1. PEMBAHASAN
Jalur pemberian obat ada 2 yaitu intravaskular dan ekstravaskular. Pada pemberian
secara intravaskular, obat akan langsung berada di sirkulasi sistemik tanpa mengalami
absorpsi, sedangkan pada pemberian secara ekstravaskular umumnya obat mengalami
absorpsi. Setelah obat masuk dalam sirkulasi sistemik, obat akan didistribusikan, sebagian
mengalami pengikatan dengan protein plasma dan sebagian dalam bentuk bebas. Obat bebas
selanjutnya didistribusikan sampai ditempat kerjanya dan menimbulkan efek. Kemudian
dengan atau tanpa biotransformasi obat diekskresikan dari dalam tubuh melalui organ-organ
ekskresi, terutama ginjal. Seluruh proses yang meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi disebut proses farmakokinetik dan proses ini berjalan serentak (Zunilda,.dkk, 1995).
Pemberian larutan obat secara intravascular, biasanya intavena, dilakukan dengan dua
cara yaitu secara infus dengan kecepatan atau dosis tetap dan secara intermiten (berkala)
yaitu obat diberikan dengan dosis tetap secara intravena bolus dengan pemberian berulang,
dengan interval tertentu. Lama interval pemberian obat bisa bervariasi antar-individu,
tergantung kecepatan obat dieliminasi dari tubuh – dengan kata lain tergantung waktu paro
eliminasi obat pada subjek. Sedangkan pemeberian ekstravaskular berulang merupakan cara
pemberian obat yang sangat lazim pada pengobatan, utamanya per oral. Seperti halnya
pemberian intravena berulang, obat akan terakumulasi di dalam tubuh jika pemberian
berikutnya dilakukan ketika obat masih tersisa di dalam tubuh. Seberapa besar akumulasinya,
tergantung interval pemberian obat, relatif terhadap waktu paro eliminasinya. Semakin
pendek interval pemberian obat – dibandingkan waktu paro eliminasi obat – semakin tinggi
akumulasinya; demikian sebaliknya (Hakim, 2012).
Pada percobaan kali ini dilakukan simulasi invitro model farmakokinetika rute
ekstravaskuler kompartemen satu terbuka dengan menggunakan metilan merah yang di
anggap sebagai obat terhadap waktu. Percobaan ini disimulasikan dengan keadaan yang ada
didalam tubuh dimana obat diberikan secara per oral. Langkah awal dalam percobaan ini
adalah pembuatan larutan baku dengan melarutkan metilen merah dalam air suling sampai
konsentrasi 100 µg/ml. Kemudian dari konsentrasi tersebut diencerkan hingga diperoleh
konsentrasi masing-masing 40, 50, 60 dan 80 µg/ml. Pembuatan larutan baku dengan
perbedaan kadar ini yaitu untuk dibandingkan dengan hasil kadar yang didapat dari
absorbansi sampel. Pembuatan larutan baku juga digunakan untuk menentukan panjang
gelombang maksimum pada spektrofotometer visible. Langkah selanjutnya yaitu mengukur
masing-masing serapan semua larutan baku yang telah dibuat, hal ini dilakukan dengan
2. menggunakan metode spektrofotometri pada panjang gelombang 446 nm. Sehingga diperoleh
nilai absorbansi untuk larutan baku dengan konsentrasi 40; 50 ; 60 ; 80 µg/ml berturut-turut
adalah 0.001; 0,022; 0,087; dan 0,132. Dari data absrbansi tersebut diperoleh nilai a= -0,118,
b = 3,17.10-3
, dan r = 0,96. Sehingga diperoleh persamaan regresi linear y = 3,17.10-3
x –
0,118. Regresi linier ini menunjukkan data yang diperoleh memiliki ketelitian dan presisi
yang lumayan bagus, karena berdasarkan pustaka nilai regresi yang sempurna adalah
mendekati 1→ 0,9999 (Cahyadi, 1985).
Gambar 1. Kurva Baku Metilen Merah
Langkah selanjutnya yaitu pembuatan larutan sampel dengan menimbang metilen merah
sebanyak 100 mg. kemudian 100 mg metilen merah dibagi ke dalam 4 peringkat dosis,
masing-masing 25 mg. sebanyak 25 mg metilen merah dilarutkan dalam 500 ml air suling
(disimulasikan sebagai nilai volume distribusi (Vd) dalam gelas beker (diasumsikan sebagai
sistem tubuh) dan 25 mg metilen merah disini di simulasikan sebagai jumlah dosis obat yang
diberikan. Setelah itu, diambil sebanyak 100 ml sebagai nilai klirens obat dan digantikan
dengan air suling pada volume yang sama. Prosedur tersebut dilakukan secara berulang
sampai semua dosis metilen masuk. Pemberian berulang ini dimaksudkan agar kadar obat di
dalam darah selalu berada dalam kadar terapeutik, yaitu kadar obat berada di dalam kisaran
terapeutik yang secara klinik telah dibuktikan berkolerasi dengan efek terapi obat (Hakim,
3. 2012). Kemudian diukur serapan sampel yang sudah diambil pada panjang gelombang
maksimum yang telah diperoleh yaitu 446 nm dan digunakan air suling sebagai blanko.
Selanjutnya dihitung parameter farmakokinetiknya. Dalam rute ekstravaskuler ini terjadi
proses absorpsi, distribusi dan eliminasi (metabolisme dan ekskresi). Jadi, hampir semua obat
pada dosis terapi mengikuti kinetika orde pertama (first order), artinya kecepatan proses-
proses tersebut sebanding dengan jumlah obat yang ada (yang tinggal). Jadi jumlah obat yang
diabsorpsi, distribusi dan dieliminasi persatuan waktu makin lama makin sedikit, sebanding
dengan jumlah obat yang masih belum mengalami proses tersebut (Setiawati, 2005).
Setelah dilakukan pengukuran serapan dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 446 nm, didapatkan nilai absorbansi untuk larutan yang dimabil pada menit ke
15 ; 30 ; 45 ; 60 ; 75 ; 90 ; 105 ; 120 ; 135 berturut-turut adalah 0,020 ; 0,078 ; 0,125 ; 0,152 ;
0,146 ; 0,110 ; 0,084 ; 0,068 ; 0,036. Nilai absorbansi tersebut masing-masing dimasukan
kedalam persamaan regresi larutan baku metilen merah yang diperoleh yaitu y = 3,17.10-3
x –
0,118. Sehingga diperoleh kadar (C) metilen merah pada masing-masing waktu pengambilan
pada menit ke 15 ; 30 ; 45 ; 60 ; 75 ; 90 ; 105 ; 120 ; 135 berturut turut adalah sebesar 10,03
µg/ml ; 28,32 µg/ml ; 43,15 µg/ml ; 51,67 µg/ml ; 49,77 µg/ml ; 38,42 µg/ml ; 30,22 µg/ml ;
25,17 µg/ml ; dan 15,07 µg/ml. Dari data tersebut diperoleh nilai log C sampel sebesar
1,0013 (menit ke 15) ; 1,4520 (menit ke 30) ; 1,6349 (menit ke 45) ; 1,7132 (menit ke 60) ;
1,6969 (menit ke 75); 1,5845(menit ke 90) ; 1,4802 (menit ke 105) ; 1,4008 (menit ke 120) ;
dan 1,1781 (menit ke 135). Sehingga di peroleh kurva sebagai berikut :
Gambar 2. Kurva hubungan Log C sampel terhadap waktu
4. Hasil yang diperoleh sesuai dengan literatur karena ketika obat baru saja diberikan
kepada subyek (pada t=0), kadar obat di dalam darah C=0, karena belum ada proses absorpsi.
Kemudian, karena jumlah obat yang diabsorpsi pada waktu-waktu awal lebih besar dari
jumlah obat yang dieliminasi (perbandingan ka/k dapat berkisar antara 5-10 kali), kadar obat
di dalam darah terus meningkat, sampai mencapai kadar puncak (Cmaks). Pada kadar puncak
ini, kecepatan absorpsi sama dengan kecepatan eliminasi obat. Waktu yang diperlukan untuk
mencapai Cmaks adalah Tmaks. Begitu mencapai kadar puncak, kadar obat terus menurun,
sebab jumlah obat yang tersedia untuk diabsorpsi makin berkurang, sehingga menyebabkan
penurunan kecepatan absorpsi. Selanjutnya ketika waktu terus berjalan, menyebabkan jumlah
obat di tempat absorpsi menjadi sangat kecil, atau boleh dianggap nol. Misalnya selama 5 kali
waktu paro absorpsi diperkirakan 97% obat telah terabsorpsi, atau hanya 3% saja yang tersisa
ditempat absorpsi. Mulai saat inilah penurunan kadar obat di dalam darah mencerminkan
eliminasi obat (Shargel dkk., 2005).
Untuk menentukan K eliminasi dicari regresi yang paling linear, yaitu menggunakan
data lima terbawah, sehingga diperoleh nilai a = 2,323 ; b = -0,0081 ; dan r = 0,96.
Gambar 3. Kurva hubungan log C sampel terhadap waktu
Kelompok I dan III melakukan percobaan dengan pemberian dosis serta nilai klirens
yang sama (dosis = 200 mg dan klirens = 200 ml), hanya saja nilai Vd untuk kedua kelompok
tersebut berbeda yaitu 0,5 liter dan 1 liter. Begitu pula dengan kelompok II dan IV yang
memiliki perbedaan parameter Vd yaitu 0,5 liter dan 1 liter dan pada dosis dan klirens yang
sama (Dosis = 100 mg dan Cl = 100 ml). Berdasarkan hasil praktikum dan perhitungan,
diperoleh bahwa nilai k akan menjadi lebih besar pada obat dengan nilai Vd yang lebih kecil.
5. Hal ini membuktikan bahwa nilai k berbanding terbalik dengan nilai Vd. Selain itu,
pemberian dosis yang berbeda pada nilai Vd yang sama akan memberikan nilai k dan AUC
yang berbeda pula (Hakim,2012). Dari hasil praktikum dapat dilihat bahwa simulasi invitro
ekstravaskuler model farmakokinetika yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada nilai
klirens (CL) dan volume distribusi (Vd) dapat mengakibatkan terjadinya perbedaan nilai
farmakokintekia lainnya dalam hal ini AUC dan k. Klirens dan Volume distribusi merupakan
parameter farmakokinetika primer yang nilainya di pengaruhi langsung oleh variabel biologis
(Shargel,2005).
Pada kelompok 1, diperoleh kadar (C) metilen merah pada masing-masing waktu
pengambilan pada menit ke 15 ; 30 ; 45 ; 60 ; 75 ; 90 ; 105 ; 120 ; 135 berturut turut adalah
sebesar 24,85 µg/ml ; 48,83 µg/ml ; 70,97 µg/ml ; 78,17 µg/ml ; 64,29 µg/ml ; 55,45 µg/ml ;
45,67 µg/ml ; 27,38 µg/ml ; dan 14,13 µg/ml. Pada kelompok 3, diperoleh kadar (C) metilen
merah pada masing-masing waktu pengambilan pada menit ke 15 ; 30 ; 45 ; 60 ; 75 ; 90 ;
105 ; 120 ; 135 berturut turut adalah sebesar 45,533 µg/ml ; 61,199 µg/ml ; 63,722 µg/ml ;
72,555 µg/ml ; 70,347 µg/ml ; 63,407 µg/ml ; 59,306 µg/ml ; 53,943 µg/ml ; dan 48,896
µg/ml. Pada kelompok 4, diperoleh kadar (C) metilen merah pada masing-masing waktu
pengambilan pada menit ke 15 ; 30 ; 45 ; 60 ; 75 ; 90 ; 105 ; 120 ; 135 berturut turut adalah
sebesar 38,17 µg/ml ; 53,94 µg/ml ; 60,56 µg/ml ; 70,97 µg/ml ; 64,35 µg/ml ; 62,77 µg/ml ;
61,19 µg/ml ; 59,30 µg/ml ; dan 57,72 µg/ml. Kadar yang diperoleh pada semua kelompok
berbeda-beda karena dosis, Vd, dan Cl nya berbeda-beda. Hasil yang diperoleh pada semua
kelompok sesuai dengan literatur karena ketika obat baru saja diberikan kepada subyek (pada
t=0), kadar obat di dalam darah C=0, karena belum ada proses absorpsi. Kemudian, karena
jumlah obat yang diabsorpsi pada waktu-waktu awal lebih besar dari jumlah obat yang
dieliminasi (perbandingan ka/k dapat berkisar antara 5-10 kali), kadar obat di dalam darah
terus meningkat, sampai mencapai kadar puncak (Cmaks). Pada kadar puncak ini, kecepatan
absorpsi sama dengan kecepatan eliminasi obat. Waktu yang diperlukan untuk mencapai
Cmaks adalah Tmaks, T maks pada semua kelompok adalah sama yaitu pada menit ke 60.
Begitu mencapai kadar puncak, kadar obat terus menurun, sebab jumlah obat yang tersedia
untuk diabsorpsi makin berkurang, sehingga menyebabkan penurunan kecepatan absorpsi
(Shargel dkk., 2005).
6. Gambar 4. Area Under Curve (AUC) Metilen merah
Area Under Curve (AUC)
Area Under Curve (AUC) adalah permukaan di bawah kurva (grafik) yang
menggambarkan naik turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC dapat dihitung
secara matematis dan merupakan ukuran untuk bioavailabilitas suatu obat. AUC dapat
digunakan untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat bila penentuan
kecepatan eliminasinya tidak mengalami perubahan. Selain itu antara kadar plasma puncak
dan bioavailabilitas terdapat hubungan langsung (Tjay dan Rahardja, 2002). Nilai AUC
bukan merupakan jumlah obat yang diabsorpsi, namun sekedar menggambarkan jumlah obat
yang diabsorpsi dan masuk kedalam sirkulasi sistemik (Shargel dkk., 2005).
Setelah dilakukan perhitungan, didapatkan nilai AUC 15-30 = 18,39 µg.menit/ml ;
AUC 30-45 = 23,25 µg.menit/ml ; AUC 45-60 = 25,11 µg.menit/ml ; AUC 60-75= 25,57
µg.menit/ml; AUC 75-90 = 24,6 µg.menit/ml ; AUC 90-105 = 22,98 µg.menit/ml ; AUC 105-120 =
21,60 µg.menit/ml ; AUC 120-135 = 19,34 µg.menit/ml; AUC 135-∞ = 62,832 µg.menit/ml.
Sehingga nilai AUC total atau AUC 15-∞ = 243,572 µg.menit/ml. Dari interval waktu
pengambilan sampel telah memenuhi syarat, sebab T1/2 eliminasi ditemukan 36,96 menit.
Pengambilan sampel di akhir dilakukan sampai 3 kali T1/2 yakni 135 menit. hal ini sesuai
KADAR(mcg/ml)
7. dengan liliteratur karena pengakhiran pengambilan sampel dilakukan 3-5 kali T1/2 eliminasi
obat. Pada percobaan kali ini, harga AUC sisa sebesar 25% dari AUC total. Jadi akurasi AUC
yang diperoleh yaitu 75% dan dikategorikan cukup baik karena terdapat pada rentang 0,70 –
0,80 (Hakim, 2012).
Daftar pustaka
Cahyadi, Yeyet, 1985, Pengantar Farmakokinetika, Cermin Dunia Kedokteran, No : 37
Hakim, Lukman, 2012, Farmakokinetik, Bursa Ilmu, Yogyakarta.
Shargel L. dan Andrew B.C., 2005, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan,
Airlangga Univeersity Press, Surabaya.
Setiawati, A., 2005, Farmakologi dan Terapi Edisi 4, Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Tjay, T.H., dan Rahardja, K., 2002, Obat-Obat Penting Edisi kelima, PT. Elex Media
Komputindo, Jakarta.
Zunilda, S.B, dan F.D. Suyatna, 1995, Pengantar Farmakologi, Farmakologi dan Terapi
Edisi kelima, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Cahyadi, Yeyet, 1985, Pengantar Farmakokinetika, Cermin Dunia Kedokteran, No : 37
8. KESIMPULAN
Dapus ditambah cahyadi
1. Pada rute pemberian intravaskuler, obat tidak mengalami fase absorpsi dan distribusi.
Sedangkan pada rute pemberian ekstravaskuler obat mengalami fase absorpsi,
distribusi, dan eliminasi.
2. Data yang diperoleh dari hasi percobaan dengan dosis 100 mg, Cl 100 ml, dan Vd 500
ml diperoleh kadar (C) metilen merah pada masing-masing waktu pengambilan pada
menit ke 15 ; 30 ; 45 ; 60 ; 75 ; 90 ; 105 ; 120 ; 135 berturut turut adalah sebesar 10,03
µg/ml ; 28,32 µg/ml ; 43,15 µg/ml ; 51,67 µg/ml ; 49,77 µg/ml ; 38,42 µg/ml ;
30,22 µg/ml ; 25,17 µg/ml ; dan 15,07 µg/ml.
3. Simulasi invitro ekstravaskuler model farmakokinetika yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa pada nilai klirens (CL) dan volume distribusi (Vd) dapat
mengakibatkan terjadinya perbedaan nilai farmakokintekia lainnya dalam hal ini AUC
dan k. Klirens dan Volume distribusi merupakan parameter farmakokinetika primer
yang nilainya di pengaruhi langsung oleh variabel biologis
9. 4. Hasil yang diperoleh pada semua kelompok menunjukkan Tmax yang sama yaitu
pada menit ke 60.
5. Akurasi AUC yang diperoleh yaitu 75% / 0,75 dan dikategorikan cukup baik karena
terdapat pada rentang 0,70 – 0,80.
10. 4. Hasil yang diperoleh pada semua kelompok menunjukkan Tmax yang sama yaitu
pada menit ke 60.
5. Akurasi AUC yang diperoleh yaitu 75% / 0,75 dan dikategorikan cukup baik karena
terdapat pada rentang 0,70 – 0,80.