Regulasi pertambangan di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan sejak masa kolonial hingga saat ini. Pada masa pra-kemerdekaan berlaku Indische Mijnwet 1899 yang memberikan konsesi pertambangan kepada Belanda, sedangkan pasca-kemerdekaan diterapkan UU 37/1960 dan UU 11/1967 yang memberikan kuasa pertambangan kepada negara dan perusahaan negara/daerah. UU 4/2009 yang berlaku saat ini menyatukan izin usaha pertamb
3. Peranan industri pertambangan
1. Merupakan pilar pembangunan
ekonomi bagi suatu negara, sehingga
besifat strategis.
2. Adanya kebutuhan atau permintaan
pasar akan bahan tambang yang
bernilai ekonomis untuk
dimanfaatkan.
4. REGULASI PERTAMBANGAN DI INDONESIA PADA MASA PRA KEMERDEKAAN
DAN PASCA KEMERDEKAAN SEBELUM DIUNDANGKANNYA UU NO. 4 TAHUN
2009.
Regulasi mengenai kegiatan usaha pertambangan di
Indonesia mengalami beberapa perubahan seiring
berjalannya waktu, yang mana perubahan tersebut
membawa pengaruh yang tidak kecil terhadap kondisi
perekonomian bangsa.
Indische Mijnwet 1899
Regulasi mengenai kegiatan usaha pertambangan di
Indonesia pertama kali dimuat dalam Indische Mijnwet (
Mining act of the Indies) tahun 1899. Dalam “Wet”
tersebut terkandung prinsip dasar bahwa hak atas
tanah, tidak meliputi kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, karena kekayaan alam tersebut dikuasai oleh
negara.
5. Beberapa regulasi penting dalam Indische Mijnwet tersebut
antara lain:
Pengelolaan mineral dikontrol oleh izin yang dikeluarkan oleh
Biro Pertambangan atau Pemerintah Provinsi;
Konsesi pertambangan diberikan berdasarkan permohonan
yang diajukan kepada Gubernur Jenderal;
Izin untuk perolehan konsesi hanya dapat diberikan kepada
orang belanda (dutch subjects), penduduk Hindia Belanda,
dan perusahaan yang terdaftar di negeri Belanda atau di
Hindia Belanda;
Terdapat pengaturan mengenai kewajiban pembayaran
(iuran) tahunan dan kewajiban-kewajiban lainnya seperti
pajak, dllTerdapat pula pengaturan mengenai royalti dari
pemilik konsesi pertambangan;
Dan lain-lain
6. UNDANG-UNDANG NO. 37/PRP. TAHUN 1960
Pada masa setelah Indonesia merdeka banyak tuntutan
untuk mengadakan reformasi peraturan perundang-
undangan peninggalan Belanda yang banyak
mengandung nuansa politik kolonial yang sudah tidak
sesuai dengan alam kemerdekaan. Akhirnya pada tahun
1960, pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (PERPU) terkait pengelolaan
sumber daya alam. Ada dua produk berbentuk PERPU
yang dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu UU No.
44/Prp. Tahun 1960 tentang (pertambangan) minyak
dan gas bumi dan UU No. 37/Prp. Tahun 1960 tentang
pertambangan (Semua Mineral selain Minyak dan Gas
Bumi).
7. Dalam UU No. 37/Prp. Tahun 1960 tentang
Pertambangan (selanjutnya disebut sebagai UU 37/Prp.
1960) kembali diadopsi prinsip kedaulatan negara atas
sumber daya alam sebagaimana yang terdapat pada
peraturan-perundang-undangan di masa
kolonialisme.Hal tersebut tercermin dari pasal 2 ayat (1)
UU 37/Prp 1960
:
“Segala bahan galian yang berada didalam, diatas dan
dibawah permukaan bumi, dalam wilayah hukum
pertambangan Indonesia yang merupakan letakan-
letakan atau timbunan-timbunan alam adalah kekayaan
nasional dan dikuasai oleh Negara”
8. Beberapa pokok pengaturan dalam PERPU ini antara lain:
a. UU 37/Prp. 1960 adalah ditiadakannya sistem konsesi sebagaimana
mana yang ada dalam Indische Mijnwet 1899. Dalam PERPU ini negara
(melalui Perusahaan Naerah) dan atau daerah (Perusahaan Daerah)
menjadi otoritas yang selalu terlibat dalam kegiatan usaha
pertambangan.
b. Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan dilakukan oleh negara
(Perusahaan Negara) atau oleh negara bersama-sama daerah untuk
bahan galian strategis. Kemudian pelaksanaan kegiatan pertambangan
bahan galian vital dilakukan oleh negara (Perusahaan Negara) atau
daerah (Perusahaan Daerah) serta dilakukan oleh Badan atau
perorangan swasta yang melakukan usaha bersama dengan negara
atau daerah dimana harus Badan usaha tersebut harus berbadan hukum
Indonesia dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan. Untuk bahan
galian yang bukan termasuk bahan galian strategis dan bahan galian
vital diatur oleh Pemrerintah Daerah Tk. I (Pemerintah Provinsi). Melihat
ketentuan tersebut di atas, maka perusahaan asing tidak dapat secara
langsung melakukan kegiatan usaha pertambangan di Indonesia bahkan
untuk bahan galian non-strategis dan atau bahan galian non-vital
sekalipun.
9. c .Pengusahaan pertambangan terhadap bahan-bahan
galian sebagaimana tersebut di atas (strategis dan vital)
hanya dapat dilakukan setelah memperoleh Kuasa
Pertambangan.
d. Pendapatan negara melalui UU 37/Prp 1960 didapat
dari pungutan-pungutan terhadap iuran pasti, iuran
eksplorasi dan/atau eksplotasi dan/atau pembayaran-
pembayaran lainnya yang berhubungan dengan
pemberian kuasa pertambangan yang bersangkutan.
e. Belum terdapat pengaturan mengenai Kontrak Karya
(Contract of Work) yang mana “saudara”nya yaitu, UU
No. 44/Prp tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak
dan Gas bumi telah mengaturnya.
10. UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 1967
UU 11/1967 pada pokoknya mengatur mengenai antara lain:
a. Prinsip yang dianut dalam Undang-Undang ini sama
dengan apa yang dianut oleh negara-negara Eropa
Kontinental, Indische Mijnwet 1899, UU No. 37/Prp. 1960,
yaitu bahwa negara menguasai segala bahan galian (sumber
daya mineral dan batubara) yang ada dalam wilayah hukum
pertambangan Indonesia.
b. Terdapat penggolongan bahan galian sebagaimana yang
terdapat dalam UU 37/Prp 1960, yaitu bahan galian strategis,
bahan galian vital, bahan galian non-strategis dan non-
vital.Dalam pasal 1 huruf a dan b PP No. 27 tahun 1980
tentang penggolongan bahan galian disebutkan bahwa
sebagian mineral seperti timah dan nikel serta batubara
masuk kepada golongan bahan galian strategis sedangkan
sebagian mineral seperti tembaga dan emas masuk ke
golongan bahan galian vital.
11. c. Pelaksanaan pertambangan bahan galian strategis
dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang ditunjuk oleh
menteri atau perusahaan negara. Yang membedakan dengan
UU 37/Prp 1960 adalah dalam UU 11/1967 pelaksanaan
pertambangan bahan galian strategis tersebut dapat
dilaksanakan oleh badan usaha swasta yang telah memenuhi
syarat sebagai badan hukum Indonesia apabila atas dasar
pertimbangan ekonomi tertentu lebih menguntungkan apabila
dilaksanakan oleh swasta. Dan dapat pula diusahakan melalui
pertambangan rakyat apabila jumlahnya sangat kecil.
d. Pelaksanaan pertambangan juga dapat di serahkan kepada
pihak lain sebagai kontraktor (kontrak karya).
e. Apabila, bahan galian yang dijadikan objek dalam adalah
bahan galian strategis dan berbentuk penanaman modal
asing, maka kontrak karya yang dilakukan pemerintah baru
berlaku setelah ada persetujuan DPR.
12. f. Usaha Pertambangan (sama seperti UU 37/Prp 1960) dapat dilakukan
oleh pelaksana pertambangan sebagaimana tersebut di atas setelah
mendapat Pertambangan, kecuali untuk kontrak karya/perjanjian karya.
Kuasa Pertambangan sebagaimana tersebut di atas diberikan dalam
bentuk:
- Surat Keputusan Penugasan Pertambangan (diberikan kepada
instansi pemerintah yang meliputi penyeledikan umum dan eksplorasi
- Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat (diberikan kepada
kepada rakyat setempat untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan
secara kecil-kecilan
- Surat Keputusan Kuasa Pertambangan (diberikan kepada
Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Badan usaha swasta untuk
melakukan kegiatan usaha pertambangan sebagaimana yang
disebutkan dalam pasal 14 UU 11/1967)
g. Pendapatan negara diperoleh dari Iuran tetap, iuran eksplorasi
dan/atau eksploitasi dan/atau pembayaran-pembayaran lain yang
berhubungan dengan kuasa pertambangan yang bersangkutan. Dalam
hal perjanjian karya/kontrak karya maka yang wajib membayar adalah
kontraktor.
13. h. Terkait dengan adanya sengketa dalam kontrak karya
maka sengketa tersebut dapat diselesaikan salah satunya di
forum International Center for Settlement of Disputes (ICSID),
namun apabila ICSID tidak dapat menyelesaikan maka
sengketa dapat di bawa badan arbitrase yang lain.
i. Khusus mengenai kontrak karya di pengusahaan
pertambangan batubara diatur dalam PP No. 75 tahun 1996
tentang ketentuan pokok perjanjian karya pengusahaan
pertambangan mineral dan batubara (PKP2B).
j. Terjadi perubahan yang cukup signifikan dari substansi
dalam UU 37/Prp 1960 pada UU 11/1967. Diantaranya adalah
mengenai masuknya investasi asing ke Indonesia dan adanya
pengaturan mengenai Kontrak Karya yang terkait juga pada
waktu itu dengan UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing.
14. REGULASI PERTAMBANGAN SETELAH
DIUNDANGKANNYA UU NO. 4 TAHUN 2009
Pada akhir tahun 2008, pemerintah mengesahkan Undang-
Undang No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan
batubara (yang sering disebut sebagai UU Minerba). Satu hal
yang tampak mencolok dari undang-undang tersebut dapat
terlihat dari judulnya yang secara jelas menyebutkan bahwa
undang-undang tersebut mengatur mengenai pertambangan
mineral dan batubara. Berbeda dengan pendahulunya yang
judulnya adalah tentang ketentuan-ketentuan pokok
pertambangan. Hal tersebut tertuang dalam pasal 34 ayat (1)
yang menyatakan bahwa usaha pertambangan terdiri dari
pertambangan mineral dan pertambangan batubara. Sama
seperti pendahulu-pendahulunya dimana prinsip kedaulatan
negara atas penguasaan sumber daya alam tetap menjadi “ruh”
dalam UU Minerba mengenai pengaturan mengenai usaha
pertambangan mineral dan batubara.
15. Beberapa ketentuan dalam UU Minerba
a.Izin Usaha Pertambangan, Pasca diundangkannya UU Minerba,
salah satunya implikasi yang cukup signifikan pengaruhnya adalah
adanya penyatuan dalam perolehan hak atas kegiatan usaha
pertambangan dalam satu atap, dan terbagi dalam 3 ruangan yaitu Izin
Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin
Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dengan begitu maka sistem-
sistem perolehan dalam regulasi yang sebelumnya, antara lain Sistem
Konsesi, Kuasa Pertambangan (KP), pengusahaan pertambangan
mineral dan batubara (PKP2B), dan Kontrak Karya (KK) tidak berlaku
lagi kecuali yang diatur dalam ketentuan peralihan UU Minerba.
b. Investasi Asing, Indonesia telah menjadi anggota World Trade
Organization (WTO). Implikasi dari fakta tersebut adalah kran investasi
asing harus di buka “sederas” mungkin. UU Minerba tampaknya meng-
akomodasi adanya fakta tersebut dalam beberapa ketentuannya, antara
lain mengenai keringanan dan fasilitas perpajakan yang diberikan
pemerintah.
16. c. Penerimaan Negara dan Daerah, Dalam UU Minerba,
dibanding UU pendahulunya “lebih jelas” dalam pengaturan
mengenai penerimaan negara dan daerah. Karena dalam UU
Minerba tersebut mengenai penerimaan negara dan daerah di
bagi menjadi dua, yaitu penerimaan pajak dan penerimaan
bukan pajak.
d. Sengketa di bidang Pertambangan Dalam UU Minerba,
diperjelas mengenai forum untuk penyelesaian sengketa, dimana
dalam UU tersebut terdapat pengaturan yang jelas mengenai
forum penyelesaian sengketa yaitu penyelesaian harus dilakukan
di Indonesia, baik melalui arbitrase maupun pengadilan. Hal ini
menarik karena ada pembatasan mengenai forum penyelesaian
sengketa, dimana pada UU 11/1967 terdapat pembebasan forum
penyelesaian sengketa, bahkan dapat memakai ICSID, karena
memang pada dasarnya selain melalui Kuasa Pertambangan,
ada juga sistem perolehan hak yang sifatnya “kontraktual” seperti
kontrak karya, yang mana dalam perjanjian dimungkinkannya
terjadi pilihan forum penyelesaian sengketa
17. PERKEMBANGAN PERTAMBANGAN DI
INDONESIA
Perkembangan pertambangan di
Indonesia di mulai tahun 1966 yang
menunjukkan peningkatan yang pesat
hingga sekarang.
Hal ini disebabkan karena adanya
investor-investor atau partisipasi dari
perusahaan asing yang melakukan
kontrak karya pertambangan.