Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas tentang faktor-faktor penyebab tingginya persentase desa siaga tidak aktif di Kabupaten Situbondo.
2. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor fasilitator, faktor masyarakat, dan pelaksanaan delapan indikator desa siaga.
3. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab rendahnya tingkat perkemb
dokumen.tips_pap-smear-ppt-final.pptx_iva pap smear
Faktor Tingginya Desa Siaga Tidak Aktif
1. Penyebab Tingginya Persentase Desa Siaga Tidak Aktif Di Kabupaten Situbondo
Shonafiri Janna Bidari
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya
E-mail: firiijb@gmail.com
ABSTRACT
Desa Siaga program is an effort to achieve Healthy Indonesia 2015 program.This program is successful
if 80% of villages have become desa siaga in 2015. In 2011, 58% of the villages in the Situbondo are still
included in the inactive desa siaga category. This research was conducted to identify factors that cause a high
percentage of inactive desa siaga, started from October 5th until December 5th 2012, using an observational
descriptive design with applying cross sectional approach. Interviews using a questionnaire conducted in 30
inactive desa siaga,with respondents consisting of30 facilitators and 30 cadres were using purposive sampling.
Independent variables were the facilitator factors include technical skill and motivation, cadre factors include
education level, technical skills, motivation, perception of distance and ease of transport and support from the
chief village and the implementation of the eight desa siaga indicators include forum villagers, primary health
care, community based health efforts, community-based surveilance, coaching PKM PONED, disaster alert
system, community-based health financing and environmental assessment based on PHBS. The result of this
research were facilitators factor and cadres factor were low and the implementations of eight indicators for desa
siaga was not in accordance with existing guidelines. The conclusion of this research was the technical ability,
education levels and motivation which are low, that can contribute to the desa siaga program not working
properly. Perception about distance traveled, and a difficult transport also affecting the performance of cadres.
The main causative factor was the lack of support from the chief village. There is no operational funds and lack of
infrastructure programs is also an obstacle factor.Advice that can be given is to provide training and socialization
to the facilitator and cadres and approaches to the village chief with across sectors activities and programs in
each of working areas.
Keywords : Desa Siaga indicator,Inactive Desa Siaga,Empowerment
LATAR BELAKANG
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1529/Menkes/SK/X/2010 telah menetapkan Visi
Pembangunan Kesehatan berupa Indonesia Sehat2015 yaitu ”Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan”
yang menggambarkan bahwa pada tahun 2015 bangsa Indonesia hidup dalam lingkungan yang sehat,
berperilaku hidup bersih dan sehat, serta mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil
2. dan merata sehingga memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu, diperlukan upaya
terobosan yang memiliki daya ungkit bagi meningkatnya derajat kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia.
Upaya untuk mendukung Visi Pembangunan Kesehatan tersebut,Departemen Kesehatan RI “Membuat
rakyat sehat” serta strategi “Menggerakan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat” berupaya untuk
memfasilitasi percepatan dan percapaian derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi seluruh penduduk
dengan mengembangkan kesiap-siagaan ditingkat desa yang disebut desa siaga. Sehubungan dengan itu
Departemen Kesehatan telah menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
564/Menkes/SK/VIII/2006 tanggal 02 Agustus 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga.
Berkaitan dengan strategi tersebut,sasaran terpenting yang ingin dicapai adalah pada akhir tahun 2015, seluruh
desa telah menjadi desa siaga.
Desa siaga merupakan gambaran masyarakat yang sadar, mau, dan mampu untuk mencegah dan
mengatasi berbagai ancaman terhadap kesehatan masyarakatdengan memanfaatkan potensi setempat secara
gotong royong. Pengembangan desa siaga mencakup upaya untuk lebih mendekatkan pelayanan kesehatan
dasar kepada masyarakat desa, menyiapsiagakan masyarakat menghadapi munculnya masalah kesehatan,
memandirikan masyarakat dalam mengembangkan perilaku hidup bersih dan sehat. Inti kegiatan desa siaga
adalah agar masyarakattahu,mau dan mampu untuk hidup sehat. Oleh karena itu dalam pengembangan d esa
siaga diperlukan langkah-langkah edukatif berupa upaya mendampingi (memfasilitasi) masyarakat untuk
menjalani proses pembelajaran yang berupa proses pemecahan masalah kesehatan yang dihadapinya. Desa
siaga yang berkembang atau desa siaga aktif adalah desa yang sudah memenuhi indikator input desa siaga
yaitu desa yang sudah mempunyai minimal satu Pos Kesehatan Desa, sudah ada satu bidan desa dan dua
kader aktif yang dibina Puskesmas serta sudah menjalankan indikator process desa siaga seperti menjalankan
fungsi FMD (Forum Masyarakat Desa), memfungsikan UKBM Poskesdes dan dibina Puskesmas PONED.
Program desa siaga merupakan program nasional,dimana sasaran utamanya masyarakat di Indonesia
dan target pencapaiannya adalah pada tahun 2015 seluruh desa di Indonesia, sekurang-kurangnya 80% dari
jumlah keseluruhan desa telah menjadi desa siaga.Begitu juga di Jawa Timur, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa
Timur menyatakan dalam buku Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga Jawa Timur tahun 2006
bahwa pada tahun 2010 seluruh desa di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur harus sudah menjadi desa siaga dan
60% jumlah desa siaga telah menjadi desa siaga aktif. Pada tahun 2011 seluruh desa di Kabupaten Situbondo
yang berjumlah 136 desa telah menjadi desa siaga, namun perkembangannya masih rendah yaitu hanya 58
desa siaga yang telah menjadi desa siaga aktif, atau sebesar 43% dan sebanyak 78 desa atau 57% masih
merupakan desa siaga tidak aktif. Persentase tersebut masih belum mencukupi dari target p encapaian desa
siaga aktif tahun 2011 sebesar 60%.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah yang telah dibuat, maka rum usan
masalah yang diteliti adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana faktor fasilitator meliputi tingkat pendidikan, kemampuan teknis dan motivasi kerja dalam
menjalankan program pelaksanaan desa siaga di Kabupaten Situbondo?
2. Bagaimana faktor masyarakat meliputi tingkat pendidikan kader, kemampuan teknis kader, motivasi kerja
kader, dukungan dari Kepala Desa, persepsi kader mengenai jarak tempuh dan kemudahan transportasi
dalam menjalankan program pelaksanaan desa siaga di Kabupaten Situbondo?
3. Bagaimana pelaksanaan desa siaga dengan indikator Forum Masyarakat Desa, Pelayanan Kesehatan
Dasar, Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat, Surveilans Berbasis Masyarakat, Pembinaan
Puskesmas PONED, Sistem Siaga Bencana, Pembiayaan Kesehatan Berbasis Masyarakat, Pengkajian
Lingkungan Sehat Ber-PHBS di Kabupaten Situbondo?
4. Apakah faktor fasilitator, faktor masyarakat dan pelaksanaan 8 indikator desa siaga menjadi penyebab
tingginya persentase desa siaga tidak aktif di Kabupaten Situbondo?
Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Mengidentifikasi faktor penyebab tingginya persentase desa siaga tidak aktif di Kabupaten Situbondo
Tahun 2011
b. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi faktor fasilitator meliputi tingkat pendidikan, kemampuan teknis dan motivasi kerja dalam
menjalankan program pelaksanaan desa siaga di Kabupaten Situbondo.
2. Mengidentifikasi faktor masyarakat meliputi tingkat pendidikan kader, kemampuan teknis kader, motivasi
kerja kader, dukungan dari Kepala Desa, persepsi kader mengenai jarak tempuh dan kemudahan
transportasi dalam menjalankan program pelaksanaan desa siaga di Kabupaten Situbondo.
3. Mengidentifikasi pelaksanaan desa siaga dengan indikator Forum Masyarakat Desa, Pelayanan Kesehatan
Dasar, Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat, Surveilans Berbasis Masyarakat, Pembinaan
Puskesmas PONED, Sistem Siaga Bencana, Pembiayaan Kesehatan Berbas is Masyarakat, Pengkajian
Lingkungan Sehat Ber-PHBS di Kabupaten Situbondo.
4. Mengidentifikasi faktor fasilitator, faktor masyarakat dan pelaksanaan 8 indikator desa siaga sebagai
penyebab tingginya persentase desa siaga tidak aktif di Kabupaten Situbondo.
4. Manfaat Penelitian
Dari penelitian yang telah dilakukan, manfaat yang diharapkan antara lain:
1. Bagi Peneliti
Memperoleh tambahan pengetahuan, wawasan dan pengalaman mengenai pedoman pelaksanaan
program desa siaga beserta faktor yang menghambat perkembangan desa siaga khususnya di Kabupaten
Situbondo.
2. Bagi Instansi Terkait
a. Sebagai bahan usulan dan bahan pertimbangan dalam evaluasi pelaksanaan desa siaga.
b. Sebagai bahan masukan dalam pengambilan keputusan tentang program atau intervensi yang tepat untuk
mengatasi masalah rendahnya tingkat perkembangan desa siaga.
3. Bagi Fakultas
Sebagai bahan kajian ilmiah dan tambahan informasi di bidang Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan
Kesehatan untuk pendidikan dan pengajaran bagi mahasiswa. Selain itu diharapkan hasil penelitian ini dapat
menjadi referensi bagi peneliti yeng berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
PUSTAKA
Desa siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumberdaya dan kemampuan serta
kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan
kesehatan, secara mandiri.
Desa siaga merupakan program pemerintah Indonesia untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2015.
Pengembangan desa siaga perlu dilaksanakan karena desa merupakan basis bagi kesehatan masyarakat
Indonesia. Desa yang dimaksud dalam desa siaga adalah kelurahan atau istilah lain bagi kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakatsetempatyang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia (Dinkes Propinsi
Jawa Timur, 2008).
Tujuan Desa Siaga
Program desa siaga memiliki beberapa tujuan, menurut Dinkes (2008), tujuan dari pembentukan
program desa siaga adalah terwujudnya desa dengan masyarakat yang sehat, peduli, dan tanggap terhadap
masalah-masalah kesehatan, bencana, dan kegawatdaruratan di desanya. Tujuan khususnya adalah:
1. Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat desa tentang pentingnya kesehatan dan
melaksanakan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat)
2. Meningkatnya kemampuan dan kemauan masyarakat desa untuk m enolong dirinya sendiri di bidang
kesehatan.
5. 3. Meningkatnya kesehatan di lingkungan desa.
4. Meningkatnya kesiagaan dan kesiapsediaan masyarakat desa terhadap risiko dan bahaya yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan (bencana, wabah penyakit, dan sebagainya).
Landasan Hukum
Landasan hukum yang terkait dengan desa siaga menurut Dinkes (2008), adalah:
1. UU No.12 Tahun 1992 tantang kesehatan
2. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.547/Menkkes/SK/IV/2000 tahun 2000 tentang Pembangunan
Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.131/Menkes/SK/II/2004 tahun 2004 tentang Sistem Kesehatan
Nasional
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.564/Menkes/SK/VIII/2006 tentang pedoman pelaksanaan
pengembangan desa siaga
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1529/Menkes/SK/X/2010 tentang pedoman umum pengembangan
desa dan kelurahan siaga aktif
Sasaran Pengembangan Desa Siaga
Sasaran desa siaga merupakan faktor utama dalam keberhasilan program desa siaga, karena sasaran
pengembanagan desa siaga juga merupakan pelaku program. Menurut Depkes RI (2007), sasaran desa siaga
dibedakan menjadi tiga jenis untuk mempermudah strategi intervensi, yaitu :
1. Semua individu dan keluarga di desa,yang diharapkan mampu melaksanakan hidup sehat,serta peduli dan
tanggap terhadap permasalahan kesehatan di wilayah desanya.
2. Pihak-pihak yang mempunyai pengaruh terhadap perubahan perilaku individu dan keluarga atau dapat
menciptakan iklim yang kondusif bagi perubahan perilaku tersebut, seperti tokoh masyarakat, termasuk
tokoh agama, tokoh perempuan dan pemuda, kader, serta petugas kesehatan.
3. Pihak-pihak yang diharapkan memberi dukungan kebijakan,peraturan perundang-undangan, dana, tenaga,
sarana,dan lain-lain seperti Kepala Desa,Camat,para pejabatterkait, swasta,para donatur,dan pemangku
kepentingan lainnya.
Tahapan dan Kriteria Desa Siaga
Agar sebuah desa menjadi desa siaga maka desa tersebut harus memiliki forum desa atau lembaga
kemasyarakatan yang aktif dan adanya sarana atau akses pelayanan kesehatan dasar. Menurut Dinas
Kesehatan Propinsi Jawa Timur (2007) yang menyebutkan dalam tahapan pengembangan, desa siaga akan
6. meningkatdengan membagi menjadi empatkriteria desa siaga yaitu tahap bina, tahap tumbuh, tahap kembang
dan tahap paripurna.
Sedangkan kriteria yang harus ada dalam sebuah desa sehingga desa tersebut dapat disebut desa
siaga menurut Depkes RI (2011) antara lain forum masyarakat desa, pelayanan kesehatan dasar, upaya
kesehatan bersumberdaya masyarakat, surveilans berbasis masyarakat, pembinaan Puskesmas PONED,
system siaga bencana, pembiayaan berbasis masyarakat dan pengkajian lingkungan sehat ber-PHBS.
Indikator Keberhasilan Desa Siaga
Menurut Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur (2007),keberhasilan upaya pengembangan desa siaga
dapat dilihat dari empat kelompok indikator yaitu:
1. Indikator Input
Indikator input atau masukan adalah indikator untuk mengukur seberapa besar masukan telah diberikan
dalam rangka pengembangan desa siaga. Indikator masukan terdiri atas beberapa hal berikut :
a. Ada atau tidak Forum Masyarakat Desa.
b. Ada atau tidak sarana pelayanan kesehatan serta perlengkapan dan peralatannya.
c. Ada atau tidak UKBM yang dibutuhkan masyarakat.
d. Ada atau tidak tenaga kesehatan (minimal satu bidan).
e. Ada atau tidak kader aktif (minimal dua kader aktif).
f. Ada atau tidak sarana bangunan atau Poskesdes sebagai pusat pemberdayaan masyarakat bidang
kesehatan.
g. Ada atau tidak alat komunikasi yang lazim dipakai masyarakat yang dimanfaatkan untuk mendukung
penggerakan surveilans berbasis masyarakat misal: kentongan, bedug.
2. Indikator Process
Indikator process adalah indikator untk mengukur seberapa aktif upaya yang dilaksanakan di suatu
desa dalam rangka pengembangan desa siaga. Indikator proses terdiri atas beberapa hal sebagai berikut :
a. Frekuensi pertemuan Forum Masyarakat Desa.
b. Berfungsi atau tidak Pelayanan Kesehatan Dasar.
c. Berfungsi atau tidak UKBM yang ada.
d. Ada atau tidak pembinaan dari Puskesmas PONED.
e. Berfungsi atau tidak sistem kegawatdaruratan dan penanggulangan kegawatdaruratan dan bencana.
f. Berfungsi atau tidak sistem surveilans berbasis masyarakat.
g. Ada atau tidak sistem pembiayaan berbasis masyarakat.
h. Berjalan atau tidak pelaksanaan pengkajian lingkungan sehat ber-PHBS.
7. 3. Indikator Output
Indikator output atau keluaran adalah indikator untuk mengukur seberapa besar hasil kegiatan yang
dicapai di suatu desa dalam rangka pengembangan desa siaga. Indikator keluaran terdiri atas hal berikut :
a. Cakupan pelayanan kesehatan dasar (terutama KIA).
b. Cakupan pelayanan UKBM.
c. Jumlah kasus kegawatdaruratan dan KLB yang ada dan yang dilaporkan.
d. Cakupan rumah tangga yang mendapat kunjungan rumah untuk Kadarzi dan PHBS.
e. Tertanganinya masalah kesehatan dengan respon cepat.
4. Indikator Outcome
Indikator outcome atau dampak adalah indikator untuk mengukur seberapa besar dampak dari hasil
kegiatan desa dalam rangka pengembangan desa siaga. Indikator dampak terdiri dari beberapa hal berikut:
a. Jumlah penduduk yang menderita sakit.
b. Jumlah ibu melahirkan yang meninggal dunia.
c. Jumlah bayi dan balita yang meninggal dunia.
d. Jumlah balita dengan gizi buruk.
e. Tidak terjadinya KLB penyakit.
f. Respon cepat masalah kesehatan.
Srategi Promosi Kesehatan
Menurut Notoatmodjo (2007), untuk menunjang visi dan misi program desa siaga, diperlukan
pendekatan yang strategis agar tercapai secara efektif dan efisien. Cara ini sering disebut strategi. Jadi strategi
adalah cara untuk mencapai atau mewujudkan visi dan misi promosi kesehatan secara efektif dan efisien. Teori
yang akin digunakan disini adalah teori strategi global menurut WHO 1984, antara lain:
a. Advokasi (Advocacy)
Kegiatan yang ditujukan kepada pembuat keputusan (decision maker) atau penentu kebijakan (policy
makers) baik di bidang kesehatan maupun di sektor lain di luar kesehatan, yang mempunyai pengaruhm
terhadap publik. Tujuannya adalah agar para pembuat keputusan mengeluarkan kebijakan, antara lain dalam
bentuk peraturan, undang-undang, instruksi dan sebagainnya yang menguntungakn kesehatan publik. Bentuk
kegiatan advokasi ini antara lain lobying, pendekatan atau pembicaraan formal atau informal terhadap para
pembuat keputusan, penyajian isu atau masalah kesehatan atau yang mempengaruhi kesehatan masyarakat
setempat, seminar masalah kesehatan dan sebagainya.
Output kegiatan advokasi adalah undang-undang, peraturan daerah, instruksi yang mengikat
masyarakatdan instansi yang terkaitdengan masalah kesehatan.Oleh sebab itu,sasaran advokasi adalah para
8. pejabat eksekutif dan legislatif, para pemimpin dan pengusaha, serta organisasi politik dan organisasi
masyarakat, baik tingkat pusat, propinsi, kabupaten, kecamatan maupun desa atau kelurahan.
b. Dukungan Sosial (Social Support)
Kegiatan yang ditujukan kepada para tokoh masyarakat, baik formal (guru, lurah, camat, petugas
kesehatan) maupun informal (misalnya tokoh agama) yang mempunyai pengaruh di masyarakat. Tujuan
kegiatan ini adalah agar kegiatan atau program kesehatan tersebut memperoleh dukungan dari para tokoh
masyarakatdan tokoh agama.Selanjutnya tokoh masyarakatdan tokoh agama diharapkan dapatmenjembatani
antara pengelola program kesehatan dengan masyarakat.
Pada masyarakatyang masih paternalistic seperti di Indonesia ini, tokoh masyarakat dan tokoh agama
merupakan panutan perilaku masyarakat yang sangat signifikan. Oleh sebab itu apabila tokoh masyarakat dan
tokoh agama sudah mempunyai perilaku sehat,semakin mudah ditiru oleh anggota masyarakat lain (Depkes RI,
2007).Bentuk kegiatan mencari dukungan sosial ini antara lain pemberian pelatihan tokoh masyarakatdan tokoh
agama, seminar, lokakarya, penyuluhan.
c. Pemberdayaan Masyarakat (Empowerment)
Pemberdayaan ini ditujukan kepada masyarakatlangsung sebagai sasaran primer atau utama promosi
kesehatan. Tujuannya adalah agar masyarakat memiliki kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan
kesehatan mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat ini dapat diwujudkan dengan berbagai kegiatan, antara
lain penyuluhan kesehatan,pengorganisasian dan pembangunan masyarakat dalam bentuk misalnya Koperasi
dan pelatihan keterampilan dalam rangka peningkatan pendapatan keluarga (menjahit, pertukangan misalnya).
Melalui kegiatan tersebut diharapkan masyarakat memiliki kemampuan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan mereka sendiri (self relince in health). Oleh karena bentuk kegiatan pemberdayaan masyarakat ini
lebih pada kegiatan penggerakan masyarakat untuk kesehatan, misalnya adanya dana sehat, pos obat desa,
gotong royong kesehatan, maka kegiatan ini sering disebut gerakan masyarakat untuk kesehatan. Meskipun
demikian, tidak semua pemberdayaan masyarakat itu berupa kegiatan gerakan masyarakat.
Teori Pemberian Kompensasi
Suatu cara untuk meningkatkan prestasi kerja, motivasi dan kepuasan kerja karyawan adalah melalu i
kompensasi. Kompensasi adalah segala sesuatu yag diterima para karyawan sebagai balas jasa untuk kerja
mereka (Supriyanto, 2003).
Tujuan administrasi kompensasi adalah:
1. Memperoleh personalian yang qualified
2. Mempertahankan para karyawan yang ada sekarang
3. Menjamin keadilan
4. Menghargai perilaku yang diinginkan
9. 5. Mengendalikan biaya-biaya
6. Memenuhi peraturan-peraturan legal
Teori Belajar Skinner
Teori Operant Conditioning dari skinner adalah teori yang bisa diaplikasikan dengan mudah dalam
kehidupan sehari-hari,ciri khas teori Skinner adalah adanya Positive Reinforcement dan Negative Reinforcement
(Skinner, 1938).
1. Positive Reinforcement (Reward): Cara untuk memperkuat suatu perilaku atau menghambat perilaku
dengan cara memberikan sesuatu yang menyenangkan bagi subyek segera setelah perilaku itu muncul.
Contoh: Apabila ada petugas kesehatan yang tidak mau mengikuti pelatihan, maka kantor harus
mendelegasikan (mewajibkan) untuk mengikuti pelatihan yang sesuai dengan tupokjanya dengan pemberian
imbalan setiap selesai mengikuti pelatihan.Dengan harapan bahwa petugas kesehatan akan terbiasa atau
terpicu untuk meningkatkan kemampuan dengan mengikuti pelatihan.
2. Negative Reinforcement (Punishment): Cara untuk memperkuatsuatu perilaku atau menghambatperilaku
dengan cara mencabut sumber ketidaknyamanan atau ketegangan subjek setiap kali perilaku itu muncul.
Contoh:Seorang petugas kesehatan sering dating terlambat atau alpa dating ke kantor, maka perlu dibuat
kebijakan bahwa setiap terlambat lebih dari tiga kali atau alpa tanpa keterangan lebih dari dua kali maka
intensiftambahan isal untuk lembur atau tunjangan lauk pauk tidak diberikan. Dengan harapan bahwa lain
kali petugas tersebut kan dating tepat waktu dan tidak alpa.
METODE
Berdasarkan jenisnya, penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif observasional karena peneliti
tidak memberikan perlakuan terhadap variabel yang diteliti, tetapi hanya melakukan wawancara dengan
menggunakan kuesioner kepada sampel dan melihat dokumen desa siaga sebagai alat pengumpulan data.
Sedangkan rancang bangun penelitian ini bersifat cross sectional karena penelitian dilakukan pada saatitu untuk
meneliti keadaan pada saat itu juga.
Populasi penelitian ini adalah semua fasilitator dalam hal ini adalah tenaga kesehatan
(bidan/perawat/tenaga kesehatan) dan kader desa siaga di Kabupaten Situbondo.Jumlah seluruh desa siaga di
Kabupaten Situbondo adalah 136 desa dengan jumlah fasilitator sebanyak 136 orang, dan jumlah kader desa
siaga sebanyak 543 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah kelompok desa siaga tidak aktif, yaitu sebanyak
78 desa siaga tidak aktif dari total 136 desa siaga dan 17 kecamatan di Kabupaten Situbondo tahun 2011.
Pengambilan sampel dalam kelompok desa siaga tidak aktif dilakukan secara purposive dengan
memperhatikan kriteria tertentu yang telah dibuat peneliti terhadap objek yang sesuai dengan tujuan penelitian.
Kriteria desa siaga yang dijadikan sampel adalah :
10. 1. Kecamatan dengan jumlah desa siaga aktif yang paling rendah atau sebesar 0%.
2. Kecamatan dengan jumlah desa siaga aktif rendah atau sebesar 0.7% dengan wilayah sulit dijangkau.
Responden untuk instrumen kuesioner adalah fasilitator dan kader desa siaga. Dalam penelitian ini
telah ditetapkan jumlah responden adalah satu orang fasilitator dan satu orang kader desa siaga tidak aktif.
Jumlah kader desa siaga di Kabupaten Situbondo tidak sama dalam setiap desa, pengambilan satu orang
sampel untuk kader ini dipilih kader yang pada saat penelitian sedang bertugas di Poskesdes.
Setelah diketahui teknik pengambilan sampel, maka kemudian diukur besar sampelnya
Instrumen yang dipergunakan untuk penelitian ini adalah berupa kuesioner. Sedangkan pengumpulan
data diperoleh melalui:
1. Data primer yaitu diperoleh dengan memberikan kuesioner kepada kader desa siaga dan fasilitator desa
siaga pada sampel desa siaga tidak aktif mengenai pelaksanaan delapan indikator desa siaga dan faktor
yang mempengaruhi tingginya persentase desa siaga tidak aktif di wilayah Kabupaten Situb ondo.
2. Data sekunder yaitu diperoleh dari dokumen desa siaga di Poskesdes tentang desa siaga tahun 2011 di
wilayah Kabupaten Situbondo.
Data yang diperoleh melalui pengumpulan data,diteliti dan dikoreksi kebenarannya (cleaning data), bila
masih ada yang belum lengkap,maka dilengkapi dengan cara mendatangi kembali sampel yang bersangkutan.
Kemudian data diolah dengan komputer menggunakan program SPSS 11.5 menggunakan tabulasi silang dan
analisis tabel frekuensi untuk mengetahui faktor yang menyebabkan delapan indikator desa siaga tidak berjalan
optimal dan disajikan dalam bentuk tabel serta narasi. Kemudian hasilnya dianalisis secara deskriptif untuk
menggambarkan faktor yang menyebabkan tingginya persentase desa siaga tidak aktif di kabupaten Situbondo.
Setelah diketahui variabel mana saja yang menjadi faktor penyebab, variabel dikelompokkan lagi
menjadi faktor penyebab utama (dominan) dan faktor penyebab lain.Kriteria yang digunakan dalam menentukan
faktor penyebab utama adalah variabel dengan kategori rendah/buruk yang paling banyak muncul menjadi faktor
penyebab atau variabel dengan persentase paling tinggi sebagai penyebab pelaksanaan 8 indikator desa siaga
tidak berjalan.Cara menghitung persentase paling tinggi pada variabel adalah dengan menjumlah kan seluruh
persentase variabel dengan kategori rendah. Hasil akhir variabel dengan persentase paling tinggi merupakan
faktor penyebab utama tingginya persentase desa siaga tidak aktif di Kabupaten Situbondo.
Desa siaga tidakaktif
Kec.amatandenganjumlah desa siaga aktif
0%
Sumber Malang:9 Desa
Kendit: 7 Desa
Kecamatandenganjumlah desa siaga aktif
0,7% dengan wilayah susahdi jangkau
Mlandingan:7 Desa
Jatibanteng:7 Desa
11. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tabel 1 Hasil Analisis Variabel Yang Menyebabkan Tingginya Persentase Desa Siaga Tidak Aktif Di Kabupaten
Situbondo
Variabel
Penyebab Tingginya Persentase Desa Siaga Tidak Aktif
Iya Tidak
Tingkat Pendidikan Fasilitator - √
Kemampuan Fasilitator √ -
Motvasi Kerja Fasilitator - √
Tingkat Pendidikan Kader √ -
Kemampuan Kader √ -
Motivasi Kerja Kader √ -
Dukungan Kepala Desa √ -
FMD √ -
Yankesdas - √
UKBM √ -
Surveilans Berbasis Masyarakat √ -
Pembinaan Puskesmas PONED √ -
Sistem Siaga Bencana √ -
Pembiayaan Berbasis Masy. √ -
Pengkajian Lingk. Sehat Ber-PHBS √ -
Dapat dilihat pada tabel 1 bahwa ada 12 faktor yang menjadi penyebab program desa siaga tidak
berjalan dan ada 3 faktor yang bukan menjadi penyebab desa siaga termasuk ke dalam kategori desa siaga tidak
aktif. Faktor penyebab adalah kemampuan fasilitator, tingkat pendidikan kader, kemampuan teknis kader,
motivasi kerja kader, persepsi kader mengenai jarak tempuh menuju Poskesdes, persepsi kader mengenai
kemudahan transport menuju Poskesdes, forum masyarakat desa, upaya kesehatan berbasis masyarakat,
sistem siaga bencana, pembinaan oleh Puskesmas PONED, pembiayaan berbasis masyarakat, surveilans
berbasis masyarakat dan pengkajian lingkungan sehat ber-PHBS.
Faktor yang bukan menjadi penyebab program desa siaga tidak berhasil adalah tingkat pendidikan
fasilitator,motivasi kerja fasilitator dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dasar oleh masysrakat.Dimana hal itu
dikarenakan 3 faktor tersebut ternyata menunjukkan tingkatan yang baik pada hasil penelitian.
Pembahasan
Dari hasil penelitian diketahui bahwa tingkat pendidikan yang pada fasilitator adalah sesuai dengan
kriteria minimal yang telah ditentukan Dinas Kesehatan sedangkan tingkat pendidikan kader adalah rendah, hal
ini dapat mempengaruhi pelaksanaan dan keberhasilan program desa siaga. Tingkat pendidikan dapat
mempengaruhi penggunaan fasilitas kesehatan.Seperti yang telah dikemukakan Gesler (1988) pendidikan lebih
tinggi akan mempunyai informasi tentang kesehatan yang lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan rendah.
Kemampuan teknis fasilitator dan kader termasuk dalam kategori rendah, hal ini mempengaruhi
pelaksanaan program desa siaga. Kemampuan teknis fasilitator dapat diperoleh melalui keikutsertaan dalam
suatu pendidikan atau pelatihan. Pendidikan dan pelatihan merupakan pemberian bantuan kepada kesehatan
agar dapat berkembang ke tingkat kecerdasan pengetahuan dan kemampuan lebih tinggi (Manullang, 2000).
12. Menurut Azwar (1996), motivasi adalah upaya untuk menimbulkan rangsangan, dorongan dan atau
pembangkit tenaga pada seseorang dan ataupun sekelompok masyarakat mau berbuat dan bekerja sama
secara cepatmelaksanakan sesuatu yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dari
hasil pene;itian diketahui motivasi kader adalah rendah, sedangkan motivasi fasilitator sudah tinggi. Walaupun
lebih dari setengah jumlah sampel memiliki motivasi kerja yang tinggi,hal ini tidak berdampak pada keberhasilan
program, persentase desa siaga tidak aktif di Kabupaten Situbondo masih tinggi.
Dalam penelitiannya, Supriyanto (2002) mengatakan makin jauh jarak tempat tinggal penduduk dari
Puskesmas makin sedikit jumlah yang berkunjung ke Puskesmas dan bahwa kemudahan transportasi akan
mempengaruhi besar kecilnya jumlah kunjungan ke Puskesmas Supriyanto (2002).Pendapatini sejalan dengan
hasil penelitian, bahwa jarak tempuh yang jauh dan sulitnya transportasi menuju ke Poskesdes menyebabkan
kader tidak menjalankan tugas di Poskesdes setiap hari.
Dukungan merupakan faktor eksternal dari diri petugas yang berperan penting mendukung pencapaian
keberhasilan suatu program. Dalam hal ini adalah dukungan dari Kepala Desa sebagai penentu kebijakan
tertinggi di desa,dimana Kepala Desa merupakan pemegang peranan penting dalam menggerakkan masyarakat
sebagai sasaran sekaligus pelaku program desa siaga. Sejalan dengan hasil penelitian ini bahwa tidak adanya
dukungan dari pemegang jabatan tertinggi merupakan penyebab utama program tidak berhasil.
SIMPULAN
Pada faktor fasilitator, hanya kemampuan teknis fasilitator yang merupakan faktor penyebab.
Sedangkan pada faktor masyarakat, semua variabel merupakan faktor penyebab yaitu variabel kemampuan
teknis kader, motivasi kerja kader, tingkat pendidikan kader, persepsi kader mengenai jara k tempuh menuju
Poskesdes,persepsi kader mengenai kemudahan transportasi menuju Poskesdes serta dukungan Kepala Desa.
Pada faktor pelaksanaan 8 indikator desa siaga, 7 indikator merupakan faktor penyebab yaitu
pelaksanaan FMD, UKBM, Surveilans Berbasis Masyarakat (SBM), sistem siaga bencana, pembinaan oleh
Puskesmas PONED,pembiayaan kesehatan berbasis masyarakatdan pengkajian lingkungan sehat ber-PHBS.
Dari analisis dan perhitungan seluruh variabel yang menjadi faktor penyebab, maka diperoleh
kesimpulan bahwa faktor penyebab utama tingginya persentase desa siaga tidak aktif di Kabupaten Sitobondo
adalah kemampuan kader yang rendah dan tidak adanya dukungan kepala desa. Saran yang dapat diberikan
adalah, pemberian pelatihan dan sosialisasi yang kemudian diadakan pre-test dan post-test untuk tingkat
kemampuan kader,yang kedua adalah bekerjasama dengan pihak luar untuk pemberian pendampingan purna
waktu bagi pengembang desa siaga,pendampingan dan monitoring evaluasi bisa dari Sarjana Kesehatan ya ng
telah dilatih.
13. DAFTAR PUSTAKA
Dinkes., Jawa Timur, (2007). Pedoman Pengembangan Desa Siaga. Dinkes Jawa Timur. Surabaya.
Dinkes., Jawa Timur, (2008). Buku Pedoman Pengembangan Desa Siaga Bagi Kader. Surabaya; Program
Promkes Subdin PSD.
Depkes., R.I., (2007). Buku Paket Pelatihan Kader Kesehatan dan Tokoh Masyarakat dalam Pengembangan
Desa Siaga. Depkes R.I. Jakarta.
Depkes., R.I., (2006). Buku Saku Bidan Poskesdes Untuk Mewujudkan Desa Siaga. Depkes R.I. Jakarta.
Depkes., R.I., (2007). Kurikulum dan Modul Pelatihan Kader Kesehatan dan Tokoh Masyarakat dalam
Pengembangan Desa Siaga. Depkes R.I. Jakarta.
Depkes., R.I., (2007). Kurikulum dan Modul Pelatihan Bidan Poskesdes dalam Pengembangan Desa Siaga.
Depkes R.I. Jakarta.
Depkes., R.I., (2008). Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Puskesmas. Depkes R.I. Jakarta.
Depkes, R.I., (2007). Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga. Depkes R.I. Jakarta.
Farich, Achmad. (2011). Elearning: Desa Siaga Aktif. Retrieved from
http://afaelearning.blogspot.com/2013/05/elearning-desakelurahan-siaga-aktif-mhs.html
Fauzi, Muchamad, (2009). Metode Penelitian Kuantitatif. Walinsongo Press. Semarang.
Gesler,WM., (1988). Location and Population Factor In Health Seeking.Health service Reasearch. Vol. 23 No. 3
Agustus. 1988.
Kotler, P., (2002). Manajemen Pemasaran Edisi Milenium. Buku satu PT Prehallindo. Jakarta.
Manullang, M., (2000). Manajemen Personal. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Notoadmodjo, S., (1995). Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Andi Offset.
Yogyakarta.
Notoatmodjo, S., (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta.
Omika, Hefri. (2013). Struktur Sosial. Retrieved from http://infosos.wordpress.com/kelas-xi-ips/struktur-sosial
Purnomo,W. Handoutdan Bahan Kuliah Statistika dan Statistika Manajemen. Surabaya; Universitas Airlangga.
Riyanto, Agus, (2011). Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Nuha Medika. Yogyakarta.
Santjaka, Aris, (2011). Statistik untuk Penelitian Kesehatan 2. Nuha Medika. Yogyakarta.
Santoso, S., (2003). SPSS Versi 10 Mengolah Data Statistik Secara Profesional. PT Elex Media Komputindo.
Jakarta.
Supangat, Andri, (2008). Statistika: Dalam Kajian Deskriptif, Inferensi, dan Nonparametrik. Kencana Prenada
Media Group. Jakarta.
Supriyanto, S., (2002). Metodologi Penelitian Administrasi. CV ALFABETA. Bandung.
Supriyanto, S., (2003).Manajemen Pemasaran Jasa Pelayanan Kesehatan.Surabaya:FKM Unair.