Wadî’ah merupakan jenis wakalah yang bersifat khusus, yaitu wakalah yang berkaitan dengan menempatkan orang lain pada posisi diri sendiri dalam menjaga sesuatu saja, dan tidak sampai pada tasharruf (mengelola) pada sesuatu itu yang merupakan tanda wakalah yang bersifat mutlak.
3. Harta yang disimpan, yaitu amanah yang
ditinggalkan pada orang lain untuk disimpan
dengan sengaja
4. SECARA SYAR’IE:
Akad yang
mengharuskan
penyimpanan
harta oleh orang
lain itu
5. Wadî’ah itu merupakan amanah meski
amanah sifatnya lebih umum dari wadî’ah.
Setiap wadî’ah merupakan amanah, sebaliknya
tidak setiap amanah merupakan wadî’ah.
6. Wadî’ah merupakan jenis wakalah yang bersifat
khusus, yaitu wakalah yang berkaitan dengan
menempatkan orang lain pada posisi diri sendiri
dalam menjaga sesuatu saja, dan tidak sampai
pada tasharruf (mengelola) pada sesuatu itu yang
merupakan tanda wakalah yang bersifat mutlak.
8. “Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang).
Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya)…”
(TQS Al Baqarah, 2:283)
10. “Tunaikan amanah kepada orang yang
mengamanahimu dan jangan khianati orang
yang mengkhianatimu.”
(HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi)
11. RUKUN WADÎ’AH
Al-‘aqidân, yaitu al-Mûdi’ (yang
menitipkan) dan al-wadî’ atau
al-mustawda’ (yang dititipi);
Al-Mûda’ (harta yang dititipkan)
atau yang disebut al-wadî’ah;
Shighat atau ijab dan qabul.
12. SYARAT WADÎ’AH
Pertama,
syarat terkait dengan al-‘aqidân:
• Al-Mûdi’ (yang menitipkan)
disyaratkan harus orang yang sah
melakukan tasharruf, dan ia
adalah pemilik atau wakil dari
pemilik harta titipan itu.
• Al-Wadî’ atau al-mustawda’
(yang dititipi) juga disyaratkan
harus orang yang sah melakukan
tasharruf dan tertentu artinya
saat akad jelas siapanya.
13. SYARAT WADÎ’AH
Kedua,
syarat terkait ijab dan qabul.
• Ijab dan qabul itu harus
berdasarkan kerelaan kedua
pihak.
• Ijab harus sama dengan qabul
dan ada pertautan, yaitu
harus dalam satu majelis.
14. SYARAT WADÎ’AH
Ketiga,
syarat terkait al-wadî’ah atau al-
mûda’ (harta yang
dititipkan), yaitu harus berupa
harta yang jelas dan bisa
dikuasakan.
Sebagian fukaha menambahkan
syarat harta itu haruslah harta
bergerak sehingga properti seperti
tanah, pabrik, rumah dsb, tidak
bisa diwadî’ahkan.
15. Agar akad wadî’ah itu sah dan
sempurna maka harta yang
dititipkan harus diserahkan
kepada al-wadî’ (yang dititipi)
dan dipindahkan dalam
kekuasaan al-wadî’ itu.
Sebab, al-wadî’ tidak bisa menjaga dan
menyimpannya kecuali harta itu diserahkan
kepada dirinya dan dipindahkan dalam
kekuasaannya untuk dia simpan dan dijaga.
16. HUKUM WADI’AH
Pertama:
• Para fukaha sepakat bahwa akad
wadi’ah merupakan ‘aqdun jâ’izun, yaitu
bukan akad yang mengikat.
• Artinya, baik al-mûdi’ (yang menitipkan)
atau al-wadî’ (yang dititipi) kapan saja
boleh membatalkan akad wadi’ah itu
tanpa bergantung pada kerelaan pihak
lainnya.
• Hanya saja ada pengecualian menurut
fukaha Syafiiyah seperti yang
diungkapkan oleh asy-Syihab ar-Ramli,
bahwa akad-akad ja’iz jika fasakh
(pembatalannya) menyebabkan dharar
terhadap pihak lain maka itu terlarang
dan menjadi lâzimah (mengikat).
17. HUKUM WADI’AH
Kedua:
• Para fukaha sepakat bahwa akad wadi’ah pada
dasarnya merupakan akad tabarru’ yang tegak
di atas asas
kelemahlembutan, ta’awun, bantuan.
• Maka dari itu, al-mûdi’ (yang menitipkan) tidak
perlu memberikan imbalan kepada al-wadî’
(yang dititipi) atas penyimpanan itu.
• Jadi wadi’ah itu bukan akad mu’awadhah
(kompensatif).
• Jika untuk penyimpanan itu ada imbalan yang
disepakati untuk al-wadî’ maka akad tersebut
bukan lagi akad wadi’ah melainkan akad ijarah.
• Contoh: Layanan safe deposit box di bank
18. HUKUM WADI’AH
Ketiga:
Wajibnya al-wadî’ (yang dititipi)
menjaga wadi’ah yang ada padanya
seperti ia menjaga hartanya sendiri.
Nabi saw. bersabda:
“Tangan itu wajib (menjaga) apa
yang ia ambil sampai ia tunaikan.”
(HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-
Hakim, al-Baihaqi)
19. HUKUM WADI’AH
Keempat:
• Al-wadî’ (yang dititipi) wajib
segera menyerahkan harta
wadi’ah begitu diminta oleh
pemiliknya (al-mûdi’)
• Lihat: QS al-Baqarah [2]: 283
20. HUKUM WADI’AH
Kelima:
• Para fukaha sepakat bahwa al-
wadî’ah itu merupakan akad
amanah.
• Status al-wadî’ (yang dititipi) adalah
yad al-amânah.
• Karena itu, jika harta wadi’ah itu
hilang, rusak atau lainnya, al-wadî’
tidak bertanggung jawab dan tidak
menanggungnya kecuali jika itu
karena kesengajaannya atau ia lalai
menjaganya.
• Jadi status al-wadî’ itu bukanlah yad
adh-dhamânah.
21. “Siapa yang dititipi wadi’ah maka tidak ada
tanggungan atasnya.”
(HR al-Baihaqi)
22. HARUS DIINGAT…
Amanah itu hanyalah amanah
untuk menyimpan dan
menjaga wadi’ah itu; tidak
termasuk di dalamnya hak
untuk men-tasharruf-nya.
24. KHIANAT terhadap amanah wadi’ah
itu bisa dalam bentuk:
Tanpa izin al-mûdi’ (yang menitipkan),
al-wadî’ (yang dititipi)
• mencampurkan harta wadi’ah itu
dengan hartanya sendiri atau
harta orang lain,
• men-tasharruf-nya seperti
menggunakannya atau bentuk
tasharruf lainnya,
• lalai tidak menjaganya,
• sengaja merusak atau
menghilangkannya, dan
sebagainya.
25. Dalam semua
kondisi itu, al-wadî’
(yang dititipi) harus
bertanggung
jawab, yakni dia
wajib menanggung
(dhamân).
Jika harta wadi’ah
itu hilang atau rusak
maka ia wajib
menggantinya.
26. Jika ada izin dari al-mûdi’ (yang menitipkan) kepada al-
wadî’ (yang dititipi) untuk men-tasharruf harta wadi’ah
maka hal itu membuat fakta akad tersebut bukan lagi
akad wadi’ah.
27. Jika izinnya adalah izin untuk mengambil atau
menggunakan manfaat dari harta itu sementara zat
hartanya tetap atau tidak berubah maka akad tersebut
merupakan akad i’ârah (pinjam pakai).
28. Jika izinnya adalah izin untuk menggunakan zat harta itu sehingga
al-wadî’ (yang dititipi) boleh mengkonsumsinya, menjualnya, atau
yang lainnya, dan dia menjamin untuk menyerahkan harta itu
ketika al-mûdi’ memintanya, maka akad tersebut merupakan akad
utang baik dalam bentuk qardhun ataupun dayn.
29. KASUS
PERBANKAN
Jika al-wadî’ (yang dititipi) men-tasharruf wadi’ah dan
memanfaatkannya dengan izin pemilik maka hasil tasharruf itu
mengambil satu dari tiga kondisi:
1. Jika tasharruf itu untuk kepentingan al-wadî’ (bank) maka wadi’ah
berupa uang itu menjadi qardh (utang) dan labanya untuk
pengutang (bank).
2. Jika izin tasharruf itu dalam bentuk wakalah maka al-wadî’ (bank)
menjadi wakil al-mûdi’ (yang menitipkan) dalam men-tasharruf
wadi’ah dan labanya untuk al-mûdi’.
3. Jika izin itu dalam bentuk mudharabah atau musyarakah maka al-
wadî’ menjadi mudharib atau mitra dan labanya dibagi menurut
kesepakatan.
30. Jika ditetapkan bahwa wadi’ah
perbankan adalah qardhun, maka
maknanya bahwa apa yang dibayarkan
oleh bank sebagai tambahan atas
jumlah wadi’ah (simpanan)
merupakan riba.
31. Atas dasar itu, apa yang diistilahkan sebagai bonus
yang diberikan oleh bank atau lembaga keuangan
lainnya terhadap rekening wadi’ah, apapun nama
rekeningnya, jelas merupakan riba.