2. BAHAN:
• Herman Yosef Ga I, Sakramen
dan Sakramentali menurut
Kitab Hukum Kanonik – Volume
1: Sakramen-sakramen Inisiasi:
Baptis, Penguatan, dan Ekaristi,
Jakarta: Obor, 2014.
3. PENGANTAR (hlm. XIII)
• Sakramen adalah bagian esensial, utuh, tak terpisahkan dari
Gereja dan hidup rohani umat beriman meski bukan satu-
satunya.
• Gereja sebagai suatu “masyarakat” perlu mengatur hal-hal yang
perlu, patut dan harus dalam merayakan dan menerima
sakramen Kitab Hukum Kanonik (KHK).
• Yang dapat menginterpretasikan kanon-kanon KHK secara
otentik hanyalah pembuat hukum itu sendiri (Paus) dan Dewan
Kepausan untuk Teks-teks Legislatif yang diberi mandat serta
dalam taraf tertentu Tribunal Rota Romana.
4. Hukum yang tertinggi dalam
Gereja (suprema lex) adalah
Keselamatan Jiwa-jiwa (salus
animarum).
[bdk. KHK Kanon 1752]
5. “Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi
dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.” (Yohanes 3:17).
6. PENGERTIAN SAKRAMEN (hlm. 3)
• Kata sakramen berarti suatu tanda suci atau simbol yang
menyebabkan rahmat:
• Yesus Kristus adalah sakramen itu sendiri. Yesus adalah
tanda keselamatan yang mengerjakan keselamatan.[…]
• Gereja adalah sakramen, tanda keselamatan yang
mengerjakan keselamatan sebagai alat Kristus.
• Sakramen yang berlaku resmi ialah ketujuh sakramen
sebagai tanda-tanda suci yang diadakan oleh Kristus (dan
ditetapkan oleh Gereja) sebagai sarana yang digunakan oleh
Gereja untuk keselamatan manusia.
7. KITAB HUKUM KANONIK TENTANG SAKRAMEN
• PENDAHULUAN
• BUKU I. NORMA-NORMA UMUM [Kan. 1-203]
• BUKU II. UMAT ALLAH [Kan. 204-746]
• BUKU III. TUGAS GEREJA MENGAJAR [Kan. 747-833]
• BUKU IV. TUGAS GEREJA MENGUDUSKAN [834-1253]
• BUKU V. HARTA BENDA GEREJA [Kan. 1254-1310]
• BUKU VI. SANKSI DALAM GEREJA [Kan. 1311-1399]
• BUKU VII. HUKUM ACARA [Kan. 1400-1752]
8. BUKU IV. TUGAS GEREJA MENGUDUSKAN
[834-1253]
• Kanon-kanon Pengantar
(Kan. 834-839)
• Bagian I: Sakramen
(Kan. 840-1165)
• Bagian II: Tindakan Lain
Ibadat Ilahi (Kan. 1166-
1204)
• Bagian III: Tempat dan
Waktu Suci (Kan. 1205-
1253)
• Judul I. Baptis
• Judul II. Sakramen Penguatan
• Judul III. Ekaristi Mahakudus
• Judul IV. Sakramen Tobat
• Judul V. Sakramen Pengurapan
Orang Sakit
• Judul VI. Tahbisan
• Judul VII. Perkawinan
9. KANON-KANON PENGANTAR
• Kan. 834 - § 1. Gereja memenuhi tugas menguduskan secara
istimewa dengan liturgi suci, yang dipandang sebagai pelaksanaan
tugas imamat Yesus Kristus, di mana pengudusan manusia
dinyatakan dengan tanda-tanda indrawi serta dihasilkan dengan
cara masing-masing yang khas. Dengan liturgi itu dipersembahkan
juga ibadat publik yang utuh kepada Allah oleh Tubuh mistik Yesus
Kristus, yakni Kepala dan anggota-anggota-Nya.
• § 2. Ibadat semacam ini terjadi apabila dilaksanakan atas nama
Gereja oleh orang-orang yang ditugaskan secara legitim dan dengan
perbuatan-perbuatan yang telah disetujui oleh otoritas Gereja.
10. Tafsir Kanon 834 tentang DEFINISI LITURGI
(hlm. 10-12):
1. Tugas Gereja menguduskan dipenuhi melalui liturgi,
walaupun tidak secara utuh dan mendalam, tetapi dalam cara
yang sangat khas.
2. Paus Pius XII dalam Mediator Dei merumuskan liturgi sebagai
tanda dan perbuatan pengudusan ilahi yang serentak
merupakan ibadat yang dipersembahkan kepada Allah oleh
dan dalam Kristus.
3. Kanon 834 §2 membedakan pelayanan liturgis dengan
kegiatan kultis (sembah bakti) yang lain dalam Gereja, baik
yang dilaksanakan secara publik atau privat.
11. • Liturgi dijabarkan sebagai suatu perbuatan yang:
• Harus dirayakan atas nama Gereja, bukan atas nama pribadi.
Doa pribadi tidak dapat disebut liturgi.[…]
• Harus dirayakan oleh orang yang secara legitim diberi kuasa
– lewat Pembaptisan semua orang beriman memperoleh
rahmat imamat umum. Di sini berarti bahwa liturgi
dirayakan oleh semua umat yang telah dibaptis, termasuk:
• Menuntut kuasa tahbisan untuk memimpin beberapa
jenis perayaan dan,
• Tidak menuntut kuasa tahbisan untuk memimpinnya,
seperti untuk pewartaan sabda, penguburan, brevir, dsb.
• Harus disetujui oleh otoritas Gereja: Buku-buku yang dipakai
haruslah buku resmi dari Gereja.[…]
12. • Kan. 835 - § 1. Tugas menguduskan itu dilaksanakan pertamatama oleh
para Uskup, yang adalah imam-imam agung, pembagipembagi utama
misteri-misteri Allah, dan pemimpin, penggerak dan penjaga seluruh
kehidupan liturgi dalam Gereja yang dipercayakan kepadanya.
• § 2. Tugas itu juga dilaksanakan oleh para imam yang mengambil bagian
dalam imamat Kristus, selaku pelayan-Nya dibawah otoritas Uskup,
ditahbiskan untuk merayakan ibadat ilahi dan menguduskan umat.
• § 3. Para diakon mengambil bagian dalam perayaan ibadat ilahi menurut
norma ketentuan-ketentuan hukum.
• § 4. Dalam tugas menguduskan itu kaum beriman kristiani lain juga
memiliki peranannya sendiri, dengan ambil bagian secara aktif menurut
cara masing-masing dalam perayaan-perayaan liturgi, terutama dalam
Ekaristi; demikian pula secara khusus mengambil bagian dalam tugas itu
para orangtua, dengan hidup berkeluarga dalam semangat kristiani dan
mengusahakan pendidikan kristiani bagi anak-anak.
13. Tafsir Kanon 835 tentang TUGAS-TUGAS &
PELAYAN-PELAYAN LITURGI (hlm. 12-15):
1. Uskup adalah moderator, pendorong, pelindung, dan penjaga
serta pemimpin liturgi dalam keuskupannya.
2. Para imam (presbiter) mengambil bagian dalam imamat, tetapi
bergantung pada uskup (episcopus).
3. Para diakon memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban menurut
Lumen Gentium (art. 29) sbb.: pelayan pembaptis dalam
pembaptisan, membagikan komuni suci dalam Ekaristi atau di luar
Ekaristi, membantu pada dan merayakan Sakramen Perkawinan,
melayani upacara Viatikum, membacakan Kitab Suci (lektor),
memberikan “khotbah” kepada umat beriman, memimpin
upacara sakramentali dan melayani upacara penguburan di
Gereja/rumah hingga di pekuburan.
14. 4. Umat Beriman harus berpartisipasi aktif dalam liturgi, dalam
bentuk:
• Seperti yang dijabarkan dalam buku-kubu liturgi.
• Berdasarkan pada:
• Martabat imamat umum dalam diri setiap umat beriman dan
• Kodrat alamiah liturgi sebagai perayaan bersama Gereja.
• Secara tidak langsung merujuk pada peraturan mengenai liturgi
khusus atau mengenai para pelayan yang mana seorang umat
beriman tak tertahbis boleh dan dapat berperan:
• Yang menuntut adanya pelantikan (seperti untuk lektor dan
akolit) dan
• Yang hanya menuntut deputasi atau penunjukan biasa
(seperti pembagi komuni dan lektor yang ditunjuk seketika).
15. 4. Orangtua melaksanakan tugas pengudusan terhadap anak-anak
mereka, melalui:
• Cara hidup Kristiani dalam perkawinan mereka
• Cara mendidik dan membesarkan anak-anak mereka yang berpijak
pada nilai-nilai Kristiani.
16. KANON-KANON TENTANG SAKRAMEN PADA
UMUMNYA
• Kan. 840 - Sakramen-sakramen Perjanjian Baru, yang
diadakan oleh Kristus Tuhan dan dipercayakan kepada
Gereja, sebagai tindakan-tindakan Kristus dan Gereja,
merupakan tanda dan sarana yang mengungkapkan dan
menguatkan iman, mempersembahkan penghormatan
kepada Allah serta menghasilkan pengudusan manusia. Dan
karena itu sangat membantu untuk menciptakan,
memperkokoh dan menampakkan persekutuan gerejawi.
Oleh karena itu baik para pelayan suci maupun umat
beriman kristiani lain haruslah merayakannya dengan
sangat khidmat dan cermat sebagaimana mestinya.
17. Tafsir Kanon 840 tentang PENGERTIAN
SAKRAMEN (hlm. 26-28)
1. KHK 1983 mengunakan kata “merayakan” atau “perayaan”
sakramen Sakramen adalah perayaan.
2. Tujuan sakramen (bdk. Sacrosanctum Concilium art. 59) ialah
untuk:
• Membuat umat beriman suci,
• Membangun tubuh Kristus dan
• Menyembah Allah
3. KHK memahami sakramen sebagai perbuatan-perbuatan
Kristus dan Gereja serta akibat-akibatnya opus operatum
dan opus operantis.
18. • Kan. 841 - Karena sakramen-sakramen adalah sama untuk
seluruh Gereja dan termasuk khazanah ilahi, hanya otoritas
tertinggi Gerejalah yang berwenang menyetujui atau
menetapkan hal-hal yang dituntut demi sahnya sakramen-
sakramen itu; ada adalah hak dari otoritas itu atau dari
otoritas lain yang berwenang menurut norma kan. 838, § 3
dan § 4, untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut
perayaan, pelayanan dan penerimaannya secara licit, dan
juga tata-perayaan yang harus ditepati.
19. Tafsir Kanon 841 tentang SYARAT-SYARAT
PERAYAAN SAKRAMEN YANG SAH (hlm. 28-29)
• Dua hal penting dibicarakan kanon ini: Hak atau wewenang untuk
menentukan hal-hal yang dituntut untuk sahnya (validitas)
perayaan sakramen & untuk halalnya (lisitas) perayaan sakramen.
• Yang menentukan syarat-syarat untuk sahnya suatu sakramen
hanya ada pada otoritas tertinggi Gereja, yaitu: Dewan para
uskup bersama dengan kepalanya, atau Paus sendiri
• Hak dan wewenang untuk menentukan hal-hal yang dituntut
demi halalnya suatu sakramen ada pada: Otoritas tertinggi yang
disebut di atas dan untuk sejumlah wewenang pada Konferensi
para Uskup dan uskup diosesan.
20. • Kan. 842 - § 1. Orang
yang belum dibaptis
tidak dapat diizinkan
menerima sakramen-
sakramen lain dengan
sah.
• § 2. Sakramen-sakramen
baptis, penguatan dan
Ekaristi mahakudus
terjalin satu sama lain,
sedemikian sehingga
dituntut untuk inisiasi
kristiani yang penuh.
21. Tafsir Kanon 842 tentang SAKRAMEN-
SAKRAMEN INISIASI (hlm. 30-31)
• Baptis: pintu masuk ke sakramen-sakramen yang lain.
• Inisiasi bukan hanya berhenti pada penerimaan Sakramen
Baptis tetapi kepenuhannya dilanjutkan dalam penerimaan
Sakramen Penguatan dan Ekaristi Kudus.
• Sakramen Baptis, Penguatan dan Ekaristi Kudus merupakan tiga
sakramen yang saling melengkapi, dalam arti bahwa hidup
Kristiani yang diterima dalam Sakramen Baptis diperkuat oleh
rahmat Sakramen Penguatan dan disempurnakan secara penuh
oleh Ekaristi Kudus.
22. KANON-KANON TENTANG SAKRAMEN BAPTIS
(KANON 849-878)
• Kan. 851 - Perayaan baptis haruslah disiapkan dengan semestinya; maka dari
itu:
• 1° orang dewasa yang bermaksud menerima baptis hendaknya diterima dalam
katekumenat dan, sejauh mungkin, dibimbing ke inisiasi sakramental lewat
pelbagai tahap, menurut tataperayaan inisiasi yang telah disesuaikan oleh
Konferensi para Uskup dan norma-norma khusus yang dikeluarkan olehnya;
• 2° orangtua dari kanak-kanak yang harus dibaptis, demikian pula mereka yang
akan menerima tugas sebagai wali baptis, hendaknya diberitahu dengan baik
tentang makna sakramen ini dan tentang kewajiban-kewajiban yang melekat
padanya. Pastor paroki hendaknya mengusahakan, sendiri atau lewat orang-
orang lain, agar para orangtua dipersiapkan dengan semestinya lewat nasihat-
nasihat pastoral, dan bahkan dengan doa bersama, dengan mengumpulkan
keluarga-keluarga dan, bila mungkin, juga dengan mengunjungi mereka.
24. KANON-KANON TENTANG SAKRAMEN
PENGUATAN (KANON 879-896)
• Kan. 889 - § 1. Yang dapat menerima penguatan adalah
semua dan hanya yang telah dibaptis serta belum pernah
menerimanya.
• § 2. Di luar bahaya maut, agar seseorang dapat menerima
penguatan secara licit, bila ia dapat menggunakan akal,
dituntut bahwa ia diajar secukupnya, berdisposisi baik dan
dapat membarui janji-janji baptis.
25. Tafsir Kanon 889 tentang SYARAT UNTUK MENERIMA
SAKRAMEN PENGUATAN (hlm. 187-188)
26. KANON-KANON TENTANG SAKRAMEN
EKARISTI (KANON 897-958)
• Kan. 912 - Setiap orang yang telah dibaptis dan tidak dilarang oleh
hukum, dapat dan harus diizinkan untuk menerima komuni suci.
• Kan. 915 - Jangan diizinkan menerima komuni suci mereka yang terkena
ekskomunikasi dan interdik, sesudah hukuman itu dijatuhkan atau
dinyatakan, serta orang lain yang berkeras hati membandel dalam dosa
berat yang nyata.
• Kan. 916 - Yang sadar berdosa berat, tanpa terlebih dahulu menerima
sakramen pengakuan, jangan merayakan Misa atau menerima Tubuh
Tuhan, kecuali ada alasan berat serta tiada kesempatan mengaku; dalam
hal demikian hendaknya ia ingat bahwa ia wajib membuat tobat
sempurna, yang mengandung niat untuk mengaku sesegera mungkin.
27. Tafsir Kanon 912, 915, 916 tentang PENYAMBUT
KOMUNI KUDUS (hlm. 270-273, 283-290)