Dokumen tersebut membahas mengenai penatalaksanaan medis hidronefrosis yang meliputi tindakan-tindakan seperti nefrostomi, ESWL, nefrolitotomi, stent ureter, kateterisasi, serta pengobatan farmasi seperti antiseptik sistem urinaria. Tindakan-tindakan tersebut bertujuan untuk mengatasi penumpukan urine di ginjal akibat obstruksi aliran urine, memecah batu ginjal, serta mencegah in
1. Penatalaksanaan Medis Hidronefrosis
Oleh: Miranti Nur Fitriana
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
Hidronefrosis merupakan suatu keadaan dimana terjadi pelebaran pelvis ginjal
dan kaliks ginjal yang berkaitan dengan atrofi progresif ginjal setelah terjadinya
obstruksi aliran keluar urine (Robbins & Cotran, 2006). Pada keaaan tersebut, saluran
urinaria tentu mengalami gangguan yang cukup serius. Keadaan tersebut juga dapat
menimbulkan komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi, yang meliputi retensi urin,
batu ginjal, gagal ginjal, disuria.
Karena hal-hal tersebut yang mengarah pada penyakit hidronefrosis, penanganan
medis yang diberikan juga perlu diperhatikan sesuai keadaan atau kondisi yang terjadi.
Penanganan medis yang dapat diberikan dengan klien dengan gangguan tersebut
meliputi:
1. Nefrostomi
Nefrostomi merupakan sebuah tindakan medis yang dilakukan pada klien
dengan gangguan sistem urin dengan memasukkan sebuah kateter/selang lewat
kulit bagian belakang (punggung) ke dalam ginjal. Intervensi tersebut dilakukan
untuk mengatasi penumpukan atau pengumpulan urin pada ginjal yang terjadi
karena adanya obstruksi yang menghalangi keluarnya urin. tindakan nefrostomi ini
dapat menguras atau mengalihkan urin yang ada pada ginjal secara langsung ke
luar tubuh menuju kantong pengumpul urin yang disambungkan.
Indikasi dari tindakan nefrostomi:
• Ketika adanya kanker yang menghambat aliran urin
Klien yang mengalami kanker pada sluran urinaria memungkinkan untuk
dilakukan tindakan nefrostomi jika kanker membuat obstruksi saluran urinaria
yang menyebabkan aliran urin dari ginjal ke ureter atau ke bladder atau ke luar
tubuh melalui uretra terhambat. Kanker pada ureter dapat menghambat aliran
urin dari ginjal ke kandung kemih sehingga terjadi pengumpulan urin di ginjal.
Sebagai contoh terdapat kanker pada kandung kemih, kanker leher rahim,
kanker rahim atau kanker ovarium yang menekan aliran urin sehingga terjadi
obstruksi. Pada pria yang bisa menyebabkan obstruksi adalah kanker prostat
2. yang dapat menghambat aliran uretra. Sebelum dilakukannya nefrostomi
dilakukan scan area sistem urinaria tersebut untuk mengetahui lokasi obstruksi
akibat kanker.
• Obstruksi saluran urin bagian atas yang tidak memungkinkan ginjal
mengalirkan urin ke sistem urinaria bagian bawah dikarenakan adanya batu,
infeksi, tumor, atau kelainan anatomi terutama ketika stent double J tidak
dapat ditempatkan pada ureter karena kondisi tersebut diatas.
• Ketika kadar kreatinin dalam darah meningkat diatas normal dan urin tidak
dapat dikeluarkan melalui ureter.
• Kerusakan pada pelvis ginjal
• Hidronefrosis yang terjadi pada transplasntasi ginjal. Ketika dilatasi pelvis
ginjal mempengaruhi fungsi ginjal hingga penggunaan stent double-J sulit
dilakukan atau bahkan tidak mungkin.
• Ketika dilakukannya staghorn calculi untuk memecah batu ginjal yang
menghambat saluran urin.
• Ketika terjadi lesi pada uretra yang tidak dapat diperbaiki secara retrograde
pada ginjal yang tidak mengalami obstruksi. Hal ini dapat terjadi pada ureter
pasca bedah.
Kontraindikasi:
• pasien dengan kemungkinan pendarahan seperti hemofilia dan trombositopenia
serta tekanan darah yang sangat tinggi atau tak terkontrol.
• Penggunaan antikoagulan seperti aspirin, heparin, warfarin.
Prosedur tindakan:
• Persiapkan daerah kulit yang akan diinsisi dan berikan anestesi
• Anjurkan klien untuk menarik napas saat jarum ditusukkan ke pelvis ginjal.
• Sisipkan kawat pemandu kateter angiografi ke dalam jarum yang ditusukkan
ke pelvis ginjal.
• Jarum dicabut dan saluran dilebarkan dengan melewatkan selang atau kawat
pemandu
• Selang nefrostomi dimasukkan dan diatur posisinya dalam ginjal/ureter.
3. • Fiksasi selang dengan jahitan pada kulit dan dihubungkan dengan sistem
drainase tertutup.
Hal yang perlu diperhatiakan setelah tindakan nefrostomi dilakukan adalah
perlu dilakukan pemantauan kondisi klien dan selang yang terpasang apakah
terjadi tanda-tanda pendarahan (yang terjadi segera atau kemudian), adanya batu
urinarius atau debris, pembentukan fistula atau infeksi, kondisi selang nefrostomi
apakan drainase berjalan cukup baik. Obstruksi yang terjadi pada selang akan
menimbulkan rasa nyeri, trauma, serta regangan pada garis jahitan dan juga akan
dapat menimbulkan infeksi. Jika selang tercabu tanpa sengaja, perbaikan posisinya
harus dilakukan oleh dokter bedah karena lubang nefrostomi akan berkontraksi
sehingga menyulitkan pemasukkan kembali selang tersebut.
Asupan cairan perlu dianjurkan untuk klien pada saat terpasang selang
nefrostomi untuk membilas secara mekanis dan mengencerkan partikel-partikel
urin yang dapat mengakibatkan pembentukan batu. Urin juga harus dijaga agar
tetap asam agar selang yang terpasang tidak berkerak akibat sedimen urin. Selang
nefrostomi dapat dihubungkan dengan kantong pengumpul yang difiksasi pada
tungkai jika klien diperbolehkan untuk berjalan (ambulasi).
2. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Extracorporeal Shock Wave Lithotripter merupakan suatu tindakan atau prosedur
medis yang menangani renal calculi yang menghancurkan batu ginjal
menggunakan getaran gelombang dari luar tubuh ke area ginjal menjadi partikel-
partikel kecil yang kemudian ikut mengalir bersama urin pada sistem urinaria.
Seperti yang telah diketahui bahwa salah satu penyebab dari hodronefrosis karena
adanya renal calculi yang menyebabkan urin tidak dapat mengalir dari ginjal ke
kandung kemih. Untuk itu, dalam penanganannya dibutuhkan medikasi yang dapat
mengatasi renal calculi yang terjadi. Salah satunya adalah ddengan menggunakan
ESWL.
4. Indikasi:
Seseorang yang mengalami batu gijal atau batu empedu.
Kontraindikasi:
Keadaaan yang tidak boleh menjalani pengobatan atau terapi ESWL meliputi:
• Klien dengan kondisi tengah hamil. Hal tersebut dikarenakan gelombang
kejutan yang ditimbulkan dapat membahayakan janin.
• Memiliki gangguan pendarahan
• Memiliki infeksi ginjal
• Memiliki ginjal dengan struktur yang abnormal.
Prosedur Tindakan:
ESWL bekerja melalui gelombang kejut yang dihantarkan melalui cairan
tubuh ke batu ginjal. Gelombang ini akan memecah batu ginjal menjadi ukuran
lebih kecil untuk selanjutnya dikeluarkan sendiri melalui air kemih. Gelombang
yang dipakai berupa gelombang ultrasonik, elektrohidrolik atau sinar laser.
Untuk menjalani pengobatan dengan ESWL, penderita batu ginjal hanya
diperintahkan untuk berbaring di tempat tidur kemudian lithotriptor bagian dari
ESWL akan diarahkan pada permukaan tubuh pasien sesuai dengan dimana lokasi
batu ginjal berada. Selanjutnya gelombang kejut akan dihantarkan selama 30
hingga 60 menit, lamanya tergantung pada ukuran dan tingkat kekerasan batu
ginjal. ESWL termasuk terapi non invasif, artinya kulit tubuh tidak akan terkena
dampak (rusak).
Saat proses pemecahan batu ginjal, pasien diharapkan tidak menggerakkan
tubuhnya supaya fokus kerja gelombang kejut tidak berubah. Ada kemungkinan
juga pasien yang menjalani terapi ESWL akan diberikan obat penenang atau juga
anestesi (bius) lokal.
5. 3. Nefrolitotomi
Perkutanous Nephrolithotomy merupakan salah satu tinadakan minimal invasive
di bidang urologi yang bertujuan mengangkat batu ginjal dengan menggunakan
akses perkutan untuk mencapai sistem pelviokalises yang memberikan angka
bebas batu yang tinggi. Komplikasi dari tindakan ini meliputi perdarahan, trauma
pada pelvis renalis, trauma rongga pleura.
Indikasi:
• Batu pielum simple dengan ukuran > 2 cm.
• Batu kaliks ginjal terutama batu kaliks inferior dengan ukuran > 2cm
• Batu multipel.
• Betu uretropelvic junction dan ureter proksimal
• Batu ginjal besar
• Batu pada solitary kidney.
Kontraindikasi:
Pasien yang memiliki kelainan perdarahan atau pembekuan darah.
Prosedur Tindakan:
• Lakukan anestesi lokal, regional maupun umum.
• Lakukan pungsi perkutan ke dalam pelvis ginjal dengan jarum sampai urin
keluar dari jarum. Lokasi batu menjadi pertimbangan dalam menentukan
letak pungsi ginjal.
• Setelah pungsi dilakukan, maka dilakukan dilatasi.
• Setelah itu, lakukan fragmentasi untuk menghancurkan batu dengan
lithotriptor berupa laser, ultrasound, ballistic, maupun EHL (Electro
Hidrolic Lithotripsy).
• Setelah melakukan fragmentasi untuk menghancurkan batu, dibutukan
selang drainase untuk memberikan akses perdarahan yang timbul karena
luka, memberikan akses bekas pungsi ginjal sembuh, untuk pengalihan
urin.
4. Stent Ureter
6. Stent ureter merupakan alat yang berbentuk pipa yang dirancang agar dapat
ditempatkan di ureter untuk membantu mengatasi gangguan saluran urinaria. Stent
ini terbuat dari silicon yang bersifat lunak dan lentur. Stent ini dapat dipasang
secara permanen atau temporer. Komplikasi dari pemasangan ini dapat mencakup
infeksi, reaksi inflamasi yang terjadi akibat adanya benda asing dalam traktus
urogenitalis, pembentukan krusta dalam selang, pendarahan atau obstruksi karena
bekuan darah di dalam stent dan tercabutnya stent tersebut.
Jenis-jenis stent ureter:
• Stent ureter double J
Pemasangan stent ureter double-J digunakan agar tidak bergeser. Ujung
proksimal J akan terkait ke dalam kaliks inferior atau pelvis ginjal. Sedangkan
ujung distal J akan melengkung ke dalam kandung kemih. Lengkungan pada
stent tersebut mencegah pergseran stent ke atas atau ke bawah.
• Stent ureter double pigtail
Stent ureter jenis ini memiliki lengkungan beerbentuk seperti ekor babi (pigtail
coil) pada masing-masing ujungnya sehingga memungkinkan lengkung atas
pada pelvis ginjal dan lengkung bawah pada orivisium uretra. Lengkungan
tersebut mencegah gerakan stent /dan memungkinkan mobilisasi tubuh pasien
dengan lebih bebas.
Indikasi:
• Untuk mempertahankan aliran urin pada penderita obstruksi ureter (akibat
edema, striktur, fibrosis, malignitas lanjut).
• Memulihkan fungsi ginjal yang terganggu.
• Mengalihkan aliran urin.
• Mempertahankan caliber/patensi ureter sesudah pembedahan.
5. Kateter
Kateterisasi merupakan tindakan mengosongkan kandung kemih ketika urin tidak
dapat dieliminasi secara alami dan harus dikeluarkan. Namun, kateterisasi harus
dilakukan pada klien yang benar-benar memerlukan tindakan karena tindakan ini
sering menimbulkan infeksi pada traktus urinarius.
Indikasi:
7. • Untuk menentukan jumlah urin sisa dalam kandung kemih setelah pasien buang
air kecil.
• Untuk memintas suatu obstruksi
• Memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urin
• Menghasilkan drainase pascaoperative pada kandung kemih, daerah vagina,
prostat
• Mamantau pengeluaran urin setiap jam pada pasien yang sakit berat.
Prosedur pemasangan:
• Disinfeksi dengan povidon-iodin 10%
• Buat campuran jelly dengan lidokain 2%
• Masukkan campuran jelly lidokain
• Pegang kateter dengan tangan kanan, kemudian masukkan.
• Pasang kantong (bag) urin.
• Masukkan air 10 cc ke dalam balon kateter.
• Fiksasi selang kateter agar tidak mudah terlepas.
Pada pasien yang mengalami hidronefrosis dapat disebabkan oleh adanya
obstruksi pada sistem urinary bagian bawah seperti pada bagian uretra sehingga
pengeluaran urin dari kandung kemih terhambat sehingga terjadi retensi bladder.
Retensi bladder dalam jangka waktu panjang bisa menyebabkan tekanan balik
cairan urinaria ke ginjal dari kandung kemih yang dapat menyebabkan terjadinya
hidronefrosis. Jadi, untuk membuka atau mengatasi obstruksi yang menjadi awal
dari perjalanan komplikasi hidronefrosis dapat dilakukan kateterisasi. Hal tersebut
dilakukan dengan tujuan mengatasi retensi yang menekan bladder sehingga
terjadinya hidronefrosis.
Intervensi medis yang diberikan pada pasien yang terkena hidronefrosis sangan
penting dilakukan demi mencegah keparahan yang akan terjadi dan menyembuhkan
tanda dan gejala yang ada. Selain tindakan medis, pengobatan juga mempengaruhi
dalam proses perawatan. Farmakologi yang dapat diberikan pada klien dengan
gangguan tersebut meliputi:
1. Antiseptik Sistem Urinaria
8. Antiseptik ini bekerja langsung di tubulus ginjal dan vesika urinaria yang berfungsi
untuk mereduksi pertumbuhan bakteri yang disebabkan oleh infeksi pada sistem
urinaria. Bisanya obat jenis obat ini diberikan pada klien yang memiliki gangguan
infeksi bada bagian sistem urinaria. Obat jenis ini mencakup nitrofurantoin,
methenamine, trimethroprim dan fluoroquinolones.
Pada klien yang mengalami hidronefrosis dimana terjadi disuria menandakan
adanya infeksi pada saluran kemih (ISK). Pengobatan yang dapat dilakukan pada
penyakit dengan infeksi saluran kemih dapat diberikan antiseptik sistem urinaria
yang menyerang bakteri akibat infeksi tersebut.
• Nitrofurantoin (Macrodantin)
Obat ini diadsorbsi di sistem gastrointestinal yang didukung dengan makanan
yang dimakan. Waktu paruh yang diperlukan oleh obat ini bereaksi pada
sasaran adalah 20 menit dan diekskresikan melalui urin dan empedu. Efek
samping atau farmakodinamik dari obat ini dapat menyebabkan nyeri perut,
diare, pusing, demam, dan tidak nafsu makan.
• Mathamine
Methamine ini dikonsumsi dengan sulfodinamides. Mthamine juga
memberikan efek bakterisidal pada pH urin dibawah 5,5. Obat ini juga
diadsorbsi di sistem gastrointestinal. Dalam hal ini, methamine membentuk
ammonia dan formaldehid dalam urin yang asam sehingga dapat mendesak
aksi bakteri yang ada. Efek samping dari obat ini meliputi mual, muntah
(anoreksia), serta diare.
2. Analgesik Sistem Urinaria
Obat ini digunakan sebagai analgesik pada gangguan sistem urinaria. Indikasi
dari penggunaan analgesik ini digunakan pada seseorang dengan gangguan sistem
urinaria yang merasakan nyeri, rasa seperti terbakar, pengeluaran urin yang banyak
dan mendadak. Obat ini mencakup phenazopyridine hydrochloride (Pyridium). Efek
samping penggunaan ini meliputi anemia, gangguan pencernaan, nephrotoxicity,
dan hepatotoxicity.
Seperti yang ada dalam kasus hidronefrosis adalah adanya nyeri yang
ditimbulkan saat berkemih. Dalam hal ini, dapat diberikan analgesik sistem urinaria
untuk penanganan nyeri yang ditimbulkan.
9. 3. Stimulan Urinaria
Obat ini mempunyai efek yang sama dengan bethanechol chloride
(Urecholine) yang berfungsi untuk meningkatkan kontraksi bladder dengan
meningkatkan kontraksi otot detrusor yang mana dapat meningkatkan kontraksi
yang cukup untuk memicu urinasi terjadi. Indikasi dari pemakaian obat ini adalah
ketika blader mengalami penurunan fungsi atau kehilangan pemicu saraf pada
bladder itu yang menyebabkan disfungsi yang disebabkan lesi pada sistem saraf,
terjadinya jejas pada bagian tulang belakang. Obat ini dapat menyebabkan kejang
abdomen, mual, muntah, diare, kembung. Selain itu juga dapat menyebabkan pusing
atau bahkan pingsan terutama saat berdiri dari posisi duduk.
Pemicu ini dapat digunakan sebagai pemicu urinasi yang terjadi karena retensi
urin sehingga aliran urin bisa menjadi lancar sehingga dapat menurunkan
hidronfrosis yang terjadi akibat ketidakmampuan atau susahnya pengeluaran urin.
Daftar Pustaka:
Brunner & Sudarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol. 2.
Jakarta: EGC.
Doenges, Marilynn E, dkk. (2010). Nursing Care Plans, Ed. 8. USA: Davis Plus
Mitchell, Richard N. (2006). Buku Saku Patologis Penyakit Ed.7. trans: Andry
Hartono. Jakarta: EGC.
Timby, Barbara K, dkk. (1999). Introductory Medical Surgical Nursing 7th
Edition.
USA: Lippincott.
Kee. (2005). Pharmacology: A Patient-Centered Nursing Prosess Approach 8th
Edition.
Canada: Elsevier
Nugroho, Dimas, dkk. Percutaneous Nephrolithotomy. Diakses dari:
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/344/342
pada tanggal 16 Maret 2014 pukul 13.50 WIB.
Medkes. (2013). ESWL, Hancurkan Batu Ginjal Tanpa Operasi. Diakses dari:
http://www.medkes.com/2013/12/eswl-hancurkan-batu-ginjal-tanpa-
operasi.html pada tanggal 16 Maret 2014 pukul 14.19 WIB.
10. National Kidney Foundation. (2014). Hydronephrosis. Diakses dari:
http://www.kidney.org/atoz/content/hydronephrosis.cfm pada tanggal 16 Maret
2014 pukul 14.19 WIB.