1. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
MENINGKATKAN PROFESIONALISME GURU
MELALUI PEMBELAJARAN INOVATIF1
Oleh: I Wayan Redhana2
I. Pendahuluan
Menurut peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional
pendidikan, seorang guru sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah serta pendidikan anak usia dini haruslah memiliki kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Kompetensi
pedagogis yang dimaksud adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik
yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan
pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Sementara itu, yang dimaksud
dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil,
dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Kompetensi profesional menyangkut kemampuan penguasaan materi pembelajaran
secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik
memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar nasional pendidikan.
Terakhir, kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat
untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik,
tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Seorang guru
profesional harus mampu menguasai keempat kompetensi di atas.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan profesionalisme
guru adalah melatih guru-guru merancang dan melaksanakan model-model pembelajaran
inovatif. Hal ini sangat berkaitan dengan pengembangan kompetensi pedagogis. Model-
model pembelajaran inovatit sangat penting dirancang dan diimplementasikan dalam
pembelajaran oleh guru-guru agar memudahkan siswa memahami materi yang dipelajari
dan siswa memperoleh kesempatan berlatih mengembangkan keterampilan berpikir
tingkat tinggi.
Keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan kemampuan berpikir bagi
seseorang dalam membuat keputusan yang dapat dipercaya dan bertanggung jawab yang
mempengaruhi hidup seseorang. Keterampilan berpikir tingkat tinggi juga merupakan
inkuiri kritis sehingga seorang yang berpikir tingkat tinggi akan menyelidiki masalah,
mengajukan pertanyaan, mengajukan jawaban baru yang menantang status quo,
menemukan informasi baru, dan menentang dogma dan dokrin (Schafersman, 1991).
Sementara itu, Lipman (2003) mengungkapkan bahwa keterampilan berpikir tingkat
tinggi sangat penting dimiliki agar dapat mengindarkan diri dari penipuan, indokrinasi,
dan pencucian otak (mindwashing). Dengan keterampilan berpikir tingkat tinggi, siswa
akan dapat menentukan informasi penting yang diperoleh, diubah, atau ditransformasi,
dan dipertahankan. Di samping itu, siswa akan dapat mengidentifikasi, mengevaluasi,
dan mengkonstruksi argumen dan dapat menghadapi berbagai tantangan, memecahkan
masalah yang dihadapi, dan mengambil keputusan dengan tepat sehingga dapat
menolong dirinya dan orang lain dalam menghadapi kehidupan (Wade, seperti dikutip
dalam Walker, 1998).
1
Makalah Disajikan pada Seminar Nasional I dalam Rangka Memperingati HUT PGRI Kota Ternate
2
Staf Dosen Jurusan Pendidikan Kimia, FMIPA, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali
2. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
Sementara itu, undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif
mengembangkan potensinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, keserdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara. Terdapat beberapa hal yang sangat penting untuk
dicermati dari konsep pendidikan menurut undang-undang tersebut.
Pertama, pendidikan adalah usaha sadar yang terencana. Hal ini berarti bahwa
proses pendidikan di sekolah bukanlah proses yang dilaksanakan secara asal-asalan dan
untung-untungan, akan tetapi proses yang bertujuan sehingga segala sesuatu yang
dilakukan oleh guru dan siswa diarahkan pada pencapaian tujuan.
Kedua, proses pendidikan yang terencana itu diarahkan untuk mewujudkan belajar
siswa. Hal ini berarti bahwa pendidikan tidak boleh mengesampingkan proses belajar.
Pendidikan tidak semata-mata berusaha untuk mencapai hasil belajar, tetapi yang lebih
penting adalah bagaimana siswa memperoleh hasil tersebut atau bagaimana proses belajar
terjadi pada siswa (how to learn). Dengan demikian, dalam pendidikan antara proses dan
hasil belajar harus berjalan seimbang. Pendidikan yang hanya mementingkan salah satu di
antaranya tidak akan dapat membentuk manusia yang berkembang secara utuh.
Ketiga, suasana belajar dan pembelajaran diarahkan agar siswa dapat
mengembangkan potensi dirinya. Ini berarti bahwa proses pendidikan itu harus
berorientasi kepada siswa (student active learning). Pendidikan adalah upaya
pengembangan potensi siswa. Dengan demikian, siswa harus dipandang sebagai
organisme yang sedang berkembang dan memiliki potensi. Tugas pendidikan adalah
mengembangkan potensi yang dimiliki siswa, bukan menjejalkan materi pelajaran atau
memaksa siswa untuk menghafal data dan fakta.
Keempat, akhir dari proses pendidikan adalah kemampuan siswa memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini berarti
bahwa proses pendidikan berujung pada pembentukan sikap, pengembangan kecerdasan
atau intelektual, dan pengembangan keterampilan siswa sesuai dengan kebutuhan.
Berdasarkan ketiga aspek inilah (sikap, kecerdasan, dan keterampilan) arah dan tujuan
pendidikan harus diupayakan.
Untuk mencapai harapan di atas, guru-guru perlu melakukan reformasi terhadap
pembelajaran yang telah dilakukannya, yaitu dengan melakukan pergeseran dari teacher
centered ke student-centered atau dari guru mengajar (teaching) ke siswa belajar (learning),
dari keterampilan berpikir tingkat rendah ke berpikir tingkat tinggi (Tsapartis & Zoller,
2003; Lubezky et al. . Untuk itu, guru-guru perlu mengembangkan pembelajaran
inovatif agar dapat membantu siswa memahami materi yang diperlajari dan
mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Model-model pembelajaran inovatif sangat banyak jenisnya, pada makalah ini
hanya disajikan beberapa saja. Model-model pembelajaran inovatif yang lain
dipersilahkan kepada peserta seminar menelusuri dan mempelajarinya.
II. Model-model pembelajaran inovatif
. Pembelajaran berbasis masalah
Pembelajaran berbasis masalah berkembang awal tahun 1970-an. Sebagai sebuah
pendekatan pembelajaran yang baru, pembelajaran berbasis masalah pertama kali
diterapkan di Sekolah Medis Universitas McMaster Canada. Dengan dikembangkannya
pembelajaran berbasis masalah ini, kurikulum bergeser dari pengajaran yang berpusat
3. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
pada guru (teacher-centered) menuju pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-
centered). Keberhasilan dari pendekatan pembelajaran ini di Universitas McMaster
memotivasi sekolah medis lainnya untuk memasukkan pembelajaran berbasis masalah ini
ke dalam kurikulum mereka. Sekolah medis pertama yang mengadopsi pembelajaran
berbasis masalah ke dalam kurikulumnya adalah Sekolah Medis Maastrict di Belanda dan
Newcastle di Australia (Graaff & Bouhuijs, dalam Kolmos et al., 2008). Di Mexico,
pembelajaran berbasis masalah juga digunakan pada program sains kesehatan (Kaufman,
dalam Kolmos et al., 2008). Sekarang pendekatan pembelajaran ini telah diadopsi pada
sejumlah bidang, seperti bisnis, pendidikan, kerja sosial, dan administrasi (Savery &
Duffy, 1991; Barrows, 1996).
Tujuan dari pembelajaran berbasis masalah adalah untuk membantu siswa belajar
reflektif dan mandiri yang dapat mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan (Tan,
2004). Sementara itu, Yuzhi (2003) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah
bertujuan untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir tingkat
tinggi/berpikir kritis. Di samping itu, pembelajaran berbasis masalah bertujuan untuk
mengembangkan dasar-dasar pengetahuan yang substansial dengan menempatkan siswa
dalam peranan sebagai seorang problem solver aktif yang dikonfrontasikan dengan suatu
situasi (ill-structured problems). Melalui masalah ill-structured, siswa akan memperoleh
kesempatan belajar bagaimana belajar (learn how to learn).
Menurut Tan (2003), bukti-bukti menyarankan bahwa pembelajaran berbasis
masalah dapat meningkatkan transfer konsep kepada situasi baru, integrasi konsep, minat
belajar intrinsik, dan keterampilan belajar. Sementara itu, Mitchell (dalam Tan, 2003)
mengungkapkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat membantu siswa
mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilan. Gijselaers (1996) mengungkapkan bahwa
pembelajaran berbasis masalah diturunkan dari teori belajar konstruktivist, yaitu siswa
mengkonstruksi pengetahuan secara aktif. Pembelajaran berbasi masalah efektif
meningkatkan keterampilan pemecahan masalah, keterampilan berpikir kritis, dan
menumbuhkan minat belajar (Redhana & Kartowasono, 2006, Redhana & Simamora, 2007;
Redhana & Liliasari, 2008; Redhana & Liliasari, 2009a; Redhana & Liliasari, 2009b;
Redhana, 2009b).
Pembelajaran berbasis masalah merupakan model kurikulum yang menggunakan
masalah. Kolmos et al. (2008) menyatakan bahwa beberapa hal yang berkaitan dengan
masalah adalah sebagai berikut. Pertama, masalah berhubungan dengan dunia nyata.
Masalah dapat diturunkan dari contoh-contoh dunia nyata atau dirancang secara khusus
untuk penemuan pengetahuan dan keterampilan dalam materi subyek. Masalah dunia
nyata membantu siswa menghubungkan hasil belajarnya dengan dunia nyata atau
konteks dan meningkatkan motivasinya untuk belajar. Kedua, masalah bersifat kompleks
dan ill-structured. Pada masalah ill-structured, masalah dinyatakan secara tidak lengkap.
Siswa diharapkan melengkapi spesifikasi masalah melalui diskusi, dan bahkan
berkonsultasi dengan ahli, meneliti kasus yang mirip, dan sebagainya. Ketiga, masalah
bersifat open-ended. Masalah open-ended memacu siswa berdiskusi dalam tim. Masalah ini
mempunyai kemungkinan solusi jamak tergantung pada asumsi yang dibuat dalam
proses solusi. Keempat, masalah memacu kerja tim. Interaksi siswa dalam tim merupakan
usaha penemuan dan transfer pengetahuan dan keterampilan yang penting dalam seting
pembelajaran berbasis masalah. Kelima, masalah mengembangkan pengalaman
sebelumnya. Untuk keberhasilan, setiap masalah harus dirancang untuk membangun
pengetahuan dan pengalaman sebelumnya dan menambahkan informasi baru pada basis
pengetahuan siswa.
4. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
Menurut Resnik (dalam Arends, 2004), antara pembelajaran berbasis masalah dan
keterampilan berpikir tingkat tinggi/berpikir kritis berhubungan sangat erat. Hal ini
ditunjukkan oleh ciri-ciri dari keterampilan berpikir tingkat tinggi/berpikir kritis, yaitu:
(1) nonalgoritmik, tidak ada tahapan tertentu dalam proses pemecahan masalah, (2)
kompleks, tahapan pemecahan masalah tidak dapat diketahui dari satu sisi, (3)
menghasilkan solusi jamak, tidak hanya satu solusi yang benar, (4) melibatkan
pertimbangan dan interpretasi, (5) melibatkan aplikasi dari banyak kriteria, (6) melibatkan
ketidaktentuan, (7) melibatkan pengendalian diri dan proses berpikir, (8) melibatkan
penemuan struktur dalam ketidakteraturan, (9) penuh dengan semangat, dan ( )
melibatkan kerja mental.
Pada pembelajaran berbasis masalah, guru berperan sebagai “guide on the side”
daripada “sage on the stage.” Guru memfasilitasi proses pembelajaran dengan memberikan
bimbingan dan arahan kepada siswa, jika diperlukan. Guru hanya memberi bantuan,
bukan mencampuri cara belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis masalah, guru
berperan sebagai pelatih metakognisi (Barrows, 1988; Ram et al., 2007). Guru membantu
siswa memahami pertanyaan yang diajukan selama mendefinisikan dan menentukan
informasi, menganalisis dan mensintesis masalah, dan memilih solusi yang potensial.
Guru harus dapat menjamin agar siswa dapat menyadari keterampilan kognitifnya dan
dapat memilih dengan bijaksana di antara solusi yang ada.
Pembelajaran berbasis masalah mempunyai karakteristik cukup bervariasi, namun
semuanya mempunyai esensi yang sama. Tabel mendeskripsikan karakteristik
pembelajaran berbasis masalah yang dilaporkan oleh beberapa penulis.
Tabel Karakteristik pembelajaran berbasis masalah oleh beberapa penulis
No. Penulis Deskripsi
Gallagher et
al.
(1) Pembelajaran dimulai dengan masalah, (2) pembelajaran
menggunakan masalah ill-structured, dan (3) pembelajaran
menggunakan pelatih metakognisi
Savoi &
Hughes
(1) Memulai pembelajaran dengan masalah, (2) menggunakan
masalah dunia nyata, (3) mengorganisasi materi subyek di sekitar
masalah, (4) memberikan siswa tanggung jawab belajar, (5)
menggunakan kelompok kecil, dan (6) mendemonstrasikan produk
atau kinerja
Barrows (1) Pembelajaran berpusat pada siswa pembelajaran
menggunakan kelompok kecil, (3) guru berperan sebagai fasilitator,
masalah merupakan stimulus pembelajaran, (5) masalah
mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, dan (6)
informasi baru diperoleh melalui belajar mandiri
Duch et al (1) Masalah membangkitkan minat dan memotivasi belajar siswa,
(2) pembuatan keputusan/pertimbangan berdasarkan fakta,
informasi, logika dan/atau rasionalisasi, (3) masalah bersifat
kompleks, (4) masalah bersifat open-ended, dan (5) tujuan konten
materi subyek diintegrasikan ke dalam masalah
Arends (1) Mulai dengan masalah, (2) berfokus pada keterkaitan antar
disiplin, (3) penyelidikan otentik, (4) menghasilkan karya/produk
dan memamerkannya, dan (5) kerjasama
5. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
No. Penulis Deskripsi
Tan (2004) (1) Masalah sebagai starting point pembelajaran, (2) masalah berupa
dunia nyata yang tidak terstruktur, (3) masalah memerlukan
banyak perspektif, (4) menantang pengetahuan, sikap, dan
kompetensi siswa, (5) belajar berlangsung secara mandiri, (6)
menggunakan dan mengevaluasi sejumlah sumber informasi, (7)
pembelajaran berlangsung secara kolaboratif, (8) pengembangan
inkuiri dan keterampilan pemecahan masalah, (9) sintesis dan
integrasi belajar, dan (10) evaluasi pengalaman dan proses belajar
Çuhadaroğlu
et al. (dalam
Akinoğlu &
Tandoğan,
(1) Masalah tentang dunia nyata, (2) masalah bersifat open-ended, (3)
masalah merangsang keingintahuan siswa, (4) masalah
memfokuskan hanya pada satu isu, (5) pembelajaran harus
mengajar prilaku yang baik, (6) pembelajaran harus membantu
siswa mengungkapkan ide-idenya dengan bebas, dan (7) siswa
menangani masalah seolah-olah masalah tersebut adalah masalah
mereka sendiri
Kolmos et al (1) Masalah kompleks ill-structured bertindak sebagai stimulus
pembelajaran, (2) pembelajaran berpusat pada siswa, (3) guru
berperan sebagai fasilitator, dan (4) pembelajaran berlangsung
dalam kelompok kecil
Sintaks pembelajaran berbasis masalah yang telah dikembangkan cukup
bervariasi. Arends (2004) menguraikan ada lima tahapan utama dalam pembelajaran
berbasis masalah, ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel Sintaks pembelajaran berbasis masalah (Arends, 2004)
Tahapan Prilaku Guru
Tahap 1: Orientasi siswa
pada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, perlengkapan
penting yang diperlukan, dan memotivasi siswa terlibat
pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya
Tahap 2: Mengorganisasi
siswa untuk belajar
Guru membimbing siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan
dengan masalah tersebut
Tahap 3: Membimbing
penyelidikan individu
maupun kelompok
Guru mendorong siswa mengumpulkan informasi yang
sesuai, melaksanakan eksperimen, dan memperoleh
penjelasan dan pemecahan masalah
Tahap 4: Mengembangkan,
menyajikan, dan
memamerkan hasil karya
(artifak)
Guru membimbing siswa dalam merencanakan dan
menyiapkan karya yang sesuai, seperti laporan, video,
dan model, dan membantu mereka untuk berbagi tugas
dengan temannya
Tahap 5: Menganalisis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah
Guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi
terhadap penyelidikan dan proses-proses yang mereka
gunakan
Menurut Ommundsen (2001), pembelajaran berbasis masalah terdiri atas tahapan-
tahapan: (1) membentuk kelompok kecil, (2) mempresentasikan masalah, (3) mengaktivasi
kelompok, (4) menyediakan umpan balik, dan (5) menanyakan solusi. Kegiatan yang
6. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
dilakukan oleh siswa pada pembelajaran berbasis masalah adalah apa yang disebut
dengan DENT (Define, Explore, Narrow, and Test), yaitu: Define the problem carefully
(mendefinisikan masalah dengan hati-hati), Explore possible solutions (mengeksplorasi
solusi yang mungkin), Narrow choices (mempersempit pilihan), dan (4) Test solution
(menguji solusi).
Berikut ini ditunjukkan beberapa contoh dari masalah ill-structured.
Ada ledakan populasi nyamuk di daerah Bali pada musim hujan ini. TV lokal (BaliTV)
melaporkan bahwa banyak warga desa dan kota menderita demam berdarah. Menurut laporan
dari rumah sakit Sanglah Denpasar, sekitar 150 orang sedang dirawat di rumah sakit. Metode
biasa untuk mengendalikan ledakan populasi nyamuk tersebut tidak efektif. Anda adalah
anggota dari kelompok pekerja dan sukarelawan kemanusian. Kelompok Anda bermaksud
membantu masyarakat memecahkan masalah ledakan populasi nyamuk tersebut. Anda telah
meminta bantuan sponsor untuk mendukung penyediaan fasilitas dan dana. Apa yang akan
Anda rekomendasikan untuk memecahkan masalah ledakan populasi nyamuk tersebut?
Salah satu berita yang berkembang di media masa adalah karyawan di suatu supermarket
mengalami pusing-pusing, bahkan beberapa di antaranya pingsan ketika mereka mulai bekerja
pada pagi hari. Karyawan ini segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat pengobatan.
Pihak pengelola segera menutup supermarket dan tidak memberikan keterangan kepada publik
tentang kecelakaan yang dialami oleh karyawan. Jika Anda seorang anggota polisi yang
ditugaskan oleh atasan Anda untuk menyelidiki penyebab kecelakaan di atas, apa yang Anda
lakukan?
) ABC adalah sebuah perusahaan yang memproduksi AC (air conditioning). AC yang telah
diproduksi dan dipasarkan tidak hemat listrik. Sekarang ini, negara sedang mengalami krisis
listrik. Anda seorang konsultan di perusahaan tersebut dan Anda ditugaskan oleh perusahaan
untuk merancang AC yang dapat menghemat penggunaan energi listrik.
) Di sebuah desa akan didirikan sebuah pabrik pengolahan sampah. Beberapa warga tidak setuju
dengan pendirian pabrik tersebut, sementara yang lain setuju. Anda seorang pemimpin desa
dan bermaksud mengadakan rapat berkaitan dengan pendirian pabrik pengolahan sampah
tersebut. Apa persiapan rapat yang Anda lakukan dan bagaimana Anda mengantisipasi jika
terjadi ketegangan antara warga yang setuju dan warga yang tidak setuju?
) Toni adalah salah seorang siswa di salah satu SMP. Ia adalah anak yang cerdas dan ceria. Orang
tuanya adalah seorang guru yang rajin membimbing ketika ia belajar. Ia sangat rajin belajar,
sampai-sampai pada suatu hari ia terlambat makan. Ia merasakan perih pada lambungnya
sehingga ia mengalami kesulitan makan. Nafsu makannyapun menurun. Oleh orang tuanya ia
diajak ke dokter. Jika Anda seorang dokter, upaya apa yang akan Anda lakukan untuk
mengurangi penderitaan yang dialami oleh Toni?
) Produsen kue mulanya menggunakan bahan pewarna alami untuk memberi warna pada kue
yang dibuat. Sayang sekali jika ingin membuat kue dalam jumlah banyak, diperlukan bahan
baku pewarna alami dalam jumlah banyak pula. Akibatnya, ongkos yang dikeluarkan cukup
tinggi. Di samping itu, bahan baku pewarna alami juga cukup sulit diperoleh dalam jumlah
banyak. Sebagai penggantinya, produsen kue menggunakan bahan pawarna sintetis. Hal ini
7. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
disebabkan oleh bahan pewarna sintetis murah harganya dan mudah didapat. Di samping itu,
bahan pewarna ini dalam jumlah sedikit sudah memberikan warna yang pekat. Namun,
penggunaan bahan pewarna sintetis ini disinyalir dapat menimbulkan penyakit kanker pada
manusia. Bagaimana Anda menjelaskan terjadinya kanker yang disebabkan oleh bahan pewarna
sintetis dan upaya apa yang dilakukan untuk mengobati penyakit kanker tersebut?
Berikut ini akan disajikan pemecahan masalah ill-structured dengan bantuan Tabel
KNL, yaitu: K (what we Know), N (What we Need to know), dan L (Learning issues)
(Tabel 3). Sebagai contoh digunakan masalah ill-structured nomor 6 di atas, tentang
penggunaan bahan pewarna sintetis.
Tabel 3. Indentifikasi informasi yang diketahui, diperlukan, dan isu-isu belajar untuk
masalah penggunaan bahan pewarna sintetis
What we Know
What we Need to
know
Learning issues
Pewarna kue dari
bahan pewarna
alami dan sintetis
Membuat kue
dalam jumlah
banyak, diperlukan
bahan pewarna
alami juga banyak,
namun sulit
diperoleh
Ongkos yang
tinggi dikeluarkan
untuk penggunaan
bahan pewarna
alami
Produsen kue
menggunakan
bahan pewarna
sintetis
Bahan pewarna
sintetis harganya
murah dan
warnanya pekat
Bahan pewarna
sintetis dapat
menimbulkan
kanker
Perbedaan
antara bahan
pewarna alami
dan sintetis
Bagaimana
makanan dicerna
dalam tubuh
Bagaimana
makanan diserap
oleh tubuh
Bagaimana
makanan
ditransport
dalam tubuh
Bagaimana
makanan dapat
digunakan
sebagai sumber
energi
Apa itu sel
kanker
Mengapa bahan
pewarna sintetis
dapat
menimbulkan
kanker
Ciri-ciri bahan pewarna alami dan sintetis
Contoh-contoh bahan pewarna alami dan
sintetis
Kandungan kimia bahan pewarna alami dan
sintetis
Perhitungan biaya pembelian bahan pewarna
alami dan sintetis
Komponen-komponen sistem pencernaan
Peranan kelenjar pencernaan
Enzim-enzim yang terlibat dalam sistem
pencernaan
Pencernaan mekanis dan kimiawi
Sistem peredaran darah pada manusia
Fungsi dari darah
Proses peredaran darah
Metabolisme zat-zat makanan
Energi yang dihasilkan pada metabolisme
makanan
Ekspresi gen
Faktor-faktor yang menyebabkan mutasi gen
Hubungan bahan pewarna alami dan mutasi
gen
Hubungan mutasi gen dan kanker
Hubungan antara bahan pewarna sintetis dan
kanker
Upaya yang dilakukan untuk mengobati
kanker
Setelah tabel di atas dibuat, siswa selanjutnya mengumpulkan data atau informasi
berkaitan dengan isu-isu belajar yang berhasil diidentifikasi. Dalam mengumpulkan data
ini siswa dapat membaca buku, artikel hasil penelitian, kunjungan lapangan, browsing
internet, serta mewawancarai ahli atau praktisi.
8. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
Pertanyaan Socratik
Socrates adalah salah seorang ahli filosofi yang sangat terkenal dan sangat
berpengaruh pada pengembangan berpikir kritis. Selama berabad-abad, ia dikagumi
sebagai orang yang memiliki integritas dan inkuiri intelektual dan dianggap sebagai
seorang pemikir kritis yang ideal. Karena kemampuannya berpikir kritis, maka namanya
diabadikan sebagai pertanyaan Socratik untuk pertanyaan-pertanyaan kritis (Caroll, 2004).
Pertanyaan Socratik atau pertanyaan kritis merupakan suatu strategi pembelajaran
yang sangat baik digunakan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa, di
mana pertanyaan ini merupakan jantung dari keterampilan berpikir kritis. Pertanyaan
Socratik mampu membantu proses belajar siswa dengan menempatkan siswa dalam posisi
mengenal keterbatasannya dan memotivasinya belajar. Pertanyaan Socratik bertujuan
untuk mengklarifikasi informasi, mengidentifikasi pendapat atau ide, menemukan
asumsi, membedakan pernyataan faktual dari pertimbangan nilai, dan mendeteksi
kesalahan dalam penalaran. Redhana & Maharani (2008) melaporkan bahwa pertanyaan
Socratik cukup efektif untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa.
Menurut Paul (19 ), pertanyaan Socratik dapat dikategorikan ke dalam tiga
bentuk. Pertama adalah spontan. Jika guru-guru memiliki rasa ingin tahu, maka guru-
guru akan secara spontan mengajukan pertanyaan tentang apa yang dimaksudkan oleh
siswa dan mengeksplorasi bagaimana siswa dapat menjelaskan bahwa pendapatnya itu
benar. Jika pendapat siswa salah atau menyesatkan, maka pertanyaan Socratik yang
diajukan secara spontan dapat menyediakan cara untuk membantu siswa agar mereka
dapat memperbaiki kesalahannya sendiri, bukan diperbaiki oleh guru. Kedua adalah
eksploratori. Pertanyaan Socratik eksploratori memungkinkan guru menemukan apa yang
siswa ketahui atau pikirkan dan menggunakan pertanyaan ini untuk menyelidiki berpikir
siswa pada sejumlah isu-isu. Guru mungkin mengharapkan agar siswa dapat
menyampaikan isu-isu dalam diskusi kelas atau menyuruh siswa membentuk kelompok
untuk mendiskusikan isu-isu atau topik. Ini memungkinkan siswa menyelidiki sebuah
isu-isu atau konsep secara mendalam, menugaskan siswa mengklarifikasi,
mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi pikiran dan perspektif, membedakan
yang diketahui dari yang tidak diketahui, dan mensintesis faktor-faktor dan pengetahuan
yang relevan.
Selanjutnya, Paul (1990) menguraikan pertanyaan Socratik menjadi enam jenis.
Keenam jenis pertanyaan Socratik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Pertanyaan klarifikasi, merupakan pertanyaan untuk memperoleh verifikasi,
informasi tambahan, atau klarifikasi tentang pendapat atau ide utama di mana siswa
menjelaskan opininya, memfrase konten, atau menjelaskan pernyataan khusus.
b. Pertanyaan yang menyelidiki asumsi, merupakan pertanyaan tentang klarifikasi,
verifikasi, eksplanasi, atau reliabilitas suatu masalah.
c. Pertanyaan yang menyelidiki alasan dan bukti, merupakan pertanyaan yang
meminta contoh tambahan, bukti atau alasan, kecukupan alasan, proses yang
menghasilkan keyakinan dan/atau sesuatu yang mungkin mengubah pikiran siswa.
d. Pertanyaan tentang pendapat atau perspektif, merupakan pertanyaan untuk
menemukan alternatif tertentu, atau membandingkan kemiripan dan perbedaan di
antara pendapat.
e. Pertanyaan yang menyelidiki implikasi atau akibat, merupakan pertanyaan yang
mendorong siswa menguraikan dan mendiskusikan implikasi dari apa yang
dikatakan, alternatif, pengaruh, dan/atau penyebab dari tindakan.
f. Pertanyaan tentang pertanyaan, menguraikan pertanyaan menjadi pertanyaan yang
lebih kecil atau menentukan apakah suatu evaluasi diperlukan atau tidak.
9. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
Tabel di bawah meringkaskan jenis pertanyaan Socratik beserta contoh-contohnya.
Tabel . Jenis pertanyaan Socratik beserta contoh-contohnya (Paul & Binker, 1990)
No. Jenis pertanyaan
Socratik
Contoh pertanyaan
Pertanyaan klarifikasi 1) Apa yang Anda maksudkan dengan __?
2) Apa pendapat utama Anda?
3) Dapatkah Anda memberikan saya contoh?
4) Apa Anda berpikir isu utama ada di sini?
Pertanyaan yang
menyelidiki asumsi
1) Apa yang Anda asumsikan?
2) Bagaimana Anda mempertanggungjawabkan hal ini?
3) Apakah ini berupa kasus?
Pertanyaan yang
menyelidiki alasan
dan bukti
1) Apa contohnya?
2) Dapatkah Anda menjelaskan alasan kepada saya?
3) Apakah alasan yang Anda sampaikan sudah cukup?
Pertanyaan tentang
pendapat/perspektif
1) Bagaimana kelompok lain merespon? Mengapa?
2) Bagaimana menjawab keberatan bahwa __ terjadi?
3) Bagaimana mengetahui dengan cara yang lain?
Pertanyaan yang
menyelidiki
implikasi/akibat
1) Apa implikasi yang Anda buat?
2) Apa akibat yang akan terjadi?
3) Apa yang menjadi alternatif?
4) Jika ini suatu kasus, maka apa lagi yang harus benar?
Pertanyaan tentang
pertanyaan
1) Bagaimana kita dapat menemukan?
2) Dapatkah kita menguraikan pertanyaan ini?
3) Apa yang diasumsikan dari pertanyaan ini?
4) Mengapa pertanyaan ini penting?
Kegiatan guru dan siswa dalam pembelajaran menggunakan pertanyaan Socratik
dapat dilakukan ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Kegiatan dalam pembelajaran yang menggunakan pertanyaan Socratik (Redhana
& Maharani )
No. Kegiatan guru Kegiatan siswa
Guru menyajikan masalah, fenomena,
bagan, gambar, prosedur, hasil
percobaan, dan sebagainya
Siswa mempelajari masalah, fenomena,
bagan, gambar, prosedur, atau hasil
percobaan yang disajikan
Guru mengajukan pertanyaan awal
untuk menggali ide-ide siswa
Siswa menghasilkan ide-ide berkaitan
dengan pertanyaan yang diajukan oleh
guru
Guru mengajukan pertanyaan Socratik
untuk mengembangkan ide-ide siswa
Siswa memperdalam pemahamannya
terhadap materi yang dipelajari
Guru memberikan masalah (situasi
baru)
Siswa mengaplikasn materi yang
dipelajari pada situasi baru
Guru melaksanakan evaluasi selama
proses dan akhir pembelajaran
Siswa terlibat dalam evaluasi yang
dilaksanakan oleh guru
10. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
Pembelajaran berbasis inkuiri
Menurut Gallagher (2007), inkuiri menggunakan sejumlah keterampilan dan
teknik untuk melakukan invesitigasi dan memahami tentang alam, seperti: (1)
mengajukan pertanyaan yang dapat dijawab melalui observasi dan eksperimen, atau
melalui analisis informasi dan data yang dikumpulkan oleh orang lain, (2) melakukan
observasi yang melibatkan penggunaan indera, (3) menggunakan kata-kata dan diagram
untuk menguraikan hasil observasi dan untuk menggambarkan pola yang terjadi pada
informasi dan data, (4) menggunakan bilangan untuk menguraikan dan mengkuantifikasi
peristiwa yang dapat diobservasi, (5) menarik kesimpulan, mengidentifikasi pola, dan
merumuskan prediksi dan hipotesis yang memungkinkan peneliti memperoleh informasi
yang dapat membimbing penyelidikian baru dan pemahaman mendalam tentang
informasi yang tersedia, (6) merancang eksperimen untuk menguji prediksi dan hipotesis,
(7) melakukan eksperimen, yang melibatkan pengubahan variabel dan mencatat apa yang
terjadi, (8) mencatat hasil observasi, (9) menganalisis dan menginterpretasi data untuk
memberikan makna pada informasi yang direkam, dan (10) menarik kesimpulan.
Wilson & Murdoch (2004) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis inkuiri
mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan tentang topik yang dipelajari dan
mengekplorasi jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Dengan demikian, siswa akan
menjadi seorang pengaju masalah (problem poser) dan juga sekaligus pemecah masalah
(problem solver). Pembelajaran berbasis inkuiri didasarkan atas keyakinan bahwa siswa
adalah pebelajar yang kuat (powerful learners) yang harus terlibat secara aktif dalam proses
investigasi, organisasi, sintesis, penyempurnaan dan perluasan pengetahuan mereka pada
topik yang dipelajari.
Pembelajaran berbasis inkuiri mempunyai lima karakteristik penting, yaitu (1)
pembelajaran dimotivasi oleh pertanyaan ilmiah, siswa memprioritaskan pada bukti-
bukti untuk mengembangkan dan mengevaluasi penjelasan, siswa memformulasikan
penjelasan dari bukti-bukti, siswa mengevaluasi penjelasan dalam kaitannya dengan
penjelasan alternatif, khususnya penjelasan yang merefleksikan pemahaman ilmiah, dan
siswa mengkomunikasikan dan menjustifikasi penjelasan yang diusulkan (National
Research Council (Tabel ). Pendekatan dan materi pembelajaran yang menggunakan
inkuiri secara penuh melibatkan kelima karakterisk penting di atas. Masing-masing
karakterisktik ini dapat bervariasi. Variasi ini dapat meliputi jumlah arahan yang
diberikan oleh guru atau materi pembelajaran serta derajat inisiasi bagi siswa dalam
merancang penyelidikan. Misalnya, untuk item inkuiri yang melibatkan siswa dalam
pertanyaan ilmiah, variasinya dapat meliputi antara lain siswa: (1) mengajukan
pertanyaan awal, (2) memilih pertanyaan yang disediakan, (3) mempertajam pertanyaan
awal, dan (4) disediakan pertanyaan oleh guru.
Tabel . Karakteristik penting dari inkuiri dan variasinya (National Research Council
Karakteristik
penting
Variasi
Siswa terlibat
dalam
pertanyaan
ilmiah
Siswa
mengajukan
pertanyaan
Siswa
mengajukan
pertanyaan
berdasarkan
pertanyaan
yang
disediakan
Siswa memperta-
jam atau meng-
klarifikasi
pertanyaan yang
disediakan oleh
guru, materi ajar,
atau sumber-
sumber lain
Siswa terlibat
dalam pertanyaan
yang disediakan
oleh guru, materi
ajar, dan sumber-
sumber lain
11. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
Karakteristik
penting
Variasi
Siswa mem-
berikan prio-
ritas pada
bukti dalam
merespon
pertanyaan
Siswa menentu-
kan apa yang
menyusun bukti
dan mengumpul-
kannya
Siswa diarah-
kan mengum-
pulkan data
tertentu
Siswa diberikan
data dan ditugas-
kan menganali-
sisnya
Siswa diberikan
data dan diberi-
tahu bagaimana
cara menganali-
sisnya
Siswa mem-
formulasikan
penjelasan
dari bukti
Siswa memfor-
mulasikan
penjelasan
setelah mering-
kaskan bukti
Siswa dibim-
bing dalam
proses mem-
formulasikan
penjelasan
dari bukti
Siswa diberikan
cara-cara
menggunakan
bukti untuk
memformulasi-
kan penjelasan
Siswa disediakan
bukti dan diberi-
kan cara-cara
menggunakan
bukti untuk mem-
formulasikan
penjelasan
Siswa meng-
hubungkan
antara penje-
lasan dan
pengetahuan
ilmiah
Siswa memeriksa
secara indepen-
den sumber-
sumber dan
bentuk-bentuk
lain yang berhu-
bungan dengan
penjelasan
Siswa diarah-
kan pada
bidang-bidang
dan sumber-
sumber
pengetahuan
ilmiah
Siswa diberikan
hubungan-
hubungan yang
mungkin
-
Siswa meng-
komunikasi-
kan dan men-
justifikasi
penjelasan
Siswa memben-
tuk argumen
yang logis dan
masuk akal
untuk meng-
komunikasikan
penjelasan
Siswa berlatih
mengembang-
kan komuni-
kasi
Siswa disediakan
bimbingan untuk
mengembangkan
komunikasi
Siswa diberikan
tahap-tahap dan
prosedur untuk
berkomunikasi
Banyak --------------------------------- Kemandirian siswa ------------------------------------ Sedikit
Sedikit --------------------------- Arahan dari guru atau materi ---------------------------- Banyak
Inkuiri dapat diidentifikasi sebagai “inkuiri penuh atau terbuka” dan “inkuiri
parsial atau terbimbing ” Label ini mengacu kepada proporsi urutan pengalaman belajar
yang didasarkan atas inkuiri Inkuiri terjadi secara “parsial ” jika guru menunjukkan
bagaimana sesuatu bekerja daripada menugaskan siswa mengeksplorasi sesuatu atau
mengembangkan pertanyaan sendiri. Sebaliknya, jika kelima karakteristik penting dari
inkuiri itu ada maka inkuiri dikatakan “penuh ”
Menurut Trowbridge & Bybee (dalam National Science Teachers Association ,
inkuiri dapat dibagi menjadi tiga level, yaitu belajar penemuan (discovery learning), inkuiri
terbimbing (guided inquiry), dan inkuiri terbuka (open inquiry). Pada belajar penemuan
guru mengajukan masalah dan proses, tetapi memungkinkan siswa mengidentifikasi
hasil-hasil alternatif. Pada inkuiri terbimbing guru mengajukan masalah dan siswa
menentukan proses dan solusi. Sementara itu, pada inkuiri terbuka guru hanya
menyediakan konteks untuk memecahan masalah.
Dengan pembelajaran berbasis inkuiri, guru-guru lebih mudah menyediakan
lingkungan yang menstimulasi siswa belajar. Pekerjaan guru adalah menjadi seorang
fasilitator dan menyediakan siswa dengan lingkungan belajar yang responsif terhadap
kebutuhan siswa. Pandangan guru sebagai pemberi informasi dan penghargaan harus
dibuang jauh-jauh dan siswa diberi kesempatan mencoba sesuatu tanpa rasa takut.
12. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
Esensi dari pembelajaran berbasis inkuiri adalah pertanyaan. Pertanyaan tidak
hanya membantu guru menentukan apa yang sudah diketahui oleh siswa, tetapi juga
mendorong siswa lebih banyak belajar. Pertanyaan merupakan dasar bagi pembelajaran
berbasis inkuiri atau pembelajaran konstruktivis (Carin, 1997). Berkaitan dengan
pertanyaan, Lawson (1995) menyatakan bahwa agar guru-guru berhasil dalam
pembelajaran, mereka hendaknya menggunakan pembelajaran berbasis inkuiri untuk
membimbing siswa dan memberi arah dalam melakukan investigasi dan berpikir. Agar
dapat membimbing siswa dalam pembelajaran, guru-guru hendaknya mengunakan
pertanyaan divergen atau evaluatif. Pertanyaan divergen atau evaluatif akan
memungkinkan sejumlah respon dari siswa dan memacu kreativitas dan berpikir kritis.
Pertanyaan divergen tidak mengharapkan jawaban tunggal, melainkan jamak. Di lain
pihak, pertanyaan yang hanya mengharapkan satu jawaban merupakan pertanyaan
konvergen.
Secara ringkas, studi menunjukkan bahwa siswa lebih menyukai pembelajaran
berbasis inkuiri terbimbing daripada program pembelajaran yang berorientasi pada buku-
buku teks tradisional. Pembelajaran berbasis inkuiri terbimbing akan menyebabkan siswa:
(1) mempelajari sains lebih menarik dan menyenangkan, (2) ingin memperoleh lebih
banyak sains, (3) merasakan sains sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari mereka,
dan (4) mempunyai pandangan positif terhadap sains (Carin, 1997).
Sejumlah model pembelajaran berbasis inkuiri telah dikembangkan agar guru-
guru dapat mengorganisasikan pengalaman belajar yang berorientasi pada inkuiri bagi
siswanya. Semua dari model tersebut dapat menggabungkan karakteristik penting dari
inkuiri. Karakteristik ini melibatkan siswa dalam pertanyaan ilmiah, memberikan siswa
kesempatan mengeksplorasi dan menciptakan penjelasan, menyediakan penjelasan
ilmiah, dan membantu siswa menghubungkan semua ini dengan ide-idenya dan
menciptakan kesempatan bagi siswa untuk memperluas, menerapkan, dan mengevaluasi
apa yang telah mereka pelajari. Komponen-komponen atau fase-fase umum yang
digunakan dalam model pembelajaran berbasis inkuiri ditunjukkan pada Tabel .
Komponen-komponen ini dapat membantu guru-guru untuk merancang pembelajaran
dengan memberikan kesempatan kepada siswa agar mereka terlibat dalam inkuiri ilmiah.
Tabel . Komponen-komponen umum dalam model pembelajaran berbasis inkuiri
(National Research Council
Fase Aktivitas Siswa
. Siswa terlibat dalam pertanyaan ilmiah, peristiwa, atau fenomena. Ini
menghubungkan apa yang mereka ketahui, menciptakan ketidakseimbangan
dengan ide-idenya, dan/atau memotivasinya lebih banyak belajar
. Siswa mengekplorasi ide-ide melalui pengalaman hands-on, merumuskan dan
menguji hipotesis, memecahkan masalah, dan menciptakan penjelasan untuk apa
mereka mengobservasi
. Siswa menganalisis dan menginterpretasi data, mensintesis ide-idenya, membuat
model, dan mengklarifikasi konsep dan penjelasan dengan guru-guru dan
sumber-sumber pengetahuan ilmiah
. Siswa memperluas pemahaman dan kemampuan-kemampuan baru dan
menerapkan apa yang mereka sudah pelajari pada situasi baru
. Siswa, bersama guru, mengkaji dan mengases apa yang mereka sudah pelajari
dan bagaimana mereka mempelajarinya
13. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
Guru-guru yang menerapkan pembelajaran berbasis inkuiri akan sedikit berbicara,
tetapi sering mengajukan pertanyaan (Sund & Trowbridge, 1973). Dengan pengajuan
pertanyaan, guru dapat membantu siswa menggunakan pikirannya. Pertanyaan yang
sesuai akan dapat membimbing dan memberi isyarat kepada siswa agar mereka dapat
menemukan jawaban sendiri. Ini berarti bahwa siswa dapat mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Untuk dapat melakukan ini, guru-guru harus melakukan
perubahan dari konsep pengajaran klasik dari mengatakan (teacher-centered) ke mendengar
dan bertanya serta sangat terbuka dengan pendapat siswa (student-centered) atau dari
mengajar (teaching) ke belajar (learning).
. Pembelajaran berbasis peta argumen
Untuk dapat berpikir secara kritis, siswa harus dapat mengidentifikasi,
mengkonstruksi, dan mengevaluasi argumen (Lau & Chan, 2009). Argumen mengandung
daftar pernyataan yang berupa kesimpulan dan yang lain berupa premis atau asumsi.
Menyampaikan sebuah argumen adalah menyediakan sejumlah premis sebagai alasan
agar kesimpulan dapat diterima oleh orang lain. Argumen juga dapat digunakan untuk
mendukung pendapat orang lain. Twardy (2004) menyatakan bahwa seorang pemikir
kritis yang baik adalah orang yang terampil dalam mengartikulasikan dan mengevaluasi
argumen.
Menurut Bassham et al. (2008), keterampilan berpikir kritis sangat berkaitan
dengan alasan, yaitu mengidentifikasi alasan, mengevaluasi alasan, dan memberikan
alasan. Pada keterampilan berpikir kritis, sebuah argumen mengandung klaim
(kesimpulan) yang didukung oleh alasan (premis). Premis adalah pernyataan dalam
argumen yang menyediakan bukti atau alasan mengapa kita seharusnya menerima
pernyataan lain (kesimpulan). Dengan kata lain, sebuah argumen mengandung
sekelompok premis, satu atau lebih, yang dimaksudkan untuk membuktikan atau
mendukung kesimpulan.
Menurut Twardy (2004), beberapa argumen dapat dipahami sebagai struktur klaim
yang memiliki hubungan logis satu sama lain. Untuk dapat memahami suatu argumen,
terutama argumen kompleks, peta argumen perlu dibuat. Peta argumen menyajikan
struktur logis dari suatu argumen. Peta argumen merupakan diagram kotak dan garis
yang menyajikan struktur logis dari argumen secara visual untuk mendukung (alasan)
klaim utama. Peta argumen mengklarifikasi dan mengorganisasikan pikiran seseorang.
Dengan kata lain, peta argumen akan memungkinkan seseorang menjawab pertanyaan
dengan benar. Peta argumen dapat meningkatkan kemampuan siswa mengartikulasikan,
memahami, dan mengkomunikasikan penalaran sehingga dapat memacu keterampilan
berpikir kritis siswa (van Gelder, 2003). Penelitian lain menunjukkan bahwa pembelajaran
berbasis argumen sangat efektif untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa
(Redhana, 2009a; Redhana et al
Peta argumen mengembangkan kemampuan siswa untuk memahami argumen
kompleks dengan baik (Twardy, 2004). Peta argumen dapat membantu siswa memperoleh
14. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
pemahaman yang lebih mendalam tentang susunan konseptual dari isu-isu dan debat
kompleks. Peta argumen membuat informasi lebih mudah diproses oleh pikiran dengan
menggunakan sejumlah sumber representasi yang lebih luas (seperti warna, garis, bentuk,
dan posisi).
Dalam membuat peta argumen kompleks, Lau & Chan (2009) menyatakan bahwa
prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut.
a. Mengidentifikasi kesimpulan utama atau yang paling penting dari argumen.
b. Mengidentifikasi premis yang digunakan untuk mendukung kesimpulan. Ini adalah
premis dari argumen utama.
c. Jika argumen tambahan diberikan untuk mendukung beberapa premis, maka
identifikasi dilakukan terhadap premis dari argumen tambahan tersebut, kemudian
mengulangi lagi prosedur ini. Label premis dan kesimpulan ditulis menggunakan
bilangan atau huruf.
d. Menulis label dalam “struktur pohon” dan menggambar panah dari sejumlah
premis menuju kesimpulan yang didukung oleh premis.
Keuntungan dari penggunaan peta argumen juga diungkapkan oleh Ostwald
(2007). Umumnya, keuntungan ini meliputi: (1) tayangan struktur argumen sangat efisien
di mana peta argumen dapat meringkaskan beberapa halaman dari debat atau isu
kompleks ke dalam peta tunggal, (2) tayangan dari struktur argumen dapat ditampilkan
dengan jelas di mana argumen ditranslasi dari bentuk teks ke dalam bentuk peta yang
merupakan praktik keterampilan berpikir kritis yang sangat baik, dan (3) masing-masing
ko-premis dapat ditunjukkan secara eksplisit di mana peta argumen akan memacu siswa
mengidentifikasi asumsi yang tidak dinyatakan dan meminta bukti untuk masing-masing
komponen dari argumen. Pendek kata, peta argumen merupakan cara transparan dan
efektif untuk menyajikan argumen dan membuat operasi keterampilan berpikir kritis
menjadi lebih jelas sehingga menghasilkan perkembangan keterampilan berpikir kritis
yang lebih cepat.
Untuk mengidentifikasi klaim atau kesimpulan perhatikan kata atau frase
indikator, seperti: sehingga, dengan demikian, menghasilkan, dan menyebabkan. Sementara itu,
untuk mengidentifikasi premis atau alasan perhatikan kata atau frase indikator, seperti:
karena, disebabkan oleh, dan sebagai akibat dari. Jika kata atau frase indikator tidak muncul,
cobalah menambahkan kata atau frase indikator di depan kalimat sehingga hubungan
antara kalimat membentuk suatu kesatuan makna.
Berikut diberikan beberapa contoh pembuatan peta argumen.
a. Argumen terdiri dari satu klaim dan satu premis (argumen sederhana).
Contoh: Air menguap. [2] Hal ini disebabkan oleh air dipanaskan.
Peta argumen:
15. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
b. Argumen terdiri dari satu klaim dan dua premis, tetapi kedua premis ini saling tergantung satu
satu sama lain. Jika premis yang satu tidak ada, maka premis yang lain juga tidak berlaku.
Kedua premis ini harus ada bersama untuk mendukung kesimpulan.
Contoh: Benda meluncur pada bidang miring. Benda memiliki massa Pada benda
bekerja gaya gravitasi.
Peta argumen:
c. Argumen terdiri dari satu klaim dan dua premis, tetapi premis yang satu tidak tergantung pada
premis yang lain. Artinya, jika salah satu premis tidak ada, maka premis yang lain masih dapat
mendukung klaim.
Contoh: [3] Pemerintah seharusnya melegalkan perjudian sepak bola. [1] Perjudian ini akan
menyediakan sumber pendapatan tambahan melalui pajak. [2] Lagi pula, ada dukungan publik
atas usulan tersebut.
Peta argumen:
d. Argumen terdiri dari satu premis dan dua klaim, tetapi antara klaim yang satu dengan yang lain
tidak tergantung satu sama lain.
Contoh: [1] Ginseng adalah produk kesehatan yang sangat baik. [2] Sehingga Anda seharusnya
membeli beberapa dari produk tersebut untuk diri Anda sendiri. [3] Anda juga seharunya
membeli beberapa dari produk tersebut untuk orang tua Anda.
Peta Argumen:
e. Argumen dengan sistem bertingkat, di mana suatu klaim dapat menjadi premis bagi klaim yang
lain (argumen kompleks).
Contoh: [2] Po tidak dapat menghadiri pesta saya karena [1] sepeda motornya rusak. [4] Dipsy
juga tidak dapat menghadiri pesta saya karena [3] ia harus mengantar ibunya ke dokter. [5] Saya
tidak mengundang teletubis yang lain, sehingga [6] tidak ada teletubis yang menghadiri pesta.
Peta argumen:
Langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran berbasis peta argumen ditunjukkan pada Tabel
berikut.
16. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
Tabel 8. Kegiatan pembelajaran berbasis peta argumen (Redhana, 2009a; Redhana et al
No. Kegiatan guru Kegiatan siswa
Guru membagi siswa ke dalam kelompok
kecil, 4-5 orang
Peserta membagi diri dalam
kelompok kecil
Setiap aggota dalam kelompok
berperan secara bergiliran sebagai
ketua, sekretaris, penyaji dan
anggota
Guru membagikan bahan ajar
Setiap halaman dari bahan ajar ini terdiri
dari dua kolom, di mana kolom pertama
mengandung deskripsi materi pelajaran dan
kolom kedua merupakan tempat bagi siswa
untuk menuliskan peta argumen
Guru dapat menyediakan bimbingan jika
diperlukan
Siswa mempelajari bahan ajar,
kemudian mendiskusikan peta
argumennya
Guru melaksanakan diskusi kelas
Guru bertindak sebagai muderator dan
fasilitator
Salah satu kelompok menyajikan
peta argumen yang dibuat
Kelompok lain memberi tanggapan
Guru memberikan perbaikan jika terdapat
kesalahan konsep
Siswa memperbaiki konsepnya
yang salah, jika ada
Guru melaksanakan evaluasi selama proses
dan akhir pembelajaran
Siswa terlibat dalam evaluasi yang
dilaksanakan oleh guru
Pembelajaran kreatif-produktif
Kreativitas terkait langsung dengan produktivitas dan merupakan bagian esensial
dalam pemecahan masalah. Menurut Wankat & Oreovoc (dalam Wena, 2009), upaya
peningkatan kreativitas siswa dapat dilakukan dengan:
a. mendorong siswa agar menjadi kreatif,
b. menerapkan model pembelajaran yang menjadikan siswa kreatif, dan
c. menerima ide-ide kreatif yang dihasilkan oleh siswa,
Dalam upaya mendorong siswa agar menjadi kreatif dapat dilakukan dengan
beberapa cara, misalnya:
1) mengembangkan beberapa pemecahan masalah yang kreatif untuk suatu masalah,
2) memberikan beberapa cara dalam memecahkan masalah, dan
3) membuat daftar beberapa kemungkinan solusi untuk suatu masalah.
Dalam upaya menerapkan model pembelajaran yang menjadikan siswa kreatif
dapat dilakukan dengan:
1) mengembangkan ide sebanyak-banyaknya,
2) mengembangkan ide berdasarkan ide-ide oranglain,
3) jangan memberi kritik pada saat pengembangan ide,
4) mengevaluasi ide-ide yang telah ada, dan
17. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
5) menyimpulkan ide yang terbaik.
Hal terpenting pada tahap ini adalah menerima ide-ide siswa dan membantu siswa
membangun ide-ide yang lebih cemerlang. Secara operasional, hal ini dapat dilakukan
dengan memberi catatan tentang:
1) aspek-aspek yang positif dari ide,
2) aspek-aspek yang negatif dari ide, dan
3) hal-hal yang menarik dari ide tersebut.
Menurut Marzano (dalam Wena, 2009), dalam proses pembelajaran konstruktivist,
guru-guru harus mampu menumbuhkan kebiasan berpikir produktif, yang ditandai
dengan menumbuhkan:
1) kemampuan berpikir dan belajar yang teratur secara mandiri,
2) sikap kritis dalam berpikir, dan
3) sikap kreatif dalam berpikir dan belajar.
Namun, harus diakui bahwa antara kreativitas dan produktivitas merupakan hal
yang saling berkaitan dan dalam proses pembelajaran keduanya harus ditumbuhkan
bersamaan. Pembelajaran kreatif-produktif ini dipandang mampu menantang siswa untuk
menghasilkan sesuatu yang kreatif sebagai re-kreasi atau pencerminan pemahamannya
terhadap masalah atau topik yang dikaji. Pembelajaran kreatif-produktif memiliki
beberapa karakteristik yang membedakannya dengan pembelajaran yang lain.
Karakteristik tersebut adalah sebagai berikut.
1) Keterlibatan siswa secara intelektual dan emosional dalam pembelajaran.
2) Siswa didorong untuk menemukan atau mengkonstruksi konsep sendiri yang
sedang dikaji melalui penafsiran yang dilakukan melalui berbagai cara, seperti
observasi, diskusi, atau percobaan.
3) Siswa diberi kesempatan untuk bertanggung jawab menyelesaikan tugas bersama.
4) Pada dasarnya untuk menjadi kreatif, seseorang harus bekerja keras, berdedikasi
tinggi, antusias, dan percaya diri.
Dengan mengacu kepada karakteristik di atas, pembelajaran kreatif produktif
diasumsikan mampu memotivasi siswa dalam melaksanakan berbagai kegiatan sehingga
siswa merasa tertantang menyelesaikan tugas-tugas secara kreatif. Pelaksanaan
pembelajaran kreatif-produktif dilakukan dengan tahap-tahap tertentu. Terdapat lima
tahap pembelajaran kreatif-produktif, yaitu: orientasi, eksplorasi, interpretasi, re-kreasi,
dan evaluasi.
a. Orentasi
Tahap ini diawali dengan orientasi untuk menyepakai tugas dan langkah-langkah
pembelajaran. Dalam hal ini guru mengkomunikasikan tujuan, materi, waktu,
langkah-langah pembelajaran, hasil akhir yang diharapkan pada siswa, dan
penilaian yang diterapkan. Pada kesempatan ini siswa diberikan kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya tentang langkah pembelajaran, hasil akhir yang
diharapkan, dan penilaian yang direncanakan.
18. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
b. Eksplorasi
Pada tahap ini, siswa melakukan eksplorasi terhadap masalah atau konsep yang
dikaji. Eksplorasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti membaca,
melakukan observasi, wawancara, melakukan percobaan, dan browsing internet.
Melalui kegiatan ekplorasi ini siswa akan dirangsang untuk meningkatkan rasa
ingin tahunya sehingga dapat memacu kegiatan belajar selanjutnya. Eksplorasi
dapat dilakukan secara individu atau kelompok. Waktu eksplorasi disesuaikan
dengan luasnya dan kedalaman cakupan topik yang dibahas. Agar eksplorasi
terarah pada tujuan, guru hendaknya membuat panduan singkat, yang memuat
tujuan, waktu, materi, cara kerja, dan hasil akhir yang diharapkan.
c. Interpretasi
Pada tahap ini hasil eksplorasi diinterpretasikan melalui kegiatan analisis, diskusi,
tanya jawab, atau bahkan berupa percobaan kembali, jika masih ada data yang perlu
dikumpulkan. Melalui tahap interpretasi ini siswa didorong untuk berpikir tingkat
tinggi (analisis, sintesis, dan evaluasi) sehingga terbiasa dalam memecahkan
masalah. Pada akhir tahap ini diharapkan semua siswa sudah memahami konsep
atau topik nyang dipelajari.
d. Re-kreasi
Pada tahap ini siswa ditugaskan menghasilkan sesuatu yang mencerminkan
pemahamannya terhadap topik/masalah yang dipelajari menurut kreasinya masing-
masing. Menurut Clegg & Berch (dalam Wena, 2009), pada setiap akhir
pembelajaran, siswa dituntut mampu menghasilkan sesuatu sehingga apa yang
telah dipelajarinya menjadi bermakna, lebih-lebih untuk memecahkan masalah yang
sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Re-kreasi dapat dilakukan secara
individu atau kelompok sesuai dengan pilihan siswa. Hasil re-kreasi merupakan
produk kreatif sehingga dapat dipresentasikan, dipajang, atau ditindaklanjuti.
e. Evaluasi
Evaluasi dilakukan selama proses pembelajaran dan pada akhir pembelajaran.
Selama proses pembelajaran evaluasi dilakukan dengan mengamati sikap dan
kemampuan berpikir siswa. Aspek-aspek yang dinilai selama proses pembelajaran
adalah kesungguhan mengerjakan tugas, hasil eksplorasi, kemampuan berpikir
kritis dan logis dalam memberikan pandangan/argumentasi, dan kemampuan
bekerja sama dan memikul tanggung jawab bersama. Di lain pihak, evaluasi pada
akhir pembelajaran dilakukan terhadap terhadap produk kreatif yang dihasilkan
siswa. Kriteria penilaian dapat disepakati bersama pada waktu orientasi.
Secara ringkas pembelajaran kreatif-produktif dapat digambarkan sebagai berikut.
19. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
Gambar 1. Pembelajaran kreatif-produktif (Depdiknas, 2005)
Secara operasional kegiatan guru dan siswa pada pembelajaran kreatif-produktif
dapat dijabarkan sebagai berikut.
Tabel . Tahapan, kegiatan guru dan siswa pada pembelajaran kreatif-produktif
(Depdiknas, 2005)
No. Tahap Kegiatan guru Kegiatan siswa
. Orientasi Mengkomunikasikan tujuan,
materi, waktu, langkah-langkah
pembelajaran, hasil yang
diharapkan, dan penilain
Menanggapi/mendiskusikan
langkah-langkah pembelajaran,
hasil yang diharapkan, dan
penilaian
. Eksplorasi Mengarahkan dan memberikan
bimbingan belajar
Membaca, melakukan observasi,
wawancara, melakukan
percobaan, browsing internet, dan
sebagainya
. Interpretasi Membimbing dan mengarahkan
belajar siswa
Melakukan analisis, diskusi,
tanya jawab, atau melakukan
percobaan kembali
. Re-kreasi Membimbing, mengarahkan,
memberi dorongan, dan
menumbuhkan daya cipta
Mengambil keputusan,
menghasilkan sesuatu/produk
baru
. Evaluasi Melakukan evaluasi dan memberi
balikan
Mendiskusikan hasil evaluasi
Prinsip dasar Prosedur pembelajaran
Keterlibatan siswa secara
intelektual dan emosional dalam
pembelajaran
Siswa didorong mengkonstruksi
konsep/teori dengan berbagai
cara
Siswa bertanggung jawab
menyelesaikan tugas-tugas
secara bersama
Untuk menjadi kreatif seseorang
harus bekerja keras, berdedikasi
tinggi, dan percaya diri
Eksplorasi
Interpretasi
Re-kreasi
Orientasi
Evaluasi
20. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
Pembelajaran generatif
Pembelajaran generatif pertama kali diperkenalkan oleh Osborne & Cosgrove
(dalam Wena, 2009). Pembelajaran generatif ini terdiri dari empat tahap, yaitu: eksplorasi,
pemokusan, tantangan atau pengenalan konsep, dan penerapan konsep.
a. Eksplorasi
Pada tahap ini guru membimbing siswa melakukan eksplorasi terhadap
pengetahuan, ide atau konsepsi awal yang diperoleh dari pengalaman sehari-harinya atau
diperoleh dari pembelajaran pada tingkat kelas sebelumnya. Untuk mendorong siswa
agar mampu melakukan eksplorasi, guru dapat memberikan stimulus berupa beberapa
aktivitas atau tugas-tugas, seperti melakukan demonstrasi atau penelusuran suatu
permasalahan yang dapat menunjukkan data atau fakta yang terkait dengan topik yang
akan dipelajari. Pada aktivitas ini, gejala, data, dan fakta yang didemonstrasikan
sebaiknya dapat merangsang siswa untuk berpikir kritis, mengkaji fakta, data, gejala, dan
memusatkan pikirannya terhadap permasalahan yang akan dipecahkan. Dengan
demikian, aktivitas yang dilakukan oleh siswa akan dapat menumbuhkan rasa ingin tahu.
Pada langkah berikutnya guru mengajak dan mendorong siswa untuk berdiskusi tentang
fakta atau gejala yang baru diselidiki atau diamati. Guru harus mengarahkan proses
diskusi guna mengidentifikasi konsepsi siswa yang selanjutnya dapat dikembangkan
menjadi rumusan, dugaan, atau hipotesis.
b. Pemokusan
Tahap pemokusaan disebut juga sebagai tahap pengenalan konsep atau intervensi.
Pada tahap ini siswa melakukan pengujian hipotesis melalui kegiatan laboratorium. Pada
tahap ini guru bertugas sebagai fasilitator dengan memberikan bimbingan dan arahan
sehingga siswa dapat melakukan proses penyelidikan dengan baik.
Tugas-tugas pembelajaran yang diberikan kepada siswa hendaknya dibuat
sedemikian rupa sehingga memberikan peluang dan merangsang siswa untuk menguji
hipotesisnya dengan caranya sendiri. Tugas-tugas pembelajaran yang dirancang oleh guru
hendaknya juga tidak seratus persen merupakan berupa petunjuk. Dengan kata lain, siswa
dapat beraktivitas sesuai dengan caranya sendiri. Penyelesaian tugas-tugas dapat
dilakukan secara kelompok, sampai 4 siswa, sehingga siswa dapat saling
mempertukarkan ide dan mengisi kekurangan satu sama lain.
c. Tantangan
Setelah siswa memperoleh data, mereka selanjutnya menyimpulkan hasil-hasilnya.
Para siswa diminta mempresentasikan temuannya melalui diskusi kelas. Pada diskusi
kelas ini akan terjadi proses tukar menukar pengalaman di antara siswa dan siswa berlatih
mengemukakan ide dan kritik, melakukan debat, menghargai pendapat teman, dan
menghargai adanya perbedaan pendapat. Pada diskusi kelompok guru berperan sebagai
moderator dan fasilitator agar diskusi dapat berlangsung sesuai dengan tujuan. Pada
akhir diskusi siswa memperoleh kesimpulan dan pemahaman konsep yang benar. Pada
21. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
tahap ini terjadi proses kognitif, yaitu terjadinya proses mental yang disebut asimilasi dan
akomodasi.
d. Penerapan konsep
Pada tahap ini siswa diajak memecahkan masalah dengan menggunakan konsep
yang telah dipelajari pada situasi baru, yaitu situasi yang berkaitan dengan masalah-
masalah yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pemberian tugas rumah atau tugas
proyek yang dikerjakan siswa di luar jam pertemuan merupakan suatu bentuk penerapan
konsep yang baik untuk dilakukan. Pada tahap ini siswa perlu diberi latihan-latihan soal.
Dengan latihan-latihan soal ini, siswa akan semakin memahami konsep (isi pembelajaran)
secara lebih mendalam dan bermakna. Pada akhirnya, konsep yang dipelajari siswa akan
masuk ke memori jangka panjang sehingga tingkat retensi siswa semakin baik.
Secara operasional kegiatan guru dan siswa selama pembelajaran generatif dapat
ditunjukkan dalam Tabel .
Tabel . Kegiatan dalam dalam pembelajaran generatif (Osborne & Cosgrove, dalam
Wena, 2009)
No.
Tahap
pembelajaran
Kegiatan guru Kegiatan siswa
Eksplorasi Memberikan aktivitas
melalui demonstrasi/contoh
yang dapat merangsang
siswa melakukan eksplorasi
Mengeksplorasi pengetahuan, ide
atau konsepsi awal yang diperoleh
dari pengalaman sehari-hari atau
diperoleh dari pembelajaran pada
tingkat kelas sebelumnya
Mendorong dan merangsang
siswa untuk mengemukakan
ide/pendapat serta
merumuskan hipotesis
Mengutarakan ide-ide dan
merumuskan hipotesis
Membimbing siswa
mengklasifikasikan pendapat
Melakukan klasifikasi
pendapat/ide-ide yang telah ada
. Pemfokusan Membimbing dan
mengarahkan siswa
menetapkan konteks
permasalahan berkaitan
dengan ide-ide siswa yang
kemudian dilakukan
pengujian
Menetapkan konteks
permasalahan, memahami, dan
mencermati permasalahan
Membimbing siswa
melakukan proses sains,
yaitu pengujian melalui
percobaan
Melakukan pengujian, berpikir
tentang apa yang terjadi,
menjawab pertanyaan yang
berhubungan dengan konsep
Memutuskan dan menggambarkan
apa yang diketahui tentang
kejadian. Mengklasifikasikan ide-
ide ke dalam konsep
22. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
No.
Tahap
pembelajaran
Kegiatan guru Kegiatan siswa
Menginterpretasi respon
siswa. Menginterpretasi dan
menguraikan ide siswa
Mempresentasikan ide ke dalam
kelompok dan juga forum kelas
melalui diskusi
. Tantangan Mengarahkan dan
memfasilitasi agar terjadi
pertukaran ide di antara
siswa
Menjamin semua ide siswa
dipertimbangkan
Membuka diskusi
Mengusulkan melakukan
demonstrasi, jika diperlukan
Memberikan pertimbangan ide
kepada: (a) siswa lain, (b) semua
siswa dalam kelas
Menunjukkan bukti ide
ilmuan
Menguji validitas ide/pendapat
dengan mencari bukti
Membandingkan ide ilmuan
dengan ide kelas
. Aplikasi Membimbing siswa
merumuskan permasalahan
yang sangat sederhana
Membawa siswa
mengklarifikasi ide baru
Menyelesaikan masalah praktis
dengan menggunakan konsep
pada situasi yang baru
Menerapkan konsep yang baru
dipelajari dalam berbagai konteks
yang berbeda
Membimbing siswa agar
mampu menggambarkan
secara verbal penyelesaian
masalah
Ikut terlibat dalam
merangsang dan
berkontribusi ke dalam
diskusi untuk menyelesaikan
permasalahan.
Mempresentasikan penyelesaian
masalah dihadapan teman
Melakukan diskuasi dan debat
tentang penyelesaian maslaah,
mengkritisi dan menilai
penyelesaian maslah
Menarik kesimpulan
III. Penutup
Salah salah satu kompetensi yang diharapkan harus dimiliki oleh seorang guru
profesional adalah kompetensi pegagogik. Pada kompetensi ini guru diharapkan dapat
membelajarkan materi sehingga siswa dapat dengan mudah memahami materi dipelajari.
Di samping itu, siswa juga dapat mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi
yang berguna baginya untuk menghadapi kehidupan. Untuk dapat mencapai harapan di
atas, guru hendaknya menerapkan model-model pembelajaran inovatif dalam
pembelajarannya. Guru juga harus melakukan perbaikan terhadap pembelajaran yang
dilakukan secara terus menerus agar kualitas pembelajarannya semakin baik sehingga
akhirnya proses dan hasil belajar siswa akan dapat ditingkatkan. Jika hal ini dapat
dilakukan oleh seorang guru, maka guru yang bersangkutan akan tumbuh dan
berkembang menjadi seorang guru profesional. Sudah barang tentu tidak
23. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
mengesampingkan kompetensi yang lain, yaitu kompetensi profesional, kepribadian, dan
sosial.
Daftar Pustaka
Akinoğlu, O., & Tandoğan, R. Ö The effects of problem-based active learning in
science education on students’ academic achievement attitude and concept learning
eurasia journal of mathematics, science & technology education, -
Arends, R. I. (2004). Learning to teach th Ed. Boston: McGraw Hill.
Barrows. H. S. (1996). Problem-based learning in medicine beyond: A brief overview. New
direction for teaching and learning, -
Bassham, G., Irwin, W., Nardone, H., & Wallace, J. M. (2008). Critical thinking: A student’s
introduction nd Edition. New York: McGraw-Hill Company, Inc.
Carin, A. A. (1997). Teaching Modern Science th Ed. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Carroll, R. T., (2004). Becoming a Critical Thinker. Terdsedia pada: http://skepdic.
com/refuge/ctlessons/ch1.pdf. Diakses pada Tanggal 6 Juli 2007.
Depdiknas (2005). Peningkatan kualitas pembelajaran. Jakarta: Dirjen DIKTI – Direktorat
Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan ketenagaan Perguruan Tinggi.
Duch, B. J., Groh, S. E., & Allen., D. E. (2001). The Power of problem-based learning. Virginia:
Stylus Publishing, LLC
Gallagher, J. J. (2007). Teaching science for understanding: a practical guide for middle and high
school teachers. Ohio: Pearson Education, Inc.
Gijselaers, W. H. (1996). Connecting problem-based learning with educational theory. New
direction for teaching and learning, -
Kolmos, A., Kuru, S., Hansen, H., Eskil, T., L., Fink, F., de Graaff, E., Wolff, J. U., & Soylu,
A. (2008). Problem-based learning. [Online]. Tersedia: http:www. [4 Februari 2008].
Lau, J., & Chan, J. 2009. Argument mapping. [Online]. Tersedia: http://philosophy.
hku.hk/think/ arg/arg.php. [15 Februari 2009].
Lawson, A. E. (1995). Science teaching and the development of thinking. California:
Wadsworth, Inc.
Lipman, M. (2003). Thinking in education nd Ed. Cambridge: Cambridge University Press.
Lubezki, A., Dori, Y. J., & Zoller, U. 2004. HOCS-promoting assessment of students’
performance on environment-related undergraduate chemistry. Chemistry education
research and practice, -
National Research Council (2000). Inquiry and the national science education standards: A
Guide for teaching and learning. [Online]. Tersedia: http://books.nap.edu/
html/inquiry_ addendum/notice.html. [9 Oktober 2001].
National Science Teachers Association (1998). Standard for science teacher preparation.
Association for the Education of Teachers in Science.
Ommundsen, P., (2001). Problem-based learning in biology. [Online]. Tersedia: http:// www.
saltspring.com/capewest/pbl.htm. [3 Juli 2007].
24. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
Ostwald, J. 2007. Argument mapping for critical thinking. [Online]. Tersedia: http://www.
jostwald.com/ArgumentMapping/OstwaldHandout.pdf. Februari 2009].
Paul, R. (1990). Critical thinking: What every person needs to survive in a rapidly changing world.
Rohnert Park, CA: Center for Critical Thinking and Moral Critique.
Paul, R., & Binker, A. J. A. (1990). Socratic questioning. Rohnert Park, CA: Center for Critical
Thinking and Moral Critique.
Ram, P., Ram, A., & Spragur, C. (2007). From student learner to professional learner: Training
for lifelong learning through online PBL. [Online]. Tersedia: http://gatech. academia.
edu/ARam/Papers/21865/From-Student-Learner-To-Professional-Learner-
Training-For-Lifelong-Learning-Through-On-Line-PBL. [13 Juni 2009]
Redhana, I W. (2009a). Application of argument mapping based-learning model to
improve students’ critical thinking in thermochemistry topic Proceeding of the third
international on science education, 243-
Redhana, I W. (2009b). Pengembangan program pembelajaran berbasis masalah
terbimbing untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa pada mata
pelajaran kimia SMA. Disertasi doktor tidak dipublikasikan, SPS UPI, Bandung.
Redhana, I W., & Kartowasono, N., (2006). Penerapan pembelajaran berbasis masalah
untuk meningkatkan minat, pemahaman, dan hasil belajar mahasiswa jurusan
pendidikan matematika. Laporan penelitian tidak dipublikasikan, Universitas
Pendidikan Ganesha, Singaraja.
Redhana, I W., & Liliasari. (2008). Program pembelajaran keterampilan berpikir kritis pada
topik laju reaksi untuk siswa SMA. Forum kependidikan, 2 -
Redhana, I W., & Liliasari. (2009a). Efektivitas program pembelajaran keterampilan
berpikir kritis pada topik termokimia. Proseding seminar nasional kimia dan pendidikan
kimia -
Redhana, I W., & Liliasari. (2009b). Peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa melalui
program pembelajaran berbasis masalah terbimbing pada topik termokimia.
Proseding seminar nasional pendidikan II -
Redhana, I W., & Maharani, L. (2008). Pertanyaan socratik untuk meningkatkan
keterampilan berpikir kritis siswa. Proseding seminar nasional kimia dan pendidikan
kimia IV -
Redhana, I W., & Simamora, M. (2007). Penerapan pembelajaran berbasis masalah
berbantuan LKM untuk meningkatkan keterampilan pemecahan masalah
mahasiswa. Laporan penelitian tidak dipublikasikan, Universitas Pendidikan Ganesha,
Singaraja.
Redhana, I W., Selamat, I N., & Suardana, I N. (2009). Pengembangan Buku Kerja Kimia
Berbasis Peta Argumen Menggunakan Konteks Budaya Lokal untuk Meningkatkan
Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMA. Laporan penelitian tidak dipublikasikan,
Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja.
Savery, J. R., & Duffy, T., M., (1991). Problem-based learning: An instructional model and
its constructivist framework. Constructivist learning environments -
Savoi, J. M. & Hughes, A. S., (1994). Problem-Based Learning As Classroom Solution.
Educational Leadership, Nopember -
25. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
Schafersman, S.D. (1991). Introduction to critical thinking. [Online]. Tersedia:
http://www.freeinquiry.com/critical-thinking.html. [25 September 2006].
Sund, R. B., & Trowbridge, L. W. (1973). Teaching science by inquiry in the secondary school
nd ed). Ohio: Bell & Howell Company.
Tan, O. S. Problem-based learning innovation. Singapore: Thomson Learning.
Tan, O. S. (2004). Cognition, metacognition, and problem-based learning. In O. S. Tan (Ed).
Enhanching thinking through problem-based learning approachs: International perspectives.
Singapore: Thomson Learning.
Tsapartis, G., & Zoller, U. 2003. Evaluation of higher vs. lower-order cognitive skills-type
examination in chemistry: implications for university in-class assessment and
examination. U.Chem.Ed -
Twardy, C. R. 2004. Argument maps improve critical thinking. [Online] Tersedia: http://
www.csse.monash.edu.au/~ctwardy/Papers/reasonpaper.pdf. [8 September 2006].
van Gelder, T. 2003. Enhancing deliberation through computer-supported argument
visualization. In P. A. Kirschner, S. Buckingham Shum, & C. Carr (Eds). Visualizing
argumentation. London: Springer-Verlag.
Walker, G. H., (1998). Critical thinking. [Online]. Tersedia: http://www.utr.edu/
administration/walkerteachingresoursecenter/facultydevelopment/criticalthinking.
[6 Juli 2007].
Wena, M (2009). Strategi pembelajaran inovatif kontemporer: Suatu tinjauan konseptual
operasional. Jakarta: Bumi Aksara.
Wilson, J., & Murdoch, K. (2004). What is inquiry learning? [Online]. Tersedia: http://
ss.uno.edu//SS/TeachDevel/TeachMethods/InquiryMethod.html. [4 September
Yuzhi, W. (2003). Using Problem-based Learning in Teaching Analytical Chemistry. The
China Papers, July -
26. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
Lampiran Contoh Proposal Tindakan Kelas yang Menggunakan Pembelajaran Inovatif
Berikut ini diberikan satu contoh penerapan pembelajaran inovatif melalui penelitian tindakan kelas yang yang dilakukan oleh
seorang guru di Bali yang berkolaborasi dengan seorang dosen.
I. Judul: Penggunaan Pertanyaan Socratik pada Pembelajaran Kimia untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa
Kelas XI IA SMAN 4 Singaraja
II. Pendahuluan
Latar belakang masalah
Mata pelajaran kimia merupakan salah satu dari mata pelajaran IPA yang sulit dipahami oleh siswa. Hal ini
disebabkan oleh mata pelajaran kimia mempelajari konsep-konsep kimia yang bersifat mikroskopik dan abstrak, seperti
misalnya konsep atom, molekul, ion, struktur atom, struktur molekul, dan ikatan kimia. Konsep-konsep ini sangat sulit
divisualisasikan oleh siswa sehingga siswa sering mengalami miskonsepsi terhadap konsep-konsep ini. Miskonsepsi yang
terjadi misalnya atom dipandang sebagai bola pejal yang mengembang jika dipanaskan, spin elektron mengarah ke bawah
dan ke atas, dan atom dianalogikan seperti bawang yang terdiri dari beberapa lapisan.
Dalam mengajarkan konsep-konsep kimia di atas, guru-guru kimia hendaknya memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan, seperti menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi.
Keterampilan-keterampilan ini merupakan keterampilan berpikir tingkat tinggi, khususnya keterampilan berpikir kritis. Untuk
mengembangkan keterampilan berpikir kritis ini, siswa harus dihadapkan pada masalah-masalah yang bersifat open-ended
dan ill-structured. Dalam memecahkan masalah-masalah tersebut, siswa akan menggunakan keterampilan-keterampilan di
atas, seperti melakukan klarifikasi dan verifikasi terhadap masalah, mengumpulkan informasi tambahan, memberi contoh atau
bukti tambahan, mencari solusi alternatif, menentukan perbedaan dan persamaan, dan menentukan implikasi dari tindakan
atau solusi yang dipilih. Dengan cara demikian, siswa akan dapat menentukan solusi yang tepat terhadap masalah yang
dipecahkan.
Hasil refleksi berkaitan dengan pembelajaran kimia yang sebelumnya peneliti lakukan diperoleh hasil-hasil sebagai
berikut. Pembelajaran yang diterapkan adalah metode SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, dan Review). Pada metode
pembelajaran SQ3R ini siswa diminta meneliti materi ajar untuk mendapatkan suatu dasar pemikiran sehingga siswa dapat
meramalkan apa saja yang akan dipelajari (Survey). Peneliti memberikan pertanyaan pancingan agar siswa bersedia
mengungkapkan gagasannya terkait dengan materi yang dipelajari (Question). Siswa diarahkan mengkaji materi ajar dengan
waktu yang sudah ditentukan dan membuat rangkuman materi (Read). Siswa, selanjutnya, mendiskusikan masalah yang
terdapat dalam LKS. Peneliti menunjuk kelompok secara acak untuk mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas,
sedangkan kelompok lainnya memberi tanggapan (Recite). Siswa diarahkan meninjau ulang materi yang telah dipelajari dan
memusatkan diri pada gagasan yang diperoleh pada langkah sebelumnya. Jika siswa merasa belum yakin dengan gagasan
tersebut, siswa dapat membaca ulang materi tersebut. Selanjutnya, siswa diarahkan untuk menyimpulkan hasil diskusi yang
telah dilakukan (Review).
Dengan metode pembelajaran SQ3R di atas, skor rerata hasil belajar siswa sebesar 70,7 dan jumlah siswa yang
mengikuti remidi sebanyak 33,3% dihitung berdasarkan standar ketuntasan belajar minimal (SKBM) untuk mata pelajaran
kimia sebesar 65. Sekarang ini dengan diterapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) di SMA Negeri 4 Singaraja,
istilah standar ketuntasan belajar minimal (SKBM) berubah menjadi kriteria ketuntasan minimal (KKM). Besarnya KKM untuk
mata pelajaran kimia adalah 75. Jika hasil belajar siswa yang diajar dengan metode SQ3R ditentukan berdasarkan KKM mata
pelajaran kimia sebesar 75, maka jumlah siswa yang seharusnya mengikuti remidi sebesar 42,3%. Ini menunjukkan bahwa
hampir sebagian siswa tidak berhasil mencapai kompetensi yang telah ditetapkan pada mata pelajaran kimia. Oleh karena itu,
hasil belajar siswa ini masih perlu ditingkatkan.
Peneliti juga menemukan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah-masalah yang terdapat
dalam LKS yang menurut peneliti termasuk masalah-masalah yang sulit. Masalah-masalah yang termasuk sulit dijawab oleh
siswa antara lain adalah: (1) Bila serbuk besi dengan serbuk belerang di campur, apakah terbentuk senyawa? Berikan alasan!;
(2) Dari teori atom Dalton yang telah Anda pelajari, pada bagian mana dari teori atom tersebut yang masih relevan sampai
saat ini! Jelaskan!; (3) Perhatikan Tabel Periodik Panjang! Di antara unsur nitrogen dan oksigen, unsur mana yang mempunyai
energi ionisasi lebih besar? Mengapa demikian?; dan (4) Mengapa logam dapat menghantarkan panas dan listrik dengan
baik?” Dalam memecahkan masalah-masalah ini, siswa sesungguhnya dituntut menggunakan keterampilan berpikir kritis.
Rerata skor yang diperoleh untuk keterampilan berpikir kritis ini sebesar 2,14 (skala 1 -
Permasalahan yang diuraikan di atas, yaitu masih rendahnya hasil belajar siswa yang ditunjukkan oleh masih
banyaknya siswa yang mengikuti remidi dan rendahnya keterampilan berpikir kritis siswa, ternyata bersumber (berakar) dari
pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti selama ini. Peneliti kurang membimbing siswa dalam mengembangkan
keterampilan berpikir kritis ketika siswa memecahkan masalah-masalah yang terdapat dalam LKS, walupun peneliti
sesunguhnya telah berupaya menghadapkan siswa dengan masalah-masalah yang menuntut keterampilan berpikir kritis.
Keterampilan berpikir kritis siswa tidak akan berkembang dengan sendirinya, tanpa ada usaha sadar yang dilakukan untuk
membimbing siswa mengembangkan keterampilan berpikir kritis tersebut. Tidak berkembangnya keterampilan berpikir kritis
siswa selama pembelajaran berpengaruh pada rendahnya hasil belajar siswa. Oleh karena itu, untuk meningkatkan hasil
27. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
belajar siswa, maka keterampilan berpikir kritis siswalah yang harus dikembangkan terlebih dahulu. Dengan meningkatnya
keterampilan berpikir kritis siswa, maka hasil belajar siswa secara otomatis akan meningkat.
Pentingnya mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran menjadi tujuan dari pendidikan
akhir-akhir ini (Tsapartis dan Zoller, 2003; Lubezky et al., 2004). Ini merupakan esensi dari reformasi pendidikan saat ini. Oleh
karena pendidikan merupakan alat untuk menyiapkan siswa menjadi anggota masyarakat untuk hidup bertanggung jawab dan
aktif dalam masyarakat berbasis teknologi, maka sekolah pada semua tingkatan seharusnya memfokuskan pada
pengembangan keterampilan berpikir kritis siswa (Costa, dalam Zoller, Ben-Chaim, & Ron, 2000).
Clement dan Lochhead (dalam Schafersman, 1991) dan Bassham et al mengatakan bahwa guru-guru
seharusnya mengajar siswa bagaimana berpikir (how to think), bukan mengajarnya apa yang dipikirkan (what to think). Tujuan
utama pembelajaran adalah mengkondisikan siswa bagaimana berpikir, yaitu bagaimana menjadi pebelajar dan pemikir
independen dan mampu mengendalikan diri. Menurut Schafersman (1991), tujuan pembelajaran berpikir kritis dalam sains dan
disiplin yang lain adalah untuk memperbaiki keterampilan berpikir siswa dan menyiapkannya agar berhasil menghadapi
kehidupan. Sementara itu, Dumke (dalam Jones, 1996) menyatakan bahwa pembelajaran berpikir kritis dirancang untuk
mencapai pemahaman dari hubungan bahasa yang logis, yang seharusnya menghasilkan kemampuan menganalisis,
mengkritisi, dan menyarankan ide-ide, memberi alasan secara induktif dan deduktif dan untuk mencapai kesimpulan yang
faktual berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional. Beyer (dalam Walker, 1998) menyatakan bahwa pembelajaran
keterampilan berpikir kritis sangat penting diterapkan oleh guru-guru agar dapat mengembangkan daya nalar siswa. Masih
menurut Beyer, untuk berhasil hidup dalam alam demokrasi, seseorang harus dapat berpikir kritis agar dapat membuat
keputusan dengan tepat. Pentingnya melatihkan berpikir kritis disebabkan oleh berpikir kritis merupakan proses dasar yang
memungkinkan siswa menanggulangi dan mereduksi ketidaktentuan di masa datang (Cabrera, 1992).
Dengan keterampilan berpikir kritis, siswa akan dapat menghadapi berbagai tantangan, mampu memecahkan
masalah yang dihadapi, dapat mengambil keputusan dengan tepat sehingga dapat menolong dirinya dan orang lain dalam
menghadapi kehidupan (Wade, dalam Walker, 1998). Siswa yang berpikir kritis adalah siswa yang dapat memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, dapat mengatasi tantangan dan memenangkan persaingan
global (Liliasari, 1997). Dengan keterampilan berpikir kritis, siswa dapat mengatur, menyesuaikan, mengubah, atau
memperbaiki pikirannya sehingga siswa dapat bertindak lebih cepat. Orang yang berpikir kritis akan berpikir dan bertindak
secara normatif, siap bernalar tentang sesuatu yang mereka lihat, dengar, atau pikirkan (Splitter, 1991).
Studi-studi terhadap keterampilan berpikir kritis mengungkapkan bahwa keterampilan berpikir kritis siswa tidak akan
berkembang tanpa usaha yang secara eksplisit dan disengaja ditanamkan dalam pengembangannya (Zohar, 1994). Seorang
siswa tidak akan dapat mengembangkan keterampilan berpikir kritis dengan baik, tanpa ditantang untuk berlatih
menggunakannya dalam pembelajaran (Meyers, 1986). Siswa yang terlahir tidak memiliki kemampuan berpikir kritis, mereka
tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir secara alami untuk hidup (Schafersman, 1991). Berpikir kritis adalah
kemampuan yang dapat dipelajari, sehingga berpikir kritis harus diajarkan. Kebanyakan individu jarang mempelajarinya.
Menurut Carin dan Sund keterampilan berpikir kritis dapat dikembangkan dan diperkaya melalui pengalaman yang
bermakna. Menurut Tyler (1949, dalam Karlimah, 1999), pengalaman atau pembelajaran yang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk memperoleh keterampilan-keterampilan dalam pemecahan masalah dapat merangsang keterampilan
berpikir kritis siswa. Pengalaman ini diperlukan agar siswa memiliki struktur konsep yang berguna dalam menganalisis dan
mengevaluasi suatu masalah.
Tidak ada alasan bagi guru untuk tidak mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa karena keterampilan
berpikir kritis ini diperlukan oleh siswa untuk menghadapi kehidupan dan untuk berhasil dalam hidupnya. Untuk itu, siswa
haruslah diberi kesempatan untuk melatih keterampilan berpikir kritisnya dalam pembelajaran. Oleh karena itu, tugas guru
adalah menciptakan kondisi pembelajaran sedemikian rupa sehingga siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir
kritisnya.
Salah satu pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis adalah pertanyaan Socratik
(Paraskevas & Wickens, 2003). Pertanyaan Socratik ini menggunakan pertanyaan-pertanyaan kritis untuk membimbing siswa
mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Pertanyaan ini mampu membantu proses belajar siswa dengan menempatkan
siswa dalam posisi untuk mengenal keterbatasannya dan memotivasinya untuk belajar.
Pertanyaan Socratik ini meliputi pertanyaan klarifikasi, pertanyaan yang menyelidiki asumsi, pertanyaan yang
menyelidiki alasan dan bukti, pertanyaan tentang pendapat atau perspektif, pertanyaan yang menyelidiki implikasi dan akibat,
dan pertanyaan tentang pertanyaan (Thoms, tt). Chalupa & Sormunen (1995) menyatakan bahwa agar siswa dapat
mengembangkan keterampilan berpikir kritis, guru-guru haruslah menggunakan pertanyaan Socratik (pertanyaan kritis) dalam
pembelajaran. Dengan pertanyaan Socratik, guru akan dapat membimbing siswa dalam melakukan analisis, sintesis, dan
evaluasi terhadap suatu masalah, argumen, bukti, atau fakta. Paul (1990) mengatakan bahwa pertanyaan Socratik dapat
mendorong siswa membuat asumsi, membedakan antara pendapat yang relevan dan pendapat yang tidak relevan.
Pertanyaan Socratik memungkinkan siswa mengendalikan cara berpikirnya, menguji berpikirnya dan memperoleh
pemahaman tentang kekuatan dan kelemahan berpikirnya. Sementara itu, Larson (dalam Brady, 2004) menyatakan bahwa
pertanyaan Socratik dapat menantang siswa untuk berpikir. D lain pihak, Riedinger & Rosenberg (2006) mengungkapkan
bahwa model pertanyaan Socratik yang merupakan pembelajaran yang berpusat pada siswa dapat mengembangkan
keterampilan berkomunikasi.
28. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
Di lain pihak, Beyer (1997) menyatakan bahwa pertanyaan Socratik yang merupakan strategi Scaffolding dapat
meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Scaffolding dalam bentuk pertanyaan Socratik dan pertanyaan open-ended
terbukti efektif untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa karena kesiapan epistemologi siswa terhadap pertanyaan
dan pencarian pengetahuan (Sherman. dalam Sharma, 2004). Menurut Sharma (2004), teknik pertanyaan Socratik digunakan
untuk meningkatkan pemahaman siswa dan memacu berpikir kritis siswa. Menurut The Foundation for Critical Thinking (dalam
Walker, 2003), strategi pembelajaran yang paling terkenal dan terbaik untuk meningkatkan berpikir kritis siswa adalah
pertanyaan Socratik.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah-masalah utama yang akan dipecahkan melalui penelitian ini adalah
keterampilan berpikir kritis dan hasil belajar siswa yang masih rendah. Rendahnya keterampilan berpikir kritis siswa
menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa. Oleh karena itu, yang penting diperbaiki terlebih dahulu adalah keterampilan
berpikir kritis siswa. Jika keterampilan berpikir kritis siswa sudah baik, maka hasil belajar siswa secara otomatis akan
meningkat.
Untuk memecahkan masalah-masalah utama di atas, tindakan yang akan dilakukan pada penelitian ini berupa
penggunaan pertanyaan Socratik (pertanyaan kritis). Dengan demikian, rumusan masalah yang diajukan pada penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1) Apakah pertanyaan Socratik dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa?
2) Apakah pertanyaan Socratik dapat meningkatkan hasil belajar siswa?
3) Bagaimana pendapat siswa terhadap pembelajaran yang diikuti?
Pemecahan masalah penelitian ini dilakukan melalui penelitian tindakan kelas. Beberapa penelitian yang sudah
dilakukan untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa antara lain adalah: ) Classroom Assessment Techniques
(Angelo , ) Cooperative Learning Strategies (Cooper, 1995), ) Case Study/Discussion Method (McDade, 1995), )
Using Questions (Reciprocal Peer Questioning dan Reader's Questions) (King, 1995), ) Conference Style Learning
(Underwood & Wald, 1995), ) Use Writing Assignments (Wade, 1995), ) Dialogues (Written dialogues dan Spontaneous
Group Dialogue) (Robertson & Rane-Szostak, 1996), dan ) Ambiguity (Strohm & Baukus, 1995). Di lain pihak, pertanyaan
Socratik (Socratic Questioning) telah menjadi perhatian beberapa peneliti dan digunakan untuk mengembangkan keterampilan
berpikir kritis siswa (Paul, Sherman, dalam Sharma, 2004; Chalupa & Sormunen, 1995; Beyer, 1997; The Foundation for
Critical Thinking, dalam Walker, 2003; Larson, dalam Brady Riedinger & Rosenberg, 2006; dan Browne & Keeleu,
dalam Innabi & Sheikh, 2006).
Pemilihan tindakan berupa penggunaan pertanyaan Socratik didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama,
hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanyaan Socratik terbukti efektif meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa.
Kedua, pertanyaan Socratik merupakan pertanyaan yang membimbing siswa melakukan klarifikasi, pertanyaan yang
menyelidiki asumsi, pertanyaan yang menyelidiki alasan dan bukti, pertanyaan tentang pendapat atau perspektif, pertanyaan
yang menyelidiki implikasi dan akibat, dan pertanyaan tentang pertanyaan (meta pertanyaan) di mana pertanyaan-pertanyaan
ini berhubungan dengan indikator keterampilan berpikir kritis, seperti: ) menginterpretasi data, bukti, pernyataan, atau
pertanyaan, ) mengidentifikasi argumen pro dan kontra (alasan dan klaim), ) menganalisis dan mengevaluasi pendapat
alternatif, ) memberi alasan tentang prosedur yang dilakukan dan hasil yang diperoleh, menjelaskan asumsi dan alasan, dan
) menunjukkan bukti dan alasan. Ketiga, pertanyaan Socratik merupakan pertanyaan yang dapat menuntun dan
membimbing siswa secara bertahap untuk melakukan proses inkuiri ilmiah. Melalui proses inkuiri ini, siswa akan dapat
mengembangkan keterampilan berpikir kritis, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan hasil belajarnya.
. Tujuan Penelitian
Tujuan umum yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran kimia di Kelas
XI IA SMA Negeri 4 Singaraja. Peningkatan kualitas pembelajaran ini dicapai dengan menerapkan penggunaan pertanyaan
Socratik atau pertanyaan kritis. Secara rinci, tujuan umum dapat dijabarkan menjadi tujuan khusus, sebagai berikut.
1) Meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa.
2) Meningkatkan hasil belajar siswa.
3) Mendskripsikan pendapat siswa terhadap pembelajaran yang diikuti.
. Manfaat Penelitian
Hasil-hasil yang diperoleh melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan, baik bersifat teoritis
maupun praktis, sebagai upaya untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan hasil belajar siswa. Penelitian ini
khususnya bermanfaat bagi siswa, guru, dan sekolah.
a. Manfaat bagi siswa
1)Penggunaan pertanyaan Socratik dalam pembelajaran kimia akan memungkinkan pembelajaran berlangsung lebih
bermakna karena siswa memperoleh kesempatan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan hasil
belajarnya. Dengan demikian, akan memungkinkan siswa menjadi pebelajar yang independen, dapat mengambil
keputusan dengan tepat dan lebih siap menghadapi kehidupan.
29. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
2)Penggunaan pertanyaan Socratik dalam pembelajaran kimia secara langsung dapat memberikan efek pengiring,
yaitu berupa peningkatan motivasi belajar siswa. Di samping itu akan memberi peluang kepada siswa untuk terlibat
secara aktif dalam pembelajaran dan berinteraksi dengan teman sebayanya yang cukup heterogen dalam suasana
yang dinamis, interaktif, dan kooperatif.
3)Penggunaan pertanyaan Socratik dapat menggeser paradigma belajar siswa yang selama ini lebih banyak berperan
sebagai “konsumen ide” menjadi berperan sebagai “produsen ide” dan menjadi arsitek bagi pembelajaran yang
dilakukan.
b. Manfaat bagi guru:
1) Mengubah pola dan sikap guru dalam mengajar yang semula lebih banyak menjelaskan konten secara teoritis
menjadi fasilitator aktif yang membimbing siswa mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan hasil belajarnya.
2) Memberi kesempatan kepada guru agar lebih banyak memerankan dirinya sebagai fasilitator belajar bagi siswa
sehingga kegiatan belajar mengajar yang dirancang dan diimplementasikan menjadi lebih efektif, efisien, kreatif,
dan inovatif.
3) Memberi pengalaman kepada guru untuk mengembangkan pembelajaran inovatif yang berorientasi pada
keterampilan berpikir kritis.
c. Manfaat bagi sekolah
Kepala sekolah dapat membuat suatu kebijakan dengan mengadaptasi pembelajaran ini untuk diterapkan oleh guru-
guru pada mata pelajaran lainnya dalam upaya untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan hasil belajar siswa.
II. Tinjauan Pustaka
1. Konsep berpikir kritis
Sering kata kritis dimaknai negatif atau penemuan kesalahan. Tetapi kata kritis berarti melibatkan atau melatih
pertimbangan yang terampil. Dalam hal ini, berpikir kritis berarti berpikir dengan jelas dan tepat (Bassham et al., 2007). Lebih
tepat lagi, berpikir kritis merupakan istilah umum yang diberikan yang mencakup sejumlah keterampilan kognitif dan disposisi
intelektual yang diperlukan untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi argumen secara efektif untuk menemukan
dan mengatasi prasangka pribadi dan bias, untuk merumuskan dan menyajikan alasan yang menyakinkan dalam mendukung
kesimpulan, dan untuk membuat keputusan yang masuk akal dan tepat tentang apa yang dilakukan dan diyakini. Sementara
itu, Norris dan Ennis (dalam Stiggins, 1994) menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan berpikir rasional dan reflektif yang
difokuskan pada pengambilan keputusan tentang apa yang dilakukan atau diyakini. Rasional berarti berpikir kritis didasarkan
atas fakta-fakta untuk menghasilkan keputusan yang terbaik. Reflektif berarti mencari dengan sadar dan tegas kemungkinan
solusi yang terbaik. Dengan demikian, berpikir kritis, menurut Norris dan Ennis, adalah berpikir yang terarah pada tujuan.
Tujuan dari berpikir kritis adalah mengevaluasi tindakan atau keyakinan yang terbaik. Halpern (dalam Verlinden, 2005)
menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan usaha-usaha rasional dengan menggunakan pikiran untuk mencapai tujuan yang
akan datang. Berpikir kritis didefinisikan sebagai keterampilan yang bertanggung jawab untuk mengendalikan pikiran sendiri
(Paul, dalam Barak, Ben-Chaim, & Zoller, 2007) atau sebagai berpikir logis dan reflektif yang memfokuskan pada pengambilan
keputusan tentang apa yang dipercaya dan apa yang diakukan (Ennis, dalam Barak, Ben-Chaim, & Zoller, 2007). Berpikir kritis
melibatkan sejumlah keterampilan, seperti mengidentifikasi sumber-sumber informasi, menganalisis kredibilitas sumber
informasi, merefleksikan apakah infromasi konsisten dengan pengetahuan awal, dan menarik kesimpulan (Linn, dalam Barak,
Ben-Chaim, & Zoller, 2007). Unsur-unsur definisi berpikir kritis penting yang diusulkan oleh Jones et al. (dalam Bers, 2005)
adalah interpretasi, analisis, evaluasi, inferensi, presentasi argumen, refleksi, dan disposisi.
Wade (dalam Walker, 1998) mengidentifikasi karakteristik berpikir kritis. Berpikir kritis melibatkan pengajuan
pertanyaan, mendefinisikan masalah, memeriksa bukti, menganalisis argumen dan bias, menghindari alasan yang emosional,
mengindari penyederhanaan yang berlebihan, mempertimbangkan interpretasi lain, dan toleransi terhadap keraguan.
Keraguan ini juga dilihat oleh Strohm dan Baukus (dalam Walker, 1998) sebagai bagian penting dari berpikir kritis. Keraguan
menyediakan fungsi berpikir kritis dan merupakan bagian dari proses produktif. Karakteristik lain dari berpikir kritis diidentifikasi
oleh sumber-sumber lain sebagai metakognisi. Metakognisi adalah berpikir tentang pikiran seseorang. Lebih khusus,
metakognisi merupakan kesadaran tentang pikiran seseorang ketika seseorang melakukan tugas-tugas khusus dan kemudian
menggunakan kesadarannya untuk mengendalikan apa yang dilakukan.
Berpikir kritis merupakan berpikir tentang suatu disiplin yang dibimbing oleh standar intelektual (Bassham et al.,
2007). Standar intelektual yang penting adalah kejelasan (clarity), ketelitian (precision), ketepatan (accuracy), relevansi
(relevance), konsistensi (consistency), kebenaran logis (logical correctness), dan kepantasan (fairness). Berpikir kritis adalah
suatu proses menentukan keautentikan, akurasi, atau nilai sesuatu yang dikarakterisasi oleh kemampuan untuk mencari
alasan dan alternatif, menerima situasi total dan mengubah pandangan berdasarkan bukti-bukti. Berpikir kritis disebut juga
berpikir logis dan berpikir analitis. Berpikir kritis merupakan aplikasi aktif dari prinsip-prinsip penalaran terhadap ide-ide sendiri
dan ide-ide orang lain untuk membuat pertimbangan tentang komunikasi dan penalaran, menganalisis argumen,
mengungkapkan asumsi, mencapai pemahaman yang lebih baik, dan mencapai kebenaran (Verlinden, 2005). Beberapa
peneliti menyamakan berpikir kritis dengan istilah lain (Brookfield, 1987), seperti kemampuan penalaran logis (Hallet, 1984;
Ruggiero, 1975), pertimbangan reflektif (Kitchener, 1986), perburuan (hunting) asumsi (Scriven, 1976), dan kreasi,
penggunaan, dan pengujian makna (Hullfish dan Smith, 1961).
30. Meningkatkan profesionalisme guru melalui pembelajaran inovatif
Sementara itu, Meyer (dalam Penner, 1995) menyebut berpikir kritis sebagai kemampuan untuk memformulasikan
generalisasi, menemukan kemungkinan-kemungkinan baru, dan menunda pertimbangan. Dewey (dalam Penner, 1995)
mengasosiasikan berpikir kritis dengan pertimbangan-pertimbangan yang ditunda, skeptis, atau berpikir reflektif. Sedangkan
Brookfield (dalam Penner, 1995) menyarankan berpikir kritis sebagai suatu aktivitas untuk mengidentifikasi asumsi dan
menggali alternatif. Menurut Schafersman (1991), berpikir kritis berarti berpikir secara benar dalam mencari pengetahuan yang
dapat dipercaya yang relevan dengan dunia. Cara lain untuk menjelaskan berpikir kritis adalah berpikir rasional, reflektif,
bertanggung jawab, dan cakap yang terfokus pada pengambilan keputusan tentang apa yang dipercaya atau dilakukan.
Seseorang yang berpikir kritis dapat mengajukan pertanyaan yang relevan, mengumpulkan informasi yang relevan, memilih
informasi secara kreatif dan efisien, memberikan alasan yang logis terhadap informasi yang dikumpulkan, dan membuat
keputusan yang dapat dipercaya tentang dunia yang memungkinkan seseorang untuk hidup dan berhasil dalam
kehidupannya. Berpikir kritis adalah berpikir tingkat tinggi yang memungkinkan seseorang, misalnya, menilai dampak pendirian
pabrik nuklir terhadap lingkungan dan menilai akibat dari pemanasan global (Schafersman, 1991). Berpikir kritis
memungkinkan seseorang menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
Berpikir kritis dapat diuraikan sebagai metode ilmiah (Schafersman, 1991) karena berpikir kritis mirip dengan metode
penelitian ilmiah yang sudah dikenal, yaitu: pertanyaan diidentifikasi, hipotesis diformulasikan, data yang relevan dikumpulkan,
hipotesis diuji dan dievaluasi, kesimpulan yang dapat dipercaya dibuat dari hasil-hasil penelitian. Semua keterampilan
penelitian ilmiah dikoordnasikan oleh berpikir kritis, yang tidak lebih dari metode ilmiah yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Berpikir kritis adalah berpikir ilmiah. Beberapa literatur menguraikan tentang berpikir kritis, yaitu berpikir kritis
merupakan metode yang identik dengan metode ilmiah/sains. Seseorang yang literasi sains akan berpikir secara kritis untuk
mencapai tingkat kesadaran sains.
Berpikir kritis adalah kemampuan berpikir refleksi diri (self-reflective thinking) dan kemampuan dalam membuat
keputusan yang dapat dipercaya dan bertanggung jawab yang mempengaruhi hidupnya (Schafersman, 1991). Berpikir kritis
adalah juga inkuiri kritis, sehingga seseorang yang berpikir kritis akan menyelidiki masalah, mengajukan pertanyaan,
mengajukan jawaban baru yang menantang status qou, menemukan informasi baru, dan menentang dogma dan dokrin. Orang
yang berpikir kritis sering memiliki kemampuan yang lebih tinggi di masyarakat daripada orang lainnya.
Berpikir kritis merupakan suatu aktivitas evaluatif (bersifat menilai) untuk menghasilkan suatu simpulan (Cabrera,
1992). Gerhard (1971) mendefinisikan berpikir kritis sebagai suatu proses kompleks yang melibatkan penerimaan dan
penguasaan data, analisis data, dan evaluasi data dengan mempertimbangkan aspek kualitatif dan kuantitatif serta melakukan
seleksi atau membuat keputusan berdasarkan hasil evaluasi. Splitter (1991) mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir kritis
adalah kemampuan bertanggung jawab yang memudahkan pengelolaan yang baik. Hal ini disebabkan oleh berpikir kritis: a)
didasarkan atas suatu kriteria, b) bersifat introspeksi diri, dan c) membuat orang peka terhadap keadaan. Orang yang berpikir
kritis, secara sadar dan rasional berpikir tentang pikirannya (metakognisi) dengan maksud untuk diterapkan pada situasi yang
lain.
Ennis (dalam Innabi & Sheikh, 2006) menyatakan bahwa konsepsi berpikir kritis Ennis mempunyai tiga bagian
utama: ) berpikir kritis dimulai dari suatu proses pemecahan masalah dalam konteks, ) berpikir kritis sebagai proses
penalaran yang menghasilkan sejumlah inferensi melalui induksi, deduksi, dan pertimbangan nilai, dan ) proses berpikir kritis
berakhir pada pembuatan sebuah keputusan tentang apa yang dilakukan atau diyakini. Menurut Verlinden (2005), ide penting
dalam memahami definisi berpikir kritis adalah ) berpikir kritis seharusnya diterapkan pada ide orang lain dan pada ide diri
sendiri, dan dan ) berpikir kritis seharusnya dilakukan sebagai alat untuk mencari kebenaran pada beberapa materi subyek.
Taylor (2004 dalam Bers, 2005) menyajikan definisi berpikir kritis secara sederhana, yaitu berpikir kritis merupakan
jenis-jenis berpikir profesional dalam melakukan pekerjaan dari suatu disiplin. Marzano, Pickering, & McTighe (1993)
menyatakan berpikir kritis sebagai sekelompok kemampuan yang diistilahkan dengan habits of mind. Mereka menguraikan
berpikir kritis sebagai kemampuan siswa untuk menjadi seseorang yang akurat, jelas, dan berpikiran terbuka, mampu
mengendalikan keinginannya, menentukan sikap jika situasi memungkinkan, dan sensitif terhadap perasaan orang lain.
Nickerson (dalam Schafersman, 1991) mengungkapkan bahwa seseorang yang berpikir kritis memiliki ciri-ciri, antara
lain:
a. menggunakan bukti-bukti dengan akurat,
b. mengorganisasi pikiran dan mengartikulasikannya secara singkat dan masuk akal,
c. membedakan antara kesimpulan yang valid dan kesimpulan yang tidak valid,
d. menangguhkan pendapat, jika tidak ada bukti-bukti yang cukup,
e. mengantisipasi akibat dari tindakan alternatif yang dipilih,
f. mengetahui kemiripan dan analogi yang tidak tampak, dan
g. menerapkan teknik-teknik pemecahan masalah,
h. dapat mengkaji argumen yang tidak relevan dan memparafrasenya dalam istilah-istilah yang penting.
Verlinden (2005) mengungkapkan prinsip-prinsip berpikir kritis sebagai berikut.
a. Berpikir kritis bukan penemuan kesalahan atau kelemahan ide orang lain.
b. Berpikir kritis berhubungan dengan gagasan, meliputi keyakinan, observasi, komunikasi, informasi, dan argumen.
b. Berpikir kritis memfokuskan terutama pada penalaran dan argumen.
c. Berpikir kritis melibatkan pembuatan pertimbangan tentang ide-ide.
d. Berpikir kritis melibatkan keterampilan yang memungkinkan seorang menjadi pemikir dalam membuat pertimbangan.