1. Pelangi di Atap Langit
Oleh : Angga Yuda P.
Suara adzan subuh sayup-sayup terdengar. Angin kencang tak henti-hentinya
menyapa desa yang masih telanjang itu. Sebuah desa kecil di pelosok
Nganjuk, Jawa Timur. Perempuan tua itu tengah membasuh muka keriputnya
dengan air wudhu, dengan beberapa timba air sumur yang sangat dingin. Setetes
demi setetes tak dibiarkannya jatuh sia-sia, membasuh dengan seluruh.
Dia menggelar sajadah sakralnya, sajadah yang menjadi maskawin
pernikahannya dahulu. Dengan beberapa benang terjuntai tanda sudah usang. Dua
rakaat ia berniat. Dua rakaat yang dianggapnya sebagai perisai diri, sebagai baju
yang memeluknya dari dinginnya kehidupan yang memenjara, sebagai karunia
terindah dari Tuhan. Ia menutup salatnya dengan doa-doa tulusnya. Doa untuk
sang suami yang tengah tergeletak sakit, sakit stroke. Hingga membuat arjunanya
itu tak lagi dapat berjalan. Hanya tergeletak di ranjang yang reot. Tak ada hiburan,
tak ada teve, tak ada radio. Serta doa untuk putranya yang sedang menimba ilmu
di sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya. Beasiswalah yang membuatnya
mampu untuk kuliah. Hanya perlu sedikit tambahan untuk makan anaknya, itu
pun tercukupi dengan kerja selingan yang dikerjakan anaknya.
Dia meniti doa dengan hati suci, tak sadar air matanya kini mulai menetes,
Rasa rindu kepada anak lanang satu-satunya kini kian menjadi-jadi. Meronta-ronta
bagai magma yang menyeruak keluar ketika gunung meletus. Kembali ia melihat
foto anaknya, foto semasa kecil. Ia sejenak membelai foto itu, begitu rindunya
dengan masa di saat anaknya masih duduk di pangkuannya. Kini, anak lanangnya
tumbuh dewasa. Berjuang di rimba Surabaya, memikul harapan kedua orang tua.
Mak Nik dan Pak Hari, begitu orang kerap menyapanya.
Waktu menunjukkan pukul 04.30. Hawa dingin menyengat tubuh Mak Nik
yang kala itu menata tas-tas besar di atas sepeda tuanya, yang selama ini
menemaninya setiap pagi petang ke pasar Kliwon. Kembali ia menghela napas,
melamun teringat 5 tahun lalu, saat suaminya masih belum seperti sekarang.
Mereka selalu ke pasar berdua, membeli sayur-mayur untuk dijual kembali di
rumah. Kini, dia harus berjuang sendiri. Berbekal pedang asa dan berperisai doa.
Menjadi tulang punggung keluarga tak semudah yang dibayangkan. Setiap pagi
Mak Nik harus mengayuh sepeda ke pasar, berjualan sayur di rumah. Dia juga
harus mengurus suaminya yang sedang sakit. Tak hanya itu, tumpukan antrean
kain harus ia jahit sebagai tambahan penghasilan.
Tiba-tiba seekor ayam jantan berkokok nyaring di depannya, memecah
lamunan Mak Nik. Ia pun mulai mengayuh sepeda dengan perlahan. Menerjang
kencangnya angin di kota angin. Memukul telak hawa dingin yang mencekik.
Roda sepedanya membelah persawahan. Satu-satunya jalan terdekat menuju ke
pasar. Begitu gelap jalan yang harus ia tempuh. Jalan yang hanya diterangi oleh
2. mimpi-mimpinya yang kini ada di pundak anaknya. Peluh mulai menetes,
dibarengi dengan napas yang tersengal. Melewati beberapa rumah lagi dan Mak
Nik akan sampai tujuan. Tak pernah ia mengeluh akan kesehariannya itu.
Semuanya dilakukan dengan sepenuh hati.
Matahari mulai naik sepenggal. Tas Mak Nik sudah dipenuhi oleh barang-barang
belanjaan. Cukup berat untuk ukuran perempuan. Tapi Mak Nik
menjinjingnya dengan mudah. Berat tas itu dikalahkan oleh semangatnya untuk
segera pulang, berjualan, dan mengumpulkan uang untuk membelikan Radio
untuk suaminya. Sedih rasanya membayangkan sang suami hanya tergeletak di
kamar, tanpa radio, tanpa teve.
Kembali Mak Nik harus megayuh sepeda lagi, melewati persawahan,
menembus terjalnya jalanan. Tak sanggup bila ia langsung mengayuh sepedanya,
dikarenakan oleh tas-tas besar yang penuh muatan. Ia menuntun dahulu sepeda tua
itu dengan perlahan, sampai pada jalan turunan ia menaiki sepedanya. Lebih
mudah seperti itu daripada harus mengayuh sepeda sejak dari pasar.
***
Tetangga nampak tengah ramai berkumpul di halaman rumah Mak Nik
yang sempit itu, tempat ia biasa berjualan. Mereka menunggu Mak Nik sedari
tadi, untuk membeli sayur-mayur yang masih segar. Tak sempat beristirahat, tak
sempat minum sejenak, tak sempat untuk menata kembali napas tuanya.
“Mak Nik, saya beli kacang panjang 2 ikat!...”
“Saya bawang merahnya dua ribu saja”
“Saya cabe 1 ons”
Suara pembeli terus bersahut-sahutan berebut untuk diladeni. Beberapa
dari mereka sedang menggumuli sayuran, memilah dan memilih untuk dibeli.
Dengan garis lengkung di bibirnya itu dia membalas. Begitu sabar Mak Nik
meladeni mereka satu-satu. Kembali muncul di benaknya, keinginan yang begitu
besar untuk segera membelikan radio untuk sang suami. Seakan ia membunuh
rasa lelah, melumpuhkan rasa malas, hanya semangat yang disisakannya.
Hari mulai malam, Deru mesin jahit bagaikan radio malam itu. Tak
hentinya kaki beradu, dengan gigih Mak Nik memacu mesin jahit yang 21 tahun
lalu masih baru. Begitu kelar jahitannya, ia berkata pada suaminya.
“Pak, jahitannya Mak Lasmi sudah kelar. Besok mungkin diambil. Kira-kira
kurang 30 ribu lagi kita bisa beli radio pak. Biar bapak bisa mendengarkan
radio, biar rumah kita tak sepi lagi” ucap Mak Nik sambil tersenyum lebar.
“Sudahlah buk, nggak usah ngoyo! Istirahatkan tubuhmu itu. Besok subuh
kan harus ke pasar lagi. Bapak nggak ngerasa sepi, masih ada ibuk, masih ada
suara mesin jahit itu, masih ada anak kita yang terus berjuang di Surabaya.”
3. Jawab Pak Hari dengan wajah sedikit menangis melihat rambut Mak Nik yang
kusut, mukanya nampak lelah menjahit sedari tadi.
***
Beberapa hari kemudian, Mak Nik melihat tabungannya. Telah terkumpul
uang untuk membeli radio. Wajahnya berseri-seri, seperti musim semi yang
kembang-kembangnya baru saja bermekaran. Tanpa pikir panjang Mak Nik
segera menuju ke pasar, kali ini bukan untuk membeli sayur, melainkan untuk
membeli radio bagi sang suami. Terik matahari kala itu tak menahan kakinya
untuk mengayuh sepeda. Matanya tertuju pada jalanan yang penuh dengan debu
beterbangan.
Akhirnya sampailah Mak Nik di salah satu toko elektronik, di pasar
Kliwon. Dengan teliti Mak Nik memilih radio yang hendak ia beli. Setelah radio
incarannya diperoleh, tawar-menawar mulai berlangsung. Uangnya waktu itu
hanya 150 ribu. Setelah proses tawar menawar yang panjang Mak Nik berhasil
mendapatkan radio dengan harga 140 ribu rupiah. Harga termurah di toko itu.
Tersisa 10 ribu di genggamannya, dia berniat untuk membelikan sate ayam
kesukaan suaminya. Betapa bahagianya hati Mak Nik saat itu.
Dengan penuh syukur Mak Nik membawa radio itu pulang ke rumah. Tak
sabar memberi kejutan untuk Pak Hari suaminya. Dengan mantap ia mengayuh
sepeda tuanya yang berbunyi saat dikayuh itu. Jalan yang semula jauh terasa
sangat dekat bagi Mak Nik. Angin yang sebelumnya begitu kencang, kini
bagaikan angin yang keluar dari seruling, tak terasa baginya. Dia begitu tak sabar
untuk sampai di rumah.
***
“Pak... Pak... ini ibuk baru beli radio pak. Bapak sekarang nggak kesepian
lagi di kamar. Bapak bisa mendengarkan radio kapanpun bapak mau” ucap Mak
Nik dengan napas terengah sehabis mengayuh sepeda.
Suaminya hanya menangis, hingga pipinya basah oleh air mata. Mak Nik
mengusapnya. Seakan tak membiarkan suaminya terus meneteskan air mata.
Orang yang sangat dicintainya, dari dulu, sekarang, dan sampai nanti.
Suara radio pun terdengar untuk pertama kalinya di kamar itu, seakan
radio itu mengerti benar kehidupan Mak Nik dan keluarga. Salah satu stasiun
radio di kota Nganjuk yang saat itu sedang diputar, berbunyi: “Perjuangan tanpa
henti akan melahirkan kebahagiaan penuh arti...”
Mak Nik pun menjawab “Dan kebahagiaan yang sempurna adalah
kesederhanaan dan berawal dari perjuangan”.