Dokumen tersebut membahas tentang hukum pengungsi internasional dan peran UNHCR di Indonesia. Ia menjelaskan definisi pengungsi internasional menurut Konvensi Wina 1951 dan ketentuan-ketentuan untuk menentukan status seseorang sebagai pengungsi. Dokumen ini juga menyebutkan peraturan yang telah dikeluarkan pemerintah Indonesia terkait pengungsi walaupun belum meratifikasi Konvensi Wina 1951. UNHCR mencatat jumlah penc
PENCEGAHAN DAN PENANGKALAN KEIMIGRASIAN SEBAGAI FUNGSI PERLINDUNGAN TERHADAP ...
Hukum Pengungsi Internasional
1. Hukum Pengungsi Internasional
Life is Freedoom....
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Pengungsi internasional adalah turunan dan salah satu
pengaturan hukum internasional. Hukum pengungsi internasional lahir
demi menjamin keamanan dan keselamatan pengungsi internasional
di negara tujuan mengungsi. Selain memberikan perlindungan
dinegara tujuan, pengungsi intemasional juga dilindungi oleh negara-
negara yang dilewatinya dalam perjalanan ke negara tujuan
mengungsi.
Dalam dunia intemas.ional yang mengalami perkembangan baik
dan segi informasi, teknologi serta juga dalam bidang hukum
intemasional. Hal ini pun terjadi dibidang hukum pengungsi
intemasional. Pengunsi intemasional, terjadi dinegara-negara dunia
tentu saja diakibatkan oleh kondisi-kondisi yang membuat seseorang
lebih memilih untuk berpidah (mengungsi) dan negara asalnya ke
negara lain. Kondisi-kondisi yang dimaksud, adalah kondisi yang tidak
aman bagi seseorang atau kelompok, apabila tetap berada pada
wilayah negara tertentu, jadi demi keamanan dan keselamatan orang,
2. kelompok tersebut memilih untuk berpindah kewilyah negara yang
lebih aman bagi mereka.
Namun pada perkembangan dunia internasional perlu kiranya
diketahui bahwa tidak semua orang, kelompok yang berpindah dan
sam wilayah negara ke wilayah negara lainnya dengan serta merta
dikategorikan sebagai pengungsi internasional. Banyak dan orang,
kelompok yang berpindah dan negaranya dengan cara illegal. Ilegal
disini maksudnya dengan menjadi imigran gelap atau memasuki
wilayah suatu negara dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan
internasional.
Selain dengan cara menjadi imigran gelap, ada pula yang
dilakukan dengan mengajukan permintaan suaka kepada negara
tujuan sesuai dengan aturan dan kategori untuk mendapatkan suaka.
Agar jelas perbedaan dan pengungsi intemasional dengan cara-cara
lain yang dilakukan dalani memasuki wilayah suatu negana maka
penulis menengahkan rumusan masalah seperti dibawah ini.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan ilmiah ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana keadaan seseorang bisa dikatakan sebagai pengungsi
dan Bagaimana peran UNHCR di indonesia?
3. BAB II
PEMBAHASAN
1. Kedudukan Pengungsi Internasional dan Peran UNHCR di Indonesia
Pada rumusan masalah telah di ketengahkan bahwa bukan hanya
dengan cara menjadi pengungsi internasional, orang, kelompok dapat
melakukan perpindahan dan negara asal ke negara tujuan.
Banyak cara yang bisa dilakukan oleh orang, kelompok untuk
melakukan perpindahan ke wilayah negara tujuan.
Cara yang dilakukan oleh orang, kelompok untuk berpindah ke
wilayah negara tujuan menentukan sikap negara tujuan dalam menangani
orang, kelompok tersebut. Hal INi menjadi penting karena tentuuya
penanganan oleh negara tujuan sesuai dengan aturan intemasional yang
menjadi aturan yang disepakati oleh negara-negara didunia.
Imigran yang dilakukan oleh orang, kelompok tersebut berkaitan
erat dengan Hak Asasi manusia (HAM), terutama mengenai Suaka dan
Pengungsi Intemasional. Hal ini pun mendapat perhatian oleh pemerintah
Negara Republik Indonesia. Direktorat Jenderal Imigrasi Indonesi
bekerjasama dengan UNHCR melaksanakan Program Peningkatan
Kapasitas dalam bentuk 15 (lima belas) kegiatan workshop yang terkait
dengan masalah pengungsi yaitu “Workshop Antar Instansi Pemerintah
mengenai Hukum Pengungsi Internasional dan Peran UNHCR di
4. Jndonesia”di Hotel Santosa Resort, Lombok Nusa Tenggara Barat, 20-2 1
Juli 2010.
Rencana flak Asasi Manusia (Ranham) 2004-2009 yang akan
diperbarui pada RANHAM 20 10- 2014 . Pada prinsipnya permasalahan
pengungsi dan pencani suaka merupakan hal yang erat hubungannya
dengan pertimbangan kemanusian dan hak asasi manusia.
Permasalahan pengungsi sangat rntan dengan adanya kejahatan-
kejahatan lintas negara, seperti penyelundupan manusia (people
smuggling) dan perdagangan manusia (trafficking in persons).
Dalam sambutannya Haryo Sasongko, mengharapkan bahwa dalam
workshop ini para peserta dapat melakukan peningkatan koordinasi kerja
untuk melakukan pengembangan dan pertukaran data, informasi dan
analisa antar negara regional. Sehingga dapat mencegah terjadinya
kejahatan-kejahatan lintas negara, seperti penyelundupan manusia
(people smuggling) dan perdagangan manusia (trafficking in persons) dan
juga adanya tumpangan kepentingan dan tujuan migrasi para pencari
suaka dan pengungsi.
Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi flak Asasi
Manusia menjadi negara tujuan bagi para pemohon Suaka dan
Pengungsi internasional. Menurut data United Nations High
Commissioner for Refugee (UNHCR), hingga bulan Juni 2009 tercatat
ada 1.928 orang migran masuk ke Indonesia. Dan data tersebut terdapat
5. 441 orang sebagai pengungsi dan 1.478 orang pencari suaka. Lebih
lanjut, UNHCR mencatat lima negara asal pencani suaka dan pengungsi
yang masuk ke Indonesia ialah Afghanistan (1.200 orang), Myanmar (300
orang), Irak (282 orang) dan sisanya dari negara Sri Lanka dan Somalia.
Pusat penyebaran mereka pun terdapat di beberapa daerah seperti
Jakarta (908 orang), Aceh (265 orang), Bogor (254 orang), Mataram (174
orang) dan di daerah lainnya 100 orang. Dan data tersebut, dapat kita
asumsikan bahwa Indonesia merupakan tempat strategis, baik sebagai
tempat mengungsi maupun sebagai tempat transit para pengungsi. Hal ini
yang melatarbelakangi adanya kebutuhan yang penting dan mendesak
yang perlu diakomodir oleh pemerintah, karena sampai saat mi Indonesia
belum meratifikasi Konvensi Wina 1951 tenang Status Pengungsi.
Walaupun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Wina 1951,
Setidaknya terdapat tiga peraturan yang bersifat administratif dan teknis
yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah terkait dengan persoalan
pengungsi, walaupun tanpa menggunakan atau mendefinisikan istilah
“pengungsi” sebagaimana dipahanii berdasarkan hukum intemasional.
Instrumen nasional, pertama adalah Surat Edaran Perdana Menteri No.1
1/R111956 tanggal 7 September 1956 tentang Perlindungan Pelarian
Politik. Yang kedua adalah Keputusan Presiden No.38 Tahun 1979
tentang Koordinasi Penyelesaian Masalah Pengungsi Vietnam. Dan yang
ketiga adalah Keputusan Presiden No.3 Tahun 2001 tentang Badan
6. Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan
Pengungsi.
Dan ketiga aturan tersebutjelas bahwa Indonesia sangat antusias
mengenai perluhnya meratifikasi Konvensi Wina 1951 sebagai instrument
hukum internasional bagi pengungsi internasional.
Untuk menentukan seseorang adalah pengungsi intemasional
rujukan yuridisnya adalah Konvensi Wina 1951 tentang Status Pengungsi
pada Pasal 1 bagian A poin 2, yang berbunyi: sebagai akibat peristiwa-
peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 dan dikarenakan ketakutan
yang beralasan akan disiksa karena alasan-alasan ras, agama,
kewarganegaraan, keanggotaan dan suatu kelompok sosial tertentu atau
pendapat politik, ada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak
dapat, atau karena ketakutan tersebut tidak mau memanfaatkan
kesempatan untuk memperoleh perlindungan dan negara yang
bersangkutan, atau yang karena tidak mempunyai kewarganegaraan dan
kanena berada di luar negana bekas tempat tinggalnya, scbagai akibat
peristiwa-peristiwa tersebut, tidak memungkinkan atau, dikarenakan
ketakutan tersebut, tidak mau kembali ke bekas tempat tinggalnya itu.
Dan pasal ini dapat ditanik beberapa poin yang berkaitan dengan
status orang, kelompok yang kemudian dapat dikatakan Pengunsi
Intemasional. Poin itu adalah karena alasan-alasan ras, agama,
kewarganegaraan, keanggotaan dan suatu kelompok sosial tertentu atau
7. pendapat politik. Namun poin yang paling menentukan seseorang bisa
dikategorikan sebagai pengungsi adalah mengenai ancaman terhadap
jiwa mereka apabila tetap berada di negara asal mereka. Pasal ini
berkaitan dengan jaminan Hak Asasi Manusia yang sangat dijunjung
tinggi negara Indonesia.
Pengungsi internasional dikalangan awan hampir memiliki anti yang
sama dengan Suaka internasional. Dalam kaitannya dengan suaka, perlu
dibedakan perbedaan antara pencari suaka dan pengungsi, Perbedaan
itu ada pada status suakanya. Pada dasarnya kedua pihak adalah orang
yang terpaksa memutuskan hubungan dengan negara asalnya karena
rasa takut yang mendasar dan tidak mungkin untuk kembali lagi. Akan
tetapi kedudukan dan seorang pencari suaka dikatakan demikian apabila
dalam pengajuan suakanya pada negara lain yang bersangkutan belum
diakui status suakanya atau apabila suakanya itu ditolak sementara
pengungsi adalah status kelanjutan keberadaannya di luar negeri apabila
status suakanya itu diterima oleh Negara lain dengan mengacu pada
ketentuan hukum intemasional yang ada.
8. BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dan pembahasan diatas penulis menarik kesimpulan bahwa
sangat penting perlindungan dilakukan terhadap para pengungsi
internasional baik oleh negara tujuan, atau negara-negara yang
menjadi negara persinggahan sebelum para pengungsi sampai pada
negara tujuan, merigingt kondisi para pengungsi yang sangat riskan
menjadi sasaran kejahatan dikarenakan para pengungsi intemasional
selalu melakukan perjalanannya dengan persiapan yang kurang baik.
B. Saran
Sebagai bangsa yang menjujung tinggi penghormatan dan
penegakan hak asasi manusia, hendaknya rejim pengaturan secara
legal terhadap pengungsi dan pencari suaka di negara ini bisa
diciptakan lebih komprehensif, baik mekanisme hukum dan
kelembagaannya. Salah satu langkah strategis ialah dengan
meratifikasi Konvensi Wina 1951 tentang Status Pengungsi dan
Protokolnya. Memang kebijakan luar negeri belum menjadi hal yang
populer dan menjual pada masa kampanye saat in Kebijakan soal hak
asasi manusia seringkali dilihat hanya sesempit masalah perut, namun
sebenarnya terdapat banyak ancaman terhadap martabat manusia,
termasuk masalah pengungsi dan pencari suaka. Sebagaimana Arendt
9. berpendapat bahwa human rights are not a given of human nature;
they are the always tenuous results of a politics that seeks to establish
them, a vigorous politics intent on constituting relatively secure spaces
of human freedom and dignity. Jadi, sebagai negara bangsa,
Indonesia justru jangan menjadi pengahalang terhadap „pencarian‟
martabat manusia dengan hanya mengakui hak suaka dalam
konstitusi, namun lebih melihat ini sebagai the fundamental deprivation
of human rights.