Dokumen tersebut membahas konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya keputusan tata usaha negara yang bersifat politik dalam perkembangan hukum tata usaha negara. Dibahas mengenai pengertian keputusan tata usaha negara, syarat keabsahan dan ketidakabsahan, serta kondisi agar suatu keputusan dapat berlaku.
Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
Konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya keputusan tata usaha negara yang bersifat politik dalam perkembanga
1. 1
KONSEKUENSI YURIDIS DENGAN DIKECUALIKANNYA
KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA YANG BERSIFAT POLITIK
DALAM PERKEMBANGAN HUKUM TATA USAHA NEGARA
( Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Tata Usaha Negara)
Oleh :
FREINGKY A. NDAUMANU, S.H.
NIM : 11/322217/PHK/06731
PROGRAM PASCASARJARNA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
MAGISTER HUKUM
2012
2. 2
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Keputusan administrasi merupakan suatu pengertian yang sangat umum
dan abstrak, yang dalam praktik tampak dalam bentuk Keputusan-Keputusan yang
sangat berbeda namun mengandung ciri-ciri yang sama. Adalah penting untuk
mempunyai pengertian yang mendalam tentang pengertian dari Keputusan
administrasi sebab dalam hukum positif akan timbul akibat-akibat yang mungkin
dipersengketakan dan penyelesaiannya oleh hakim dipengadilan.1
Keputusan Tata Usaha Negara bukan bagian dari peraturan perundang-
undangan (algemene verbindende voorschriften) tetapi dibuat dan dikeluarkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan itu. Dasar pengujian (toetsing) dari
Keputusan Tata Usaha Negara adalah peraturan perundang-undangan, dan hal
dimaksud merupakan pengujian bagi hakim guna menilai absah atau tidaknya suatu
Keputusan Tata Usaha Negara.
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 47 Undang-undang No. 5 Tahun
1986 Jo Undang-Undang No. 9 Tahun 2004, PTUN bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN. Pengertian sengketa
TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan
hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di Pusat maupun di Daerah,
1
Hadjon Philipus. M et, al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia , Gajah Mada Press
Yogyakarta, 1999, hlm. 124
3. 3
sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4
Undang-undang No. 5 Tahun 1986 Jo Undang-undang No. 9 Tahun 2004).
Dengan demikian, dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa yang
berkedudukan sebagai Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata,
sedangkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di
Daerah selalu berkedudukan sebagai Tergugat, karena yang menjadi objek
sengketa di PTUN adalah hanya KTUN.
Dalam Perkembangan praktek peradilan mengenai KTUN sebagai objek
gugatan di Pengadilan TUN tidak hanya menyangkut produk-produk hukum
berupa Surat Keputusan, dimana Pejabat yang menerbitkannya secara formal
berada diluar lingkup Tata Usaha Negara, Keputusan Pejabat TUN yang
diterbitkan atas dasar kewenangannya yang berada diluar urusan pemerintahan
(eksekutif), salah satunya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat poltik.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan
dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Konsekuensi Yuridis Dengan
Dikecualikannya Keputusan Tata Usaha Negara Yang Bersifat Politik Dalam
Perkembangan Hukum Tata Usaha Negara?”
4. 4
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
Alat administrasi Negara di dalam melaksanakan tugasnya untuk
merealisir tujuan dari suatu peraturan perundang-undangan sering melakukan
perbuatan/tindakan yang disebut ketetapan.
Mengenai istilah yang dipakai belum ada kesatuan pendapat di antara ahli,
sebagai contoh dapat dikemukakan :
(1) Drs. Utrecht, SH dan Prof. Boedisusetyo, SH (almarhum), menggunakan
istilah ketetapan sebagai terjemahan dari bahasa belanda “Beschikking”
atau bahasa perancis “Acte Administratif”. Dalam ilmu hukum jerman
disebut dengan istilah “Verwaltungs Act”.
(2) Prof. Kuntjoro Purbopranoto, SH, lebih cenderung menggunakan istilah
“Keputusan” sebagai terjemahan “Beschikking”, sebab menurut beliau
istilah “Ketetapan” sudah mempunyai pengertian tekhnis yuridis sebagai
produk MPR, hal itu terbukti dari berbagai macam TAP MPR yang sudha
biasa kita kenal.2
(3) Mr. WF. PRINS, dalam bukunya Inleiding in het Administratiefrecht van
Indonesia - menyebutkan beschikking sebagai suatu tindakan hukum
sepihak dalam lapangan pemerintahan yang dilakukan oleh alat
pemerintahan berdasarkan wewenang yang ada pada alat atau organ itu.
2
Zamzuri., Tindak Pemerintahan (Bestuurhandeling), Al-Hikmah, Yogyakarta, 1985, hlm.31-32
5. 5
(4) Van der Pot, dalam bukunya Nederlandsch Bestuursrecht menyatakan
beschikking adalah perbuatan hukum yang dilakukan alat-alat
pemerintahan, pernyataan-pernyataan kehendak alat-alat pemerintahan itu
dalam menyelanggarakan hak istimewa, dengan maksud mengadakan
perubahan dalam lapangan perhubungan-perhubungan publik.3
(5) Menurut Prof. Muchsan,4 keputusan adalah penetapan tertulis yang
diproduksi oleh pejabat Tata Usaha Negara atau pejabat admnistrasi
Negara yang mendasarkan diri kepada peraturan yang lebih tinggi dan
bersifat individual, konkret dan final.
Berdasarkan pengertian tersebut diatas, terdapat empat (4) unsur-unsur
keputusan yang dapat diuraikan sebagai berikut, yaitu :
1) Penetapan tertulis, maksudnya keputusan ini yang penting
wujudnya tertulis walaupun bentuknya tidak formil;
2) Diproduksi oleh pejabat TUN, maksudnya ada dua (2) yaitu :
Pejabat/Aparat Pemerintah dan Swasta (asalkan mempunyai izin
dari pemerintah dalam bentuk pelimpahan wewenang);
3) Mendasarkan diri kepada peraturan perundang-undangan;
4) Bersifat konkret artinya tujuan jelas, misalnya keputusan
mengangkat Guru Besar; bersifat individual, maksudnya
sasarannya tugas kepada siapa keptusan itu ditujukan; dan bersifat
3
Marbun. SF & Mahfud. Moh., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Edisi Pertama,
Cetakan Keempat, Liberty, Yogyakarta, 2006, hlm.75
4
Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan Hukum Tata Usaha Negata, Program Pasca Sarjana
Magister Hukum Kenegaraan-UGM, Yogyakarta, 2012
6. 6
final, maksudnya keputusan itu langsung menimbulkan akibat
hukum berupa hak dan kewajiban.
Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 :
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata”.5
Mengenai apa yang dimaksud dengan “Tata Usaha Negara”, Pasal 1 angka 7
menentukan bahwa :
“Tata Usaha Negara adalah administrasi Negara yang
melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah”6
Adapun yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan” dalam Pasal 1 angka
1 UU Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, disebutkan
sebagai kegiatan yang bersifat eksekutif.
B. KEABSAHAN DAN KETIDAKABSAHAN KEPUTUSAN TATA
USAHA NEGARA
Ditinjau dari sudut normatif acuan keabsahan dari Keputusan Tata Usaha
Negara didasarkan atas Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 yang merupakan
revisi dari Pasal 53 ayat (2) UU No.5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
5
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
6
Ibid
7. 7
Negara. Syarat sah suatu Keputusan TUN menurut Pasal 53 ayat (2) UU No.9
Tahun 2004 harus ditafsirkan secara a contrario, adalah :
a) Keputusan Tata Usaha Negara sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
b) Keputusan Tata Usaha Negara sesuai dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
Manakala suatu Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan kedua
syarat sah diatas, menurut Pasal 53 ayat (2) UU No.9 Tahun 2004 dapat digugat di
Peradilan Tata Usaha Negara oleh orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan.7
Berkaitan dengan “tidak berwenang”-nya suatu Badan atau pejabat
pemerintahan (tata usaha Negara) untuk melakukan tindak pemerintahan untuk
mengeluarkan keputusan, menurut Philipus M. Hadjon,8 dapat dibedakan menjadi
3 (tiga), yakni :
a. Tidak berwenang dari segi materi (ratione materiae)
Artinya seorang pejabat yang mengeluarkan keputusan tata usaha
Negara tentang materi atau masalah tertentu itu menjadi wewenang
dari Badan atau pejabat lain.
b. Tidak berwenang dari segi wilyah atau tempat (ratione locus)
7
Tjandra W. Riawan., Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya Yogyakarta,
Yogyakarta, 2008, hlm.72-73
8
Sadjijono.,Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara, LaksBang
PRESSindo, Yogyakarta, hlm.63-64
8. 8
Artinya keputusan tata usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan
pejabat tata usaha Negara mengenai sesuatu yang berada diluar
wilayah jabatannya.
c. Tidak berwenang dari segi waktu (ratione temporis)
Artinya keputusan dikeluarkan karena melampui tenggang waktu yang
dikeluarkan.
Untuk mengetahui “tidak berwenang” atau “berwenang”-nya Badan atau
pejabat tata usaha Negara melakukan tindakan pemerintahan, melalui langkah
interpretasi sistematis terhadap ketentuan peraturan perundang - undangan yang
berlaku, khususnya yang mengatur tentang wewenang pemerintahan. Pangkal
tolak penilaian kewenangan tindak pemerintahan ini kembali pada asas legalitas
(legalitiet beginselen) sebagai asas utama dalam Negara hukum. Oleh karena itu,
dalam penilaian ini berlaku teori berbanding terbalik, yakni salah satu aspek dapat
dinilai juga, artinya jika tindakan yang menjadi “kewenangannya” dapat dinilai
atau diketahui pula tindakan - tindakan yang tidak menjadi wewenangnya (tidak
berwenang), atau sebaliknya.
Selanjutnya, meskipun suatu keputusan itu dianggap sah dan akan
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, keputusan
yang sah itu tidak akan dengan sendirinya berlaku, karena untuk berlakunya suatu
keputusan harus memperhatikan tiga (3) hal berikut ini :
a) Jika berdasarkan peraturan dasarnya, terhadap keputusan itu tidak
memberi kemungkinan mengajukan permohonan banding bagi yang
9. 9
dikenai keputusan, keputusan itu mulai berlaku sejak saat diterbitkan
(ex nunc).
b) Jika berdasarkan peraturan dasarnya terdapat kemungkinan utnuk
mengajukan banding terhadap keputusan yang bersangkutan,
keberlakuan keputusan itu tergantung dari proses banding itu.
Krenenburg dan Vegting menyebutkan empat (4) cara permohonan
banding terhadap keputusan, yaitu sebagai berikut :
1. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan
pembatalan keputusan pada tingkat banding, dimana
kemungkinan itu ada.
2. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan
kepada pemerintah supaya keputusan itu dibatalkan.
3. Pihak yang dikenai keputusan itu dapat mengajukan
masalahnya kepada hakim biasa agar keputusan itu
dinyatakan batal karena bertentangan dengan hukum.
4. Pihak yang dikenai keputusan itu dapat berusaha apabila
karena tidak dapat memenuhi/menjalankan keputusan itu,
untuk memperoleh keputusan dari hakim seperti yang
dimaksud dalam bagian 3.
Pada umumnya batas waktu mengajukan banding itu
ditentukan dalam peraturan dasar yang terkait dengan keputusan itu.
Jika batas waktu banding telah berakhir dan tidak digunakan oleh
10. 10
mereka yang dikenai keputusan itu, maka keputusan itu mulai
berlaku sejak saat berakhirnya batas waktu banding itu.
c) Jika keputusan itu memerlukan pengesahan dari organ atau instansi
pemerintah yang lebih tinggi, keputusan itu mulai berlaku setelah
mendapatkan pengesahan. Berkenaan dengan pengesahan atau
persetujuan ini, terdapat tiga (3) pendapat, yaitu sebagai berikut :
1) Karena berhak untuk memberikan persetujuan, Mahkota
(pemerintah) menjadi pembuat serta undang – undang, jadi
merupakan hak pengukuhan.
2) Hak memberikan persetujuan merupakan hak placet, artinya
melepaskan tanggungjawab (jadi, pernyataan dapat
dilaksanakan).
Persetujuan merupakan tindakan terus – menerus, artinya tidak berakhir
pada saat diberikan, tetapi dapat ditarik kembali selama yang disetujuinya masih
berlaku.9
Terkait dengan hal tersebut diatas maka perbuatan aparat pemerintah akan
mengalami kebatalan, di antaranya dapat dijabarkan melalui tiga (3) teori tentang
kebatalan (nietig theorie) sebagai akibat perbuatan aparat pemerintah yang tidak
berwenang sebagai berikut:
1. Batal Mutlak (absolute nietig)
9
HR Ridwan., Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.171-173
11. 11
Konsekuensi yuridis/akibat hukumnya, yaitu semua perbuatan hukum yang
sudah dilakukan dianggap belum pernah ada sehingga keadaan harus
dikembalikan seperti semula.
Misalnya, seseorang menyewa rumah pada orang yang berada dibawah
pengampuan, selama 10 tahun. Perjanjian menyewa rumah tersebut telah
berjalan selama 5 tahun, ketika diketahui ternyata orang tersebut (pemberi
sewa) tidak cakap hukum, maka mengetahui hal tersebut penyewa meminta
pembatalan kepada pengadilan. Permintaan pembatalan tersebut dikabulkan
oleh pengadilan, karena hal tersebut maka perbuatan sewa-menyewa tersebut
dianggap tidak sah dan harus batal. Dengan demikian perjanjian sewa-
menyewa dianggap tidak pernah ada.
Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: hanya pejabat yudikatif saja.
2. Batal Demi Hukum (nietig van rechts wege)
Konsekuensi yuridis/akibat hukumnya ada dua (2) alternatif, yakni :
Semua perbuatan hukum yang pernah dilakukan dianggap belum
pernah ada.
Sebagian perbuatan dinyatakan sah, sedangkan sebagian yang lain
dinyatakan batal.
Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: pejabat eksekutif dan
yudikatif.
12. 12
3. Dapat Dibatalkan (vernietig baar):
Konsekuensi yuridis/akibat hukumnya, yaitu seluruh perbuatan hukum yang
telah dilakukan dianggap sah. Perbuatan hukum yang belum dilakukan
dinyatakan tidak sah.
Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: pejabat yudikatif, eksekutif
dan legislatif.
Keputusan tidak sah itu tidak mempunyai kekuatan hukum, hal ini ada dua
(2) kemungkinan yaitu :
1. Keputusan tidak sah berlaku surut sampai saat dikeluarkannya
keputusan itu.
2. Keputusan tidak sah mulai saat pembatalan itu.
Menurut Utrecht kekuatan hukum suatu keputusan ada dua (2), yaitu :
a) Kekuatan hukum formil, yakni bila tidak dibantah oleh suatu alat
hukum, misalnya naik banding.
b) Kekuatan hukum materiil, bilamana kekuatan itu tidak lagi dapat
ditiadakan oleh alat Negara yang membuatnya.10
Selanjutnya, Utrecht mengatakan bahwa, dalam hal pembentukan suatu
produk hukum (sebagai bentuk kehendak dari alat Negara) dalam suatu keputusan
yang mengandung kekurangan yuridis dapat disebabkan oleh karena :
1) Kekhilafan / salah kira (dwaling)
10
Suryono Hassan, Hukum Tata Usaha Negara, Cetakan 1, LPP UNS dan UNS Press, Surakarta,
2005.hlm. 38-39
13. 13
Salah kira terjadi bilamana sesorang (subyek hukum) menghendaki
sesuatu dan mengadakan suatu pernyataan yang sesuai dengan kehendak itu,
tetapi kehendak tersebut didasarkan atas suatu bayangan (vorselling) (tentang
sesuatu hal ) yang salah. Bayangan yang salah itu mengenai pokok maksud
pembuat (zelfstandigheid der zaak) – salah kita mengenai pokok maksud
pembuat, atau mengenai kedudukan / kecakapan (keahlian) seseorang (subyek
hukum) – salah kira mengenai orang (subyek hukum), atau mengenai hak
orang lain (dwaling in een subjectief recht), atau mengenai suatu (peraturan)
hukum – salah kira mengenai hukum (dwaling in het objectieve recht), atau
mengenai kekuasaan sendiri – salah kira mengenai kekuasaan sendiri (dwaling
in eigen bevoegdheid).
Contoh : A seorang wakil suatu perhimpunan yang bermaksud memajukan
seni – nyanyi, mengadakan suatu perjanjian dengan B dengan maksud supaya
B mengadakan beberapa pertunjukan seni – nyanyi di muka anggota
perhimpunan. A mengira bahwa B seorang penyanyi yang sangat pandai dan
termasyur. Tetapi yang menjadi termasyur diseluruh wilayah Negara bukan B
ini, tetapi seseorang lain yang kebetulan bernama B pula.
Disini terjadi suatu salah kira mengenai (kecakapan, kepandaian) seseorang.
Salah kira seseorang hanya dapat menjadi alasan untuk menuntut pembatalan
suatu perjanjian, bilamana salah kira itu mengenai kedudukan atau kecakapan
(keahlian) orang tersebut.
Jadi, dwaling terjadi apabila kehendak dan kenyataan berbeda, tetapi tanpa
adanya unsur kesengajaan.
14. 14
Dwaling (kekhilafan / salah kira) dibagi menjadi dua (2), yaitu :
a) Eigenlijke Dwaling (kekhilafan / salah kira yang sungguh – sungguh)
Prof. van der Pot, mengemukakan bahwa apabila administrasi Negara,
dalam melaksanakan suatu peraturan perundang – undangan, hendak
mengangkat (benoemen) seseorang oleh karena orang itu mempunyai
suatu kecakapan (keahlian) tertentu, yang oleh administrasi Negara di
kira orang tersebut mempunyai kecakapan yang dikehendaki,
sedangkan orang yang telah diangkat sama sekali tidak mempunyai
kecakapan (keahlian) yang dikehendaki, yang mana kecakapan
tersebut seharusnya menurut peraturan perundang – undangan adalah
merupakan syarat suatu pengangkatan, maka keputusan pengangkatan
terhadap orang itu adalah batal (nietig) atau keputusan itu tidak sah
berdasarkan peraturan perundang - undangan. Sebaliknya, jika
kecakapan tertentu itu menurut peraturan perundang – undangan tidak
menjadi syarat pengangkatan, maka keputusan yang bersangkutan
tidak batal.
b) Non Eigenlijke Dwaling (kekhilafan / salah kira yang tidak sungguh –
sungguh)
Artinya : Produk hukum itu absah, tetapi yang tidak absah hanya
sebagian kekhilafan saja.
Misalnya : A mengajukan kepada pemerintah supaya diperkenankan
memasukkan (invoeren) kedalam wilayah Indonesia 20 mobil
Chevrolet. Kemudian A diberi ijin oleh pemerintah, namun dalam
15. 15
surat ijin tersebut terjadi salah pengetikan angka yang seharusnya 20
mobil Chevrolet menjadi 200 mobil Chevrolet. Disini terjadi ada
suatu salah kira karena peminta dahulu mengajukan permintaan
supaya memasukkan 20 mobil Chevrolet saja dan bukan 200 mobil
Chevrolet).
Akibat ketetapan yang dibuat berdasarkan salah kira yang tidak
sugguh – sungguh itu sah untuk sebagian saja, yaitu sah mengenai 20
mobil Chevrolet yang boleh dimasukkan, tetapi batal untuk mengenai
180 mobil Chevrolet yang sudah tentu tidak dapat dimasukkan.
Akibatnya ketetapan itu batal untuk sebagian (gedeeltelijk nietig).
2) Paksaan (dwang)
Paksaan dapat menjadi sebab untuk dapat dibatalkannya suatu
keputusan dan paksaan keras dapat menjadi sebab untuk dapat dibatalkannya
suatu keputusan yaitu batal karena hukum. Apabila perbuatan yang diadakan
dengan paksaan keras (vis absoluta) adalah batal mutlak, oleh karena pada
pihak yang dipaksa tidak ada suatu kehendak.
Akibat perbuatan yang diadakan dengan paksaan (biasa) adalah dapat
dibatalkan (yaitu batal untuk sebagiannya), oleh karena pada pihak yang
dipaksa ada suatu kehendak, walaupun pembentukan suatu kehendak itu ada
suatu ancaman. Misalnya, A diancam oleh B dengan sebuah pistol, A masih
dapat memilih antara dibunuh atau membuat suatu keterangan yang
16. 16
dikehendaki oleh pengancam, kemudian A memilih untuk membuat
keterangan, jadi pada A ada suatu kehendak.
Namun dalam kenyataannya dwang berbeda, karena ada paksaan dan
patut diduga. si pembuat peraturan tidak mungkin berbuat lain kecuali
mengikuti kehendak si pemaksa (overmaaght).
3) Tipuan (bedrog)
Tipuan terjadi bilamana yang mengadakan perbuatan menggunakan
beberapa muslihat (kunstgrepen) sehingga pada pihak lain ditimbulkan suatu
bayangan palsu (valse voorstelling) tentang sesuatu hal. Agar ada tipuan maka
perlu ada beberapa muslihat, ada gabungan muslihat – muslihat (complex van
kuntgrepen); jadi, satu saja kebohongan bukanlah merupakan suatu tipuan.
Misalnya, Bagian Pendidikan dari Departemen Dalam Negeri dan
Pemerintah Daerah mengangkat A sebagai pegawai – pelajar kursus Dinas
Bagian C di kota Makassar. A diangkat oleh karena antara lain menurut
keterangan yang diperoleh dan yang kemudian ternyataadalah suatu tipuan,
karena umurnya 20 tahun dan umur itu di bawah umur yang oleh peraturan
telah ditentukan batas, yaitu 23 tahun. Tetapi umur A yang sesungguhnya
telah berumur 25 tahun. Sudah tentu bahwa andai Bagian Pendidikan
mengetahui adanya tipuan umur itu maka A tidak akan dibuat keputusan,
maka pengangkatannya batal. Namun, umpamanya umur A yang sebenarnya
adalah 22 tahun, tetapi kepada Bagian Pendidikan diberitahukan umur 20
tahun, dan andainya Bagian Pendidikan mengetahui umur yang sebenarnya itu
17. 17
meskipun itu suatu tipuan, maka A masih tetap diangkat karena umurnya
dibawah batas yang ditentukan dalam peraturan – pengangkatannya sah.
Jadi, keputusan hanya batal (dapat dibatalkan), apabila sifat tipuan
begitu rupa sehingga dapat dikatakan bahwa dengan tidak menggunakan
muslihat – muslihat itu sudah tentu keputusan tidak dibuat. Dalam hal ini ada
kekurangan “essentieel”. Seperti hanya dengan salah kira, maka kekurangan
yang disebabkan tipuan itu dapat mempengaruhi berlakunya keputusan hanya
dalam hal tipuan tersebut bertentangan dengan undang – undang atau
bertentangan dengan kejadian – kejadian yang benar – benar ada (feiten).11
C. PENGECUALIAN KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA YANG
BERSIFAT POLITIK DALAM PERKEMBANGAN HUKUM TATA
USAHA NEGARA
Setelah diadakan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004, Pasal 2 menentukan bahwa tidak termasuk pengertian Keputusan Tata
Usaha Negara adalah sebagai berikut :
1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum
perdata .
2) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang
bersifat umum.
11
Utrecht E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya,
1994, hlm.125-141
18. 18
3) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
4) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan perundang-undangan
lain yang bersifat pidana.
5) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
6) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara
Nasional Indonesia.
7) Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik dipusat maupun di daerah
mengenai hasil pemilihan umum.12
Pada awalnya Keputusan-Keputusan TUN yang menyangkut prosedur
pemilihan baik di pusat maupun di daerah sepanjang tidak mengenai Keputusan
Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksud oleh pasal 2 huruf g Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1986, Hakim TUN berpendapat Keputusan TUN tersebut menjadi
kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara.
Khusus untuk sengketa-sengketa tata usaha negara yang harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui upaya administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 48
Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan TUN sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang nomor
51 tahun 2009 maka Pengadilan Tinggi TUN dapat memeriksa, memutus dan
12
R. Wiyono., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Sinar
Grafika, Jakarta, 2008, hlm.31-32
19. 19
menyelesaikannya sebagai badan peradilan tingkat pertama dan terhadap putusan
PT.TUN tersebut tidak tersedia upaya hukum banding melainkan langsung
mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.
Kompetensi (kewenangan) suatu badan Pengadilan untuk mengadili suatu
perkara dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut.
Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan Pengadilan untuk mengadili
suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut
adalah kewenangan Pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek,
materi atau pokok sengketa.
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia merupakan peradilan
administrasi yang berwenang untuk menilai keabsahan suatu Keputusan Tata
Usaha Negara dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan
oleh pemerintah, sebagaimana dimaksud pada Pasal-Pasal; 1 butir (b,c,d), 3, 47,
53, dan 97 ayat (9) UU No. 5/1986. Dalam Pasal 1 butir b disebutkan bahwa
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Sedangkan butir c-nya menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha
Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata. Kemudian pada butir d dirumuskan bahwa Sengketa Tata Usaha
Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara
20. 20
orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara,
baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk dalam sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam praktek, adanya
kontrol ini sering juga dilihat sebagai sarana untuk mencegah timbulnya segala
suatu bentuk tindakan atas penyimpangan tugas pemerintahan yang dilakukan dari
apa yang telah digariskan dalam peraturan perundangan. Memang disinilah letak
inti atau hakekat dari suatu pengawasan. Pembentukan Peradilan Tata Usaha
Negara juga diartikan sebagai kecenderungan tekad pemerintah untuk melindungi
hak-hak asasi warga negara terhadap kekuasaan pemerintah dalam melaksanakan
urusan pemerintahan.13
Dalam perkembangannya Mahkamah Agung berpendapat, sesuai doktrin
hukum adminitrasi, keputusan-keputusan di bidang politik tidak termasuk
Keputusan TUN, sehingga dengan melihat pada tindakan-tindakan yang
mendasari diterbitkannya Keputusan TUN dalam rangka pemilihan, baik dari segi
prosedur maupun materinya tidak dapat digolongkan sebagai tindakan di bidang
fungsi penyelenggaraan urusan pemerintahan, maka produk Keputusan TUN-nya
tidak dapat dinilai oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (lihak SEMA No.8
Tahun 2005 Jo. Putusan Mahkamah Agung No.482K/TUN/2003).
Di samping itu ada perubahan norma hukum positif dalam undang-undang,
yaitu ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 diubah
13
Martiman P., Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, 1993, Jakarta,
hlm.12
21. 21
oleh ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, yang
menyatakan Keputusan KPU baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil
Pemilihan Umum tidak termasuk dalam pengertian Keputusan TUN.
Dengan demikian, menyangkut kasus-kasus dibidang politik seperti
Keputusan TUN obyek sengketa tentang pengesahan kepengurusan Partai Politik,
pemecatan anggota atau pengurus Partai Politik tertentu oleh DPP/DPD Partai
Politik yang bersangkutan, bukanlah termasuk Keputusan Badan atau Pejabat
TUN menurut ketentuan pasal 1 butir (3) Undang-Undang PERATUN, karena
kegiatan partai politik tidak dapat digolongkan sebagai kegiatan fungsi urusan
pemerintah. Untuk hal ini lebih lanjut lihat Putusan Mahkamah Agung
No.190K/TUN 1997 Jo. No.77/BGD-G.PD/PT. TUN-MDN/1996 Jo. No.
06/G/1996/ PTUN-PDG.14 Maka sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, yang mempunyai
wewenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut adalah
Mahkamah Konstitusi.
14
Slamet Kadar., Ceramah Disampaikan Pada Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Angkatan
IV Tahun 2009 Di PUSDIKLAT MA-RI, CIKOPO, Subyek Hukum (Penggugat Dan Tergugat)
Serta Perkembangan Subyek Dan Obyek Hukum Dalam Yurisprudensi TUN,
http://teguhalexander.blogspot.com/, diakses 18 April 2012
22. 22
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan antara lain :
Bahwa Dalam teori dan praktek peradilan dikenal adanya kompetensi
relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengan
kewenangan Pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah
hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan Pengadilan untuk
mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa. Sehingga
konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya Keputusan Tata Usaha Negara yang
bersifat politik dalam perkembangan Hukum Tata Usaha Negara, dapat dibatalkan
karena bukan merupakan kewenangan (kompetensi absolut) Pengadilan TUN
untuk mengadili suatu perkara tentang sengketa Keputusan TUN yang bersifat
politik.
Bahwa dalam perkembangannya Mahkamah Agung berpendapat, sesuai
doktrin hukum adminitrasi, keputusan-keputusan di bidang politik tidak termasuk
Keputusan TUN, sehingga dengan melihat pada tindakan-tindakan yang
mendasari diterbitkannya Keputusan TUN dalam rangka pemilihan, baik dari segi
prosedur maupun materinya tidak dapat digolongkan sebagai tindakan di bidang
fungsi penyelenggaraan urusan pemerintahan, maka produk Keputusan TUN-nya
23. 23
tidak dapat dinilai oleh Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara. Oleh karena iyu,
sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003, yang mempunyai wewenang untuk memeriksa, mengadili
dan memutus perkara tersebut adalah Mahkamah Konstitusi.
B. SARAN
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa
saran yang dapat penulis rekomendasikan sebagai berikut :
Bahwa para pihak/pihak yang merasa dirugikan dari akibat dikeluarkannya
Keputusan TUN khususnya Keputusan TUN yang bersifat politik jika ingin
melakukan gugatan ke Pengandilan TUN perlu untuk memperhatikan pokok
sengketa Keputusan TUN yang menjadi kewenangan relatif dan kewenangan
absolut peradilan manakah yang berhak mengadili sengketa dari Keputusan TUN
yang bersifat politik, untuk itu perlu dilihat pula Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004, Pasal 2 menentukan bahwa tidak termasuk pengertian Keputusan Tata
Usaha Negara adalah sebagai berikut :
1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum
perdata.
2) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang
bersifat umum.
24. 24
3) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan
persetujuan.
4) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan perundang-undangan
lain yang bersifat pidana.
5) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
6) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara
Nasional Indonesia.
7) Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik dipusat maupun di
daerah mengenai hasil pemilihan umum.
25. 25
DAFTAR PUSTAKA
Hadjon Philipus. M et, al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia , Gajah
Mada Press Yogyakarta, 1999
HR Ridwan., Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006
Marbun. SF & Mahfud. Moh., Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Edisi
Pertama, Cetakan Keempat, Liberty, Yogyakarta, 2006
Martiman P., Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia,
1993, Jakarta
Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan Hukum Tata Usaha Negata, Program
Pasca Sarjana Magister Hukum Kenegaraan-UGM, Yogyakarta, 2012
R. Wiyono., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua, Cetakan
Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
Utrecht E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas,
Surabaya, 1994
Sadjijono.,Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara,
LaksBang PRESSindo, Yogyakarta
Slamet Kadar., Ceramah Disampaikan Pada Pendidikan dan Pelatihan Calon
Hakim Angkatan IV Tahun 2009 Di PUSDIKLAT MA-RI, CIKOPO,
26. 26
Subyek Hukum (Penggugat Dan Tergugat) Serta Perkembangan Subyek
Dan Obyek Hukum Dalam Yurisprudensi TUN,
http://teguhalexander.blogspot.com/, diakses 18 April 2012
Suryono Hassan, Hukum Tata Usaha Negara, Cetakan 1, LPP UNS dan UNS
Press, Surakarta, 2005
Tjandra W. Riawan., Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya
Yogyakarta, Yogyakarta, 2008
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Zamzuri., Tindak Pemerintahan (Bestuurhandeling), Al-Hikmah, Yogyakarta,
1985