Dokumen tersebut membahas tentang konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa Indonesia terhadap pembangunan hukum nasional. Secara singkat, dokumen menjelaskan bahwa Indonesia memiliki masyarakat yang majemuk dari berbagai suku, budaya, dan agama yang menjadi tantangan dalam membangun kesatuan dan persatuan. Kemajemukan ini berimplikasi pada beragamnya sistem budaya yang harus dijadikan landasan dalam pembangunan
BAHAN SOSIALISASI PPDB SMA-SMK NEGERI DISDIKSU TP. 2024-2025 REVISI.pptx
KONSEKUENSI YURIDIS KEMAJEMUKAN
1. 1
KONSEKUENSI YURIDIS DARI KEMAJEMUKAN BANGSA INDONESIA
TERHADAP PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
( dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Politik Hukum )
Oleh
FREINGKY A. NDAUMANU, S.H.
PROGRAM PASCASARJARNA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
MAGISTER HUKUM
2011
2. 2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia adalah bangsa besar yang terdiri atas berbagai suku, kebudayaan, dan agama.
Kemajemukan itu merupakan kekayaan dan kekuatan yang sekaligus menjadi tantangan bagi
bangsa Indonesia.Tantangan itu sangat terasa terutama ketika bangsa Indonesia membutuhkan
kebersamaan dan persatuan dalam menghadapi dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Sejak awal berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia, para pendiri negara menyadari bahwa keberadaan masyarakat
yang majemuk merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang harus diakui, diterima, dan
dihormati, yang kemudian diwujudkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa dan budaya yang
sangat majemuk. Implikasi dari kemajemukan masyarakat dan kebudayaan di Indonesia adalah
beragamnya pula sistem budaya dalam masyarakat, dan munculnya masalah kritikal. Yang
dimaksud dengan sistem budaya adalah kepercayaan, nilai-nilai, dan norma-norma untuk
mengatur hubungan sosial masyarakat. Sistem budaya itu hidup dalam alam pikiran sebagian
besar dari warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidup.
Oleh karena itu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman bagi tingkah laku
manusia dalam kehidupan. Kondisi demikian merupakan suatu fenomena yang harus dipahami
dan dijadikan landasan dalam menentukan arah pembangunan hukum itu sendiri. Dalam
masyarakat yang berubah diperlukan adanya suatu penelitian yang dan kajian terhadap fenomena
perubahan itu sendiri, yang kemudian dijadikan landasan pembangunan hukum.
3. 3
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah
sebagai berikut : “Bagaimana Konsekuensi Yuridis Dari Kemajemukan Bangsa Indonesia
Terhadap Pembangunan Hukum Nasional ?”
4. 4
BAB II
PEMBAHASAN
A. NEGARA SEBAGAI KESATUAN MASYARAKAT
Negara itu dipandang dari dua segi perwujudannya, yakni sebagai satu bentuk masyarakat
yang memenuhi syarat – syarat tertentu dan / atau sebagai gejala hukum terbentuknya atau
lahirnya suatu Negara, pun pula syarat –syarat berdirinya dan musnahnya suatu Negara itu
ditentukan oleh hukum (national legal order) semata – mata. Sarjana yang berpendirian
demikian itu antara lain Hans Kelsen, ia berpendapat bahwa persoalan mengenai permulaan dan
pengakhiran adanya satu itu merupakan “legal Problem”, yang prinsipnya ditentukan oleh
hukum internasional. Selanjutnya menurut Kelsen, yang dimaksud dengan “national legal order”
itu ialah satu kesatuan atau sistem yang didukung dan berlaku (valid) bagi satu Negara, artinya
yang melingkupi satu Negara itu dan unsur pokok, yakni wilayah (territory), penduduk atau
rakyat (people) dan kekuasaan (power) yang mengatur dan menentukan kesatuan unsur – unsur
lainnya (one territory, one people, one power). Kekuasaan yang sifatnya khas bagi Negara baik
ke Dalam terhadap rakyat yang mendukungnya atau ke Luar terhadap pengakuan Negara –
Negara lain itu dalam teorinya disebut Kedaulatan (sovereignty).
Pendapat lain yang memandang Negara itu sebagai satu bentuk masyarakat yang tertentu,
antara lain C.F.Strong, yang menyatakan bahwa Negara itu adalah satu masyarakat yang disusun
secara politis (a state is society politically organised). Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa
yang dimaksud dengan “politically organised” ialah bahwa Negara itu dalam bentuk
kekuasaannya didasarkan secara kenegaraan, seperti kata Kelsen atau “coercive order”.
5. 5
Selain itu, Dr.J.H.A. Logmann melihat Negara itu sebagai satu gejala masyarakat, artinya
satu bentukan yang tidak abstrak namun yang terbentuk menurut perkembangan sejarahnya, satu
kenyataan historis yang mengadung dasar – dasar hukum pula. Negara menurut beliau adalah
satu organisasi kekuasaan yang satu “gezagsorganisatie”, karena menurut pandangan formil
Negara itu merupakan satu kesatuan dari pada fungsi – fungsi yang dapat bertindak ke luar,
sebagai penguasa yang tugas dan lingkungan kewenangannya ditentukan oleh hukum, yakni
hukum tata Negara. Tiap – tiap fungsi dalam organisasi Negara dalam kerangka positif dapat
disebut “ambt” atau pegawai.
Pandangan Logmann tentang Negara itu sangat dekat dengan pandangan Prof.Mr.R.
Kranenburg, dalam definisinya bahwa Negara itu adalah satu sistem dari pada semua fungsi –
fungsi dan alat – alat perlengkapan yang mencakup satu wilyah tertentu. Dari sudut
kemasyarakatannya Kranenburg memandang “staat” itu sebagai "groepsorganisatie”, suatu
susunan kelompok manusia secara teratur menurut sejarah, yakni yang terjadi bila antara satu
kelompok manusia yang menyatakan diri berdasarkan keadaan hidup yang sama (gelyke
levensomstandigheden).
Jadi, dari berbagai pendapat secara singkat seperti yang diutarakan diatas, ialah pengertian
‘Negara’ baik yang didasarkan atas teori kemasyarakatan maupun berdasarkan sejarah dan / atau
hukum yang murni itu, satu sama lain tidaklah ‘divergeren’ atau bertentangan, melainkan saling
isi – mengisi, saling melengkapi, yakni bahwa pengertian Negara sebagai satu bentuk masyarakat
yang memenuhi syarat tertentu tidak dapat mengabaikan unsur – unsur hukumnya, dan
sebaliknya teori kenegaraan atas dasar hukum murni itupun tidak dapat mengelakan segi Negara
itu sebagai satu kenyataan masyarakat (social reality).
6. 6
Dasar – dasar Negara pada umumnya memiliki tiga unsur pokok yang obyektif bagi
pengertian Negara, yakni wilayah, rakyat dan kekuasaan yang terorganisasi itu hanya merupakan
dasar – dasar pemikiran Negara itu secara abstrak. untuk dapat memahami pengertian ‘negara’
itu sebagai satu ‘social reality’ diperlukan pengertian lebih lanjut tentang dasar – dasar Negara
itu dalam bentuknya masing – masing yang sesungguhnya. Dengan perkataan lain, untuk
mengenal Negara itu dalam bentuknya menurut kenyataan kenegaraan yang sifatnya beraneka
ragam, perlu diselidiki mengenai dasar – dasar Negara itu menurut ketentuan dasar bentuk
Negara itu masing – masing in concreto.
Dasar – dasar Negara itu sumbernya adalah terdapat perumusan norma – norma pokok
yang merupakan ‘fundament’ dari pada bentukan Negara itu masing – masing di dalam sistem
hukum dasar yang di sebut Konstitusi atau Undang – Undang Dasar. Berhubung dengan sifat
konstitusi yang semacam itu Lord Bryce mendefinisikannya, bahwa konstitusi itu adalah ‘a
frame of political society, organised through and by the law’. Dari definsi tersebut ternyata
bahwa hukum dasar satu Negara itu dalam satu sistem konstitusionilnya dapat merupakan hukum
yang tertulis (by the law), namun mungkin juga tak tertulis (through the law). Hukum dasar tak
tertulis itu ialah banyak terdapat dalam sistem konstitusionil negara Inggeris, yang dikenal
dengan istilah ‘convention’. Adapun isi konstitusi atau pokok – pokok kenegaraan yang diatur
dalam konstitusi itu pada umumnya merupakan ‘principles according to which the power of the
government, the rights of the governed, and the relation between the two ar adjusted’, yakni
dasar – dasar atau pokok – pokok mengenai kekuasaan pemerintah, hak – hak mereka yang
diperintah serta hubungan antara pemerintah dan yang diperintah itu.
Sebagai suatu bentuk masyarakat yang mengandung unsur – unsur hukum, maka Negara
dalam dasarnya itu mengandung pula pokok – pokok kemasyarakatan (maatschappelijke
7. 7
beginselen) maupun pokok – pokok hukum (rechtsbeginselen) pula yang disebut juga asas –asas
hukum tata Negara. Segala pokok atau asas kenegaraan itu diatur dan ditetapkan dalam Undang
– Undang Dasar Negara untuk diselenggarakan lebih lanjut secara konsekuen dalam peraturan –
peraturan hukum organik kenegaraan.1
B. KONSEP KEMAJEMUKAN BANGSA INDONESIA
J.S. Furnivall (1967), seorang sarjana bangsa Belanda yang banyak menulis tentang
Indonesia, memberikan suatu gambaran tentang masyarakat majemuk ini, dia mengatakan bahwa
masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat dalam mana sistem nilai yang dianut oleh
berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para
anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang
memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling
memahami satu sama lain. Suatu masyarakat adalah bersifat majemuk sejauh masyarakat
tersebut secara struktural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat berbeda satu sama lain.
Masyarakat yang demikian ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai atau
konsensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat, oleh berkembangnya sistem nilai
dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para
anggotanya masing-masing secara tegar dalam bentuknya yang relatif murni,serta oleh sering
timbulnya konflik-konflik sosial, atau setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi dan saling
ketergantungn di antara kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya. Atau kalau
kita ingin meminjam istilah Clifford Geertz (1989), maka masyarakat majemuk adalah
1
Darmodiharjo Darji.,dkk, Kumpulan karangan; Santiaji Pancasila; Suatu Tinjauan Filosofis, Historis Dan Yuridis
– Konstitusional, Usaha Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1979, hal.247-250
8. 8
merupakan masyarakat yang terbagi-bagi kedalam sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-
sendiri, dalam mana masing-masing sub sistem terikat kedalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat
primordial.2
Dengan mengacu pada teori yang dikembangkan Van den Berghe, seolah menyatakan
bahwa masyarakat majemuk tidak dapat digolongkan begitu saja ke dalam salah satu diantara
dua jenis masyarakat menurut pendekatan Emile Durkheim (1966). Suatu masyarakat majemuk
tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit yang bersifat segmenter, akan
tetapi sekaligus juga tidak disamakan pula dengan masyarakat yang memilki diferrensiasi atau
spesialisasi yang tinggi. Yang disebut pertama merupakan masyarakat yang terbagai-bagai ke
dalam berbagai-bagai kelompok berdasarkan garis keturunan tunggal, akan tetapi memiliki
struktur kelembagaan yang bersifat homogeneous. Yang disebut kedua, sebaliknya merupakan
suatu masyarakat dengan tingkat deferrensiasi fungsional yang tinggi dengan banyak lembaga-
lembaga kemasyarakatan, akan tetapi bersifat komplementer dan saling tergantung satu sama
lain. Di dalam keadaan yang demikian, menggunakan terminologi Emile Durkheim, maka Van
den Berghe menyatakan bahwa baik solidaritas mekanis yang diikat oleh kesadaran kolektif
maupun solidaritas oraganis yang diikat oleh saling ketergantungan di antara bagian-bagian dari
suatu sistem sosial, tidak mudah dikembangkan atau ditumbuhkan dalam masyarakat yang
bersifat majemuk.
Untuk lebih memperjelas gambaran tentang masalah-masalah keanekaragaman yang ada
pada masyarakat Indonesia ini; dilakukan dua bentuk pendekatan, yaitu menurut pendekatan
fungsionalisme struktural dan pendekatan konflik di bawah ini.
2
Moeis Syarif, Makalah Perspektif Keanekaragaman Sosial; Analisis keanekaragaman kelompok sosial dalam
masyarakat multikultural, http://upi.edu/Direktori/FPIPS, hal.1
9. 9
1. Pendekatan Struktural Fungsional
Dalam pandangan struktural fungsional bahwa suatu sistem sosial senantiasa terintegrasi di
atas landasan dua hal berikut; pertama, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas
tumbuhnya konsensus diantara sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai
kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua, Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi juga
oleh karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota berbagai-bagai kesatuan
sosial (cros-cutting affiliations); oleh karena dengan demikian setiap konflik akan terjadi di
antara suatu kesatuan sosial dengan kesatuan-kesatuan sosial yang lain segera akan dinetralisir
oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari para anggota masyarakat terhadap
berbagai-bagai kesatuan sosial.
Apabila kita mengikuti pandangan dasar dari para penganut fungsionalisme struktural,
mulai dari Auguste Comte melalui Emile Durkheim sampai Talcott Parsons dan para
pengikutnya, maka faktor yang mengintegrasikan masyarakat Indonesia tentulah berupa
kesepakatan dari para warga masyarakat Indonesia akan nilai-nilai umum tertentu. Mengikuti
pandangan Parsons, maka kelangsungan hidup masyarakat Indonesia tidak saja menuntut
tumbuhnya nilai-nilai umum tertentu yang disepakati bersama oleh sebagian besar orang-orang
Indonesia, akan tetapi lebih daripada itu nilai-nilai umum tersebut harus pula mereka hayati
benar melalui proses sosialisasi.
Pada tingkat tertentu keduanya tentu saja mendasari pula terjadinya integrasi sosial pada
masyarakat yang bersifat majemuk, oleh karena tanpa keduanya suatu kehidupan bersama
bagaimanapun tidak mungkin terjadi; segmentasi dalam bentuk terjadinya kesatuan-kesatuan
sosial yang terikat kedalam oleh ikatan-ikatan primordial dengan sub kebudayaan yang berbeda
satu sama lain, mudah sekali menimbulkan konflik diantara kesatuan-kesatuan sosial tersebut.
10. 10
Sekurangnya akan muncul dua tingkatan konflik dari keadaan ini , yaitu : pertama, konflik yang
dalam tingkatannya bersifat ideologis; merupakan bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut
oleh para anggotanya serta menjadi ideologi dari berbagai-bagai kesatuan sosial; dan kedua,
konflik yang dalam tingkatannya bersifat politis, merupakan bentuk-bentuk pertentangan di
dalam pembagian status kekuasaan, dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas di dalam
masyarakat. Didalam situasi konflik, maka sadar atau tidak sadar setiap fihak yang berselisih
akan berusaha mengabadikan diri dengan cara memperkokoh solidaritas ke dalam diantara
sesama anggotanya, membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan untuk keperluan
kesejahteraan dan pertahanan bersama.; mendirikan sekolah-sekolah untuk memperkuat identitas
kultural, bersaing di dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.
2. Pendekatan Konflik
Keterangan-keterangan yang dikemukakan oleh teori fungsionalisme struktural berkaitan
dengan proses integrasi dalam masyarakat majemuk sebenarnya cukup membingungkan, hal itu
berkisar pada apabila konflik dianggap potensial di dalam masyarakat yang bersifat majemuk,
dan apabila konsensus hanya dapat tumbuh dalam derajat yang terbatas, maka bagaimana
mungkin suatu masyarakat majemuk dapat bertahan dalam waktu yang panjang ?
Menurut pendekatan konflik, integrasi sosial di dalam masyarakat majemuk akan bisa
dilaksanakan menurut dua keadaan, yaitu : pertama, integrasi sosial bisa terwujud atas dasar
paksaan (coercion) dari satu kelompok atau kesatuan sosial yang dominan atas kelompok-
kelompok atau kesatuan-kesatuan sosial yang lain; dan kedua, integrasi sosial itu bisa terwujud
karena adanya saling ketergantungan diantara berbagai kelompok atau kesatuan sosial dalam
bidang ekonomi.
11. 11
Pandangan para penganut pendekatan konflik tersebut memperoleh kebenarannya terutama
di dalam konteks masyarakat Indonesia pada masa penjajahan, dimana sejumlah kecil orang-
orang kulit putih, yaitu melalui kekuatan militer dan kekuatan politiknya, menguasai sejumlah
besar pendapatan nasional. Dalam derajat tertentu pandangan tersebut juga memiliki
kebenarannya untuk melihat keadaan masyarakat Indonesia sesudah jaman kemerdekaan, di
mana kelemahan-kelemahan daripada mekanisme pengendalian konflik-konflik sosial selama ini
telah mengundang hadirnya kesatuan atau kekuatan sosial yang dominan untuk sedikit banyak
memaksakan kekuasaannya untuk menjamin agar sistem sosial tetap dapat berfungsi.
Disisi lain, pandangan fungsionalisme struktural memperoleh pembenaran sendiri, oleh
karena bagaimanapun juga pemaksaan tersebut akan tetap berada di dalam batas konsensus
masyarakat mengenai nailai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental; di luar itu maka
hubungan-hubungan kekuasaan akan melahirkan terjadinya perpecahan atau bahkan hancurnya
masyarakat Indonesia.3
Sifat majemuk masyarakat Indonesia memang telah menjadi sebab dan kondisi bagi
timbulnya konflik –konflik yang sedikit banyak bersifat lingkaran setan (vicious circle), dan
yang oleh karenanya mendorong tumbuhnya proses integrasi sosial diatas landasan coercion.
Akan tetapi di lain fihak, proses integrasi tersebut juga terjadi di atas landasan konsensus bangsa
Indonesia mengenai nilai-nilai fundamental tertentu. Kelahiran bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang merdeka, sangat jelas menunjukkan betapa nasionalisme Pancasila telah menjadi daya
spiritual yang sejak awal mempersatukan bangsa Indonesia.
Dalam kajian tentang masyarakat majemuk pada masyarakat Indonesia, Furnivall
membaginya menjadi dua periode, yaitu pada masa kolonial dan pada masa setelah
kemerdekaan. Pada masa kolonial digambarkan bahwa masyarakat Indonesia terdiri atas
3
Ibid.hal.7-9
12. 12
sejumlah tatanan sosial yang hidup berdampingan tetapi tidak berbaur, namun menurutnya
kelompok Eropa, Cina dan pribumi saling melekat laksana kembar siam dan akan hancur
bilamana dipisahkan
1. Masa penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan, konflik yang bersifat horisontal antara golongan-golongan yang
mempunyai latar belakang ras dan agama yang berbeda, sekaligus merupakan konflik yang
bersifat vertikal antara golongan orang Eropa sebagai lapisan kelas atas masyarakat dengan
golongan Timur Asing (khususnya golongan Tinghoa) sebagai golongan menengah, dan
golongan pribumi sebagai lapisan bawah yang dikuasai. Dengan perkataan lain, dimensi ras dan
agama yang membedakan berbagai-bagai golongan di dalam masyarakat Indonesia pada waktu
itu bertemu sekaligus dengan dimensi stratifikasi sosial.
Didalam situasi yang demikian, maka bentuk coercion dianggap satu-satunya faktor yang
berfungsi mengintergrasikan masyarakat Indonesia pada waktu itu. Dengan sebuah
perumpamaan, Furnivall menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia pada masa Hindia-
Belanda laksana suatu konfederasi antara sejumlah negara, yang dipersatukan oleh suatu
perjanjian atau di dalam batas-batas suatu konstitusi semata-mata demi tujuan-tujuan tertentu;
namun keadaan ini akan tidak dapat disebut sebagai suatu union, oleh karena masing-masing
hidup di dalam kehidupan sendiri-sendiri sebagai bagian-bagian yang terpisah satu sama lain.
Apabila bagian-bagian suatu union terintegrasi secara sukarela dengan kemungkinan bagi setiap
bagian untuk menarik diri pada setiap saat secara sukarela pula, maka bagian-bagian dari
masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda terintegrasi semata-mata oleh kekuasaan
13. 13
kolonial dan oleh paksaan dari suatu kekuatan ekonomi tertentu; tanpa coercion ini maka
masyarakat Hindia-Belanda sebagai keseluruhan akan punah oleh anarki.
2. Masa kemerdekaan
Keadaan masyarakat Indonesia setelah masa pendudukan Hindia-Belanda tidak separah
seperti pada masa itu, konflik yang ditemukan sesudah revolusi kemerdekaan bukanlah konflik
antara golongan-golongan yang bersifat eksklusif, melainkan konflik antara golongan yang
sedikit banyak bersifat silang-menyilang (cross-cutting). Sesudah revolusi kemerdekaan, konflik
antara golongan–golongan di dalam masyarakat Indonesia berubah menjadi tidak bersifat
eksklusif lagi; perbedaan suku bangsa, yang pada masa penjajahan lebih merupakan perbedaan
ras, tidak lagi jatuh berhimpitan dengan perbedaaan-perbedaaan agama, daerah, dan pelapisan
sosial.
Dengan perkataan lain, perbedaan-perbedaan suku bangsa , agama, daerah, dan pelapisan
sosial saling silang-menyilang satu sama lain, keadaan mana menghasilkan suatu bentuk
keanggotaaan golongan yang bersifat silang menyilang pula. Cross cutting affiliation yang
demikian telah menyebabkan konflik-konflik antara golongan di Indonesia menjadi terlalu tajam.
Kalaupun kemudian misalnya terjadi konflik antar suku bangsa, maka keadaan itu akan segera
tereduksi oleh bertemunya loyalitas keagamaan, daerah dan pelapisan sosial dari para anggota
sukubangsa yang terlibat dalam pertentangan tersebut; demikian juga sebaliknya, apabila yang
terjadi adalah konflik antara agama, daerah, atau pelapisan sosial.
Oleh karena cross cutting affiliation senantiasa menghasilkan cross cutting loyalities itulah
maka sampai pada suatu tingkat tertentu masyarakat Indonesia juga terintegrasi di atas dasar
tumbuhnya perbedaan-perperbedaan suku bangsa, agama, daerah, dan pelapisan sosial yang
14. 14
bersifat silang menyilang (cross-cutting). Adalah oleh karena kurang dimilikinya sifat-sifat itu,
maka konflik antara golongan Tionghoa dengan golongan-golongan lainnya yang bisa disebut
sebagai golongan pribumi, mudah sekali terjadi, bahkan tidak jarang menjadi konflik yang
menimbulkan kekerasan; sebagai mana kita ketahui bersama, lebih dari golongan-golongan yang
lain, maka golongan Tionghoa adalah yang paling bersifat eksklusif dilihat dari sudut agama,
tempat tinggal, dan pelapisan sosial. Namun demikian oleh kareana jumlah mereka tidak terlalu
besar, keadaan ini tidak mengurangi besarnya peranan struktur kemasyarakatan yang bersifat
silang-menyilang sebagai faktor yang dapat mengintegrasikan masyarakat secara keseluruhan.
Bersama-sama dengan tumbuhnya konsensus nasional mengenai nilai-nilai nasionalisme
yang terwujud dalam Pancasila yang senantiasa bertanggapan secara dinamis dengan mekanisme
pengendalian konflik-konflik yang bersifat coercive, maka struktur masyarakat Indonersia yang
bersifat silang-menyilang itu telah menjadi landasan mengapa masyarakat Indonesia tetap dapat
lestari dari masa ke masa, kendati ia harus mengarungi samudera yang penuh dengan gelombang
dan badai pertentangan.4
Dengan cara yang lebih singkat, Pierre L. Van den Berghe (1967) menyebutkan beberapa
karakteristik berikut sebagai sifat-sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk, yakni :
(1) Terjadinya segmentasi dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki
kebudayaan yang berbeda satu sama lain ;
(2) Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat
non-komplementer ;
(3) Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang
bersifat dasar ;
4
Ibid.hal.13-15
15. 15
(4) Secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik diantara kelompok yang satu
dengan kelompok yuang lain ;
(5) Secara relatif integarasi sosial tumbuh diatas paksaan (coercion) dan saling
ketergantungan di dalam bidang ekonomi;
(6) Serta adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.
Setiap kehidupan bersama tentu akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi, dan
dasarnya sangat sederhana, yaitu bahwa setiap orang memiliki potensi yang berbeda dengan
orang-orang lainnya, baik dasar pengetahuan, pertimbangan, orientasi kepentingan, ataupun
pengalaman. Keluarga, sebagai unit terkecil dari suatu kesatuan sosial, tidak selalu ada dalam
keseimbangan, walaupun kedudukan-kedukan, peranan-peranan, serta nilai-nilai dan norma-
norma yang ada di dalamnya diatur secara jelas; dalam keluarga, kontrol sosial antara anggota
satu terhadap anggota lainnya relatif dapat dilaksanakan dengan mudah, tetapi tidak jarang
terjadi pertentangan-pertentangan yang akhirnya menimbulkan hilangnya keutuhan keluarga
yang berangkutan. Dalam kelompok sekecil keluarga pun keadaan persatuan dan perpecahan
sangat memungkinkan terjadi, apalagi bila diimplementasikan dalam bentuk pengelompokkan
yang lebih besar, tetangga, masyarakat, terlebih masyarakat multikultural.5
Masyarakat Indonesia yang memiliki keragaman nilai-nilai budaya sebagai dasar dalam
berprilaku, dan telah menjadi sistem budaya, maka telah menjadi keharusan dalam kehidupan
masyarakatnya terdapat norma-norma yang mengatur gerak langkah manusianya sebagai anggota
masyarakat. Sebagai makhluk budaya, perilaku manusia memerlukan pedoman atau acuan dalam
bertingkah laku. Oleh karena itu didalam melakukan tindakan-tindakan atau perilaku dalam
kehidupannya, manusia dilingkupi oleh sistem nilai atau himpunan nilai-nilai. Sebagai wujud
5
Ibid.hal.2
16. 16
ideal kebudayaan yang memberi acuan manusia dalam berperilaku, nilai-nilai tersebut seolah-
olah mempunyai tingkatan-tingkatan atau gradasi dalam kedudukannya. Pembahasan mengenai
sistem nilai budaya terdahulu, merupakan inti yang menjiwai semua pedoman yang mengatur
tingkah laku warga masyarakat yang bersangktuan. Pedoman tingkah laku yang dimaksudkan itu
di antaranya adalah norma-norma yang hidup di masyarakat atau dikatakan juga sebagai norma
sosial.
C. TATANAN NILAI PANCASILA SEBAGAI KONSEKUENSI YURIDIS DARI
KEMAJEMUKAN BANGSA INDONESIA
Manusia adalah insan yang hidup berkelompok (zoon politicon) yang menampilkan insan
sosial (homo politicus) sekaligus aspek insan usaha (homo economicus), dalam arti bahwa naluri
hidup berkelompoknya adalah untuk mencapai kesejahteraan bersamanya. Sebagai insan yang
berpikir, maka berdasarkan iman, cipta, rasa dan karsanya seseorang akan memiliki pandangan
hidup yang akan menjawab permasalahan yang berkaitan dengan hidupnya.
Didalam kehidupan berkelompoknya, yang di Indonesia didalilkan dalam berbangsa,
bermasyarakat dan bernegara, maka masing – masing akan mengadakan penyesuaian –
penyesuaian pandangan hidupnya sehingga terbentuklah pandangan hidup kelompok. Didalam
kehidupan antar kelompok, maka apabila tidak terjadi suatu penggabungan kelompok, maka
masing – masing anggota kelompok yakin bahwa pandangan hidup kelompoknya merupakan
suatu kebenaran sejauh yang dapat dipikirkan oleh manusia, sehingga tumbuhlah falsafah hidup
yang bersangkutan dari pandangan hidup berkelompok tersebut. Didalam kehidupan
berkelompok tersebut meningkat menjadi bernegara, maka falsafah hidup tersebut disebut di
17. 17
dalam Rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia disebut sebagai
filosofische grondslag dari pada Negara yang didirikan.
Falsafah hidup suatu bangsa akan menjelmakan suatu tata nilai yang di cita-citakan bangsa
yang bersangkutan, ia membentuk keyakinan hidup berkelompok sekaligus menjadi tolak ukur
kesejahteraan kehidupan berkelompok sesuai yang dicita-citakan bangsa yang bersangkutan.
Sebagai yang dicita – citakan maka ia membentuk ide – ide dasar dari hal segala aspek
kehidupan berkelompok. Kesatuan yang bulat dan utuh dari ide – ide dasar tersebut kita sebut
ideologi. Dengan demikian suatu ideologi merupakan suatu kelanjutan atau konsekuensi logis
dari pada pandangan hidup bangsa, falsafah hidup bangsa dan akan berupa seperangkat tata nilai
yang dicita – citakan akan direalisir didalam kehidupan berkelompok.6
Tatanan nilai-nilai Pancasila yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Nilai materiil
Nilai ini adalah yang terindah, sifatnya pokok, tetapi kebutuhannya terbatas. Tuhan,
Hukum semesta, dan alam menjamin berbagai kemudahan untuk memenuhi kebutuhan
materiil. Nilai materiil itu harus di konkritkan, materi bukan sebagai tujuan, tetapi
sebagai kelengkapan. (segala sesuatu yang mampu melahirkan kebahagiaan, baik secara
fisik maupun lahiriah) Nilai-nilai materiil ini penting,tetapi hanya sebatas hal-hal tertentu.
2. Nilai vital
Nilai-nilai yang berupa kemudahan-kemudahan bagi manusia, dalam rangka
melakukan aktivitas-aktivitasnya. Nilai ini mengandung beragam kontekstual Sebagai
sarana untuk mewujudkan keadilan, ketertiban, kemakmuran. Hukum menjadi nilai vital
6
Oesman Oetojo, Pancasila Sebagai Ideologi; dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara, BP-7 Pusat, 1990, hal.88-89
18. 18
yang tinggi. Pada nilai vital ini, kebutuhan materiil harus dapat terpenuhi, kebutuhan
rohaniah juga harus terpenuhi.
3. Nilai Rohaniah
a) Nilai kebenaran / kenyataan
b) Nilai estetika / keindahan
c) Nilai moral / etika
Akhlak, melalui suatu tata cara yang santun dan sopan. Kaitannya dengan kepekaan
terhadap hati.
Nilai moralitasnya : hukum harus bisa memberikan ketentraman dan kenyamanan
terhadap manusia. Ketika ada hukum, kita merasa terlindungi, terjamin.
d) Nilai religius / Ketuhanan
Nilai kerohanian merupakan nilai yang repenting, pada bagian-bagian di dalam
pancasila. Setiap orang tentu pada ujung atau puncaknya akan mencari Tuhan,pencarian
seperti ini ada yang dilakukan secara mudah atau sulit. Hukum harus memiliki nilai
religius seperti ini, tidak boleh memisahkan dari nilai agama / Ketuhanan dengan
mengatur segala sesuatunya di dalam dunia ini. Nilai kerohanian, nilai kebenaran
(penting dalam aplikasinya di berbagai ilmu). Berbicara mengenai ilmu, berbicara
kebenaran, sebagai nilai rohani yang dapat menentramkan hati kita.
Nilai – nilai tersebut diatas kemudian dioperasionalkan dalam bentuk norma.
a) Nilai positif dioperasionalkan menjadi perintah
b) Nilai negatif diperasionalkan menjadi larangan
c) Sanksi / hukuman merupakan sarana untuk penegakan norma7
7
Sudjito Bin Atmoredjo, materi perkuliahan pascasarjana magister hukum bisnis
19. 19
Undang – Undang Dasar 1945 menggunakan 2 (dua) cara didalam menentukan petunjuk –
petunjuk tentang nilai – nilai dasar tersebut :
a. Yang pertama ialah dengan jelas diberikan petunjuk tentang suatu tatanan dasar;
b. Nilai suatu tatanan dasar diserahkan pada Undang-Undang untuk merumuskannya,
artinya dengan persetujuan (wakil) rakyat pula.
Beberapa tatanan dasar dengan petunjuk – petunjuknya adalah sebagai beikut :
a) Tatanan bermasyarakat, nilai – nilai dasarnya ialah tidak boleh ada eksploitasi sesama
manusia (penjajahan), berprikemnusiaan dan berkeadilan sosial (Alinea I Pembukaan).
b) Tatanan bernegara, dengan nilai dasar merdeka, berdaulat, bersatu adil dan makmur
(Alinea II Pembukaan)
c) Tatanan kerja sama antar Negara atau tatanan luar negeri dengan nilai tertib dunia,
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Alinea IV Pembukaan)
d) Tatanan pemerintahan daerah dengan nilai permusyawaratan dan mengakui asal usul
keistimewaan daerah (Pasal 18)
e) Tatanan keuangan Negara ditentukan dengan Undang – Undang (Pasal 23)
f) Tatanan hidup beragama dengan nilai dasar dijamin oleh Negara kebebasannya serta
beribadahnya dengan agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29)
g) Tatanan bela negara, hak dan kewajiban warga Negara merupakan nilai dasarnya (Pasal
30)
h) Tatanan pendidikan diatur dengan Undang – Undang (Pasal 31)
i) Tatanan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat
20. 20
j) Tatanan hukum dan keikutsertaan dalam pemerintahan dengan nilai – nilai dasar
kesamaan bagi setiap warga Negara dan kewajiban menjunjungnya tanpa kecuali (Pasal
27 ayat 1)
k) Tatanan pekerjaan dan penghidupan, dengan nilai dasar harus layak dari segi
kemanusiaan
l) Tatanan budaya dengan nilai dasar, berdasarkan budaya daerah, menuju kemajuan adab,
dan persatuan serta tidak menolak budaya asing yang dapat memperkembangkan atau
memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
m) Tatanan kesejahteraan sosial dengan nilai dasar kemakmuran masyarakat yang
diutamakan dan bukan kemakmuran orang seorang
n) Tatanan gelar dan tanda kehormatan diatur dengan Undang – Undang (Pasal 15)
Penjabaran nilai tersebut di atas menjadi suatu keharusan agar diperoleh suatu gambaran
yang lebih konkrit dari setiap tatanan sehingga memudahkan perumusan haluan Negara ataupun
pembangunan di setiap bidangnya.8
Pokok – pokok pikiran tentang hakekat, sifat dan bentuk Negara serta pemerintah Negara
Republik Indonesia telah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945
merupakan jiwa Proklamaso Kemerdekaan 17 Agustus 1945 ialah jiwa Pancasila, mengandung
empat (4) pokok pikiran, antara lain :
1) Negara persatuan, ialah Negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, mengatasi segala faham golongan dan perorangan, mengakui
segala agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ini merupakan
perwujudan sila ke-3 Pancasila.
8
Oesman Oetojo & Alvian,Op.cit.hal.133-134
21. 21
2) Negara bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dalam rangka
mewujudkan Negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. dalam hal ini
Negara berkewajiban memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadila sosial. Ini merupakan perwujudan sila ke-5 Pancasila.
3) Negara berkedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan.
Negara kita berkedaulatan rakyat mempunyai sistem pemerintahan demokrasi, yang kita
sebut Demokrasi Pancasila. Ini merupakan perwujudan sila ke-4 Pancasila.
4) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil
dan beradab. Negara kita bukan Negara ‘atheis’ tetapi juga bukan ajaran ‘theokrasi’.
Negara kita menjunjung tinggi semua agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Ini merupakan perwujudan sila ke-1 dan sila ke-2 Pancasila.9
D. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA HUKUM DALAM PEMBANGUNAN
HUKUM NASIONAL
Dalam suatu masyarakat yang sedang mengalami perubahan, dinamika masyarakat akan
membawa pengaruh terhadap perubahan nilai di dalamnya, perubahan nilai akan mengubah cara
pandang masyarakat yang pada gilirannya pada perubahan pola hidup, tingkah laku atau karakter
masyarakat, yang apabila tidak dilakukan pengaturan, maka sangat mungkin terjadinya benturan-
benturan kepentingan di antara mereka. Keadaan demikian merupakan suatu fenomena yang
harus dipahami dan dijadikan landasan dalam menentukan arah pembangunan hukum itu sendiri.
Pembangunan hukum tersebut harus dilakukan dalam konteks pembuatan peraturan perundang-
9
Darmodiharjo Darji.,dkk,Op.cit.hal.63-64
22. 22
undangan, maka idealnya adalah bahwa aturan yang dibuat tersebut akan lebih mudah
mengimplementasikannya terhadap suatu kelompok masyarakat yang menjadi akar terbentuknya
persatuan itu, dengan kata lain aturan hukum tersebut haruslah berakar dari nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat tersebut. Dalam hubungan ini cita hukum Pancasila tidak bisa dilepaskan
sama sekali dalam proses dalam pembangunan hukum itu.10
Sistem budaya Indonesia juga mengembangkan sistem normatif nilai-nilai dasarnya sendiri,
yang tidak berakar secara utuh pada salah satu budaya masyarakat etnik atau tradisi keagamaan
melainkan berakar pada semua sistem budaya yang ada. Nilai-nilai dasarnya telah dirumuskan
menjadi ideologi Negara yakni Pancasila. Unsur pokok sistem normatif bangsa Indonesia adalah
Undang-undang Dasar Negara. Sedangkan unsur-unsur penting lainnya dari sistem normatif itu
adalah semua norma hukum resmi yang diharapkan diterapkan dan dipatuhi seluruh anggota
masyarakat dalam kegiatan mereka sebagai warga negara Republik Indonesia. Norma-norma itu
mengatur hak dan kewajiban semua warga Negara Indonesia dan siapa saja selama mereka
tinggal di wilayah ini
Pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar dan ideologi Negara yang tidak dipersoalkan
lagi bahkan sangat kuat, maka pancasila itu harus dijadikan paradigma (kerangka berpikir,
sumber nilai dan orientasi arah) dalam pembangunan hukum, termasuk semua upaya
pembaharuannya. Pancasila sebagai dasar Negara memang berkonotasi yuridis dalam arti
melahirkan peraturan perundangan yang tersusun secara hierarkis dan bersumber darinya;
sddangakan pancasila sebagai ideologi dapat dikonotasikan sebagai program sosial politik tempat
hukum menjadi salah satu alatnya dan karenanya juga harus bersumber darinya.
10
Nur Fachturahman Turiman, Pancasila Sebagai Cita Hukum Dalam Pembangunan Hukum Nasional,
http://rajawaligarudapancasila.blogspot.com, hal.7
23. 23
Beberapa alasan lain yang dikemukakan bahwa Pancasila harus menjadi paradigma dalam
pembangunan hukum adalah :
1. Penjelasan UUD 1945
Secara resmi, sejak amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali, penjelasan UUD 1945
tidak lagi menjadi bagian UUD Indonesia. Tetapi, gagasan – gagasan yang terkandung di
dalamnya tetaplah relevan untuk dijadikan sumber hukum materiil, bukan sumber hukum
dalam artinya yang formal.
Menurut penjelasan UUD 1945, pembukaan menciptakan pokok – pokok pikiran yang
terkandung dalam Pasal – Pasal UUD 1945 tersebut. Artinya, Pasal – Pasal pada Batang
Tubuh UUD 1945 merupakan penjabaran normatif tentang pokok – pokok pikiran yang
terkandung didalam Pembukaan UUD 1945. Pokok – pokok pikiran tersebut meliputi
suasana kebatinan UUD dan merupakan cita hukum yang menguasai konstitusi (baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis). Dengan demikian, semua produk hukum dan
penegakkannya di Indonesia haruslah didasarkan pada pokok pikiran yang ada didalam
UUD 1945 termasuk, bahkan yang terutama, Pancasila. Pancasila itulah yang merupakan
cita hukum. Pancasila dapat menjadi penguji kebenaran hukum positif sekaligus menjadi
arah hukum positif tersebut untuk dikristalisasikan dalam bentuk norma yang imperatif
untuk mencapai tujuan Negara. Dari sini dapat dimengerti bahwa cita hukum harus dapat
dibedakan dari konsep tentang hukum: yang pertama terletak di dalam ide dan cita,
sedangkan yang kedua merupakan kenyataan yang harus bersumber dari cita tersebut.
24. 24
2. TAP MPRS No.XX/MPRS/1966
Didalam tata hukum baru, TAP MPR/S sudah tidak dikenal, tetapi dasar pikiran tentang
Pancasila yang dimuat dalam TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 tetap cocok untuk
menjelaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. TAP
MPRS No.XX/MPRS/1966 tetap dapat dijadikan sumber hukum materiil. Didalamnya
disebutkan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, yang berarti
bahwa semua sumber, produk dan proses penegakan hukum haruslah mengacu pada
Pancasila sebagai sumber nilai utamanya. Selanjutnya dala TAP tersebut menyatakan
bahwa : “sumber dari segala tertib hukum Indonesia adalah pandangan hidup, kesadaran
dan cita – cita hukum …”. Pandangan hidup, kesadaran dan cita – cita hukum ini dapat
diambil dari sumber materiil yang historis, sosiologis, antropologis dan filosofis yang
semuanya terkandung dalam nilai – nilai Pancasila. Dalam kaitan dengan sumber hukum
formal haruslah diartikan bahwa sumber hukum formal apapun haruslah tetap bersumber
pada Pancasila dan tidak keluar dari kandang nilai – nilainya; sebab sebagai sumber
hukum materiil, Pancasila itu merupakan cita hukum yang harus mengalir pada seluruh
produk hukum di Indonesia.
3. Norma Fundamental Negara
Dasar – dasar pemikiran di atas diperkuat lagi oleh pandangan para pakar filsafat
Notonagoro yang pada pidato Dies Natalis UGM 10 November 1955, menyebut
Pancasila sebagai “norma fundamental Negara“ (staatsfundamentalnorm).
Staatsfundamentalnorm merupakan norma tertinggi yang kedudukannya lebih tinggi dari
pada UUD dan berdasarkan norma yang tertinggi inilah konstitusi dan peraturan
25. 25
perundang – undangan harus dibentuk. Menurut A. Hamid S. Attamimi, adalah Hans
Nawiasky yang merupakan orang pertama dalam literatur menggunakan istilah
staatsfundamentalnorm dan dengan sadar menyatakan tidak menggunakan istilah
grundnorm, karena grundnorm telah digunakan untuk hukum dasar atau konstitusi.
Grundnorm yang biasa dipakai untuk konstitusi ini menurut Nawiasky masih bisa
berubah – ubah, misalnya karena pemberontakan, kudeta atau perubahan resmi yang cara
dan prosedurnya ditentukan oleh konstitusi itu sendiri. Sedangkan kedudukan
staatsfundamentalnorm lebih tinggi dari grundnorm, bahkan tidak dapat diubah. Inilah
yang dapat menjelaskan mengapa secara filosofis kedudukan Pembukaan (yang
didalamnya memuat Pancasila) itu dibedakan dari Batang Tubuh UUD 1945. Pancasila
yang ada di dalam Pembukaan merupakan bagian dari staatsfundamentalnorm yang tidak
dapat diubah, sedangkan Batang Tubuh UUD 1945 merupakan grundnorm yang
meskipun sulit, dapat diubah dengan prosedur dan cara tertentu. Itulah sebabnya, ketika
melakukan amandemen sampai empat kali UUD 1945, yang di amandemen hanya Batang
Tubuh ke bawah. Istilah Batang Tubuh inipun sekarang dihapus, diganti dengan istilah
“Pasal – Pasal”.
Sebagai Paradigma dalam pembaruan tatanan hukum, Pancasila itu dapat dipandang
sebagai “cita hukum” maupun sebagai “staatsfundamentalnorm”. sebagai cita hukum, Pancasila
dapat memiliki fungsi konstitutif maupun fungsi regulatif. Dengan fungsi konstitutifnya,
Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang member arti dan makna bagi hukum itu
sendiri sehingga tanpa dasar yang diberikan oleh Pancasila itu, hukum akan kehilangan arti dan
maknanya sebagai hukum. Dan dengan fungsi regulatifnya, Pancasila menentukan apakah suatu
26. 26
hukum positif sebagai produk itu adil ataukah tidak adil. selanjutnya sebagai
staatsfundamentalnorm, Pancasila yang menciptakan konstitusi, menentukan isi dan bentuk
berbagai peraturan perundang – undangan yang lebih rendah yang seluruhnya tersusun secara
hierarkis. Dalam susunan hierarkis ini, Pancasila menjamin keserasian atau tiadanya kontradiksi
antara berbagai peraturan perundang – undangan baik secara vertikal maupun horizontal. Ini
menimbulkan konsekuensi bahwa jika terjadi ketidakserasian atau prtentangan antara satu norma
hukum dengan norma hukum yang secara hierarkis lebih tinggi, apalagi dengan Pancasila, berarti
terjadi inkonstitusionalitas dan ketidaklegalan (illegality) dan karenanya norma hukum yang
lebih rendah itu menjadi batal dan harus dibatalkan demi hukum.11
11
MD Mahfud Moh, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 2010,
hal.51-54
27. 27
BAB III
PENUTUP
1) KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara
lain :
Negara baik yang didasarkan atas teori kemasyarakatan maupun berdasarkan sejarah dan /
atau hukum yang murni itu, satu sama lain tidaklah ‘divergeren’ atau bertentangan, melainkan
saling isi – mengisi, saling melengkapi, yakni bahwa pengertian Negara sebagai satu bentuk
masyarakat yang memenuhi syarat tertentu tidak dapat mengabaikan unsur – unsur hukumnya.
Sebagai suatu bentuk masyarakat yang mengandung unsur – unsur hukum, maka Negara dalam
dasarnya itu mengandung pula pokok – pokok kemasyarakatan (maatschappelijke beginselen)
maupun pokok – pokok hukum (rechtsbeginselen) pula yang disebut juga asas –asas hukum tata
Negara. Segala pokok atau asas kenegaraan itu diatur dan ditetapkan dalam Undang – Undang
Dasar Negara untuk diselenggarakan lebih lanjut secara konsekuen dalam peraturan – peraturan
hukum organik kenegaraan.
Di Indonesia, Pancasila (staatsfundamentalnorm) merupakan sumber dari segala sumber
hukum, yang berarti bahwa segala bentuk hukum di Indonesia harus diukur menurut nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila, dan didalam aturan hukum itu harus tercermin kesadaran dan
rasa keadilan yang sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup bangsa. Nilai – nilai Pancasila
merupakan nilai – nilai yang mencerminkan atau menggambarkan keanekaragaman budaya,
suku, bahasa, daerah dari suatu kemajemukan bangsa Indonesia, yang oleh Negara melalui
aparatur pemerintah mengatur sistem nilai-nilai dasar tersebut menjadi suatu norma/hukum yang
28. 28
mengatur kehidupan masyarakat bangsa indonesia sendiri, yang tidak berakar secara utuh pada
salah satu budaya masyarakat etnik atau tradisi keagamaan melainkan berakar pada semua sistem
budaya yang ada. Jadi konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia, yakni Negara
Persatuan, ialah Negara harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, mengatasi segala faham golongan dan perorangan, mengakui segala agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, Negara juga bertujuan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat dalam rangka mewujudkan Negara yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur dengan tujuan untuk mensejahterahkan serta mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
2) SARAN
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa saran yang dapat
penulis rekomendasikan sebagai berikut :
Bahwa pemerintah dalam upaya untuk melakukan pembangunan hukum yang mencakup
upaya – upaya pembaharuan tatanan hukum sebagai konsekuensi dari kemajemukan bangsa
Indonesia, hendaknya Pancasila dijadikan paradigma hidup bangsa Indonesia yang akan
menjelmakan suatu tata nilai yang dicita-citakan bangsa Indonesia dalam membentuk peraturan
perundang – undangan atau norma – norma hukum berdasarkan UUD 1945, demi memantapkan
persatuan dan kesatuan bangsa.
29. 29
DAFTAR PUSTAKA
Hartono, Pancasila; ditinjau dari segi historis, cetakan pertama, 1992
Darmodiharjo Darji.,dkk, Kumpulan karangan; Santiaji Pancasila; Suatu Tinjauan Filosofis,
Historis Dan Yuridis – Konstitusional, Usaha Nasional, Usaha Nasional, Surabaya, 1979
MD Mahfud Moh, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi, Rajawali Grafindo
Persada, Jakarta, 2010
Sudjito Bin Atmoredjo, materi perkuliahan pascasarjana magister hukum bisnis
Oesman Oetojo & Alvian, Pancasila Sebagai Ideologi; dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat, berbangsa dan bernegara, BP-7 Pusat, 1990
Moeis Syarif, Makalah Perspektif Keanekaragaman Sosial; Analisis keanekaragaman kelompok
sosial dalam masyarakat multikultural, http://upi.edu/Direktori/FPIPS
Nur Fachturahman Turiman, Pancasila Sebagai Cita Hukum Dalam Pembangunan Hukum
Nasional, http://rajawaligarudapancasila.blogspot.com