SlideShare ist ein Scribd-Unternehmen logo
1 von 26
1



  KONSEKUENSI YURIDIS DENGAN DIKECUALIKANNYA

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA YANG BERSIFAT POLITIK

 DALAM PERKEMBANGAN HUKUM TATA USAHA NEGARA

  ( Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Tata Usaha Negara)




                               Oleh :


                FREINGKY A. NDAUMANU, S.H.


                   NIM : 11/322217/PHK/06731




     PROGRAM PASCASARJARNA FAKULTAS HUKUM


       UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA


                       MAGISTER HUKUM


                                2012
2



                                       BAB 1


                                PENDAHULUAN




A. LATAR BELAKANG


       Keputusan administrasi merupakan suatu pengertian yang sangat umum

dan abstrak, yang dalam praktik tampak dalam bentuk Keputusan-Keputusan yang

sangat berbeda namun mengandung ciri-ciri yang sama. Adalah penting untuk

mempunyai pengertian yang mendalam tentang pengertian dari Keputusan

administrasi sebab dalam hukum positif akan timbul akibat-akibat yang mungkin

dipersengketakan dan penyelesaiannya oleh hakim dipengadilan.1

       Keputusan Tata Usaha Negara bukan bagian dari peraturan perundang-

undangan (algemene verbindende voorschriften) tetapi dibuat dan dikeluarkan

berdasarkan peraturan perundang-undangan itu.       Dasar pengujian (toetsing) dari

Keputusan Tata Usaha Negara adalah peraturan perundang-undangan, dan hal

dimaksud merupakan pengujian bagi hakim guna menilai absah atau tidaknya suatu

Keputusan Tata Usaha Negara.

       Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 47 Undang-undang No. 5 Tahun

1986 Jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, PTUN bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN. Pengertian sengketa

TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan

hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di Pusat maupun di Daerah,

1
  Hadjon Philipus. M et, al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia , Gajah Mada Press
Yogyakarta, 1999, hlm. 124
3



sebagai akibat    dikeluarkannya   KTUN,     termasuk   sengketa   kepegawaian

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4

Undang-undang No. 5 Tahun 1986 Jo Undang-undang No. 9 Tahun 2004).

Dengan demikian, dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa yang

berkedudukan sebagai Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata,

sedangkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di

Daerah selalu berkedudukan sebagai Tergugat, karena yang menjadi objek

sengketa di PTUN adalah hanya KTUN.

       Dalam Perkembangan praktek peradilan mengenai KTUN sebagai objek

gugatan di Pengadilan TUN tidak hanya menyangkut produk-produk hukum

berupa Surat Keputusan, dimana Pejabat yang menerbitkannya secara formal

berada diluar lingkup Tata Usaha Negara, Keputusan Pejabat TUN yang

diterbitkan atas dasar kewenangannya yang berada diluar urusan pemerintahan

(eksekutif), salah satunya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat poltik.




B. PERUMUSAN MASALAH

       Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan

dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Konsekuensi Yuridis Dengan

Dikecualikannya Keputusan Tata Usaha Negara Yang Bersifat Politik Dalam

Perkembangan Hukum Tata Usaha Negara?”
4



                                            BAB II

                                      PEMBAHASAN



A. PENGERTIAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA

          Alat administrasi Negara di dalam melaksanakan tugasnya untuk

merealisir tujuan dari suatu peraturan perundang-undangan sering melakukan

perbuatan/tindakan yang disebut ketetapan.

          Mengenai istilah yang dipakai belum ada kesatuan pendapat di antara ahli,

sebagai contoh dapat dikemukakan :

      (1) Drs. Utrecht, SH dan Prof. Boedisusetyo, SH (almarhum), menggunakan

          istilah ketetapan sebagai terjemahan dari bahasa belanda “Beschikking”

          atau bahasa perancis “Acte Administratif”. Dalam ilmu hukum jerman

          disebut dengan istilah “Verwaltungs Act”.

      (2) Prof. Kuntjoro Purbopranoto, SH, lebih cenderung menggunakan istilah

          “Keputusan” sebagai terjemahan “Beschikking”, sebab menurut beliau

          istilah “Ketetapan” sudah mempunyai pengertian tekhnis yuridis sebagai

          produk MPR, hal itu terbukti dari berbagai macam TAP MPR yang sudha

          biasa kita kenal.2

      (3) Mr. WF. PRINS, dalam bukunya Inleiding in het Administratiefrecht van

          Indonesia - menyebutkan beschikking             sebagai suatu tindakan hukum

          sepihak dalam lapangan pemerintahan yang dilakukan oleh alat

          pemerintahan berdasarkan wewenang yang ada pada alat atau organ itu.


2
    Zamzuri., Tindak Pemerintahan (Bestuurhandeling), Al-Hikmah, Yogyakarta, 1985, hlm.31-32
5



    (4) Van der Pot, dalam bukunya Nederlandsch Bestuursrecht menyatakan

       beschikking    adalah    perbuatan    hukum      yang    dilakukan   alat-alat

       pemerintahan, pernyataan-pernyataan kehendak alat-alat pemerintahan itu

       dalam menyelanggarakan hak istimewa, dengan maksud mengadakan

       perubahan dalam lapangan perhubungan-perhubungan publik.3

    (5) Menurut Prof. Muchsan,4 keputusan adalah penetapan tertulis yang

       diproduksi oleh pejabat Tata Usaha Negara atau pejabat admnistrasi

       Negara yang mendasarkan diri kepada peraturan yang lebih tinggi dan

       bersifat individual, konkret dan final.

       Berdasarkan pengertian tersebut diatas, terdapat empat (4) unsur-unsur

keputusan yang dapat diuraikan sebagai berikut, yaitu :

           1) Penetapan tertulis, maksudnya keputusan ini yang penting

               wujudnya tertulis walaupun bentuknya tidak formil;

           2) Diproduksi oleh pejabat TUN, maksudnya ada dua (2) yaitu :

               Pejabat/Aparat Pemerintah dan Swasta (asalkan mempunyai izin

               dari pemerintah dalam bentuk pelimpahan wewenang);

           3) Mendasarkan diri kepada peraturan perundang-undangan;

           4) Bersifat konkret artinya tujuan jelas, misalnya keputusan

               mengangkat      Guru    Besar;    bersifat   individual,   maksudnya

               sasarannya tugas kepada siapa keptusan itu ditujukan; dan bersifat




3
  Marbun. SF & Mahfud. Moh., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Edisi Pertama,
Cetakan Keempat, Liberty, Yogyakarta, 2006, hlm.75
4
  Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan Hukum Tata Usaha Negata, Program Pasca Sarjana
Magister Hukum Kenegaraan-UGM, Yogyakarta, 2012
6



               final, maksudnya keputusan itu langsung menimbulkan akibat

               hukum berupa hak dan kewajiban.


Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 :

               “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
               dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
               tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
               perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual
               dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
               hukum perdata”.5


     Mengenai apa yang dimaksud dengan “Tata Usaha Negara”, Pasal 1 angka 7

menentukan bahwa :

               “Tata Usaha Negara adalah administrasi Negara yang
               melaksanakan     fungsi    untuk    menyelenggarakan urusan
               pemerintahan baik di pusat maupun di daerah”6

     Adapun yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan” dalam Pasal 1 angka

1 UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan

sebagai kegiatan yang bersifat eksekutif.




B. KEABSAHAN          DAN      KETIDAKABSAHAN             KEPUTUSAN         TATA

    USAHA NEGARA

     Ditinjau dari sudut normatif acuan keabsahan dari Keputusan Tata Usaha

Negara didasarkan atas Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 yang merupakan

revisi dari Pasal 53 ayat (2) UU No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha


5
  Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
6
  Ibid
7



Negara. Syarat sah suatu Keputusan TUN menurut Pasal 53 ayat (2) UU No.9

Tahun 2004 harus ditafsirkan secara a contrario, adalah :

           a) Keputusan Tata Usaha Negara sesuai dengan peraturan perundang-

               undangan yang berlaku.

           b) Keputusan Tata Usaha Negara sesuai dengan asas-asas umum

               pemerintahan yang baik.

      Manakala suatu Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan kedua

syarat sah diatas, menurut Pasal 53 ayat (2) UU No.9 Tahun 2004 dapat digugat di

Peradilan Tata Usaha Negara oleh orang atau badan hukum perdata yang merasa

kepentingannya dirugikan.7


        Berkaitan dengan “tidak berwenang”-nya suatu Badan atau pejabat

pemerintahan (tata usaha Negara) untuk melakukan tindak pemerintahan untuk

mengeluarkan keputusan, menurut Philipus M. Hadjon,8 dapat dibedakan menjadi

3 (tiga), yakni :


        a. Tidak berwenang dari segi materi (ratione materiae)

            Artinya seorang pejabat yang mengeluarkan keputusan tata usaha

            Negara tentang materi atau masalah tertentu itu menjadi wewenang

            dari Badan atau pejabat lain.

        b. Tidak berwenang dari segi wilyah atau tempat (ratione locus)




7
  Tjandra W. Riawan., Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya Yogyakarta,
Yogyakarta, 2008, hlm.72-73
8
  Sadjijono.,Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara, LaksBang
PRESSindo, Yogyakarta, hlm.63-64
8



           Artinya keputusan tata usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan

           pejabat tata usaha Negara mengenai sesuatu yang berada diluar

           wilayah jabatannya.

       c. Tidak berwenang dari segi waktu (ratione temporis)

           Artinya keputusan dikeluarkan karena melampui tenggang waktu yang

           dikeluarkan.


       Untuk mengetahui “tidak berwenang” atau “berwenang”-nya Badan atau

pejabat tata usaha Negara melakukan tindakan pemerintahan, melalui langkah

interpretasi sistematis terhadap ketentuan peraturan perundang - undangan yang

berlaku, khususnya yang mengatur tentang wewenang pemerintahan. Pangkal

tolak penilaian kewenangan tindak pemerintahan ini kembali pada asas legalitas

(legalitiet beginselen) sebagai asas utama dalam Negara hukum. Oleh karena itu,

dalam penilaian ini berlaku teori berbanding terbalik, yakni salah satu aspek dapat

dinilai juga, artinya jika tindakan yang menjadi “kewenangannya” dapat dinilai

atau diketahui pula tindakan - tindakan yang tidak menjadi wewenangnya (tidak

berwenang), atau sebaliknya.


     Selanjutnya, meskipun suatu keputusan itu dianggap sah dan akan

menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, keputusan

yang sah itu tidak akan dengan sendirinya berlaku, karena untuk berlakunya suatu

keputusan harus memperhatikan tiga (3) hal berikut ini :

         a) Jika berdasarkan peraturan dasarnya, terhadap keputusan itu tidak

             memberi kemungkinan mengajukan permohonan banding bagi yang
9



   dikenai keputusan, keputusan itu mulai berlaku sejak saat diterbitkan

   (ex nunc).

b) Jika berdasarkan peraturan dasarnya terdapat kemungkinan utnuk

   mengajukan banding terhadap keputusan yang bersangkutan,

   keberlakuan keputusan itu tergantung dari proses banding itu.

   Krenenburg dan Vegting menyebutkan empat (4) cara permohonan

   banding terhadap keputusan, yaitu sebagai berikut :

        1. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan

            pembatalan keputusan pada tingkat banding, dimana

            kemungkinan itu ada.

        2. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan

            kepada pemerintah supaya keputusan itu dibatalkan.

        3. Pihak yang dikenai keputusan itu dapat mengajukan

            masalahnya kepada hakim biasa agar keputusan itu

            dinyatakan batal karena bertentangan dengan hukum.

        4. Pihak yang dikenai keputusan itu dapat berusaha apabila

            karena tidak dapat memenuhi/menjalankan keputusan itu,

            untuk memperoleh keputusan dari hakim seperti yang

            dimaksud dalam bagian 3.

         Pada umumnya batas waktu mengajukan banding itu

   ditentukan dalam peraturan dasar yang terkait dengan keputusan itu.

   Jika batas waktu banding telah berakhir dan tidak digunakan oleh
10



                 mereka yang dikenai keputusan itu, maka keputusan itu mulai

                 berlaku sejak saat berakhirnya batas waktu banding itu.

             c) Jika keputusan itu memerlukan pengesahan dari organ atau instansi

                 pemerintah yang lebih tinggi, keputusan itu mulai berlaku setelah

                 mendapatkan pengesahan. Berkenaan dengan pengesahan atau

                 persetujuan ini, terdapat tiga (3) pendapat, yaitu sebagai berikut :

                     1) Karena berhak untuk memberikan persetujuan, Mahkota

                         (pemerintah) menjadi pembuat serta undang – undang, jadi

                         merupakan hak pengukuhan.

                     2) Hak memberikan persetujuan merupakan hak placet, artinya

                         melepaskan       tanggungjawab       (jadi,    pernyataan      dapat

                         dilaksanakan).

          Persetujuan merupakan tindakan terus – menerus, artinya tidak berakhir

pada saat diberikan, tetapi dapat ditarik kembali selama yang disetujuinya masih

berlaku.9


          Terkait dengan hal tersebut diatas maka perbuatan aparat pemerintah akan

mengalami kebatalan, di antaranya dapat dijabarkan melalui tiga (3) teori tentang

kebatalan (nietig theorie) sebagai akibat perbuatan aparat pemerintah yang tidak

berwenang sebagai berikut:


1. Batal Mutlak (absolute nietig)




9
    HR Ridwan., Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.171-173
11



    Konsekuensi yuridis/akibat hukumnya, yaitu semua perbuatan hukum yang

    sudah dilakukan dianggap belum pernah ada sehingga keadaan harus

    dikembalikan seperti semula.


          Misalnya, seseorang menyewa rumah pada orang yang berada dibawah

    pengampuan, selama 10 tahun. Perjanjian menyewa rumah tersebut telah

    berjalan selama 5 tahun, ketika diketahui ternyata orang tersebut (pemberi

    sewa) tidak cakap hukum, maka mengetahui hal tersebut penyewa meminta

    pembatalan kepada pengadilan. Permintaan pembatalan tersebut dikabulkan

    oleh pengadilan, karena hal tersebut maka perbuatan sewa-menyewa tersebut

    dianggap tidak sah dan harus batal. Dengan demikian perjanjian sewa-

    menyewa dianggap tidak pernah ada.


    Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: hanya pejabat yudikatif saja.


2. Batal Demi Hukum (nietig van rechts wege)


   Konsekuensi yuridis/akibat hukumnya ada dua (2) alternatif, yakni :


           Semua perbuatan hukum yang pernah dilakukan dianggap belum

           pernah ada.

           Sebagian perbuatan dinyatakan sah, sedangkan sebagian yang lain

           dinyatakan batal.

   Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: pejabat eksekutif dan

   yudikatif.
12



3. Dapat Dibatalkan (vernietig baar):


     Konsekuensi yuridis/akibat hukumnya, yaitu seluruh perbuatan hukum yang

     telah dilakukan dianggap sah. Perbuatan hukum yang belum dilakukan

     dinyatakan tidak sah.


     Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: pejabat yudikatif, eksekutif

     dan legislatif.

        Keputusan tidak sah itu tidak mempunyai kekuatan hukum, hal ini ada dua

(2) kemungkinan yaitu :

             1. Keputusan tidak sah berlaku surut sampai saat dikeluarkannya

                 keputusan itu.

             2. Keputusan tidak sah mulai saat pembatalan itu.

        Menurut Utrecht kekuatan hukum suatu keputusan ada dua (2), yaitu :

            a) Kekuatan hukum formil, yakni bila tidak dibantah oleh suatu alat

                hukum, misalnya naik banding.

            b) Kekuatan hukum materiil, bilamana kekuatan itu tidak lagi dapat

                ditiadakan oleh alat Negara yang membuatnya.10

        Selanjutnya, Utrecht mengatakan bahwa, dalam hal pembentukan suatu

produk hukum (sebagai bentuk kehendak dari alat Negara) dalam suatu keputusan

yang mengandung kekurangan yuridis dapat disebabkan oleh karena :



1) Kekhilafan / salah kira (dwaling)
10
  Suryono Hassan, Hukum Tata Usaha Negara, Cetakan 1, LPP UNS dan UNS Press, Surakarta,
2005.hlm. 38-39
13



       Salah kira terjadi bilamana sesorang (subyek hukum) menghendaki

sesuatu dan mengadakan suatu pernyataan yang sesuai dengan kehendak itu,

tetapi kehendak tersebut didasarkan atas suatu bayangan (vorselling) (tentang

sesuatu hal ) yang salah. Bayangan yang salah itu mengenai pokok maksud

pembuat (zelfstandigheid der zaak) – salah kita mengenai pokok maksud

pembuat, atau mengenai kedudukan / kecakapan (keahlian) seseorang (subyek

hukum) – salah kira mengenai orang (subyek hukum), atau mengenai hak

orang lain (dwaling in een subjectief recht), atau mengenai suatu (peraturan)

hukum – salah kira mengenai hukum (dwaling in het objectieve recht), atau

mengenai kekuasaan sendiri – salah kira mengenai kekuasaan sendiri (dwaling

in eigen bevoegdheid).

Contoh : A seorang wakil suatu perhimpunan yang bermaksud memajukan

seni – nyanyi, mengadakan suatu perjanjian dengan B dengan maksud supaya

B mengadakan beberapa pertunjukan seni – nyanyi di muka anggota

perhimpunan. A mengira bahwa B seorang penyanyi yang sangat pandai dan

termasyur. Tetapi yang menjadi termasyur diseluruh wilayah Negara bukan B

ini, tetapi seseorang lain yang kebetulan bernama B pula.

Disini terjadi suatu salah kira mengenai (kecakapan, kepandaian) seseorang.

Salah kira seseorang hanya dapat menjadi alasan untuk menuntut pembatalan

suatu perjanjian, bilamana salah kira itu mengenai kedudukan atau kecakapan

(keahlian) orang tersebut.

Jadi, dwaling terjadi apabila kehendak dan kenyataan berbeda, tetapi tanpa

adanya unsur kesengajaan.
14



Dwaling (kekhilafan / salah kira) dibagi menjadi dua (2), yaitu :

a) Eigenlijke Dwaling (kekhilafan / salah kira yang sungguh – sungguh)

   Prof. van der Pot, mengemukakan bahwa apabila administrasi Negara,

   dalam melaksanakan suatu peraturan perundang – undangan, hendak

   mengangkat (benoemen) seseorang oleh karena orang itu mempunyai

   suatu kecakapan (keahlian) tertentu, yang oleh administrasi Negara di

   kira orang tersebut mempunyai kecakapan yang dikehendaki,

   sedangkan orang yang telah diangkat sama sekali tidak mempunyai

   kecakapan (keahlian) yang dikehendaki, yang mana kecakapan

   tersebut seharusnya menurut peraturan perundang – undangan adalah

   merupakan syarat suatu pengangkatan, maka keputusan pengangkatan

   terhadap orang itu adalah batal (nietig) atau keputusan itu tidak sah

   berdasarkan peraturan perundang - undangan. Sebaliknya, jika

   kecakapan tertentu itu menurut peraturan perundang – undangan tidak

   menjadi syarat pengangkatan, maka keputusan yang bersangkutan

   tidak batal.

b) Non Eigenlijke Dwaling (kekhilafan / salah kira yang tidak sungguh –

   sungguh)

   Artinya : Produk hukum itu absah, tetapi yang tidak absah hanya

   sebagian kekhilafan saja.

   Misalnya : A mengajukan kepada pemerintah supaya diperkenankan

   memasukkan (invoeren) kedalam wilayah Indonesia 20 mobil

   Chevrolet. Kemudian A diberi ijin oleh pemerintah, namun dalam
15



           surat ijin tersebut terjadi salah pengetikan angka yang seharusnya 20

           mobil Chevrolet menjadi 200 mobil Chevrolet. Disini terjadi ada

           suatu salah kira karena peminta dahulu mengajukan permintaan

           supaya memasukkan 20 mobil Chevrolet saja dan bukan 200 mobil

           Chevrolet).

           Akibat ketetapan yang dibuat berdasarkan salah kira yang tidak

           sugguh – sungguh itu sah untuk sebagian saja, yaitu sah mengenai 20

           mobil Chevrolet yang boleh dimasukkan, tetapi batal untuk mengenai

           180 mobil Chevrolet yang sudah tentu tidak dapat dimasukkan.

           Akibatnya ketetapan itu batal untuk sebagian (gedeeltelijk nietig).



2) Paksaan (dwang)

          Paksaan dapat menjadi sebab untuk dapat dibatalkannya suatu

   keputusan dan paksaan keras dapat menjadi sebab untuk dapat dibatalkannya

   suatu keputusan yaitu batal karena hukum. Apabila perbuatan yang diadakan

   dengan paksaan keras (vis absoluta) adalah batal mutlak, oleh karena pada

   pihak yang dipaksa tidak ada suatu kehendak.

          Akibat perbuatan yang diadakan dengan paksaan (biasa) adalah dapat

   dibatalkan (yaitu batal untuk sebagiannya), oleh karena pada pihak yang

   dipaksa ada suatu kehendak, walaupun pembentukan suatu kehendak itu ada

   suatu ancaman. Misalnya, A diancam oleh B dengan sebuah pistol, A masih

   dapat memilih antara dibunuh atau membuat suatu keterangan yang
16



   dikehendaki oleh pengancam, kemudian A memilih untuk membuat

   keterangan, jadi pada A ada suatu kehendak.

        Namun dalam kenyataannya dwang berbeda, karena ada paksaan dan

   patut diduga. si pembuat peraturan tidak mungkin berbuat lain kecuali

   mengikuti kehendak si pemaksa (overmaaght).



3) Tipuan (bedrog)

          Tipuan terjadi bilamana yang mengadakan perbuatan menggunakan

   beberapa muslihat (kunstgrepen) sehingga pada pihak lain ditimbulkan suatu

   bayangan palsu (valse voorstelling) tentang sesuatu hal. Agar ada tipuan maka

   perlu ada beberapa muslihat, ada gabungan muslihat – muslihat (complex van

   kuntgrepen); jadi, satu saja kebohongan bukanlah merupakan suatu tipuan.

          Misalnya, Bagian Pendidikan dari Departemen Dalam Negeri dan

   Pemerintah Daerah mengangkat A sebagai pegawai – pelajar kursus Dinas

   Bagian C di kota Makassar. A diangkat oleh karena antara lain menurut

   keterangan yang diperoleh dan yang kemudian ternyataadalah suatu tipuan,

   karena umurnya 20 tahun dan umur itu di bawah umur yang oleh peraturan

   telah ditentukan batas, yaitu 23 tahun. Tetapi umur A yang sesungguhnya

   telah berumur 25 tahun. Sudah tentu bahwa andai Bagian Pendidikan

   mengetahui adanya tipuan umur itu maka A tidak akan dibuat keputusan,

   maka pengangkatannya batal. Namun, umpamanya umur A yang sebenarnya

   adalah 22 tahun, tetapi kepada Bagian Pendidikan diberitahukan umur 20

   tahun, dan andainya Bagian Pendidikan mengetahui umur yang sebenarnya itu
17



     meskipun itu suatu tipuan, maka A masih tetap diangkat karena umurnya

     dibawah batas yang ditentukan dalam peraturan – pengangkatannya sah.

            Jadi, keputusan hanya batal (dapat dibatalkan), apabila sifat tipuan

     begitu rupa sehingga dapat dikatakan bahwa dengan tidak menggunakan

     muslihat – muslihat itu sudah tentu keputusan tidak dibuat. Dalam hal ini ada

     kekurangan “essentieel”. Seperti hanya dengan salah kira, maka kekurangan

     yang disebabkan tipuan itu dapat mempengaruhi berlakunya keputusan hanya

     dalam hal tipuan tersebut bertentangan dengan undang – undang atau

     bertentangan dengan kejadian – kejadian yang benar – benar ada (feiten).11




C. PENGECUALIAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA YANG

     BERSIFAT POLITIK DALAM PERKEMBANGAN HUKUM TATA

     USAHA NEGARA


        Setelah diadakan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004, Pasal 2 menentukan bahwa tidak termasuk pengertian Keputusan Tata

Usaha Negara adalah sebagai berikut :


          1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum

              perdata .

          2) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang

              bersifat umum.

11
  Utrecht E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya,
1994, hlm.125-141
18



          3) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.

          4) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan

              ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan perundang-undangan

              lain yang bersifat pidana.

          5) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil

              pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan perundang-

              undangan yang berlaku.

          6) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara

              Nasional Indonesia.

          7) Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik dipusat maupun di daerah

              mengenai hasil pemilihan umum.12


        Pada awalnya Keputusan-Keputusan TUN yang menyangkut prosedur

pemilihan baik di pusat maupun di daerah sepanjang tidak mengenai Keputusan

Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksud oleh pasal 2 huruf g Undang-Undang

Nomor 5 tahun 1986, Hakim TUN berpendapat Keputusan TUN tersebut menjadi

kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara.


      Khusus untuk sengketa-sengketa tata usaha negara yang harus diselesaikan

terlebih dahulu melalui upaya administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 48

Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan TUN sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang nomor

51 tahun 2009 maka Pengadilan Tinggi TUN dapat memeriksa, memutus dan

12
  R. Wiyono., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Sinar
Grafika, Jakarta, 2008, hlm.31-32
19



menyelesaikannya sebagai badan peradilan tingkat pertama dan terhadap putusan

PT.TUN tersebut tidak tersedia upaya hukum banding melainkan langsung

mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.

     Kompetensi (kewenangan) suatu badan Pengadilan untuk mengadili suatu

perkara dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut.

Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan Pengadilan untuk mengadili

suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut

adalah kewenangan Pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek,

materi atau pokok sengketa.


       Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia merupakan peradilan

administrasi yang berwenang untuk menilai keabsahan suatu Keputusan Tata

Usaha Negara dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan

oleh pemerintah, sebagaimana dimaksud pada Pasal-Pasal; 1 butir (b,c,d), 3, 47,

53, dan 97 ayat (9) UU No. 5/1986. Dalam Pasal 1 butir b disebutkan bahwa

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang

melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Sedangkan butir c-nya menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha

Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,

individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan

hukum perdata. Kemudian pada butir d dirumuskan bahwa Sengketa Tata Usaha

Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara
20



orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara,

baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, sebagai akibat dikeluarkannya

Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk dalam sengketa kepegawaian

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam praktek, adanya

kontrol ini sering juga dilihat sebagai sarana untuk mencegah timbulnya segala

suatu bentuk tindakan atas penyimpangan tugas pemerintahan yang dilakukan dari

apa yang telah digariskan dalam peraturan perundangan. Memang disinilah letak

inti atau hakekat dari suatu pengawasan. Pembentukan Peradilan Tata Usaha

Negara juga diartikan sebagai kecenderungan tekad pemerintah untuk melindungi

hak-hak asasi warga negara terhadap kekuasaan pemerintah dalam melaksanakan

urusan pemerintahan.13


        Dalam perkembangannya Mahkamah Agung berpendapat, sesuai doktrin

hukum adminitrasi, keputusan-keputusan di bidang politik tidak termasuk

Keputusan TUN, sehingga dengan melihat pada tindakan-tindakan yang

mendasari diterbitkannya Keputusan TUN dalam rangka pemilihan, baik dari segi

prosedur maupun materinya tidak dapat digolongkan sebagai tindakan di bidang

fungsi penyelenggaraan urusan pemerintahan, maka produk Keputusan TUN-nya

tidak dapat dinilai oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (lihak SEMA No.8

Tahun 2005 Jo. Putusan Mahkamah Agung No.482K/TUN/2003).


        Di samping itu ada perubahan norma hukum positif dalam undang-undang,

yaitu ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 diubah

13
  Martiman P., Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, 1993, Jakarta,
hlm.12
21



oleh ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, yang

menyatakan Keputusan KPU baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil

Pemilihan Umum tidak termasuk dalam pengertian Keputusan TUN.


       Dengan demikian, menyangkut kasus-kasus dibidang politik seperti

Keputusan TUN obyek sengketa tentang pengesahan kepengurusan Partai Politik,

pemecatan anggota atau pengurus Partai Politik tertentu oleh DPP/DPD Partai

Politik yang bersangkutan, bukanlah termasuk Keputusan Badan atau Pejabat

TUN menurut ketentuan pasal 1 butir (3) Undang-Undang PERATUN, karena

kegiatan partai politik tidak dapat digolongkan sebagai kegiatan fungsi urusan

pemerintah. Untuk hal ini lebih lanjut lihat Putusan Mahkamah Agung

No.190K/TUN 1997 Jo. No.77/BGD-G.PD/PT. TUN-MDN/1996 Jo. No.

06/G/1996/ PTUN-PDG.14 Maka sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, yang mempunyai

wewenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut adalah

Mahkamah Konstitusi.




14
   Slamet Kadar., Ceramah Disampaikan Pada Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Angkatan
IV Tahun 2009 Di PUSDIKLAT MA-RI, CIKOPO, Subyek Hukum (Penggugat Dan Tergugat)
Serta Perkembangan Subyek Dan Obyek Hukum Dalam Yurisprudensi TUN,
http://teguhalexander.blogspot.com/, diakses 18 April 2012
22



                                    BAB III

                                   PENUTUP



A. KESIMPULAN

           Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa

kesimpulan antara lain :


           Bahwa Dalam teori dan praktek peradilan dikenal adanya kompetensi

relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengan

kewenangan Pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah

hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan Pengadilan untuk

mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Sehingga

konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya Keputusan Tata Usaha Negara yang

bersifat politik dalam perkembangan Hukum Tata Usaha Negara, dapat dibatalkan

karena bukan merupakan kewenangan (kompetensi absolut) Pengadilan TUN

untuk mengadili suatu perkara tentang sengketa Keputusan TUN yang bersifat

politik.


           Bahwa dalam perkembangannya Mahkamah Agung berpendapat, sesuai

doktrin hukum adminitrasi, keputusan-keputusan di bidang politik tidak termasuk

Keputusan TUN, sehingga dengan melihat pada tindakan-tindakan yang

mendasari diterbitkannya Keputusan TUN dalam rangka pemilihan, baik dari segi

prosedur maupun materinya tidak dapat digolongkan sebagai tindakan di bidang

fungsi penyelenggaraan urusan pemerintahan, maka produk Keputusan TUN-nya
23



tidak dapat dinilai oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. Oleh karena iyu,

sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003, yang mempunyai wewenang untuk memeriksa, mengadili

dan memutus perkara tersebut adalah Mahkamah Konstitusi.




B. SARAN


       Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa

saran yang dapat penulis rekomendasikan sebagai berikut :


       Bahwa para pihak/pihak yang merasa dirugikan dari akibat dikeluarkannya

Keputusan TUN khususnya Keputusan TUN yang bersifat politik jika ingin

melakukan gugatan ke Pengandilan TUN perlu untuk memperhatikan pokok

sengketa Keputusan TUN yang menjadi kewenangan relatif dan kewenangan

absolut peradilan manakah yang berhak mengadili sengketa dari Keputusan TUN

yang bersifat politik, untuk itu perlu dilihat pula Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004, Pasal 2 menentukan bahwa tidak termasuk pengertian Keputusan Tata

Usaha Negara adalah sebagai berikut :


          1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum

              perdata.

          2) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang

              bersifat umum.
24



3) Keputusan      Tata   Usaha   Negara   yang   masih   memerlukan

   persetujuan.

4) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan

   ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan perundang-undangan

   lain yang bersifat pidana.

5) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil

   pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan perundang-

   undangan yang berlaku.

6) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara

   Nasional Indonesia.

7) Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik dipusat maupun di

   daerah mengenai hasil pemilihan umum.
25



                            DAFTAR PUSTAKA




Hadjon Philipus. M et, al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia , Gajah

        Mada Press Yogyakarta, 1999


HR Ridwan., Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006


Marbun. SF & Mahfud. Moh., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Edisi

        Pertama, Cetakan Keempat, Liberty, Yogyakarta, 2006


Martiman P., Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia,

        1993, Jakarta


Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan Hukum Tata Usaha Negata, Program

        Pasca Sarjana Magister Hukum Kenegaraan-UGM, Yogyakarta, 2012


R. Wiyono., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua, Cetakan

        Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2008


Utrecht E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas,

        Surabaya, 1994


Sadjijono.,Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara,

        LaksBang PRESSindo, Yogyakarta


Slamet Kadar., Ceramah Disampaikan Pada Pendidikan dan Pelatihan Calon

        Hakim Angkatan IV Tahun 2009 Di PUSDIKLAT MA-RI, CIKOPO,
26



        Subyek Hukum (Penggugat Dan Tergugat) Serta Perkembangan Subyek

        Dan      Obyek       Hukum        Dalam       Yurisprudensi   TUN,

        http://teguhalexander.blogspot.com/, diakses 18 April 2012


Suryono Hassan, Hukum Tata Usaha Negara, Cetakan 1, LPP UNS dan UNS

        Press, Surakarta, 2005


Tjandra W. Riawan., Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya

        Yogyakarta, Yogyakarta, 2008


Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

        Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara


Zamzuri., Tindak Pemerintahan (Bestuurhandeling), Al-Hikmah, Yogyakarta,

        1985

Weitere ähnliche Inhalte

Was ist angesagt?

Bahan ajar han lanjut
Bahan ajar han lanjutBahan ajar han lanjut
Bahan ajar han lanjutSri Nur Hari
 
buku hukum admnistrasi negara E.Utrech
buku hukum admnistrasi negara E.Utrechbuku hukum admnistrasi negara E.Utrech
buku hukum admnistrasi negara E.UtrechPet-pet
 
hukum administrasi negara by diahandani.blogspot.com
hukum administrasi negara by diahandani.blogspot.comhukum administrasi negara by diahandani.blogspot.com
hukum administrasi negara by diahandani.blogspot.comAndani Abayz
 
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htnPengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htnDella Mega Alfionita
 
Hukum administrasi negara 2
Hukum administrasi negara 2Hukum administrasi negara 2
Hukum administrasi negara 2Nuelimmanuel22
 
8. keputusan tata usaha negara
8. keputusan tata usaha negara8. keputusan tata usaha negara
8. keputusan tata usaha negaranurul khaiva
 
3. instrumen dasar pemerintahan
3. instrumen dasar pemerintahan3. instrumen dasar pemerintahan
3. instrumen dasar pemerintahanDian Oktavia
 
Sumber sumber hukum administrasi
Sumber sumber hukum administrasiSumber sumber hukum administrasi
Sumber sumber hukum administrasiMuslimin B. Putra
 
Obyek Hukum Administrasi Negara
Obyek Hukum Administrasi  NegaraObyek Hukum Administrasi  Negara
Obyek Hukum Administrasi NegaraMuslimin B. Putra
 
2. peristilahan dan pengertian han
2. peristilahan dan pengertian han2. peristilahan dan pengertian han
2. peristilahan dan pengertian hannurul khaiva
 
Perkara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Hukum Administrasi Negara
Perkara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Hukum Administrasi NegaraPerkara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Hukum Administrasi Negara
Perkara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Hukum Administrasi NegaraDella Mega Alfionita
 
Bab 2 Hukum Administrasi Negara Kedudukan, Kewenangan dan Tindakan Pemerintah
Bab 2 Hukum Administrasi Negara Kedudukan, Kewenangan dan Tindakan PemerintahBab 2 Hukum Administrasi Negara Kedudukan, Kewenangan dan Tindakan Pemerintah
Bab 2 Hukum Administrasi Negara Kedudukan, Kewenangan dan Tindakan PemerintahIsaka Yoga
 
Disiplin ilmu hukum tata negara
Disiplin ilmu hukum tata negaraDisiplin ilmu hukum tata negara
Disiplin ilmu hukum tata negaraMAHASISWI
 
2. norma dasar adminstrasi negara
2. norma dasar adminstrasi negara2. norma dasar adminstrasi negara
2. norma dasar adminstrasi negaraDian Oktavia
 
1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negaranurul khaiva
 
3 sumber hukum tata negara
3 sumber hukum tata negara3 sumber hukum tata negara
3 sumber hukum tata negaraNuelnuel11
 

Was ist angesagt? (20)

Bahan ajar han lanjut
Bahan ajar han lanjutBahan ajar han lanjut
Bahan ajar han lanjut
 
buku hukum admnistrasi negara E.Utrech
buku hukum admnistrasi negara E.Utrechbuku hukum admnistrasi negara E.Utrech
buku hukum admnistrasi negara E.Utrech
 
hukum administrasi negara by diahandani.blogspot.com
hukum administrasi negara by diahandani.blogspot.comhukum administrasi negara by diahandani.blogspot.com
hukum administrasi negara by diahandani.blogspot.com
 
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htnPengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
 
Hukum administrasi negara 2
Hukum administrasi negara 2Hukum administrasi negara 2
Hukum administrasi negara 2
 
8. keputusan tata usaha negara
8. keputusan tata usaha negara8. keputusan tata usaha negara
8. keputusan tata usaha negara
 
3. instrumen dasar pemerintahan
3. instrumen dasar pemerintahan3. instrumen dasar pemerintahan
3. instrumen dasar pemerintahan
 
Sumber sumber hukum administrasi
Sumber sumber hukum administrasiSumber sumber hukum administrasi
Sumber sumber hukum administrasi
 
Obyek Hukum Administrasi Negara
Obyek Hukum Administrasi  NegaraObyek Hukum Administrasi  Negara
Obyek Hukum Administrasi Negara
 
2. peristilahan dan pengertian han
2. peristilahan dan pengertian han2. peristilahan dan pengertian han
2. peristilahan dan pengertian han
 
Hukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi NegaraHukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi Negara
 
Perkara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Hukum Administrasi Negara
Perkara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Hukum Administrasi NegaraPerkara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Hukum Administrasi Negara
Perkara Peradilan Tata Usaha Negara di dalam Hukum Administrasi Negara
 
Bab 2 Hukum Administrasi Negara Kedudukan, Kewenangan dan Tindakan Pemerintah
Bab 2 Hukum Administrasi Negara Kedudukan, Kewenangan dan Tindakan PemerintahBab 2 Hukum Administrasi Negara Kedudukan, Kewenangan dan Tindakan Pemerintah
Bab 2 Hukum Administrasi Negara Kedudukan, Kewenangan dan Tindakan Pemerintah
 
Disiplin ilmu hukum tata negara
Disiplin ilmu hukum tata negaraDisiplin ilmu hukum tata negara
Disiplin ilmu hukum tata negara
 
Hukum administrasi negara
Hukum administrasi negaraHukum administrasi negara
Hukum administrasi negara
 
han
hanhan
han
 
2. norma dasar adminstrasi negara
2. norma dasar adminstrasi negara2. norma dasar adminstrasi negara
2. norma dasar adminstrasi negara
 
1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara
 
Bahan kuliah han
Bahan kuliah hanBahan kuliah han
Bahan kuliah han
 
3 sumber hukum tata negara
3 sumber hukum tata negara3 sumber hukum tata negara
3 sumber hukum tata negara
 

Andere mochten auch

Analisis penyelesaian sengketa dalam peradilan tata usaha negara berdasar kan...
Analisis penyelesaian sengketa dalam peradilan tata usaha negara berdasar kan...Analisis penyelesaian sengketa dalam peradilan tata usaha negara berdasar kan...
Analisis penyelesaian sengketa dalam peradilan tata usaha negara berdasar kan...Yanels Garsione
 
Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...
Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...
Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...Angelina Clara
 
Dokumen 1 K13 Prodi Multimedia SMK Islam Hang Tuah Batam
Dokumen 1 K13 Prodi Multimedia SMK Islam Hang Tuah Batam Dokumen 1 K13 Prodi Multimedia SMK Islam Hang Tuah Batam
Dokumen 1 K13 Prodi Multimedia SMK Islam Hang Tuah Batam Jogie Suaduon
 
Proposal SKRIPSI Hukum Tata Negara
Proposal SKRIPSI Hukum Tata Negara Proposal SKRIPSI Hukum Tata Negara
Proposal SKRIPSI Hukum Tata Negara DELA ASFARINA
 

Andere mochten auch (7)

Analisis penyelesaian sengketa dalam peradilan tata usaha negara berdasar kan...
Analisis penyelesaian sengketa dalam peradilan tata usaha negara berdasar kan...Analisis penyelesaian sengketa dalam peradilan tata usaha negara berdasar kan...
Analisis penyelesaian sengketa dalam peradilan tata usaha negara berdasar kan...
 
Pengawasan terhadap produk hukum yang berbentuk keputusan tata usaha negara m...
Pengawasan terhadap produk hukum yang berbentuk keputusan tata usaha negara m...Pengawasan terhadap produk hukum yang berbentuk keputusan tata usaha negara m...
Pengawasan terhadap produk hukum yang berbentuk keputusan tata usaha negara m...
 
Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...
Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...
Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...
 
Dokumen 1 K13 Prodi Multimedia SMK Islam Hang Tuah Batam
Dokumen 1 K13 Prodi Multimedia SMK Islam Hang Tuah Batam Dokumen 1 K13 Prodi Multimedia SMK Islam Hang Tuah Batam
Dokumen 1 K13 Prodi Multimedia SMK Islam Hang Tuah Batam
 
Studi kasus hukum tata negara
Studi kasus hukum tata negaraStudi kasus hukum tata negara
Studi kasus hukum tata negara
 
Proposal SKRIPSI Hukum Tata Negara
Proposal SKRIPSI Hukum Tata Negara Proposal SKRIPSI Hukum Tata Negara
Proposal SKRIPSI Hukum Tata Negara
 
Contoh proposal skripsi
Contoh proposal skripsiContoh proposal skripsi
Contoh proposal skripsi
 

Ähnlich wie Konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya keputusan tata usaha negara yang bersifat politik dalam perkembanga

6. jaminan administrasi negara
6. jaminan administrasi negara6. jaminan administrasi negara
6. jaminan administrasi negaraDian Oktavia
 
KONSEP HUKUM KEPUTUSAN TUN DAN KOPETENSI PTUN
KONSEP HUKUM KEPUTUSAN TUN DAN KOPETENSI PTUNKONSEP HUKUM KEPUTUSAN TUN DAN KOPETENSI PTUN
KONSEP HUKUM KEPUTUSAN TUN DAN KOPETENSI PTUNsherlcoklekipiouw
 
PERTEMUAN 7.pptx
PERTEMUAN 7.pptxPERTEMUAN 7.pptx
PERTEMUAN 7.pptxBeatDragon
 
Pengantar ilmu hukum sumber sumber hukum
Pengantar ilmu hukum sumber   sumber hukumPengantar ilmu hukum sumber   sumber hukum
Pengantar ilmu hukum sumber sumber hukumSeptiani Dwi Rahayu
 
Power Point Peran Adv Dalam Penegakkan Hukum.pptx
Power Point Peran Adv Dalam Penegakkan Hukum.pptxPower Point Peran Adv Dalam Penegakkan Hukum.pptx
Power Point Peran Adv Dalam Penegakkan Hukum.pptxYuliAnti565057
 
Instrumen Pemerintah dalam Kebijakan Pemerintah.docx
Instrumen Pemerintah dalam Kebijakan Pemerintah.docxInstrumen Pemerintah dalam Kebijakan Pemerintah.docx
Instrumen Pemerintah dalam Kebijakan Pemerintah.docxZukét Printing
 
Instrumen Pemerintah dalam Kebijakan Pemerintah.pdf
Instrumen Pemerintah dalam Kebijakan Pemerintah.pdfInstrumen Pemerintah dalam Kebijakan Pemerintah.pdf
Instrumen Pemerintah dalam Kebijakan Pemerintah.pdfZukét Printing
 
Bab 5 menegakan keadilan bagi bangsa indonesia
Bab 5 menegakan keadilan bagi bangsa indonesiaBab 5 menegakan keadilan bagi bangsa indonesia
Bab 5 menegakan keadilan bagi bangsa indonesiaermisetyawati
 
IX Sumber Hukum & Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.pptx
IX Sumber Hukum & Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.pptxIX Sumber Hukum & Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.pptx
IX Sumber Hukum & Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.pptxdonihasmanto
 
KULIAH-HUKUM-TATA-NEGARA2-M.-Yusrizal.pptx
KULIAH-HUKUM-TATA-NEGARA2-M.-Yusrizal.pptxKULIAH-HUKUM-TATA-NEGARA2-M.-Yusrizal.pptx
KULIAH-HUKUM-TATA-NEGARA2-M.-Yusrizal.pptxprimakarya2
 

Ähnlich wie Konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya keputusan tata usaha negara yang bersifat politik dalam perkembanga (20)

Ketidakabsahan suatu produk hukum karena mengalami kekurangan yuridis
Ketidakabsahan suatu produk hukum karena mengalami kekurangan yuridisKetidakabsahan suatu produk hukum karena mengalami kekurangan yuridis
Ketidakabsahan suatu produk hukum karena mengalami kekurangan yuridis
 
6. jaminan administrasi negara
6. jaminan administrasi negara6. jaminan administrasi negara
6. jaminan administrasi negara
 
Uu 09 2004 Pjls
Uu 09 2004 PjlsUu 09 2004 Pjls
Uu 09 2004 Pjls
 
KONSEP HUKUM KEPUTUSAN TUN DAN KOPETENSI PTUN
KONSEP HUKUM KEPUTUSAN TUN DAN KOPETENSI PTUNKONSEP HUKUM KEPUTUSAN TUN DAN KOPETENSI PTUN
KONSEP HUKUM KEPUTUSAN TUN DAN KOPETENSI PTUN
 
PERTEMUAN 7.pptx
PERTEMUAN 7.pptxPERTEMUAN 7.pptx
PERTEMUAN 7.pptx
 
Fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasional
Fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasionalFungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasional
Fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasional
 
Pengantar ilmu hukum sumber sumber hukum
Pengantar ilmu hukum sumber   sumber hukumPengantar ilmu hukum sumber   sumber hukum
Pengantar ilmu hukum sumber sumber hukum
 
Peranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara
Peranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negaraPeranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara
Peranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara
 
Ptun
PtunPtun
Ptun
 
Pengantar ilmu hukum
Pengantar ilmu hukumPengantar ilmu hukum
Pengantar ilmu hukum
 
Azas keadilan
Azas keadilanAzas keadilan
Azas keadilan
 
Penggolongan hukum
Penggolongan hukumPenggolongan hukum
Penggolongan hukum
 
Legal drafting
Legal draftingLegal drafting
Legal drafting
 
Power Point Peran Adv Dalam Penegakkan Hukum.pptx
Power Point Peran Adv Dalam Penegakkan Hukum.pptxPower Point Peran Adv Dalam Penegakkan Hukum.pptx
Power Point Peran Adv Dalam Penegakkan Hukum.pptx
 
Htn
HtnHtn
Htn
 
Instrumen Pemerintah dalam Kebijakan Pemerintah.docx
Instrumen Pemerintah dalam Kebijakan Pemerintah.docxInstrumen Pemerintah dalam Kebijakan Pemerintah.docx
Instrumen Pemerintah dalam Kebijakan Pemerintah.docx
 
Instrumen Pemerintah dalam Kebijakan Pemerintah.pdf
Instrumen Pemerintah dalam Kebijakan Pemerintah.pdfInstrumen Pemerintah dalam Kebijakan Pemerintah.pdf
Instrumen Pemerintah dalam Kebijakan Pemerintah.pdf
 
Bab 5 menegakan keadilan bagi bangsa indonesia
Bab 5 menegakan keadilan bagi bangsa indonesiaBab 5 menegakan keadilan bagi bangsa indonesia
Bab 5 menegakan keadilan bagi bangsa indonesia
 
IX Sumber Hukum & Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.pptx
IX Sumber Hukum & Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.pptxIX Sumber Hukum & Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.pptx
IX Sumber Hukum & Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.pptx
 
KULIAH-HUKUM-TATA-NEGARA2-M.-Yusrizal.pptx
KULIAH-HUKUM-TATA-NEGARA2-M.-Yusrizal.pptxKULIAH-HUKUM-TATA-NEGARA2-M.-Yusrizal.pptx
KULIAH-HUKUM-TATA-NEGARA2-M.-Yusrizal.pptx
 

Mehr von Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta, Indonesia

Mehr von Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta, Indonesia (11)

Kebuntuan Dari Pendekatan Legalitas Formal Menuju Pendekatan Interdisipliner
Kebuntuan Dari Pendekatan Legalitas Formal Menuju Pendekatan InterdisiplinerKebuntuan Dari Pendekatan Legalitas Formal Menuju Pendekatan Interdisipliner
Kebuntuan Dari Pendekatan Legalitas Formal Menuju Pendekatan Interdisipliner
 
Konsekuensi yuridis terhadap timbulnya kerugian keuangan negara dalam tindak ...
Konsekuensi yuridis terhadap timbulnya kerugian keuangan negara dalam tindak ...Konsekuensi yuridis terhadap timbulnya kerugian keuangan negara dalam tindak ...
Konsekuensi yuridis terhadap timbulnya kerugian keuangan negara dalam tindak ...
 
Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...
Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...
Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...
 
Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...
Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...
Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...
 
Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...
Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...
Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...
 
Kebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisipliner
Kebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisiplinerKebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisipliner
Kebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisipliner
 
KEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU PENDEKATAN INTERDISIPLINER
KEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU PENDEKATAN INTERDISIPLINERKEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU PENDEKATAN INTERDISIPLINER
KEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU PENDEKATAN INTERDISIPLINER
 
Teori hukum
Teori hukumTeori hukum
Teori hukum
 
Sinopsis pranata hukum
Sinopsis pranata hukumSinopsis pranata hukum
Sinopsis pranata hukum
 
Peranan filsafat pancasila dalam pembangunan
Peranan filsafat pancasila dalam pembangunanPeranan filsafat pancasila dalam pembangunan
Peranan filsafat pancasila dalam pembangunan
 
Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
 

Konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya keputusan tata usaha negara yang bersifat politik dalam perkembanga

  • 1. 1 KONSEKUENSI YURIDIS DENGAN DIKECUALIKANNYA KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA YANG BERSIFAT POLITIK DALAM PERKEMBANGAN HUKUM TATA USAHA NEGARA ( Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Tata Usaha Negara) Oleh : FREINGKY A. NDAUMANU, S.H. NIM : 11/322217/PHK/06731 PROGRAM PASCASARJARNA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA MAGISTER HUKUM 2012
  • 2. 2 BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Keputusan administrasi merupakan suatu pengertian yang sangat umum dan abstrak, yang dalam praktik tampak dalam bentuk Keputusan-Keputusan yang sangat berbeda namun mengandung ciri-ciri yang sama. Adalah penting untuk mempunyai pengertian yang mendalam tentang pengertian dari Keputusan administrasi sebab dalam hukum positif akan timbul akibat-akibat yang mungkin dipersengketakan dan penyelesaiannya oleh hakim dipengadilan.1 Keputusan Tata Usaha Negara bukan bagian dari peraturan perundang- undangan (algemene verbindende voorschriften) tetapi dibuat dan dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan itu. Dasar pengujian (toetsing) dari Keputusan Tata Usaha Negara adalah peraturan perundang-undangan, dan hal dimaksud merupakan pengujian bagi hakim guna menilai absah atau tidaknya suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 47 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, PTUN bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN. Pengertian sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di Pusat maupun di Daerah, 1 Hadjon Philipus. M et, al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia , Gajah Mada Press Yogyakarta, 1999, hlm. 124
  • 3. 3 sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 5 Tahun 1986 Jo Undang-undang No. 9 Tahun 2004). Dengan demikian, dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa yang berkedudukan sebagai Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata, sedangkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di Daerah selalu berkedudukan sebagai Tergugat, karena yang menjadi objek sengketa di PTUN adalah hanya KTUN. Dalam Perkembangan praktek peradilan mengenai KTUN sebagai objek gugatan di Pengadilan TUN tidak hanya menyangkut produk-produk hukum berupa Surat Keputusan, dimana Pejabat yang menerbitkannya secara formal berada diluar lingkup Tata Usaha Negara, Keputusan Pejabat TUN yang diterbitkan atas dasar kewenangannya yang berada diluar urusan pemerintahan (eksekutif), salah satunya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat poltik. B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Konsekuensi Yuridis Dengan Dikecualikannya Keputusan Tata Usaha Negara Yang Bersifat Politik Dalam Perkembangan Hukum Tata Usaha Negara?”
  • 4. 4 BAB II PEMBAHASAN A. PENGERTIAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA Alat administrasi Negara di dalam melaksanakan tugasnya untuk merealisir tujuan dari suatu peraturan perundang-undangan sering melakukan perbuatan/tindakan yang disebut ketetapan. Mengenai istilah yang dipakai belum ada kesatuan pendapat di antara ahli, sebagai contoh dapat dikemukakan : (1) Drs. Utrecht, SH dan Prof. Boedisusetyo, SH (almarhum), menggunakan istilah ketetapan sebagai terjemahan dari bahasa belanda “Beschikking” atau bahasa perancis “Acte Administratif”. Dalam ilmu hukum jerman disebut dengan istilah “Verwaltungs Act”. (2) Prof. Kuntjoro Purbopranoto, SH, lebih cenderung menggunakan istilah “Keputusan” sebagai terjemahan “Beschikking”, sebab menurut beliau istilah “Ketetapan” sudah mempunyai pengertian tekhnis yuridis sebagai produk MPR, hal itu terbukti dari berbagai macam TAP MPR yang sudha biasa kita kenal.2 (3) Mr. WF. PRINS, dalam bukunya Inleiding in het Administratiefrecht van Indonesia - menyebutkan beschikking sebagai suatu tindakan hukum sepihak dalam lapangan pemerintahan yang dilakukan oleh alat pemerintahan berdasarkan wewenang yang ada pada alat atau organ itu. 2 Zamzuri., Tindak Pemerintahan (Bestuurhandeling), Al-Hikmah, Yogyakarta, 1985, hlm.31-32
  • 5. 5 (4) Van der Pot, dalam bukunya Nederlandsch Bestuursrecht menyatakan beschikking adalah perbuatan hukum yang dilakukan alat-alat pemerintahan, pernyataan-pernyataan kehendak alat-alat pemerintahan itu dalam menyelanggarakan hak istimewa, dengan maksud mengadakan perubahan dalam lapangan perhubungan-perhubungan publik.3 (5) Menurut Prof. Muchsan,4 keputusan adalah penetapan tertulis yang diproduksi oleh pejabat Tata Usaha Negara atau pejabat admnistrasi Negara yang mendasarkan diri kepada peraturan yang lebih tinggi dan bersifat individual, konkret dan final. Berdasarkan pengertian tersebut diatas, terdapat empat (4) unsur-unsur keputusan yang dapat diuraikan sebagai berikut, yaitu : 1) Penetapan tertulis, maksudnya keputusan ini yang penting wujudnya tertulis walaupun bentuknya tidak formil; 2) Diproduksi oleh pejabat TUN, maksudnya ada dua (2) yaitu : Pejabat/Aparat Pemerintah dan Swasta (asalkan mempunyai izin dari pemerintah dalam bentuk pelimpahan wewenang); 3) Mendasarkan diri kepada peraturan perundang-undangan; 4) Bersifat konkret artinya tujuan jelas, misalnya keputusan mengangkat Guru Besar; bersifat individual, maksudnya sasarannya tugas kepada siapa keptusan itu ditujukan; dan bersifat 3 Marbun. SF & Mahfud. Moh., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Edisi Pertama, Cetakan Keempat, Liberty, Yogyakarta, 2006, hlm.75 4 Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan Hukum Tata Usaha Negata, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Kenegaraan-UGM, Yogyakarta, 2012
  • 6. 6 final, maksudnya keputusan itu langsung menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban. Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 : “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.5 Mengenai apa yang dimaksud dengan “Tata Usaha Negara”, Pasal 1 angka 7 menentukan bahwa : “Tata Usaha Negara adalah administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah”6 Adapun yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan” dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan sebagai kegiatan yang bersifat eksekutif. B. KEABSAHAN DAN KETIDAKABSAHAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA Ditinjau dari sudut normatif acuan keabsahan dari Keputusan Tata Usaha Negara didasarkan atas Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 yang merupakan revisi dari Pasal 53 ayat (2) UU No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha 5 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara 6 Ibid
  • 7. 7 Negara. Syarat sah suatu Keputusan TUN menurut Pasal 53 ayat (2) UU No.9 Tahun 2004 harus ditafsirkan secara a contrario, adalah : a) Keputusan Tata Usaha Negara sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. b) Keputusan Tata Usaha Negara sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Manakala suatu Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan kedua syarat sah diatas, menurut Pasal 53 ayat (2) UU No.9 Tahun 2004 dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara oleh orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan.7 Berkaitan dengan “tidak berwenang”-nya suatu Badan atau pejabat pemerintahan (tata usaha Negara) untuk melakukan tindak pemerintahan untuk mengeluarkan keputusan, menurut Philipus M. Hadjon,8 dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yakni : a. Tidak berwenang dari segi materi (ratione materiae) Artinya seorang pejabat yang mengeluarkan keputusan tata usaha Negara tentang materi atau masalah tertentu itu menjadi wewenang dari Badan atau pejabat lain. b. Tidak berwenang dari segi wilyah atau tempat (ratione locus) 7 Tjandra W. Riawan., Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2008, hlm.72-73 8 Sadjijono.,Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hlm.63-64
  • 8. 8 Artinya keputusan tata usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan pejabat tata usaha Negara mengenai sesuatu yang berada diluar wilayah jabatannya. c. Tidak berwenang dari segi waktu (ratione temporis) Artinya keputusan dikeluarkan karena melampui tenggang waktu yang dikeluarkan. Untuk mengetahui “tidak berwenang” atau “berwenang”-nya Badan atau pejabat tata usaha Negara melakukan tindakan pemerintahan, melalui langkah interpretasi sistematis terhadap ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku, khususnya yang mengatur tentang wewenang pemerintahan. Pangkal tolak penilaian kewenangan tindak pemerintahan ini kembali pada asas legalitas (legalitiet beginselen) sebagai asas utama dalam Negara hukum. Oleh karena itu, dalam penilaian ini berlaku teori berbanding terbalik, yakni salah satu aspek dapat dinilai juga, artinya jika tindakan yang menjadi “kewenangannya” dapat dinilai atau diketahui pula tindakan - tindakan yang tidak menjadi wewenangnya (tidak berwenang), atau sebaliknya. Selanjutnya, meskipun suatu keputusan itu dianggap sah dan akan menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, keputusan yang sah itu tidak akan dengan sendirinya berlaku, karena untuk berlakunya suatu keputusan harus memperhatikan tiga (3) hal berikut ini : a) Jika berdasarkan peraturan dasarnya, terhadap keputusan itu tidak memberi kemungkinan mengajukan permohonan banding bagi yang
  • 9. 9 dikenai keputusan, keputusan itu mulai berlaku sejak saat diterbitkan (ex nunc). b) Jika berdasarkan peraturan dasarnya terdapat kemungkinan utnuk mengajukan banding terhadap keputusan yang bersangkutan, keberlakuan keputusan itu tergantung dari proses banding itu. Krenenburg dan Vegting menyebutkan empat (4) cara permohonan banding terhadap keputusan, yaitu sebagai berikut : 1. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan pembatalan keputusan pada tingkat banding, dimana kemungkinan itu ada. 2. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pemerintah supaya keputusan itu dibatalkan. 3. Pihak yang dikenai keputusan itu dapat mengajukan masalahnya kepada hakim biasa agar keputusan itu dinyatakan batal karena bertentangan dengan hukum. 4. Pihak yang dikenai keputusan itu dapat berusaha apabila karena tidak dapat memenuhi/menjalankan keputusan itu, untuk memperoleh keputusan dari hakim seperti yang dimaksud dalam bagian 3. Pada umumnya batas waktu mengajukan banding itu ditentukan dalam peraturan dasar yang terkait dengan keputusan itu. Jika batas waktu banding telah berakhir dan tidak digunakan oleh
  • 10. 10 mereka yang dikenai keputusan itu, maka keputusan itu mulai berlaku sejak saat berakhirnya batas waktu banding itu. c) Jika keputusan itu memerlukan pengesahan dari organ atau instansi pemerintah yang lebih tinggi, keputusan itu mulai berlaku setelah mendapatkan pengesahan. Berkenaan dengan pengesahan atau persetujuan ini, terdapat tiga (3) pendapat, yaitu sebagai berikut : 1) Karena berhak untuk memberikan persetujuan, Mahkota (pemerintah) menjadi pembuat serta undang – undang, jadi merupakan hak pengukuhan. 2) Hak memberikan persetujuan merupakan hak placet, artinya melepaskan tanggungjawab (jadi, pernyataan dapat dilaksanakan). Persetujuan merupakan tindakan terus – menerus, artinya tidak berakhir pada saat diberikan, tetapi dapat ditarik kembali selama yang disetujuinya masih berlaku.9 Terkait dengan hal tersebut diatas maka perbuatan aparat pemerintah akan mengalami kebatalan, di antaranya dapat dijabarkan melalui tiga (3) teori tentang kebatalan (nietig theorie) sebagai akibat perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenang sebagai berikut: 1. Batal Mutlak (absolute nietig) 9 HR Ridwan., Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.171-173
  • 11. 11 Konsekuensi yuridis/akibat hukumnya, yaitu semua perbuatan hukum yang sudah dilakukan dianggap belum pernah ada sehingga keadaan harus dikembalikan seperti semula. Misalnya, seseorang menyewa rumah pada orang yang berada dibawah pengampuan, selama 10 tahun. Perjanjian menyewa rumah tersebut telah berjalan selama 5 tahun, ketika diketahui ternyata orang tersebut (pemberi sewa) tidak cakap hukum, maka mengetahui hal tersebut penyewa meminta pembatalan kepada pengadilan. Permintaan pembatalan tersebut dikabulkan oleh pengadilan, karena hal tersebut maka perbuatan sewa-menyewa tersebut dianggap tidak sah dan harus batal. Dengan demikian perjanjian sewa- menyewa dianggap tidak pernah ada. Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: hanya pejabat yudikatif saja. 2. Batal Demi Hukum (nietig van rechts wege) Konsekuensi yuridis/akibat hukumnya ada dua (2) alternatif, yakni : Semua perbuatan hukum yang pernah dilakukan dianggap belum pernah ada. Sebagian perbuatan dinyatakan sah, sedangkan sebagian yang lain dinyatakan batal. Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: pejabat eksekutif dan yudikatif.
  • 12. 12 3. Dapat Dibatalkan (vernietig baar): Konsekuensi yuridis/akibat hukumnya, yaitu seluruh perbuatan hukum yang telah dilakukan dianggap sah. Perbuatan hukum yang belum dilakukan dinyatakan tidak sah. Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: pejabat yudikatif, eksekutif dan legislatif. Keputusan tidak sah itu tidak mempunyai kekuatan hukum, hal ini ada dua (2) kemungkinan yaitu : 1. Keputusan tidak sah berlaku surut sampai saat dikeluarkannya keputusan itu. 2. Keputusan tidak sah mulai saat pembatalan itu. Menurut Utrecht kekuatan hukum suatu keputusan ada dua (2), yaitu : a) Kekuatan hukum formil, yakni bila tidak dibantah oleh suatu alat hukum, misalnya naik banding. b) Kekuatan hukum materiil, bilamana kekuatan itu tidak lagi dapat ditiadakan oleh alat Negara yang membuatnya.10 Selanjutnya, Utrecht mengatakan bahwa, dalam hal pembentukan suatu produk hukum (sebagai bentuk kehendak dari alat Negara) dalam suatu keputusan yang mengandung kekurangan yuridis dapat disebabkan oleh karena : 1) Kekhilafan / salah kira (dwaling) 10 Suryono Hassan, Hukum Tata Usaha Negara, Cetakan 1, LPP UNS dan UNS Press, Surakarta, 2005.hlm. 38-39
  • 13. 13 Salah kira terjadi bilamana sesorang (subyek hukum) menghendaki sesuatu dan mengadakan suatu pernyataan yang sesuai dengan kehendak itu, tetapi kehendak tersebut didasarkan atas suatu bayangan (vorselling) (tentang sesuatu hal ) yang salah. Bayangan yang salah itu mengenai pokok maksud pembuat (zelfstandigheid der zaak) – salah kita mengenai pokok maksud pembuat, atau mengenai kedudukan / kecakapan (keahlian) seseorang (subyek hukum) – salah kira mengenai orang (subyek hukum), atau mengenai hak orang lain (dwaling in een subjectief recht), atau mengenai suatu (peraturan) hukum – salah kira mengenai hukum (dwaling in het objectieve recht), atau mengenai kekuasaan sendiri – salah kira mengenai kekuasaan sendiri (dwaling in eigen bevoegdheid). Contoh : A seorang wakil suatu perhimpunan yang bermaksud memajukan seni – nyanyi, mengadakan suatu perjanjian dengan B dengan maksud supaya B mengadakan beberapa pertunjukan seni – nyanyi di muka anggota perhimpunan. A mengira bahwa B seorang penyanyi yang sangat pandai dan termasyur. Tetapi yang menjadi termasyur diseluruh wilayah Negara bukan B ini, tetapi seseorang lain yang kebetulan bernama B pula. Disini terjadi suatu salah kira mengenai (kecakapan, kepandaian) seseorang. Salah kira seseorang hanya dapat menjadi alasan untuk menuntut pembatalan suatu perjanjian, bilamana salah kira itu mengenai kedudukan atau kecakapan (keahlian) orang tersebut. Jadi, dwaling terjadi apabila kehendak dan kenyataan berbeda, tetapi tanpa adanya unsur kesengajaan.
  • 14. 14 Dwaling (kekhilafan / salah kira) dibagi menjadi dua (2), yaitu : a) Eigenlijke Dwaling (kekhilafan / salah kira yang sungguh – sungguh) Prof. van der Pot, mengemukakan bahwa apabila administrasi Negara, dalam melaksanakan suatu peraturan perundang – undangan, hendak mengangkat (benoemen) seseorang oleh karena orang itu mempunyai suatu kecakapan (keahlian) tertentu, yang oleh administrasi Negara di kira orang tersebut mempunyai kecakapan yang dikehendaki, sedangkan orang yang telah diangkat sama sekali tidak mempunyai kecakapan (keahlian) yang dikehendaki, yang mana kecakapan tersebut seharusnya menurut peraturan perundang – undangan adalah merupakan syarat suatu pengangkatan, maka keputusan pengangkatan terhadap orang itu adalah batal (nietig) atau keputusan itu tidak sah berdasarkan peraturan perundang - undangan. Sebaliknya, jika kecakapan tertentu itu menurut peraturan perundang – undangan tidak menjadi syarat pengangkatan, maka keputusan yang bersangkutan tidak batal. b) Non Eigenlijke Dwaling (kekhilafan / salah kira yang tidak sungguh – sungguh) Artinya : Produk hukum itu absah, tetapi yang tidak absah hanya sebagian kekhilafan saja. Misalnya : A mengajukan kepada pemerintah supaya diperkenankan memasukkan (invoeren) kedalam wilayah Indonesia 20 mobil Chevrolet. Kemudian A diberi ijin oleh pemerintah, namun dalam
  • 15. 15 surat ijin tersebut terjadi salah pengetikan angka yang seharusnya 20 mobil Chevrolet menjadi 200 mobil Chevrolet. Disini terjadi ada suatu salah kira karena peminta dahulu mengajukan permintaan supaya memasukkan 20 mobil Chevrolet saja dan bukan 200 mobil Chevrolet). Akibat ketetapan yang dibuat berdasarkan salah kira yang tidak sugguh – sungguh itu sah untuk sebagian saja, yaitu sah mengenai 20 mobil Chevrolet yang boleh dimasukkan, tetapi batal untuk mengenai 180 mobil Chevrolet yang sudah tentu tidak dapat dimasukkan. Akibatnya ketetapan itu batal untuk sebagian (gedeeltelijk nietig). 2) Paksaan (dwang) Paksaan dapat menjadi sebab untuk dapat dibatalkannya suatu keputusan dan paksaan keras dapat menjadi sebab untuk dapat dibatalkannya suatu keputusan yaitu batal karena hukum. Apabila perbuatan yang diadakan dengan paksaan keras (vis absoluta) adalah batal mutlak, oleh karena pada pihak yang dipaksa tidak ada suatu kehendak. Akibat perbuatan yang diadakan dengan paksaan (biasa) adalah dapat dibatalkan (yaitu batal untuk sebagiannya), oleh karena pada pihak yang dipaksa ada suatu kehendak, walaupun pembentukan suatu kehendak itu ada suatu ancaman. Misalnya, A diancam oleh B dengan sebuah pistol, A masih dapat memilih antara dibunuh atau membuat suatu keterangan yang
  • 16. 16 dikehendaki oleh pengancam, kemudian A memilih untuk membuat keterangan, jadi pada A ada suatu kehendak. Namun dalam kenyataannya dwang berbeda, karena ada paksaan dan patut diduga. si pembuat peraturan tidak mungkin berbuat lain kecuali mengikuti kehendak si pemaksa (overmaaght). 3) Tipuan (bedrog) Tipuan terjadi bilamana yang mengadakan perbuatan menggunakan beberapa muslihat (kunstgrepen) sehingga pada pihak lain ditimbulkan suatu bayangan palsu (valse voorstelling) tentang sesuatu hal. Agar ada tipuan maka perlu ada beberapa muslihat, ada gabungan muslihat – muslihat (complex van kuntgrepen); jadi, satu saja kebohongan bukanlah merupakan suatu tipuan. Misalnya, Bagian Pendidikan dari Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah mengangkat A sebagai pegawai – pelajar kursus Dinas Bagian C di kota Makassar. A diangkat oleh karena antara lain menurut keterangan yang diperoleh dan yang kemudian ternyataadalah suatu tipuan, karena umurnya 20 tahun dan umur itu di bawah umur yang oleh peraturan telah ditentukan batas, yaitu 23 tahun. Tetapi umur A yang sesungguhnya telah berumur 25 tahun. Sudah tentu bahwa andai Bagian Pendidikan mengetahui adanya tipuan umur itu maka A tidak akan dibuat keputusan, maka pengangkatannya batal. Namun, umpamanya umur A yang sebenarnya adalah 22 tahun, tetapi kepada Bagian Pendidikan diberitahukan umur 20 tahun, dan andainya Bagian Pendidikan mengetahui umur yang sebenarnya itu
  • 17. 17 meskipun itu suatu tipuan, maka A masih tetap diangkat karena umurnya dibawah batas yang ditentukan dalam peraturan – pengangkatannya sah. Jadi, keputusan hanya batal (dapat dibatalkan), apabila sifat tipuan begitu rupa sehingga dapat dikatakan bahwa dengan tidak menggunakan muslihat – muslihat itu sudah tentu keputusan tidak dibuat. Dalam hal ini ada kekurangan “essentieel”. Seperti hanya dengan salah kira, maka kekurangan yang disebabkan tipuan itu dapat mempengaruhi berlakunya keputusan hanya dalam hal tipuan tersebut bertentangan dengan undang – undang atau bertentangan dengan kejadian – kejadian yang benar – benar ada (feiten).11 C. PENGECUALIAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA YANG BERSIFAT POLITIK DALAM PERKEMBANGAN HUKUM TATA USAHA NEGARA Setelah diadakan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, Pasal 2 menentukan bahwa tidak termasuk pengertian Keputusan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut : 1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata . 2) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum. 11 Utrecht E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1994, hlm.125-141
  • 18. 18 3) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan. 4) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat pidana. 5) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan perundang- undangan yang berlaku. 6) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia. 7) Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik dipusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.12 Pada awalnya Keputusan-Keputusan TUN yang menyangkut prosedur pemilihan baik di pusat maupun di daerah sepanjang tidak mengenai Keputusan Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksud oleh pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986, Hakim TUN berpendapat Keputusan TUN tersebut menjadi kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara. Khusus untuk sengketa-sengketa tata usaha negara yang harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan TUN sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang nomor 51 tahun 2009 maka Pengadilan Tinggi TUN dapat memeriksa, memutus dan 12 R. Wiyono., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.31-32
  • 19. 19 menyelesaikannya sebagai badan peradilan tingkat pertama dan terhadap putusan PT.TUN tersebut tidak tersedia upaya hukum banding melainkan langsung mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Kompetensi (kewenangan) suatu badan Pengadilan untuk mengadili suatu perkara dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan Pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan Pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia merupakan peradilan administrasi yang berwenang untuk menilai keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintah, sebagaimana dimaksud pada Pasal-Pasal; 1 butir (b,c,d), 3, 47, 53, dan 97 ayat (9) UU No. 5/1986. Dalam Pasal 1 butir b disebutkan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan butir c-nya menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Kemudian pada butir d dirumuskan bahwa Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara
  • 20. 20 orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk dalam sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam praktek, adanya kontrol ini sering juga dilihat sebagai sarana untuk mencegah timbulnya segala suatu bentuk tindakan atas penyimpangan tugas pemerintahan yang dilakukan dari apa yang telah digariskan dalam peraturan perundangan. Memang disinilah letak inti atau hakekat dari suatu pengawasan. Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara juga diartikan sebagai kecenderungan tekad pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi warga negara terhadap kekuasaan pemerintah dalam melaksanakan urusan pemerintahan.13 Dalam perkembangannya Mahkamah Agung berpendapat, sesuai doktrin hukum adminitrasi, keputusan-keputusan di bidang politik tidak termasuk Keputusan TUN, sehingga dengan melihat pada tindakan-tindakan yang mendasari diterbitkannya Keputusan TUN dalam rangka pemilihan, baik dari segi prosedur maupun materinya tidak dapat digolongkan sebagai tindakan di bidang fungsi penyelenggaraan urusan pemerintahan, maka produk Keputusan TUN-nya tidak dapat dinilai oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (lihak SEMA No.8 Tahun 2005 Jo. Putusan Mahkamah Agung No.482K/TUN/2003). Di samping itu ada perubahan norma hukum positif dalam undang-undang, yaitu ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 diubah 13 Martiman P., Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, 1993, Jakarta, hlm.12
  • 21. 21 oleh ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, yang menyatakan Keputusan KPU baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil Pemilihan Umum tidak termasuk dalam pengertian Keputusan TUN. Dengan demikian, menyangkut kasus-kasus dibidang politik seperti Keputusan TUN obyek sengketa tentang pengesahan kepengurusan Partai Politik, pemecatan anggota atau pengurus Partai Politik tertentu oleh DPP/DPD Partai Politik yang bersangkutan, bukanlah termasuk Keputusan Badan atau Pejabat TUN menurut ketentuan pasal 1 butir (3) Undang-Undang PERATUN, karena kegiatan partai politik tidak dapat digolongkan sebagai kegiatan fungsi urusan pemerintah. Untuk hal ini lebih lanjut lihat Putusan Mahkamah Agung No.190K/TUN 1997 Jo. No.77/BGD-G.PD/PT. TUN-MDN/1996 Jo. No. 06/G/1996/ PTUN-PDG.14 Maka sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, yang mempunyai wewenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut adalah Mahkamah Konstitusi. 14 Slamet Kadar., Ceramah Disampaikan Pada Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Angkatan IV Tahun 2009 Di PUSDIKLAT MA-RI, CIKOPO, Subyek Hukum (Penggugat Dan Tergugat) Serta Perkembangan Subyek Dan Obyek Hukum Dalam Yurisprudensi TUN, http://teguhalexander.blogspot.com/, diakses 18 April 2012
  • 22. 22 BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain : Bahwa Dalam teori dan praktek peradilan dikenal adanya kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan Pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan Pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Sehingga konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat politik dalam perkembangan Hukum Tata Usaha Negara, dapat dibatalkan karena bukan merupakan kewenangan (kompetensi absolut) Pengadilan TUN untuk mengadili suatu perkara tentang sengketa Keputusan TUN yang bersifat politik. Bahwa dalam perkembangannya Mahkamah Agung berpendapat, sesuai doktrin hukum adminitrasi, keputusan-keputusan di bidang politik tidak termasuk Keputusan TUN, sehingga dengan melihat pada tindakan-tindakan yang mendasari diterbitkannya Keputusan TUN dalam rangka pemilihan, baik dari segi prosedur maupun materinya tidak dapat digolongkan sebagai tindakan di bidang fungsi penyelenggaraan urusan pemerintahan, maka produk Keputusan TUN-nya
  • 23. 23 tidak dapat dinilai oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. Oleh karena iyu, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, yang mempunyai wewenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut adalah Mahkamah Konstitusi. B. SARAN Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa saran yang dapat penulis rekomendasikan sebagai berikut : Bahwa para pihak/pihak yang merasa dirugikan dari akibat dikeluarkannya Keputusan TUN khususnya Keputusan TUN yang bersifat politik jika ingin melakukan gugatan ke Pengandilan TUN perlu untuk memperhatikan pokok sengketa Keputusan TUN yang menjadi kewenangan relatif dan kewenangan absolut peradilan manakah yang berhak mengadili sengketa dari Keputusan TUN yang bersifat politik, untuk itu perlu dilihat pula Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, Pasal 2 menentukan bahwa tidak termasuk pengertian Keputusan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut : 1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata. 2) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
  • 24. 24 3) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan. 4) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat pidana. 5) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan perundang- undangan yang berlaku. 6) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia. 7) Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik dipusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
  • 25. 25 DAFTAR PUSTAKA Hadjon Philipus. M et, al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia , Gajah Mada Press Yogyakarta, 1999 HR Ridwan., Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006 Marbun. SF & Mahfud. Moh., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Edisi Pertama, Cetakan Keempat, Liberty, Yogyakarta, 2006 Martiman P., Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, 1993, Jakarta Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan Hukum Tata Usaha Negata, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Kenegaraan-UGM, Yogyakarta, 2012 R. Wiyono., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 Utrecht E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1994 Sadjijono.,Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta Slamet Kadar., Ceramah Disampaikan Pada Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Angkatan IV Tahun 2009 Di PUSDIKLAT MA-RI, CIKOPO,
  • 26. 26 Subyek Hukum (Penggugat Dan Tergugat) Serta Perkembangan Subyek Dan Obyek Hukum Dalam Yurisprudensi TUN, http://teguhalexander.blogspot.com/, diakses 18 April 2012 Suryono Hassan, Hukum Tata Usaha Negara, Cetakan 1, LPP UNS dan UNS Press, Surakarta, 2005 Tjandra W. Riawan., Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2008 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Zamzuri., Tindak Pemerintahan (Bestuurhandeling), Al-Hikmah, Yogyakarta, 1985