s.pd, s.kep, nr. m.psi
3. arbani batubara, s.pd, s.kep, nr. m.psi3. arbani batubara, s.pd, s.kep, nr. m.psi
3. arbani batubara, s.pd, s.kep, nr. m.psi
 
150111001 ainun musrifah tohir studi kasus_bab 1
150111001 ainun musrifah tohir studi kasus_bab 1150111001 ainun musrifah tohir studi kasus_bab 1
150111001 ainun musrifah tohir studi kasus_bab 1
 
BAB 1 EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR
BAB 1 EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULARBAB 1 EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR
BAB 1 EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR
 
Jenis jenis penyakit infeksi
Jenis jenis penyakit infeksiJenis jenis penyakit infeksi
Jenis jenis penyakit infeksi
 
Perencanaan program
Perencanaan programPerencanaan program
Perencanaan program
 
Sekilas mengenal penyakit kusta
Sekilas mengenal penyakit kustaSekilas mengenal penyakit kusta
Sekilas mengenal penyakit kusta
 
Askep komunitas penyakit menular
Askep komunitas penyakit menularAskep komunitas penyakit menular
Askep komunitas penyakit menular
 
10.faktor2 yang mempengaruhi terjadinya penyakit infeksi
10.faktor2 yang mempengaruhi terjadinya penyakit infeksi10.faktor2 yang mempengaruhi terjadinya penyakit infeksi
10.faktor2 yang mempengaruhi terjadinya penyakit infeksi
 
Makalah kusta
Makalah kustaMakalah kusta
Makalah kusta
 
Makalah DHF demam berdarah dengue
Makalah DHF demam berdarah dengueMakalah DHF demam berdarah dengue
Makalah DHF demam berdarah dengue
 

Ähnlich wie Vektor mari wes

Kelompok 3 Mitigasi Bencana (DBD) (1).pptx
Kelompok 3 Mitigasi Bencana (DBD) (1).pptxKelompok 3 Mitigasi Bencana (DBD) (1).pptx
Kelompok 3 Mitigasi Bencana (DBD) (1).pptx
athika5
 
Analisis Situasi Berdasarkan Evidence Besed Dengan Pendekatan Ilmu Kesehatan ...
Analisis Situasi Berdasarkan Evidence Besed Dengan Pendekatan Ilmu Kesehatan ...Analisis Situasi Berdasarkan Evidence Besed Dengan Pendekatan Ilmu Kesehatan ...
Analisis Situasi Berdasarkan Evidence Besed Dengan Pendekatan Ilmu Kesehatan ...
AlbarFirdaus
 
kajian penyakit berjangkit vs tak berjangkit.docx
kajian penyakit berjangkit vs tak berjangkit.docxkajian penyakit berjangkit vs tak berjangkit.docx
kajian penyakit berjangkit vs tak berjangkit.docx
NURUL AIRIN DZILWANI
 
Tugas dekan penyakit dbd
Tugas dekan penyakit dbdTugas dekan penyakit dbd
Tugas dekan penyakit dbd
denis41
 
FGD CIVAS Mengenai Kesehatan Hewan, Manusia dan Lingkungan - The Sahira Hotel...
FGD CIVAS Mengenai Kesehatan Hewan, Manusia dan Lingkungan - The Sahira Hotel...FGD CIVAS Mengenai Kesehatan Hewan, Manusia dan Lingkungan - The Sahira Hotel...
FGD CIVAS Mengenai Kesehatan Hewan, Manusia dan Lingkungan - The Sahira Hotel...
Tata Naipospos
 
CRS DHF- Fariz Hidayatullah-dr.iskandar Sp.A(K).pptx
CRS DHF- Fariz Hidayatullah-dr.iskandar Sp.A(K).pptxCRS DHF- Fariz Hidayatullah-dr.iskandar Sp.A(K).pptx
CRS DHF- Fariz Hidayatullah-dr.iskandar Sp.A(K).pptx
SyauqiFaidhunNiam
 

Ähnlich wie Vektor mari wes (20)

Dengue Hemorargic Fever
Dengue Hemorargic FeverDengue Hemorargic Fever
Dengue Hemorargic Fever
 
Dbd r i3
Dbd r i3Dbd r i3
Dbd r i3
 
Kelompok 3 Mitigasi Bencana (DBD) (1).pptx
Kelompok 3 Mitigasi Bencana (DBD) (1).pptxKelompok 3 Mitigasi Bencana (DBD) (1).pptx
Kelompok 3 Mitigasi Bencana (DBD) (1).pptx
 
Modul pengendalian
Modul pengendalianModul pengendalian
Modul pengendalian
 
Analisis Situasi Berdasarkan Evidence Besed Dengan Pendekatan Ilmu Kesehatan ...
Analisis Situasi Berdasarkan Evidence Besed Dengan Pendekatan Ilmu Kesehatan ...Analisis Situasi Berdasarkan Evidence Besed Dengan Pendekatan Ilmu Kesehatan ...
Analisis Situasi Berdasarkan Evidence Besed Dengan Pendekatan Ilmu Kesehatan ...
 
Laporan Investigasi Wabah Fix KAB. MAJENE
Laporan Investigasi Wabah Fix KAB. MAJENELaporan Investigasi Wabah Fix KAB. MAJENE
Laporan Investigasi Wabah Fix KAB. MAJENE
 
Hilangnya demam berdarah di indonesia.pptx
Hilangnya demam berdarah di indonesia.pptxHilangnya demam berdarah di indonesia.pptx
Hilangnya demam berdarah di indonesia.pptx
 
kajian penyakit berjangkit vs tak berjangkit.docx
kajian penyakit berjangkit vs tak berjangkit.docxkajian penyakit berjangkit vs tak berjangkit.docx
kajian penyakit berjangkit vs tak berjangkit.docx
 
Angka kesakitan dbd
Angka kesakitan dbdAngka kesakitan dbd
Angka kesakitan dbd
 
Tugas dekan penyakit dbd
Tugas dekan penyakit dbdTugas dekan penyakit dbd
Tugas dekan penyakit dbd
 
demam berdarah dengue
demam berdarah denguedemam berdarah dengue
demam berdarah dengue
 
Bab ii,dbd
Bab ii,dbdBab ii,dbd
Bab ii,dbd
 
FGD CIVAS Mengenai Kesehatan Hewan, Manusia dan Lingkungan - The Sahira Hotel...
FGD CIVAS Mengenai Kesehatan Hewan, Manusia dan Lingkungan - The Sahira Hotel...FGD CIVAS Mengenai Kesehatan Hewan, Manusia dan Lingkungan - The Sahira Hotel...
FGD CIVAS Mengenai Kesehatan Hewan, Manusia dan Lingkungan - The Sahira Hotel...
 
Demam berdarah dengue
Demam berdarah dengue Demam berdarah dengue
Demam berdarah dengue
 
CRS DHF- Fariz Hidayatullah-dr.iskandar Sp.A(K).pptx
CRS DHF- Fariz Hidayatullah-dr.iskandar Sp.A(K).pptxCRS DHF- Fariz Hidayatullah-dr.iskandar Sp.A(K).pptx
CRS DHF- Fariz Hidayatullah-dr.iskandar Sp.A(K).pptx
 
Kata penganta3
Kata penganta3Kata penganta3
Kata penganta3
 
HIV AIDS
HIV AIDSHIV AIDS
HIV AIDS
 
MATERI penaggulangan dbd - dr Asik Surya MPPM_2.pdf
MATERI  penaggulangan dbd - dr Asik Surya MPPM_2.pdfMATERI  penaggulangan dbd - dr Asik Surya MPPM_2.pdf
MATERI penaggulangan dbd - dr Asik Surya MPPM_2.pdf
 
Perencanaan program tbc akper pemkab muna
Perencanaan program tbc akper pemkab munaPerencanaan program tbc akper pemkab muna
Perencanaan program tbc akper pemkab muna
 
Bab 1
Bab 1Bab 1
Bab 1
 

Vektor mari wes

  • 2. Vektor penyakit Vektor : tidak menyebabkan penyakit tetapi menyebarkannya dengan membawa patogen dari satu inang ke yang lainnya. Vektor penyakit juga dikenal sebagai arthropod - borne diseases atau sering juga disebut sebagai vector – borne diseases yang merupakan penyakit yang penting dan seringkali bersifat endemis maupun epidemis dan menimbulkan bahaya bagi kesehatan sampai kematian. Vektor merupakan arthropoda yang dapat menularkan, memindahkan atau menjadi sumber penularan penyakit pada manusia (Peraturan Menteri Kesehatan No.374 tahun 2010)
  • 3. Berdasarkan laporan WHO (2004), angka kematian akibat penyakit tular vektor di Indonesia berkisar antara 50-200 juta jiwa. Saat ini Indonesia menjadi daerah endemis bagi beberapa wabah penyakit yang ditularkan oleh vektor seperti Demam Berdarah Dengue (DBD), kaki gajah (filariasis), dan Chikungunya yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.
  • 5. 1. chikungunya Chikungunya disease atau demam Chikungunya adalah satu di antara penyakit tular vektor (nyamuk) yang saat ini banyak terjadi di Indonesia tidak hanya di daerah perkotaan tetapi banyak juga di daerah pedesaan. Penyebab penyakit ini adalah sejenis virus, yaitu Alphavirus (famili Togaviridae). Pertama kali tahun 1952 di Afrika pada suatu tempat yang dinamakan Makonde Plateau.
  • 6. Di Indonesia, infeksi virus Chikungunya telah ada sejak abad ke-18 seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus ini menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam 5 hari (vijfdaagse koorts) yang kadangkala disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts).
  • 7. Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan pada tahun 1973 di Samarinda Provinsi Kalimantan Timur dan di Jakarta. Sejak tahun 1985 seluruh provinsi di Indonesia pernah melaporkan adanya KLB Chikungunya. KLB Chikungunya mulai banyak dilaporkan sejak tahun 1999-2011. Penderita sebagian besar perempuan (56,5%) dan diderita paling banyak pada kelompok umur di atas 31-40 tahun sebanyak 42 kasus, kelompok umur 10-20 tahun sebanyak 37 kasus, dan usia 21-30 tahun sebanyak 37 kasus (Kemenkes, 2012).
  • 8. Cara Penularan Virus chikungunya (Alphavirus) ditularkan melalui gigitan Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Umumnya penderita sembuh secara spontan dan diikuti dengan imunitas homolog yang berlangsung lama, terjadinya serangan kedua oleh penyakit ini belum di ketahui. Infeksi yang tidak jelas sering terjadi, terutama pada anak-anak. Pada saat terjadi wabah, poliartritis, arthritis lebih sering terjadi pada wanita dewasa dan pada orang- orang yang secara genetis memiliki fenotipe HLA DR7 Gm a+x+b+ .
  • 9. gejala Tanda utama: tiba-tiba tubuh terasa demam diikuti dengan linu di persendian (timbulnya rasa pegal-pegal, ngilu, juga timbul rasa sakit pada tulang-tulang, ada yang menamainya sebagai demam tulang atau flu tulang). Masa inkubasi 7-10 hari. Penyakit ini tidak sampai menyebabkan kematian. Nyeri pada persendian tidak akan menyebabkan kelumpuhan. Setelah lewat lima hari, demam akan berangsur-angsur reda, rasa ngilu maupun nyeri pada persendian dan otot berkurang, dan penderitanya akan sembuh seperti semula. Penderita dalam beberapa waktu kemudian bisa menggerakkan tubuhnya seperti sedia kala. Nyeri tertinggal hanya jika sebelumnya, penderita memiliki riwayat nyeri tulang dan otot.
  • 10. Program di Indonesia Upaya pengendalian Chikungunya pada dasarnya sama dengan pengendalian DBD, yaitu: 1. mengobati penderita dengan memberi obat penurun panas dan obat nyeri sendi; 2. Istirahat; 3. penyemprotan wilayah untuk membunuh nyamuk yang terinfeksi; 4. membersihkan lingkungan dari jentik dan genangan air melalui PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) 3M-plus secara teratur seminggu sekali dan lebih sering ketika setelah hujan turun. 5. promosi kesehatan yang dapat menciptakan perilaku baru (perubahan perilaku). strategi promosi kesehatan: pemberdayaan masyarakat, pembinaan suasana lingkungan sosialnya dan advokasi kesehatan kepada pihak-pihak yang dapat mendukung terlaksananya kegiatan pengendalian Chikungunya. Adanya kemitraan dengan melibatkan berbagai sektor yaitu lembaga pemerintah, dunia usaha, media massa dan organisasi masyarakat lainnya dalam upaya menanggulangi masalah kesehatan.
  • 11. Program di Hong Kong Aedes aegypty sudah tidak ditemukan lagi sejak pertengahan tahun 1950 Pada tahun 2006-2008 ditemukan 5 kasus chikungunya karena adanya riwayat perjalanan ke luar negeri. strategi pengendalian chikungunya berupa pelaporan dini, investigasi kasus, surveilens dan pengengendalian vektor, serta pendidikan kesehatan masyarakat berupa pameran kesehatan, talk-show, poster, dan lain-lain
  • 12. Perbedaan Program yang dilaksanakan di Hong Kong lebih menekankan kepada Health Education yang mengarahkan perubahan perilaku masyarakat secara sukarela, sedangkan program di Indonesia lebih menekankan pada Health Promotion yang menggabungkan antara Health Education dengan aspek-aspek pendukung seperti sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain yang membantu tercapainya perubahan perilaku.
  • 13. 2. DBD (Demam Berdarah Dengue) Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu ; DEN-1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.
  • 14. Cara Penularan Vektor DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Nyamuk Ae. aegypti lebih banyak ditemukan berkembang biak di tempat- tempat penampungan air buatan antara lain: bak mandi, ember, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan sejenisnya di dalam rumah meskipun juga ditemukan di luar rumah di wilayah perkotaan Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air alami di luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu dan sejenisnya terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan, namun juga ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam dan di luar rumah. Bersifat anthrofilik dan multiple feeding. Sifat tersebut meningkatkan risiko penularan DBD di wilayah perumahan yang penduduknya lebih padat.
  • 15. Gejala Gejala klinis DBD pada awalnya muncul menyerupai gejala flu dan tifus (typhoid). Gejala-gejala tersebut, yaitu: • Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari (38 - 40 derajat Celsius) • Pada pemeriksaan uji torniquet, tampak adanya bintik-bintik perdarahan • Adanya bentuk perdarahan di kelopak mata bagian dalam (konjungtiva), mimisan (epitaksis), buang air besar dengan kotoran (feses) berupa lendir bercampur darah (melena), dan lain-lain • Adanya pembesaran hati (hepatomegali) • Tekanan darah menurun sehingga menyebabkan syok • Pada pemeriksaan laboratorium (darah) hari ke 3 - 7 terjadi penurunan trombosit dibawah 100.000 /mm3 (trombositopeni), terjadi peningkatan nilai hematokrit diatas 20% dari nilai normal (hemokonsentrasi) • Timbulnya beberapa gejala klinik yang menyertai seperti mual, muntah, penurunan nafsu makan (anoreksia), sakit perut, diare, menggigil, kejang dan sakit kepala • Mengalami perdarahan pada hidung (mimisan) dan gusi • Demam yang dirasakan penderita menyebabkan keluhan pegal/sakit pada persendian • Munculnya bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah
  • 17. Program di Indonesia Adanya program pengendalian vektor yang diatur dalam Kepmenkes No. 581 tahun 1992, bahwa kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dilakukan secara periodik oleh masyarakat yang dikoordinir oleh RT/RW dalam bentuk PSN dengan pesan inti 3M plus. Kegiatan PSN telah dilaksanakan secara intensif sejak tahun 1992 dan pada tahun 2002 dikembangkan menjadi 3M Plus, dengan cara menggunakan larvasida, memelihara ikan dan mencegah gigitan nyamuk. Keberhasilan kegiatan PSN antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Tetapi selama tiga tahun terakhir pada tahun 2007 sampai tahun 2009 angka Bebas Jentik belum berhasil mencapai target (>95%).
  • 18. Penyebab: belum adanya perubahan perilaku masyarakat dalam upaya PSN Solusi pemerintah: mengembangkan teknik komunikasi perubahan perilaku masyarakat secara spesifik yaitu Komunikasi Perubahan Perilaku (KPP)/Communication for Behavioral Impact (COMBI) yang dapat menjadi salah satu upaya pengendalian DBD di Indonesia. Penerapan metode tersebut dimulai dengan pengadaan sumber daya manusia yang memiliki ketrampilan yang memadai melalui pelatihan disetiap jenjang administrasi.
  • 19. Program di Morelos, Mexico • Pengendalian vektor (penyuluhan, implementasi, dan monitoring), • bangunan publik yang bebas perindukan nyamuk (inspeksi dan pemberian sanksi), • kampanye kesehatan (brosur untuk sekolah, poster, radio, televisi), • kerja bakti pada hari senin di sekolah tingkat SD dan SMP Tetapi untuk pelaksanaan di tingkat SMA dan universitas kurang berhasil karena kurangnya antusiasme dari murid. Semakin tinggi institusi pendidikan tersebut maka semakin rendah masalah tempat perindukan nyamuk sejalan dengan banyaknya sarana dan prasarana yang memadai untuk kebersihan dan perbaikan daripada sekolah tingkat SD dan SMP.
  • 20. Penyebab • Tingkat keberhasilan program pencegahan dan pengendalian DBD di Morelas, Mexico sangat dipengaruhi oleh perubahan pemikiran masyarakat dan keadaan sosio-ekonominya karena adanya daerah di Morelos yang mengalami kemiskinan sehingga tidak tersedianya fasilitas publik. masyarakat di Indonesia juga dipengaruhi oleh sosio- ekonomi sehingga memerlukan promosi kesehatan yang intensif.
  • 21. 3. Filariasis (Kaki Gajah) Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Terdapat tiga spesies cacing penyebab Filariasis yaitu: Wuchereria bancrofti; Brugia malayi; Brugia timori. Semua spesies tersebut terdapat di Indonesia, namun lebih dari 70% kasus filariasis di Indonesia disebabkan oleh Brugia malayi. Cacing tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut dan kronis.
  • 22. Cara penularan Melalui gigitan nyamuk yang mengandung larva infektif. - W. bancrofti ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk, yang paling dominan adalah Culex quinquefasciatus, Anopheles gambiae, An. funestus, Aedes polynesiensis, An. scapularis dan Ae. pseudoscutellaris. - Brugia malayi ditularkan oleh spesies yang bervariasi dari Mansonia, Anopheles dan Aedes. - Brugia timori ditularkan oleh An. barbirostris. Di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 23 spesies vektor nyamuk penular filariasis yang terdiri dari genus Anopheles, Aedes, Culex, Mansonia, dan Armigeres. Untuk menimbulkan gejala klinis penyakit filariasis diperlukan beberapa kali gigitan nyamuk terinfeksi filaria dalam waktu yang lama.
  • 23. Gejala klinis akut • Demam berulang ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan timbul lagi setelah bekerja berat • Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) di daerah lipatan paha, ketiak (limfadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit • Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal ke arah ujung kaki atau lengan • Abses filaria terjadi akibat seringnya pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan dapat mengeluarkan darah serta nanah • Pembesaran tungkai, lengan, buah dada dan alat kelamin perempuan dan laki-laki yang tampak kemerahan dan terasa panas.
  • 24. Gejala klinis kronis • Limfedema : Infeksi Wuchereria mengenai kaki dan lengan, skrotum, penis, vulva vagina dan payudara, Infeksi Brugia dapat mengenai kaki dan lengan dibawah lutut / siku (lutut dan siku masih normal) • Hidrokel : Pelebaran kantung buah zakar yang berisi cairan limfe, dapat sebagai indikator endemisitas filariasis bancrofti • Kiluria : Kencing seperti susu (kebocoran sel limfe di ginjal) jarang ditemukan
  • 25.
  • 26. Program di Indonesia Pada tahun 1975 sampai 1983 program penanganan filariasis menggunakan DEC dosis standar 5 mg/kg berat badan/hari selama 10–15 hari. tahun 1984 diganti menjadi dosis bertahap, yaitu Tahap I untuk usia 2-10 tahun ½ tablet dan usia > 10 tahun 1 tablet selama 4 hari. Dilanjutkan dengan tahap II, yaitu diberikan 5 mg/kgBB/hari selama 8-13 hari. Tahun 1991 dosis yang digunakan adalah dosis rendah, yaitu untuk usia 2-10 tahun diberi hanya ½ tablet, sedangkan > 10 tahun diberi 1 tablet; tetapi dosis rendah ini diberikan selama 40 hari. Selain itu juga pernah dicoba memberi DEC dalam garam dengan dosis 0.2-0.4 % selama 9–12 bulan.
  • 27. Pengobatan tidak berhasil karena • pengobatan harus dilakukan dalam waktu lama (tingkat kepatuhan (compliance) sangat rendah) • Masa terapi yang lama, dengan efek samping yang terjadi sepanjang masa terapi menyebabkan pasien DO dan program pun gagal.
  • 28. Program eliminasi filariasis Program eleminasi filariasis di dunia dimulai berdasarkan deklarasi WHO tahun 2000. Filariasis ditargetkan untuk dieliminasi sebagai penyebab masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2020 Melalui program eliminasi global dengan pengobatan kombinasi DEC 6 mg/kg BB dan albendazol 400 mg yang diberikan sekali setahun selama 4-6 tahun pada seluruh penduduk yang tinggal di daerah endemis (prevalensi mf > 1%).
  • 29. Program Eliminasi Filariasis merupakan salah satu program prioritas nasional pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009. Tujuan umum: filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020. Tujuan khusus : (a) menurunnya angka mikrofilaria (microfilaria rate) menjadi kurang dari 1% di setiap Kabupaten/Kota, (b) mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis. Di Indonesia
  • 30. Strategi (2010-2014) 1. Memantapkan perencanaan dan persiapan pelaksanaan termasuk sosialisasi pada masyarakat 2. Memastikan ketersediaan obat dan distribusinya serta dana operasional 3. Meningkatkan peran Kepala Daerah dan para pemangku kepentingan lainnya 4. Memantapkan pelaksanaan POMP filariasis yang didukung oleh sistem pengawasan dan pelaksanaan pengobatan dan pengamanan kejadian ikutan pasca pengobatan 5. Meningkatkan monitoring dan evaluasi.
  • 31. 2 pokok kegiatan (2010-2014) 1) Program akselerasi eliminiasi filariasis, ketersediaan dan distribusi obat; mencakup: mempertahankan dan meningkatkan cakupan pelaksanaan POMP filariasis untuk seluruh penduduk di daerah endemis secara bertahap dengan target utama tahun 2014 adalah semua pulau di wilayah Indonesia Timur telah melaksanakannya, meningkatkan pelaksanaan kasus klinis filariasis dan pasca pengobatan, mengintegrasikan dengan program terkait lain, serta menjamin ketersediaan dan distribusi obat filariasis. 2) Program penguatan manejemen mencakup: penguatan program dan sistem kesehatan dan sumber daya manusia, peningkatan pencatatan dan pelaporan yang tepat waktu, meningkatkan monitoring dan evaluasi, meningkatkan komitmen dan dukungan pendanaan dan program melalui advokasi, dan sosialisasi dan mobilisasi, meningkatkan kesadaran masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan, serta meningkatkan surveilans.
  • 32. Tujuan program akselerasi eliminasi filariasis adalah pada tahun 2014 semua kabupaten/kota endemis wilayah Indonesia Timur telah melakukan POMP filariasis. Prioritas di Indonesia bagian timur dikarenakan pertimbangan tingginya prevalensi microfilaria yang tinggi (39%). Kabupaten/kota endemis daerah Indonesia barat dan tengah juga diharapkan akan melaksanakan POMP filariasis secara bertahap.
  • 33. Keberhasilan program pengendalian penyakit Filariasis pada tahun 2012 Peningkatan prosentase cakupan pengobatan massal filariasis terhadap jumlah penduduk endemis, pada tahun 2012 56,53% sedangkan data tahun 2011 adalah 37,84%
  • 34. Program di Filipina Untuk mendukung program eliminasi global filariasis pada tahun 2020 yang dideklarasikan oleh WHO, Filipina membuat program berskala nasional dengan tujuan mengeliminasi Filariasis limfatik sebagai masalah kesehatan masyarakat di Filipina pada tahun 2017. Target program tersebut mencakup individu, keluarga, dan masyarakat yang hidup di daerah endemic di 44 provinsi yang ada di Filipina (30 juta orang untuk pengobatan masal atau 1/3 total populasi penduduk Filipina).
  • 35. Strategi 1. pemetaaan daerah endemic, 2. penyediaan sarana, 3. pengobatan masal, 4. program dukungan pengendalian, 5. monitoring dan supervisi, 6. evaluasi, 7. sertifikasi nasional, 8. Sertifikasi internasional.
  • 36. Manajemen kegiatan yang dilakuakan 1. Pengobatan selektif (mengobati individu yang positif mikrofilaria dalam darah saat pemeriksaan) 2. Pemberian obat: Diethylcarbamazine Citrate (dosis tunggal berdasarkan 6 mg/kgBB) 3. Pengobatan masal (memberikan obat kepada semua populasi dari usia 2 tahun keatas yang ada di daerah endemic, obat berupa Diethlcarbamazine Citrate dan Albendazole 400 mg yang diberikan sekali setahun) 4. Pencegahan kecacatan berupa perawatan di rumah maupun di komunitas untuk penderita lymphedema & elephantiasis
  • 37. Secara umum program pencegahan dan penanggulangan yang diadakan di Indonesia dan Filipina hampir sama karena bertujuan untuk mendukung program eliminasi global terhadap filariasis tahun 2020, tetapi Filipina menargetkan bebas filariasis pada tahun 2017 sedangkan Indonesia menargetkan pada tahun 2014. Hal tersebut disesuaikan dengan tinggi rendahnya prevalensi filariasis dan kebijakan yang ada. Pada tahun 1997, prevalensi penderita filariasis di Filipina mencapai 9,7% per 1000 penduduk, 43 provinsi mengalami endemik filariasis dengan total populasi yang berisiko sebanyak 30 juta jiwa.