Dokumen tersebut membahas kasus perundungan yang terjadi antara siswi SMP dengan siswi SMA di Pontianak, Kalimantan Barat. Dokumen tersebut merekomendasikan beberapa hal penting yaitu melindungi hak-hak korban dan pelaku sebagai anak, mengevaluasi sistem pendidikan, serta mensosialisasikan dampak jejak digital bagi anak-anak.
TEKNIK MENJAWAB RUMUSAN SPM 2022 - UNTUK MURID.pptx
Pers release pernyataan sikap ecpat indonesia terhadap kasus perundungan di pontianak
1. Pernyataan Sikap ECPAT Indonesia terhadap Kasus Perundungan #AU di Pontianak
“Perlakuan Anak sebagai Pelaku dan Korban harus adil”
Jakarta, 11 April 2019
Kasus yang terjadi di Pontianak, Kalimantan Barat telah menimbulkan kehebohan. Bagaimana tidak?
Berdasarkan laporan media, seorang siswi SMP diduga “dianiaya” 12 siswi SMA hingga mengalami
trauma dan harus diopname di Rumah Sakit. Kejadian tersebut bermula dari perselisihan komentar di
facebook antara korban dengan salah satu pelaku, yang mengakibatkan ketersinggungan pelaku kepada
korban, kemudian salah satu pelaku berinisiatif melanjutkan perselisihan dengan menemui korban
(tatap muka), sampai akhirnya pengeroyokan disertai dengan pemukulan dan ancaman itu terjadi.
Sembari menunggu kebenaran yang sesungguhnya atas kasus ini, maka sebagian besar publik telah
“menghakimi” anak-anak yang diduga menjadi pelaku. Tidak bermaksud menyakiti hati korban dan
keluarganya. Namun perlu mendudukan masalah ini secara proporsional yaitu keadilan bagi korban dan
pelaku, berdasarkan Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang No. 23/2002 dan Undang-Undang No 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
UU Ini menyebutkan, seseorang yang masih dalam kandungan hingga belum berusia 18 tahun adalah
anak, artinya korban dan pelaku masuk dalam kategori anak.
Korban sebagai anak, berhak mendapatkan hak-haknya sebagai korban kekerasan, mendapatkan tempat
aman, pendampingan hukum, rehabilitasi fisik dan psikologis, serta pemulihan lainnya. Termasuk
dirahasiakan identitas dan wajahnya, serta tidak menanyakan berulang-ulang terkait dengan
pengalaman buruknya sebagai korban karena dapat menambah berat trauma korban.
Pelaku yang juga masih usia anak, termasuk dalam kategori anak yang berhadapan dengan hukum,
memiliki hak yang melekat, misalnya berhak untuk dirahasiakan identitasnya termasuk tidak
mempublikasikan foto wajahnya ke publik, berhak mendapatkan pendampingan psikologis,
pendampingan hukum, tidak boleh ada penahanan karena mereka masih bersekolah, jika harus
dilakukan penyidikan maka dilakukan penyidikan sesuai dengan Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak dan Konvensi Hak Anak.
UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan, tindak pidana yang dilakukan anak
sebaiknya mengedepankan proses diversi dibandingkan dengan proses hukum yang berkepanjangan,
jika dilakukan penahanan dan pengenaan hukuman hal itu merupakan jalan terakhir yang harus
ditempuh, bahkan dalam proses hukum negara dipastikan hadir melakukan rehabilitasi pelaku (anak),
sehingga bisa pulih dan tidak melakukan perbuatannya lagi.
Faktor-faktor penyebab seorang anak melakukan perbuatan melanggar hukum harus diperdalam untuk
mengetahui secara menyeluruh setting sosial serta kondisi internal diri anak. Harus dipahami, anak yang
melanggar hukum berbeda dengan orang dewasa yang melakukan kejahatan. Anak tidak memiliki
“kesalahan” sempurna dalam mewujudkan delik, karena banyak faktor-faktor yang tidak dipahami utuh
oleh anak. Sehingga dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak pendekatan rehabilitatif dan pendekatan
restoratif dikedepankan jika pun anak harus menjalan proses peradilan.
2. ECPAT Indonesia berdasarkan Konvensi Hak Anak, Undang-Undang Perlindungan Anak dan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak, merekomendasikan beberapa point penting yang mendesak untuk dilakukan
oleh Pemerintah, Masyarakat dan pihak-pihak terkait lainnya, diantaranya:
1. Melindungi korban, menghentikan mempublikasi identitas dan foto korban, memastikan korban
mendapatkan tempat yang aman, mendapatkan rehabilitasi medis dan psikologis, dan hak-hak sebagai
korban lainnya;
2. Mendorong pemerintah melakukan evaluasi dan perbaikan sistem pendidikan di Indonesia termasuk
membuat regulasi penyediaan internet aman bagi anak.
3. Bersama-sama tidak menghakimi pelaku, menghentikan penyebaran identitas dan foto dan pelaku,
termasuk menghentikan ajakan massal “menandatangani petisi” yang mengabaikan hak-hak pelaku
sebagai anak.
4. Memasukkan literasi digital bagi anak dalam kurikulum pendidikan di sekolah, mengajak dan
mengajarkan agar anak bertanggung jawab dalam mengakses internet dengan berhati-hati dalam
memposting status, foto atau gambar dan video.
5. Mendorong pengusaha internet servis provider untuk mensosialisasikan dampak positif dan negatif
keberadaan jejak digital bagi pengguna internet khusususnya anak-anak, hal ini untuk meminimalisir
terulangnya kasus yang sama