SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 23
BAB I
                               PENDAHULUAN


     Pneumonia sebenarnya bukan penyakit baru. American Lung Association
misalnya, menyebutkan hingga tahun 1936 pneumonia menjadi penyebab
kematian nomor satu di Amerika. Penggunaan antibiotik membuat penyakit bisa
di kontrol beberapa tahun kemudian. Namun, tahun 2000 kombinasi pneumonia
dan influenza kembali merajalela dan menjadi penyebab kematian ke tujuh di
negara itu (Setiawan, 2009).
     Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses
infeksi akut pada bronkus ( biasa disebut bronchopneumonia ). Gejala penyakit ini
berupa napas cepat dan sesak, karena paru meradang secara mendadak. Batas
napas cepat adalah frekuensi pernapasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih
pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali per menit atau
lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun. Pada anak usia di bawah
2 bulan tidak dikenal diagnosa pneumonia (Setiawan, 2009).
     Secara global, sekitar 1,6 juta kematian setiap tahun disebabkan oleh
penyakit yang disebabkan oleh 'Streptokokus pneumoiae' (pneumococcal disease),
di dalamnya 700.000 hingga satu juta Balita terutama berasal dari negara
berkembang. Dilaporkan, di kawasan Asia - Pasifik diperkirakan sebanyak
860.000 Balita meninggal setiap tahunnya atau sekitar 98 anak setiap jam. Secara
nasional angka kejadian Pneumonia belum diketahui secara pasti, data yang ada
baru berasal dari laporan Subdit ISPA Ditjen P2M-PL Depkes RI tahun 2007.
Dalam laporan tersebut disebutkan, dari 31 provinsi ditemukan 477.429 anak
Balita dengan pneumonia atau 21,52 persen dari jumlah seluruh Balita di
Indonesia. Proporsinya 35,02 persen pada usia di bawah satu tahun dan 64,97
persen pada usia satu hingga empat tahun. Jika dirata-ratakan, sekitar 2.778 anak
meninggal setiap harinya akibat pneumonia (Suriani, 2009).
     Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia karena angka
kematiannya tinggi, tidak saja di negara berkembang,tapi juga di negara maju

                                                                               1
seperti AS, Kanada dan negara – negara Eropa.Di AS misalnya , terdapat dua juta
sampai tiga juta kasus pneumonia per tahun dengan jumlah kematian rata – rata
45.000 orang dan angka kematian akibat pneumonia mencapai 25 % di Spanyol
dan 12 % atau 25. 30 per 100.000 penduduk di Inggris. Dari data SEMIC Healt
Statistik 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6
di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di
Singapora,nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999
menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia
adalah infeksi saluran nafas akut temtasuk pneumonia (Setiawan, 2009).
     Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah
kardiovaskuler dan tuberkolosis. Faktor social ekonomi yang rendah memper
tinggi angka kematian. Penanggulangan penyakit pneumonia menjadi fokus ketiga
dari program P2ISPA (Penanggulangan Penyakit Infeksi saluran Pernapasan
Akut). Program ini mengupayakan agar istilah Pneumonia lebih dikenal
masyarakat, sehingga memudahkan kegiatan penyuluhan dan penyebaran
informasi tentangpenangulangan Pneumonia (Setiawan, 2009).




                                                                             2
BAB II
                               KONSEP DASAR


A. Pengertian
       Pneumonia adalah inflamasi atau infeksi pada parenkim paru (Betz C,
   2002).
       Pneumonia adalah peradangan alveoli atau pada parenchim paru yang
   terjadi pada anak (Suriadi Yuliani, 2001).
       Pneumonia adalah suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
   bermacam- macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing (Ika,
   2001).
       Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau
   beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat
   (Whalley and Wong, 1996).
       Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan pneumonia yang
   mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area
   terlokalisasi didalam bronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di
   sekitarnya. Pada bronkopneumonia terjadi konsolidasi area berbercak.
   (Smeltzer,2001).
       Jadi bronkopnemonia adalah infeksi atau peradangan pada jaringan paru
   terutama alveoli atau parenkim yang sering menyerang pada anak – anak.


B. Etiologi
      Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah :
   1. Faktor Infeksi
      a. Pada neonatus : Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus
            (RSV).
      b. Pada bayi :
            1) Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
               Cytomegalovirus.
            2) Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.

                                                                             3
3) Bakteri     :   Streptokokus   pneumoni,    Haemofilus    influenza,
          Mycobacterium tuberculosa, B. pertusis.
   c. Pada anak-anak :
      1) Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP
      2) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
      3) Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa.
   d. Pada anak besar – dewasa muda :
      1) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. Trachomatis
      2) Bakteri : Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.
2. Faktor Non Infeksi
       Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
   a. Bronkopneumonia hidrokarbon
             Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau
      sonde lambung ( zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan
      bensin).
   b. Bronkopneumonia lipoid
             Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara
      intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu
      mekanisme menelan seperti latoskizis, pemberian makanan dengan
      posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak
      ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung
      pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang
      mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya
      seperti susu dan minyak ikan.


    Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk
terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita
penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum
berkembang pada bayi dan anak, malnutrisi energy protein (MEP), penyakit
menahun, pengobatan antibiotik yang tidak sempurna merupakan faktor
predisposisi terjadinya penyakit ini.

                                                                            4
C. Patofisiologi
          Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
    mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan
    paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan
    antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak
    dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke
    dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain :
    1.    Inhalasi langsung dari udara.
    2.    Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring
    3.    Perluasan langsung dari tempat-tempat lain
    4.    Penyebaran secara hematogen.
          Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien
    untuk mencegah infeksi yang terdiri dari :
    1.    Susunan anatomis rongga hidung
    2.    Jaringan limfoid di nasofaring
    3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan
         sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
          Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang
    terinfeksi. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe
    regional. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari
    IgA. Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang
    bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik. Bila pertahanan tubuh tidak
    kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang
    menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu
    mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang
    meliputi empat stadium, yaitu :
    1.    Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
                Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
         yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
         dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
         infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator

                                                                              5
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
     jaringan.   Mediator-mediator      tersebut    mencakup      histamin     dan
     prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
     Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
     melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
     kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam
     ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler
     dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
     meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida
     maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
     mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2.    Stadium II (48 jam berikutnya)
            Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel
     darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host )
     sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat
     oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga
     warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium
     ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan
     bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
     jam.
3.    Stadium III (3 – 8 hari)
            Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
     mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
     terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
     sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
     padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
     dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4.    Stadium IV (7 – 11 hari)
            Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun
     dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi
     oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

                                                                                 6
D. Manifestasi Klinis
       Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian
   atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40˚C
   dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah,
   dispnea, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan
   sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada
   awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada
   awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
       Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
   1. Inspeksi: pernafasan cuping hidung (+), sianosis sekitar hidung dan mulut,
      retraksi sela iga.
   2. Palpasi: Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
   3. Perkusi: Sonor memendek sampai beda.
   4. Auskultasi: Suara pernafasan mengeras (vesikuler mengeras) disertai ronki
      basah gelembung halus sampai sedang.
         Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada
   luasnya daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai
   adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah
   gelembung halus sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu
   (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara
   pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronki
   dapat terdengar lagi.Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat
   terjadi antara 2-3 minggu.


E. Klasifikasi
   1. Bronkopneumonia sangat berat
              Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum,maka
       anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
   2. Bronkopneumonia berat
              Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup
       minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.

                                                                               7
3. Bronkopneumonia
              Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat :
      a. Lebih dari 60 x/menit pada anak usia kurang dari 2 bulan
      b. Lebih dari 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun
      c. Lebih dari 40 x/menit pada anak usia 1 - 5 tahun.
   4. Bukan bronkopenumonia :
              Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak
      perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotika. Diagnosis pasti dilakukan
      dengan identifikasi kuman penyebab:
      a. Kultur sputum atau bilasan cairan lambung
      b. Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama
          virus
      c. Deteksi antigen bakteri


F. Pemeriksaan Diagnostik
   1. Foto polos: digunakan untuk melihat adanya infeksi di paru dan status
      pulmoner
   2. Nilai analisa gas darah: untuk mengetahui status kardiopulmoner yang
      berhubungan dengan oksigenasi
   3. Hitung darah lengkap dan hitung jenis: digunakan untuk menetapkan
      adanya anemia, infeksi dan proses inflamasi
   4. Pewarnaan gram: untuk seleksi awal anti mikroba
   5. Tes kulit untuk tuberkulin: untuk mengesampingkan kemungkinan terjadi
      tuberkulosis jika anak tidak berespon terhadap pengobatan
   6. Jumlah lekosit: terjadi lekositosis pada pneumonia bakterial
   7. Tes fungsi paru: digunakan untuk mengevaluasi fungsi paru, menetapkan
      luas dan beratnya penyakit dan membantu memperbaiki keadaan.
   8. Spirometri statik digunakan untuk mengkaji jumlah udara yang diinspirasi
   9. Kultur darah spesimen darah untuk menetapkan agen penyebab seperti
      virus



                                                                                8
G. Penatalaksanaan
   1.   Penatalaksanaan Medik
              Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji
        resistensi tetapi hal ini tidak dapat selalu dilakukan dan memakan waktu
        yang cukup lama, maka dalam praktek diberikan pengobatan polifarmasi
        maka yang biasanya diberikan:
        a. Penisilin 50.000 U/kgBB/hari,ditambah dengan kloramfenikol 50-70
             mg/kgBB/hari atau diberikan antibiotik yang mempunyai spektrum
             luas seperti ampisilin. Pengobatan ini diteruskan sampai bebas demam
             4-5 hari.
        b. Pemberian oksigen dan cairan intravena, biasanya diperlukan
             campuran glukose 5% dan Nacl 0.9% dalam perbandingan 3:1
             ditambah larutan KCL 10 mEq/500 ml/botol infus.
        c. Karena sebagian besar pasien jatuh kedalam asidosis metabolik akibat
             kurang makan dapat diberikan koreksi sesuai dengan hasil analisa gas
             darah arteri.
        d. Pasien bronkopnemonia ringan tidak usah dirawat dirumah sakit.
   2.   Penatalaksanaan Keperawatan
              Seringkali pasien pneumonia yang dirawat di rumah sakit datang
        sudah dalam keadaan payah, sangat dispnea, pernapasan cuping hidung,
        sianosis, dan gelisah. Masalah yang perlu diperhatikan ialah:
        a.    Menjaga kelancaran pernafasan.
        b.    Kebutuhan istirahat.
        c.    Kebutuhan nutrisi dan cairan.
        d.    Mengontrol suhu tubuh.
        e.    Mencegah komplikasi/gangguan rasa aman dan nyaman.
        f.    Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.




                                                                               9
H. Komplikasi
     1.   Otitis media
     2.   Bronkiektase
     3.   Abses paru
     4.   Empiema


I.   Prognosis
          Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi
     didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan
     datang terlambat untuk pengobatan.
          Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui.
     Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan
     peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi
     ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi.
     Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan
     infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan
     dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.


J.   Pencegahan
          Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak
     dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat
     menyebabkan terjadinya bronkopneumonia. Selain itu hal-hal yang dapat
     dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kita terhadap
     berbagai penyakit saluran nafas seperti: cara hidup sehat, makan makanan
     bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang cukup, rajin
     berolahraga.




                                                                             10
K. Konsep Asuhan Keperawatan
  1. Pengkajian
     a.   Riwayat kesehatan
          1) Adanya riwayat infeksi saluran pernapasan sebelumnya : batuk,
               pilek, demam.
          2) Anorexia, sukar menelan, mual dan muntah.
          3) Riwayat penyakit yang berhubungan dengan imunitas seperti
               malnutrisi.
          4) Anggota keluarga lain yang mengalami sakit saluran pernapasan
          5) Batuk produktif, pernafasan cuping hidung, pernapasan cepat dan
               dangkal, gelisah, sianosis
     b.   Factor fsikologis/ perkembangan memahami tindakan
          1) Usia tingkat perkembangan
          2) Toleransi/ kemampuan memahami tindakan
     c.   Koping
     d.   Pengalaman terpisah dari keluarga / orang tua
     e.   Pengalaman infeksi saluran pernafasan sebelumnya
     f.   Pengetahuan keluarga/ orang tua
          1) Tingkat pengetahuan keluarga tentang penyakit saluran
               pernapasan
          2) Pengalaman keluarga tentang penyakit saluran pernafasan
          3) Kesiapan/ kemauan keluarga untuk belajar merawat anaknya
     g.   Aktivitas/ istirahat
          1) Gejala          : Kelemahan, kelelahan, insomnia
          2) Tanda           : Letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas
     h.   Sirkulasi
          1)   Gejala        : Riwayat gagal jantung kronis
          2)   Tanda         : Takikardi, penampilan keperanan atau pucat
     i.   Makanan/ Cairan
          1)   Gejala        : Kehilangan nafsu makan, mual / muntah



                                                                                 11
2)    Tanda         : Distensi abdomen, hiperaktif bunyi usus, kulit
             kering dengan turgor buruk, penampilan malnutrusi
  j.   Neurosensori
       1)    Gejala        : Sakit kepala dengan frontal
       2)    Tanda         : Perubahan mental
  k.   Nyeri / Kenyamanan
       1) Gejala : Sakit kepala, nyeri dada meningkat dan batuk myalgia,
            atralgia
  l.   Pernafasan
       1) Gejala           : Riwayat PPOM, merokok sigaret, takipnea,
            dispnea, pernafasan dangkal, penggunaan otot aksesori, pelebaran
            nasal
       2) Tanda            : Sputum ; merah muda, berkarat atau purulen.
            Perkusi; pekak diatas area yang konsolidasi, gesekan friksi pleural.
            Bunyi nafas ; menurun atau tak ada di atas area yang terlibat atau
            nafas bronkial. Framitus;     taktil dan vokal meningkat dengan
            konsolidasi.
  m. Keamanan
       1) Gejala           : Riwayat gangguan sistem imun, demam.
       2) Tanda            :   Berkeringat,   menggigil    berulang,   gemetar,
            kemerahan, mungkin pada kasus rubela / varisela


2. Data Fokus
  a.   Data Subyektif
            Anak dikeluhkan rewel, tidak mau makan, sesak nafas, terdengar
       suara grek-grek, anak mencret.
  b. Data Obyektif
            Pernafasan cepat dan dangkal , pernafasan cuping hidung, cianosis,
       batuk berdahak sputum purulen, penggunaan otot bantu nafas, bunyi
       nafas bronchovesikuler, ronchi, respirasi meningkat, peningkatan suhu



                                                                             12
tubuh, penurunan nafsu makan, muntah malaise, penurunan berat
        badan dan lain-lain.


3. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
   a.     Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan
          sekret di jalan nafas
          Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
          jalan nafas menjadi bersih
          Kriteria:
          1) Suara nafas bersih tidak ada ronkhi atau rales, wheezing
          2) Sekret di jalan nafas bersih
          3) Cuping hidung tidak ada
          4) Tidak ada sianosis
          Intervensi:
          1) Observasi status pernafasan tiap 2 jam meliputi respiratory rate,
              penggunaan otot bantu nafas, warna kulit
          2) Lakukan suction jika terdapat sekret di jalan nafas
          3) Posisikan kepala lebih tinggi
          4) Lakukan postural drainage
          5) Kolaborasi dengan fisiotherapist untuk melaakukan fisiotherapi
              dada
          6) Jaga humidifasi oksigen yang masuk
          7) Gunakan tehnik aseptik dalam penghisapan lendir


   b.     Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya penumpukan
          cairan di alveoli paru
          Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
          pertukaran gas dalam alveoli adekuat.
          Kriteria:
          1) Akral hangat
          2) Tidak ada tanda sianosis

                                                                           13
3) Tidak ada hipoksia jaringan
     4) Saturasi oksigen 90-100%
     Intervensi:
     1) Pertahankan kepatenan jalan nafas
     2) Keluarkan lendir jika ada dalam jalan nafas
     3) Periksa kelancaran aliran oksigen 5-6 liter per menit
     4) Laporkan tanda-tanda hipoksia/ sianosis
     5) Awasi tingkat kesadaran klien


c.   Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh
     akibat proses infeksi, toksimea.
     Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
     suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5’C).
     Kriteria Hasil :
     1) Pasien tidak memperlihatkan tanda peningkatan suhu tubuh
     2) Tidak menggigil
     3) Nadi dan suhu normal
     Intervensi :
     1) Obeservasi suhu tubuh (4 jam)
     2) Pantau warna kulit
     3) Lakukan tindakan pendinginan sesuai kebutuhan (kompres)
     4) Berikan obat sesuai indikasi : antiseptik dan antipiretik
     5) Awasi kultur darah dan kultur sputum, pantau hasilnya setiap
         hari


d.   Resiko     tinggi   penyebaran      infeksi   berhubungan      dengan
     ketidakadekuatan pertahanan utama, tidak adekuat pertahanan
     sekunder (adanya infeksi, penekanan imun)
     Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
     tidak terjadi penyabaran infeksi.



                                                                       14
Kriteria Hasil :
     1) Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi
     2) Mengidentifikasikan intervensi untuk mencegah / menurunkan
         resiko infeksi
     Intervensi :
     1) Pantau TTV
     2) Anjurkan        klien   memperhatikan    pengeluaran   sekret   dan
         melaporkan perubahan warna jumlah dan bau sekret
     3) Dorong teknik mencuci tangan dengan baik
     4) Dorong keseimbangan istirahat adekuat dengan aktivitas sedang.
     5) Berikan antibiotik sesuai indikasi


e.   Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
     suplai dan kebutuhan oksigen
     Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
     klien kembali toleran terhadap aktivitas.
     Kriteria Hasil :
     1) Melaporkan / menunjukkan peningkatan toleransi terhadap
         aktivitas yang dapat diukur dengan tak adanya dispnea,
         kelemahan berlebihan dan TTV dalam rentang normal.
     Intervensi :
     1) Evaluasi respon klien terhadap aktivitas
     2) Berikan lingkungan terang dan batasi pengunjung
     3) Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan
         perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat kepada orang tua
     4) Bantu pasien memilih posisi yang nyaman untuk istirahat / tidur
     5) Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan




                                                                        15
f.   Resti nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
     peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan
     proses infeksi.
     Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
     kebutuhan nutrisi terpenuhi.
     Kriteria Hasil :
     1) Menunjukkan peningkatan nafsu makan
     2) Berat badan stabil atau meningkat
     Intervensi :
     1) Indentifikasi faktor yang menimbulkan mual atau muntah
     2) Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering
         mungkin
     3) Auskultasi bunyi usus
     4) Berikan makan porsi kecil dan sering
     5) Evaluasi status nutrisi


g.   Resti kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
     cairan berlebihan (demam, berkeringan banyak, hiperventilasi,
     muntah).
     Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
     tidak terjadi kekurangan volume cairan.
     Kriteria Hasil :
     1) Balance cairan seimbang
     2) Membran mukosa lembab, turgor normal, pengisian kapiler
         cepat
     Intervensi :
     1) Observasi perubahan TTV
     2) Observasi turgor kulit, kelembaban membran mukosa
     3) Catat laporan mual / muntah
     4) Pantau masukan dan keluaran, catat warna, karakter urine
     5) Hitung keseimbangan cairan

                                                                   16
6) Asupan cairan minimal 2500 / hari
7) Berikan obat sesuai indikasi ; antipiretik, antiemetik
8) Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan




                                                            17
BAB III
                               TINJAUAN KASUS


     Anak usia 5 tahun dirawat di ruang melati karena Bronkopneumonia, anak
tampak lemah, suhu 38,5’C, nadi 90 kali/menit, Rr 60 kali/menit, terdengar ronchi
basah pada saat auskultasi paru dan tampak retraksi pada saat area dada. Secret
tampak banyak keluar dari hidung.


A. Analisa Kasus
    1.    Anak tersebut telah mengalami bronkopneumonia dilihat dari:
         a.   Respiratory rate 60 kali permenit. Berdasarkan teori di atas bahwa
              anak usia 1-5 tahun dapat dikatakan bronkhopneumonia apabila RR
              lebih dari 40 kali permenit. Apabila disertai dengan adanya retraksi
              dinding   dada   dan   anak    masih     sanggup   maka    dikatakan
              bronkhopenumonia berat. Pada kasus ini belum jelas dikatakan
              bronkhopneumonia karena perlu dikaji aspek kemampuan minum
              pada anak.
         b.   Anak mengalami peningkatan suhu tubuh sebagai salah satu
              manifestasi   bronkhopenumonia.        Hal   menunjukkan     adanya
              peradangan.
    2. Anak tempak lemah disebabkan oleh gangguan sistem pernafasan dimana
         terdapat penurunan compliance paru yang mengakibatkan suplai oksigen
         menurun dan terjadi hipoksia sehingga terjadilah metabolisme anaerob.
         Selain itu, efek pada saluran pencernaan adalah terjadi malabsorbsi dan
         penurunan nafsu makan akibat sesak nafas dan batuk sehingga akan
         mengganggu proses metabolisme nutrisi dalam tubuh. Selain itu,
         peningkatan metabolisme kalor juga mengakibatkan lemas.
    3. Peningkatann suhu 38,5’C merupakan akibat proses inflamasi yang
         merangsang mediator peradangan di hipotalamus meningkatkan suhu
         tubuh.



                                                                               18
4. RR di atas normal (60 kali permenit) merupakan mekanisme kompensasi
      saat terjadi penurunan suplai oksigen ke dalam tubuh yang disertai dengan
      retraksi dinding dada.
   5. Ronkhi basah terjadi karena adanya akumulasi sekret di dalam saluran
      nafas.


B. Pengkajian
   1. Kaji faktor resiko seperti usia, status gizi, kepadatan hunian, status sosial
      ekonomi.
   2. Riwayat penyakit yang pernah diderita sebelumnya seperti influenza.
   3. Kaji adanya anoreksia, sukar menelan, mual dan muntah.
   4. Kaji riwayat penyakit yang berhubungan dengan imunitas seperti
      malnutrisi.
   5. Kaji pola eliminasi yang didukung dengan pemeriksaan fisik abdomen.
   6. Pada pemeriksaan fisik:
      a.    Inspeksi : tampak adanya retraksi dada, tampak sesak nafas (RR 60
            kali permenit). Beberapa kasus disertai dengan sianosis dan
            menggigil.
      b.    Palpasi   : beberapa kasus akral dingin, kulit hangat (dibuktikan
            dengan pengukuran suhu tubuh).
      c.    Auskultasi : terdengar ronkhi basah halus dan nyaring.
      d.    Perkusi   : redup.
   7. Perlu adanya penambahan pada kasus hasil pemeriksaan penunjang seperti
      hasil laborat, foto thorak, saturasi oksigen.


C. Permasalahan utama
           Permasalah utama pada kasus tersebut adalah anak mengalami bersihan
   jalan nafas tidak efektif. Data yang menunjang adalah terdapat bunyi ronkhi
   saat auskultasi, terdapat secret yang banyak keluar dari hidung, Rr 60 kali
   permenit.



                                                                                19
D. Analisa Data
             Data                       Etiologi                 Problem
   Ds: -                        b.d penumpukan sekret     Bersihan jalan nafas
   Do: terdengar ronkhi         akibat inflamasi          tidak efektif
   basah pada auskultasi,
   secret tampak keluar
   banyak dari hidung, RR
   60 kali permenit
   Ds: -                        b.d penurunan             Pola nafas tidak efektif
   Do: tampak retraksi          compliance paru
   dada, RR 60 kali
   permenit, anak tampak
   lemah
   Ds: -                        b.d toksemia              Hipertermi
   Do: suhu tubuh 38,5’C,
   anak tampak lemah

E. Diagnosa Keperawatan
   1.   Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan
        sekret akibat inflamasi ditandai oleh sekret tampak banyak keluar dari
        hidung, ronkhi basah, RR 60 kali permenit.
        Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam jalan
        nafas menjadi bersih.
        Kriteria:
        a.   Suara nafas bersih tidak ada ronkhi
        b.   Sekret di jalan nafas bersih
        c.   RR normal 19-23 kali permenit
        Intervensi:
        a.   Observasi status pernafasan tiap 2 jam meliputi respiratory rate,
             penggunaan otot bantu nafas, warna kulit
        b.   Lakukan suction jika terdapat sekret di jalan nafas
        c.   Posisikan kepala lebih tinggi


                                                                                 20
d.   Lakukan postural drainage
     e.   Kolaborasi dengan fisiotherapist untuk melaakukan fisiotherapi dada
     f.   Jaga humidifasi oksigen yang masuk
     g.   Gunakan tehnik aseptik dalam penghisapan lendir


2.   Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan compliance paru
     ditandai oleh tampar retraksi dada, RR 60 kali permenit, anak tampak
     lemah.
     Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan 3 x 24 jam pola nafas
     kembali efektif.
     Kriteria Hasil:
     a.   Tidak ada retraksi dada
     b.   RR normal 19-23 kali permenit
     c.   Anak tampak segar, tidak lemah.
     Intervensi:
     a.   Pantau dan catat frekuensi pernafasan
     b.   Berikan oksigen sesuai kebutuhan
     c.   Posisikan tubuh kepala lebih tinggi
     d.   Pantau tanda-tanda sianosis
     e.   Ajarkan teknik nafas dalam


3.   Hipertermi berhubungan dengan toksimea ditandai oleh suhu 38,5 ‘C,
     anak tampak lemah.
     Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam suhu
     tubuh dalam batas normal (36,5-37,5’C).
     Kriteria Hasil :
     a. Pasien tidak memperlihatkan tanda peningkatan suhu tubuh
     b. Tidak menggigil
     c. Nadi dan suhu normal (36,5-37,5’C).


     Intervensi :

                                                                           21
a. Obeservasi suhu tubuh (4 jam)
b. Pantau warna kulit
c. Lakukan tindakan pendinginan sesuai kebutuhan (kompres)
d. Berikan obat sesuai indikasi : antiseptik dan antipiretik
e. Awasi kultur darah dan kultur sputum, pantau hasilnya setiap hari




                      DAFTAR PUSTAKA

                                                                       22
Corwin, EJ 2009, Buku Saku Patofisiologi, edk 3, Alih bahasa: Nike Budhi
         Subyekti, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Doenges, Marilynn 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3, Jakata : EGC.

Lackman’s, 1996, Care Principle and Practise Of Medical Surgical Nursing,
          Philadelpia : WB Saunders Company.

Price, Sylvia Anderson 2008, Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease
            Processes, Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4, Jakarta : EGC.

Smeltzer, SC & Brenda GB 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
          Brunner & Suddarth, Vol 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Sukandar, EY, et al, 2008, Iso Farmakotrapi, PT ISFI Penerbitan, Jakarta.

Zul, Dahlan, 2000, Ilmu Penyakit Dalam Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.




                                                                              23

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Askep Mastoiditis
Askep MastoiditisAskep Mastoiditis
Askep MastoiditisSri Nala
 
Laporan pendahuluan gea
Laporan pendahuluan geaLaporan pendahuluan gea
Laporan pendahuluan geaCha Cha
 
131550624 makalah-askep-pielonefritis
131550624 makalah-askep-pielonefritis131550624 makalah-askep-pielonefritis
131550624 makalah-askep-pielonefritisshaniawira dika
 
Pemeriksaan Lengkap Genetalia Wanita dan Pria
Pemeriksaan Lengkap Genetalia Wanita dan PriaPemeriksaan Lengkap Genetalia Wanita dan Pria
Pemeriksaan Lengkap Genetalia Wanita dan Priananda yudip
 
Asuhan keperawatan pasien dengan gastritis
Asuhan keperawatan pasien dengan gastritisAsuhan keperawatan pasien dengan gastritis
Asuhan keperawatan pasien dengan gastritisyayax911
 
Asuhan keperawatan pneumonia
Asuhan keperawatan pneumoniaAsuhan keperawatan pneumonia
Asuhan keperawatan pneumoniaAbdul Ghony
 
Askep diare anak
Askep diare anakAskep diare anak
Askep diare anakf' yagami
 
Asuhan keperawatan pada anak dengan bronkopneumonia
Asuhan keperawatan pada anak dengan bronkopneumoniaAsuhan keperawatan pada anak dengan bronkopneumonia
Asuhan keperawatan pada anak dengan bronkopneumoniakristanto djuwahir
 
Asuhan Keperawatan Infeksi
Asuhan Keperawatan InfeksiAsuhan Keperawatan Infeksi
Asuhan Keperawatan InfeksiAmee Hidayat
 
Lp faringitis
Lp faringitisLp faringitis
Lp faringitismaelmery
 
Makalah osteomalasitis
Makalah osteomalasitisMakalah osteomalasitis
Makalah osteomalasitisKANDA IZUL
 
2. lp kebutuhan cairan dan elektrolit
2. lp kebutuhan cairan dan elektrolit2. lp kebutuhan cairan dan elektrolit
2. lp kebutuhan cairan dan elektrolitmasantian
 
Lp hipertensi pada kehamilan
Lp hipertensi pada kehamilanLp hipertensi pada kehamilan
Lp hipertensi pada kehamilanNovita Novita
 
Laporan Pendahuluan Bronkitis
Laporan Pendahuluan BronkitisLaporan Pendahuluan Bronkitis
Laporan Pendahuluan BronkitisSelvia Agueda
 
Asuhan keperawatan gangguan_rasa_nyaman
Asuhan keperawatan gangguan_rasa_nyamanAsuhan keperawatan gangguan_rasa_nyaman
Asuhan keperawatan gangguan_rasa_nyamanMeidaElliaPuspita
 

Was ist angesagt? (20)

Askep tetanus
Askep tetanusAskep tetanus
Askep tetanus
 
Askep Mastoiditis
Askep MastoiditisAskep Mastoiditis
Askep Mastoiditis
 
Laporan pendahuluan gea
Laporan pendahuluan geaLaporan pendahuluan gea
Laporan pendahuluan gea
 
131550624 makalah-askep-pielonefritis
131550624 makalah-askep-pielonefritis131550624 makalah-askep-pielonefritis
131550624 makalah-askep-pielonefritis
 
Pemeriksaan Lengkap Genetalia Wanita dan Pria
Pemeriksaan Lengkap Genetalia Wanita dan PriaPemeriksaan Lengkap Genetalia Wanita dan Pria
Pemeriksaan Lengkap Genetalia Wanita dan Pria
 
Askep faringitis
Askep faringitisAskep faringitis
Askep faringitis
 
Askep oma omk
Askep oma omkAskep oma omk
Askep oma omk
 
Asuhan keperawatan pasien dengan gastritis
Asuhan keperawatan pasien dengan gastritisAsuhan keperawatan pasien dengan gastritis
Asuhan keperawatan pasien dengan gastritis
 
Asuhan keperawatan pneumonia
Asuhan keperawatan pneumoniaAsuhan keperawatan pneumonia
Asuhan keperawatan pneumonia
 
Askep diare anak
Askep diare anakAskep diare anak
Askep diare anak
 
Asuhan keperawatan pada anak dengan bronkopneumonia
Asuhan keperawatan pada anak dengan bronkopneumoniaAsuhan keperawatan pada anak dengan bronkopneumonia
Asuhan keperawatan pada anak dengan bronkopneumonia
 
Asuhan Keperawatan Infeksi
Asuhan Keperawatan InfeksiAsuhan Keperawatan Infeksi
Asuhan Keperawatan Infeksi
 
Lp faringitis
Lp faringitisLp faringitis
Lp faringitis
 
Makalah osteomalasitis
Makalah osteomalasitisMakalah osteomalasitis
Makalah osteomalasitis
 
2. lp kebutuhan cairan dan elektrolit
2. lp kebutuhan cairan dan elektrolit2. lp kebutuhan cairan dan elektrolit
2. lp kebutuhan cairan dan elektrolit
 
Lp hipertensi pada kehamilan
Lp hipertensi pada kehamilanLp hipertensi pada kehamilan
Lp hipertensi pada kehamilan
 
Laporan Pendahuluan Bronkitis
Laporan Pendahuluan BronkitisLaporan Pendahuluan Bronkitis
Laporan Pendahuluan Bronkitis
 
Askep dermatitis
Askep dermatitisAskep dermatitis
Askep dermatitis
 
Asuhan keperawatan gangguan_rasa_nyaman
Asuhan keperawatan gangguan_rasa_nyamanAsuhan keperawatan gangguan_rasa_nyaman
Asuhan keperawatan gangguan_rasa_nyaman
 
Konsep infeksi
Konsep infeksiKonsep infeksi
Konsep infeksi
 

Ähnlich wie Asuhan keperawatan pada klien dengan bronkopneumonia (20)

Bab ii-tinjauan-pustaka-brpn
Bab ii-tinjauan-pustaka-brpnBab ii-tinjauan-pustaka-brpn
Bab ii-tinjauan-pustaka-brpn
 
Bab ii-tinjauan-pustaka-brpn
Bab ii-tinjauan-pustaka-brpnBab ii-tinjauan-pustaka-brpn
Bab ii-tinjauan-pustaka-brpn
 
Edi
EdiEdi
Edi
 
Lp dokep kel.ndariiiii
Lp dokep kel.ndariiiiiLp dokep kel.ndariiiii
Lp dokep kel.ndariiiii
 
223720883 case-pneumonia
223720883 case-pneumonia223720883 case-pneumonia
223720883 case-pneumonia
 
Pneumonia
PneumoniaPneumonia
Pneumonia
 
Bronkopneumonia
BronkopneumoniaBronkopneumonia
Bronkopneumonia
 
Makalah ispa
Makalah ispaMakalah ispa
Makalah ispa
 
Makalah ispa
Makalah ispaMakalah ispa
Makalah ispa
 
Pneumoni1
Pneumoni1Pneumoni1
Pneumoni1
 
Pneumoni1
Pneumoni1Pneumoni1
Pneumoni1
 
pnemoni 10.ppt
pnemoni 10.pptpnemoni 10.ppt
pnemoni 10.ppt
 
Makalah ispa
Makalah ispaMakalah ispa
Makalah ispa
 
Bab 2
Bab 2Bab 2
Bab 2
 
Ani pneumonia
Ani pneumoniaAni pneumonia
Ani pneumonia
 
Ani pneumonia
Ani pneumoniaAni pneumonia
Ani pneumonia
 
Infeksi Saluran Pernafasan Atas
Infeksi Saluran Pernafasan AtasInfeksi Saluran Pernafasan Atas
Infeksi Saluran Pernafasan Atas
 
Pneu
PneuPneu
Pneu
 
FARMAKOTERAPI REFANI ADHA 12171014.pptx
FARMAKOTERAPI REFANI ADHA 12171014.pptxFARMAKOTERAPI REFANI ADHA 12171014.pptx
FARMAKOTERAPI REFANI ADHA 12171014.pptx
 
Makalah+diagnostik+klinik+kel7
Makalah+diagnostik+klinik+kel7Makalah+diagnostik+klinik+kel7
Makalah+diagnostik+klinik+kel7
 

Asuhan keperawatan pada klien dengan bronkopneumonia

  • 1. BAB I PENDAHULUAN Pneumonia sebenarnya bukan penyakit baru. American Lung Association misalnya, menyebutkan hingga tahun 1936 pneumonia menjadi penyebab kematian nomor satu di Amerika. Penggunaan antibiotik membuat penyakit bisa di kontrol beberapa tahun kemudian. Namun, tahun 2000 kombinasi pneumonia dan influenza kembali merajalela dan menjadi penyebab kematian ke tujuh di negara itu (Setiawan, 2009). Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus ( biasa disebut bronchopneumonia ). Gejala penyakit ini berupa napas cepat dan sesak, karena paru meradang secara mendadak. Batas napas cepat adalah frekuensi pernapasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali per menit atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun. Pada anak usia di bawah 2 bulan tidak dikenal diagnosa pneumonia (Setiawan, 2009). Secara global, sekitar 1,6 juta kematian setiap tahun disebabkan oleh penyakit yang disebabkan oleh 'Streptokokus pneumoiae' (pneumococcal disease), di dalamnya 700.000 hingga satu juta Balita terutama berasal dari negara berkembang. Dilaporkan, di kawasan Asia - Pasifik diperkirakan sebanyak 860.000 Balita meninggal setiap tahunnya atau sekitar 98 anak setiap jam. Secara nasional angka kejadian Pneumonia belum diketahui secara pasti, data yang ada baru berasal dari laporan Subdit ISPA Ditjen P2M-PL Depkes RI tahun 2007. Dalam laporan tersebut disebutkan, dari 31 provinsi ditemukan 477.429 anak Balita dengan pneumonia atau 21,52 persen dari jumlah seluruh Balita di Indonesia. Proporsinya 35,02 persen pada usia di bawah satu tahun dan 64,97 persen pada usia satu hingga empat tahun. Jika dirata-ratakan, sekitar 2.778 anak meninggal setiap harinya akibat pneumonia (Suriani, 2009). Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia karena angka kematiannya tinggi, tidak saja di negara berkembang,tapi juga di negara maju 1
  • 2. seperti AS, Kanada dan negara – negara Eropa.Di AS misalnya , terdapat dua juta sampai tiga juta kasus pneumonia per tahun dengan jumlah kematian rata – rata 45.000 orang dan angka kematian akibat pneumonia mencapai 25 % di Spanyol dan 12 % atau 25. 30 per 100.000 penduduk di Inggris. Dari data SEMIC Healt Statistik 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapora,nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran nafas akut temtasuk pneumonia (Setiawan, 2009). Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah kardiovaskuler dan tuberkolosis. Faktor social ekonomi yang rendah memper tinggi angka kematian. Penanggulangan penyakit pneumonia menjadi fokus ketiga dari program P2ISPA (Penanggulangan Penyakit Infeksi saluran Pernapasan Akut). Program ini mengupayakan agar istilah Pneumonia lebih dikenal masyarakat, sehingga memudahkan kegiatan penyuluhan dan penyebaran informasi tentangpenangulangan Pneumonia (Setiawan, 2009). 2
  • 3. BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Pneumonia adalah inflamasi atau infeksi pada parenkim paru (Betz C, 2002). Pneumonia adalah peradangan alveoli atau pada parenchim paru yang terjadi pada anak (Suriadi Yuliani, 2001). Pneumonia adalah suatu peradangan paru yang disebabkan oleh bermacam- macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing (Ika, 2001). Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat (Whalley and Wong, 1996). Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan pneumonia yang mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi didalam bronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya. Pada bronkopneumonia terjadi konsolidasi area berbercak. (Smeltzer,2001). Jadi bronkopnemonia adalah infeksi atau peradangan pada jaringan paru terutama alveoli atau parenkim yang sering menyerang pada anak – anak. B. Etiologi Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah : 1. Faktor Infeksi a. Pada neonatus : Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus (RSV). b. Pada bayi : 1) Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV, Cytomegalovirus. 2) Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis. 3
  • 4. 3) Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium tuberculosa, B. pertusis. c. Pada anak-anak : 1) Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP 2) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia 3) Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa. d. Pada anak besar – dewasa muda : 1) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. Trachomatis 2) Bakteri : Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis. 2. Faktor Non Infeksi Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi : a. Bronkopneumonia hidrokarbon Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung ( zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin). b. Bronkopneumonia lipoid Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti latoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan. Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak, malnutrisi energy protein (MEP), penyakit menahun, pengobatan antibiotik yang tidak sempurna merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini. 4
  • 5. C. Patofisiologi Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain : 1. Inhalasi langsung dari udara. 2. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring 3. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain 4. Penyebaran secara hematogen. Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri dari : 1. Susunan anatomis rongga hidung 2. Jaringan limfoid di nasofaring 3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari IgA. Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik. Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu : 1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti) Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator 5
  • 6. peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin. 2. Stadium II (48 jam berikutnya) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. 3. Stadium III (3 – 8 hari) Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti. 4. Stadium IV (7 – 11 hari) Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula. 6
  • 7. D. Manifestasi Klinis Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40˚C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnea, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif. Pada pemeriksaan fisik didapatkan: 1. Inspeksi: pernafasan cuping hidung (+), sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi sela iga. 2. Palpasi: Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit. 3. Perkusi: Sonor memendek sampai beda. 4. Auskultasi: Suara pernafasan mengeras (vesikuler mengeras) disertai ronki basah gelembung halus sampai sedang. Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar lagi.Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu. E. Klasifikasi 1. Bronkopneumonia sangat berat Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum,maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika. 2. Bronkopneumonia berat Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika. 7
  • 8. 3. Bronkopneumonia Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat : a. Lebih dari 60 x/menit pada anak usia kurang dari 2 bulan b. Lebih dari 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun c. Lebih dari 40 x/menit pada anak usia 1 - 5 tahun. 4. Bukan bronkopenumonia : Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotika. Diagnosis pasti dilakukan dengan identifikasi kuman penyebab: a. Kultur sputum atau bilasan cairan lambung b. Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus c. Deteksi antigen bakteri F. Pemeriksaan Diagnostik 1. Foto polos: digunakan untuk melihat adanya infeksi di paru dan status pulmoner 2. Nilai analisa gas darah: untuk mengetahui status kardiopulmoner yang berhubungan dengan oksigenasi 3. Hitung darah lengkap dan hitung jenis: digunakan untuk menetapkan adanya anemia, infeksi dan proses inflamasi 4. Pewarnaan gram: untuk seleksi awal anti mikroba 5. Tes kulit untuk tuberkulin: untuk mengesampingkan kemungkinan terjadi tuberkulosis jika anak tidak berespon terhadap pengobatan 6. Jumlah lekosit: terjadi lekositosis pada pneumonia bakterial 7. Tes fungsi paru: digunakan untuk mengevaluasi fungsi paru, menetapkan luas dan beratnya penyakit dan membantu memperbaiki keadaan. 8. Spirometri statik digunakan untuk mengkaji jumlah udara yang diinspirasi 9. Kultur darah spesimen darah untuk menetapkan agen penyebab seperti virus 8
  • 9. G. Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan Medik Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi tetapi hal ini tidak dapat selalu dilakukan dan memakan waktu yang cukup lama, maka dalam praktek diberikan pengobatan polifarmasi maka yang biasanya diberikan: a. Penisilin 50.000 U/kgBB/hari,ditambah dengan kloramfenikol 50-70 mg/kgBB/hari atau diberikan antibiotik yang mempunyai spektrum luas seperti ampisilin. Pengobatan ini diteruskan sampai bebas demam 4-5 hari. b. Pemberian oksigen dan cairan intravena, biasanya diperlukan campuran glukose 5% dan Nacl 0.9% dalam perbandingan 3:1 ditambah larutan KCL 10 mEq/500 ml/botol infus. c. Karena sebagian besar pasien jatuh kedalam asidosis metabolik akibat kurang makan dapat diberikan koreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah arteri. d. Pasien bronkopnemonia ringan tidak usah dirawat dirumah sakit. 2. Penatalaksanaan Keperawatan Seringkali pasien pneumonia yang dirawat di rumah sakit datang sudah dalam keadaan payah, sangat dispnea, pernapasan cuping hidung, sianosis, dan gelisah. Masalah yang perlu diperhatikan ialah: a. Menjaga kelancaran pernafasan. b. Kebutuhan istirahat. c. Kebutuhan nutrisi dan cairan. d. Mengontrol suhu tubuh. e. Mencegah komplikasi/gangguan rasa aman dan nyaman. f. Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit. 9
  • 10. H. Komplikasi 1. Otitis media 2. Bronkiektase 3. Abses paru 4. Empiema I. Prognosis Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan. Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri. J. Pencegahan Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti: cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang cukup, rajin berolahraga. 10
  • 11. K. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a. Riwayat kesehatan 1) Adanya riwayat infeksi saluran pernapasan sebelumnya : batuk, pilek, demam. 2) Anorexia, sukar menelan, mual dan muntah. 3) Riwayat penyakit yang berhubungan dengan imunitas seperti malnutrisi. 4) Anggota keluarga lain yang mengalami sakit saluran pernapasan 5) Batuk produktif, pernafasan cuping hidung, pernapasan cepat dan dangkal, gelisah, sianosis b. Factor fsikologis/ perkembangan memahami tindakan 1) Usia tingkat perkembangan 2) Toleransi/ kemampuan memahami tindakan c. Koping d. Pengalaman terpisah dari keluarga / orang tua e. Pengalaman infeksi saluran pernafasan sebelumnya f. Pengetahuan keluarga/ orang tua 1) Tingkat pengetahuan keluarga tentang penyakit saluran pernapasan 2) Pengalaman keluarga tentang penyakit saluran pernafasan 3) Kesiapan/ kemauan keluarga untuk belajar merawat anaknya g. Aktivitas/ istirahat 1) Gejala : Kelemahan, kelelahan, insomnia 2) Tanda : Letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas h. Sirkulasi 1) Gejala : Riwayat gagal jantung kronis 2) Tanda : Takikardi, penampilan keperanan atau pucat i. Makanan/ Cairan 1) Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual / muntah 11
  • 12. 2) Tanda : Distensi abdomen, hiperaktif bunyi usus, kulit kering dengan turgor buruk, penampilan malnutrusi j. Neurosensori 1) Gejala : Sakit kepala dengan frontal 2) Tanda : Perubahan mental k. Nyeri / Kenyamanan 1) Gejala : Sakit kepala, nyeri dada meningkat dan batuk myalgia, atralgia l. Pernafasan 1) Gejala : Riwayat PPOM, merokok sigaret, takipnea, dispnea, pernafasan dangkal, penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal 2) Tanda : Sputum ; merah muda, berkarat atau purulen. Perkusi; pekak diatas area yang konsolidasi, gesekan friksi pleural. Bunyi nafas ; menurun atau tak ada di atas area yang terlibat atau nafas bronkial. Framitus; taktil dan vokal meningkat dengan konsolidasi. m. Keamanan 1) Gejala : Riwayat gangguan sistem imun, demam. 2) Tanda : Berkeringat, menggigil berulang, gemetar, kemerahan, mungkin pada kasus rubela / varisela 2. Data Fokus a. Data Subyektif Anak dikeluhkan rewel, tidak mau makan, sesak nafas, terdengar suara grek-grek, anak mencret. b. Data Obyektif Pernafasan cepat dan dangkal , pernafasan cuping hidung, cianosis, batuk berdahak sputum purulen, penggunaan otot bantu nafas, bunyi nafas bronchovesikuler, ronchi, respirasi meningkat, peningkatan suhu 12
  • 13. tubuh, penurunan nafsu makan, muntah malaise, penurunan berat badan dan lain-lain. 3. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret di jalan nafas Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam jalan nafas menjadi bersih Kriteria: 1) Suara nafas bersih tidak ada ronkhi atau rales, wheezing 2) Sekret di jalan nafas bersih 3) Cuping hidung tidak ada 4) Tidak ada sianosis Intervensi: 1) Observasi status pernafasan tiap 2 jam meliputi respiratory rate, penggunaan otot bantu nafas, warna kulit 2) Lakukan suction jika terdapat sekret di jalan nafas 3) Posisikan kepala lebih tinggi 4) Lakukan postural drainage 5) Kolaborasi dengan fisiotherapist untuk melaakukan fisiotherapi dada 6) Jaga humidifasi oksigen yang masuk 7) Gunakan tehnik aseptik dalam penghisapan lendir b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya penumpukan cairan di alveoli paru Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam pertukaran gas dalam alveoli adekuat. Kriteria: 1) Akral hangat 2) Tidak ada tanda sianosis 13
  • 14. 3) Tidak ada hipoksia jaringan 4) Saturasi oksigen 90-100% Intervensi: 1) Pertahankan kepatenan jalan nafas 2) Keluarkan lendir jika ada dalam jalan nafas 3) Periksa kelancaran aliran oksigen 5-6 liter per menit 4) Laporkan tanda-tanda hipoksia/ sianosis 5) Awasi tingkat kesadaran klien c. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh akibat proses infeksi, toksimea. Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5’C). Kriteria Hasil : 1) Pasien tidak memperlihatkan tanda peningkatan suhu tubuh 2) Tidak menggigil 3) Nadi dan suhu normal Intervensi : 1) Obeservasi suhu tubuh (4 jam) 2) Pantau warna kulit 3) Lakukan tindakan pendinginan sesuai kebutuhan (kompres) 4) Berikan obat sesuai indikasi : antiseptik dan antipiretik 5) Awasi kultur darah dan kultur sputum, pantau hasilnya setiap hari d. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan utama, tidak adekuat pertahanan sekunder (adanya infeksi, penekanan imun) Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi penyabaran infeksi. 14
  • 15. Kriteria Hasil : 1) Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi 2) Mengidentifikasikan intervensi untuk mencegah / menurunkan resiko infeksi Intervensi : 1) Pantau TTV 2) Anjurkan klien memperhatikan pengeluaran sekret dan melaporkan perubahan warna jumlah dan bau sekret 3) Dorong teknik mencuci tangan dengan baik 4) Dorong keseimbangan istirahat adekuat dengan aktivitas sedang. 5) Berikan antibiotik sesuai indikasi e. Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam klien kembali toleran terhadap aktivitas. Kriteria Hasil : 1) Melaporkan / menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tak adanya dispnea, kelemahan berlebihan dan TTV dalam rentang normal. Intervensi : 1) Evaluasi respon klien terhadap aktivitas 2) Berikan lingkungan terang dan batasi pengunjung 3) Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat kepada orang tua 4) Bantu pasien memilih posisi yang nyaman untuk istirahat / tidur 5) Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan 15
  • 16. f. Resti nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi. Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam kebutuhan nutrisi terpenuhi. Kriteria Hasil : 1) Menunjukkan peningkatan nafsu makan 2) Berat badan stabil atau meningkat Intervensi : 1) Indentifikasi faktor yang menimbulkan mual atau muntah 2) Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin 3) Auskultasi bunyi usus 4) Berikan makan porsi kecil dan sering 5) Evaluasi status nutrisi g. Resti kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihan (demam, berkeringan banyak, hiperventilasi, muntah). Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi kekurangan volume cairan. Kriteria Hasil : 1) Balance cairan seimbang 2) Membran mukosa lembab, turgor normal, pengisian kapiler cepat Intervensi : 1) Observasi perubahan TTV 2) Observasi turgor kulit, kelembaban membran mukosa 3) Catat laporan mual / muntah 4) Pantau masukan dan keluaran, catat warna, karakter urine 5) Hitung keseimbangan cairan 16
  • 17. 6) Asupan cairan minimal 2500 / hari 7) Berikan obat sesuai indikasi ; antipiretik, antiemetik 8) Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan 17
  • 18. BAB III TINJAUAN KASUS Anak usia 5 tahun dirawat di ruang melati karena Bronkopneumonia, anak tampak lemah, suhu 38,5’C, nadi 90 kali/menit, Rr 60 kali/menit, terdengar ronchi basah pada saat auskultasi paru dan tampak retraksi pada saat area dada. Secret tampak banyak keluar dari hidung. A. Analisa Kasus 1. Anak tersebut telah mengalami bronkopneumonia dilihat dari: a. Respiratory rate 60 kali permenit. Berdasarkan teori di atas bahwa anak usia 1-5 tahun dapat dikatakan bronkhopneumonia apabila RR lebih dari 40 kali permenit. Apabila disertai dengan adanya retraksi dinding dada dan anak masih sanggup maka dikatakan bronkhopenumonia berat. Pada kasus ini belum jelas dikatakan bronkhopneumonia karena perlu dikaji aspek kemampuan minum pada anak. b. Anak mengalami peningkatan suhu tubuh sebagai salah satu manifestasi bronkhopenumonia. Hal menunjukkan adanya peradangan. 2. Anak tempak lemah disebabkan oleh gangguan sistem pernafasan dimana terdapat penurunan compliance paru yang mengakibatkan suplai oksigen menurun dan terjadi hipoksia sehingga terjadilah metabolisme anaerob. Selain itu, efek pada saluran pencernaan adalah terjadi malabsorbsi dan penurunan nafsu makan akibat sesak nafas dan batuk sehingga akan mengganggu proses metabolisme nutrisi dalam tubuh. Selain itu, peningkatan metabolisme kalor juga mengakibatkan lemas. 3. Peningkatann suhu 38,5’C merupakan akibat proses inflamasi yang merangsang mediator peradangan di hipotalamus meningkatkan suhu tubuh. 18
  • 19. 4. RR di atas normal (60 kali permenit) merupakan mekanisme kompensasi saat terjadi penurunan suplai oksigen ke dalam tubuh yang disertai dengan retraksi dinding dada. 5. Ronkhi basah terjadi karena adanya akumulasi sekret di dalam saluran nafas. B. Pengkajian 1. Kaji faktor resiko seperti usia, status gizi, kepadatan hunian, status sosial ekonomi. 2. Riwayat penyakit yang pernah diderita sebelumnya seperti influenza. 3. Kaji adanya anoreksia, sukar menelan, mual dan muntah. 4. Kaji riwayat penyakit yang berhubungan dengan imunitas seperti malnutrisi. 5. Kaji pola eliminasi yang didukung dengan pemeriksaan fisik abdomen. 6. Pada pemeriksaan fisik: a. Inspeksi : tampak adanya retraksi dada, tampak sesak nafas (RR 60 kali permenit). Beberapa kasus disertai dengan sianosis dan menggigil. b. Palpasi : beberapa kasus akral dingin, kulit hangat (dibuktikan dengan pengukuran suhu tubuh). c. Auskultasi : terdengar ronkhi basah halus dan nyaring. d. Perkusi : redup. 7. Perlu adanya penambahan pada kasus hasil pemeriksaan penunjang seperti hasil laborat, foto thorak, saturasi oksigen. C. Permasalahan utama Permasalah utama pada kasus tersebut adalah anak mengalami bersihan jalan nafas tidak efektif. Data yang menunjang adalah terdapat bunyi ronkhi saat auskultasi, terdapat secret yang banyak keluar dari hidung, Rr 60 kali permenit. 19
  • 20. D. Analisa Data Data Etiologi Problem Ds: - b.d penumpukan sekret Bersihan jalan nafas Do: terdengar ronkhi akibat inflamasi tidak efektif basah pada auskultasi, secret tampak keluar banyak dari hidung, RR 60 kali permenit Ds: - b.d penurunan Pola nafas tidak efektif Do: tampak retraksi compliance paru dada, RR 60 kali permenit, anak tampak lemah Ds: - b.d toksemia Hipertermi Do: suhu tubuh 38,5’C, anak tampak lemah E. Diagnosa Keperawatan 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret akibat inflamasi ditandai oleh sekret tampak banyak keluar dari hidung, ronkhi basah, RR 60 kali permenit. Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam jalan nafas menjadi bersih. Kriteria: a. Suara nafas bersih tidak ada ronkhi b. Sekret di jalan nafas bersih c. RR normal 19-23 kali permenit Intervensi: a. Observasi status pernafasan tiap 2 jam meliputi respiratory rate, penggunaan otot bantu nafas, warna kulit b. Lakukan suction jika terdapat sekret di jalan nafas c. Posisikan kepala lebih tinggi 20
  • 21. d. Lakukan postural drainage e. Kolaborasi dengan fisiotherapist untuk melaakukan fisiotherapi dada f. Jaga humidifasi oksigen yang masuk g. Gunakan tehnik aseptik dalam penghisapan lendir 2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan compliance paru ditandai oleh tampar retraksi dada, RR 60 kali permenit, anak tampak lemah. Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan 3 x 24 jam pola nafas kembali efektif. Kriteria Hasil: a. Tidak ada retraksi dada b. RR normal 19-23 kali permenit c. Anak tampak segar, tidak lemah. Intervensi: a. Pantau dan catat frekuensi pernafasan b. Berikan oksigen sesuai kebutuhan c. Posisikan tubuh kepala lebih tinggi d. Pantau tanda-tanda sianosis e. Ajarkan teknik nafas dalam 3. Hipertermi berhubungan dengan toksimea ditandai oleh suhu 38,5 ‘C, anak tampak lemah. Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5’C). Kriteria Hasil : a. Pasien tidak memperlihatkan tanda peningkatan suhu tubuh b. Tidak menggigil c. Nadi dan suhu normal (36,5-37,5’C). Intervensi : 21
  • 22. a. Obeservasi suhu tubuh (4 jam) b. Pantau warna kulit c. Lakukan tindakan pendinginan sesuai kebutuhan (kompres) d. Berikan obat sesuai indikasi : antiseptik dan antipiretik e. Awasi kultur darah dan kultur sputum, pantau hasilnya setiap hari DAFTAR PUSTAKA 22
  • 23. Corwin, EJ 2009, Buku Saku Patofisiologi, edk 3, Alih bahasa: Nike Budhi Subyekti, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Doenges, Marilynn 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3, Jakata : EGC. Lackman’s, 1996, Care Principle and Practise Of Medical Surgical Nursing, Philadelpia : WB Saunders Company. Price, Sylvia Anderson 2008, Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes, Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4, Jakarta : EGC. Smeltzer, SC & Brenda GB 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, Vol 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Sukandar, EY, et al, 2008, Iso Farmakotrapi, PT ISFI Penerbitan, Jakarta. Zul, Dahlan, 2000, Ilmu Penyakit Dalam Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 23