aksi nyata - aksi nyata refleksi diri dalam menyikapi murid.pdf
Pendidikan karakter dalam mengubah perilaku hukum
1. PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM MENGUBAH PERILAKU HUKUM MAHASISWA
Oleh:
Yusrianto Kadir
PENDAHULUAN
Karakter adalah sifat yang di bawa oleh tiap individu, yang setiap orang
memiliki karakter masing-masing. Pengertian karakter lebih mengarah pada moral
dan budi pekerti seseorang, tentunya yang bersifat positf. Karakter seorang individu
terbentuk sejak dia kecil karena pengaruh genetik dan lingkungan sekitar. Proses
pembentukan karakter, baik disadari maupun tidak, akan mempengaruhi cara
individu tersebut memandang diri dan lingkungannya dan akan tercermin dalam
perilakunya sehari-hari. Universitas sebagai lembaga pendidikan tinggi adalah salah
satu sumber daya yang penting.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan
yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.
Jadi bagi mahasiswa, sangat penting untuk mendapatkan pendidikan karakter, hal
ini bertujuan untuk memperkuat akhlak dan sifat terpuji bagi peserta didik (dalam hal
ini mahasiswa). Karena kepandaian di bidang pendidikan saja belum cukup tanpa
bekal moral dan karakter yang kuat. Agar saat mahasiswa terjun di masyarakat nanti
tidak terjadi penyalahgunaan ilmu yang di pelajari selama sekolah.
Seperti kita lihat sekarang ini, dimana orang-orang pandai malah
menyalahgunakan kepandaiannya untuk melakukan tindak pidana seperti korupsi
atau menjadi teroris. Kalau saja mereka memiliki karakter dan budi pekerti yang
kuat, tentu hal itu tidak akan terjadi. Jadi untuk alasan kebaikanlah maka perlu di
tekankan pentingnya pendidikan karakter bagi mahasiswa. Oleh karena itu kita
harus merubah karakter kita menjadi karakter sukses. Karakter sukses adalah
bekerja keras untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan, tidak pernah mengeluh
apapun resikonya yang kita hadapi. Karena untuk beberapa tahun kedepan yang
dibutuhkan adalah orang-orang yang memiliki karakter yang baik.
2. Secara akademis, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai,
pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, atau pendidikan akhlak
yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan
keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu
dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Pendidikan karakter sebagai satu
konsep pendidikan yang menanamkan budi pekerti yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), serta tindakan (action) merupakan
suatu solusi untuk memperbaiki karakter dan moral bangsa. Secara praktis,
pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai kebaikan kepada
warga sekolah atau kampus yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik dalam
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, sesama manusia, lingkungan,
maupun nusa dan bangsa sehingga menjadi manusia yang seutuhnya.
Keinginan menjadi bangsa yang demokratis, bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN), menghargai dan taat hukum adalah beberapa karakter bangsa
yang diinginkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Namun, kenyataan yang ada justeru menunjukkan fenomena yang sebaliknya.
Konflik horizontal dan vertikal yang ditandai dengan kekerasan dan kerusuhan
muncul di mana-mana, diiringi mengentalnya semangat kedaerahan dan
primordialisme yang bisa mengancam instegrasi bangsa; praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme tidak semakin surut malahan semakin berkembang; demokrasi penuh
etika yang didambakan berubah menjadi demokrasi yang kebablasan dan menjurus
pada anarkisme; kesantuan sosial dan politik semakin memudar pada berbagai
tataran kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; kecerdasan
kehidupan bangsa yang dimanatkan para pendiri negara semain tidak tampak,
semuanya itu menunjukkan lunturnya nilai-nilai luhur bangsa.
Di kalangan pelajar dan mahasiswa dekadensi moral ini tidak kalah
memprihatinkan. Perilaku menabrak etika, moral dan hukum dari yang ringan
sampai yang berat masih kerap diperlihatkan oleh pelajar dan mahasiswa.
Kebiasaan mencontek pada saat ulangan atau ujian masih dilakukan. Keinginan
lulus dengan cara mudah dan tanpa kerja keras pada saat ujian nasional
menyebabkan mereka berusaha mencari jawaban dengan cara tidak beretika.
Mereka mencari bocoran jawaban dari berbagai sumber yang tidak jelas. Apalagi
jika keinginan lulus dengan mudah ini bersifat institusional karena direkayasa atau
3. dikondisikan oleh pimpinan sekolah dan guru secara sistemik. Pada mereka yang
tidak lulus, ada di antaranya yang melakukan tindakan nekat dengan menyakiti diri
atau bahkan bunuh diri. Perilaku tidak beretika juga ditunjukkan oleh mahasiswa.
Plagiarisme atau penjiplakan karya ilmiah di kalangan mahasiswa juga masih
bersifat massif. Bahkan ada yang dilakukan oleh mahasiswa program doktor.
Semuanya inI menunjukkan kerapuhan karakter di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Hal lain yang menggejala di kalangan pelajar dan mahasiswa berbentuk
kenakalan. Beberapa di antaranya adalah tawuran antarpelajar dan
antarmahasiswa. Di beberapa kota besar tawuran pelajar menjadi tradisi dan
membentuk pola yang tetap, sehingga di antara mereka membentuk musuh
bebuyutan. Tawuran juga kerap dilakukan oleh para mahasiswa seperti yang
dilakukan oleh sekelompok mahasiswa pada perguruan tinggi tertentu di Makassar.
Bentuk kenakalan lain yang dilakukan pelajar dan mahasiswa adalah meminum
minuman keras, pergaulan bebas, dan penyalahgunaan narkoba yang bisa
mengakibatkan depresi bahkan terkena HIV/AIDS. Fenomena lain yang mencorong
citra pelajar adalah dan lembaga pendidikan adalah maraknya gang pelajarâ dan
gang motor Perilaku mereka bahkan seringkali menjurus pada tindak kekerasan
(bullying) yang meresahkan masyarakat dan bahkan tindakan kriminal seperti
pemalakan, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Semua perilaku negatif di
kalangan pelajar dan mahasiswa tersebut atas, jelas menunjukkan kerapuhan
karakter yang cukup parah yang salah satunya disebabkan oleh tidak optimalnya
pengembangan karakter di lembaga pendidikan di samping karena kondisi
lingkungan yang tidak mendukung.
Kondisi yang memprihatinkan itu tentu saja menggelisahkan semua
komponen bangsa, termasuk presiden Republik Indonesia. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono memandang perlunya pembangunan karakter saat ini. Pada
peringatan Dharma Shanti Hari Nyepi 2010, Presiden menyatakan, Pembangunan
karakter (character building) amat penting. Kita ingin membangun manusia
Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan mulia. Bangsa kita ingin pula
memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Peradaban demikian dapat kita capai
apabila masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang baik (good society). Dan,
masyarakat idaman seperti ini dapat kita wujudkan manakala manusia-manusia
Indonesia merupakan manusia yang berakhlak baik, manusia yang bermoral, dan
beretika baik, serta manusia yang bertutur dan berperilaku baik pula.
4. Untuk itu perlu dicari jalan terbaik untuk membangun dan mengembangkan
karkater manusia dan bangsa Indonesia agar memiliki karkater yang baik, unggul
dan mulia. Upaya yang tepat untuk itu adalah melalui pendidikan, karena pendidikan
memiliki peran penting dan sentral dalam pengembangan potensi manusia,
termasuk potensi mental. Melalui pendidikan diharapkan terjadi transformasi yang
dapat menumbuhkembangkan karakter positif, serta mengubah watak dari yang
tidak baik menjadi baik. Ki Hajar Dewantara dengan tegas menyatakan bahwa
“pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi
pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak. Jadi jelaslah,
pendidikan merupakan wahana utama untuk menumbuh kembangkan karakter yang
baik. Di sinilah pentingnya pendidikan karakter.
PEMBAHASAN
Menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 3) karakter adalah watak,
tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi
berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk
cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Terminologi karakter sedikitnya
memuat dua hal yaitu values (nilai-nilai) dan kepribadian. Sebagai suatu cerminan
dari kepribadian yang utuh, karakter mendasarkan diri pada tata nilai yang dianut
masyarakat. Tata nilai yang mendasari pemikiran serta perilaku individu ini
ditanamkan dengan proses internalisasi nilai yang sesuai dengan budaya yang
dianut oleh masyarakat. Proses internalisasi inilah yang kemudian membentuk
karakter seorang individu.
Mounier mengajukan dua cara interpretasi dengan melihat karakter sebagai
dua hal, yaitu pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang diberikan begitu saja atau
telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita. Karakter yang
demikian ini dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dari sononya (given). Kedua,
karakter dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui mana seorang individu mampu
menguasai kondisi tersebut. Karakter yang demikian ini disebut sebagai sebuah
proses yang dikehendaki (willed) (Koesoema, 2007: 90). Maka, dapat disimpulkan
bahwa karakter merupakan sebuah kondisi dinamis struktur antropologis manusia
yang khas dan berbeda sebagai hasil keterpaduan olah hati, pikir, raga, rasa dan
karsa sebagai kondisi bawaan sejak lahir yang disertai dengan usaha menuju
penyempurnaan diri.
5. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi
pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baikburuk, memelihara apa
yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan
sepenuh hati (Winataputra, 2010:8). Pembentukan dan pengembangan karakter
sebagai upaya pendidikan diharapkan dapat memberikan dampak positif baik bagi
individu secara personal maupun bagi lingkungannya. Hal ini sesuai pendapat
Megawangi (2004) bahwa pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik
anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang
positif kepada lingkungannya (Kesuma, Triatna, & Permana, 2011: 5).
Kemudian Kemendiknas (2011: 1) menyatakan bahwa pendidikan karakter
harus melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), akan
tetapi juga merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku
yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau
kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan. Maka, dapat disimpulkan
bahwa pendidikan karakter merupakan upaya pembentukan dan pengembangan
karakter yang melibatkan semua aspek dimensi manusia baik kognitif, afektif
(emosi), dan psikomotor (fisik) dengan mengetahui, merasakan, dan melaksanakan
perilaku yang baik (knowing the good, loving the good, Ana acting the good)
sehingga menjadi habit atau kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan yang
bersifat personal maupun sosial sebagai tanggung jawab bersama pemerintah,
masyarakat, sekolah, dan orangtua.
Pendidikan karakter diharapkan dapat menghasilkan perubahan perilaku yang
mengarah semakin positif. Perilaku memiliki arti subyektif bagi setiap pelakunya.
Weber (1964) menyatakan bahwa suatu tindakan ialah perilaku manusia yang
mempunyai makna subyektif bagi pelakunya (Sunarto, 2004:12). Memahami arti
subyektif dari sebuah tindakan berarti bersifat empati, yakni bagaimana
menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang melakukan tindakan, dan
situasi serta tujuan-tujuan dilihat menurut persektif tersebut. Pendidikan karakter
merupakan usaha sadar yang mempertimbangkan tujuan serta cara untuk
mencapainya. Oleh Weber, ini disebut sebagai tindakan rasional instrumental, yaitu
meliputi pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan dan alat
yang digunakan untuk mencapainya.
6. Hidayatullah (2009: 236-238) menggambarkan budaya kerja yang
berlandaskan karakter kuat (meliputi amanah dan keteladanan) dan cerdas, sebagai
berikut:
No Karakteristik Definisi Indikator
1 Komitmen Tekad yang mengikat dan
melekat pada seorang
pendidik untuk melakukan
tugas dan tanggung
jawabnya sebagai pendidik
· Memiliki ketajaman visi
· Rasa memiliki (sense of
belonging)
· Bertanggung jawab
(sense of responsibility)
2 Kompoten Kemampuan seorang
pendidik dalam
menyelenggarakan
pembelajaran (mengajar dan
mendidik) dan kemampuan
memecahkan berbagai
masalah dalam rangka
mencapai tujuan pendidikan
· Senantiasa
mengembangkan diri
· Ahli di bidangnya
· Menjiwai profesinya
· Memiliki kompetensi
pedagogik, kepribadian,
sosial, dan profesional
3 Kerja Keras Kemampuan mencurahkan
atau mengerahkan seluruh
usaha dan kesungguhan,
potensi yang dimiliki sampai
akhir masa suatu urusan
hingga tujuan tercapai
· Bekerja ikhlas dan
sungguh-sungguh
· Bekerja melebihi target
(extra ordinary process)
· Produktif (out-standing
result)
4 Konsisten Kemampuan melakukan
sesuatu dengan istiqomah,
ajeg, fokus, sabar, dan ulet
serta melakukan perbaikan
yang terus menerus
· Memiliki prinsip
(istiqomah)
· Tekun dan rajin
· Sabar dan ulet
· Fokus
5 Kesederhanaan Kemampuan
mengaktualisasikan sesuatu
secara efektif dan efisien
· Bersahaja
· Tidak mewah
· Tidak berlebihan
· Tepat guna
6 Kedekatan Kemampuan berinteraksi
secara dinamis dalam jalinan
emosional antara dosen dan
peserta didik dalam rangka
mencapai tujuan
pembelajaran/pendidikan
· Perhatian pada
mahasiswa (student
centered)
· Learning centered
· Terjalinnya hubungan
emosional yang
harmonis
7 Pelayanan
Maksimal
Kemampuan untuk
membantu atau melayani
atau memenuhi kebutuhan
peserta didik secara optimal
· Dipenuhinya Standar
Pelayanan Minimal
(SPM)
· Kepuasan
· Cepat dan tanggap
· Pelayanan cepat
· Proaktif
8 Cerdas · Kemampuan cepat mengerti
dan memahami, tanggap,
· Responsif, analitis,
inovatif, dan solutif
7. tajam dalam menganalisis
dan mampu mencari
laternatif-alternatif solusi, dan
mampu memecahkan
masalah (cerdas intelektual)
· Kemampuan memberikan
makna/nilai terhadap
berbagai aktivitas yang
dilakukan sehingga hasilnya
optimal (cerdas emosi dan
spiritual)
· Mewarnai berbagai
aktivitas yang dilakukan
Pada dasarnya korupsi merupakan perilaku yang dimunculkan oleh individu
secara sadar dan disengaja. Secara psikologis terdapat beberapa komponen yang
menyebabkan perilaku tersebut muncul. Setiap perilaku yang dilakukan secara
sadar berasal dari potensi perilaku (perilaku yang belum terwujud secara nyata),
yang diistilahkan dengan intensi (Wade dan Tavris: 2007). Potensi intensi perilaku
tersebut adalah sikap, yang terdiri dari tiga faktor yaitu kognisi, afeksi dan
psikomotor, di mana ketiganya bersinergi membentuk suatu perilaku tertentu (Azwar:
2006). Dengan demikian, perilaku korupsi/anti-korupsi yang dimunculkan oleh
individu didasari oleh adanya intensi perilaku korupsi/anti-korupsi yang didalamnya
terjadi sinergi tiga faktor kognisi, afeksi dan psikomotorik. Metode matakuliah anti-
korupsi hendaknya memberikan sinergi yang seimbang antara ketiga komponen
tersebut, sehingga benar-benar dapat berfungsi untuk memperkuat potensi perilaku
anti-korupsi mahasiswa. Pada dasarnya potensi anti-korupsi ada pada diri setiap
individu mahasiswa, dan adalah tugas dosen untuk memperkuatnya.
Masih terkait dengan intensi perilaku anti-korupsi, terdapat 3 (tiga) komponen
utama pembentuk intensi perilaku yaitu (Fishbein dan Ajzen: 1975):
a. Attitude toward behavior (ATB: yang dipengaruhi oleh behavioral belief,
yaitu evaluasi positif ataupun negatif terhadap suatu perilaku tertentu -
tercermin dalam kata-kata seperti, benar-salah, setuju-tidak setuju, baik-buruk,
dll. Evaluasi negatif terhadap perilaku korupsi dan evaluasi positif terhadap
antikorupsi akan meningkatkan intensi (potensi) untuk berperilaku anti-korupsi.
BEHAVIORAL BELIEFS
BERUPA PERASAAN
POSITIF
ATTITUDE TOWARD
BEHAVIOR BERUPA
PERASAAN POSITIF
KECENDERUNGAN
TINGGI BERPERILAKU
ANTI-KORUPSI
8. b. Subjective norms (SN): yang dipengaruhi oleh subjective norms di sekeliling
individu yang mengharapkan si individu sebaiknya berperilaku tertentu atau
tidak. Misal norma agama (bagi individu beragama), norma sosial, norma
keluarga, atau ketika orang-orang yang penting bagi individu atau cenderung
dipatuhi oleh individu menganggap perilaku anti-korupsi sebagai hal positif,
maka akan meningkatkan intensi (potensi) berperilaku anti-korupsi.
c. Control belief (CB): yang dipengaruhi oleh perceived behavior control, yaitu
acuan kesulitan dan kemudahan untuk memunculkan suatu perilaku. Ini
berkaitan dengan sumber dan kesempatan untuk mewujudkan perilaku
tersebut. Misalnya lingkungan disekeliling individu yang korup atau
kesempatan korupsi yang besar/mudah akan meningkatkan intensi individu
untuk melakukan perilaku korupsi, dan sebaliknya.
Idealnya perilaku anti-korupsi mahasiswa yang disasar adalah konsistensi
anti-korupsi ditengah realitas lingkungan eksternal yang masih sangat korup.
Konsistensi ini diharapkan selanjutnya meningkat menjadi keberanian mahasiswa
menjadi garda depan dalam mengajak masyarakat untuk melakukan zero-tolerance
terhadap tindak korupsi.
Teori Planned Behavior antara lain digunakan sebagai pisau analisis dalam
mengukur efektifitas mata kuliah Anti-korupsi pada diri mahasiswa. Universitas
Paramadina melakukan penelitian ini terhadap para mahasiswa eks-peserta mata
kuliah Anti-korupsi satu setengah tahun setelahnya. Hasil temuan yang disarankan
menjadi perhatian bagi setiap Perguruan Tinggi yang merancang Pendidikan Anti-
korupsi adalah (Sofia & Herdiansyah:2010):
9. 1. Konsep dan wacana mengenai korupsi dan anti-korupsi sangat diperlukan
dan terbukti mampu memberikan efek kognitif yang memadai bagi kerangka
berfikir mahasiswa.
2. Penekanan adanya norma-norma hukum dan norma-norma sosial yang anti-
koruptif terbukti mampu memberikan keyakinan kuat pada diri mahasiswa
akan dukungan masyarakat.
3. Namun komitmen mahasiswa untuk secara konsisten mampu bersikap dan
bertindak anti-koruptif dalam kehidupan di luar kampus ternyata masih kerap
bersinggungan dengan realitas praktek-praktek korupsi (petty corruption)
yang ditemui di hampir semua lini. Ketidakseimbangan antara upaya
pendidikan dan reformasi sistem birokrasi dikhawatirkan akan berpotensi
mengikis kepribadian anti-korupsi yang sudah dibina di dalam kampus.
Dapat disimpulkan bahwa dalam upaya pencegahan melalui pendidikan jelas
harus didukung secara paralel dengan perbaikan dan perbaikan integritas oleh
pemerintah dan masyarakat. Sedangkan di dalam pendidikan itu sendiri, akhirnya
pengajar harus mempu memainkan perannya sebagai motivator bagi para
mahasiswa.
PENUTUP
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi
pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baikburuk, memelihara apa
yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan
sepenuh hati. Pembentukan dan pengembangan karakter sebagai upaya pendidikan
diharapkan dapat memberikan dampak positif baik bagi individu secara personal
maupun bagi lingkungannya. Hal ini sesuai pendapat Megawangi (2004) bahwa
pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat
mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-
hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada
lingkungannya.
Idealnya perilaku anti-korupsi mahasiswa yang disasar adalah konsistensi
anti-korupsi ditengah realitas lingkungan eksternal yang masih sangat korup.
Konsistensi ini diharapkan selanjutnya meningkat menjadi keberanian mahasiswa
10. menjadi garda depan dalam mengajak masyarakat untuk melakukan zero-tolerance
terhadap tindak korupsi.
BAHAN BACAAN
1. Azwar S, Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2006.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kurikulum, Kementerian Pendidikan
Nasional. (2011). Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Berdasarkan
Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan). Jakarta: Kementerian Pendidikan
Nasional.
3. Fishbein M & Ajzein.I, Belief, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to
Theory and Research, Addison-Wesley Publishing, Sydney, 1975
4. Hidayatullah, M.F. (2010). Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa.
Surakarta: Yuma Pustaka.
5. Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi (edisi revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
6. UNESCO, Handbook Non-formal Adult Education Facilitators, Modul Four:
Participatory Learning
7. Wade C & Tavris, C , Psikologi (ed.9 jilid 2), Penerbit Erlangga, Jakarta, 2007