Dokumen tersebut membahas tentang penerapan anggaran berbasis kinerja di Indonesia yang diatur dalam UU No. 17 tahun 2013 namun pelaksanaannya masih menghadapi berbagai hambatan seperti perencanaan kinerja yang kurang jelas dan indikator yang tidak terukur. Dokumen tersebut juga membandingkan penerapan anggaran berbasis kinerja di Australia yang lebih matang.
2. Anggaran berbasin kinerja (ABK) diatur dalam UU no.17 tahun 2013
Dilaksanakan bertahap dari thn 2005
Pelaksanaannya dicover dengan aplikasi RKA KL yang sudah dijalankan oleh semua
kementerian/lembaga di Indonesia
….???? Apakah kinerja sudah menjadi basis penyusunan anggaran.
Penyusunan sekedar
1. Nama program dan
2. Kegiatan & sub kegiatan
3. Namun substansi ukuran kinerja dan penyusunannnya nampaknya belum sesuai dengan
prinsip-prinsip penganggaran kinerja.
1. Njlimet
2. Tidak fleksibel yang menghambat
3. Tidak memberikan kebebasan dalam mengelola sumber daya
ABK adalah sistem: perencanaan, penganggaran, evaluasi berfokus pada keterkaitan
antara hasil yang diinginkan.
4. Penganggaran yang baik selalu dimulai dari perencanaan yang baik, tetapi
perencanaan yang baik tidak selalu diajalankan dengan baik.
Penganggaran yang baik seharusnya dimulai dari perencanaan kinerja, baik dari level
nasional maupun level instansi, yang berisi komitmen, dijabarkan dalam program dan
kegiatan yang ingin dilaksanakan.
Kemudian disusunlah anggaran berdasarkan program dan kegiatan dan dilakukan
pembahasan dengan otoritas anggaran.
TETAPI!!! Dalam prakteknya masih banyak dijumpai kelemahan-kelemahan.
5. RKP: meski pemerintah memiliki RKP, tetapi RKP merupakan kompilasi usulan program
kementerian/lembaga dengan indicator beragam yang membuat bappenas
kebingungan dalam merumuskan indikator kinerja nasional
Dalam RKP tidak dijelaskan:
Kinerja yang spesifik dan terukur dari program-program
Siapa saja instansi yang bertanggung-jawab
Bagaimana kontribusi masing-masing instansi
Meskipun dalam RKP tercantum sasaran program, tetapi dirumuskan dalam Bahasa
langit dan muluk tidak jelas bagaimana mengukurnya dan berapa capaian targetnya.
6. Ketidakjelasan perencanaan kinerja pada lvl nasional mempengaruhi renja masing-
masing kementrian/lembaga
Penamaan program terpengaruh versi lama, tidak mencerminkan core business
Banyak nama program yang bersifat generik.
Untuk program yang sama tiap instansi mendifinisikan sendiri-sendiri apa sasaran
programnya, sehingga menyulitkan perumusan ukuran kinerja nasional
Program pemerintah dan kementrian belum terstruktur dengan baik sehingga sulit
dipetakan keterkaitannya
7. Formulir RKA Kl tidak mendorong kementerian/lembaga untuk menyatakan
kinerjanya, baik kinerja hasil maupun keluaran (output)
Formulir RKA KL mengharuskan perhitungan detil anggaran per kegiatan, sub
kegiatan, jenis belanja, mata nggaran sehingga terkesan kaku dan rinci
Informasi mengenai hasil program/output sangat minim apalagi mengenai targetnya.
Indikator suatu program hanya dinyatakan secara kualitatif dan naratif (tanpa
target) sementara indicator untuk keluaran tidak ada.
Hanya muncul indicator keluaran secara rinci per sub-sub kegiatan
Dalam formulir 1.5 kementerian hanya diminta membuat perhitungan pada input
dengan mengalikan volume kegiatan dengan harga satuannya. Sehingga RKAKL
menjadi dokumen perhitungan aritmatis anggaran.
8. Sehingga sulit untuk berharap RKAKL sekarag bisa memenuhi kriteria SMART
(specific, measurable, achievable, relevan, time bound). Bila tidak dilakukan
perubahan pola perencanaan kinerja dan penyempurnaan format RKAKL
Kondisi-kondisi di atas diperparah dengan
Tidak adanya standar biaya.
Standar pelayanan minimal
Standar biaya yang sekarang hanya berorientasi pada input seperti (uang lauk pauk
perhari, honor, dll)
Kementerian juga kesulitan menyusuna standar biaya khusus untuk program-
program dan kegiatan-kegiatan. Karean
Tidak adanya database dan
Sistem pencatatan dan akuntansi kurang baik.
9. Tidak adanya standar biaya membuat efisiensi suatu program sulit di ukur
Sedangkan terkait dengan SPM hanya baru ada 7 kementerian yang memilikinya.
Yang lebih menyedihkan adalah…!!!
Pembahasan anggaran antara
DPR, Pemerintah, Kementerian/Lembaga
Tidak Mengacu Pada Anggaran Berbasis Kinerja
Diantara faktor penyebabnya adalah:
Keterbatasan kemampuan anggota DPR
Ketimpangan informasi (Renja & Lakip tidak sampai, format RKAKL)
10. Sudah banyak negara-negara lain yang sudah menganut penganggaran berbasis
kinerja.
Salah satu negara yang paling maju dalam penerapan anggaran ini adalah Australia.
Melakukan integrasi sistem akuntansi dan penganggarannya dan merestrukturisasi
keduanya dengan orientasi pada outcome.
Pemerintah Australia mengembangkan outcome-output approach dimana
Pemerintah menentukan platform kebijakan dan prioritas yang ingin dicapai
Kemudian ini menjadi rukujan bagi menteri utk merumuskan outcome
Dan bagi unit kerja di bawahnya mengembangkan output untuk mendukung
Outcome tersebut
11. Banyak juga dari unit kerja menggunakan pendekatan balance scorecard dalam
merumuskan outcome/output agar tercapai keselarasan kebijakan dengan
outcome/output yang akan dihasilkan.
Selain itu pemerintah austrlia juga:
Konsultasi ektensif antara pihak-pihak terkait
1. Government Outcome Statement
2. Angency Output
Stakeholder Grup pelanggan
12. Selain itu dalam dokumen anggarannya:
Terlihat jelas alokasi anggaran
Terpetakan dan terstruktur
Terdapat indicator spesifik dan terukur (outcome diukur dengan ukuran efektivitas
sedangkan output diukur dengan tiga hal: 1. kuantitas, 2. kualitas, 3. harga)
Pembahasan di parlemen dilakukan dengan mempertimbangkan kinerja yang
ditergetkan .
Appropriasi anggaran didasarkan pada outcome yang dihasilkan
Output Outcome