SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 120
Downloaden Sie, um offline zu lesen
LAPORAN
PEMBANGUNAN MANUSIA
BERBASIS GENDER
PROVINSI PAPUA BARAT
TAHUN 2012TAHUN 2012
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN
YANG BERPIHAK PADA PEREMPUAN,
ANAK DAN KELOMPOK RENTAN
Leya Catleya & Els Tieneke Rieke Katmo
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
ii
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
iii
LAPORAN
PEMBANGUNAN MANUSIA
BERBASIS GENDER
PROVINSI PAPUA BARAT
TAHUN 2012
PENYUSUN:
LEYA CATTLEYA
ELS TIENEKE RIEKE KATMO
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
iv
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
v
Manusia dalam pembangunan merupakan subyek, titik tolak dan pusat pembangunan. Artinya setiap tahapan
pembangunan berangkat dari manusia dan hasil-hasil pembangunan itu dikembalikan kepada manusia. Pembangunan
dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak terjadi kesenjangan, termasuk
kesenjangan gender. Kesenjangan ini lebih disebabkan karena belum adanya kesadaran tentang perbedaan kebutuhan
pada kelompok masyarakat yang berbeda baik perempuan dan laki-laki, orang asli Papua dan Non Papua, yang tinggal
di daerah terisolir dan tidak terisolir, cacat dan tidak cacat maupun kelompok rentan lainnya. Dalam rangka mengukur
sejauh mana pembangunan memiliki implikasi positif bagi masyarakat, perlu dilakukan pengukuran-pengukuran
terhadap faktor-faktor determinan dalam pembangunan suatu masyarakat atau kelompok masyarakat atau manusia
secara keseluruhan. Hasil dari pengukuran ini akan menjadi acuan untuk peningkatan kualitas pembangunan ke depan.
Laporan ini, yang penyusunannya diinisiasi oleh United Nations Development Program (UNDP) melalui proyek People-
Centered Development Program (PCDP), menyediakan hasil kajian terhadap pelaksanaan pembangunan di Papua Barat
dalam perspektif gender. Kajian ini mengacu pada indikator-indikator pembangunan manusia berbasis gender dalam
aspek kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Berdasarkan hasil kajian tersebut ternyata masih terjadi kesenjangan antara
laki-laki dan perempuan.
Pada dasarnya Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat telah mengintegrasikan pembangunan yang berpihak pada
perempuan karena hal ini merupakan mandat dari semangat otonomi khusus, tetapi pelaksanaannya belum dilakukan
secara maksimal. Wujud dari pelaksanaan mandat itu tertuang dalam RPJMD Provinsi Papua Barat 2012 – 2016. Laporan
Pembangunan Manusia Berbasis Gender ini merupakan salah satu dokumen pembangunan sehingga keberadaannya
dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan pembangunan daerah di Papua Barat sesuai dengan misi pembangunan
daerah Provinsi Papua Barat.
Kami menyampaikan banyak terimakasih terhadap antusiasme berbagai pihak yang secara aktif terlibat
dalam penyusunan laporan ini. Kami pula senantiasa terbuka menerima kritik dan saran yang konstruktif untuk
penyempurnaannya. Besar harapan kami laporan ini dapat digunakan untuk memaksimalkan upaya pembangunan
yang responsif terhadap persoalan gender di Papua Barat sehingga keadilan dan kesetaraan Gender diTanah Papua apat
terwujud.
Manokwari, Mei 2013
Abraham O. Atururi
Gubernur Papua Barat
KATA PENGANTAR GUBERNUR PAPUA
BARAT
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
vi
Perbaikan kualitas hidup manusia perempuan dan laki-laki adalah tujuan dari berbagai program pembangunan baik
kualitas pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Penggunaan input atau sumberdaya pembangunan terutama sumberdaya
manusia yang berkualitas akan memengaruhi hasil pembangunan itu sendiri. Keterlibatan manusia perempuan dan
laki-laki dalam setiap tahapan pembangunan baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi
menjadi sebuah keharusan. Evaluasi pembangunan merupakan tahap yang sama pentingnya dengan tahapan lainnya
karena tahapan ini akan menilai sejauhmana pembangunan itu berhasil dan memberikan solusi serta alternatif-alternatif
pemecahan masalah pembangunan untuk perbaikan.
Laporan ini secara tidak langsung merupakan refleksi terhadap kinerja Pembangunan Nasional di daerah Provinsi Papua
Barat. Proses penyusunan laporan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat merupakan wujud dari paradigma
pembangunan yang partisipatif yakni masyarakat terlibat dalam menilai, menemukenali permasalahan gender yang
dihadapi dalam pembangunan daerah dan juga memberikan rekomendasi untuk peningkatan kualitas pembangunan
dimasa mendatang.
Laporan ini secara khusus merinci berbagai kesenjangan pembangunan dalam perspektif gender. Hal ini dimaksudkan
untuk menjawab kebutuhan akan pengarusutamaan gender dalam pembangunan yang diindikasikan melalui
pencapaian target-target pembangunan pada tiga bidang utama yakni kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Selain itu
juga mengemukakan persoalan-persoalan spesifik pada perempuan dan laki maupun kelompok rentannya termasuk
orang asli Papua dan Non-Papua sesuai konteks wilayah.
Pemaparan informasi dalam laporan ini akan digunakan oleh semua pihak baik masyarakat, pemerintah dan agen-agen
pembangunan lainnya karena memberikan gambaran tentang dimana Papua Barat saat ini berada dan akan mengarah
kemana nantinya. Semoga laporan ini berguna untuk mendukung pembangunan yang adil gender di Papua Barat.
Jakarta, Mei 2013
Max Pohan
Deputi Bidang Regional dan Otonomi Daerah
BAPPENAS
KATA PENGANTAR KEMENTERIAN
PERENCANAAN PEMBANGUNAN
NASIONAL/BADAN PERENCANAAN
PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS)
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
vii
KATA PENGANTAR PERWAKILAN
UNDP
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat 2012 ini dipersiapkan untuk melengkapi Laporan
Pembangunan Provinsi Papua Barat 2012 yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA)
Provinsi Papua Barat yang bekerja sama dengan UNDP dan dengan melibatkan konsultasi yang intensif dengan berbagai
lembaga pemerintah dan organisasi non pemerintah serta individu-individu yang peduli pada persoalan gender di
Provinsi Papua Barat.
Laporan ini memberikan perhatian pada isu gender yang secara signifikan memengaruhi kehidupan perempuan dan
laki-laki Papua Barat yaitu pada aspek kependudukan, aspek kemiskinan serta aspek yang tertinggal di beberapa
bidang pembangunan manusia yaitu bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Selain itu, laporan ini juga
mengangkat persoalan pengambilan keputusan, otonomi perempuan serta persoalan konflik dan kekerasan yang
dihadapi perempuan. Rangkuman dari Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat 2012 ini
akan menjadi bagian yang integratif dan komplementatif dengan Bab-bab yang ada di dalam Laporan Pembangunan
Manusia Provinsi Papua Barat 2012.
Informasi dan data yang dipresentasikan dalam persoalan gender pada Laporan ini menjadi dasar pertimbangan
untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di tanah Papua. Rekomendasi yang dipresentasikan dalam
Laporan ini merupakan rekomendasi yang dirangkum dalam serangkaian rencana tindak gender yang disusun
secara sistematis dalam kerangka Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender (RAD PUG) Provinsi Papua Barat
2013-2016. Rekomendasi-rekomendasi tersebut menggiring pada suatu aksi tanggap dalam bentuk RAD PUG yang
memasukkan upaya perbaikan pada bidang utama pembangunan manusia yaitu pembangunan di bidang kesehatan,
bidang pendidikan dan bidang ekonomi, upaya perbaikan di dalam upaya implementasi pelembagaan PUG, perbaikan
kesetaraan gender dalam konteks otonomi khusus dan upaya menghapus kekerasan terhadap perempuan.
Persoalan gender di tanah Papua Barat merupakan suatu isu yang mendesak dan bersifat darurat. Upaya serius dan
sistematis melalui proses perencanaan dan penganggaran pembangunan yang responsif pada persoalan gender dan
akuntabel untuk mendorong terwujudnya kesetaraan gender merupakan upaya yang niscaya agar masyarakat Papua
Barat, khususnya Orang Asli Papua baik perempuan dan laki-laki, mendapatkan status yang sama dan tidak tertinggal
dari saudara Indonesia mereka yang lain.
Jakarta, Mei 2013
Beate Trankmann
Kepala Perwakilan UNDP Indonesia
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
viii
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender yang membedah persoalan pembangunan di daerah dalam perspektif
gender merupakan sebuah terobosan baru karena isu gender dalam pembangunan telah dilihat secara khusus sebagai
hal yang penting. Penyusunan laporan ini pada dasarnya bukan semata-mata memenuhi tanggungjawab kami kepada
PCDP tetapi juga sekaligus menghantarkan kami kepada pemahaman yang utuh dan niat yang tulus untuk turut
merasakan denyut pergumulan perempuan asli Papua di tanah Papua. Betapa kami dapat merasakan ritme itu dalam
setiap penyampaian isi hati serta pengalaman mereka yang terpinggirkan dan dibungkam oleh budaya dominan dan
kebijakan pembangunan yang masih bias. Oleh sebab itu ijinkan kami menyampaikan penghargaan yang tulus atas
antusiasme semua pihak yang terlibat.
NARASUMBER
Apresiasi yang tulus kepada narasumber baik secara individu maupun kelembagaan atas kontribusinya dalam
memberikan informasi dan mengungkapkan pengalaman terkait isu gender. Para narasumber ini antara lain anggota
Pokja Perempuan MRP (Majelis Rakyat Papua), Persekutuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI) dan Wanita Katolik Republik
Indonesia (WKRI), Divisi Perempuan LP3BH, Pusat Studi Pengembangan Perlindungan Perempuan dan Anak UNIPA, Dr.
Merlyn Lekito (P2TP2) yang mengikuti akhir proses penyusunan laporan ini menggantikan mama Kambu (ibu Trince
Katherine Karteh) yang meninggal dunia setelah mengikuti sebagian besar proses penyusunan ini dengan setia bahkan
terlibat sebagai anggota tim penyusun RAD Percepatan PUG Papua Barat. Beliau secara khusus menitipkan pesan
untuk memberikan perhatian lebih kepada anak dan perempuan berkebutuhan khusus yang kemudian kami sadari
merupakan pesan terakhir beliau. Selanjutnya kami juga berterimakasih kepada Himpunan Pengusaha Indonesia, Insiasi
Himpunan Pengusaha Perempuan Papua, Dharma Wanita Persatuan, LSM (Perdu dan pt.Peduli Sehat, Spesialis Gender
PNPM Mandiri Pertanian (Lusi Wamaer), Dinas Kesehatan dalam hal ini Ikatan Bidan dan bagian Pelayanan HIV dan AIDS),
Dinas Sosial serta semua tokoh dan aktivis perempuan di Papua Barat. Terimakasih atas kerelaannya meluangkan waktu
berdiskusi dan ditemui kapan saja untuk penggalian informasi yang lebih mendalam.
BAPPEDA
Harus kami akui bahwa Kepala BAPPEDA (Drs. Ishak L. Hallatu) memiliki sebuah perspektif yang baik tentang
pembangunan berbasis gender. Hal ini terlihat selama proses penyusunan laporan ini dan ketika kami menyerahkan
draft RAD Percepatan PUG, beliau meminta kami untuk memberikan gambaran singkat tentang beberapa poin penting
dalam RAD PUG pada bidang Pendidikan untuk dibahas pada Rapat Pembahasan RPJMD. Kami juga berterimakasih
secara khusus kepada staff BAPPEDA Danardono dan Legius Wanimbo atas segala upaya, dukungan dan inisiatifnya
untuk memberikan informasi dan terlibat aktif dalam penyusunan laporan ini termasuk pula RAD
BPS
Tim penulis telah mendapatkan dukungan yang sangat baik dari Badan Pusat Statistik (BPS) Papua Barat. Kepala BPS
(Tanda Sirait) ketika laporan ini dibuat memberikan kesan yang koperatif dalam penyusunan laporan ini baik melaui
keterlibatanya secara langsung dalam setiap lokakarya dan FGD penyusunan laporan ini maupun melalui kewenangan
beliau untuk menunjuk pak Suryana sebagai kontak person dalam penyediaan data-data dari BPS yang dibutuhkan. Oleh
sebab itu kami patut menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tulus.
PEMBACA KRITIS
Beberapa pembaca kritis Laporan ini yakni Gonzales, Juli Numberi dan Suryana telah membantu dalam penyempurnaan
laporan ini dalam mengkritisi beberapa hal terkait keakuratan data, memperdalam beberapa hasil kajian yang sesuai
dengan konteks Papua Barat dan menggarisbawahi beberapa hal penting dalam pemberdayaan Perempuan Papua dan
permasalahannya.
PENGHARGAAN
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
ix
UNDP
Penghargaan tinggi dengan sepenuh hati kepada pimpinan United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia,
Kepala Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN) di Indonesia serta Beate Trankmann (Direktur UNDP), Stephen
Rodriques (Wakil Direktur UNDP), sebagai bagian dari pelaksana visi UNDP terkait LPM global dan nasional.Teman-teman
UNDP, di Jakarta maupun di Jayapura, juga sangat layak memperoleh apresiasi setinggi-tingginya. Terutama kepada
Niken Garnadi dan juga penerusnya, Siti Agustini (Koordinator PcDP) serta Liza Martiananda, Ririn Haryani, Popon dan
Chandra Manalu. Begitu pula Sharief Natanegara, Riana Hutahayan dan Budiati Prasetiamartati di UNDP-Jakarta, serta
Darianus Tarigan (Koordinator UNDP Papua Barat), Hilda Evelyn, Ririe, Henny Wadayati dan Achmad Tamrin (Koordinator
Klaster 1 Papua/Papua Barat).
Terbersit kebanggaan dan apresiasi yang dalam atas niat tulus semua pihak ini untuk merealisasikan Laporan
Pembangunan Manusia Berbasis Gender. Semoga niat dan upaya anda sekalian membawa sebuah perubahan yang baik
bagi Tanah Papua kedepan.
Manokwari, April 2013
Leya Catleya
Els Tieneke Rieke Katmo
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
x
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
xi
RINGKASAN EKSEKUTIF
LATAR BELAKANG
Sebagai provinsi pemekaran dari Provinsi Papua, Papua Barat melanjutkan
pembangunan yang selama ini telah dilakukan oleh Provinsi Papua. Walaupun
ProvinsiPapuaBarattidakberadapadarankingterendah,namunpembangunan
manusia di wilayah ini masih memerlukan komitmen investasi dan pendekatan.
Komitmen ini memastikan aksesibilitas yang adil dan berkelanjutan agar
terwujud kualitas manusia yang bebas dalam memilih opsi dan mencapai opsi
tersebut untuk kebaikan kualitas hidup perempuan dan laki-laki, khususnya
mereka yang sangat membutuhkan perhatian khusus termasuk Orang Asli
Papua, perempuan, anak-anak dan orang tua.
Bila dibandingkan dengan capaian nasional, maka kesenjangan dalam
pencapaian tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks
PembangunanGender(IPG),yangmerupakanIPMdenganmempertimbangkan
perbedaan capaian perempuan dan laki-laki di Papua Barat, Provinsi Papua
Barat cukup menyolok. Indeks Pembangunan Gender Provinsi Papua Barat
masih relatif rendah dibandingkan IPG di tingkat nasional. Artinya, kesenjangan
yang ada di Papua Barat bukan hanya disebabkan oleh adanya ketertinggalan
wilayah Papua Barat yang disebabkan situasi geografis yang sulit, keterpencilan
dan konflik berkepanjangan yang dihadapi masyarakat, namun juga oleh
adanya perbedaan yang berbasis gender.
Otonomi Khusus Papua Barat yang diharapkan menjadi tonggak bagi
perlindungan Orang Papua Barat Asli agar lebih maju, mandiri dan sejahtera
untuk mengejar ketertinggalan dari saudara-saudaranya di daerah lain di
Indonesia masih belum memberikan perbaikan yang signifikan Walapun
lahirnya Otsus di Papua Barat juga dilengkapi dengan kehadiran Majelis Rakyat
Papua Barat (MRP), yang sepertiganya diwakili oleh kelompok perempuan,
yang secara bersama-sama dengan wakil adat dan pemuda mendorong
upaya Otsus yang memiliki keberpihakan (“affirmative action”), perlindungan
(“protection”) dan pemberdayaan (“empowerment”) masih belum mampu
memastikan bahwa perempuan di Papua Barat mendapatkan keadilan dan
bebas dari tindakan kekerasan terhadapnya. Mandat Otsus yang secara spesifik
hendakmelindungihakperempuanPapuamasihmemerlukanperjuanganagar
pemerintah memajukan, memberdayakan dan melindungi kaum perempuan
agar berstatus sama dengan kaum laki-laki sehingga kesetaraan gender dapat
direalisasikan.
Pertumbuhan ekonomi Papua Barat yang tinggi, bahkan tertinggi di Indonesia,
pada beberapa tahun terakhir selain tidak secara merata dinikmati oleh
masyarakat Papua Barat, namun juga tidak dirasakan secara nyata oleh warga
perempuannya.PercepatanpembangunanPapuaBaratmemerlukanpartisipasi
aktif perempuan dan laki-laki Papua agar masyarakat dapat merasakan dan
sekaligus memiliki pembangunan wilayahnya.
Otonomi Khusus di Papua
Barat dilengkapi dengan
kehadiran Majelis Rakyat
Papua Barat (MRP), yang
sepertiganya diwakili oleh
kelompok perempuan, yang
bersama dengan wakil adat dan
pemuda hendak mendorong
perwujudan Papua Barat
yang memberi keberpihakan
(affirmative action),
perlindungan (protection) dan
pemberdayaan (empowerment).
Otsus secara khusus hendak
memastikan agar perempuan
mendapatkan keadilan dan
bebas dari tindakan kekerasan
terhadapnya.
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
xii
PENDUDUK DAN DEMOGRAFI
Penduduk merupakan subyek dan tujuan utama suatu pembangunan.
Sensus Penduduk 2010 mencatat jumlah penduduk Provinsi Papua Barat
berjumlah 760.422 yaitu terdiri dari 402.398 penduduk laki-laki dan 358.024
penduduk perempuan. Walaupun terdapat kecenderungan meningkatnya
jumlah penduduk, baik secara total maupun dalam hal komposisi yang
menjadi syarat suatu pembangunan, namun ketidakseimbangan rasio jenis
kelamin penduduk di Papua Barat tidak membaik. Dalam beberapa dekade,
jumlah penduduk perempuan lebih sedikit dibandingkan jumlah penduduk
laki-laki pada semua kelompok umur di semua kabupaten di Provinsi Papua
Barat. Ketidakseimbangan jumlah penduduk berdasar jenis kelamin ini dapat
diterangkan oleh adanya kematian prematur perempuan yang lebih tinggi
dibanding laki-laki, disamping adanya migrasi penduduk ke dalam Provinsi
Papua Barat yang pada umumnya tidak disertai anggota keluarga perempuan.
Rasiojeniskelaminpendudukdenganlebihbanyakpenduduklaki-lakidaripada
perempuan ditemui di semua kabupaten/kota dengan situasi paling sedikit
perempuan di wilayah Teluk Bintuni, Kota Sorong dan Kabupaten Sorong
Selatan dengan rasio berturut turut 1:20, 1:12, dan 1:12.
Walaupun ketersediaan data terpilah berdasar jenis kelamin makin baik,
namun masih terdapat tantangan untuk menyediakannya. Kebutuhan akan
data terpilah tak terbatas pada data terpilah berdasar jenis kelamin, tetapi
juga suku bangsa, umur, perbedaan wilayah dan perbedaan latar belakang
sosial dan ekonomi. Tantangan atas ketersediaan data sudah dirasakan pada
saat penyusunan Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi
Papua Barat 2012 ini. Data Angka Kematian Ibu yang lebih terkini adalah
survei dibanding data tahun 2007 dari SDKI, namun tidak dapat ditemukan.
Sebetulnya, SDKI telah mampu menghitung estimasi angka kematian dewasa
dan kematian ibu melalui ‘direct estimation procedure’ sejak 1994. Namun
demikian, pengumpulan data yang dilakukan secara regular setiap tahun untuk
kepentingan pengukuran Indeks Ketidaksetaraan Gender masih merupakan
tantangan.
Terputusnya alur pelaporan dari tingkat penyelenggara pelayanan ditingkat
masyarakat ke atas (kabupaten, provinsi dan nasional) sejak otonomi daerah
(otonomi khusus dalam konteks Papua Barat); terbatasnya kemampuan daerah
(kabupaten/kota) untuk mencakup data dan informasi yang memadai dan valid
karena persoalan geografis dan sumberdaya manusia, disamping rendahnya
prioritasi kebutuhan dan pendanaan data terpilah masih mengemuka. Dimasa
depan, Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah Provinsi Papua Barat
perlu membuat kebijakan tentang pengadaan data-data penting yang dapat
membantu mengukur kemajuan perempuan dan mengindikasikan adanya
penyempitan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki. Persoalan kesulitan
untuk mengumpulkan data AKI, AKB, angka fertilitas remaja dan parameter
lain merupakan tantangan dalam membuat Laporan Pembangunan Manusia
Berbasis Gender ini.
Hambatan yang dihadapi
perempuan Papua Barat lebih
muncul ketika kita menilik indikator
yang lain, yaitu Pengukuran
Pemberdayaan Perempuan
atau “Women Empowerment
Measure” atau GEM atau Indeks
Pemberdayaan Gender (IDG) disebut
Indeks Pemberdayaan Gender,
mengukur status perempuan di
kelembagaan, yang mengukur upaya
memajukan dan memberdayakan
perempuan di bidang atau forum
politik dan ekonomi. IDG mengukur
kemampuan perempuan dan laki-
laki untuk dapat berpartisipasi di
bidang ekonomi dan politik dan
berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan. Sementara IPG
berfokus pada upaya peningkatan
kemampuan dasar, IDG lebih
melihat pada upaya meningkatkan
kemampuan untuk memajukan
kesempatan-kesempatan untuk
meningkatkan kualitas hidup.
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
xiii
KEMISKINAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA PROVINSI
PAPUA BARAT BERBASIS GENDER
Kemiskinan merupakan isu penting pembangunan di Provinsi Papua Barat. Meskipun kecenderungan jumlah penduduk
miskin telah menunjukkan penurunan sejak tahun 2006, namun tingkat kemiskinan di provinsi ini hingga saat ini masih
tergolong tinggi. Dengan acuan data pada tahun 2006, persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di
Provinsi Papua Barat adalah 41,34%. Selama masa 6 tahun, Pemerintah Provinsi Papua Barat telah berhasil menurunkan
angka kemiskinan sebesar kurang lebih 13% yaitu pada tingkat 28,2% pada tahun 2012 (BPS, Susenas 2006, 2012).
Walaupun terjadi kecenderungan jumlah penduduk miskin menurun sejak 2006, namun tingkat kemiskinan di provinsi
ini masih tinggi. Laporan MDGs Papua Barat 2012 mencatat data BPS bahwa persentase penduduk miskin pada Maret
2012 mencapai 28,20% dengan indeks kedalaman kemiskinan sebesar 7,23%. Laporan MDG Papua Barat 2012 mencatat
persentase penduduk miskin pada Maret 2012 mencapai 28,20% dengan indeks kedalaman kemiskinan sebesar 7,23%.
Tingkat kemiskinan ini menduduki peringkat dua teratas dari seluruh provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di
Indonesia. Tingkat kemiskinan ini merupakan tingkat kemiskinan yang menduduki peringkat dua teratas dari seluruh
provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Secara absolut, jumlah penduduk miskin pada Maret 2011
adalah sebanyak 249.840 jiwa yang merupakan jumlah yang sangat besar dalam konteks Provinsi Papua Barat yang
berpenduduk kurang dari 800.000 jiwa pada tahun 2010. Kondisi geografis Papua Barat yang sulit membutuhkan upaya
serius dan berkelanjutan serta alokasi investasi yang memadai untuk menanggulangi kemiskinan.
Konsultasi publik dengan berbagai pihak mencatat adanya kemiskinan struktural di Papua Barat yang dimaknai sebagai
kemiskinan yang disebabkan oleh adanya ketidakadilan akses pada pelayanan kesehatan, pendidikan dan ekonomi yang
dibatasi bukan hanya oleh keterbatasan situasi dan kondisi sosio geografis tetapi juga oleh keterbatasan kebijakan.
IPM dan IPG kabupaten terendah di Indonesia terdapat di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Artinya, kualitas hidup
manusia yang rendah di Tambrauw bukan hanya terjadi karena kesenjangan geografis dan akses pada sumberdaya
pembangunan yang mencolok didalam provinsi dan di Indonesia, tetapi juga disebabkan oleh adanya kesenjangan
gender dimasyarakat ini. Namun demikian, IPG hanya memberikan gambaran parsial terkait status perempuan dan laki-
laki di Papua Barat.
IDG Papua Barat jauh di bawah IDG tingkat nasional. Persoalan gender di Papua Barat adalah persoalan ketidaksetaraan
yang serius. Papua Barat harus mengejar ketertinggalan pada hampir semua target MDGs dan ketiga bidang yang
melandasi Pembangunan Manusia – kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Kekerasan terhadap perempuan juga perlu
perhatian serius, termasuk di dalamnya kekerasan di wilayah konflik, di pertambangan, di tempat bekerja (pasar), di area
pekerjaan yang rentan pada eksploitasi dan di dalam rumahtangga. Selanjutnya, mengingat kompleksnya persoalan
gender dihampir semua bidang, maka pemerintah harus secara serius dan akuntabel mengadopsi Pengarusutamaan
Gender sebagai suatu strategi pembangunan agar penurunan dan penghapusan kesenjangan gender dapat terealisasi
di Papua Barat.
PEMBANGUNAN BIDANG KESEHATAN DAN GENDER
Dalam hal aspek kesehatan, persoalan Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Kematian Bayi (AKB) dan kasus HIV DAN
AIDS merupakan persoalan yang berkontribusi pada masih rendahnya IPM dan IPG di Provinsi Papua Barat. Dalam hal
AHH, data BPS (Inkesra Papua Barat, 2010) menunjukkan bahwa selama tiga tahun sejak tahun 2008 AHH di Papua Barat
mengalami peningkatan yakni 67,90 (2008), 68,20 (2009) dan 68,51 (2010). AHH tersebut masih lebih rendah dari AHH
Nasional sebesar 70,9. Data AHH berdasar jenis kelamin yang dicatat oleh BPS masih memerlukan konfirmasi, mengingat
terdapat AHH yang berbeda untuk perempuan dan laki-laki dari sumber data yang sama.
Apabila dipilah berdasarkan jenis kelamin, AHH perempuan di Papua Barat lebih rendah dari AHH laki-lakinya. Tahun
2008 misalnya, AHA perempuan di Papua Barat adalah sebesar 65,97 dan laki-laki adalah sebesar 69,95. Rendahnya AHH
perempuan ini mengindikasikan bahwa ada persoalan dengan kondisi kesehatan perempuan di Papua Barat, misalnya
Angka Kematian Ibu (AKI) yang tinggi berkontribusi positif terhadap AHH. Kematian ibu ini terutama terkait dengan
kesehatan reproduksinya dan berbagai penyakit menular lainnya serta terkait erat dengan kematian bayi.
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
xiv
Persoalan keterlambatan pengambilan keputusan untuk merujuk ibu hamil untuk melahirkan di fasilitas kesehatan
dan dengan pertolongan tenaga kesehatan disebabkan oleh persoalan rendahnya pemahaman dan pengenalan akan
tanda bahaya di antara perempuan dan juga keluarganya. Kurangnya pemahaman dan pengenalan akan tanda bahaya
melahirkan ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain kurangnya akses perempuan dan masyarakat akan informasi
terkait perawatan dan pemeliharaan kehamilan dan juga persoalan sosial dan budaya yang menghalangi perempuan
dan masyarakat untuk merujuk ke tenaga kesehatan dan ke fasilitas kesehatan ketika mereka mengalami persoalan
kesehatan. Dalam hal ini, peran keluarga terutama suami merupakan hal penting.
Persoalan akses pada informasi kesehatan yang dihadapi perempuan dan keluarganya (masyarakat miskin) juga
memengaruhi tingkat pemahaman ibu hamil (dan keluarganya) tentang resiko kekurangan gizi atau nutrisi pada
kesehatan kehamilan serta keselamatan persalinan. Beberapa studi mencatat bahwa beban ganda diantara perempuan
yang tinggal di perkampungan yang menyebabkan mereka tetap melakukan pekerjaan berat walau ketika hamil tua
juga menyebabkan kekurangan gizi dan nutrisi yang serius di masa kehamilan. Persoalan kekurangan gizi menjadi makin
memperburuk kualitas kesehatan ibu karena persoalan sosial budaya terkait pangan. Terdapat beberapa jenis makanan
yang dipantangkan untuk dimakan ibu hamil yang berakibat mengurangi asupan gizi bagi perempuan hamil.
Secara khusus, persoalan kesehatan ibu dan anak serta HIV DAN AIDS adalah persoalan yang perlu tindak lanjut
komprehensif. Provinsi Papua Barat merupakan satu diantara provinsi dengan kasus dan angka kematian ibu dan bayi
tertinggi di Indonesia. Strategi yang komprehensif, sistematis dan juga sekaligus pragmatis dalam upaya menurunkan
angka kematian ibu melahirkan dan bayi ala ‘Revolusi Kesehatan Ibu dan Anak’ yang disertai akuntabilitas yang kuat
seperti yang dilakukan oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur perlu diupayakan.
Dilihat dari sebaran di kabupaten/kota, data di atas menunjukkan bahwa masih terdapat kabupaten, antara lain Sorong
Selatan yang persalinan bayinya mayoritas dilakukan oleh dukun dan keluarga dengan persentase total mencapai sekitar
64%. Berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan dengan beberapa informan kunci, ada kecenderungan perempuan Papua
terutama yang tinggal di daerah terpencil lebih memilih dukun sebagai penolong persalinannya karena perasaan
nyaman sebagai sesama perempuan dan kepercayaan terhadap para dukun. Juga terdapat pernyataan bahwa secara
adat perempuan Papua merasa nyaman ditangani dan dibantu kelahiran anaknya oleh sesama orang Papua karena
persoalan kelahiran melibatkan proses yang sifatnya sangat pribadi. Pernyataan ini hampir pasti memperkuat alasan
kasus persalinan yang ditolong oleh keluarga terus meningkat. Persoalan keterbatasan jumlah tenaga kesehatan juga
merupakan persoalan rendahnya akses masyarakat, dalam hal ini ibu hamil, pada pertolongan tenaga kesahatan.
Keterlambatan mencapai fasilitas kesehatan pada saat darurat sangat dipengaruhi oleh ketersediaan fasilitas kesehatan
dan fasilitas penunjangnya serta sarana transportasi seperti jalan. Kondisi geografis Papua Barat merupakan salah satu
penghambat dalam pembangunan jalan sebagai sarana trasnportasi yang relatif murah. Sarana transportasi yang
terbatas mempersulit akses terhadap fasilitas kesehatan terutama dalam keadaan darurat. Pada satu sisi data BPS (Papua
Barat dalam Angka, 2012) menunjukan bahwa jumlah Rumah Sakit di Propinsi Papua Barat belum memadai baik dari sisi
jumlah dan kualitasnya. Keadaan ini jauh dari cukup jika diasumsikan satu Puskesmas sedapat mungkin memiliki satu
dokter tetap (jumlah dokter umum di Papua Barat pada tahun 2011 adalah sebanyak 172 orang).
Persoalan fasilitas kesehatan di Papua Barat masih merupakan persoalan kritis. Jumlah rumah sakit pemerintah hanya 10
buah sampai dengan tahun 2012 dan sebarannya tidak di semua kabupaten. Rumah sakit swasta yang pada umumnya
beorientasi pada keuntungan merupakan satu hal yang menjadi penyebab terbatasnya akses masyarakat umum,
khususnya masyarakat miskin, pada fasilitas kesehatan ini.
HIV merupakan persoalan serius Provinsi Papua Barat. Data Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa lebih banyak kasus HIV
dilaporkan oleh perempuan yaitu 439 kasus, sementara oleh laki-laki sebanyak 431. Sedangkan kasus AIDS dilaporkan
sebanyak 237 kasus perempuan dan 313 kasus laki-laki. Belum terdapat studi mendalam tentang kecenderungan ini,
namun studi anekdotal menyebutkan bahwa tingkat kesadaran laki-laki untuk membuka kasus dan memeriksakan kasus
kesehatan terkait HIV DAN AIDS masih rendah, disamping penanganan medis yang masih rendah dan tidak melanjutkan
perawatan setelah kasus ditemukan. Persoalan gender atas HIV DAN AIDS juga termasuk aspek rendahnya kesadaran
laki-laki untuk menggunakan kondom.
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
xv
PEMBANGUNAN BIDANG PENDIDIKAN
Kemampuan baca tulis pada perempuan dan laki-laki terus mengalami peningkatan. Tetapi bila dipilah secara seks ada
kesejangan gender antara perempuan dan laki-laki-laki. Laki-laki memiliki kemampuan baca tulis lebih tinggi 4,56 pada
tahun 2010. Perempuan memiliki kemampuan baca tulis sebesar 7,94. Hal ini mengindikasikan bahwa lebih banyak
perempuan buta huruf pada usia 15 tahun atau lebih.
Bila dikaitkan angka buta huruf yang dipilah berdasarkan seks, Angka Buta Huruf perempuan di Papua Barat pada
tahun 2009 adalah sebesar 9,87% dan laki-laki adalah sebesar 4,43%, (Statistik Gender Papua Barat, 2009). Berdasarkan
kelompok umur (walaupun tidak dipilah berdasarkan seks), angka buta huruf lebih didominasi oleh kelompok umur
45 tahun sampai dengan 54 dan kelompok umur 55 tahun, sehingga diduga kelompok perempuan yang buta huruf
tersebar pada kelompok umur tersebut dan pada kelompok masyarakat berkebutuhan khusus (cacat). Akses dan kontrol
terhadap pendidikan bagi orang berkebutuhan khusus dan pendidikan informal untuk memberantas buta aksara hampir
pasti belum menjadi prioritas pembangunan yang menyentuh kebutuhan mereka.
Angka Putus Sekolah (APtS) tertinggi terjadi pada kisaran usia 16 – 18 tahun yakni sebesar 44,9% kemudian diikuti oleh
usia 13 - 15 tahun sebesar 9,84% dan 3,14% pada kelompok umur 7 – 12 tahun. Bila dipilah berdasarkan seks (Papua Barat
dalam Angka, 2011), APtS laki-laki sebagian besar terjadi pada kisaran umur 13 – 15 tahun yakni sebesar 6% dan APtS
pada perempuan sebagian besar terjadi pada kisaran umur 16 – 18 tahun sebesar 3,23%. Terdapat beberapa kabupaten/
kota di Papua Barat yang memiliki APtS cukup tinggi dan ini menyumbang pada APtS secara agregat di tingkat Provinsi,
terutama wilayah Kabupaten/Kota pemekaran baru sepertiTeluk Bintuni, Sorong Selatan danTambrauw. Data BPS (Papua
Barat dalam Angka, 2012) menggambarkan bahwa APtS laki-laki tertinggi pada usia 16 – 18 tahun (Teluk Bintuni sebesar
15,57% dan Tambrauw sebesar 14,17%). Kabupaten Sorong Selatan memiliki APtS tertinggi terjadi pada perempuan
di kelompok umur 16 – 18 tahun yakni sebesar 16% dan pada laki-laki sebesar 16,08%. Ada beberapa hal yang diduga
berkontribusi terhadap peningkatan APtS di Papua Barat yang disumbang oleh masing-masing kabupaten/kota yakni
biaya pendidikan yang semakin mahal, kemampuan ekonomi keluarga yang terbatas, kurangnya fasilitas pendidikan
dan sumberdaya manusia (tenaga pengajar), terbatasnya akses terhadap fasilitas pendidikan dan kehamilan muda diusia
sekolah serta rendahnya motivasi untuk bersekolah.
Angka Partisipasi Sekolah (APS) mengalami penurunan pada setiap peningkatan jenjang pendidikan. Hal ini diduga
disebabkan oleh kemampuan ekonomi yang tidak sebanding dengan biaya pendidikan yang semakin mahal. Walaupun
ada upaya pengurangan bahkan pembebasan biaya sekolah tetapi biaya pendukung lainnya turut memengaruhi
tingginya belanja pendidikan. Diduga hal ini erat terkait dengan angka inflasi dan daya beli masyarakat. Bila dipilah
berdasarkan seks maka APS perempuan dan laki-laki relatif tidak berbeda jauh pada usia sekolah 13 – 15 tahun (laki-laki:
88,77; perempuan: 88,37), ada sedikit perbedaan pada usia 7 – 12 tahun (laki-laki: 94,4; perempuan: 92,3) dan 19 – 24
(laki-laki: 13,4; perempuan: 12,2). Sedangkan perbedaan yang jauh terjadi pada kisaran usia 16 – 18 tahun yakni laki-laki
sebesar 61,8 dan perempuan sebesar 53,5
Rasio sekolah, guru dan murid di Papua Barat belum dapat disebut ideal. Data BPS tahun 2011 menggambarkan bahwa
perbandingan sekolah, guru dan murid adalah 1:12:208 yang artinya dalam satu sekolah jumlah siswa sekitar 208 orang
dan jumlah guru sebanyak 12 orang. Dengan kata lain dikatakan bahwa 1 guru mengajar 17 – 18 murid, rasio ini tidak
terlalu buruk (idealnya 1:14) dibandingkan dengan negara lain misalnya rasio guru di Korea 1:30. Tetapi rasio ini dihitung
dari kuantitas guru yang ada dalam data, oleh sebab itu perlu di kaji lebih jauh soal kualitasnya termasuk kehadiran guru.
Hasil studi antar lembaga yang dilakukan oleh UNCEN, UNIPA, SMERU, BPS dan UNICEF di Papua dan Papua Barat tahun
2012 menggambarkan bahwa persentase guru yang tidak hadir di Papua Barat pada saat survei dilakukan adalah sebesar
26,3% lebih rendah dari Papua (37,1%). Jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia yakni sebesar 20% menurut
SMERU (2009) dalam laporan hasil survei yang dilakukan oleh lima lembaga di atas, ketidakhadiran guru di Papua Barat
masih lebih tinggi. Bila dipilah berdasarkan kategori geografis, ketidakhadiran guru di kedua propinsi ini lebih tinggi
terjadi pada wilayah kabupaten yang berada di pegunungan dan wilayah distrik yang berada di pedalaman atau terisolir.
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
xvi
PEMBANGUNAN EKONOMI PEREMPUAN DAN
LAKI-LAKI PAPUA BARAT
Aspek ketiga yang memengaruhi IPM dan IDG serta Indeks Pemberdayaan
Gender (IDG) adalah aspek ekonomi. Secara khusus, tingkat keterlibatan
perempuan di parlemen, perempuan sebagai tenaga manager dan
professional serta sumbangan perempuan dalam pendapatan kerja memberi
sumbangan pada capaian IDG Papua Barat. Partisipasi perempuan di parlemen
di seluruh Papua Barat adalah 15,91% pada tahun 2010. Dari 11 kabupaten/
kota di wilayah Provinsi Papua Barat, partisipasi perempuan di parlemen yang
tertinggi terdapat di Kabupaten Sorong Selatan (20%), diikuti di Fak-fak (10%)
dan Raja Ampat (10%) serta di Kota Sorong (13,33%). Sementara itu, untuk
persentase perempuan sebagai tenaga manajer, professional, administrasi dan
teknisi adalah 40,17% di seluruh Papua Barat. Persentase tersebut tertinggi di
Tambrawu (61%), di Kota Sorong (49,29 %), sementara di Manokwari, Fak-fak
dan Kaimana persentase perempuan mencapai sekitar 40%. Sementara itu,
persentase perempuan sebagai tenaga manajer, profesional, administrasi dan
teknisi yang terendah sebesar 22,82% terdapat di Kabupaten Teluk Wondana.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) laki-laki (84,14) lebih besar
dibandingkan perempuan yakni 0,96. Demikian pula dengan Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPTa) dan Tingkat Pengangguran Terdidik (TPTd)
laki-laki di Papua Barat lebih tinggi daripada perempuan. Hal menarik adalah
tingkat pengangguran terdidik perempuan lebih besar (17,69) dibanding laki-
laki (8,44). Hal ini diduga disebabkan oleh lebih banyak perempuan memilih
untuk menjadi ibu rumahtangga. Data BPS (Inkesra Papua Barat, 2010)
menunjukkan bahwa sekitar 76.603 dari angkatan kerja di Papua Barat adalah
pengurus rumahtangga. Hampir pasti mereka adalah perempuan karena
dalam budaya dominan yakni tanggungjawab mengurus rumahtangga adalah
tanggungjawab perempuan, sehingga sekalipun mereka merupakan kelompok
terdidik mereka tetap memilih mengurus rumahtangga. Hal ini sesuai pula
dengan konstruksi perempuan yang bias dalam budaya dominan. Bila dipilah
berdasarkan wilayah perkotaan dan perdesaan.Tingkat PengangguranTerbuka
(TPTa) lebih besar berada kota yakni 14,57 dan desa sebesar 4,77. Hal ini
diduga disebabkan oleh besarnya migrasi masuk ke Papua Barat yang cukup
signifikan. Tinggi arus migrasi masuk yang umumnya merupakan pencari kerja
tidak diimbangi dengan peningkatan kesempatan kerja. Selanjutnya diduga
pula bahwa ada migran dan atau pencari kerja di kota tidak memiliki kualifikasi
tertentu yang dibutuhkan oleh sektor jasa dan industri yang lebih banyak
berada di kota. Rendahnya pengangguran di desa disebabkan oleh sektor
pertanian yang merupakan sektor utama yang ada di desa mampu menyerap
tenaga kerja di desa sehingga pengangguran di desa lebih kecil.
Sebagian besar atau sekitar 60,20% perempuan di Papua Barat terserap pada
bidang pertanian dan hanya sekitar 39,80% yang terserap pada bidang lainnya
yakni industri dan jasa. Demikian halnya dengan laki-laki yang terserap pada
sektor pertanian yakni sebesar 54,69% dan hanya 45,31% yang terserap pada
sektor lainnya.
Sebagian besar (70,05%) laki-laki di Papua Barat terserap pada sektor formal
dan sisanya bekerja di sektor informal. Perempuan yang terserap pada sektor
formal adalah sebesar 36,52% dan sekitar 63,48% berada pada sektor informal.
Sekitar 52,39% perempuan di Papua Barat bekerja sebagai pekerja tidak dibayar.
Kondisi ini menyebabkan keterpurukan ekonomi perempuan dan perempuan
bergantung secara ekonomi kepada pasangan atau suaminya. Tidak adanya
Secara khusus, Otonomi Khusus
Papua Barat memiliki aturan
dalam bentuk UU yang melindungi
masyarakat Papua Barat agar
menghormatikesetaraanantara
perempuandanlaki-laki.
Pasal 27 UU Otsus Papua Barat
menyatakan bahwa pemerintah
berkewajiban untuk memajukan,
memberdayakan dan melindungi
kaum perempuan agar dapat sejajar
dengan kaum laki-laki sehingga
ada kesetaraangender,padamasa
penyusunannyasendiri.
Pasal 42 mengatur bahwa
pembangunan perekonomian
berbasis kerakyatan dilaksanakan
dengan memberikan kesempatan
yang seluas-luasnya kepada
masyarakat adat dan/atau
masyarakat setempat.
Dalam hal Pendidikan, Pasal 56
mengatur bahwa setiap penduduk
Provinsi Papua Barat berhak
memperoleh pendidikan yang
bermutu sampai dengan tingkat
sekolah menengah dengan beban
masyarakat serendah-rendahnya.
Di Bidang kesehatan, Pasal 59
mengatur bahwa setiap penduduk
Papua Barat berhak memperoleh
pelayanan kesehatan dengan beban
masyarakat serendah-rendahnya.
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
xvii
otonomi perempuan secara ekonomi berimplikasi terhadap pengambilan keputusan dalam keluarga, termasuk otonomi
atas tubuhnya.
Jam kerja yang dicurahkan oleh laki-laki lebih tinggi (74,09%) dibandingkan perempuan terutama pada waktu kerja lebih
dari 35 jam selama seminggu, sedangkan perempuan pada waktu kerja antara 1 sampai 34 jam lebih didominasi oleh
perempuan yakni sebesar 42,06%. Hal ini mengindikasikan bahwa pembagian kerja dalam keluarga untuk pekerjaan
rumahtangga (reproduktif) yang timpang lebih didominasi oleh perempuan sehingga memberikan kesempatan kepada
laki-laki untuk mencurahkan waktu kerja yang lebih panjang.
Secara umum terdapat perbedaan rata-rata upah atau gaji antara perempuan laki-laki pada jenjang pendidikan terendah
(SD) sampai jenjang pendidikan tertinggi (PT). Laki-laki memiliki tingkat upah atau gaji lebih besar dibandingkan dengan
laki-laki. Perbedaan terbesar antara upah atau gaji laki-laki dan perempuan adalah pada jenjang pendidikan SD yakni
(rata-rata upah atau gaji laki-laki adalah 110.000 dan perempuan 13.000). Perbedaan kecil rata-rata upah atau gaji terjadi
pada pekerja yang menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi (PT). Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan merupakan
intervensi untuk memberdayakan perempuan secara ekonomi.
Pemerintah Indonesia menetapkan Otonomi Khusus (Otsus) berlaku pada tahun 2001 dengan diterbitkannya Undang-
undang RI Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Barat yang disahkan pada tanggal 21
November 2001. Undang-Undang No. 35Tahun 2008 yang menggantikan Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU)
No. 1Tahun 2008 tentang perubahan atas UU No. 21Tahun 2001. Undang-Undang ini menjadi landasan hukum yang kuat
bagi pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Barat. Pada dasarnya perubahan ini tidak merubah substansi
dari UU No. 21 Tahun 2001, sehingga semangat Otsus yakni melindungi masyarakat Papua Barat agar menghormati
kesetaraan antara perempuan dan laki-laki tetap dipertahankan. Otonomi Khusus Papua Barat menjadi tonggak bagi
perlindungan Orang Papua Barat Asli agar lebih maju, mandiri dan sejahtera untuk mengejar ketertinggalan dari saudara-
saudaranya di daerah lain Indonesia. Banyak aturan dalam undang-undang Otsus yang diberikan bersifat proteksi
terhadap Orang Asli Papua Barat yang mengarah kepada penguatan kemampuan untuk berkembang sendiri.
OTSUS, POLITIK DAN PEREMPUAN PAPUA BARAT
Lahirnya Otsus untuk Papua Barat juga dilengkapi dengan kehadiran Majelis Rakyat Papua Barat (MRP) yang mempunyai
sejumlah tugas dan wewenang yang secara khusus bertujuan untuk melindungi, memihak dan memberdayakan Orang
Asli Papua Barat sebagai bagian dari Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. MRP juga hendak memastikan bahwa
tindakan dan bentuk kekerasan terhadap bangsa Papua Barat, termasuk kaum perempuan Papua Barat, akan hilang.
Keanggotaan MRP memastikan sepertiganya diwakili oleh kelompok perempuan (1/3 oleh kelompok adat dan sisanya
kelompok pemuda).
Secara umum, implementasi Otsus di Provinsi Papua Barat melanjutkan apa yang telah dilakukan pemerintah Provinsi
Papua sebelum massa pemekaran. Berbagai upaya telah dimulai oleh pemerintah dan beberapa program utama yaitu
program kesehatan, progam pendidikan, program pemberdayaan ekonomi, dan program pembangunan infrastruktur
mendapat perhatian khusus Otsus yang tertera dalam dokumen perencanaan pembangunan di Provinsi Papua Barat.
Pertama, programkesehatandiarahkanuntukpeningkatanjangkauanataupemerataandanmutupelayanankesehatan,
antara lain melalui program pemberantasan penyakit, pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, peningkatan
sumberdaya manusia di bidang kesehatan baik medis dan para medis, pelayanan rumah sakit, penyediaan obat-obatan,
perbaikan gizi dan penyehatan lingkungan. Kedua, program pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia sehingga mampu berperan secara aktif dalam proses pembangunan. Dalam era otonomi khusus,
pendidikan harus memperhatikan keragaman kebutuhan atau keadaan daerah dengan menambah muatan lokal,
peningkatan pemerataan dan peningkatan kualitas, mengembangkan pola dan sistem pendidikan yang sesuai dengan
karakteristik spesifik Provinsi Papua Barat seperti pendidikan berpola asrama, pemberian bantuan dan keringanan
biaya pendidikan serta memberdayakan yayasan-yayasan pendidikan. Ketiga, program pemberdayaan ekonomi rakyat
bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitas pembangunan khususnya dibidang
ekonomi dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia agar mampu mengolah sumberdaya alam secara efisien dan
berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Mendorong masyarakat pedesaan, usaha kecil,
menengah dan koperasi untuk berkembang serta mampu mendorong berkembangnya ekonomi daerah dan mampu
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
xviii
menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Keempat, program
pembangunan infrastruktur diarahkan untuk penyediaan infrastruktur
strategis, termasuk prasarana dan sarana sosial ekonomi, yang mendukung
peningkatan pelayanan publik terutama masyarakat lokal di wilayah terpencil
atau pedalaman dalam rangka mempercepat kemajuan ekonomi perdesaan,
memberi peluang berusaha, menciptakan lapangan kerja, memperlancar
arus barang dan jasa serta menjamin tersedianya bahan pangan dan bahan
lokal dengan harga terjangkau serta pemerataan pertumbuhan pendapatan
masyarakat.
Beberapa diskusi dan konsultasi yang telah dilakukan dengan berbagai pihak,
khususnya kelompok perempuan Papua Barat, mengatakan bahwa Undang
Undang Otsus menjamin pemberdayaan perempuan sebagai salah satu aspek
utama pembangunan di Provinsi Papua Barat. Undang-Undang Otsus yang
merupakan sebuah kompromi politik yang telah dinegosiasi antara beberapa
orang di kalangan kaum intelektual Papua Barat dan Pemerintah NKRI belum
mampu memberikan perlindungan bagi Perempuan Papua Barat maupun
memenuhi rasa keadilan bagi perempuan Papua Barat yang masih mengalami
berbagai bentuk kekerasan. Juga, berbagai organisasi perempuan dan
media “Potret Buram Perempuan Papua Barat” (2012) mencatat bahwa upaya
membawa rasa keadilan dan mewujudkan sebuah landasan yuridis formal
‘khas Papua Barat’dalam bentuk Perdasus masih menghadapi tantangan.
KONFLIK DAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
Perjuangan Perempuan Papua Barat dalam mewujudkan martabat dan hak-
hak dasarnya, dihadapkan dengan berbagai tantangan. Tantangan tersebut
antara lain, bentuk kebijakan pemerintah yang belum menjawab kebutuhan
perempuan, keterbatasan perempuan dan relasinya dengan Masyarakat Adat
Papua Barat. Berbagai peraturan yang dilahirkan untuk melindungi perempuan
dari tindakan kekerasanpun belum mampu melindungi perempuan untuk
berkiprah dengan rasa aman di ruang publik maupun di dalam rumahtangga
mereka. Laporan Koordinator Tim Pengdokumentasian Kekerasan Terhadap
Perempuan Papua Barat (1963–2009), Fien Yarangga dalam suatu diskusi pada
penerbitancatatankekerasanterhadapperempuan“StopSudah”Kekerasandan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Terhadap Perempuan Papua Barat. Fien
Yarangga juga mengatakan, proses penelitian dilakukan itu selama sembilan
bulan. Target yang ingin dicapai dalam proses tersebut adalah Kasus-kasus
Kekerasan Terhadap Perempuan Papua Barat dan Pelanggaran HAM berbasis
jender yang dialami selama kurun waktu 1963–2009. Analisa ini dilakukan
secara kritis dengan menggunakan perspektif jender dan HAM. Suami di dalam
rumahtangga bagaikan ‘raja kecil” yang memiliki kuasa mengatur dan harus
dilayani.
Berbagai upaya telah dilaporkan oleh Gubernur selama masa Otsus atas adanya
fokus pembangunan serta alokasi dana untuk masyarakat PAP Papua Barat
sesuai dengan dokumen Perencanaan Jangka Menengah Daerah (RPJMD dan
RENSTRA SKPD) maupun jangka pendek (RKPD dan RENJA SKPD). Pemerintah
Provinsi Papua Barat telah mulai melakukan pembebasan biaya pendidikan,
biaya kesehatan serta pemberdayaan ekonomi untuk masyarakat asli Papua
Barat. Karena keterbatasan data maka Laporan ini hanya dapat menampilkan
beberapa data terkait alokasi anggaran Otsus, namun sangat sedikit sekali
menuliskan realisasi penggunaan anggarannya.
Persoalan gender yang
sistematis di Papua Barat perlu
direspons dengan pendekatan
yang sistematis, melalui
Pengarusutamaan Gender di
seluruh bidang pembangunan,
yang dimulai dengan perencanaan
dan penganggaran yang responsif
gender. Selanjutnya, suatu
Rencana Aksi Pengarusutamaan
Gender (RAD PUG) yang telah
disusun perlu dikawal pelaksanaan
dan pemantauannya agar efektif
dengan didukung mekanisme-
mekanisme akuntabilitas yang
efektif.
Beberapa aspek penting yang
perlu dimasukkan dalam RAD
PUG, antara lain Landasan Hukum
PUG di tingkat Provinsi Papua
Barat, Kerangka Kerja PUG (Pokja
PUG dan Tim Teknis PUG) yang
bekerja efektif memfasilitasi dan
mengimplementasikan RAD PUG
secara bersama sama.
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
xix
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PEMBANGUNAN BERKEADILAN GENDER
Persoalan gender di Papua Barat adalah persoalan ketidaksetaraan yang serius. Persoalan mencakup keharusan
mengejar ketertingalan pada hampir semua target MDGs dan ketiga bidang yang melandasi Pembangunan Manusia
– kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Kekerasan terhadap perempuan juga sangat serius, termasuk di dalamnya
kekerasan di wilayah konflik, di pertambangan, ditempat bekerja (pasar), di area pekerjaan yang rentan pada eksploitasi
dan di dalam rumahtangga. Secara khusus, persoalan kesehatan dan HIV dan AIDS adalah persoalan yang perlu tindak
lanjut komprehensif. Kematian ibu dan kematian anak masih tertinggi di Indonesia dan memerlukan solusi yang
cepat. Mengingat kompleksnya persoalan gender di hampir semua bidang, maka pemerintah harus mengadopsi
Pengarusutamaan Gender sebagai strategi yang secara sistematis hendak menurunkan dan menggurangi kesenjangan
gender yang ada di Papua Barat melalui pembangunan di berbagai bidang.
Pada tahun 2000, Inpres No 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) digulirkan sebagai instruksi kepada semua
lembaga pemerintah di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten untuk mengintegrasikan aspirasi, perspektif,
prioritas maupun kebutuhan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki ke dalam seluruh siklus perencanaan
pembangunan. Selanjutnya, Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan berbagai peraturan dan keputusan di tingkat menteri
agar implementasi PUG dapat efektif. Beberapa landasan hukum yang menjadi dasar implementasi PUG di Indonesia
telah diupayakan baik pada tingkat Undang Undang, Instruksi Presiden, Keputusan maupun Surat Edaran Menteri. Di
tingkat Provinsi Papua Barat, upaya untuk memperkuat landasan hukum dalam PUG dan upaya untuk membangun
prasyarat PUG baru dimulai. Namun sejalan dengan kebutuhan untuk merespon Kempendagri 67/2011 tentang Tata
Laksana PUG di Daerah, Pemerintah Provinsi Papua Barat mulai melakukan beberapa upaya, antara lain menyusun
Statistik Gender 2010 bersama Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB),
BPS dan Universitas dalam hal ini Pusat Penelitian Pengembangan Perempuan dan Anak (P4A) Universitas Negeri Papua,
disamping mulai mendiskusikan dan membangun mekanisme kerja PUG seperti Pokja PUG. Upaya-upaya di tingkat
SKPD juga sudah dimulai dengan disusunnya dan dikembangkannya data terpilah gender dan terpilah berdasar jenis
kelamin, khususnya terkait pembangunan manusia.
Pemerintah Provinsi Papua Barat belum memiliki aturan hukum implementasi PUG, selain dari apa yang telah disusun
oleh Pemerintah Pusat. Beberapa diskusi dengan staf dan pejabat BAPPEDA dan BP3AKB, selaku ketua dan sekretaris
Pokja serta staf SKPD yang hadir dalam serangkaian lokakarya penyusunan Laporan Pembangunan Manusia dan RAD
PUG, kebutuhan akan adanya penguatan kapasitas PUG merupakan suatu kebutuhan yang mendesak. Secara khusus,
beberapa implementasi program dan kegiatan peningkatan kapasitas gender, termasuk di antaranya‘sosialisasi gender’,
pelatihan analisis gender, pelatihan anggaran berbasis gender, pengenalan penggunaan indikator gender, telah
diselenggarakan. Namun kebutuhan untuk mempercepat upaya perwujudan kesetaraan gender membutuhkan suatu
Rencana Peningkatan Kapasitas PUG yang lebih sistematis dan terukur.
Peraturan perundagan yang telah dibuat di Provinsi Papua Barat terkait PUG adalah telah dikeluarkannya Pertauran
Gubernur Papua Barat Nomor 9 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan PUG di Lingkungan Pemerintah Provinsi
Papua Barat, Keputusan Gubernur Papua Barat Nomor 260/172/08/2012 Tahun 2012 tentang Pembentukan Kelompok
Kerja Pengarusutamaan Gender Provinsi Papua Barat dan Keputusan Gubernur Papua Barat Nomor 260/173/08/2012
Tahun 2012 tentang Pembentukan Focal Point Pengarusutamaan Gender Provinsi Papua Barat.
PokjaPUGtelahdibentuknamunmasihmemerlukandukunganteknisuntukmemperkuatkapasitasnyasebagaifasilitator
PUG yang efektif. Klarifikasi dan konfirmasi tentang peran Pokja PUG perlu dilakukan agar terjadi kejelasan peran untuk
secara efektif menjalankan implementasi strategi PUG.
Bappeda dan BP3AKB perlu mengkoordinasi dan memfasilitasi proses lanjutan kerja Pokja dalam memfasilitasi Rencana
Aksi Daerah (RAD) Percepatan PUG di tingkat Provinsi (dan nantinya kabupaten/kota), agar RAD PUG yang saat ini telah
disusun dapat dilakukan dengan efektif. Usulan pada pendekatan, kebijakan, program dan kegiatan yang ada di RAD
PUG hendaknya diarahkan pada kebijakan, program dan kegiatan yang strategis yang membawa daya ungkit yang
besar pada perubahan dan implementasi kebijakan, program dan kegiatan yang responsif pada kebutuhan mendasar
masyarakat Papua Barat baik perempuan dan laki-laki, anak anak dan orang tua serta mereka yang berkebutuhan khusus.
Rencana Aksi Daerah (RAD) Percepatan PUG difokuskan pada kegiatan ke dalam RAPBD, Renja dan RKA/KL yang :
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
xx
o Memengaruhi program utama di bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi dengan dana anggaran besar yang
dampaknya akan besar bagi peningkatan kualitas hidup perempuan dan laki-laki Papua Barat;
o Mengidentifikasi kegiatan yang secara praktis dan pada saat yang sama strategis dan sistematis dapat membuat
perubahan yang mendasar bagi kualitas kehidupan masyarakat Papua baik perempuan dan laki-laki
o Mengusulkan pengarusutamaan gender pada kebijakan, program dan kegiatan dengan menggunakan uraian
sesuai dengan proses Perencanaan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) dengan menggunakan Gender Budget
Statement(GBS).AdapunGBSperlumerumuskan(1)analisisgender/kesenjangangendersecarasingkat;(2)intervensi
repsonsif gendernya; (3) memasukkan indikator input, output dan outcomes yang sensitif gender: (4) memastikan
alokasi anggaran yang responsif pada pesoalan gender yang diidentifikasi dan mencapai indikator output dan
perubahan yang telah tercantum ke dalam RKA/KL
o Mendorong agar Bappeda selaku Ketua Pokja dan BP3AKB selaku Sekretaris Pokja dan Tim Teknis PUG memiliki
kapasitas yang memadai untuk mampu memfasilitasi proses penyusunan RAD PUG, finalisasi RAD PUG, memberikan
dukungan teknis agar SKPD mampu mengimplementasikan RAD PUG, memantau dan mengevaluasi RAD PUG
mereka masing masing serta menghubungkannya dengan pelaporan dalam LAKIP masing masing.
Di tingkat masyarakat, RESPEK telah memulai pembangunan pelayanan kesehatan dan pendidikan serta pemberdayaan
ekonomi perempuan dan laki-laki melalui proses perencanaan partisipatoris. Proses perencanaan yang partisipatif perlu
memastikandilakukandenganfasilitasiyangsensitifgenderagarkelompokperempuandapatbenarbenardiberdayakan.
Perhatian yang seimbang pada keperluan adanya peran laki-laki dalam bidang ekonomi untuk menjawab pergeseran
peran dalam pembangunan perlu dilakukan. Analisis distribusi pemanfaat masih perlu dilakukan agar perempuan dan
laki-laki Papua Barat, anak anak, orang tua serta kelompok yang berkebutuhan khusus mendapat manfaat dari proses
RESPEK.
Sejalan dengan proses penyusunan Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2013, Pemerintah Provinsi Papua
Barat juga sedang dalam proses menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) Percepatan Pengarusutamaan Gender (PUG)
di Propinsi Papua Barat. Rencana Aksi Daerah PUG ini bertujuan untuk percepatan pencapaian MDG’s yang merespon
kebutuhan khusus perempuan dan laki-laki Papua Barat, termasuk kelompok rentan (bayi, balita, remaja, perempuan,
lansia dan orang cacat) khususnya bagi yang tinggal di daerah terpencil, terisolir dan perbatasan.
√ Secara khusus, BP3AKB perlu meningkatkan kapasitasnya untuk mampu menjalankan peran sebagai katalis PUG. BPA
perlu melakukan promosi Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) agar dapat memberi pengaruh dalam perubahan
nilai dan praktek praktek yang masih bias gender agar dapat mewujudkan KKG di lembaga lembaga SKPD dan ornop
serta mendorong lahirnya media untuk mendiseminasi perwujudan kesetaraan gender di masyarakat;
√ BadanPemberdayaanPerempuanPerlindunganAnakdanKeluargaBerencana(BP3AKB)perlumembangunkerjasama
dengan mitranya yaitu PSW Universitas di Jayapura dan juga organisasi perempuan dan organisasi masyarakat yang
memiliki visi dan misi untuk mewujudkan kesetaraan gender dengan kongkrit di area peningkatan gizi, peningkatan
akses pada air bersih, sanitasi dan kesehatan anak-anak;
√ BAPPEDA perlu menerbitkan surat edaran keharusan untuk mengintegrasikan alat analisis gender ke dalam proses
penyusunan RAPBD dan mengadvokasi agar kebijakan, program dan kegiatan yang diidentifikasi dalam RAD PUG
dapat mulai diimplementasi dalam RAPBD/APBD 2012. BAPPEDA juga perlu mengadakan kegiatan peningkatan
kapasitas di dalam Bappeda dan di antara anggota Pokja PUG dan Tim Teknis PUG agar implementasi PUG optimal
dan efektif.
√ BAPPEDA memfasilitasi dan melakukan koordinasi RAD PUG dengan kebijakan-kebijakan wilayah Papua Barat
termasuk dalam rangka mendorong tercapainya Pembangunan Milenium (MDG), upaya Percepatan Pembangunan
Papua dan Papua Barat (P4B) dan berbagai upaya lain, termasuk kebijakan di tingkat nasional dan juga implementasi
berbagai konvensi yang relevan.
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
xxi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR GUBERNUR PAPUA BARAT v
KATA PENGANTAR KEMENTERIAN PERENCANAAN
PEMBANGUNAN NASIONAL/BAPPENAS vi
KATA PENGANTAR PERWAKILAN UNDP vii
RINGKASAN EKSEKUTIF xi
1.1. LATAR BELAKANG 23
1.2. TUJUAN PENULISAN 23
1.3. SISTEMATIKA PENULISAN 24
1.4. METODOLOGI DAN SUMBER DATA 24
2.1. PENDUDUK, JUMLAH, DAN PERTUMBUHAN 25
2.2. HILANGNYA PEREMPUAN PAPUA BARAT 26
3.1. KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT – SATU DARI TIGA
PENDUDUK ADALAH MISKIN 31
3.2. PEMBANGUNAN MANUSIA PAPUA BARAT 34
3.3. KESENJANGAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN MANUSIA DI PAPUA BARAT 36
3.4. KETERSEDIAAN DATA 42
3.5. KESIMPULAN 43
4.1. KESEHATAN PEREMPUAN PAPUA BARAT, MORBIDITAS, DAN PENYEBAB KEMATIAN 45
4.1.1. Angka Harapan Hidup Perempuan 46
4.1.2. Angka Kematian Ibu (AKI) 47
4.1.3. Angka Kematian Bayi (AKB) 53
4.1.4. Status Gizi dan Ketahanan Pangan 55
4.2. KESEHATAN REPRODUKSI DAN HAK REPRODUKSI PEREMPUAN 58
4.3. HIV DAN AIDS 59
KESIMPULAN
5.1. KEAKSARAAN DAN GENDER 65
5.2. ANGKA MELEK HURUF 66
5.3. ANGKA PUTUS SEKOLAH (APTS) 66
5.4. ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH (APS) 68
5.5. KUALITAS PENDIDIKAN DAN SUMBERDAYA MANUSIA
PENDIDIKAN DAN ASPEK GENDER 70
5.5.1. Kualitas Pendidikan 70
5.5.2. Ketersediaan Sumberdaya Manusia Tenaga Pengajar:
Ratio Guru, Sekolah dan Murid 71
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
xxii
5.5.3. Kurikulum dan Bahan Ajar 72
5.6. KESIMPULAN 72
6.1. PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI PAPUA BARAT DAN PERAN EKONOMI 75
6.1.1. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Pengangguran 76
6.2. MAMA PAPUA BARAT – PELAKU EKONOMI TANPA STATISTIK,
YANG TERLUPAKAN DAN SERING TERGUSUR 81
Pertanyaan dalam fasilitasi/pelatihan, untuk Mama Berkemampuan Sedang :
6.3. HUTAN PAPUA BARAT, LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN 82
6.4. KESIMPULAN : EKONOMI DAN GENDER 83
7.1. OTONOMI KHUSUS DAN PERSPEKTIF GENDER 85
7.2. OTONOMI PEREMPUAN, KONFLIK DAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 87
7.3. KEKERASAN BERBASIS GENDER 87
PENGARUSUTAMAAN GENDER DAN PERENCANAAN DAN
PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER 91
8.1. PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI STRATEGI PEMBANGUNAN 91
8.2. KAPASITAS SKPD DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN PUG 94
8.3. PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN YANG RESPONSIF GENDER 97
8.4. KESIMPULAN 98
9.1. KESIMPULAN 101
9.2. REKOMENDASI 101
9.3. IDENTIFIKASI AGEN PERUBAH 106
LAMPIRAN cvii
Lampiran 1. Rangkuman Metode Penghitungan Indeks
Pembangunan Manusia dan Aspek Gender cvii
Lampiran 2. Tabel 2. HDI, GDI, GEM Provinsi Papua Barat Barat (2004-2007) cxiii
Lampiran 3. Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2004 - 2010 cxv
Lampiran 4. Indeks Pemberdayaan Gender Papua Barat cxv
Lampiran 5. Angka Kesakitan menurut Jenis Kelamin di Papua Barat, 2010 cxvii
Lampiran 6. Penduduk Papua Barat Menurut jenis Kelamin dan Rasio Seks cxviii
Lampiran 7. Rangkuman Pertanyaan Sebagai Panduan
Dalam Menyusun Kajian Kapasitas SKPD
dalam PUG Provinsi Papua Barat cxix
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
23
Bab 1
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Provinsi Papua Barat, awalnya bernama Provinsi Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar Undang-Undang Nomor 45 Tahun
1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai,
Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong.
Walaupun berbagai kemajuan telah dicapai, Provinsi Papua Barat sebagai Provinsi terbaru di Indonesia merupakan
salah satu dari wilayah yang memerlukan perhatian khusus dalam hal kemiskinan dengan proporsi penduduk miskin
sebesar 31,92% pada tahun 2011 dan 28,20 % pada tahun 2012.11
Seperti juga penduduk perempuan di wilayah Papua,
perempuan di Papua Barat secara khusus rentan pada persoalan kemiskinan serta memilikistandar kesehatan perempuan
yang rendah.
Walaupun perolehan data untuk variabel variabel utama kesehatan perempuan (misalnya Angka Kematian Ibu (AKI)
yang dihitung dari kematian ibu per 100.000 kelahiran) sulit didapat karena persoalan jarangnya penduduk, variabel
persentase kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan di Provinsi Papua Barat masih memerlukan perbaikan. Walaupun
mengalami perbaikan terus menerus, masih terdapat sekitar 33,7% kelahiran ditolong oleh dukun atau keluarga pada
tahun 2011.22
Persoalan kekurangan gizi di antara perempuan juga masih tinggi.
Indikator lain terkait pendidikan berkontribusi menunjukkan perbaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Angka
Melek Huruf (AMH) Provinsi Papua Barat yang menunjukkan peningkatan dari tahun yaitu sebesar 90,15% pada tahun
2008 dan menjadi 93,19% pada tahun 2010 berkontribusi pada perbaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Namun
demikian, masih terdapat kesenjangan gender pada indikator tersebut. Pada tahun 2010, AMH perempuan adalah
sebesar 90,83% sementara untuk laki-laki adalah 93,19 %.
Kemajuan dari ketiga indikator dibutuhkan ketika kesenjangan gender pada indikator lain dalam MDGs hendak
diwujudkan. Indikator kontrol dalam pengambilan keputusan di dalam rumahtangga dan di arena publik merupakan
indikator yang sangat penting untuk mencapai kesetaraan gender yang secara bersamaan akan memperbaiki
kemampuan perempuan berkiprah dalam arena penyusunan kebijakan publik.
1.2. TUJUAN PENULISAN
Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua Barat ini disusun untuk melihat tingkat
keberhasilan pembangunan masyarakat Papua Barat, khususnya dari perspektif gender. Laporan ini dapat dipergunakan
sebagai referensi dalam rangka proses perencanaan dan penyusunan kebijakan, program dan kegiatan sehingga
masyarakatProvinsiPapuaBaratmampumeningkatkanpencapaianpembangunanmanusianyadanmampumengurangi
kesenjangan pencapaian antara perempuan dan laki-laki di berbagai bidang yang di representasikan dengan Indeks
Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Selain itu, Laporan ini akan menelusuri faktor-
faktor yang memiliki kaitan terhadap pencapaian IPG maupun IDG melalui komponen pembentuk IPG dan IDG. Walau
terbatas, perhatian juga akan diberikan pada beberapa aspek lebih luas yang menyentuh kehidupan perempuan Papua
Barat, termasuk aspek yang menjadi perhatian dari berbagai Konvensi Perempuan antara lain CEDAW, Dua Belas (12)
Aspek Kritis Beijing dan juga Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs).
1 Pofil Kemiskinan di provinsi Papua Barat Maret 2013, Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Papua Barat No. 29/ 07/91/Th. V, 2 Juli 2012).
2 Laporan MDGs Papua Barat 2011.
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
24
1.3. SISTEMATIKA PENULISAN
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat ini terdiri dari 9 (sembilan) bab. Bab pertama
adalah Bab Pendahuluan yang menjelaskan Latar Belakang, Tujuan Penulisan dan Sistematika Penulisan serta
Metodologi dan Sumber Data. Bab kedua memberi perhatian pada aspek Kependudukan dan Demografi Papua Barat
dari kacamata gender. Bab Ketiga mendiskusikan Pembangunan Manusia dan Kemiskinan dari perspektif gender. Bab
Keempat menjelaskan Pencapaian Pembangunan Manusia di bidang Kesehatan dalam konteks kesetaraan gender. Bab
Kelima mendiskusikan Pendidikan dan Gender. Bab Keenam mengurai Ekonomi dan Gender. Bab Ketujuh Mendiskusikan
Perempuan dan Pengambilan Keputusan. Bab Kedelapan mendiskusikan Otonomi Khusus, Otonomi Perempuan. Bab
Kesembilan mendiskusikan Pengarusutamaan Gender Sebagai Strategi Pembangunan di Provinsi Papua Barat. Bab
Sepuluh menutup Laporan ini dengan Kesimpulan dan Rekomendasi yang diikuti Rekomendasi Penyusunan Rencana
Aksi Daerah (RAD) Pengarusutamaan Gender (PUG) Provinsi Papua Barat.
1.4. METODOLOGI DAN SUMBER DATA
Laporan ini disusun melalui beberapa metode, baik melalui kajian literatur dan serangkaian konsultasi dalam bentuk
lokakarya maupun wawancara. Berbagai literatur dari laporan-laporan terkait pembangunan manusia dan aspek gender
yang disusun berbagai lembaga dan individu di provinsi Papua Barat menjadi acuan yang kemudian dikonsultasikan
dengan narasumber, baik dari kalangan pemerintah, universitas, organisasi non pemerintah maupun individu-individu
yang memahami persoalan masyarakat, khususnya dalam konteks kesetaraan gender di wilayah ini. Sumber data utama
yang digunakan, khususnya dalam penghitungan IPG dan IDG, adalah data dan informasi yang dikumpulkan, dikelola
dan disusun oleh Badan Pusat Statistik Nasional di Jakarta maupun di Provinsi Papua Barat. Data-data tersebut berasal
dari data dan informasi terkait IPG dan IDG yang disusun dari data Proyeksi Penduduk dan data hasil Sensus Penduduk
2010, data Susenas dan data Sakernas serta data lain terkait perkembangan ekonomi dan sosial lain di Provinsi Papua
Barat. Laporan juga memanfaatkan data-data dan informasi yang telah dikumpulkan dalam rangka penyusunan Laporan
MDG Provinsi Papua Barat, di samping data dan informasi yang diterbitkan secara khusus oleh lembaga pemerintah
(Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan) dan data Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Respek.
Mengingat terbatasnya ketersediaan data terpilah berdasar gender dan jenis kelamin di Provinsi Papua Barat, maka
Laporan juga memanfaatkan data dan informasi yang telah disusun oleh berbagai lembaga termasuk lembaga donor,
universitas, organisasi pemerintah serta individu yang terkait gender di Provinsi Papua Barat.
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
25
2.1. PENDUDUK, JUMLAH, DAN PERTUMBUHAN
Sensus Penduduk 2010 mencatat bahwa jumlah penduduk Provinsi Papua Barat pada tahun 2010 adalah 760.422 jiwa
yang terdiri dari 402.398 penduduk laki-laki dan 358.024 penduduk perempuan. Selama 10 tahun sejak tahun 2000
sampai 2010, laju pertumbuhan penduduk adalah 3,71 persen per tahun3
. Meski bukan merupakan pertumbuhan
penduduk yang tertinggi di Indonesia, namun pertumbuhan penduduk Papua Barat yang mencapai sebesar 3,71 persen
merupakan yang terbesar ke 4. Pertumbuhan penduduk relatif cepat terjadi antara tahun 1990-2000 (ketika Papua Barat
masih bagian dari Provinsi Irian Jaya) dan tahun 2000-2005. Pertumbuhan penduduk mulai mengalami kecenderungan
melambat setelah tahun 2000. Sementara itu, sebaran penduduk tidaklah merata di wilayah seluas 97.024,37 km2
ini.
Hampir separuh penduduk Papua Barat berdomisili di Kota Sorong dan Kabupaten Manokwari dengan kepadatan
penduduk tertinggi (640 jiwa per km2
) di Papua Barat di Kota Sorong, sementara kepadatan terendah (7-8 jiwa per km2)
terdapat di Kabupaten Tambrauw.
Perbandingan penduduk usia produktif, 15 – 64 tahun
dengan penduduk usia tidak produktif (kurang dari 15
tahun dan lebih dari 64 tahun) atau rasio ketergantungan
‘dependency ratio’ adalah 77,5 di tahun 1990 (ketika Papua
Barat merupakan bagian dari Provinsi Jayapura) menurun
menjadi 58,6 di tahun 2000 dan menjad 55,8 di tahun 2010.
Jika dilihat dari kepadatan penduduknya, Papua Barat
adalah provinsi dengan kepadatan terendah di Indonesia.
Kepadatan penduduknya hanya 8 jiwa/Km2
. Kepadatan
penduduk tertinggi di Papua Barat berada di Kota Sorong
sebesar 290 jiwa/Km2
sementara kepadatan penduduk
terendah adalah Kabupaten Tambrauw yaitu 1 jiwa/Km2
.
Selanjutnya di catat bahwa beban tanggungan perempuan
lebih besar daripada laki-laki yang terlihat dari rasionya yaitu
54,21% untuk laki-laki dan 57,46% untuk perempuan di tahun 2010. Dalam konteks gender, angka ketergantungan
berdasar jenis kelamin tersebut belum menggambarkan situasi yang sebenarnya. Walaupun menurunnya rasio
ketergantungan merupakan indikasi positif bagi wilayah Papua Barat untuk membangun karena beban tanggungan
per kepala dari anggota keluarga produktif berkurang, namun dengan pola pembagian kerja yang menunjukkan bahwa
perempuan adalah pelaku ekonomi utama dan juga menjalankan hampir semua peran domestik maka rasio tersebut
tidak terlalu membantu memberi informasi yang spesifik bagi pengambil keputusan.
Selanjutnya di catat bahwa beban tanggungan perempuan lebih besar daripada laki-laki yang terlihat dari rasionya
yaitu 54,21% untuk laki-laki dan 57,46% untuk perempuan di tahun 2010. Dalam konteks gender, angka ketergantungan
berdasar jenis kelamin tersebut belum menggambarkan situasi yang sebenarnya. Walaupun menurunnya rasio
ketergantungan merupakan indikasi positif bagi wilayah Papua Barat untuk membangun karena beban tanggungan
per kepala dari anggota keluarga produktif berkurang, namun dengan pola pembagian kerja yang menunjukkan bahwa
perempuan adalah pelaku ekonomi utama dan juga menjalankan hampir semua peran domestik maka rasio tersebut
tidak terlalu membantu memberi informasi yang spesifik bagi pengambil keputusan.
3 Indikator Kesejahteraan Rakyat 2010, BPS mencatat bahwa pada periode 1971 – 1980, 1980, 1980-1990, 1990-2000, dan 2000-2010, pertumbuhan penduduk di Papua barat
adalah sebesar 2,78 persen; 2,38 persen; 3,98 persen dan 3,71 persen.
Manokwari dan Langit Biru (Foto: Leya Cattleya)
Bab 2
PENDUDUK, DEMOGRAFI DAN
GENDER
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
26
Tabel 2. Struktur Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Rasio Ketergantungan
di Provinsi Papua Barat, 2005 – 2010.
Sumber: BPS (2007), Proyeksi Penduduk Indonesia Per Provinsi Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
Konsultasi dengan beberapa nara sumber, termasuk dengan pengajar dari Universitas Cendrawasih Jayapura
menyebutkan bahwa dalam konteks masyarakat Papua pengertian keluarga inti “nuclear family” terdiri dari ayah, ibu,
anak-anak, menantu, cucu dan orang tua kedua belah pihak suami istri. Pengertian tersebut memberi arti penting
akan adanya rasa kebersamaan yang kuat di antara masyarakat asli Papua, khususnya mereka yang bertempat tinggal
di bagian pegunungan dan sebagian wilayah pesisir. Bila salah satu anggota keluarga membeli makanan (sayur atau
ikan atau daging), maka makanan tersebut akan diolah bersama-sama dan akan dimakan bersama-sama oleh seluruh
anggota keluarga. Sudah menjadi tradisi bahwa makanan akan diutamakan untuk anggota keluarga laki-laki sehingga
seringkali kaum perempuan tidak mendapat pembagian makanan4
.
Kepemilikan aset, baik tanah maupun rumah, merupakan kepemilikan bersama. Pengambilan keputusan akan aset
bersama tersebut pada umumnya ditentukan dalam pertemuan adat yang pada umumnya ditentukan oleh mayoritas
suara anggota keluarga laki-laki.
2.2. HILANGNYA PEREMPUAN PAPUA BARAT
Sensus Penduduk 2010 mencatat jumlah penduduk Provinsi Papua Barat berjumlah 760.422 terdiri dari 402.398
penduduk laki-laki dan 358.024 penduduk perempuan. Rasio jenis kelamin penduduk di Papua Barat Barat tidak
membaik. Rasio jenis kelamin Papua Barat adalah sebesar 112,39% yang artinya diantara 100 orang penduduk
perempuan terdapat 112 orang laki-laki. Rasio jenis kelamin Papua Barat adalah yang tertinggi kedua di Indonesia setelah
Gambar 2.2. Rasio Jenis Kelamin Penduduk Provinsi Papua Barat, 2007 - 2010
Sumber : Data Kependudukan yang diterbitkan BPS Provinsi Papua Barat, yang diolah
4 Pernyataan ini bersumber dari pandagan antropolog yang masih menganut paham romantisme yang tidak mempertimbangkan bahwa telah terjadi perubahan dalam
kebudayaan dan masyarakat Papua termasuk dalam kehidupan keluarga. Selain itu pula pernyataan ini tidak dapat digeneralisasi untuk semua suku di tanah Papua (Papua
dan Papua Barat) dan selain itu pula terdapat banyak suku di Papua.
Tahun 0-14 15-64 65 + Rasio Ketergantungan
(1) (2) (3) (4) (5)
2005 33,33 65,31 1,35 53,11
2006 32,73 65,76 1,51 52,07
2007 32,00 66,49 1,51 52,07
2008 31,53 67,03 1,44 49,19
2009 31,08 67,39 1,53 48,40
2010* 34,16 64,20 1,65 55,77
110,35 110,44 110,20
112,39
109,00
109,50
110,00
110,50
111,00
111,50
112,00
112,50
113,00
2007 2008 2009 2010
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
27
Provinsi Papua yaitu 113,4 di tahun 20105
. Seperti juga persoalan rasio jenis kelamin penduduk di Provinsi Papua, hal
ini merupakan sesuatu yang perlu mendapat perhatian. Walaupun jumlah penduduk perempuan Papua Barat tidak
berkurang secara absolut, namun rasio yang tidak seimbang dan makin memburuk dari tahun ke tahun dan terjadi pada
semua kelompok umur dan terjadi di semua kabupaten ini mempunyai implikasi dari kacamata antropologi dan gender.
Rasio jenis kelamin penduduk dengan lebih banyak penduduk laki-laki daripada perempuan ini paling menyolok terlihat
di wilayah Teluk Bintuni, Kota Sorong dan Kabupaten Sorong Selatan dengan rasio jenis kelamin berturut turut 120 di
tahun 1990 (ketika Papua Barat masih menjadi bagian dari Provinsi Irian Jaya), 112 di tahun 2000 dan 112 di tahun 2010.
Wilayah Teluk Bintuni tercatat memiliki rasio jenis kelamin penduduk yang paling tidak seimbang yaitu 125 di tahun
2010. Artinya, diantara 100 penduduk laki-laki hanya terdapat sekitar 80 perempuan saja. Kabupaten yang juga perlu
mendapat perhatian serius dalam hal rasio jenis kelamin adalahTelukWondama yaitu dengan rasio 116 dimana di antara
100 orang laki-laki terdapat sekitar 86 perempuan.
Tabel 2.2.1. Jumlah Penduduk Dan Rasio Perempuan Dan Laki-Laki Menurut Kelompok Umur, Provinsi Papua
Barat Barat, 2010
Kabupaten/Kota Laki-laki Perempuan Jumlah Rasio Seks
Fakfak 35,409 31,419 66,828 112.70
Kaimana 24,743 21,506 46,249 115.05
Teluk Wondama 14,171 12,150 26,321 116.63
Teluk Bintuni 29,078 23,344 52,422 124.56
Manokwari 98,940 88,786 187,726 110.22
Sorong Selatan 19,871 18,029 37,900 #REF!
Sorong 37,502 33,117 70,619 113.24
Raja Ampat 22,653 19,854 42,507 114.10
Tambrauw 3,227 2,917 6,144 110.63
Maybrat 16,884 16,197 33,081 104.24
Kota Sorong 99,920 90,705 190,625 110.16
Prov. Papua Barat 2010 402,398 358,024 760,422 112.39
2009 389,980 353,880 743,860 110.20
2008 383,084 346,878 729,962 110.44
2007 379,277 343,704 722,981 110.35
Sumber : BPS yang diolah, 2012
Sementara itu, bila dilihat dari rasio jenis kelamin pada kelompok usia penduduk Papua Barat maka akan nampak
bahwa kesenjangan terjadi di semua kelompok umur, sejak 0 sampai usia di atas 75 tahun dan menunjukkan adanya
kecenderungan rasio jenis kelamin yang makin tidak seimbang pada usia makin lanjut. Ketimpangan rasio jenis kelamin
ini terjadi di perkotaan maupun perdesaan dan di antara masyarakat asli Papua dan masyarakat non Papua. Studi
“Kemiskinan dan Gender” yang dilakukan oleh UNICEF dan AusAID di tahun 2007 mencatat realitas lapangan tentang
adanya ketidakseimbangan rasio jenis kelamin yang terjadi di perkampungan (di kalangan masyarakat asli Papua)
yang ‘menekan’ atau menambah beban kerja perempuan mengingat tugas domestik hampir semuanya dilakukan oleh
perempuan.
5 Bila dilihat dari angka tahunan, rasio ketergantungan di Provinsi Papua Barat menunjukkan fluktuasi. Pada tahun 2005, rasio ketergantungan adalah 53,11, sementara itu
meningkat menjadi 52,07 pada tahun 2006. Rasio ketergantungan turun menjadi 50,39 pada tahun 2007 dan terus turun menjadi 49,19 pada tahun 2008 . Pada tahun 2009,
rasio ini turun menjadi 48, 40 pada tahun 2009, namun meningkat secara cepat menjadi 55,77 di tahun 2010.
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
28
Tabel 2.2.2. Komposisi Penduduk Berdasar Kelompok Umur, Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin, Provinsi
Papua Barat, 2010.
Kelompok Umur Laki laki Perempuan Jumlah Rasio jenis kelamin
0 - 4 48329 45380 93709 106,50
5 - 9 45621 42607 88228 107,07
10 - 14 40564 37070 77634 109,43
15 - 19 36398 33768 70166 107,79
20 - 24 40056 36198 76254 110,66
25 - 29 42360 37980 80340 111,53
30 - 34 37014 32069 69083 115,42
35 - 39 29731 25426 55157 116,93
40 - 44 25555 21450 47005 119,14
45 - 49 19216 16168 35384 118,85
50 - 54 14369 11871 26240 121,04
55 - 59 10116 7587 17703 133,33
60 – 64 6135 4855 10990 126,36
65 - 69 3588 2719 6307 131,96
70 - 74 1823 1511 3334 120,65
75 + 1523 1365 2888 111,58
Papua Barat Barat 2010 402.398 358.024 760.422 112,39
Sumber : Data BPS Provinsi Papua Barat Barat (2012) yang diolah.
Beberapa penyebab persoalan ketimpangan rasio jenis kelamin penduduk Papua Barat diperkirakan mendapat
kontribusi dari masih relatif tingginya angka kematian ibu kala hamil dan melahirkan, di samping adanya bias gender
yang berbasis budaya yang mendahulukan keberlangsungan hidup anak laki-laki dibanding anak perempuan berupa
pengabaian dalam perawatan. Selain itu, persoalan teknis seperti tantangan proses pengumpulan data dan akurasi data
juga merupakan persoalan. Namun demikian, temuan lapangan di beberapa studi, termasuk suatu studi yang dilakukan
oleh UNICEF (2008), menunjukkan bahwa data di lapangan menunjukkan bahwa ketimpangan rasio jenis kelamin ini
adalah signifikan.
Persoalan jumlah dan persentase pernikahan usia dini di Papua Barat merupakan isu kritis. Pernikahan dini sangat
merugikan kelompok perempuan yang menyebabkan makin hilangnya kesempatan kelompok perempuan ini untuk
mengecap pendidikan lebih tinggi, selain juga meningkatkan kerentanan kesehatan perempuan selama hamil dan
melahirkan yang berkontribusi pada meningkatnya kasus kematian ibu hamil dan melahirkan di Papua Barat.
Angka Fertilitas Total (Total Fertility Rates) hasil Sensus Penduduk 2010 untuk Provinsi Papua Barat adalah 3,7 per 1.000
perempuan usia reproduktif6
. Angka fertilitas ini tertinggi di Indonesia dan mendapat kontribusi dari the unmet family
planning needs atau kebutuhan keluarga berencana (KB) yang tidak dapat dipenuhi dari penggunaan alat kontrasepsi
yang tinggi pada tahun 2012 yaitu 20,6 % dengan 10,6% untuk alasan menjarangkan kelahiran dan 10,0% untuk alasan
membatasi kelahiran. Kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dari penggunaan alat kontrasepsi ini sering disebabkan
karena beberapa hal, antara lain persoalan relatif tingginya perkawinan di usia dini atau remaja. Persentase perempuan
yang menikah pertama pada usia kurang dari 16 tahun di Provinsi Papua Barat adalah 6,09 % di tahun 2007, 6,73% di
tahun 2008, 8,02% di tahun 2009 dan 7,85% di tahun 2010.
The Unmet Family Planning Needs untuk tujuan menjarangkan kelahiran di Papua Barat adalah 12,2% sementara untuk
membatasi kelahiran adalah 4,3%. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan untuk pelayanan KB di provinsi Papua
Barat adalah tinggi.
Pemahaman perempuan yang menikah akan persoalan kesehatan reproduksi menjadi sangat penting, apalagi bila dilihat
bahwa persentase perempuan yang menikah pertama pada usia di bawah 16 tahun adalah tinggi.
6 Departemen Kesehatan, BPS, BKKBN, Laporan Pendahuluan SDKI 2012
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
29
Gambar 2.2.2. Persentase Perempuan Menurut Umur Perkawinan Pertama Kurang dari 16 Tahun di Provinsi
Papua Barat 2007 – 2010.
Sumber : BPS, Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat 2010
Demikian juga bila kita melihat data SDKI 2007 tentang persentase perempuan berusia antara 15-19 tahun yang pernah
memiliki seorang anak yaitu 10,9%. Angka ini jauh lebih tinggi dari angka nasional yaitu 6,6% dan persentase perempuan
yang pernah hamil anak pertama mereka, yaitu di angka 2,3% juga lebih tinggi dari angka nasional 1,9%. Hal ini dapat
dianalisis bahwa persoalan kehamilan dan persalinan di usia yang muda merupakan persoalan serius7
. Selanjutnya, data
SDKI 2007 juga menunjukkan bahwa persentase perempuan yang mulai menjalankan peran ibu yang merawat anak
bayinya sebanyak 13,2% yang jauh lebih tinggi dari angka nasional 8,5%.
‘The Unmet Needs’ yang tinggi tidak selalu dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pemahaman masyarakat, khususnya
perempuan, akan pentingnya alat kontrasepsi. Persentase masyarakat di Provinsi Papua Barat yang memiliki pemahaman
akan alat kontrasepsi modern mencapai 92,70% sementara untuk alat kontrasepsi tradisional adalah 43,6% yang
menunjukkan tingkat pemahaman yang tinggi dan sama dengan tingkat pemahaman pada tingkat nasional. Alat
kontrasepsi yang paling dikenal adalah suntik atau injeksi yaitu sebesar 54,8%. Sementara itu, alat kontrasepsi darurat
paling sedikit dipahami yaitu sebesar hanya 7,9% 8
. Dalam hal alat atau metode kontrasepsi tradisional, pantang berkala
adalah metode yang paling dikenal yaitu mencapai 37% 9
. Sementara itu, cakupan alat kontrasepsi modern di Papua
Barat adalah 39,6% pada tahun 2007 dan 42,5% di tahun 2012. Angka ini jauh di bawah cakupan pada tingkat nasional
yaitu 57,4 di tahun 2007 dan 61,9% di tahun 2012 10
.
Data yang diperoleh dari SDKI 2012 menunjukkan bahwa terdapat 47,8% kebutuhan ber KB yang dipenuhi, di antaranya
42,0 % dengan alat KB modern dan sisanya sebesar 5,8% dengan alat/metode KB lainnya.
Persoalan kesehatan reproduksi perempuan yang perlu mendapat perhatian juga persoalan HIV dan AIDS. Dari SDKI
2012 menunjukkan bahwa persentase perempuan umur 15-49 tahun yang pernah mendengar tentang HIV dan AIDS
adalah 52,2% sementara laki-laki adalah 81,1%. Sementara itu, responden SDKI 2012 yang mengatakan bahwa resiko
penularan HIV dan AIDS dapat dikurangi dengan menggunakan kondom adalah sebesar 39,4% dan mengatakan bahwa
berhubungan seksual dengan pasangan yang sama adalah 54,8%, sementara yang mengatakan mengurangi resiko HIV
dan AIDS baik dengan menggunakan kondom dan berhubungan seksual hanya dengan pasangan yang sama sebesar
31,9%.
7 USAID, BPS, BKKBN, Kementrian Kesehatan, Indonesia Demographic and Health Survey 2007 (IDHAS atau SDKI 2007), 2008.
8 UNFPA, UNICEF, AusAID, BKKBN “ Analisa Situasi Keluarga Berencana di Papua dan Papua Barat” (Studi Kasus di Kabupaen Jayapura, Jayawijaya, Manokwari, dan Sorong).
Halaman 8.
9 UNFPA, UNICEF, AusAID, BKKBN, ibid.
10 Hasil Analisis SDKI 2007 yang dilaporkan dalam Laporan UNFPA, UNICEF, AusAID, BKKBN dan Analisis SDKI 2012 daro Laporan Pendahuluan Survei Demografi dan kesehatan
2012.
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
2007
6.09
6.73
8.02 7.85
2008 2009 2010
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
30
Gambar 2.2.3. Persentase Cakupan Kontrasepsi di Papua Barat dibandingkan dengan di Tingkat Nasional, SDKI
2007 dan SDKI 2012.
Sumber: UNFPA, UNICEF, AusAID, BKKBN “Analisa Situasi Keluarga Berencana di Papua dan Papua Barat” (Studi Kasus di Kabupaten Jayapura,
Jayawijaya, Manokwari, dan Sorong) dan Laporan Pendahuluan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 yang diolah.
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
31
Bab 3
KEMISKINAN, PEMBANGUNAN
MANUSIA DAN KESENJANGAN
GENDER
Bab 3
KEMISKINAN, PEMBANGUNAN
MANUSIA DAN KESENJANGAN
GENDER
3.1. KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT – SATU DARI TIGA
PENDUDUK ADALAH MISKIN
Selama ini perkembangan pembangunan suatu masyarakat sering diukur secara ekonomis, yaitu dari makin
menurunnya tingkat kemiskinan yang berbasis pendapatan dan konsumsi di masyarakatnya. Secara ekonomis, upaya
penurunan kemiskinan diukur dari turunnya penduduk miskin. Pada tujuan Millenium Development Goals yang pertama,
penanggulangan kemiskinan dan kelaparan merupakan hal yang pertama diperjuangkan untuk dilakukan setiap negara
dengan target utama untuk menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan kurang
dari USD 1.00 (PPP) per hari dalam kurun waktu 1990-2015 11
.
KemiskinanjugamenjadiisupentingpembangunandiProvinsiPapuaBarat.Meskipunkecenderunganjumlahpenduduk
miskin telah menunjukkan penurunan sejak tahun 2006, namun tingkat kemiskinan di provinsi ini hingga saat ini masih
tergolong tinggi. Pemerintah Indonesia menargetkan penurunan persentase penduduk miskin di Provinsi Papua Barat
pada akhir tahun 2014 menjadi sebesar 19,94-18,78% (RPJMN 2010–2014). Mengacu pada persentase penduduk miskin
tahun 2006 yaitu sebesar 41,34% dan capaian upaya penurunan persentase penduduk miskin tahun 2012 menjadi
sebesar 28,20%, maka dapat diperkirakan bahwa pemerintah Provinsi Papua Barat masih harus bekerja ekstra keras
untuk bisa mencapai target nasional tersebut.
Mengacupadadatatahun2006,persentasependudukyanghidupdibawahgariskemiskinandiProvinsiPapuaBaratpada
tahun 2010 adalah 41,34%. Selama masa 6 tahun, Pemerintah Provinsi Papua Barat telah berhasil menurunkan angka
kemiskinan sebesar kurang lebih 13% menjadi di angka 28,2% pada tahun 2012 12
. Walaupun terjadi kecenderungan
jumlah penduduk miskin yang menurun sejak 2006, namun tingkat kemiskinan di provinsi ini masih tinggi 13
.
Satu dari tiga penduduk Papua Barat adalah miskin. Secara absolut, jumlah penduduk miskin pada Maret 2011 adalah
sebanyak 249.840 jiwa, suatu jumlah yang sangat besar dalam konteks Provinsi Papua Barat yang berpenduduk kurang
dari 800.000 jiwa pada tahun 2010. Kondisi geografis Papua Barat yang sulit akan membutuhkan upaya serius dan
berkelanjutan serta alokasi investasi yang memadai untuk menanggulangi kemiskinan.
Persoalan kemiskinan di Provinsi Papua Barat berdimensi perdesaan (enam kali lebih tinggi dari tingkat kemiskinan di
perkotaan, dengan hambatan keterbatasan infrastruktur dan terbatasnya lapangan kerja sebagai dua penyebab utama 14
.
11 Seperti di wilayah Indonesia yang lain, pengukuran perkembangan pembangunan masyarakat Papua seringkali dilakukan melalui ukuran ukuran ekonomi, baik ukuran
tingkatpendapatanmaupuntingkatkonsumsinya.Sejak1998,pengukuranstandardkemiskinandikembangkandenganpengukuranlebihbanyakkomoditi.Daripengukuran
ekonomi tersebut, selanjutnya dikenal ukuran ‘garis kemiskinan’ yang diukur dari perhitungan BPS dengan menggunakan data SUSENAS yang mengukur tingkat kemiskinan
dengan ‘Head Count Index’ (HCI). Untuk Papua Barat, tingkat kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, baik untuk pangan
(ekuivalen dengan konsumsi senilai 2.100 kalori untuk kelompok penduduk dengan pola konsumsi tertentu) dan untuk non-pangan. Perhitungan jumlah asupan kalori ini
dianggap kurang relevan dengan perhitungan asupan konsumsi di wilayah Papua karena konsumsi masyarakat Papua di perkampungan lebih pada konsumsi sagu dan
singkong, dan bukan asupan konsumsi beras.
12 BPS, Susenas 2006, 2012
13 Laporan MDGs Papua Barat 2012 mencatat data BPS bahwa persentase penduduk miskin pada Maret 2012 mencapai 28,20 persen dengan indeks kedalaman kemiskinan
sebesar 7,23 persen. Tingkat kemiskinan ini merupakan tingkat kemiskina yang menduduki peringkat dua teratas dari seluruh provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di
Indonesia.
14 Publikasi BPS mencatat perbedaan tingkat kemiskinan antara Provinsi Papua Barat dengan Indonesia antara tahun 1999 sampai 2010 yaitu rata-rata sekitar 23.85% per tahun.
Rata-ratatingkatkemiskinandiProvinsiPapuaBaratlebihtinggi23.85%dibandingkanIndonesia.UntukIndonesiatingkatkemiskinancenderungmengalamipenurunanterus
menerus setiap tahun dengan rata-rata sekitar 0.91%. Penurunan tingkat kemiskinan di Provinsi Papua Barat lebih cepat yaitu sekitar 1.90% per tahun. Namun demikian di
tahun 2005, 2006 dan 2009 tingkat kemiskinan di Papua Barat mengalami kenaikan, masing-masing sebesar 2,41%, 0,69% dan 0,45%. Meningkatnya kemiskinan pada tahun
2005 disebabkan oleh naiknya harga BBM, sementara tingkat kemiskin pada tahun 2009 lebih disebabkan oleh perubahan teknis pencatatan penduduk miskin, mengingat
adanya penambahan sampel penduduk yang disurvei.
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
32
Perekonomian di provinsi Papua Barat disumbang oleh sektor pertanian (termasuk perkebunan, kehutanan, perburuan
dan perikanan) dengan 77,43 persen penduduk15
yang bekerja di sektor ini. Perekonomian perdesaan terserap di sektor
pertanian (termasuk perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan). Adapun sumbangan sektor pertanian yang
melibatkan mayoritas penduduk ini berkontribusi hanya sekitar 19,98% pada Pendapatan Regional Brutto 16
yang
menunjukkan bahwa produktivitas sektor ini sangat rendah sebagai implikasi dari masih tingginya sistem subsisten 17
,
disamping terbatasnya infrastruktur transportasi yang membuat biaya pemasaran menjadi tinggi.
Gambar 3.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Papua Barat, 2006 – 2012.
Sumber: BPS Provinsi Papua Barat (2006-2012).
Peran perempuan yang dominan pada sektor pertanian subsistens ini, waktu yang dibutuhkan perempuan untuk bekerja
dalam sehari menjadi tinggi, disamping mereka harus menyelesaikan juga tanggung jawab menyelesaikan pekerjaan
rumahtangga.
Sayang sekali, perhitungan statistik atas angka kemiskinan seringkali meninggalkan aspek kemiskinan yang berbasis
gender. Data kemiskinan yang disusun dari SUSENAS tidak mampu menggambarkan dinamika gender yang ada di dalam
rumahtangga karena mengingat SUSENAS merupakan survei rumahtangga yang kuesioner serta proses enumerasinya
tidak menanyakan pengalaman yang berbeda antara anggota rumahtangga perempuan dan laki-laki. Beberapa studi18
menunjukkan bahwa masyarakat Papua sangat menghargai nilai sosial yang harmonis dan untuk memastikan nilai yang
harmonis tersebut maka kewajiban saling membalas budi dalam bentuk pertukaran barang dan tenaga kerja menjadi
suatu bagian dari nilai sosial dan budaya tersebut. Bukan tidak mungkin bahwa proses serta struktur untuk saling
berbalas budi mengalami proses negosiasi pada beberapa situasi memunculkan stuktur dan aturan yang tidak secara
merata dibuat oleh anggota keluarga, perempuan dan laki-laki.19
15 Sakernas Februari 2011 (BPS Provinsi Papua Barat, 2011), sebesar
16 Share sektor pertanian terhadap PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan 1 2011, BPS Provinsi Papua Barat, 2011.
17 Produksi pertanian lebih banyak dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari bukan untuk produksi yang dipasarkan secara massal dan dijual di pasar.
18 AusAID and UNICEF “Gender and Poverty Analysis of Papua”, November 2007
19 Suatu studi yang mencakup rumahtangga di Bangladesh, Indonesia, Ethiopia dan Afrika Selatan merekonfirmasi adanya hubungan antara karakter individu dengan daya
tawarnya, khususnya terkait akses dan kontrol pada sumberdaya manusia dan sumberdaya aset setelah suatu pasangan menikah. Studi menunjukkan bahwa aset yang
dikelola dan diputuskan oleh perempuan/istri mempunyai efek yang positif dan signifikan atas alokasi sumberdaya yang memengaruhi masa depan keluarga dalam jangka
panjang.
300.00
250.00
200.00
150.00
100.00
50.00
0.00
300.00 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Jumlah Penduduk Miskin (ribu) Jumlah Penduduk Miskin (%)
284.10
266.80
246.50
256.84 256.25
249.84
229.99
41.34
35.12
39.31
35.71
34.88
31.92
28.20
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
33
Tabel 3.1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Di Provinsi Papua Barat dan Indonesia Menurut Wilayah Kota dan
Desa, 1999 - 2011
Tahun
(1)
Papua Barat Indonesia
K D K+D K D K+D
1999 9.03 70,95 54,75 19,41 26,03 23,43
2000 9.01 59.78 46.35 14.60 22.38 19.14
2001 9.23 53.14 41.80 9.76 24.84 18.41
2002 9.76 51.21 41.80 14.46 21.10 18.20
2003 8.32 49.75 39.03 13.57 20.23 17.42
2004 7.71 49.28 38.69 12.13 20.11 16.66
2005 9.23 50.16 40.83 11.68 19.98 15.97
2006 8.71 51.31 41.52 13.47 21.81 17.75
2007 7.97 50.47 40.78 12.52 20.37 16.58
2008 7.02 45.96 37.08 11.65 18.93 15.42
2009 6.10 46.81 37.53 10.72 17.35 14.15
2010 5.55 46.02 36.80 9.87 16.56 13.33
2011 4.60 41.58 31.98 9.23 15.72 12.49
Sumber: BPS Papua Barat dan BPS Indonesia
Perkembangan di Indonesia dan Papua Barat menunjukkan bahwa wilayah desa mempunyai kontribusi paling tinggi
terhadap total penduduk miskin dibandingkan wilayah kota. Hal ini dapat diamati dengan mengukur deviasi tingkat
kemiskinan antara kota dengan desa. Indonesia memiliki rata-rata deviasi tingkat kemiskinan antara desa dan kota hanya
sekitar 7,87% per tahun (lihat Tabel 1.1). Akan tetapi untuk Papua Barat deviasinya terlihat sangat mencolok. Sepanjang
tahun 1999-2011 rata-rata deviasi tingkat kemiskinan antara desa dan kota mencapai 43,40% per tahun. Ini berarti
ketimpangan spasial antara kota dan desa di Provinsi Papua Barat selama ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan
Indonesia.
Selain permasalahan kemiskinan yang belum mampu dijawab dengan baik, ketimpangan distribusi pendapatan antar
kelompok rumahtangga selama ini juga belum dapat dikoreksi secara signifikan melalui pembangunan daerah di Provinsi
Papua Barat.
Pengukuran kuantitatif yang sering menjadi titik tolak pengukuran kemiskinan masih sering meninggalkan beberapa
faktor penting yang berpengaruh secara berbeda kepada perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, penghitungan
dan analisis kemiskinan yang multi-dimensi perlu menjadi alternatif untuk menjawab pertanyaan terkait siapa yang
miskin, dimana dan faktor penyebab kemiskinan dalam perspektif gender. Analisis kemiskinan dengan menggunakan
pendekatan kualitatif hendak mencoba mendengar dan merekam suara si miskin, perempuan dan laki-laki melalui suatu
pendekatan yang lebih partisipatif.
Beberapa laporan yang dikeluarkan oleh pemerintah menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Papua menurun pada
periode lima tahun terakhir20
. Namun demikian, insiden kemiskinan terdapat di Provinsi ini. Persoalan kemiskinan
di Papua Barat lebih berfokus pada kemiskinan di perdesaan dibanding kemiskinan di perkotaan. Apakah jumlah
perempuan Papua yang miskin berkurang? Seberapa tingkat perbaikan kualitas hidup perempuan Papua? Apa saja
aspek gender yang menjadi kontributor kemiskinan di Papua? Pertanyaan-pertanyaan tersebut amatlah penting untuk
dijawab, walau kendala pada keberadaan data merupakan tantangan besar bukan hanya untuk Provinsi Papua tetapi
juga untuk Indonesia.
Penggunaan data dan informasi yang mewakili situasi perempuan dan kemiskinan yang dihadapi perlu mendapat
perhatian. Persoalan yang memengaruhi hidup dan mati perempuan, seperti kematian perempuan atau ibu hamil dan
melahirkan, kasus kekerasan terhadap perempuan, kekurangan gizi pada perempuan hamil dan melahirkan merupakan
sebagian dari gambaran kemiskinan yang perlu mendapat perhatian. Bentuk bentuk ketidaksetaraan gender tersebut
20 Pada periode 2004 – 2006 jumlah penduduk miskin dengan menggunakan “Head Count Index” mencatat sekitar 38,69% penduduk atau sekitar 966,800 orang adalah miskin
di tahun 2004, 40,83% (sekitar 102,000 orang) di tahun 2005 dan 40,78% (sekitar 70,300) penduduk di tahun 2006.
Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender
Provinsi Papua Barat Tahun 2012
34
merupakan manivestasi dari tidak dinilainya perempuan sama tingginya dengan bagaimana masyarakat menilai dan
menghargai masyarakat laki-lakinya.
Persoalan degradasi lingkungan yang berpengaruh pada kesehatan memiliki dimensi gender dan juga membawa
pengaruh negatif pada kelompok marjinal, baik perempuan maupun kelompok termiskin. Intensitas persoalan gender
danlingkungandarieksplorasidaneksploitasitambang,misalnya,seringmembawadampakpadakesehatanperempuan,
dalam hal ini kesehatan reproduksi, yang juga akan relevan dengan konteks Papua Barat.
Laporan “Country Technical Notes on Indigenous People” yang disusun IFAD mencatat bahwa Papua, Papua Barat dan
Nanggroe Aceh Darussalam yang merupakan tiga wilayah terkaya di Indonesia yang ditemui tingkat kemiskinan
tertinggi, khususnya di kalangan penduduk aslinya21
. Adapun penyebab kemiskinan pada penduduk asli adalah
antara lain: (a) kurangnya pengakuan dan perlindungan atas hak asli pada tanahnya dan sumberdaya alamnya; (b)
adanya penyelenggaran kegiatan ekonomi yang tidak tepat, terutama dengan adanya ‘illegal logging’, pertambangan
dan perkebunan; (c) degradasi kualitas sumberdaya alam yang disebabkan oleh buruknya kualitas tanah, kurangnya
pendidikan masyarakat dan persoalan transportasi yang terbatas22
. Laporan IFAD ini menggarisbawahi persoalan kurang
akuratnya data, termasuk data tentang jumlah dan lokasi dari masyarakat atau penduduk asli, yang membuat sulit untuk
memahami pesoalan kemiskinan di antara masyarakat asli. Pada umumnya data statistik hanya menampilkan jumlah
penduduk perdesaan atau kampung yang miskin. Data tersebut memberikan gambaran kasar dari kemiskinan diantara
penduduk asli karena sebagian besar penduduk asli tinggal di perdesaan atau kampung23
.
Laporan Pembangunan Manusia global pada tahun 2012 memberi fokus pada adanya tantangan atas keberlanjutan
dan keberhasilan menurunkan dan menghapuskan kesenjangan pembangunan. Adanya degradasi lingkungan dan
meningkatnya kesenjangan di antara masyarakat, termasuk dalam hal kesenjangan gender, diidentifikasi sebagai
tantangan pembangunan yang mengancam keberlanjutan pembangunan. Pembangunan manusia mewakili adanya
pilihan, pembangunan dan pembagian atau distribusi serta alokasi sumberdaya alam. Adanya alokasi sumberdaya alam
yang tidak adil dapat mendorong adanya ketimpangan hasil pembangunan24
.
3.2. PEMBANGUNAN MANUSIA PAPUA BARAT
Provinsi Papua Barat mempunyai kekayaan sumberdaya alam yang besar. Sebagai Provinsi pemekaran dari Provinsi
Papua,prosespembangunandiProvinsiPapuaBaratmerupakankelanjutandariprosespembangunanyangdilaksanakan
oleh Provinsi Papua yang telah dilaksanakan telah cukup lama.
Gambar 3.2. Perkembangan IPM Papua Barat 2004-2910
Sumber: Beberapa Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender yang diterbitkan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak dan Badan Pusat Statistik, 2011
21 Country Technical Notes on Indigenous People” yang disusun IFAD dan AIPP, 2010
22 Country Technical Notes on Indigenous People” yang disusun IFAD dan AIPP, 2010, rangkuman
23 IFAD dan AIPP, opcit halaman 13.
24 “Human Developmen Report”, Global Report, UNDP 2012
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT
PHDR_GENDER_PAPUA BARAT

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Grand Strategi Pembangunan Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat 2005 - 2025
Grand Strategi Pembangunan Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat 2005 - 2025Grand Strategi Pembangunan Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat 2005 - 2025
Grand Strategi Pembangunan Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat 2005 - 2025
Muh Saleh
 
Membangun kualitas sumber daya manusia melalui program keluarga berencana di ...
Membangun kualitas sumber daya manusia melalui program keluarga berencana di ...Membangun kualitas sumber daya manusia melalui program keluarga berencana di ...
Membangun kualitas sumber daya manusia melalui program keluarga berencana di ...
Irma Damayanti
 
Masalah kesehatan remaja
Masalah kesehatan remajaMasalah kesehatan remaja
Masalah kesehatan remaja
Joni Iswanto
 
Materi kadis anak sehat ibu selamat
Materi kadis anak sehat ibu selamatMateri kadis anak sehat ibu selamat
Materi kadis anak sehat ibu selamat
Muh Saleh
 
Bahan deputi sdm aparatur sosialisasi permenpan 13 2014 surabaya 26 juni 2014
Bahan deputi sdm aparatur sosialisasi permenpan 13 2014 surabaya 26 juni 2014Bahan deputi sdm aparatur sosialisasi permenpan 13 2014 surabaya 26 juni 2014
Bahan deputi sdm aparatur sosialisasi permenpan 13 2014 surabaya 26 juni 2014
Mohammad Subhan
 
jikmh2.2artikel09
jikmh2.2artikel09jikmh2.2artikel09
jikmh2.2artikel09
mediahusada
 

Was ist angesagt? (20)

Buku Indikator Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat tahun 2017
Buku Indikator Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat tahun 2017Buku Indikator Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat tahun 2017
Buku Indikator Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat tahun 2017
 
Grand Strategi Pembangunan Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat 2005 - 2025
Grand Strategi Pembangunan Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat 2005 - 2025Grand Strategi Pembangunan Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat 2005 - 2025
Grand Strategi Pembangunan Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat 2005 - 2025
 
Membangun kualitas sumber daya manusia melalui program keluarga berencana di ...
Membangun kualitas sumber daya manusia melalui program keluarga berencana di ...Membangun kualitas sumber daya manusia melalui program keluarga berencana di ...
Membangun kualitas sumber daya manusia melalui program keluarga berencana di ...
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Analisis Parameter Kependuduk Prov. Papua Tahun 2015
Analisis Parameter Kependuduk Prov. Papua Tahun 2015Analisis Parameter Kependuduk Prov. Papua Tahun 2015
Analisis Parameter Kependuduk Prov. Papua Tahun 2015
 
4. program kespro (1)
4. program kespro (1)4. program kespro (1)
4. program kespro (1)
 
Amalan terbaik demi kesejahteraan sosial dilakukan oleh negara
Amalan terbaik demi kesejahteraan sosial dilakukan oleh negaraAmalan terbaik demi kesejahteraan sosial dilakukan oleh negara
Amalan terbaik demi kesejahteraan sosial dilakukan oleh negara
 
Kemiskinan
KemiskinanKemiskinan
Kemiskinan
 
Pembangunan kesehatan
Pembangunan kesehatanPembangunan kesehatan
Pembangunan kesehatan
 
Masalah kesehatan remaja
Masalah kesehatan remajaMasalah kesehatan remaja
Masalah kesehatan remaja
 
prinsip - prinsip ilmu gizi
prinsip - prinsip ilmu giziprinsip - prinsip ilmu gizi
prinsip - prinsip ilmu gizi
 
Hasil Pemantauan Status Gizi Tahun 2015
Hasil Pemantauan Status Gizi Tahun 2015Hasil Pemantauan Status Gizi Tahun 2015
Hasil Pemantauan Status Gizi Tahun 2015
 
Materi kadis anak sehat ibu selamat
Materi kadis anak sehat ibu selamatMateri kadis anak sehat ibu selamat
Materi kadis anak sehat ibu selamat
 
Penilaian posyandu ii
Penilaian posyandu iiPenilaian posyandu ii
Penilaian posyandu ii
 
Karya ilmiah (ESDM)
Karya ilmiah (ESDM)Karya ilmiah (ESDM)
Karya ilmiah (ESDM)
 
Pengantar gerontologi semester s1
Pengantar gerontologi semester s1Pengantar gerontologi semester s1
Pengantar gerontologi semester s1
 
Bahan deputi sdm aparatur sosialisasi permenpan 13 2014 surabaya 26 juni 2014
Bahan deputi sdm aparatur sosialisasi permenpan 13 2014 surabaya 26 juni 2014Bahan deputi sdm aparatur sosialisasi permenpan 13 2014 surabaya 26 juni 2014
Bahan deputi sdm aparatur sosialisasi permenpan 13 2014 surabaya 26 juni 2014
 
jikmh2.2artikel09
jikmh2.2artikel09jikmh2.2artikel09
jikmh2.2artikel09
 
Proyek perubahan dumdum ppt
Proyek perubahan dumdum pptProyek perubahan dumdum ppt
Proyek perubahan dumdum ppt
 
Prevalensi lansia di dunia dan indonesia
Prevalensi lansia di dunia dan indonesiaPrevalensi lansia di dunia dan indonesia
Prevalensi lansia di dunia dan indonesia
 

Andere mochten auch

Tanyajawab pemberdayaan
Tanyajawab pemberdayaanTanyajawab pemberdayaan
Tanyajawab pemberdayaan
Hadi Purwanto
 
가상현실 & 증강현실
가상현실 & 증강현실가상현실 & 증강현실
가상현실 & 증강현실
jihyae0265
 
заочна подорож
заочна подорож заочна подорож
заочна подорож
08600 Vasilkov
 
Fisiologi respirasi
Fisiologi respirasiFisiologi respirasi
Fisiologi respirasi
Aguss Aja
 
магнитное поле
магнитное полемагнитное поле
магнитное поле
Levan Anchabadze
 

Andere mochten auch (20)

Tanyajawab pemberdayaan
Tanyajawab pemberdayaanTanyajawab pemberdayaan
Tanyajawab pemberdayaan
 
Evalucion
EvalucionEvalucion
Evalucion
 
가상현실 & 증강현실
가상현실 & 증강현실가상현실 & 증강현실
가상현실 & 증강현실
 
Kredyty, pozyczki, banki Gdansk 2012 poradnik
Kredyty, pozyczki, banki Gdansk 2012 poradnikKredyty, pozyczki, banki Gdansk 2012 poradnik
Kredyty, pozyczki, banki Gdansk 2012 poradnik
 
클라우드
클라우드클라우드
클라우드
 
Hoi dap ve quan ly moi truong
Hoi dap ve quan ly moi truongHoi dap ve quan ly moi truong
Hoi dap ve quan ly moi truong
 
заочна подорож
заочна подорож заочна подорож
заочна подорож
 
Awful crm mistakes
Awful crm mistakesAwful crm mistakes
Awful crm mistakes
 
Digital Society Laboratory (DSL)
Digital Society Laboratory (DSL)Digital Society Laboratory (DSL)
Digital Society Laboratory (DSL)
 
Dropbox
DropboxDropbox
Dropbox
 
Competenze digitali e inclusione sociale nell’Agenda digitale per l’Europa
Competenze digitali e inclusione sociale nell’Agenda digitale per l’EuropaCompetenze digitali e inclusione sociale nell’Agenda digitale per l’Europa
Competenze digitali e inclusione sociale nell’Agenda digitale per l’Europa
 
The Future We Want
The Future We WantThe Future We Want
The Future We Want
 
Task 3 & 4
Task 3 & 4Task 3 & 4
Task 3 & 4
 
Sample power point
Sample power pointSample power point
Sample power point
 
Fisiologi respirasi
Fisiologi respirasiFisiologi respirasi
Fisiologi respirasi
 
магнитное поле
магнитное полемагнитное поле
магнитное поле
 
Flowsheet Decomposition Heuristic for Scheduling: A Relax & Fix Method
Flowsheet Decomposition Heuristic for Scheduling: A Relax & Fix MethodFlowsheet Decomposition Heuristic for Scheduling: A Relax & Fix Method
Flowsheet Decomposition Heuristic for Scheduling: A Relax & Fix Method
 
Gestire la collera
Gestire la colleraGestire la collera
Gestire la collera
 
H23試験ア
H23試験アH23試験ア
H23試験ア
 
Cloud
CloudCloud
Cloud
 

Ähnlich wie PHDR_GENDER_PAPUA BARAT

Peningkatankapasitaspemerintahdaerahdalam 110408220457-phpapp02
Peningkatankapasitaspemerintahdaerahdalam 110408220457-phpapp02Peningkatankapasitaspemerintahdaerahdalam 110408220457-phpapp02
Peningkatankapasitaspemerintahdaerahdalam 110408220457-phpapp02
Operator Warnet Vast Raha
 
Peningkatankapasitaspemerintahdaerahdalam 110408220457-phpapp02
Peningkatankapasitaspemerintahdaerahdalam 110408220457-phpapp02Peningkatankapasitaspemerintahdaerahdalam 110408220457-phpapp02
Peningkatankapasitaspemerintahdaerahdalam 110408220457-phpapp02
Operator Warnet Vast Raha
 
Materi Dari Bu Kepi
Materi Dari Bu KepiMateri Dari Bu Kepi
Materi Dari Bu Kepi
yulestian
 
7d824-modul-pembekalan-caleg.pdf
7d824-modul-pembekalan-caleg.pdf7d824-modul-pembekalan-caleg.pdf
7d824-modul-pembekalan-caleg.pdf
bib234bib234
 
Buletin perdesaan-sehat-2-perdesaansehat-com
Buletin perdesaan-sehat-2-perdesaansehat-comBuletin perdesaan-sehat-2-perdesaansehat-com
Buletin perdesaan-sehat-2-perdesaansehat-com
Lalu Suhaedi
 

Ähnlich wie PHDR_GENDER_PAPUA BARAT (20)

TeoriPembngunanPPT.pptx
TeoriPembngunanPPT.pptxTeoriPembngunanPPT.pptx
TeoriPembngunanPPT.pptx
 
PPT PUG UTS NOVI HERLIANA ( 21102090 ).pptx
PPT PUG UTS  NOVI HERLIANA ( 21102090 ).pptxPPT PUG UTS  NOVI HERLIANA ( 21102090 ).pptx
PPT PUG UTS NOVI HERLIANA ( 21102090 ).pptx
 
pedoman-teknis-penyusunan-gender-analisis-pathway-gap-dan-gender-budget-state...
pedoman-teknis-penyusunan-gender-analisis-pathway-gap-dan-gender-budget-state...pedoman-teknis-penyusunan-gender-analisis-pathway-gap-dan-gender-budget-state...
pedoman-teknis-penyusunan-gender-analisis-pathway-gap-dan-gender-budget-state...
 
Perkembangan pembangunan (suripto 2013)
Perkembangan pembangunan (suripto  2013)Perkembangan pembangunan (suripto  2013)
Perkembangan pembangunan (suripto 2013)
 
Gender, Pengarusutamaan Gender Dan Perencanaan Penganggaran Responsif Gender ...
Gender, Pengarusutamaan Gender Dan Perencanaan Penganggaran Responsif Gender ...Gender, Pengarusutamaan Gender Dan Perencanaan Penganggaran Responsif Gender ...
Gender, Pengarusutamaan Gender Dan Perencanaan Penganggaran Responsif Gender ...
 
Peningkatankapasitaspemerintahdaerahdalam 110408220457-phpapp02
Peningkatankapasitaspemerintahdaerahdalam 110408220457-phpapp02Peningkatankapasitaspemerintahdaerahdalam 110408220457-phpapp02
Peningkatankapasitaspemerintahdaerahdalam 110408220457-phpapp02
 
Peningkatankapasitaspemerintahdaerahdalam 110408220457-phpapp02
Peningkatankapasitaspemerintahdaerahdalam 110408220457-phpapp02Peningkatankapasitaspemerintahdaerahdalam 110408220457-phpapp02
Peningkatankapasitaspemerintahdaerahdalam 110408220457-phpapp02
 
Pembangunan manusia sumatera utara (suripto)
Pembangunan manusia sumatera utara (suripto)Pembangunan manusia sumatera utara (suripto)
Pembangunan manusia sumatera utara (suripto)
 
Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder untuk Penanggulangan Kemis...
Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemis...Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder  untuk Penanggulangan Kemis...
Menggagas dan Menggiatkan Proses Multistakeholder untuk Penanggulangan Kemis...
 
Kajian kesehatan menyongsong bonus demografi
Kajian kesehatan menyongsong bonus demografiKajian kesehatan menyongsong bonus demografi
Kajian kesehatan menyongsong bonus demografi
 
Materi Dari Bu Kepi
Materi Dari Bu KepiMateri Dari Bu Kepi
Materi Dari Bu Kepi
 
Gender dalam Pemberdayaan Masyarakat
Gender dalam Pemberdayaan MasyarakatGender dalam Pemberdayaan Masyarakat
Gender dalam Pemberdayaan Masyarakat
 
804-1273-1-PB.pdf
804-1273-1-PB.pdf804-1273-1-PB.pdf
804-1273-1-PB.pdf
 
7d824-modul-pembekalan-caleg.pdf
7d824-modul-pembekalan-caleg.pdf7d824-modul-pembekalan-caleg.pdf
7d824-modul-pembekalan-caleg.pdf
 
paparan-pprg-versi-2.ppt
paparan-pprg-versi-2.pptpaparan-pprg-versi-2.ppt
paparan-pprg-versi-2.ppt
 
Instrumen Katalitik Pemerintahan Daerah untuk Mengurangi Kemiskinan
Instrumen Katalitik Pemerintahan Daerah untuk Mengurangi KemiskinanInstrumen Katalitik Pemerintahan Daerah untuk Mengurangi Kemiskinan
Instrumen Katalitik Pemerintahan Daerah untuk Mengurangi Kemiskinan
 
HAM dan GENDER DALAM KELUARGA BERENCANA KEBIDANAN.ppt
HAM dan GENDER DALAM KELUARGA BERENCANA KEBIDANAN.pptHAM dan GENDER DALAM KELUARGA BERENCANA KEBIDANAN.ppt
HAM dan GENDER DALAM KELUARGA BERENCANA KEBIDANAN.ppt
 
paparan-data-wawasan.ppt
paparan-data-wawasan.pptpaparan-data-wawasan.ppt
paparan-data-wawasan.ppt
 
Buletin perdesaan-sehat-2-perdesaansehat-com
Buletin perdesaan-sehat-2-perdesaansehat-comBuletin perdesaan-sehat-2-perdesaansehat-com
Buletin perdesaan-sehat-2-perdesaansehat-com
 
Dokumen Rencana Strategis YSKK Tahun 2016 - 2019
Dokumen Rencana Strategis YSKK Tahun 2016 - 2019 Dokumen Rencana Strategis YSKK Tahun 2016 - 2019
Dokumen Rencana Strategis YSKK Tahun 2016 - 2019
 

PHDR_GENDER_PAPUA BARAT

  • 1. LAPORAN PEMBANGUNAN MANUSIA BERBASIS GENDER PROVINSI PAPUA BARAT TAHUN 2012TAHUN 2012 PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN YANG BERPIHAK PADA PEREMPUAN, ANAK DAN KELOMPOK RENTAN Leya Catleya & Els Tieneke Rieke Katmo
  • 2. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 ii
  • 3. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 iii LAPORAN PEMBANGUNAN MANUSIA BERBASIS GENDER PROVINSI PAPUA BARAT TAHUN 2012 PENYUSUN: LEYA CATTLEYA ELS TIENEKE RIEKE KATMO
  • 4. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 iv
  • 5. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 v Manusia dalam pembangunan merupakan subyek, titik tolak dan pusat pembangunan. Artinya setiap tahapan pembangunan berangkat dari manusia dan hasil-hasil pembangunan itu dikembalikan kepada manusia. Pembangunan dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak terjadi kesenjangan, termasuk kesenjangan gender. Kesenjangan ini lebih disebabkan karena belum adanya kesadaran tentang perbedaan kebutuhan pada kelompok masyarakat yang berbeda baik perempuan dan laki-laki, orang asli Papua dan Non Papua, yang tinggal di daerah terisolir dan tidak terisolir, cacat dan tidak cacat maupun kelompok rentan lainnya. Dalam rangka mengukur sejauh mana pembangunan memiliki implikasi positif bagi masyarakat, perlu dilakukan pengukuran-pengukuran terhadap faktor-faktor determinan dalam pembangunan suatu masyarakat atau kelompok masyarakat atau manusia secara keseluruhan. Hasil dari pengukuran ini akan menjadi acuan untuk peningkatan kualitas pembangunan ke depan. Laporan ini, yang penyusunannya diinisiasi oleh United Nations Development Program (UNDP) melalui proyek People- Centered Development Program (PCDP), menyediakan hasil kajian terhadap pelaksanaan pembangunan di Papua Barat dalam perspektif gender. Kajian ini mengacu pada indikator-indikator pembangunan manusia berbasis gender dalam aspek kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Berdasarkan hasil kajian tersebut ternyata masih terjadi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Pada dasarnya Pemerintah Daerah Provinsi Papua Barat telah mengintegrasikan pembangunan yang berpihak pada perempuan karena hal ini merupakan mandat dari semangat otonomi khusus, tetapi pelaksanaannya belum dilakukan secara maksimal. Wujud dari pelaksanaan mandat itu tertuang dalam RPJMD Provinsi Papua Barat 2012 – 2016. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender ini merupakan salah satu dokumen pembangunan sehingga keberadaannya dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan pembangunan daerah di Papua Barat sesuai dengan misi pembangunan daerah Provinsi Papua Barat. Kami menyampaikan banyak terimakasih terhadap antusiasme berbagai pihak yang secara aktif terlibat dalam penyusunan laporan ini. Kami pula senantiasa terbuka menerima kritik dan saran yang konstruktif untuk penyempurnaannya. Besar harapan kami laporan ini dapat digunakan untuk memaksimalkan upaya pembangunan yang responsif terhadap persoalan gender di Papua Barat sehingga keadilan dan kesetaraan Gender diTanah Papua apat terwujud. Manokwari, Mei 2013 Abraham O. Atururi Gubernur Papua Barat KATA PENGANTAR GUBERNUR PAPUA BARAT
  • 6. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 vi Perbaikan kualitas hidup manusia perempuan dan laki-laki adalah tujuan dari berbagai program pembangunan baik kualitas pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Penggunaan input atau sumberdaya pembangunan terutama sumberdaya manusia yang berkualitas akan memengaruhi hasil pembangunan itu sendiri. Keterlibatan manusia perempuan dan laki-laki dalam setiap tahapan pembangunan baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi menjadi sebuah keharusan. Evaluasi pembangunan merupakan tahap yang sama pentingnya dengan tahapan lainnya karena tahapan ini akan menilai sejauhmana pembangunan itu berhasil dan memberikan solusi serta alternatif-alternatif pemecahan masalah pembangunan untuk perbaikan. Laporan ini secara tidak langsung merupakan refleksi terhadap kinerja Pembangunan Nasional di daerah Provinsi Papua Barat. Proses penyusunan laporan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat merupakan wujud dari paradigma pembangunan yang partisipatif yakni masyarakat terlibat dalam menilai, menemukenali permasalahan gender yang dihadapi dalam pembangunan daerah dan juga memberikan rekomendasi untuk peningkatan kualitas pembangunan dimasa mendatang. Laporan ini secara khusus merinci berbagai kesenjangan pembangunan dalam perspektif gender. Hal ini dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan akan pengarusutamaan gender dalam pembangunan yang diindikasikan melalui pencapaian target-target pembangunan pada tiga bidang utama yakni kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Selain itu juga mengemukakan persoalan-persoalan spesifik pada perempuan dan laki maupun kelompok rentannya termasuk orang asli Papua dan Non-Papua sesuai konteks wilayah. Pemaparan informasi dalam laporan ini akan digunakan oleh semua pihak baik masyarakat, pemerintah dan agen-agen pembangunan lainnya karena memberikan gambaran tentang dimana Papua Barat saat ini berada dan akan mengarah kemana nantinya. Semoga laporan ini berguna untuk mendukung pembangunan yang adil gender di Papua Barat. Jakarta, Mei 2013 Max Pohan Deputi Bidang Regional dan Otonomi Daerah BAPPENAS KATA PENGANTAR KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS)
  • 7. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 vii KATA PENGANTAR PERWAKILAN UNDP Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat 2012 ini dipersiapkan untuk melengkapi Laporan Pembangunan Provinsi Papua Barat 2012 yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Papua Barat yang bekerja sama dengan UNDP dan dengan melibatkan konsultasi yang intensif dengan berbagai lembaga pemerintah dan organisasi non pemerintah serta individu-individu yang peduli pada persoalan gender di Provinsi Papua Barat. Laporan ini memberikan perhatian pada isu gender yang secara signifikan memengaruhi kehidupan perempuan dan laki-laki Papua Barat yaitu pada aspek kependudukan, aspek kemiskinan serta aspek yang tertinggal di beberapa bidang pembangunan manusia yaitu bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Selain itu, laporan ini juga mengangkat persoalan pengambilan keputusan, otonomi perempuan serta persoalan konflik dan kekerasan yang dihadapi perempuan. Rangkuman dari Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat 2012 ini akan menjadi bagian yang integratif dan komplementatif dengan Bab-bab yang ada di dalam Laporan Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2012. Informasi dan data yang dipresentasikan dalam persoalan gender pada Laporan ini menjadi dasar pertimbangan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di tanah Papua. Rekomendasi yang dipresentasikan dalam Laporan ini merupakan rekomendasi yang dirangkum dalam serangkaian rencana tindak gender yang disusun secara sistematis dalam kerangka Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender (RAD PUG) Provinsi Papua Barat 2013-2016. Rekomendasi-rekomendasi tersebut menggiring pada suatu aksi tanggap dalam bentuk RAD PUG yang memasukkan upaya perbaikan pada bidang utama pembangunan manusia yaitu pembangunan di bidang kesehatan, bidang pendidikan dan bidang ekonomi, upaya perbaikan di dalam upaya implementasi pelembagaan PUG, perbaikan kesetaraan gender dalam konteks otonomi khusus dan upaya menghapus kekerasan terhadap perempuan. Persoalan gender di tanah Papua Barat merupakan suatu isu yang mendesak dan bersifat darurat. Upaya serius dan sistematis melalui proses perencanaan dan penganggaran pembangunan yang responsif pada persoalan gender dan akuntabel untuk mendorong terwujudnya kesetaraan gender merupakan upaya yang niscaya agar masyarakat Papua Barat, khususnya Orang Asli Papua baik perempuan dan laki-laki, mendapatkan status yang sama dan tidak tertinggal dari saudara Indonesia mereka yang lain. Jakarta, Mei 2013 Beate Trankmann Kepala Perwakilan UNDP Indonesia
  • 8. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 viii Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender yang membedah persoalan pembangunan di daerah dalam perspektif gender merupakan sebuah terobosan baru karena isu gender dalam pembangunan telah dilihat secara khusus sebagai hal yang penting. Penyusunan laporan ini pada dasarnya bukan semata-mata memenuhi tanggungjawab kami kepada PCDP tetapi juga sekaligus menghantarkan kami kepada pemahaman yang utuh dan niat yang tulus untuk turut merasakan denyut pergumulan perempuan asli Papua di tanah Papua. Betapa kami dapat merasakan ritme itu dalam setiap penyampaian isi hati serta pengalaman mereka yang terpinggirkan dan dibungkam oleh budaya dominan dan kebijakan pembangunan yang masih bias. Oleh sebab itu ijinkan kami menyampaikan penghargaan yang tulus atas antusiasme semua pihak yang terlibat. NARASUMBER Apresiasi yang tulus kepada narasumber baik secara individu maupun kelembagaan atas kontribusinya dalam memberikan informasi dan mengungkapkan pengalaman terkait isu gender. Para narasumber ini antara lain anggota Pokja Perempuan MRP (Majelis Rakyat Papua), Persekutuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI) dan Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Divisi Perempuan LP3BH, Pusat Studi Pengembangan Perlindungan Perempuan dan Anak UNIPA, Dr. Merlyn Lekito (P2TP2) yang mengikuti akhir proses penyusunan laporan ini menggantikan mama Kambu (ibu Trince Katherine Karteh) yang meninggal dunia setelah mengikuti sebagian besar proses penyusunan ini dengan setia bahkan terlibat sebagai anggota tim penyusun RAD Percepatan PUG Papua Barat. Beliau secara khusus menitipkan pesan untuk memberikan perhatian lebih kepada anak dan perempuan berkebutuhan khusus yang kemudian kami sadari merupakan pesan terakhir beliau. Selanjutnya kami juga berterimakasih kepada Himpunan Pengusaha Indonesia, Insiasi Himpunan Pengusaha Perempuan Papua, Dharma Wanita Persatuan, LSM (Perdu dan pt.Peduli Sehat, Spesialis Gender PNPM Mandiri Pertanian (Lusi Wamaer), Dinas Kesehatan dalam hal ini Ikatan Bidan dan bagian Pelayanan HIV dan AIDS), Dinas Sosial serta semua tokoh dan aktivis perempuan di Papua Barat. Terimakasih atas kerelaannya meluangkan waktu berdiskusi dan ditemui kapan saja untuk penggalian informasi yang lebih mendalam. BAPPEDA Harus kami akui bahwa Kepala BAPPEDA (Drs. Ishak L. Hallatu) memiliki sebuah perspektif yang baik tentang pembangunan berbasis gender. Hal ini terlihat selama proses penyusunan laporan ini dan ketika kami menyerahkan draft RAD Percepatan PUG, beliau meminta kami untuk memberikan gambaran singkat tentang beberapa poin penting dalam RAD PUG pada bidang Pendidikan untuk dibahas pada Rapat Pembahasan RPJMD. Kami juga berterimakasih secara khusus kepada staff BAPPEDA Danardono dan Legius Wanimbo atas segala upaya, dukungan dan inisiatifnya untuk memberikan informasi dan terlibat aktif dalam penyusunan laporan ini termasuk pula RAD BPS Tim penulis telah mendapatkan dukungan yang sangat baik dari Badan Pusat Statistik (BPS) Papua Barat. Kepala BPS (Tanda Sirait) ketika laporan ini dibuat memberikan kesan yang koperatif dalam penyusunan laporan ini baik melaui keterlibatanya secara langsung dalam setiap lokakarya dan FGD penyusunan laporan ini maupun melalui kewenangan beliau untuk menunjuk pak Suryana sebagai kontak person dalam penyediaan data-data dari BPS yang dibutuhkan. Oleh sebab itu kami patut menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tulus. PEMBACA KRITIS Beberapa pembaca kritis Laporan ini yakni Gonzales, Juli Numberi dan Suryana telah membantu dalam penyempurnaan laporan ini dalam mengkritisi beberapa hal terkait keakuratan data, memperdalam beberapa hasil kajian yang sesuai dengan konteks Papua Barat dan menggarisbawahi beberapa hal penting dalam pemberdayaan Perempuan Papua dan permasalahannya. PENGHARGAAN
  • 9. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 ix UNDP Penghargaan tinggi dengan sepenuh hati kepada pimpinan United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia, Kepala Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN) di Indonesia serta Beate Trankmann (Direktur UNDP), Stephen Rodriques (Wakil Direktur UNDP), sebagai bagian dari pelaksana visi UNDP terkait LPM global dan nasional.Teman-teman UNDP, di Jakarta maupun di Jayapura, juga sangat layak memperoleh apresiasi setinggi-tingginya. Terutama kepada Niken Garnadi dan juga penerusnya, Siti Agustini (Koordinator PcDP) serta Liza Martiananda, Ririn Haryani, Popon dan Chandra Manalu. Begitu pula Sharief Natanegara, Riana Hutahayan dan Budiati Prasetiamartati di UNDP-Jakarta, serta Darianus Tarigan (Koordinator UNDP Papua Barat), Hilda Evelyn, Ririe, Henny Wadayati dan Achmad Tamrin (Koordinator Klaster 1 Papua/Papua Barat). Terbersit kebanggaan dan apresiasi yang dalam atas niat tulus semua pihak ini untuk merealisasikan Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender. Semoga niat dan upaya anda sekalian membawa sebuah perubahan yang baik bagi Tanah Papua kedepan. Manokwari, April 2013 Leya Catleya Els Tieneke Rieke Katmo
  • 10. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 x
  • 11. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 xi RINGKASAN EKSEKUTIF LATAR BELAKANG Sebagai provinsi pemekaran dari Provinsi Papua, Papua Barat melanjutkan pembangunan yang selama ini telah dilakukan oleh Provinsi Papua. Walaupun ProvinsiPapuaBarattidakberadapadarankingterendah,namunpembangunan manusia di wilayah ini masih memerlukan komitmen investasi dan pendekatan. Komitmen ini memastikan aksesibilitas yang adil dan berkelanjutan agar terwujud kualitas manusia yang bebas dalam memilih opsi dan mencapai opsi tersebut untuk kebaikan kualitas hidup perempuan dan laki-laki, khususnya mereka yang sangat membutuhkan perhatian khusus termasuk Orang Asli Papua, perempuan, anak-anak dan orang tua. Bila dibandingkan dengan capaian nasional, maka kesenjangan dalam pencapaian tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks PembangunanGender(IPG),yangmerupakanIPMdenganmempertimbangkan perbedaan capaian perempuan dan laki-laki di Papua Barat, Provinsi Papua Barat cukup menyolok. Indeks Pembangunan Gender Provinsi Papua Barat masih relatif rendah dibandingkan IPG di tingkat nasional. Artinya, kesenjangan yang ada di Papua Barat bukan hanya disebabkan oleh adanya ketertinggalan wilayah Papua Barat yang disebabkan situasi geografis yang sulit, keterpencilan dan konflik berkepanjangan yang dihadapi masyarakat, namun juga oleh adanya perbedaan yang berbasis gender. Otonomi Khusus Papua Barat yang diharapkan menjadi tonggak bagi perlindungan Orang Papua Barat Asli agar lebih maju, mandiri dan sejahtera untuk mengejar ketertinggalan dari saudara-saudaranya di daerah lain di Indonesia masih belum memberikan perbaikan yang signifikan Walapun lahirnya Otsus di Papua Barat juga dilengkapi dengan kehadiran Majelis Rakyat Papua Barat (MRP), yang sepertiganya diwakili oleh kelompok perempuan, yang secara bersama-sama dengan wakil adat dan pemuda mendorong upaya Otsus yang memiliki keberpihakan (“affirmative action”), perlindungan (“protection”) dan pemberdayaan (“empowerment”) masih belum mampu memastikan bahwa perempuan di Papua Barat mendapatkan keadilan dan bebas dari tindakan kekerasan terhadapnya. Mandat Otsus yang secara spesifik hendakmelindungihakperempuanPapuamasihmemerlukanperjuanganagar pemerintah memajukan, memberdayakan dan melindungi kaum perempuan agar berstatus sama dengan kaum laki-laki sehingga kesetaraan gender dapat direalisasikan. Pertumbuhan ekonomi Papua Barat yang tinggi, bahkan tertinggi di Indonesia, pada beberapa tahun terakhir selain tidak secara merata dinikmati oleh masyarakat Papua Barat, namun juga tidak dirasakan secara nyata oleh warga perempuannya.PercepatanpembangunanPapuaBaratmemerlukanpartisipasi aktif perempuan dan laki-laki Papua agar masyarakat dapat merasakan dan sekaligus memiliki pembangunan wilayahnya. Otonomi Khusus di Papua Barat dilengkapi dengan kehadiran Majelis Rakyat Papua Barat (MRP), yang sepertiganya diwakili oleh kelompok perempuan, yang bersama dengan wakil adat dan pemuda hendak mendorong perwujudan Papua Barat yang memberi keberpihakan (affirmative action), perlindungan (protection) dan pemberdayaan (empowerment). Otsus secara khusus hendak memastikan agar perempuan mendapatkan keadilan dan bebas dari tindakan kekerasan terhadapnya.
  • 12. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 xii PENDUDUK DAN DEMOGRAFI Penduduk merupakan subyek dan tujuan utama suatu pembangunan. Sensus Penduduk 2010 mencatat jumlah penduduk Provinsi Papua Barat berjumlah 760.422 yaitu terdiri dari 402.398 penduduk laki-laki dan 358.024 penduduk perempuan. Walaupun terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah penduduk, baik secara total maupun dalam hal komposisi yang menjadi syarat suatu pembangunan, namun ketidakseimbangan rasio jenis kelamin penduduk di Papua Barat tidak membaik. Dalam beberapa dekade, jumlah penduduk perempuan lebih sedikit dibandingkan jumlah penduduk laki-laki pada semua kelompok umur di semua kabupaten di Provinsi Papua Barat. Ketidakseimbangan jumlah penduduk berdasar jenis kelamin ini dapat diterangkan oleh adanya kematian prematur perempuan yang lebih tinggi dibanding laki-laki, disamping adanya migrasi penduduk ke dalam Provinsi Papua Barat yang pada umumnya tidak disertai anggota keluarga perempuan. Rasiojeniskelaminpendudukdenganlebihbanyakpenduduklaki-lakidaripada perempuan ditemui di semua kabupaten/kota dengan situasi paling sedikit perempuan di wilayah Teluk Bintuni, Kota Sorong dan Kabupaten Sorong Selatan dengan rasio berturut turut 1:20, 1:12, dan 1:12. Walaupun ketersediaan data terpilah berdasar jenis kelamin makin baik, namun masih terdapat tantangan untuk menyediakannya. Kebutuhan akan data terpilah tak terbatas pada data terpilah berdasar jenis kelamin, tetapi juga suku bangsa, umur, perbedaan wilayah dan perbedaan latar belakang sosial dan ekonomi. Tantangan atas ketersediaan data sudah dirasakan pada saat penyusunan Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat 2012 ini. Data Angka Kematian Ibu yang lebih terkini adalah survei dibanding data tahun 2007 dari SDKI, namun tidak dapat ditemukan. Sebetulnya, SDKI telah mampu menghitung estimasi angka kematian dewasa dan kematian ibu melalui ‘direct estimation procedure’ sejak 1994. Namun demikian, pengumpulan data yang dilakukan secara regular setiap tahun untuk kepentingan pengukuran Indeks Ketidaksetaraan Gender masih merupakan tantangan. Terputusnya alur pelaporan dari tingkat penyelenggara pelayanan ditingkat masyarakat ke atas (kabupaten, provinsi dan nasional) sejak otonomi daerah (otonomi khusus dalam konteks Papua Barat); terbatasnya kemampuan daerah (kabupaten/kota) untuk mencakup data dan informasi yang memadai dan valid karena persoalan geografis dan sumberdaya manusia, disamping rendahnya prioritasi kebutuhan dan pendanaan data terpilah masih mengemuka. Dimasa depan, Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah Provinsi Papua Barat perlu membuat kebijakan tentang pengadaan data-data penting yang dapat membantu mengukur kemajuan perempuan dan mengindikasikan adanya penyempitan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki. Persoalan kesulitan untuk mengumpulkan data AKI, AKB, angka fertilitas remaja dan parameter lain merupakan tantangan dalam membuat Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender ini. Hambatan yang dihadapi perempuan Papua Barat lebih muncul ketika kita menilik indikator yang lain, yaitu Pengukuran Pemberdayaan Perempuan atau “Women Empowerment Measure” atau GEM atau Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) disebut Indeks Pemberdayaan Gender, mengukur status perempuan di kelembagaan, yang mengukur upaya memajukan dan memberdayakan perempuan di bidang atau forum politik dan ekonomi. IDG mengukur kemampuan perempuan dan laki- laki untuk dapat berpartisipasi di bidang ekonomi dan politik dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Sementara IPG berfokus pada upaya peningkatan kemampuan dasar, IDG lebih melihat pada upaya meningkatkan kemampuan untuk memajukan kesempatan-kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup.
  • 13. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 xiii KEMISKINAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA PROVINSI PAPUA BARAT BERBASIS GENDER Kemiskinan merupakan isu penting pembangunan di Provinsi Papua Barat. Meskipun kecenderungan jumlah penduduk miskin telah menunjukkan penurunan sejak tahun 2006, namun tingkat kemiskinan di provinsi ini hingga saat ini masih tergolong tinggi. Dengan acuan data pada tahun 2006, persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di Provinsi Papua Barat adalah 41,34%. Selama masa 6 tahun, Pemerintah Provinsi Papua Barat telah berhasil menurunkan angka kemiskinan sebesar kurang lebih 13% yaitu pada tingkat 28,2% pada tahun 2012 (BPS, Susenas 2006, 2012). Walaupun terjadi kecenderungan jumlah penduduk miskin menurun sejak 2006, namun tingkat kemiskinan di provinsi ini masih tinggi. Laporan MDGs Papua Barat 2012 mencatat data BPS bahwa persentase penduduk miskin pada Maret 2012 mencapai 28,20% dengan indeks kedalaman kemiskinan sebesar 7,23%. Laporan MDG Papua Barat 2012 mencatat persentase penduduk miskin pada Maret 2012 mencapai 28,20% dengan indeks kedalaman kemiskinan sebesar 7,23%. Tingkat kemiskinan ini menduduki peringkat dua teratas dari seluruh provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Tingkat kemiskinan ini merupakan tingkat kemiskinan yang menduduki peringkat dua teratas dari seluruh provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Secara absolut, jumlah penduduk miskin pada Maret 2011 adalah sebanyak 249.840 jiwa yang merupakan jumlah yang sangat besar dalam konteks Provinsi Papua Barat yang berpenduduk kurang dari 800.000 jiwa pada tahun 2010. Kondisi geografis Papua Barat yang sulit membutuhkan upaya serius dan berkelanjutan serta alokasi investasi yang memadai untuk menanggulangi kemiskinan. Konsultasi publik dengan berbagai pihak mencatat adanya kemiskinan struktural di Papua Barat yang dimaknai sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya ketidakadilan akses pada pelayanan kesehatan, pendidikan dan ekonomi yang dibatasi bukan hanya oleh keterbatasan situasi dan kondisi sosio geografis tetapi juga oleh keterbatasan kebijakan. IPM dan IPG kabupaten terendah di Indonesia terdapat di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Artinya, kualitas hidup manusia yang rendah di Tambrauw bukan hanya terjadi karena kesenjangan geografis dan akses pada sumberdaya pembangunan yang mencolok didalam provinsi dan di Indonesia, tetapi juga disebabkan oleh adanya kesenjangan gender dimasyarakat ini. Namun demikian, IPG hanya memberikan gambaran parsial terkait status perempuan dan laki- laki di Papua Barat. IDG Papua Barat jauh di bawah IDG tingkat nasional. Persoalan gender di Papua Barat adalah persoalan ketidaksetaraan yang serius. Papua Barat harus mengejar ketertinggalan pada hampir semua target MDGs dan ketiga bidang yang melandasi Pembangunan Manusia – kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Kekerasan terhadap perempuan juga perlu perhatian serius, termasuk di dalamnya kekerasan di wilayah konflik, di pertambangan, di tempat bekerja (pasar), di area pekerjaan yang rentan pada eksploitasi dan di dalam rumahtangga. Selanjutnya, mengingat kompleksnya persoalan gender dihampir semua bidang, maka pemerintah harus secara serius dan akuntabel mengadopsi Pengarusutamaan Gender sebagai suatu strategi pembangunan agar penurunan dan penghapusan kesenjangan gender dapat terealisasi di Papua Barat. PEMBANGUNAN BIDANG KESEHATAN DAN GENDER Dalam hal aspek kesehatan, persoalan Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Kematian Bayi (AKB) dan kasus HIV DAN AIDS merupakan persoalan yang berkontribusi pada masih rendahnya IPM dan IPG di Provinsi Papua Barat. Dalam hal AHH, data BPS (Inkesra Papua Barat, 2010) menunjukkan bahwa selama tiga tahun sejak tahun 2008 AHH di Papua Barat mengalami peningkatan yakni 67,90 (2008), 68,20 (2009) dan 68,51 (2010). AHH tersebut masih lebih rendah dari AHH Nasional sebesar 70,9. Data AHH berdasar jenis kelamin yang dicatat oleh BPS masih memerlukan konfirmasi, mengingat terdapat AHH yang berbeda untuk perempuan dan laki-laki dari sumber data yang sama. Apabila dipilah berdasarkan jenis kelamin, AHH perempuan di Papua Barat lebih rendah dari AHH laki-lakinya. Tahun 2008 misalnya, AHA perempuan di Papua Barat adalah sebesar 65,97 dan laki-laki adalah sebesar 69,95. Rendahnya AHH perempuan ini mengindikasikan bahwa ada persoalan dengan kondisi kesehatan perempuan di Papua Barat, misalnya Angka Kematian Ibu (AKI) yang tinggi berkontribusi positif terhadap AHH. Kematian ibu ini terutama terkait dengan kesehatan reproduksinya dan berbagai penyakit menular lainnya serta terkait erat dengan kematian bayi.
  • 14. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 xiv Persoalan keterlambatan pengambilan keputusan untuk merujuk ibu hamil untuk melahirkan di fasilitas kesehatan dan dengan pertolongan tenaga kesehatan disebabkan oleh persoalan rendahnya pemahaman dan pengenalan akan tanda bahaya di antara perempuan dan juga keluarganya. Kurangnya pemahaman dan pengenalan akan tanda bahaya melahirkan ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain kurangnya akses perempuan dan masyarakat akan informasi terkait perawatan dan pemeliharaan kehamilan dan juga persoalan sosial dan budaya yang menghalangi perempuan dan masyarakat untuk merujuk ke tenaga kesehatan dan ke fasilitas kesehatan ketika mereka mengalami persoalan kesehatan. Dalam hal ini, peran keluarga terutama suami merupakan hal penting. Persoalan akses pada informasi kesehatan yang dihadapi perempuan dan keluarganya (masyarakat miskin) juga memengaruhi tingkat pemahaman ibu hamil (dan keluarganya) tentang resiko kekurangan gizi atau nutrisi pada kesehatan kehamilan serta keselamatan persalinan. Beberapa studi mencatat bahwa beban ganda diantara perempuan yang tinggal di perkampungan yang menyebabkan mereka tetap melakukan pekerjaan berat walau ketika hamil tua juga menyebabkan kekurangan gizi dan nutrisi yang serius di masa kehamilan. Persoalan kekurangan gizi menjadi makin memperburuk kualitas kesehatan ibu karena persoalan sosial budaya terkait pangan. Terdapat beberapa jenis makanan yang dipantangkan untuk dimakan ibu hamil yang berakibat mengurangi asupan gizi bagi perempuan hamil. Secara khusus, persoalan kesehatan ibu dan anak serta HIV DAN AIDS adalah persoalan yang perlu tindak lanjut komprehensif. Provinsi Papua Barat merupakan satu diantara provinsi dengan kasus dan angka kematian ibu dan bayi tertinggi di Indonesia. Strategi yang komprehensif, sistematis dan juga sekaligus pragmatis dalam upaya menurunkan angka kematian ibu melahirkan dan bayi ala ‘Revolusi Kesehatan Ibu dan Anak’ yang disertai akuntabilitas yang kuat seperti yang dilakukan oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur perlu diupayakan. Dilihat dari sebaran di kabupaten/kota, data di atas menunjukkan bahwa masih terdapat kabupaten, antara lain Sorong Selatan yang persalinan bayinya mayoritas dilakukan oleh dukun dan keluarga dengan persentase total mencapai sekitar 64%. Berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan dengan beberapa informan kunci, ada kecenderungan perempuan Papua terutama yang tinggal di daerah terpencil lebih memilih dukun sebagai penolong persalinannya karena perasaan nyaman sebagai sesama perempuan dan kepercayaan terhadap para dukun. Juga terdapat pernyataan bahwa secara adat perempuan Papua merasa nyaman ditangani dan dibantu kelahiran anaknya oleh sesama orang Papua karena persoalan kelahiran melibatkan proses yang sifatnya sangat pribadi. Pernyataan ini hampir pasti memperkuat alasan kasus persalinan yang ditolong oleh keluarga terus meningkat. Persoalan keterbatasan jumlah tenaga kesehatan juga merupakan persoalan rendahnya akses masyarakat, dalam hal ini ibu hamil, pada pertolongan tenaga kesahatan. Keterlambatan mencapai fasilitas kesehatan pada saat darurat sangat dipengaruhi oleh ketersediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas penunjangnya serta sarana transportasi seperti jalan. Kondisi geografis Papua Barat merupakan salah satu penghambat dalam pembangunan jalan sebagai sarana trasnportasi yang relatif murah. Sarana transportasi yang terbatas mempersulit akses terhadap fasilitas kesehatan terutama dalam keadaan darurat. Pada satu sisi data BPS (Papua Barat dalam Angka, 2012) menunjukan bahwa jumlah Rumah Sakit di Propinsi Papua Barat belum memadai baik dari sisi jumlah dan kualitasnya. Keadaan ini jauh dari cukup jika diasumsikan satu Puskesmas sedapat mungkin memiliki satu dokter tetap (jumlah dokter umum di Papua Barat pada tahun 2011 adalah sebanyak 172 orang). Persoalan fasilitas kesehatan di Papua Barat masih merupakan persoalan kritis. Jumlah rumah sakit pemerintah hanya 10 buah sampai dengan tahun 2012 dan sebarannya tidak di semua kabupaten. Rumah sakit swasta yang pada umumnya beorientasi pada keuntungan merupakan satu hal yang menjadi penyebab terbatasnya akses masyarakat umum, khususnya masyarakat miskin, pada fasilitas kesehatan ini. HIV merupakan persoalan serius Provinsi Papua Barat. Data Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa lebih banyak kasus HIV dilaporkan oleh perempuan yaitu 439 kasus, sementara oleh laki-laki sebanyak 431. Sedangkan kasus AIDS dilaporkan sebanyak 237 kasus perempuan dan 313 kasus laki-laki. Belum terdapat studi mendalam tentang kecenderungan ini, namun studi anekdotal menyebutkan bahwa tingkat kesadaran laki-laki untuk membuka kasus dan memeriksakan kasus kesehatan terkait HIV DAN AIDS masih rendah, disamping penanganan medis yang masih rendah dan tidak melanjutkan perawatan setelah kasus ditemukan. Persoalan gender atas HIV DAN AIDS juga termasuk aspek rendahnya kesadaran laki-laki untuk menggunakan kondom.
  • 15. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 xv PEMBANGUNAN BIDANG PENDIDIKAN Kemampuan baca tulis pada perempuan dan laki-laki terus mengalami peningkatan. Tetapi bila dipilah secara seks ada kesejangan gender antara perempuan dan laki-laki-laki. Laki-laki memiliki kemampuan baca tulis lebih tinggi 4,56 pada tahun 2010. Perempuan memiliki kemampuan baca tulis sebesar 7,94. Hal ini mengindikasikan bahwa lebih banyak perempuan buta huruf pada usia 15 tahun atau lebih. Bila dikaitkan angka buta huruf yang dipilah berdasarkan seks, Angka Buta Huruf perempuan di Papua Barat pada tahun 2009 adalah sebesar 9,87% dan laki-laki adalah sebesar 4,43%, (Statistik Gender Papua Barat, 2009). Berdasarkan kelompok umur (walaupun tidak dipilah berdasarkan seks), angka buta huruf lebih didominasi oleh kelompok umur 45 tahun sampai dengan 54 dan kelompok umur 55 tahun, sehingga diduga kelompok perempuan yang buta huruf tersebar pada kelompok umur tersebut dan pada kelompok masyarakat berkebutuhan khusus (cacat). Akses dan kontrol terhadap pendidikan bagi orang berkebutuhan khusus dan pendidikan informal untuk memberantas buta aksara hampir pasti belum menjadi prioritas pembangunan yang menyentuh kebutuhan mereka. Angka Putus Sekolah (APtS) tertinggi terjadi pada kisaran usia 16 – 18 tahun yakni sebesar 44,9% kemudian diikuti oleh usia 13 - 15 tahun sebesar 9,84% dan 3,14% pada kelompok umur 7 – 12 tahun. Bila dipilah berdasarkan seks (Papua Barat dalam Angka, 2011), APtS laki-laki sebagian besar terjadi pada kisaran umur 13 – 15 tahun yakni sebesar 6% dan APtS pada perempuan sebagian besar terjadi pada kisaran umur 16 – 18 tahun sebesar 3,23%. Terdapat beberapa kabupaten/ kota di Papua Barat yang memiliki APtS cukup tinggi dan ini menyumbang pada APtS secara agregat di tingkat Provinsi, terutama wilayah Kabupaten/Kota pemekaran baru sepertiTeluk Bintuni, Sorong Selatan danTambrauw. Data BPS (Papua Barat dalam Angka, 2012) menggambarkan bahwa APtS laki-laki tertinggi pada usia 16 – 18 tahun (Teluk Bintuni sebesar 15,57% dan Tambrauw sebesar 14,17%). Kabupaten Sorong Selatan memiliki APtS tertinggi terjadi pada perempuan di kelompok umur 16 – 18 tahun yakni sebesar 16% dan pada laki-laki sebesar 16,08%. Ada beberapa hal yang diduga berkontribusi terhadap peningkatan APtS di Papua Barat yang disumbang oleh masing-masing kabupaten/kota yakni biaya pendidikan yang semakin mahal, kemampuan ekonomi keluarga yang terbatas, kurangnya fasilitas pendidikan dan sumberdaya manusia (tenaga pengajar), terbatasnya akses terhadap fasilitas pendidikan dan kehamilan muda diusia sekolah serta rendahnya motivasi untuk bersekolah. Angka Partisipasi Sekolah (APS) mengalami penurunan pada setiap peningkatan jenjang pendidikan. Hal ini diduga disebabkan oleh kemampuan ekonomi yang tidak sebanding dengan biaya pendidikan yang semakin mahal. Walaupun ada upaya pengurangan bahkan pembebasan biaya sekolah tetapi biaya pendukung lainnya turut memengaruhi tingginya belanja pendidikan. Diduga hal ini erat terkait dengan angka inflasi dan daya beli masyarakat. Bila dipilah berdasarkan seks maka APS perempuan dan laki-laki relatif tidak berbeda jauh pada usia sekolah 13 – 15 tahun (laki-laki: 88,77; perempuan: 88,37), ada sedikit perbedaan pada usia 7 – 12 tahun (laki-laki: 94,4; perempuan: 92,3) dan 19 – 24 (laki-laki: 13,4; perempuan: 12,2). Sedangkan perbedaan yang jauh terjadi pada kisaran usia 16 – 18 tahun yakni laki-laki sebesar 61,8 dan perempuan sebesar 53,5 Rasio sekolah, guru dan murid di Papua Barat belum dapat disebut ideal. Data BPS tahun 2011 menggambarkan bahwa perbandingan sekolah, guru dan murid adalah 1:12:208 yang artinya dalam satu sekolah jumlah siswa sekitar 208 orang dan jumlah guru sebanyak 12 orang. Dengan kata lain dikatakan bahwa 1 guru mengajar 17 – 18 murid, rasio ini tidak terlalu buruk (idealnya 1:14) dibandingkan dengan negara lain misalnya rasio guru di Korea 1:30. Tetapi rasio ini dihitung dari kuantitas guru yang ada dalam data, oleh sebab itu perlu di kaji lebih jauh soal kualitasnya termasuk kehadiran guru. Hasil studi antar lembaga yang dilakukan oleh UNCEN, UNIPA, SMERU, BPS dan UNICEF di Papua dan Papua Barat tahun 2012 menggambarkan bahwa persentase guru yang tidak hadir di Papua Barat pada saat survei dilakukan adalah sebesar 26,3% lebih rendah dari Papua (37,1%). Jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia yakni sebesar 20% menurut SMERU (2009) dalam laporan hasil survei yang dilakukan oleh lima lembaga di atas, ketidakhadiran guru di Papua Barat masih lebih tinggi. Bila dipilah berdasarkan kategori geografis, ketidakhadiran guru di kedua propinsi ini lebih tinggi terjadi pada wilayah kabupaten yang berada di pegunungan dan wilayah distrik yang berada di pedalaman atau terisolir.
  • 16. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 xvi PEMBANGUNAN EKONOMI PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI PAPUA BARAT Aspek ketiga yang memengaruhi IPM dan IDG serta Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) adalah aspek ekonomi. Secara khusus, tingkat keterlibatan perempuan di parlemen, perempuan sebagai tenaga manager dan professional serta sumbangan perempuan dalam pendapatan kerja memberi sumbangan pada capaian IDG Papua Barat. Partisipasi perempuan di parlemen di seluruh Papua Barat adalah 15,91% pada tahun 2010. Dari 11 kabupaten/ kota di wilayah Provinsi Papua Barat, partisipasi perempuan di parlemen yang tertinggi terdapat di Kabupaten Sorong Selatan (20%), diikuti di Fak-fak (10%) dan Raja Ampat (10%) serta di Kota Sorong (13,33%). Sementara itu, untuk persentase perempuan sebagai tenaga manajer, professional, administrasi dan teknisi adalah 40,17% di seluruh Papua Barat. Persentase tersebut tertinggi di Tambrawu (61%), di Kota Sorong (49,29 %), sementara di Manokwari, Fak-fak dan Kaimana persentase perempuan mencapai sekitar 40%. Sementara itu, persentase perempuan sebagai tenaga manajer, profesional, administrasi dan teknisi yang terendah sebesar 22,82% terdapat di Kabupaten Teluk Wondana. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) laki-laki (84,14) lebih besar dibandingkan perempuan yakni 0,96. Demikian pula dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPTa) dan Tingkat Pengangguran Terdidik (TPTd) laki-laki di Papua Barat lebih tinggi daripada perempuan. Hal menarik adalah tingkat pengangguran terdidik perempuan lebih besar (17,69) dibanding laki- laki (8,44). Hal ini diduga disebabkan oleh lebih banyak perempuan memilih untuk menjadi ibu rumahtangga. Data BPS (Inkesra Papua Barat, 2010) menunjukkan bahwa sekitar 76.603 dari angkatan kerja di Papua Barat adalah pengurus rumahtangga. Hampir pasti mereka adalah perempuan karena dalam budaya dominan yakni tanggungjawab mengurus rumahtangga adalah tanggungjawab perempuan, sehingga sekalipun mereka merupakan kelompok terdidik mereka tetap memilih mengurus rumahtangga. Hal ini sesuai pula dengan konstruksi perempuan yang bias dalam budaya dominan. Bila dipilah berdasarkan wilayah perkotaan dan perdesaan.Tingkat PengangguranTerbuka (TPTa) lebih besar berada kota yakni 14,57 dan desa sebesar 4,77. Hal ini diduga disebabkan oleh besarnya migrasi masuk ke Papua Barat yang cukup signifikan. Tinggi arus migrasi masuk yang umumnya merupakan pencari kerja tidak diimbangi dengan peningkatan kesempatan kerja. Selanjutnya diduga pula bahwa ada migran dan atau pencari kerja di kota tidak memiliki kualifikasi tertentu yang dibutuhkan oleh sektor jasa dan industri yang lebih banyak berada di kota. Rendahnya pengangguran di desa disebabkan oleh sektor pertanian yang merupakan sektor utama yang ada di desa mampu menyerap tenaga kerja di desa sehingga pengangguran di desa lebih kecil. Sebagian besar atau sekitar 60,20% perempuan di Papua Barat terserap pada bidang pertanian dan hanya sekitar 39,80% yang terserap pada bidang lainnya yakni industri dan jasa. Demikian halnya dengan laki-laki yang terserap pada sektor pertanian yakni sebesar 54,69% dan hanya 45,31% yang terserap pada sektor lainnya. Sebagian besar (70,05%) laki-laki di Papua Barat terserap pada sektor formal dan sisanya bekerja di sektor informal. Perempuan yang terserap pada sektor formal adalah sebesar 36,52% dan sekitar 63,48% berada pada sektor informal. Sekitar 52,39% perempuan di Papua Barat bekerja sebagai pekerja tidak dibayar. Kondisi ini menyebabkan keterpurukan ekonomi perempuan dan perempuan bergantung secara ekonomi kepada pasangan atau suaminya. Tidak adanya Secara khusus, Otonomi Khusus Papua Barat memiliki aturan dalam bentuk UU yang melindungi masyarakat Papua Barat agar menghormatikesetaraanantara perempuandanlaki-laki. Pasal 27 UU Otsus Papua Barat menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban untuk memajukan, memberdayakan dan melindungi kaum perempuan agar dapat sejajar dengan kaum laki-laki sehingga ada kesetaraangender,padamasa penyusunannyasendiri. Pasal 42 mengatur bahwa pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat. Dalam hal Pendidikan, Pasal 56 mengatur bahwa setiap penduduk Provinsi Papua Barat berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sampai dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya. Di Bidang kesehatan, Pasal 59 mengatur bahwa setiap penduduk Papua Barat berhak memperoleh pelayanan kesehatan dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.
  • 17. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 xvii otonomi perempuan secara ekonomi berimplikasi terhadap pengambilan keputusan dalam keluarga, termasuk otonomi atas tubuhnya. Jam kerja yang dicurahkan oleh laki-laki lebih tinggi (74,09%) dibandingkan perempuan terutama pada waktu kerja lebih dari 35 jam selama seminggu, sedangkan perempuan pada waktu kerja antara 1 sampai 34 jam lebih didominasi oleh perempuan yakni sebesar 42,06%. Hal ini mengindikasikan bahwa pembagian kerja dalam keluarga untuk pekerjaan rumahtangga (reproduktif) yang timpang lebih didominasi oleh perempuan sehingga memberikan kesempatan kepada laki-laki untuk mencurahkan waktu kerja yang lebih panjang. Secara umum terdapat perbedaan rata-rata upah atau gaji antara perempuan laki-laki pada jenjang pendidikan terendah (SD) sampai jenjang pendidikan tertinggi (PT). Laki-laki memiliki tingkat upah atau gaji lebih besar dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan terbesar antara upah atau gaji laki-laki dan perempuan adalah pada jenjang pendidikan SD yakni (rata-rata upah atau gaji laki-laki adalah 110.000 dan perempuan 13.000). Perbedaan kecil rata-rata upah atau gaji terjadi pada pekerja yang menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi (PT). Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan merupakan intervensi untuk memberdayakan perempuan secara ekonomi. Pemerintah Indonesia menetapkan Otonomi Khusus (Otsus) berlaku pada tahun 2001 dengan diterbitkannya Undang- undang RI Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Barat yang disahkan pada tanggal 21 November 2001. Undang-Undang No. 35Tahun 2008 yang menggantikan Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 1Tahun 2008 tentang perubahan atas UU No. 21Tahun 2001. Undang-Undang ini menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Barat. Pada dasarnya perubahan ini tidak merubah substansi dari UU No. 21 Tahun 2001, sehingga semangat Otsus yakni melindungi masyarakat Papua Barat agar menghormati kesetaraan antara perempuan dan laki-laki tetap dipertahankan. Otonomi Khusus Papua Barat menjadi tonggak bagi perlindungan Orang Papua Barat Asli agar lebih maju, mandiri dan sejahtera untuk mengejar ketertinggalan dari saudara- saudaranya di daerah lain Indonesia. Banyak aturan dalam undang-undang Otsus yang diberikan bersifat proteksi terhadap Orang Asli Papua Barat yang mengarah kepada penguatan kemampuan untuk berkembang sendiri. OTSUS, POLITIK DAN PEREMPUAN PAPUA BARAT Lahirnya Otsus untuk Papua Barat juga dilengkapi dengan kehadiran Majelis Rakyat Papua Barat (MRP) yang mempunyai sejumlah tugas dan wewenang yang secara khusus bertujuan untuk melindungi, memihak dan memberdayakan Orang Asli Papua Barat sebagai bagian dari Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. MRP juga hendak memastikan bahwa tindakan dan bentuk kekerasan terhadap bangsa Papua Barat, termasuk kaum perempuan Papua Barat, akan hilang. Keanggotaan MRP memastikan sepertiganya diwakili oleh kelompok perempuan (1/3 oleh kelompok adat dan sisanya kelompok pemuda). Secara umum, implementasi Otsus di Provinsi Papua Barat melanjutkan apa yang telah dilakukan pemerintah Provinsi Papua sebelum massa pemekaran. Berbagai upaya telah dimulai oleh pemerintah dan beberapa program utama yaitu program kesehatan, progam pendidikan, program pemberdayaan ekonomi, dan program pembangunan infrastruktur mendapat perhatian khusus Otsus yang tertera dalam dokumen perencanaan pembangunan di Provinsi Papua Barat. Pertama, programkesehatandiarahkanuntukpeningkatanjangkauanataupemerataandanmutupelayanankesehatan, antara lain melalui program pemberantasan penyakit, pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, peningkatan sumberdaya manusia di bidang kesehatan baik medis dan para medis, pelayanan rumah sakit, penyediaan obat-obatan, perbaikan gizi dan penyehatan lingkungan. Kedua, program pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia sehingga mampu berperan secara aktif dalam proses pembangunan. Dalam era otonomi khusus, pendidikan harus memperhatikan keragaman kebutuhan atau keadaan daerah dengan menambah muatan lokal, peningkatan pemerataan dan peningkatan kualitas, mengembangkan pola dan sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik spesifik Provinsi Papua Barat seperti pendidikan berpola asrama, pemberian bantuan dan keringanan biaya pendidikan serta memberdayakan yayasan-yayasan pendidikan. Ketiga, program pemberdayaan ekonomi rakyat bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitas pembangunan khususnya dibidang ekonomi dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia agar mampu mengolah sumberdaya alam secara efisien dan berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Mendorong masyarakat pedesaan, usaha kecil, menengah dan koperasi untuk berkembang serta mampu mendorong berkembangnya ekonomi daerah dan mampu
  • 18. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 xviii menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Keempat, program pembangunan infrastruktur diarahkan untuk penyediaan infrastruktur strategis, termasuk prasarana dan sarana sosial ekonomi, yang mendukung peningkatan pelayanan publik terutama masyarakat lokal di wilayah terpencil atau pedalaman dalam rangka mempercepat kemajuan ekonomi perdesaan, memberi peluang berusaha, menciptakan lapangan kerja, memperlancar arus barang dan jasa serta menjamin tersedianya bahan pangan dan bahan lokal dengan harga terjangkau serta pemerataan pertumbuhan pendapatan masyarakat. Beberapa diskusi dan konsultasi yang telah dilakukan dengan berbagai pihak, khususnya kelompok perempuan Papua Barat, mengatakan bahwa Undang Undang Otsus menjamin pemberdayaan perempuan sebagai salah satu aspek utama pembangunan di Provinsi Papua Barat. Undang-Undang Otsus yang merupakan sebuah kompromi politik yang telah dinegosiasi antara beberapa orang di kalangan kaum intelektual Papua Barat dan Pemerintah NKRI belum mampu memberikan perlindungan bagi Perempuan Papua Barat maupun memenuhi rasa keadilan bagi perempuan Papua Barat yang masih mengalami berbagai bentuk kekerasan. Juga, berbagai organisasi perempuan dan media “Potret Buram Perempuan Papua Barat” (2012) mencatat bahwa upaya membawa rasa keadilan dan mewujudkan sebuah landasan yuridis formal ‘khas Papua Barat’dalam bentuk Perdasus masih menghadapi tantangan. KONFLIK DAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Perjuangan Perempuan Papua Barat dalam mewujudkan martabat dan hak- hak dasarnya, dihadapkan dengan berbagai tantangan. Tantangan tersebut antara lain, bentuk kebijakan pemerintah yang belum menjawab kebutuhan perempuan, keterbatasan perempuan dan relasinya dengan Masyarakat Adat Papua Barat. Berbagai peraturan yang dilahirkan untuk melindungi perempuan dari tindakan kekerasanpun belum mampu melindungi perempuan untuk berkiprah dengan rasa aman di ruang publik maupun di dalam rumahtangga mereka. Laporan Koordinator Tim Pengdokumentasian Kekerasan Terhadap Perempuan Papua Barat (1963–2009), Fien Yarangga dalam suatu diskusi pada penerbitancatatankekerasanterhadapperempuan“StopSudah”Kekerasandan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Terhadap Perempuan Papua Barat. Fien Yarangga juga mengatakan, proses penelitian dilakukan itu selama sembilan bulan. Target yang ingin dicapai dalam proses tersebut adalah Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Papua Barat dan Pelanggaran HAM berbasis jender yang dialami selama kurun waktu 1963–2009. Analisa ini dilakukan secara kritis dengan menggunakan perspektif jender dan HAM. Suami di dalam rumahtangga bagaikan ‘raja kecil” yang memiliki kuasa mengatur dan harus dilayani. Berbagai upaya telah dilaporkan oleh Gubernur selama masa Otsus atas adanya fokus pembangunan serta alokasi dana untuk masyarakat PAP Papua Barat sesuai dengan dokumen Perencanaan Jangka Menengah Daerah (RPJMD dan RENSTRA SKPD) maupun jangka pendek (RKPD dan RENJA SKPD). Pemerintah Provinsi Papua Barat telah mulai melakukan pembebasan biaya pendidikan, biaya kesehatan serta pemberdayaan ekonomi untuk masyarakat asli Papua Barat. Karena keterbatasan data maka Laporan ini hanya dapat menampilkan beberapa data terkait alokasi anggaran Otsus, namun sangat sedikit sekali menuliskan realisasi penggunaan anggarannya. Persoalan gender yang sistematis di Papua Barat perlu direspons dengan pendekatan yang sistematis, melalui Pengarusutamaan Gender di seluruh bidang pembangunan, yang dimulai dengan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender. Selanjutnya, suatu Rencana Aksi Pengarusutamaan Gender (RAD PUG) yang telah disusun perlu dikawal pelaksanaan dan pemantauannya agar efektif dengan didukung mekanisme- mekanisme akuntabilitas yang efektif. Beberapa aspek penting yang perlu dimasukkan dalam RAD PUG, antara lain Landasan Hukum PUG di tingkat Provinsi Papua Barat, Kerangka Kerja PUG (Pokja PUG dan Tim Teknis PUG) yang bekerja efektif memfasilitasi dan mengimplementasikan RAD PUG secara bersama sama.
  • 19. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 xix PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PEMBANGUNAN BERKEADILAN GENDER Persoalan gender di Papua Barat adalah persoalan ketidaksetaraan yang serius. Persoalan mencakup keharusan mengejar ketertingalan pada hampir semua target MDGs dan ketiga bidang yang melandasi Pembangunan Manusia – kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Kekerasan terhadap perempuan juga sangat serius, termasuk di dalamnya kekerasan di wilayah konflik, di pertambangan, ditempat bekerja (pasar), di area pekerjaan yang rentan pada eksploitasi dan di dalam rumahtangga. Secara khusus, persoalan kesehatan dan HIV dan AIDS adalah persoalan yang perlu tindak lanjut komprehensif. Kematian ibu dan kematian anak masih tertinggi di Indonesia dan memerlukan solusi yang cepat. Mengingat kompleksnya persoalan gender di hampir semua bidang, maka pemerintah harus mengadopsi Pengarusutamaan Gender sebagai strategi yang secara sistematis hendak menurunkan dan menggurangi kesenjangan gender yang ada di Papua Barat melalui pembangunan di berbagai bidang. Pada tahun 2000, Inpres No 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) digulirkan sebagai instruksi kepada semua lembaga pemerintah di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten untuk mengintegrasikan aspirasi, perspektif, prioritas maupun kebutuhan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki ke dalam seluruh siklus perencanaan pembangunan. Selanjutnya, Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan berbagai peraturan dan keputusan di tingkat menteri agar implementasi PUG dapat efektif. Beberapa landasan hukum yang menjadi dasar implementasi PUG di Indonesia telah diupayakan baik pada tingkat Undang Undang, Instruksi Presiden, Keputusan maupun Surat Edaran Menteri. Di tingkat Provinsi Papua Barat, upaya untuk memperkuat landasan hukum dalam PUG dan upaya untuk membangun prasyarat PUG baru dimulai. Namun sejalan dengan kebutuhan untuk merespon Kempendagri 67/2011 tentang Tata Laksana PUG di Daerah, Pemerintah Provinsi Papua Barat mulai melakukan beberapa upaya, antara lain menyusun Statistik Gender 2010 bersama Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB), BPS dan Universitas dalam hal ini Pusat Penelitian Pengembangan Perempuan dan Anak (P4A) Universitas Negeri Papua, disamping mulai mendiskusikan dan membangun mekanisme kerja PUG seperti Pokja PUG. Upaya-upaya di tingkat SKPD juga sudah dimulai dengan disusunnya dan dikembangkannya data terpilah gender dan terpilah berdasar jenis kelamin, khususnya terkait pembangunan manusia. Pemerintah Provinsi Papua Barat belum memiliki aturan hukum implementasi PUG, selain dari apa yang telah disusun oleh Pemerintah Pusat. Beberapa diskusi dengan staf dan pejabat BAPPEDA dan BP3AKB, selaku ketua dan sekretaris Pokja serta staf SKPD yang hadir dalam serangkaian lokakarya penyusunan Laporan Pembangunan Manusia dan RAD PUG, kebutuhan akan adanya penguatan kapasitas PUG merupakan suatu kebutuhan yang mendesak. Secara khusus, beberapa implementasi program dan kegiatan peningkatan kapasitas gender, termasuk di antaranya‘sosialisasi gender’, pelatihan analisis gender, pelatihan anggaran berbasis gender, pengenalan penggunaan indikator gender, telah diselenggarakan. Namun kebutuhan untuk mempercepat upaya perwujudan kesetaraan gender membutuhkan suatu Rencana Peningkatan Kapasitas PUG yang lebih sistematis dan terukur. Peraturan perundagan yang telah dibuat di Provinsi Papua Barat terkait PUG adalah telah dikeluarkannya Pertauran Gubernur Papua Barat Nomor 9 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan PUG di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua Barat, Keputusan Gubernur Papua Barat Nomor 260/172/08/2012 Tahun 2012 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender Provinsi Papua Barat dan Keputusan Gubernur Papua Barat Nomor 260/173/08/2012 Tahun 2012 tentang Pembentukan Focal Point Pengarusutamaan Gender Provinsi Papua Barat. PokjaPUGtelahdibentuknamunmasihmemerlukandukunganteknisuntukmemperkuatkapasitasnyasebagaifasilitator PUG yang efektif. Klarifikasi dan konfirmasi tentang peran Pokja PUG perlu dilakukan agar terjadi kejelasan peran untuk secara efektif menjalankan implementasi strategi PUG. Bappeda dan BP3AKB perlu mengkoordinasi dan memfasilitasi proses lanjutan kerja Pokja dalam memfasilitasi Rencana Aksi Daerah (RAD) Percepatan PUG di tingkat Provinsi (dan nantinya kabupaten/kota), agar RAD PUG yang saat ini telah disusun dapat dilakukan dengan efektif. Usulan pada pendekatan, kebijakan, program dan kegiatan yang ada di RAD PUG hendaknya diarahkan pada kebijakan, program dan kegiatan yang strategis yang membawa daya ungkit yang besar pada perubahan dan implementasi kebijakan, program dan kegiatan yang responsif pada kebutuhan mendasar masyarakat Papua Barat baik perempuan dan laki-laki, anak anak dan orang tua serta mereka yang berkebutuhan khusus. Rencana Aksi Daerah (RAD) Percepatan PUG difokuskan pada kegiatan ke dalam RAPBD, Renja dan RKA/KL yang :
  • 20. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 xx o Memengaruhi program utama di bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi dengan dana anggaran besar yang dampaknya akan besar bagi peningkatan kualitas hidup perempuan dan laki-laki Papua Barat; o Mengidentifikasi kegiatan yang secara praktis dan pada saat yang sama strategis dan sistematis dapat membuat perubahan yang mendasar bagi kualitas kehidupan masyarakat Papua baik perempuan dan laki-laki o Mengusulkan pengarusutamaan gender pada kebijakan, program dan kegiatan dengan menggunakan uraian sesuai dengan proses Perencanaan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) dengan menggunakan Gender Budget Statement(GBS).AdapunGBSperlumerumuskan(1)analisisgender/kesenjangangendersecarasingkat;(2)intervensi repsonsif gendernya; (3) memasukkan indikator input, output dan outcomes yang sensitif gender: (4) memastikan alokasi anggaran yang responsif pada pesoalan gender yang diidentifikasi dan mencapai indikator output dan perubahan yang telah tercantum ke dalam RKA/KL o Mendorong agar Bappeda selaku Ketua Pokja dan BP3AKB selaku Sekretaris Pokja dan Tim Teknis PUG memiliki kapasitas yang memadai untuk mampu memfasilitasi proses penyusunan RAD PUG, finalisasi RAD PUG, memberikan dukungan teknis agar SKPD mampu mengimplementasikan RAD PUG, memantau dan mengevaluasi RAD PUG mereka masing masing serta menghubungkannya dengan pelaporan dalam LAKIP masing masing. Di tingkat masyarakat, RESPEK telah memulai pembangunan pelayanan kesehatan dan pendidikan serta pemberdayaan ekonomi perempuan dan laki-laki melalui proses perencanaan partisipatoris. Proses perencanaan yang partisipatif perlu memastikandilakukandenganfasilitasiyangsensitifgenderagarkelompokperempuandapatbenarbenardiberdayakan. Perhatian yang seimbang pada keperluan adanya peran laki-laki dalam bidang ekonomi untuk menjawab pergeseran peran dalam pembangunan perlu dilakukan. Analisis distribusi pemanfaat masih perlu dilakukan agar perempuan dan laki-laki Papua Barat, anak anak, orang tua serta kelompok yang berkebutuhan khusus mendapat manfaat dari proses RESPEK. Sejalan dengan proses penyusunan Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2013, Pemerintah Provinsi Papua Barat juga sedang dalam proses menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) Percepatan Pengarusutamaan Gender (PUG) di Propinsi Papua Barat. Rencana Aksi Daerah PUG ini bertujuan untuk percepatan pencapaian MDG’s yang merespon kebutuhan khusus perempuan dan laki-laki Papua Barat, termasuk kelompok rentan (bayi, balita, remaja, perempuan, lansia dan orang cacat) khususnya bagi yang tinggal di daerah terpencil, terisolir dan perbatasan. √ Secara khusus, BP3AKB perlu meningkatkan kapasitasnya untuk mampu menjalankan peran sebagai katalis PUG. BPA perlu melakukan promosi Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) agar dapat memberi pengaruh dalam perubahan nilai dan praktek praktek yang masih bias gender agar dapat mewujudkan KKG di lembaga lembaga SKPD dan ornop serta mendorong lahirnya media untuk mendiseminasi perwujudan kesetaraan gender di masyarakat; √ BadanPemberdayaanPerempuanPerlindunganAnakdanKeluargaBerencana(BP3AKB)perlumembangunkerjasama dengan mitranya yaitu PSW Universitas di Jayapura dan juga organisasi perempuan dan organisasi masyarakat yang memiliki visi dan misi untuk mewujudkan kesetaraan gender dengan kongkrit di area peningkatan gizi, peningkatan akses pada air bersih, sanitasi dan kesehatan anak-anak; √ BAPPEDA perlu menerbitkan surat edaran keharusan untuk mengintegrasikan alat analisis gender ke dalam proses penyusunan RAPBD dan mengadvokasi agar kebijakan, program dan kegiatan yang diidentifikasi dalam RAD PUG dapat mulai diimplementasi dalam RAPBD/APBD 2012. BAPPEDA juga perlu mengadakan kegiatan peningkatan kapasitas di dalam Bappeda dan di antara anggota Pokja PUG dan Tim Teknis PUG agar implementasi PUG optimal dan efektif. √ BAPPEDA memfasilitasi dan melakukan koordinasi RAD PUG dengan kebijakan-kebijakan wilayah Papua Barat termasuk dalam rangka mendorong tercapainya Pembangunan Milenium (MDG), upaya Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (P4B) dan berbagai upaya lain, termasuk kebijakan di tingkat nasional dan juga implementasi berbagai konvensi yang relevan.
  • 21. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 xxi DAFTAR ISI KATA PENGANTAR GUBERNUR PAPUA BARAT v KATA PENGANTAR KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BAPPENAS vi KATA PENGANTAR PERWAKILAN UNDP vii RINGKASAN EKSEKUTIF xi 1.1. LATAR BELAKANG 23 1.2. TUJUAN PENULISAN 23 1.3. SISTEMATIKA PENULISAN 24 1.4. METODOLOGI DAN SUMBER DATA 24 2.1. PENDUDUK, JUMLAH, DAN PERTUMBUHAN 25 2.2. HILANGNYA PEREMPUAN PAPUA BARAT 26 3.1. KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT – SATU DARI TIGA PENDUDUK ADALAH MISKIN 31 3.2. PEMBANGUNAN MANUSIA PAPUA BARAT 34 3.3. KESENJANGAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN MANUSIA DI PAPUA BARAT 36 3.4. KETERSEDIAAN DATA 42 3.5. KESIMPULAN 43 4.1. KESEHATAN PEREMPUAN PAPUA BARAT, MORBIDITAS, DAN PENYEBAB KEMATIAN 45 4.1.1. Angka Harapan Hidup Perempuan 46 4.1.2. Angka Kematian Ibu (AKI) 47 4.1.3. Angka Kematian Bayi (AKB) 53 4.1.4. Status Gizi dan Ketahanan Pangan 55 4.2. KESEHATAN REPRODUKSI DAN HAK REPRODUKSI PEREMPUAN 58 4.3. HIV DAN AIDS 59 KESIMPULAN 5.1. KEAKSARAAN DAN GENDER 65 5.2. ANGKA MELEK HURUF 66 5.3. ANGKA PUTUS SEKOLAH (APTS) 66 5.4. ANGKA PARTISIPASI SEKOLAH (APS) 68 5.5. KUALITAS PENDIDIKAN DAN SUMBERDAYA MANUSIA PENDIDIKAN DAN ASPEK GENDER 70 5.5.1. Kualitas Pendidikan 70 5.5.2. Ketersediaan Sumberdaya Manusia Tenaga Pengajar: Ratio Guru, Sekolah dan Murid 71
  • 22. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 xxii 5.5.3. Kurikulum dan Bahan Ajar 72 5.6. KESIMPULAN 72 6.1. PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI PAPUA BARAT DAN PERAN EKONOMI 75 6.1.1. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Pengangguran 76 6.2. MAMA PAPUA BARAT – PELAKU EKONOMI TANPA STATISTIK, YANG TERLUPAKAN DAN SERING TERGUSUR 81 Pertanyaan dalam fasilitasi/pelatihan, untuk Mama Berkemampuan Sedang : 6.3. HUTAN PAPUA BARAT, LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN 82 6.4. KESIMPULAN : EKONOMI DAN GENDER 83 7.1. OTONOMI KHUSUS DAN PERSPEKTIF GENDER 85 7.2. OTONOMI PEREMPUAN, KONFLIK DAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 87 7.3. KEKERASAN BERBASIS GENDER 87 PENGARUSUTAMAAN GENDER DAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER 91 8.1. PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI STRATEGI PEMBANGUNAN 91 8.2. KAPASITAS SKPD DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN PUG 94 8.3. PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN YANG RESPONSIF GENDER 97 8.4. KESIMPULAN 98 9.1. KESIMPULAN 101 9.2. REKOMENDASI 101 9.3. IDENTIFIKASI AGEN PERUBAH 106 LAMPIRAN cvii Lampiran 1. Rangkuman Metode Penghitungan Indeks Pembangunan Manusia dan Aspek Gender cvii Lampiran 2. Tabel 2. HDI, GDI, GEM Provinsi Papua Barat Barat (2004-2007) cxiii Lampiran 3. Indeks Pembangunan Manusia Provinsi Papua Barat 2004 - 2010 cxv Lampiran 4. Indeks Pemberdayaan Gender Papua Barat cxv Lampiran 5. Angka Kesakitan menurut Jenis Kelamin di Papua Barat, 2010 cxvii Lampiran 6. Penduduk Papua Barat Menurut jenis Kelamin dan Rasio Seks cxviii Lampiran 7. Rangkuman Pertanyaan Sebagai Panduan Dalam Menyusun Kajian Kapasitas SKPD dalam PUG Provinsi Papua Barat cxix
  • 23. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 23 Bab 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Provinsi Papua Barat, awalnya bernama Provinsi Irian Jaya Barat, berdiri atas dasar Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Provinsi Irian Jaya Tengah, Kabupaten Mimika, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong. Walaupun berbagai kemajuan telah dicapai, Provinsi Papua Barat sebagai Provinsi terbaru di Indonesia merupakan salah satu dari wilayah yang memerlukan perhatian khusus dalam hal kemiskinan dengan proporsi penduduk miskin sebesar 31,92% pada tahun 2011 dan 28,20 % pada tahun 2012.11 Seperti juga penduduk perempuan di wilayah Papua, perempuan di Papua Barat secara khusus rentan pada persoalan kemiskinan serta memilikistandar kesehatan perempuan yang rendah. Walaupun perolehan data untuk variabel variabel utama kesehatan perempuan (misalnya Angka Kematian Ibu (AKI) yang dihitung dari kematian ibu per 100.000 kelahiran) sulit didapat karena persoalan jarangnya penduduk, variabel persentase kelahiran yang ditolong tenaga kesehatan di Provinsi Papua Barat masih memerlukan perbaikan. Walaupun mengalami perbaikan terus menerus, masih terdapat sekitar 33,7% kelahiran ditolong oleh dukun atau keluarga pada tahun 2011.22 Persoalan kekurangan gizi di antara perempuan juga masih tinggi. Indikator lain terkait pendidikan berkontribusi menunjukkan perbaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Angka Melek Huruf (AMH) Provinsi Papua Barat yang menunjukkan peningkatan dari tahun yaitu sebesar 90,15% pada tahun 2008 dan menjadi 93,19% pada tahun 2010 berkontribusi pada perbaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Namun demikian, masih terdapat kesenjangan gender pada indikator tersebut. Pada tahun 2010, AMH perempuan adalah sebesar 90,83% sementara untuk laki-laki adalah 93,19 %. Kemajuan dari ketiga indikator dibutuhkan ketika kesenjangan gender pada indikator lain dalam MDGs hendak diwujudkan. Indikator kontrol dalam pengambilan keputusan di dalam rumahtangga dan di arena publik merupakan indikator yang sangat penting untuk mencapai kesetaraan gender yang secara bersamaan akan memperbaiki kemampuan perempuan berkiprah dalam arena penyusunan kebijakan publik. 1.2. TUJUAN PENULISAN Laporan Pembangunan Manusia dan Kesetaraan Gender Provinsi Papua Barat ini disusun untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan masyarakat Papua Barat, khususnya dari perspektif gender. Laporan ini dapat dipergunakan sebagai referensi dalam rangka proses perencanaan dan penyusunan kebijakan, program dan kegiatan sehingga masyarakatProvinsiPapuaBaratmampumeningkatkanpencapaianpembangunanmanusianyadanmampumengurangi kesenjangan pencapaian antara perempuan dan laki-laki di berbagai bidang yang di representasikan dengan Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Selain itu, Laporan ini akan menelusuri faktor- faktor yang memiliki kaitan terhadap pencapaian IPG maupun IDG melalui komponen pembentuk IPG dan IDG. Walau terbatas, perhatian juga akan diberikan pada beberapa aspek lebih luas yang menyentuh kehidupan perempuan Papua Barat, termasuk aspek yang menjadi perhatian dari berbagai Konvensi Perempuan antara lain CEDAW, Dua Belas (12) Aspek Kritis Beijing dan juga Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs). 1 Pofil Kemiskinan di provinsi Papua Barat Maret 2013, Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Papua Barat No. 29/ 07/91/Th. V, 2 Juli 2012). 2 Laporan MDGs Papua Barat 2011.
  • 24. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 24 1.3. SISTEMATIKA PENULISAN Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat ini terdiri dari 9 (sembilan) bab. Bab pertama adalah Bab Pendahuluan yang menjelaskan Latar Belakang, Tujuan Penulisan dan Sistematika Penulisan serta Metodologi dan Sumber Data. Bab kedua memberi perhatian pada aspek Kependudukan dan Demografi Papua Barat dari kacamata gender. Bab Ketiga mendiskusikan Pembangunan Manusia dan Kemiskinan dari perspektif gender. Bab Keempat menjelaskan Pencapaian Pembangunan Manusia di bidang Kesehatan dalam konteks kesetaraan gender. Bab Kelima mendiskusikan Pendidikan dan Gender. Bab Keenam mengurai Ekonomi dan Gender. Bab Ketujuh Mendiskusikan Perempuan dan Pengambilan Keputusan. Bab Kedelapan mendiskusikan Otonomi Khusus, Otonomi Perempuan. Bab Kesembilan mendiskusikan Pengarusutamaan Gender Sebagai Strategi Pembangunan di Provinsi Papua Barat. Bab Sepuluh menutup Laporan ini dengan Kesimpulan dan Rekomendasi yang diikuti Rekomendasi Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) Pengarusutamaan Gender (PUG) Provinsi Papua Barat. 1.4. METODOLOGI DAN SUMBER DATA Laporan ini disusun melalui beberapa metode, baik melalui kajian literatur dan serangkaian konsultasi dalam bentuk lokakarya maupun wawancara. Berbagai literatur dari laporan-laporan terkait pembangunan manusia dan aspek gender yang disusun berbagai lembaga dan individu di provinsi Papua Barat menjadi acuan yang kemudian dikonsultasikan dengan narasumber, baik dari kalangan pemerintah, universitas, organisasi non pemerintah maupun individu-individu yang memahami persoalan masyarakat, khususnya dalam konteks kesetaraan gender di wilayah ini. Sumber data utama yang digunakan, khususnya dalam penghitungan IPG dan IDG, adalah data dan informasi yang dikumpulkan, dikelola dan disusun oleh Badan Pusat Statistik Nasional di Jakarta maupun di Provinsi Papua Barat. Data-data tersebut berasal dari data dan informasi terkait IPG dan IDG yang disusun dari data Proyeksi Penduduk dan data hasil Sensus Penduduk 2010, data Susenas dan data Sakernas serta data lain terkait perkembangan ekonomi dan sosial lain di Provinsi Papua Barat. Laporan juga memanfaatkan data-data dan informasi yang telah dikumpulkan dalam rangka penyusunan Laporan MDG Provinsi Papua Barat, di samping data dan informasi yang diterbitkan secara khusus oleh lembaga pemerintah (Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan) dan data Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Respek. Mengingat terbatasnya ketersediaan data terpilah berdasar gender dan jenis kelamin di Provinsi Papua Barat, maka Laporan juga memanfaatkan data dan informasi yang telah disusun oleh berbagai lembaga termasuk lembaga donor, universitas, organisasi pemerintah serta individu yang terkait gender di Provinsi Papua Barat.
  • 25. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 25 2.1. PENDUDUK, JUMLAH, DAN PERTUMBUHAN Sensus Penduduk 2010 mencatat bahwa jumlah penduduk Provinsi Papua Barat pada tahun 2010 adalah 760.422 jiwa yang terdiri dari 402.398 penduduk laki-laki dan 358.024 penduduk perempuan. Selama 10 tahun sejak tahun 2000 sampai 2010, laju pertumbuhan penduduk adalah 3,71 persen per tahun3 . Meski bukan merupakan pertumbuhan penduduk yang tertinggi di Indonesia, namun pertumbuhan penduduk Papua Barat yang mencapai sebesar 3,71 persen merupakan yang terbesar ke 4. Pertumbuhan penduduk relatif cepat terjadi antara tahun 1990-2000 (ketika Papua Barat masih bagian dari Provinsi Irian Jaya) dan tahun 2000-2005. Pertumbuhan penduduk mulai mengalami kecenderungan melambat setelah tahun 2000. Sementara itu, sebaran penduduk tidaklah merata di wilayah seluas 97.024,37 km2 ini. Hampir separuh penduduk Papua Barat berdomisili di Kota Sorong dan Kabupaten Manokwari dengan kepadatan penduduk tertinggi (640 jiwa per km2 ) di Papua Barat di Kota Sorong, sementara kepadatan terendah (7-8 jiwa per km2) terdapat di Kabupaten Tambrauw. Perbandingan penduduk usia produktif, 15 – 64 tahun dengan penduduk usia tidak produktif (kurang dari 15 tahun dan lebih dari 64 tahun) atau rasio ketergantungan ‘dependency ratio’ adalah 77,5 di tahun 1990 (ketika Papua Barat merupakan bagian dari Provinsi Jayapura) menurun menjadi 58,6 di tahun 2000 dan menjad 55,8 di tahun 2010. Jika dilihat dari kepadatan penduduknya, Papua Barat adalah provinsi dengan kepadatan terendah di Indonesia. Kepadatan penduduknya hanya 8 jiwa/Km2 . Kepadatan penduduk tertinggi di Papua Barat berada di Kota Sorong sebesar 290 jiwa/Km2 sementara kepadatan penduduk terendah adalah Kabupaten Tambrauw yaitu 1 jiwa/Km2 . Selanjutnya di catat bahwa beban tanggungan perempuan lebih besar daripada laki-laki yang terlihat dari rasionya yaitu 54,21% untuk laki-laki dan 57,46% untuk perempuan di tahun 2010. Dalam konteks gender, angka ketergantungan berdasar jenis kelamin tersebut belum menggambarkan situasi yang sebenarnya. Walaupun menurunnya rasio ketergantungan merupakan indikasi positif bagi wilayah Papua Barat untuk membangun karena beban tanggungan per kepala dari anggota keluarga produktif berkurang, namun dengan pola pembagian kerja yang menunjukkan bahwa perempuan adalah pelaku ekonomi utama dan juga menjalankan hampir semua peran domestik maka rasio tersebut tidak terlalu membantu memberi informasi yang spesifik bagi pengambil keputusan. Selanjutnya di catat bahwa beban tanggungan perempuan lebih besar daripada laki-laki yang terlihat dari rasionya yaitu 54,21% untuk laki-laki dan 57,46% untuk perempuan di tahun 2010. Dalam konteks gender, angka ketergantungan berdasar jenis kelamin tersebut belum menggambarkan situasi yang sebenarnya. Walaupun menurunnya rasio ketergantungan merupakan indikasi positif bagi wilayah Papua Barat untuk membangun karena beban tanggungan per kepala dari anggota keluarga produktif berkurang, namun dengan pola pembagian kerja yang menunjukkan bahwa perempuan adalah pelaku ekonomi utama dan juga menjalankan hampir semua peran domestik maka rasio tersebut tidak terlalu membantu memberi informasi yang spesifik bagi pengambil keputusan. 3 Indikator Kesejahteraan Rakyat 2010, BPS mencatat bahwa pada periode 1971 – 1980, 1980, 1980-1990, 1990-2000, dan 2000-2010, pertumbuhan penduduk di Papua barat adalah sebesar 2,78 persen; 2,38 persen; 3,98 persen dan 3,71 persen. Manokwari dan Langit Biru (Foto: Leya Cattleya) Bab 2 PENDUDUK, DEMOGRAFI DAN GENDER
  • 26. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 26 Tabel 2. Struktur Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Rasio Ketergantungan di Provinsi Papua Barat, 2005 – 2010. Sumber: BPS (2007), Proyeksi Penduduk Indonesia Per Provinsi Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Konsultasi dengan beberapa nara sumber, termasuk dengan pengajar dari Universitas Cendrawasih Jayapura menyebutkan bahwa dalam konteks masyarakat Papua pengertian keluarga inti “nuclear family” terdiri dari ayah, ibu, anak-anak, menantu, cucu dan orang tua kedua belah pihak suami istri. Pengertian tersebut memberi arti penting akan adanya rasa kebersamaan yang kuat di antara masyarakat asli Papua, khususnya mereka yang bertempat tinggal di bagian pegunungan dan sebagian wilayah pesisir. Bila salah satu anggota keluarga membeli makanan (sayur atau ikan atau daging), maka makanan tersebut akan diolah bersama-sama dan akan dimakan bersama-sama oleh seluruh anggota keluarga. Sudah menjadi tradisi bahwa makanan akan diutamakan untuk anggota keluarga laki-laki sehingga seringkali kaum perempuan tidak mendapat pembagian makanan4 . Kepemilikan aset, baik tanah maupun rumah, merupakan kepemilikan bersama. Pengambilan keputusan akan aset bersama tersebut pada umumnya ditentukan dalam pertemuan adat yang pada umumnya ditentukan oleh mayoritas suara anggota keluarga laki-laki. 2.2. HILANGNYA PEREMPUAN PAPUA BARAT Sensus Penduduk 2010 mencatat jumlah penduduk Provinsi Papua Barat berjumlah 760.422 terdiri dari 402.398 penduduk laki-laki dan 358.024 penduduk perempuan. Rasio jenis kelamin penduduk di Papua Barat Barat tidak membaik. Rasio jenis kelamin Papua Barat adalah sebesar 112,39% yang artinya diantara 100 orang penduduk perempuan terdapat 112 orang laki-laki. Rasio jenis kelamin Papua Barat adalah yang tertinggi kedua di Indonesia setelah Gambar 2.2. Rasio Jenis Kelamin Penduduk Provinsi Papua Barat, 2007 - 2010 Sumber : Data Kependudukan yang diterbitkan BPS Provinsi Papua Barat, yang diolah 4 Pernyataan ini bersumber dari pandagan antropolog yang masih menganut paham romantisme yang tidak mempertimbangkan bahwa telah terjadi perubahan dalam kebudayaan dan masyarakat Papua termasuk dalam kehidupan keluarga. Selain itu pula pernyataan ini tidak dapat digeneralisasi untuk semua suku di tanah Papua (Papua dan Papua Barat) dan selain itu pula terdapat banyak suku di Papua. Tahun 0-14 15-64 65 + Rasio Ketergantungan (1) (2) (3) (4) (5) 2005 33,33 65,31 1,35 53,11 2006 32,73 65,76 1,51 52,07 2007 32,00 66,49 1,51 52,07 2008 31,53 67,03 1,44 49,19 2009 31,08 67,39 1,53 48,40 2010* 34,16 64,20 1,65 55,77 110,35 110,44 110,20 112,39 109,00 109,50 110,00 110,50 111,00 111,50 112,00 112,50 113,00 2007 2008 2009 2010
  • 27. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 27 Provinsi Papua yaitu 113,4 di tahun 20105 . Seperti juga persoalan rasio jenis kelamin penduduk di Provinsi Papua, hal ini merupakan sesuatu yang perlu mendapat perhatian. Walaupun jumlah penduduk perempuan Papua Barat tidak berkurang secara absolut, namun rasio yang tidak seimbang dan makin memburuk dari tahun ke tahun dan terjadi pada semua kelompok umur dan terjadi di semua kabupaten ini mempunyai implikasi dari kacamata antropologi dan gender. Rasio jenis kelamin penduduk dengan lebih banyak penduduk laki-laki daripada perempuan ini paling menyolok terlihat di wilayah Teluk Bintuni, Kota Sorong dan Kabupaten Sorong Selatan dengan rasio jenis kelamin berturut turut 120 di tahun 1990 (ketika Papua Barat masih menjadi bagian dari Provinsi Irian Jaya), 112 di tahun 2000 dan 112 di tahun 2010. Wilayah Teluk Bintuni tercatat memiliki rasio jenis kelamin penduduk yang paling tidak seimbang yaitu 125 di tahun 2010. Artinya, diantara 100 penduduk laki-laki hanya terdapat sekitar 80 perempuan saja. Kabupaten yang juga perlu mendapat perhatian serius dalam hal rasio jenis kelamin adalahTelukWondama yaitu dengan rasio 116 dimana di antara 100 orang laki-laki terdapat sekitar 86 perempuan. Tabel 2.2.1. Jumlah Penduduk Dan Rasio Perempuan Dan Laki-Laki Menurut Kelompok Umur, Provinsi Papua Barat Barat, 2010 Kabupaten/Kota Laki-laki Perempuan Jumlah Rasio Seks Fakfak 35,409 31,419 66,828 112.70 Kaimana 24,743 21,506 46,249 115.05 Teluk Wondama 14,171 12,150 26,321 116.63 Teluk Bintuni 29,078 23,344 52,422 124.56 Manokwari 98,940 88,786 187,726 110.22 Sorong Selatan 19,871 18,029 37,900 #REF! Sorong 37,502 33,117 70,619 113.24 Raja Ampat 22,653 19,854 42,507 114.10 Tambrauw 3,227 2,917 6,144 110.63 Maybrat 16,884 16,197 33,081 104.24 Kota Sorong 99,920 90,705 190,625 110.16 Prov. Papua Barat 2010 402,398 358,024 760,422 112.39 2009 389,980 353,880 743,860 110.20 2008 383,084 346,878 729,962 110.44 2007 379,277 343,704 722,981 110.35 Sumber : BPS yang diolah, 2012 Sementara itu, bila dilihat dari rasio jenis kelamin pada kelompok usia penduduk Papua Barat maka akan nampak bahwa kesenjangan terjadi di semua kelompok umur, sejak 0 sampai usia di atas 75 tahun dan menunjukkan adanya kecenderungan rasio jenis kelamin yang makin tidak seimbang pada usia makin lanjut. Ketimpangan rasio jenis kelamin ini terjadi di perkotaan maupun perdesaan dan di antara masyarakat asli Papua dan masyarakat non Papua. Studi “Kemiskinan dan Gender” yang dilakukan oleh UNICEF dan AusAID di tahun 2007 mencatat realitas lapangan tentang adanya ketidakseimbangan rasio jenis kelamin yang terjadi di perkampungan (di kalangan masyarakat asli Papua) yang ‘menekan’ atau menambah beban kerja perempuan mengingat tugas domestik hampir semuanya dilakukan oleh perempuan. 5 Bila dilihat dari angka tahunan, rasio ketergantungan di Provinsi Papua Barat menunjukkan fluktuasi. Pada tahun 2005, rasio ketergantungan adalah 53,11, sementara itu meningkat menjadi 52,07 pada tahun 2006. Rasio ketergantungan turun menjadi 50,39 pada tahun 2007 dan terus turun menjadi 49,19 pada tahun 2008 . Pada tahun 2009, rasio ini turun menjadi 48, 40 pada tahun 2009, namun meningkat secara cepat menjadi 55,77 di tahun 2010.
  • 28. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 28 Tabel 2.2.2. Komposisi Penduduk Berdasar Kelompok Umur, Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin, Provinsi Papua Barat, 2010. Kelompok Umur Laki laki Perempuan Jumlah Rasio jenis kelamin 0 - 4 48329 45380 93709 106,50 5 - 9 45621 42607 88228 107,07 10 - 14 40564 37070 77634 109,43 15 - 19 36398 33768 70166 107,79 20 - 24 40056 36198 76254 110,66 25 - 29 42360 37980 80340 111,53 30 - 34 37014 32069 69083 115,42 35 - 39 29731 25426 55157 116,93 40 - 44 25555 21450 47005 119,14 45 - 49 19216 16168 35384 118,85 50 - 54 14369 11871 26240 121,04 55 - 59 10116 7587 17703 133,33 60 – 64 6135 4855 10990 126,36 65 - 69 3588 2719 6307 131,96 70 - 74 1823 1511 3334 120,65 75 + 1523 1365 2888 111,58 Papua Barat Barat 2010 402.398 358.024 760.422 112,39 Sumber : Data BPS Provinsi Papua Barat Barat (2012) yang diolah. Beberapa penyebab persoalan ketimpangan rasio jenis kelamin penduduk Papua Barat diperkirakan mendapat kontribusi dari masih relatif tingginya angka kematian ibu kala hamil dan melahirkan, di samping adanya bias gender yang berbasis budaya yang mendahulukan keberlangsungan hidup anak laki-laki dibanding anak perempuan berupa pengabaian dalam perawatan. Selain itu, persoalan teknis seperti tantangan proses pengumpulan data dan akurasi data juga merupakan persoalan. Namun demikian, temuan lapangan di beberapa studi, termasuk suatu studi yang dilakukan oleh UNICEF (2008), menunjukkan bahwa data di lapangan menunjukkan bahwa ketimpangan rasio jenis kelamin ini adalah signifikan. Persoalan jumlah dan persentase pernikahan usia dini di Papua Barat merupakan isu kritis. Pernikahan dini sangat merugikan kelompok perempuan yang menyebabkan makin hilangnya kesempatan kelompok perempuan ini untuk mengecap pendidikan lebih tinggi, selain juga meningkatkan kerentanan kesehatan perempuan selama hamil dan melahirkan yang berkontribusi pada meningkatnya kasus kematian ibu hamil dan melahirkan di Papua Barat. Angka Fertilitas Total (Total Fertility Rates) hasil Sensus Penduduk 2010 untuk Provinsi Papua Barat adalah 3,7 per 1.000 perempuan usia reproduktif6 . Angka fertilitas ini tertinggi di Indonesia dan mendapat kontribusi dari the unmet family planning needs atau kebutuhan keluarga berencana (KB) yang tidak dapat dipenuhi dari penggunaan alat kontrasepsi yang tinggi pada tahun 2012 yaitu 20,6 % dengan 10,6% untuk alasan menjarangkan kelahiran dan 10,0% untuk alasan membatasi kelahiran. Kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dari penggunaan alat kontrasepsi ini sering disebabkan karena beberapa hal, antara lain persoalan relatif tingginya perkawinan di usia dini atau remaja. Persentase perempuan yang menikah pertama pada usia kurang dari 16 tahun di Provinsi Papua Barat adalah 6,09 % di tahun 2007, 6,73% di tahun 2008, 8,02% di tahun 2009 dan 7,85% di tahun 2010. The Unmet Family Planning Needs untuk tujuan menjarangkan kelahiran di Papua Barat adalah 12,2% sementara untuk membatasi kelahiran adalah 4,3%. Hal ini mengindikasikan bahwa kebutuhan untuk pelayanan KB di provinsi Papua Barat adalah tinggi. Pemahaman perempuan yang menikah akan persoalan kesehatan reproduksi menjadi sangat penting, apalagi bila dilihat bahwa persentase perempuan yang menikah pertama pada usia di bawah 16 tahun adalah tinggi. 6 Departemen Kesehatan, BPS, BKKBN, Laporan Pendahuluan SDKI 2012
  • 29. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 29 Gambar 2.2.2. Persentase Perempuan Menurut Umur Perkawinan Pertama Kurang dari 16 Tahun di Provinsi Papua Barat 2007 – 2010. Sumber : BPS, Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat 2010 Demikian juga bila kita melihat data SDKI 2007 tentang persentase perempuan berusia antara 15-19 tahun yang pernah memiliki seorang anak yaitu 10,9%. Angka ini jauh lebih tinggi dari angka nasional yaitu 6,6% dan persentase perempuan yang pernah hamil anak pertama mereka, yaitu di angka 2,3% juga lebih tinggi dari angka nasional 1,9%. Hal ini dapat dianalisis bahwa persoalan kehamilan dan persalinan di usia yang muda merupakan persoalan serius7 . Selanjutnya, data SDKI 2007 juga menunjukkan bahwa persentase perempuan yang mulai menjalankan peran ibu yang merawat anak bayinya sebanyak 13,2% yang jauh lebih tinggi dari angka nasional 8,5%. ‘The Unmet Needs’ yang tinggi tidak selalu dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pemahaman masyarakat, khususnya perempuan, akan pentingnya alat kontrasepsi. Persentase masyarakat di Provinsi Papua Barat yang memiliki pemahaman akan alat kontrasepsi modern mencapai 92,70% sementara untuk alat kontrasepsi tradisional adalah 43,6% yang menunjukkan tingkat pemahaman yang tinggi dan sama dengan tingkat pemahaman pada tingkat nasional. Alat kontrasepsi yang paling dikenal adalah suntik atau injeksi yaitu sebesar 54,8%. Sementara itu, alat kontrasepsi darurat paling sedikit dipahami yaitu sebesar hanya 7,9% 8 . Dalam hal alat atau metode kontrasepsi tradisional, pantang berkala adalah metode yang paling dikenal yaitu mencapai 37% 9 . Sementara itu, cakupan alat kontrasepsi modern di Papua Barat adalah 39,6% pada tahun 2007 dan 42,5% di tahun 2012. Angka ini jauh di bawah cakupan pada tingkat nasional yaitu 57,4 di tahun 2007 dan 61,9% di tahun 2012 10 . Data yang diperoleh dari SDKI 2012 menunjukkan bahwa terdapat 47,8% kebutuhan ber KB yang dipenuhi, di antaranya 42,0 % dengan alat KB modern dan sisanya sebesar 5,8% dengan alat/metode KB lainnya. Persoalan kesehatan reproduksi perempuan yang perlu mendapat perhatian juga persoalan HIV dan AIDS. Dari SDKI 2012 menunjukkan bahwa persentase perempuan umur 15-49 tahun yang pernah mendengar tentang HIV dan AIDS adalah 52,2% sementara laki-laki adalah 81,1%. Sementara itu, responden SDKI 2012 yang mengatakan bahwa resiko penularan HIV dan AIDS dapat dikurangi dengan menggunakan kondom adalah sebesar 39,4% dan mengatakan bahwa berhubungan seksual dengan pasangan yang sama adalah 54,8%, sementara yang mengatakan mengurangi resiko HIV dan AIDS baik dengan menggunakan kondom dan berhubungan seksual hanya dengan pasangan yang sama sebesar 31,9%. 7 USAID, BPS, BKKBN, Kementrian Kesehatan, Indonesia Demographic and Health Survey 2007 (IDHAS atau SDKI 2007), 2008. 8 UNFPA, UNICEF, AusAID, BKKBN “ Analisa Situasi Keluarga Berencana di Papua dan Papua Barat” (Studi Kasus di Kabupaen Jayapura, Jayawijaya, Manokwari, dan Sorong). Halaman 8. 9 UNFPA, UNICEF, AusAID, BKKBN, ibid. 10 Hasil Analisis SDKI 2007 yang dilaporkan dalam Laporan UNFPA, UNICEF, AusAID, BKKBN dan Analisis SDKI 2012 daro Laporan Pendahuluan Survei Demografi dan kesehatan 2012. 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 2007 6.09 6.73 8.02 7.85 2008 2009 2010
  • 30. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 30 Gambar 2.2.3. Persentase Cakupan Kontrasepsi di Papua Barat dibandingkan dengan di Tingkat Nasional, SDKI 2007 dan SDKI 2012. Sumber: UNFPA, UNICEF, AusAID, BKKBN “Analisa Situasi Keluarga Berencana di Papua dan Papua Barat” (Studi Kasus di Kabupaten Jayapura, Jayawijaya, Manokwari, dan Sorong) dan Laporan Pendahuluan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 yang diolah.
  • 31. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 31 Bab 3 KEMISKINAN, PEMBANGUNAN MANUSIA DAN KESENJANGAN GENDER Bab 3 KEMISKINAN, PEMBANGUNAN MANUSIA DAN KESENJANGAN GENDER 3.1. KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT – SATU DARI TIGA PENDUDUK ADALAH MISKIN Selama ini perkembangan pembangunan suatu masyarakat sering diukur secara ekonomis, yaitu dari makin menurunnya tingkat kemiskinan yang berbasis pendapatan dan konsumsi di masyarakatnya. Secara ekonomis, upaya penurunan kemiskinan diukur dari turunnya penduduk miskin. Pada tujuan Millenium Development Goals yang pertama, penanggulangan kemiskinan dan kelaparan merupakan hal yang pertama diperjuangkan untuk dilakukan setiap negara dengan target utama untuk menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk dengan tingkat pendapatan kurang dari USD 1.00 (PPP) per hari dalam kurun waktu 1990-2015 11 . KemiskinanjugamenjadiisupentingpembangunandiProvinsiPapuaBarat.Meskipunkecenderunganjumlahpenduduk miskin telah menunjukkan penurunan sejak tahun 2006, namun tingkat kemiskinan di provinsi ini hingga saat ini masih tergolong tinggi. Pemerintah Indonesia menargetkan penurunan persentase penduduk miskin di Provinsi Papua Barat pada akhir tahun 2014 menjadi sebesar 19,94-18,78% (RPJMN 2010–2014). Mengacu pada persentase penduduk miskin tahun 2006 yaitu sebesar 41,34% dan capaian upaya penurunan persentase penduduk miskin tahun 2012 menjadi sebesar 28,20%, maka dapat diperkirakan bahwa pemerintah Provinsi Papua Barat masih harus bekerja ekstra keras untuk bisa mencapai target nasional tersebut. Mengacupadadatatahun2006,persentasependudukyanghidupdibawahgariskemiskinandiProvinsiPapuaBaratpada tahun 2010 adalah 41,34%. Selama masa 6 tahun, Pemerintah Provinsi Papua Barat telah berhasil menurunkan angka kemiskinan sebesar kurang lebih 13% menjadi di angka 28,2% pada tahun 2012 12 . Walaupun terjadi kecenderungan jumlah penduduk miskin yang menurun sejak 2006, namun tingkat kemiskinan di provinsi ini masih tinggi 13 . Satu dari tiga penduduk Papua Barat adalah miskin. Secara absolut, jumlah penduduk miskin pada Maret 2011 adalah sebanyak 249.840 jiwa, suatu jumlah yang sangat besar dalam konteks Provinsi Papua Barat yang berpenduduk kurang dari 800.000 jiwa pada tahun 2010. Kondisi geografis Papua Barat yang sulit akan membutuhkan upaya serius dan berkelanjutan serta alokasi investasi yang memadai untuk menanggulangi kemiskinan. Persoalan kemiskinan di Provinsi Papua Barat berdimensi perdesaan (enam kali lebih tinggi dari tingkat kemiskinan di perkotaan, dengan hambatan keterbatasan infrastruktur dan terbatasnya lapangan kerja sebagai dua penyebab utama 14 . 11 Seperti di wilayah Indonesia yang lain, pengukuran perkembangan pembangunan masyarakat Papua seringkali dilakukan melalui ukuran ukuran ekonomi, baik ukuran tingkatpendapatanmaupuntingkatkonsumsinya.Sejak1998,pengukuranstandardkemiskinandikembangkandenganpengukuranlebihbanyakkomoditi.Daripengukuran ekonomi tersebut, selanjutnya dikenal ukuran ‘garis kemiskinan’ yang diukur dari perhitungan BPS dengan menggunakan data SUSENAS yang mengukur tingkat kemiskinan dengan ‘Head Count Index’ (HCI). Untuk Papua Barat, tingkat kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, baik untuk pangan (ekuivalen dengan konsumsi senilai 2.100 kalori untuk kelompok penduduk dengan pola konsumsi tertentu) dan untuk non-pangan. Perhitungan jumlah asupan kalori ini dianggap kurang relevan dengan perhitungan asupan konsumsi di wilayah Papua karena konsumsi masyarakat Papua di perkampungan lebih pada konsumsi sagu dan singkong, dan bukan asupan konsumsi beras. 12 BPS, Susenas 2006, 2012 13 Laporan MDGs Papua Barat 2012 mencatat data BPS bahwa persentase penduduk miskin pada Maret 2012 mencapai 28,20 persen dengan indeks kedalaman kemiskinan sebesar 7,23 persen. Tingkat kemiskinan ini merupakan tingkat kemiskina yang menduduki peringkat dua teratas dari seluruh provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. 14 Publikasi BPS mencatat perbedaan tingkat kemiskinan antara Provinsi Papua Barat dengan Indonesia antara tahun 1999 sampai 2010 yaitu rata-rata sekitar 23.85% per tahun. Rata-ratatingkatkemiskinandiProvinsiPapuaBaratlebihtinggi23.85%dibandingkanIndonesia.UntukIndonesiatingkatkemiskinancenderungmengalamipenurunanterus menerus setiap tahun dengan rata-rata sekitar 0.91%. Penurunan tingkat kemiskinan di Provinsi Papua Barat lebih cepat yaitu sekitar 1.90% per tahun. Namun demikian di tahun 2005, 2006 dan 2009 tingkat kemiskinan di Papua Barat mengalami kenaikan, masing-masing sebesar 2,41%, 0,69% dan 0,45%. Meningkatnya kemiskinan pada tahun 2005 disebabkan oleh naiknya harga BBM, sementara tingkat kemiskin pada tahun 2009 lebih disebabkan oleh perubahan teknis pencatatan penduduk miskin, mengingat adanya penambahan sampel penduduk yang disurvei.
  • 32. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 32 Perekonomian di provinsi Papua Barat disumbang oleh sektor pertanian (termasuk perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan) dengan 77,43 persen penduduk15 yang bekerja di sektor ini. Perekonomian perdesaan terserap di sektor pertanian (termasuk perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan). Adapun sumbangan sektor pertanian yang melibatkan mayoritas penduduk ini berkontribusi hanya sekitar 19,98% pada Pendapatan Regional Brutto 16 yang menunjukkan bahwa produktivitas sektor ini sangat rendah sebagai implikasi dari masih tingginya sistem subsisten 17 , disamping terbatasnya infrastruktur transportasi yang membuat biaya pemasaran menjadi tinggi. Gambar 3.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Papua Barat, 2006 – 2012. Sumber: BPS Provinsi Papua Barat (2006-2012). Peran perempuan yang dominan pada sektor pertanian subsistens ini, waktu yang dibutuhkan perempuan untuk bekerja dalam sehari menjadi tinggi, disamping mereka harus menyelesaikan juga tanggung jawab menyelesaikan pekerjaan rumahtangga. Sayang sekali, perhitungan statistik atas angka kemiskinan seringkali meninggalkan aspek kemiskinan yang berbasis gender. Data kemiskinan yang disusun dari SUSENAS tidak mampu menggambarkan dinamika gender yang ada di dalam rumahtangga karena mengingat SUSENAS merupakan survei rumahtangga yang kuesioner serta proses enumerasinya tidak menanyakan pengalaman yang berbeda antara anggota rumahtangga perempuan dan laki-laki. Beberapa studi18 menunjukkan bahwa masyarakat Papua sangat menghargai nilai sosial yang harmonis dan untuk memastikan nilai yang harmonis tersebut maka kewajiban saling membalas budi dalam bentuk pertukaran barang dan tenaga kerja menjadi suatu bagian dari nilai sosial dan budaya tersebut. Bukan tidak mungkin bahwa proses serta struktur untuk saling berbalas budi mengalami proses negosiasi pada beberapa situasi memunculkan stuktur dan aturan yang tidak secara merata dibuat oleh anggota keluarga, perempuan dan laki-laki.19 15 Sakernas Februari 2011 (BPS Provinsi Papua Barat, 2011), sebesar 16 Share sektor pertanian terhadap PDRB atas dasar harga berlaku pada triwulan 1 2011, BPS Provinsi Papua Barat, 2011. 17 Produksi pertanian lebih banyak dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari bukan untuk produksi yang dipasarkan secara massal dan dijual di pasar. 18 AusAID and UNICEF “Gender and Poverty Analysis of Papua”, November 2007 19 Suatu studi yang mencakup rumahtangga di Bangladesh, Indonesia, Ethiopia dan Afrika Selatan merekonfirmasi adanya hubungan antara karakter individu dengan daya tawarnya, khususnya terkait akses dan kontrol pada sumberdaya manusia dan sumberdaya aset setelah suatu pasangan menikah. Studi menunjukkan bahwa aset yang dikelola dan diputuskan oleh perempuan/istri mempunyai efek yang positif dan signifikan atas alokasi sumberdaya yang memengaruhi masa depan keluarga dalam jangka panjang. 300.00 250.00 200.00 150.00 100.00 50.00 0.00 300.00 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Jumlah Penduduk Miskin (ribu) Jumlah Penduduk Miskin (%) 284.10 266.80 246.50 256.84 256.25 249.84 229.99 41.34 35.12 39.31 35.71 34.88 31.92 28.20
  • 33. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 33 Tabel 3.1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Di Provinsi Papua Barat dan Indonesia Menurut Wilayah Kota dan Desa, 1999 - 2011 Tahun (1) Papua Barat Indonesia K D K+D K D K+D 1999 9.03 70,95 54,75 19,41 26,03 23,43 2000 9.01 59.78 46.35 14.60 22.38 19.14 2001 9.23 53.14 41.80 9.76 24.84 18.41 2002 9.76 51.21 41.80 14.46 21.10 18.20 2003 8.32 49.75 39.03 13.57 20.23 17.42 2004 7.71 49.28 38.69 12.13 20.11 16.66 2005 9.23 50.16 40.83 11.68 19.98 15.97 2006 8.71 51.31 41.52 13.47 21.81 17.75 2007 7.97 50.47 40.78 12.52 20.37 16.58 2008 7.02 45.96 37.08 11.65 18.93 15.42 2009 6.10 46.81 37.53 10.72 17.35 14.15 2010 5.55 46.02 36.80 9.87 16.56 13.33 2011 4.60 41.58 31.98 9.23 15.72 12.49 Sumber: BPS Papua Barat dan BPS Indonesia Perkembangan di Indonesia dan Papua Barat menunjukkan bahwa wilayah desa mempunyai kontribusi paling tinggi terhadap total penduduk miskin dibandingkan wilayah kota. Hal ini dapat diamati dengan mengukur deviasi tingkat kemiskinan antara kota dengan desa. Indonesia memiliki rata-rata deviasi tingkat kemiskinan antara desa dan kota hanya sekitar 7,87% per tahun (lihat Tabel 1.1). Akan tetapi untuk Papua Barat deviasinya terlihat sangat mencolok. Sepanjang tahun 1999-2011 rata-rata deviasi tingkat kemiskinan antara desa dan kota mencapai 43,40% per tahun. Ini berarti ketimpangan spasial antara kota dan desa di Provinsi Papua Barat selama ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan Indonesia. Selain permasalahan kemiskinan yang belum mampu dijawab dengan baik, ketimpangan distribusi pendapatan antar kelompok rumahtangga selama ini juga belum dapat dikoreksi secara signifikan melalui pembangunan daerah di Provinsi Papua Barat. Pengukuran kuantitatif yang sering menjadi titik tolak pengukuran kemiskinan masih sering meninggalkan beberapa faktor penting yang berpengaruh secara berbeda kepada perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, penghitungan dan analisis kemiskinan yang multi-dimensi perlu menjadi alternatif untuk menjawab pertanyaan terkait siapa yang miskin, dimana dan faktor penyebab kemiskinan dalam perspektif gender. Analisis kemiskinan dengan menggunakan pendekatan kualitatif hendak mencoba mendengar dan merekam suara si miskin, perempuan dan laki-laki melalui suatu pendekatan yang lebih partisipatif. Beberapa laporan yang dikeluarkan oleh pemerintah menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Papua menurun pada periode lima tahun terakhir20 . Namun demikian, insiden kemiskinan terdapat di Provinsi ini. Persoalan kemiskinan di Papua Barat lebih berfokus pada kemiskinan di perdesaan dibanding kemiskinan di perkotaan. Apakah jumlah perempuan Papua yang miskin berkurang? Seberapa tingkat perbaikan kualitas hidup perempuan Papua? Apa saja aspek gender yang menjadi kontributor kemiskinan di Papua? Pertanyaan-pertanyaan tersebut amatlah penting untuk dijawab, walau kendala pada keberadaan data merupakan tantangan besar bukan hanya untuk Provinsi Papua tetapi juga untuk Indonesia. Penggunaan data dan informasi yang mewakili situasi perempuan dan kemiskinan yang dihadapi perlu mendapat perhatian. Persoalan yang memengaruhi hidup dan mati perempuan, seperti kematian perempuan atau ibu hamil dan melahirkan, kasus kekerasan terhadap perempuan, kekurangan gizi pada perempuan hamil dan melahirkan merupakan sebagian dari gambaran kemiskinan yang perlu mendapat perhatian. Bentuk bentuk ketidaksetaraan gender tersebut 20 Pada periode 2004 – 2006 jumlah penduduk miskin dengan menggunakan “Head Count Index” mencatat sekitar 38,69% penduduk atau sekitar 966,800 orang adalah miskin di tahun 2004, 40,83% (sekitar 102,000 orang) di tahun 2005 dan 40,78% (sekitar 70,300) penduduk di tahun 2006.
  • 34. Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender Provinsi Papua Barat Tahun 2012 34 merupakan manivestasi dari tidak dinilainya perempuan sama tingginya dengan bagaimana masyarakat menilai dan menghargai masyarakat laki-lakinya. Persoalan degradasi lingkungan yang berpengaruh pada kesehatan memiliki dimensi gender dan juga membawa pengaruh negatif pada kelompok marjinal, baik perempuan maupun kelompok termiskin. Intensitas persoalan gender danlingkungandarieksplorasidaneksploitasitambang,misalnya,seringmembawadampakpadakesehatanperempuan, dalam hal ini kesehatan reproduksi, yang juga akan relevan dengan konteks Papua Barat. Laporan “Country Technical Notes on Indigenous People” yang disusun IFAD mencatat bahwa Papua, Papua Barat dan Nanggroe Aceh Darussalam yang merupakan tiga wilayah terkaya di Indonesia yang ditemui tingkat kemiskinan tertinggi, khususnya di kalangan penduduk aslinya21 . Adapun penyebab kemiskinan pada penduduk asli adalah antara lain: (a) kurangnya pengakuan dan perlindungan atas hak asli pada tanahnya dan sumberdaya alamnya; (b) adanya penyelenggaran kegiatan ekonomi yang tidak tepat, terutama dengan adanya ‘illegal logging’, pertambangan dan perkebunan; (c) degradasi kualitas sumberdaya alam yang disebabkan oleh buruknya kualitas tanah, kurangnya pendidikan masyarakat dan persoalan transportasi yang terbatas22 . Laporan IFAD ini menggarisbawahi persoalan kurang akuratnya data, termasuk data tentang jumlah dan lokasi dari masyarakat atau penduduk asli, yang membuat sulit untuk memahami pesoalan kemiskinan di antara masyarakat asli. Pada umumnya data statistik hanya menampilkan jumlah penduduk perdesaan atau kampung yang miskin. Data tersebut memberikan gambaran kasar dari kemiskinan diantara penduduk asli karena sebagian besar penduduk asli tinggal di perdesaan atau kampung23 . Laporan Pembangunan Manusia global pada tahun 2012 memberi fokus pada adanya tantangan atas keberlanjutan dan keberhasilan menurunkan dan menghapuskan kesenjangan pembangunan. Adanya degradasi lingkungan dan meningkatnya kesenjangan di antara masyarakat, termasuk dalam hal kesenjangan gender, diidentifikasi sebagai tantangan pembangunan yang mengancam keberlanjutan pembangunan. Pembangunan manusia mewakili adanya pilihan, pembangunan dan pembagian atau distribusi serta alokasi sumberdaya alam. Adanya alokasi sumberdaya alam yang tidak adil dapat mendorong adanya ketimpangan hasil pembangunan24 . 3.2. PEMBANGUNAN MANUSIA PAPUA BARAT Provinsi Papua Barat mempunyai kekayaan sumberdaya alam yang besar. Sebagai Provinsi pemekaran dari Provinsi Papua,prosespembangunandiProvinsiPapuaBaratmerupakankelanjutandariprosespembangunanyangdilaksanakan oleh Provinsi Papua yang telah dilaksanakan telah cukup lama. Gambar 3.2. Perkembangan IPM Papua Barat 2004-2910 Sumber: Beberapa Laporan Pembangunan Manusia Berbasis Gender yang diterbitkan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Badan Pusat Statistik, 2011 21 Country Technical Notes on Indigenous People” yang disusun IFAD dan AIPP, 2010 22 Country Technical Notes on Indigenous People” yang disusun IFAD dan AIPP, 2010, rangkuman 23 IFAD dan AIPP, opcit halaman 13. 24 “Human Developmen Report”, Global Report, UNDP 2012