1. Passion!
By : Renee Hardono
Berapa banyak diantara pembaca yang berpikir bahwa pekerjaan (job) sama dengan karir? It’s a
penalty shoot by David Beckham with you as the goalie!
Semua yang tampak dan ada di kantor adalah bagian dari pekerjaan. Seluruh peralatan di atas
meja, prosedur, mekanisme dan tugas adalah bagian dari itu. Termasuk didalamnya bos (so many
of them, right?), rekan kerja (anyone of them you can consider as friends?) dan anak buah (poor
fellows) kita . Bahkan termasuk juga kartu nama kita. Singkatnya pekerjaan sekadar alat atau
kendaraan yang bisa mem bawa kita ke satu tempat yang kita kehendaki. Pekerjaan adalah milik
perusahaan, bukan milik kita. You may have attachments to your job but is not and will never be
yours.
Sebaliknya, karir adalah perjalanan itu sendiri. Bisa jadi kita punya banyak pekerjaan dalam
karir, bisa juga kita mengalami pergantian profesi didalamnya. Jangan pernah melihat karir
sebagai garis lurus. Terlalu banyak contoh yang bisa menggambarkan betapa karir kita terkesan
non-linear. Kalau kita beranggapan bahwa awal garis karir adalah jenjang pendidikan, lucu juga
melihat perbankan Indonesia yang banyak dihuni oleh lulusan IPB. Institut di Bogor itu bahkan
kerap kali dijuluki Institut Perbankan Indonesia! Dalam kapasitas sebagai executive recruiter
atau lebih lazim dijuluki headhunter, saya sering berinteraksi dengan lulusan teknik yang
menjadi CFO, lulusan Sastra Inggris beralih jadi Head of HR, bahkan dengan lulusan D3
Sekretaris yang menjelma sebagai CEO
Karir merupakan totalitas kehidupan professional dalam hidup kita. Dan tidak ada cara yang
lebih tepat – dan nyaman (paling tidak untuk diri sendiri) apabila karir kita diilhami oleh passion
kita. Your career is yours. Your career is you
Passion: I decided long ago never to live in anyone’s shadow
Bicara soal passion, jangan berpikir kalau passion sama dengan hobby. Memang mirip tapi tidak
sama. Dalam banyak kesempatan saya menanyakan soal yang satu ini kepada banyak orang.
Sebagian kecil menjawab tidak punya, sebagian lain menjawab tidak perlu, sebagian besar
menyebut hobby sebagai passion mereka, sisanya, yang saya sebut sebagai “the lucky few”
cenderung paham, peduli dan bekerja sesuai passion mereka.
Secara singkat passion adalah segala hal yang kita sukai sedemikian rupa sehingga kita tidak
terpikir untuk tidak mengerjakannya. Sekarang tentunya tidak sulit memahami kegelian saya saat
mendengar jawaban-jawaban “lucu” yang mengatakan kalau passion mereka adalah tidur, nonton
DVD dan cari duit. Lebih lucu lagi saat tahu kalau yang punya passion tidur adalah seorang
Manager Security; si pemilik passion nonton DVD adalah seorang VP (Vice President)
Operations; si empunya passion cari duit adalah seorang broadcaster atau penyiar radio. Nah lo?
2. Tidak mudah menemukan passion untuk diri sendiri. Namun mencoba menemukannya akan jauh
lebih baik daripada mengacuhkannya sama sekali – terlebih untuk pengembangan karir kita.
Rata-rata professional yang teguh dalam mencari karir sesuai passion mereka perlu waktu 4 – 8
tahun untuk menemukannya. Saya sendiri perlu tidak kurang dari 9 tahun dari total 16 tahun
pengalaman kerja untuk menemukan passion saya. Jadi tidak ada kata terlambat untuk hal yang
satu ini.
Pernah ada yang mengomentari kalau diskusi passion adalah unnecessary dan tidak lebih sebagai
luxury talk. Kalau sudah nganggur 2 tahun, kata orang tersebut, tentu lebih relevan untuk kerja
apa saja untuk survive. Jawaban saya? Well, saya hargai pendapat ini. Kalau benar perlu waktu 2
tahun untuk cari kerja, tentu saya tidak akan mengatakan “jangan kerja disana kalau itu bukan
passion mu”. Jalani saja apa yang perlu dikerjakan untuk survive, namun jangan pernah berhenti
mencari passion kita. Pada titik ekstrim lain, saya banyak berjumpa dengan para professional
senior yang telah bekerja lebih dari 20 tahun tanpa pernah tahu, apalagi merasakan, bekerja
sesuai passion mereka. And these are not happy stories…
Finding (your) Passion: Don’t try too hard, it’s from within
Boleh saya terka pertanyaan yang ada di pikiran anda? Bisa jadi bunyinya seperti ini: Bagaimana
menemukan passion kita? Apakah harus kerja sesuai passion kalau mau sukses? Apakah passion
bisa berganti? Bagaimana membawa passion dalam pekerjaan kita sekarang? Dan apakah harus
keluar dari job sekarang untuk mengejar passion kita? Dan seterusnya…
Saya senang menggunakan analogi finding love untuk menjawab pertanyaan bagaimana
menemukan passion.. Sebagaimana cinta sejati, ada beberapa hal yang harus diketahui soal
passion:
Pertama, passion datang dari hati yang tulus. Passion tidak perlu dicari namun sudah ada didalam
diri kita masing-masing. Coba jadikan diri terbuka untuk tahu, merasakan dan jujur mengenai
segala hal yang saat dikerjakan membuat hati kita lega, lepas dan gembira. Lupakan sejenak soal
uang, jabatan dan atribut lain, itu hanya akan memperumit keadaan. Teman saya, Dondi
Hananto, adalah contoh tepat untuk hal ini. Dia meninggalkan jabatan mentereng dalam sebuah
perusahaan kredit konsumsi raksasa untuk mengejar passionnya memberdayakan orang banyak
(dan banyak orang) melalui program pendanaan micro-banking yang jauh dari hingar-bingar dan
kemewahan dunia perbankan umumnya.
Kedua, perluas horison. Ketemu dan diskusi dengan orang-orang yang mungkin bisa bantu, baca
buku, pelajari bahasa asing baru, coba makanan baru, pergi ke tempat baru, miliki kebiasaan
baru… Coba semuanya! Uli Herdinansyah memutuskan untuk tidak lagi tampil di program
infotainment utama karena alasan ini. He wants to see more of what he can do. I salute Uli for
his decission!
Ketiga, don’t hold anything back -- jangan nanggung. Kalau benar-benar mau tahu soal passion
sendiri jangan nanggung dalam berupaya. Teman baru saya Jerry Aurum bilang tidak ada hari
yang bisa dilewatkan tanpa memikirkan passion yang kebetulan sama dengan profesinya saat ini:
capturing moments alias motret.
3. Keempat, be positive. Nggak perlu marah-marah dan jadi super perasa kalau belum tahu
passionnya. Kesadaran bahwa masih harus tahu passion masing-masing adalah langkah pertama
yang hebat! Saya sendiri butuh waktu 9 tahun sejak lulus SMA untuk tahu passion saya. Untuk
yang satu ini saya banyak belajar dari teman saya Larasati Silalahi. Jam terbang boleh jadi
belum banyak, namun Laras punya perspektif hidup yang mengesankan. Dia banyak bertanya
dan selalu melihat hal positif dalam segala hal. Tidak sekedar untuk konsumsi Laras pribadi,
positivity to the max ini bisa dirasakan oleh orang-orang yang ada disekitarnya, termasuk saya.
Terakhir, nikmati prosesnya – proses ini tidak ada garis akhir. Walaupun baru ketemu beberapa
kali, saya sangat menikmati setiap obrolan dengan Samual Mulia. Dia adalah contoh paling pas
mengenai bagaimana seharusnya proses dapat dinikmati. Kolom Samuel di Kompas bisa
memberi rujukan pola pikir yang ulet, unik dan tabah. Dari Samuel juga saya memperoleh
anjuranEnjoy yourself and enjoy the journey itself. It’s all about self-discoveries. Sebelum bisa
bilang I do only what I love doing, jangan pernah ragu mencoba banyak hal. And yes, you can
have more than one passion.
Passion bisa dikembangkan dari pekerjaan sekarang atau dengan cara lain. You don’t have to quit
your job – although it is also ok to quit if you are sure. Kuncinya ada pada diri sendiri. Masih
bingung juga? Worry less, do more!