SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 3
Pelangi di Atap Langit 
Oleh : Angga Yuda P. 
Suara adzan subuh sayup-sayup terdengar. Angin kencang tak henti-hentinya 
menyapa desa yang masih telanjang itu. Sebuah desa kecil di pelosok 
Nganjuk, Jawa Timur. Perempuan tua itu tengah membasuh muka keriputnya 
dengan air wudhu, dengan beberapa timba air sumur yang sangat dingin. Setetes 
demi setetes tak dibiarkannya jatuh sia-sia, membasuh dengan seluruh. 
Dia menggelar sajadah sakralnya, sajadah yang menjadi maskawin 
pernikahannya dahulu. Dengan beberapa benang terjuntai tanda sudah usang. Dua 
rakaat ia berniat. Dua rakaat yang dianggapnya sebagai perisai diri, sebagai baju 
yang memeluknya dari dinginnya kehidupan yang memenjara, sebagai karunia 
terindah dari Tuhan. Ia menutup salatnya dengan doa-doa tulusnya. Doa untuk 
sang suami yang tengah tergeletak sakit, sakit stroke. Hingga membuat arjunanya 
itu tak lagi dapat berjalan. Hanya tergeletak di ranjang yang reot. Tak ada hiburan, 
tak ada teve, tak ada radio. Serta doa untuk putranya yang sedang menimba ilmu 
di sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya. Beasiswalah yang membuatnya 
mampu untuk kuliah. Hanya perlu sedikit tambahan untuk makan anaknya, itu 
pun tercukupi dengan kerja selingan yang dikerjakan anaknya. 
Dia meniti doa dengan hati suci, tak sadar air matanya kini mulai menetes, 
Rasa rindu kepada anak lanang satu-satunya kini kian menjadi-jadi. Meronta-ronta 
bagai magma yang menyeruak keluar ketika gunung meletus. Kembali ia melihat 
foto anaknya, foto semasa kecil. Ia sejenak membelai foto itu, begitu rindunya 
dengan masa di saat anaknya masih duduk di pangkuannya. Kini, anak lanangnya 
tumbuh dewasa. Berjuang di rimba Surabaya, memikul harapan kedua orang tua. 
Mak Nik dan Pak Hari, begitu orang kerap menyapanya. 
Waktu menunjukkan pukul 04.30. Hawa dingin menyengat tubuh Mak Nik 
yang kala itu menata tas-tas besar di atas sepeda tuanya, yang selama ini 
menemaninya setiap pagi petang ke pasar Kliwon. Kembali ia menghela napas, 
melamun teringat 5 tahun lalu, saat suaminya masih belum seperti sekarang. 
Mereka selalu ke pasar berdua, membeli sayur-mayur untuk dijual kembali di 
rumah. Kini, dia harus berjuang sendiri. Berbekal pedang asa dan berperisai doa. 
Menjadi tulang punggung keluarga tak semudah yang dibayangkan. Setiap pagi 
Mak Nik harus mengayuh sepeda ke pasar, berjualan sayur di rumah. Dia juga 
harus mengurus suaminya yang sedang sakit. Tak hanya itu, tumpukan antrean 
kain harus ia jahit sebagai tambahan penghasilan. 
Tiba-tiba seekor ayam jantan berkokok nyaring di depannya, memecah 
lamunan Mak Nik. Ia pun mulai mengayuh sepeda dengan perlahan. Menerjang 
kencangnya angin di kota angin. Memukul telak hawa dingin yang mencekik. 
Roda sepedanya membelah persawahan. Satu-satunya jalan terdekat menuju ke 
pasar. Begitu gelap jalan yang harus ia tempuh. Jalan yang hanya diterangi oleh
mimpi-mimpinya yang kini ada di pundak anaknya. Peluh mulai menetes, 
dibarengi dengan napas yang tersengal. Melewati beberapa rumah lagi dan Mak 
Nik akan sampai tujuan. Tak pernah ia mengeluh akan kesehariannya itu. 
Semuanya dilakukan dengan sepenuh hati. 
Matahari mulai naik sepenggal. Tas Mak Nik sudah dipenuhi oleh barang-barang 
belanjaan. Cukup berat untuk ukuran perempuan. Tapi Mak Nik 
menjinjingnya dengan mudah. Berat tas itu dikalahkan oleh semangatnya untuk 
segera pulang, berjualan, dan mengumpulkan uang untuk membelikan Radio 
untuk suaminya. Sedih rasanya membayangkan sang suami hanya tergeletak di 
kamar, tanpa radio, tanpa teve. 
Kembali Mak Nik harus megayuh sepeda lagi, melewati persawahan, 
menembus terjalnya jalanan. Tak sanggup bila ia langsung mengayuh sepedanya, 
dikarenakan oleh tas-tas besar yang penuh muatan. Ia menuntun dahulu sepeda tua 
itu dengan perlahan, sampai pada jalan turunan ia menaiki sepedanya. Lebih 
mudah seperti itu daripada harus mengayuh sepeda sejak dari pasar. 
*** 
Tetangga nampak tengah ramai berkumpul di halaman rumah Mak Nik 
yang sempit itu, tempat ia biasa berjualan. Mereka menunggu Mak Nik sedari 
tadi, untuk membeli sayur-mayur yang masih segar. Tak sempat beristirahat, tak 
sempat minum sejenak, tak sempat untuk menata kembali napas tuanya. 
“Mak Nik, saya beli kacang panjang 2 ikat!...” 
“Saya bawang merahnya dua ribu saja” 
“Saya cabe 1 ons” 
Suara pembeli terus bersahut-sahutan berebut untuk diladeni. Beberapa 
dari mereka sedang menggumuli sayuran, memilah dan memilih untuk dibeli. 
Dengan garis lengkung di bibirnya itu dia membalas. Begitu sabar Mak Nik 
meladeni mereka satu-satu. Kembali muncul di benaknya, keinginan yang begitu 
besar untuk segera membelikan radio untuk sang suami. Seakan ia membunuh 
rasa lelah, melumpuhkan rasa malas, hanya semangat yang disisakannya. 
Hari mulai malam, Deru mesin jahit bagaikan radio malam itu. Tak 
hentinya kaki beradu, dengan gigih Mak Nik memacu mesin jahit yang 21 tahun 
lalu masih baru. Begitu kelar jahitannya, ia berkata pada suaminya. 
“Pak, jahitannya Mak Lasmi sudah kelar. Besok mungkin diambil. Kira-kira 
kurang 30 ribu lagi kita bisa beli radio pak. Biar bapak bisa mendengarkan 
radio, biar rumah kita tak sepi lagi” ucap Mak Nik sambil tersenyum lebar. 
“Sudahlah buk, nggak usah ngoyo! Istirahatkan tubuhmu itu. Besok subuh 
kan harus ke pasar lagi. Bapak nggak ngerasa sepi, masih ada ibuk, masih ada 
suara mesin jahit itu, masih ada anak kita yang terus berjuang di Surabaya.”
Jawab Pak Hari dengan wajah sedikit menangis melihat rambut Mak Nik yang 
kusut, mukanya nampak lelah menjahit sedari tadi. 
*** 
Beberapa hari kemudian, Mak Nik melihat tabungannya. Telah terkumpul 
uang untuk membeli radio. Wajahnya berseri-seri, seperti musim semi yang 
kembang-kembangnya baru saja bermekaran. Tanpa pikir panjang Mak Nik 
segera menuju ke pasar, kali ini bukan untuk membeli sayur, melainkan untuk 
membeli radio bagi sang suami. Terik matahari kala itu tak menahan kakinya 
untuk mengayuh sepeda. Matanya tertuju pada jalanan yang penuh dengan debu 
beterbangan. 
Akhirnya sampailah Mak Nik di salah satu toko elektronik, di pasar 
Kliwon. Dengan teliti Mak Nik memilih radio yang hendak ia beli. Setelah radio 
incarannya diperoleh, tawar-menawar mulai berlangsung. Uangnya waktu itu 
hanya 150 ribu. Setelah proses tawar menawar yang panjang Mak Nik berhasil 
mendapatkan radio dengan harga 140 ribu rupiah. Harga termurah di toko itu. 
Tersisa 10 ribu di genggamannya, dia berniat untuk membelikan sate ayam 
kesukaan suaminya. Betapa bahagianya hati Mak Nik saat itu. 
Dengan penuh syukur Mak Nik membawa radio itu pulang ke rumah. Tak 
sabar memberi kejutan untuk Pak Hari suaminya. Dengan mantap ia mengayuh 
sepeda tuanya yang berbunyi saat dikayuh itu. Jalan yang semula jauh terasa 
sangat dekat bagi Mak Nik. Angin yang sebelumnya begitu kencang, kini 
bagaikan angin yang keluar dari seruling, tak terasa baginya. Dia begitu tak sabar 
untuk sampai di rumah. 
*** 
“Pak... Pak... ini ibuk baru beli radio pak. Bapak sekarang nggak kesepian 
lagi di kamar. Bapak bisa mendengarkan radio kapanpun bapak mau” ucap Mak 
Nik dengan napas terengah sehabis mengayuh sepeda. 
Suaminya hanya menangis, hingga pipinya basah oleh air mata. Mak Nik 
mengusapnya. Seakan tak membiarkan suaminya terus meneteskan air mata. 
Orang yang sangat dicintainya, dari dulu, sekarang, dan sampai nanti. 
Suara radio pun terdengar untuk pertama kalinya di kamar itu, seakan 
radio itu mengerti benar kehidupan Mak Nik dan keluarga. Salah satu stasiun 
radio di kota Nganjuk yang saat itu sedang diputar, berbunyi: “Perjuangan tanpa 
henti akan melahirkan kebahagiaan penuh arti...” 
Mak Nik pun menjawab “Dan kebahagiaan yang sempurna adalah 
kesederhanaan dan berawal dari perjuangan”.

Weitere ähnliche Inhalte

Andere mochten auch

Andere mochten auch (10)

Herbario virtual
Herbario virtual Herbario virtual
Herbario virtual
 
2ace target audience research
2ace target audience research2ace target audience research
2ace target audience research
 
Tt 111.2013.tt.btc
Tt 111.2013.tt.btcTt 111.2013.tt.btc
Tt 111.2013.tt.btc
 
Homework 3
Homework 3Homework 3
Homework 3
 
Practical television 1957 june
Practical television 1957 junePractical television 1957 june
Practical television 1957 june
 
Demo
DemoDemo
Demo
 
raza especializadas en leche
raza especializadas en lecheraza especializadas en leche
raza especializadas en leche
 
PresentacióN1 ClíNica
PresentacióN1  ClíNicaPresentacióN1  ClíNica
PresentacióN1 ClíNica
 
Resume_finance07
Resume_finance07Resume_finance07
Resume_finance07
 
Mapa crédito y riesgos
Mapa crédito y riesgosMapa crédito y riesgos
Mapa crédito y riesgos
 

Ähnlich wie Pelangi di atap langit

Ähnlich wie Pelangi di atap langit (6)

Pasangan muda (ni komang ariani)
Pasangan muda (ni komang ariani)Pasangan muda (ni komang ariani)
Pasangan muda (ni komang ariani)
 
Cerpen Kehidupan.pdf
Cerpen Kehidupan.pdfCerpen Kehidupan.pdf
Cerpen Kehidupan.pdf
 
Bawang putih bawang merah
Bawang putih bawang merahBawang putih bawang merah
Bawang putih bawang merah
 
Presentasi teknik penulisan-cerpen3
Presentasi teknik penulisan-cerpen3Presentasi teknik penulisan-cerpen3
Presentasi teknik penulisan-cerpen3
 
Cintadalamgelas
CintadalamgelasCintadalamgelas
Cintadalamgelas
 
Kemelut hati
Kemelut hatiKemelut hati
Kemelut hati
 

Pelangi di atap langit

  • 1. Pelangi di Atap Langit Oleh : Angga Yuda P. Suara adzan subuh sayup-sayup terdengar. Angin kencang tak henti-hentinya menyapa desa yang masih telanjang itu. Sebuah desa kecil di pelosok Nganjuk, Jawa Timur. Perempuan tua itu tengah membasuh muka keriputnya dengan air wudhu, dengan beberapa timba air sumur yang sangat dingin. Setetes demi setetes tak dibiarkannya jatuh sia-sia, membasuh dengan seluruh. Dia menggelar sajadah sakralnya, sajadah yang menjadi maskawin pernikahannya dahulu. Dengan beberapa benang terjuntai tanda sudah usang. Dua rakaat ia berniat. Dua rakaat yang dianggapnya sebagai perisai diri, sebagai baju yang memeluknya dari dinginnya kehidupan yang memenjara, sebagai karunia terindah dari Tuhan. Ia menutup salatnya dengan doa-doa tulusnya. Doa untuk sang suami yang tengah tergeletak sakit, sakit stroke. Hingga membuat arjunanya itu tak lagi dapat berjalan. Hanya tergeletak di ranjang yang reot. Tak ada hiburan, tak ada teve, tak ada radio. Serta doa untuk putranya yang sedang menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya. Beasiswalah yang membuatnya mampu untuk kuliah. Hanya perlu sedikit tambahan untuk makan anaknya, itu pun tercukupi dengan kerja selingan yang dikerjakan anaknya. Dia meniti doa dengan hati suci, tak sadar air matanya kini mulai menetes, Rasa rindu kepada anak lanang satu-satunya kini kian menjadi-jadi. Meronta-ronta bagai magma yang menyeruak keluar ketika gunung meletus. Kembali ia melihat foto anaknya, foto semasa kecil. Ia sejenak membelai foto itu, begitu rindunya dengan masa di saat anaknya masih duduk di pangkuannya. Kini, anak lanangnya tumbuh dewasa. Berjuang di rimba Surabaya, memikul harapan kedua orang tua. Mak Nik dan Pak Hari, begitu orang kerap menyapanya. Waktu menunjukkan pukul 04.30. Hawa dingin menyengat tubuh Mak Nik yang kala itu menata tas-tas besar di atas sepeda tuanya, yang selama ini menemaninya setiap pagi petang ke pasar Kliwon. Kembali ia menghela napas, melamun teringat 5 tahun lalu, saat suaminya masih belum seperti sekarang. Mereka selalu ke pasar berdua, membeli sayur-mayur untuk dijual kembali di rumah. Kini, dia harus berjuang sendiri. Berbekal pedang asa dan berperisai doa. Menjadi tulang punggung keluarga tak semudah yang dibayangkan. Setiap pagi Mak Nik harus mengayuh sepeda ke pasar, berjualan sayur di rumah. Dia juga harus mengurus suaminya yang sedang sakit. Tak hanya itu, tumpukan antrean kain harus ia jahit sebagai tambahan penghasilan. Tiba-tiba seekor ayam jantan berkokok nyaring di depannya, memecah lamunan Mak Nik. Ia pun mulai mengayuh sepeda dengan perlahan. Menerjang kencangnya angin di kota angin. Memukul telak hawa dingin yang mencekik. Roda sepedanya membelah persawahan. Satu-satunya jalan terdekat menuju ke pasar. Begitu gelap jalan yang harus ia tempuh. Jalan yang hanya diterangi oleh
  • 2. mimpi-mimpinya yang kini ada di pundak anaknya. Peluh mulai menetes, dibarengi dengan napas yang tersengal. Melewati beberapa rumah lagi dan Mak Nik akan sampai tujuan. Tak pernah ia mengeluh akan kesehariannya itu. Semuanya dilakukan dengan sepenuh hati. Matahari mulai naik sepenggal. Tas Mak Nik sudah dipenuhi oleh barang-barang belanjaan. Cukup berat untuk ukuran perempuan. Tapi Mak Nik menjinjingnya dengan mudah. Berat tas itu dikalahkan oleh semangatnya untuk segera pulang, berjualan, dan mengumpulkan uang untuk membelikan Radio untuk suaminya. Sedih rasanya membayangkan sang suami hanya tergeletak di kamar, tanpa radio, tanpa teve. Kembali Mak Nik harus megayuh sepeda lagi, melewati persawahan, menembus terjalnya jalanan. Tak sanggup bila ia langsung mengayuh sepedanya, dikarenakan oleh tas-tas besar yang penuh muatan. Ia menuntun dahulu sepeda tua itu dengan perlahan, sampai pada jalan turunan ia menaiki sepedanya. Lebih mudah seperti itu daripada harus mengayuh sepeda sejak dari pasar. *** Tetangga nampak tengah ramai berkumpul di halaman rumah Mak Nik yang sempit itu, tempat ia biasa berjualan. Mereka menunggu Mak Nik sedari tadi, untuk membeli sayur-mayur yang masih segar. Tak sempat beristirahat, tak sempat minum sejenak, tak sempat untuk menata kembali napas tuanya. “Mak Nik, saya beli kacang panjang 2 ikat!...” “Saya bawang merahnya dua ribu saja” “Saya cabe 1 ons” Suara pembeli terus bersahut-sahutan berebut untuk diladeni. Beberapa dari mereka sedang menggumuli sayuran, memilah dan memilih untuk dibeli. Dengan garis lengkung di bibirnya itu dia membalas. Begitu sabar Mak Nik meladeni mereka satu-satu. Kembali muncul di benaknya, keinginan yang begitu besar untuk segera membelikan radio untuk sang suami. Seakan ia membunuh rasa lelah, melumpuhkan rasa malas, hanya semangat yang disisakannya. Hari mulai malam, Deru mesin jahit bagaikan radio malam itu. Tak hentinya kaki beradu, dengan gigih Mak Nik memacu mesin jahit yang 21 tahun lalu masih baru. Begitu kelar jahitannya, ia berkata pada suaminya. “Pak, jahitannya Mak Lasmi sudah kelar. Besok mungkin diambil. Kira-kira kurang 30 ribu lagi kita bisa beli radio pak. Biar bapak bisa mendengarkan radio, biar rumah kita tak sepi lagi” ucap Mak Nik sambil tersenyum lebar. “Sudahlah buk, nggak usah ngoyo! Istirahatkan tubuhmu itu. Besok subuh kan harus ke pasar lagi. Bapak nggak ngerasa sepi, masih ada ibuk, masih ada suara mesin jahit itu, masih ada anak kita yang terus berjuang di Surabaya.”
  • 3. Jawab Pak Hari dengan wajah sedikit menangis melihat rambut Mak Nik yang kusut, mukanya nampak lelah menjahit sedari tadi. *** Beberapa hari kemudian, Mak Nik melihat tabungannya. Telah terkumpul uang untuk membeli radio. Wajahnya berseri-seri, seperti musim semi yang kembang-kembangnya baru saja bermekaran. Tanpa pikir panjang Mak Nik segera menuju ke pasar, kali ini bukan untuk membeli sayur, melainkan untuk membeli radio bagi sang suami. Terik matahari kala itu tak menahan kakinya untuk mengayuh sepeda. Matanya tertuju pada jalanan yang penuh dengan debu beterbangan. Akhirnya sampailah Mak Nik di salah satu toko elektronik, di pasar Kliwon. Dengan teliti Mak Nik memilih radio yang hendak ia beli. Setelah radio incarannya diperoleh, tawar-menawar mulai berlangsung. Uangnya waktu itu hanya 150 ribu. Setelah proses tawar menawar yang panjang Mak Nik berhasil mendapatkan radio dengan harga 140 ribu rupiah. Harga termurah di toko itu. Tersisa 10 ribu di genggamannya, dia berniat untuk membelikan sate ayam kesukaan suaminya. Betapa bahagianya hati Mak Nik saat itu. Dengan penuh syukur Mak Nik membawa radio itu pulang ke rumah. Tak sabar memberi kejutan untuk Pak Hari suaminya. Dengan mantap ia mengayuh sepeda tuanya yang berbunyi saat dikayuh itu. Jalan yang semula jauh terasa sangat dekat bagi Mak Nik. Angin yang sebelumnya begitu kencang, kini bagaikan angin yang keluar dari seruling, tak terasa baginya. Dia begitu tak sabar untuk sampai di rumah. *** “Pak... Pak... ini ibuk baru beli radio pak. Bapak sekarang nggak kesepian lagi di kamar. Bapak bisa mendengarkan radio kapanpun bapak mau” ucap Mak Nik dengan napas terengah sehabis mengayuh sepeda. Suaminya hanya menangis, hingga pipinya basah oleh air mata. Mak Nik mengusapnya. Seakan tak membiarkan suaminya terus meneteskan air mata. Orang yang sangat dicintainya, dari dulu, sekarang, dan sampai nanti. Suara radio pun terdengar untuk pertama kalinya di kamar itu, seakan radio itu mengerti benar kehidupan Mak Nik dan keluarga. Salah satu stasiun radio di kota Nganjuk yang saat itu sedang diputar, berbunyi: “Perjuangan tanpa henti akan melahirkan kebahagiaan penuh arti...” Mak Nik pun menjawab “Dan kebahagiaan yang sempurna adalah kesederhanaan dan berawal dari perjuangan”.