2. Perbankan merupakan sektor usaha yang diatur
dengan sangat ketat karena alasan-alasan
tertentu.
Bagian pertama bab ini membicarakan
manajemen risiko yang dirumuskan oleh Komite
Basel, yang berujung pada perhitungan modal
yang berbasis risiko. Pembicaraan diteruskan
dengan membahas peraturan manajemen risiko
bank di Indonesia.
Bagian kedua membicarakan manajemen risiko
di Chase Manhattan Bank. Chase merupakan
bank dengan operasi global.
3. RISIKO PERBANKAN
Komite Basel merupakan komite yang terdiri dari perwakilan bank
sentral dari negara G10 plus dua negara lainnya, yang mempunyai
tiga tujuan dalam kaitannya dengan regulasi mengenai perbankan.
Ketiga tujuan tersebut adalah:
1. Memperkuat kelayakan dan stabilitas sistem perbankan
internasional
2. Menciptakan kerangka yang adil untuk mengukur kecukupan
modal bank internasional
3. Mempunyai kerangka yang bisa diterapkan secara konsisten untuk
menyamakan ‘level playing field’ (ketidaksamaan landasan kompetisi)
antar bank internasional.
Komite tersebut merumuskan regulasi perbankan, yang pada
akhirnya banyak diadopsi oleh regulator perbankan di negara
lainnya. Bagian ini membicarakan rumusan aturan yang
dikembangkan oleh komite Basel.
Komite Basel 1 untuk pengawasan perbankan didirikan pada tahun
1974 oleh gubernur bank sentral Negara G10 plus 2 negara lainnya
(Spanoly dan Luxemburg).
5. Salah satu rumusan Basel 1 untuk mencapai
tujuannya adalah konsep risk weighted assets
(Aset berbobot risiko). Aset berbobot risiko
adalah aset bank yang dikalikan dengan bobot
risiko (risk weight), yang kemudian dipakai
untuk perhitungan modal yang disyaratkan.
Semakin tinggi risiko aset bank, semakin tinggi
bobot risiko aset tersebut.
Komite Basel menggunakan lima kategori kelas
aset, yang berarti menggunakan lima kategori
bobot risiko, yaitu 0%, 10%, 20%, 50%, dan
100%.
6. Tabel 2. Bobot Risiko Aset Bank
Kategori Aset Bobot Risiko (%)
Kas
Pinjaman kepada pemerintah pusat Negara OECD
Pinjaman kepada pemerintah local Negara OECD dan sektor
public Negara OECD
Pinjaman antar bank OECD dan bank pembangunan
internasional
Bank Non-OECD dengan jangka waktu kurang 1 tahun
Pinjaman hipotik (mortgage)
Pinjaman ke perusahaan dan personal
Bank Non-OECD jangka waktu lebih dari 1 tahun
Hutang pemerintah non-OECD
0
0
0-50
20
20
50
100
100
100
7. Sebagai contoh, misal bank memberikan pinjaman kepada
bank non-OECD dengan jangka waktu enam bulan, sebesar
Rp1 milyar. Aset berbobot risiko untuk pinjaman tersebut bisa
dihitung sebagai berikut ini.
Aset berbobot risiko = Rp1 milyar x 20% = Rp200 juta
Selanjutnya, Komite Basel merumuskan target rasio modal
yang ditetapkan sebesar 8% dari aset berbobot risiko. Target
rasio modal bisa dirumuskan sebagai berikut ini.
Target rasio Eligible capital
Modal = ------------------------------- x 100% =
8%
Risk weighted assets
Dalam contoh di atas, modal yang diperlukan (yang dipegang)
jika bank memberikan pinjaman kepada bank non-OECD
adalah:
Eligible capital = 0,08 x Rp200 juta = Rp16 juta
Perhatikan bahwa jika bank mempunyai aset dengan risiko
yang tinggi, maka bank tersebut harus memegang modal yang
juga lebih besar.
8. Ekuivalen Risiko Kredit
Item-item off-balance sheet (diluar
neraca tetapi mempunyai konsekuensi
sama dengan item on-balance sheet)
harus dimasukkan dalam perhitungan
modal.
Contoh item on-balance sheet: hutang
Contoh item off-balance sheet:
menjamin (berjanji) akan memberikan
hutang
Item off-balance sheet dirubah ke on-
10. Kontrak derivative merupakan kontrak kontinjensi (off balance
sheet) lainnya, tetapi mendapat perlakukan khusus.
Contoh kotrak tersebut adalah forward, futures, opsi, dan swap
(lihat bab mengenai derivative).
Dalam kontrak derivative, besarnya kewajiban biasanya tidak
sebesar nilai nominal kontrak. Sebagai contoh, misal dua bank
melakukan swap tingkat bungan dengan nilai nominal Rp1
milyar. Bank A membayarkan tingkat bunga tetap sebesar 10%
kepada bank B. Sebaliknya, bank B membayarkan tingkat bunga
mengambang ke bank A (misal LIBOR+1%). Jika tingkat bunga
LIBOR adalah 11%, maka bank A membayarkan 10%, dan
menerima 12%. Dalam hal ini bank A hanya menerima sisa
sebesar 2% (12% -10%), kemudian dikalikan dengan nilai
nominalnya sebesar Rp1 milyar, yaitu Rp20 juta. Bank A
menerima Rp20 juta meskipun nilai kontraknya adalah Rp1
milyar.
Ada dua metode perhitungan credit equivalence untuk kontrak
derivative, yaitu:
Current exposure method
Originak exposure method
11. Current Method
Credit equivalence (CE) untuk transaksi
derivative sebagai berikut ini.
CE = nilai pasar saat ini + (notional amount x
add on)
Tambahan (add on) dilakukan karena risiko
kredit dari transaksi derivative bisa berubah-
ubah (tidak konstan). Untuk mengantisipasi
perubahan risiko kredit tersebut, maka ada
semacam ‘cadangan’ kompensasi untuk
kenaikan risiko kredit.
12. Tabel 3. Add-on Perhitungan Derivatif
Sisa jangka waktu Tingkat bunga Kurs dan
Emas
Saham Logam
berharga
(kecuali
emas)
Komoditas
lainnya
< 1 tahun
>1 dan < 5 tahun
> 5 tahun
0%
0,5
1,5
1,0
5,0
1,5
6,0
8,0
10,0
7,0
7,0
8,0
10,0
12,0
15,0
Misalkan Bank A melakukan kontrak swap dengan bank OECD senilai
Rp1 milyar dengan jangka waktu enam tahun. Sisa kontrak adalah dua
tahun (kontrak sudah berjalan selama empat tahun). Bank A berjanji untuk
membayar bunga tetap 5%, dan akan menerima tingkat bunga LIBOR
(tingkat bunga mengambang, bisa berubah-ubah. Biasanya perubahan
diatur setiap enam bulan). Tingkat bunga saat ini mengalami kenaikan
sehingga swap tersebut bernilai positif, misal nilai pasar kontrak tersebut
adalah Rp150 juta. Berapa modal yang harus dipegang bank tersebut?
13. METODE ORIGINAL EXPOSURE
Tabel 4. CreditEquivalence Metode Original
Jangka waktu Kontrak tingkat bunga Kontrak Valas dan emas
< 1 tahun
1 < jk waktu < 2 tahun
Setiap tambahan 1 tahun
0,5%
1,0
1,0
2%
5,0
3,0
Untuk menghitung Credit Equivalence, angka tersebut
(dalam tabel di atas), dikalikan dengan nilai nominal untuk
perhitungan CE. Dengan metode tersebut, bank tidak perlu
untuk menghitung nilai pasar kontrak tersebut.
14. ELIGIBLE CAPITAL
Tier 1: Saham biasa yang disetor penuh
dan saham preferen non-kumulatif
perpetual, dan disclosed reserves
Tier 2: Undisclosed reserves, cadangan
dari revaluasi aset, provisi umum,
cadangan kerugian kredit, instrument
hybrid, dan hutang subordinasI
Tier 2 tidak boleh melebihi 50% dari
total modal.
15. Modal dasar tidak memasukkan:
Goodwill
Investasi pada perusahaan keuangan dan
banking yang tidak dikosolidasi
Investasi pada modal bank lain dan perusahaan
keuangan (berdasarkan kebijakan pengawas di
Negara tersebut)
Investasi minoritas di perusahaan/bank yang
tidak dikonsolidasi
Tier 3 hanya bisa digunakan hanya untuk
mendukung portofolio perdagangan.
16. Perbaikan Risiko Pasar (Market
Risk Amendment 1996)
Metode yang dikembangkan Basel Accord tersebut masih
mempunyai kekurangan, terutama sensitivitas terhadap risiko
yang dirasa masih kurang. Pada tahun 1996 komite Basel
mengeluarkan Market Risk Amendment 1996.
Amendment tersebut memfokuskan pada risiko pasar. Perbaikan
(amendment) tersebut dilakukan setelah komite melakukan
investigasi mengenai metodologi internal yang sering digunakan
oleh bank-bank besar untuk mengukur risiko perbankan.
Metodologi tersebut seringkali berbeda secara signifikan dengan
metode aset berbobot risiko yang dikembangkan oleh komite
Basel. Investigasi tersebut mengarah pada penerimaan
metodologi internal yang dikembangkan oleh bank-bank besar
tersebut.
Model kuantitatif yang banyak digunakan oleh bank dan
akhirnya diadopsi oleh komite Basel adalah VAR (Value At Risk).
Bab mengenai pengukuran risiko pasar membicarakan tehnik
perhitungan VAR.
17. Basel II
Basel I mempunyai kelemahan seperti risiko yang dicakup
untuk perhitungan permodalan adalah risiko kredit, yang
kemudian diperbaiki dengan memasukkan risiko pasar.
Bobot risiko untuk risiko kredit masih ‘kasar’ dimana untuk
pinjaman kepada perusahaan, hanya mempunyai satu tingkat
pembobotan, yaitu 100%. Padahal risiko kredit perusahaan
bisa berbeda satu sama lain. Sebagai contoh, perusahaan
dengan rating rendah (misal AAA) mempunyai risiko yang
rendah. Menggunakan hanya satu tingkat risiko dengan
demikian kurang tepat.
Pada tahun 1999, komite Basel bekerja sama dengan
beberapa bank besar untuk mengembangkan permodalan
bank yang baru. Basel II mempunyai kerangka permodalan
yang lebih kompleks dibandingkan dengan Basel I. Dari sisi
risiko, jika Basel I hanya membicarakan risiko kredit dengan
risiko pasar, maka Basel II memasukkan risiko operasional
dan lainnya.
18. Kerangka (Tiga Pilar) Basel II
Pilar 1: Modal minimum
Bank diwajibkan menghitung modal minimum yang harus
dipegang untuk menutup risiko kredit, risiko pasar, dan risiko
operasional.
Pilar 2: Review Pengawasan
Proses review pengawasan ditujukan untuk memformalkan
praktek sekarang yang dilakukan banyak regulator, khususnya
bank sentral Amerika Serikat dan Inggris. Review pengawasan
ditujukan untuk memfokuskan perhatian pada perhitungan
modal diatas modal minimum pada pilar 1 dan tindakan awal
yang diperlukan jika bank mengalami kesulitan. Pilar 2 juga
memasukkan review risiko spesifik yaitu risiko tingkat bunga
yang dihadapi perbankan (dituliskan pada paper Juli 2004).
Pilar 3: Disclosure
Pilar 3 memfokuskan pada disiplin pasar yang didefinisikan
sebagai mekanisme corporate governance internal dan eksternal
di pasar bebas diluar intervensi lansung dari pemerintah.
19. Basel II untuk pertama kalinya mencantumkan risiko
operasional. Dengan demikian Pilar 1 Basel II mencantumkan
risiko kredit, pasar, dan operasional.
Risiko operasional didefinisikan sebagai risiko kerugian karena
proses internal yang tidak memadai atau gagal, sistem dan
orang, dan dari kejadian eksternal. Risiko operasional
mencakup aspek yang sangat luas.
Beberapa contoh sumber risiko operasional adalah:
Risiko eksekusi, gangguan bisnis, transaksi
Risiko orang, manajemen yang jelek
Risiko criminal, pencurian, perampokan, dan lainnya
Risiko teknologi, aset fisik
Risiko kepatuhan dan risiko legal
Risiko informasi
• Risiko tersebut mencakup aspek yang luas, meskipun ada
beberapa risiko yang belum masuk dalam cakupan risiko
operasional, seperti risiko bisnis, risiko strategis, dan risiko
reputasi.
20. Review Pengawasan
Basel II memasukkan review pengawasan sehingga
regulator bisa meminta bank tertentu untuk
meningkatkan modalnya jika regulator merasa bahwa
bank tersebut mempunyai risiko yang lebih tinggi
(risiko lainnya atau residual risks).
Pilar 2 juga mencakup risiko yang spesifik yaitu risiko
perubahan tingkat bunga.
Jika suatu bank mempunyai risiko tingkat bunga yang
tinggi, maka pengawas bank bisa meminta bank
tersebut untuk menambah modalnya. Disamping itu
Pilar 2 juga mencakup proses pengawasan sehingga
tindakan dini bisa dilakukan jika suatu bank
mengalami kesulitan.
21. Manajemen Risiko Perbankan
Indonesia
Perbankan di Indonesia diawasi oleh Bank Indonesia,
yang merupakan bank sentral di Indonesia.
Secara umum, Bank Indonesia mempunyai tujuan
untuk mempertahankan nilai Rupiah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia
bertanggung jawab terhadap:
Merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter
Menjaga dan mempertahankan sistem pembayaran
Mengatur dan mengawasi perbankan
• Manajemen risiko perbankan diatur melalui Peraturan
Bank Indonesia (PBI) 5/8/PBI/2003 yaitu mengenai
Pelaksanaan Manajamen Risiko Bank.
22. Bank diharuskan mengelola risiko secara terintegarsi dan
membuat sistem, struktur manajemen yang diperlukan
untuk mencapai tujuan tersebut.
Bank Indonesia mengharuskan bank untuk mengelola
empat risiko berikut ini:
Pasar: risiko karena harga pasar yang bergerak ke arah
yang tidak menguntungkan
Kredit: risiko karena counterparty mengalami gagal
bayar (tidak bisa memenuhi kewajibannya)
Operasional: risiko yang terjadi karena proses internal
yang gagal, tidak memadai, kesalahan manusia,
kegagalan sistem, dan masalah eksternal yang
mempengaruhi operasi bank
Likuiditas: risiko yang terjadi karena bank tidak bisa
memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo
23. Untuk bank yang lebih besar dan kompleks,
bank juga diharuskan untuk mengelola risiko:
1. Risiko legal: risiko yang muncul karena tindakan
atau tuntutan hukum
2. Risiko reputasi: risiko yang muncul karena
publisitas dan persepsi negatif mengenai operasi
bank
3. Risiko strategis: risiko karena pelaksanaan
strategi yang kurang baik, pengambilan
keputusan yang kurang baik, kurangnya respons
terhadap perubahan eksternal
4. Risiko kepatuhan: risiko kegagalan bank patuh
terhadap hukum, peraturan, dan perundangan
yang berlaku
24. ILUSTRASI MANAJEMEN RISIKO PERBANKAN
: CHASE MANHATTAN
Chase Manhattan merupakan bank dengan bisnis global yang mencakup
tiga kelompok bisnis besar: Global Services, Consumer Services, dan
Global Bank
Sebagai bank besar, kegiatan bisnis Chase Manhattan lebih luas
dibandingkan dengan kegiatan bisnis perbankan tradisional.
Kegiatan bisnis perbankan tradisional memfokuskan pada menarik dana
dari masyarakat dan meminjamkan dana tersebut. Bank memperoleh
interest income dari bisnis tersebut. Kegiatan bank konvensional
semacam itu mendatangkan dua risiko, yaitu risiko kredit (jika kredit yang
diberikan macet) dan risiko likudiitas (jika masyarakat menarik dananya di
luar perkiraan bank).
Chase menjual sebagian besar kredit yang diberikan (hampir 90%).
Chase kemudian memperoleh pendapatan dari fee (komisi) untuk
memulai (credit initiation) dan melayani (servicing) kredit tersebut. Chase
mengurangi risiko kredit, menghemat modal yang dipakai untuk bisnisnya
(modal tidak perlu terikat pada kredit yang diberikan). Hampir separuh
dari laba Chase berasal dari kegiatan pasar modal dan investasi saham
individu (private equity investment) risiko pasar cukup besar.
25. Chase percaya bahwa kunci untuk mengelola
risiko adalah diversifikasi dan pengendalian yang
kuat. Bagian penting dari proses pengendalian
adalah komite manajemen risiko.
Chase muluncurkan program SVA sebagai
bagian dari manajemen risiko bank tersebut.
Chase ingin mengkomunikasikan konsep
manajemen risiko yang tidak terlalu kompleks,
mudah dipahami oleh semua tingkatan dalam
organisasi. SVA pada dasarnya merupakan
konsep residual income, yaitu menghitung laba
dengan mengurangkan beban untuk modal dari
pendapatan operasional.
SVA = Pendapatan operasional – Beban untuk
modal
26. Bagaimana cara kerja SVA?
SVA = Pendapatan operasional – beban modal
Misalkan ada dua orang trader (A dan B) sama-sama
menggunakan dana sebesar Rp100 juta. Trader A
memperdagangkan surat berharga pemerintah yang risikonya
lebih rendah. Trader B memperdagangkan saham yang
risikonya lebih tinggi. Karena risikonya lebih rendah,
keuntungan yang disyaratkan (beban modal) untuk A adalah
6%, sedangkan untuk B adalah 11% (karena risikonya lebih
tinggi). Jika A ingin memperoleh SVA yang positif, maka ia
harus memperoleh keuntungan sebesar minimal 6%,
sementara bagi B, ia harus memperoleh keuntungan sebesar
minimal 11%. Melalui cara seperti itu, risiko akan secara
otomatis diperhitungkan dalam evaluasi kinerja trader
tersebut.
27. Risiko Pasar Chase
Chase menggunakan beberapa ukuran risiko pasar, yaitu Value
At Risk (VAR), stress-testing, dan ukuran non-statistik lainnya.
Ketiga ukuran tersebut diharapkan memberikan gambaran risiko
pasar yang komprehensif yang dihadapi oleh Chase.
Chase menggunakan VAR harian dengan confidence level 99%.
Chase menghitung VAR dengan metode histories, yaitu dengan
menggunakan data satu tahun terbaru untuk indikator pasar
seperti tingkat bunga, perubahan kurs, harga pasar saham dan
komoditas, dengan asumsi indikator tersebut bisa memprediksi
kondisi di masa mendatang. Metode simulasi data histories
digunakan dengan menggunakan nilai indikator harian pada
saat pasar tutup. Chase menghitung VAR untuk setiap posisi
individu, dan agregat berdasarkan tipe bisnis, geografis, valuta
asing, dan tipe risiko. Tentu saja Chase juga menyadari bahwa
validitas model tersebut tergantung dari kualitas data yang
dipakai, karena itu Chase juga melakukan back-testing untuk
melihat akurasi model VAR tersebut.
28. Tabel 7. Perhitungan VAR oleh Chase
Rata-Rata
VAR
VAR
minimum
VAR
maksimum
VAR
31Des99
VAR
31Des98
Tingkat bunga
Valuta asing
Saham
Komoditas
Investasi Hedge Fund
Dikurangi:
Diversifikasi portofolio
$20,2
7,0
6,3
3,5
4,1
(17,0)
$10,7
2,3
3,4
1,9
3,1
NM
$36,5
21,3
10,1
9,0
4,6
NM
$20,0
3,0
7,2
3,4
3,3
(13,7)
$20,1
2,3
4,6
2,6
NA
(8,9)
Total VAR $24,1 $12,3 $41,8 $23,2 $20,7
NM: not meaningful (tidak banyak artinya), karena maksimum dan minimum bisa
muncul pada waktu yang berbeda sehingga tidak bisa langsung dipakai untuk menghitung
efek diversifikasi
NA: not available (tidak tersedia)
Sumber: 1999 Chase Manhattan 10-K filing, dikutip dari Barton, etc, 2002.
29. Tabel 8. Perhitungan Stress Test Oleh VAR
Rata-Rata
VAR
VAR
minimum
VAR
maksimum
VAR
31Des99
VAR
31Des98
Potensi Kerugian sebelum
pajak- melalui Stress Test
$(186) $(112) $(302) $(231) $(150)
Sumber: 1999 Chase Manhattan 10-K filing, dikutip dari Barton, etc, 2002.
Chase melengkapi VAR dengan analisis stress-test yang
cukup rinci. Berikut ini contoh hasil analisis stress-test
yang dilakukan oleh Chase.
30. Ukuran Risiko Pasar Non-Statistik
(Non-Kuantitatif)
Indikator risiko pasar non-statistik digunakan untuk
melengkapi indikator kuantititaif. Indikator yang
digunakan antara lain adalah posisi terbuka bersih
(net open position), nilai basis poin, konsentrasi
posisi, dan perputaran posisi.
Indikator tersebut diharapkan memberikan tambahan
informasi mengenai besar dan arah dari eksposur.
Sebagai contoh, nilai basis poin portofolio
menunjukkan apakah perubahan indikator pasar
sebesar satu basis poin (1 bps atau 1/100 dari
100%) akan mengakibatkan kerugian atau
keuntungan dan seberapa besar.
31. Manajemen Risiko Pasar
Beberapa manajemen risiko pasar yang digunakan oleh Chase adalah
penetapan batas VAR dan stress-test yang disetujui oleh Dewan Direksi
dan memasukkan ekspsur stress-test dalam metologi perhitungan
alokasi modal. Jika batas tersebut terlewati, maka secara otomatis
portofolio akan direview.
Pengendalian yang pokok dilakukan melalui penetapan batas. Struktur
penetapan batas tersebut berlanjut sampai ke level bawah (level
trading desk), dan mencakup instrument yang bisa diperdagangkan,
pengalaman dari trader, batas non-statistik, dan konsultasi kerugian.
VAR dihitung baik pada level agregat maupun unit bisnis.
Pembatasan non-statistik diperlukan karena dalam kondisi tertentu,
misal krisis keuangan, asumsi statistic tidak lagi berjalan sebagaimana
mestinya. Batas non-statistik memasukkan faktor-faktor likuiditas pasar,
strategi bisnis, kinerja sebelumnya, pengalaman manajer.
Batas risiko direview secara regular minimal dua kali dalam satu tahun.
Chase juga menggunakan anjuran stop-loss untuk mengendalikan
risiko. Dengan demikian, Chase menggunakan indikator statistic (VAR,
stress-test), non-statistik, anjuran stop-loss, untuk mengelola risiko
pada kondisi pasar normal dan tidak normal
32. Risiko Kredit
Chase menggunakan tehnik statistic untuk mengestimasi
kerugian yang diharapkan dan kerugian yang tidak diharapkan
(di luar perkiraan). Kerugian yang tidak diharapkan
merupakan penyimpangan dari kerugian yang diharapkan.
Estimasi tersebut menentukan alokasi biaya kredit untuk unit-
unit bisnis, yang kemudian dimasukkan ke dalam pengukuran
SVA unit bisnis.
Untuk kredit ritel (consumer), Chase menggunakan model
portofolio yang canggih, model scoring kredit, dan alat
kuantitatif lainnya untuk menghitung dan menetapkan standar
risiko kredit ritel. Parameter ditentukan sejak awal, dan biaya
kredit (misal persentase yang macet) merupakan bagian
integral untuk penentuan haga dan evaluasi kredit. Portofolio
kredit ritel dimonitor untuk mengidentifikasi penyimpangan
dari standar yang diharapkan, dan pergeseran pola perilaku
nasabah.
33. Untuk kredit komersial, proses manajemen risiko kredit
dimulai dengan proses pemilihan nasabah. Pendekatan
industri global yang dilakukan Chase membantu
pengenalan risiko industri yang muncul, sehingga
antisipasi bisa dilakukan lebih awal. Nasabah
internasional juga penting diperhatikan. Chase
memfokuskan pada perusahaan terbesar, pemimpin
dalam sektornya, dengan kebutuhan pendanaan
internasional. Manajemen konsentrasi kredit juga
penting dilakukan. Chase mengelola konsentrasi kredit
berdasarkan tingkat risiko, industri, produk, lokasi
geografis.
34. Manajemen Risiko Kredit
1. Mentransfer risiko kredit ke pihak lain melalui penjualan kredit.
Chase memberikan kredit sekitar $500 milyar setiap tahunnya,
tetapi hanya menahan sekitar 7% dari kredit tersebut. Penjualan
semacam itu secara signifikan mengurangi risiko kredit Chase.
Chase memperoleh fee dari kegiatan memulai kredit dan
pelayanan kredit. Disamping itu modal bisa cepat kembali, yang
kemudian diputar lagi.
Meskipun penjualan kredit cukup gencar dilakukan oleh Chase,
tetapi Chase masih mempertahankan sebagian (kecil) dari kredit
tersebut. Chase berargumen bahwa dengan mempertahankan
sebagai kredit tersebut, Chase ingin menunjukkan bahwa Chase
masih mempunyai komitmen dengan bisnis kredit tersebut. Jika
ada kesulitan yang berkaitan dengan kredit, Chase masih bisa
membantu dan mempunyai keahlian untuk menangani kredit
tersebut.
2. Menggunakan metode SVA untuk mengevaluasi kinerja unit
pemberi kredit. Melalui metode SVA, manajer unit kredit akan
melihat risiko dari kredit yang akan diberikan sehingga mereka
akan berhati-hati dalam mengambil keputusan pemberian kredit.
35. Risiko Operasional
Kerugian dari risiko operasional lebih sulit
diprediksi dan lebih sulit untuk dikuantifisir.
Risiko operasional mencakup hal-hal seperti
kejahatan oleh karyawan atau pihak luar,
transaksi yang tidak diberi otorisasi,
kesalahan pencatatan, kesalahan karena
sistem computer atau telekomunikasi yang
tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Chase sudah melakukan pengendalian yang
cukup, tetapi tidak ada jaminan bahwa
kerugian akibat risiko operasional tidak
terulang di masa mendatang.
36. Risiko operasional akan mempengaruhi
perhitungan SVA, tetapi metodologi pengukuran
risiko operasional masih relative sederhana.
Perhitungan modal berdasarkan risiko
operasional dilakukan setiap kuartal.
Perhitungan risiko operasional didasarkan pada
tiga hal:
Biaya operasional (dalam dolar)
Skor dari audit internal
Ranking evaluasi risiko
Manajer unit yang memperoleh skor risiko A
(risiko rendah), maka modalnya (berbasis risiko)
akan diperhitungkan lebih rendah, sehingga
akan meningkatkan SVA manajer tersebut.
37. Disamping audit internal untuk mengevaluasi risiko
operasional, Chase juga menggunakan COSO based self-
assessment program untuk mengevaluasi risiko
operasional.
Melalui program tersebut, manajer diminta untuk
mengevaluasi risiko operasional di unit bisnis yang
dibawahinya, menggunakan kerangka yang
dikembangkan oleh COSO (Committee of Sponsoring
Organizations of the Treadway Commission).
Kuesioner tersebut menjadi salah satu masukan untuk
skor dari audit internal dan ranking evaluasi risiko.
Bab mengenai risiko operasional menyajikan lebih
lengkap evaluasi diri (self-evaluation) yang dilakukan
untuk mengevaluasi risiko operasional Chase Manhattan
dengan menggunakan kerangka COSO tersebut.