Ronny Lukito memulai bisnis tas keluarganya pada tahun 1979. Ia mengembangkan bisnis tersebut dengan melakukan inovasi produk dan merek serta memperluas pasar. Kini perusahaannya, B&B Inc, menjadi produsen tas terbesar di Indonesia dengan pangsa pasar 30-40% dan memproduksi 2,5 juta tas per tahun. Kesuksesan Ronny tak lepas dari komitmen terhadap lingkungan dan kecintaannya pada alam yang diwujudkan d
2. fortune INDONESIA
79
IBARAT MENDAKI GUNUNG, UNTUK MENCA-
PAI PUNCAK HARUS MELEWATI MEDAN YANG
TERJAL DAN CURAM. USAHA RONNY LUKITO
DALAM MEMBANGUN B&B INC MENJADI PRO-
DUSEN TAS TERNAMA DI TANAH AIR PUN TAK
JAUH BERBEDA. IA PERNAH MENGALAMI BE-
BERAPA KEGAGALAN YANG HAMPIR MERUN-
TUHKAN BISNISNYA. INILAH KISAHNYA.
Oleh Dian Sari Pertiwi
& Evi Ratnasari
fortune INDONESIA
79
KISAH
RONNY
MENDAKI
PUNCAK
EIGER
foto:melisawijaya
3. fortune INDONESIA
80
JAM menunjukkan pukul 10.00 pagi ketika kami
tiba di rumah Ronny Lukito di Jalan Sersan Bajuri
Dalam, Bandung, Jawa Barat. Hari itu, Ronny
berpenampilan kasual mengenakan kemeja putih
yang dipadu dengan jas dan denim biru. Namun,
wawancara yang telah dijadwalkan pagi itu harus
diundur malam hari karena ia harus keluar kota
untuk mengunjungi sekolah anak tidak mampu.
Sebelum pergi, Ronny mengajak kami berkeli
ling rumahnya sekitar 15 menit. Rumah Ronny
terlihat asri. Kontur tanahnya berbukit. Ada
tempat pembibitan, pengomposan sampah dan
pohon-pohon besar yang langka. Ia terlihat sangat
bersemangat ketika berbincang tentang alam dan
penghijauan. ”Ini adalah salah satu bentuk tang
gung jawab saya sebagai pengusaha,” ujar Ronny.
Tanggung jawab terhadap lingkungan juga yang
menjadi dasar Ronny mengembangkan bisnis de
ngan konsep ekowisata, bernama Dusun Bambu, di
utara Bandung. Tempat wisata yang dibuka untuk
umum pada akhir 2013 lalu ini dibangun di atas
lahan 15 hektare (ha) dengan konsep 6E; Ekologi
(alam), Education (Pendidikan), Ekonomi, Etno
logi (budaya), Etika, dan Estetika. Pembangunan
Dusun Bambu membutuhkan waktu lebih dari 10
tahun. Pasalnya, lahan di sana gundul. Sebelum
dibangun, kawasan itu perlu ditanami dahulu.
Kesadaraan akan menjaga lingkungan, kata
Ronny, timbul sekitar empat tahun lalu saat Rid
wan Armansjah Abdulrachman, anggota senior
Wanadri, mengajaknya bermain di hutan. Pria
yang biasa disapa Abah Iwan itu meminta Ronny
menahan nafas selama mungkin. Momentum
kekurangan oksigen ini menjadi pelajaran baginya,
foto:melisawijaya
bahwa pohon sangat berjasa dalam kehidupan se
bagai penghasil oksigen.
Sejak saat itu, ia mencoba berbuat sesuatu un
tuk alam. Ia bertekad ikut peduli dan memperbaiki
alam. Salah satunya dengan mendedikasikan 2
ha lahan di rumahnya sebagai tempat pembibitan
pohon dan pengomposan sampah. Bibit pohon
tersebut ia distribusikan kepada siapa pun yang
membutuhkannya. Bukan hanya kepada instansi
pemerintah, komunitas maupun lembaga swadaya
masyarakat, tapi juga kepada pelanggan Eiger
serta pengunjung Dusun Bambu dan Kampung
Daun. “Tahun ini saya menargetkan bisa meng
hasilkan satu juta bibit pohon,” ungkapnya.
Ipong Witono, salah seorang pemilik PT
Puteraco Indah, -perusahaan properti tertua di
Bandung-, salut pada Ronny yang berhasil mewu
judkan pembangunan Dusun Bambu. Lantaran,
dalam waktu beberapa tahun Dusun Bambu
dikembangkan dari lahan kosong tanpa tanaman
menjadi sebuah tempat ekowisata.
“Secara hitung-hitungan bisnis, itu hal sulit
karena sampai beberapa tahun tidak ada pema
sukan dan penjualan karena dia harus melakukan
penanaman dulu,” ujarnya.
Bisnis yang digeluti Ronny memang memi
liki satu benang merah, alam. Pria kelahiran 15
Januari 1962 ini membagi bisnisnya dalam dua
kelompok, yakni lifestyle dan hospitality. Bisnis
lifestyle memiliki holding bernama Blessed &
Blessing Incorporation (B&B Inc), yang mayoritas
sahamnya dimiliki oleh PT Sebelas Tiga Enam.
B&B Inc memiliki tiga anak usaha yakni PT
Eksonindo Multi Product Industry, PT Eigerindo
Outlet Eiger di Mal Citraland.
4. fortune INDONESIA
81
Multi Product Industry dan PT Matrix Prominent.
PT Eksonindo Multi Product Industry bergerak
di bidang manufacturing. Perusahaan inilah yang
memproduksi tas merek Eiger, Exsport, Bodypack,
Nordwand, Neosack, Extreme dan produk-produk
outdoor. PT Eigerindo Multi Product Industry
adalah perusahaan distribusi untuk produk-
produk yang diproduksi oleh Exonindo. Sedang
kan PT Matrix Prominent bergerak dibidang
e-commmerce, melakukan ekspor dan menjual
produk-produk dari luar negeri.
Saat ini produksi B&B Inc mencapai 2,5 juta
tas per tahun dan telah memiliki 600 outlet yang
tersebar di seluruh Indonesia. Produk tas B&B
Inc juga telah diekspor ke Eropa dan Malaysia.
Untuk bisnis hospitality, ada Kampung Daun
yang menyajikan kuliner Indonesia, Origin
makanan organik, The Peak makanan Eropa, In
dischetafel makanan Belanda, Soleluna makanan
Spanyol, dan Dusun Bambu.
KAMI bertemu lagi dengan Ronny pukul 20.00 di
rumahnya. Ia masih menggunakan pakaian yang
sama. Raut wajahnya sama sekali tak terlihat
lelah. Sambil makan malam, kami berbincang.
Ini adalah wawancara eksklusif pertama Ronny
dengan media.
Ronny tipikal orang yang rendah hati,
ia cenderung enggan bercerita tentang
kesuksesannya. Beberapa media massa ingin
menampilkan sosoknya, tapi ia menolaknya
dengan halus. Anak ketiga dari enam bersaudara
ini tidak ingin dikenal secara gegap gempita.
Semua kiprahnya di dunia bisnis menurutnya
tidak lepas dari campur tangan Tuhan.
Ronny bukan berasal dari keluarga kaya. Ia
dibesarkan di lingkungan yang boleh dibilang ku
muh, tak jauh dari Pasar Baru Bandung. Rumah
nya berada di gang sempit yang tidak bisa dilalui
kendaraan roda empat.
Ayah Ronny, Lukman Lukito memiliki usaha
pembuatan tas di rumah dengan modal dua me
sin jahit. Sejak usia delapan tahun, ia membantu
ayahnya berjualan. Menjadi kasir di toko ayahnya
sudah biasa dilakukan sepulang sekolah.“Waktu
saya kecil, hampir setahun saya tidak tidur di
kamar karena rumah kami penuh dengan stok
tas,” kenang Ronny.
Ketika menempuh pendidikan Sekolah Teknik
Menengah (STM), sepulang sekolah Ronny muda
bekerja di bengkel. Rutinitas itu dijalani lebih
dari satu tahun. Sebelum sekolah, dia berjualan
susu untuk menopang ekonomi keluarga. Ronny
terbiasa bangun jam 4 subuh, lalu mengambil
susu dari temannya untuk dijual. Sehari ia bisa
menjual 5-10 liter susu.
Cita-cita Ronny sebenarnya sederhana.
Setamat STM, ia ingin melanjutkan kuliah di
Institut Teknologi Nasional, di Bandung, dan
membuka bengkel setelah lulus.
Namun karena ekonomi keluarga tidak
mendukung, Ronny tidak jadi kuliah. Mimpinya
menjadi bos bengkel pun tidak kesampaian.
Menurutnya, jalan satu-satunya untuk membantu
keluarga adalah dengan meneruskan usaha
pembuatan tas. Maka, selepas dari STM, tahun
1979, Ronny pun terlibat penuh memproduksi
dan menjual tas.
“Waktu saya
kecil, hampir
setahun saya
tidak tidur
di kamar
karena rumah
kami penuh
dengan stok
tas”
Ronny
Lukito
5. fortune INDONESIA
82
Salah satu langkah Ronny di awal kepemim
pinannya adalah mengubah merek tas Butterfly
menjadi Exxon. Namun merek Exxon menjadi
masalah karena perusahaan minyak Exxon Mobil
menggugat perusahaannya. Ia mengaku, saat itu
ia sama sekali tidak tahu ada perusahaan minyak
bernama Exxon Mobil. Mau tidak mau, ia akhir
nya mengubah merek Exxon menjadi Exsport.
Ronny menyadari ia tak memiliki latar bela
kang pendidikan yang cukup. Tapi, ini justru
menjadi pemicu dirinya untuk berhasil. Ia pun
berpikir keras untuk mengembangkan bisnis
ayahnya. Ia mempelajari pasar, menganalisa dan
membandingkan dengan strategi dari produk-
produk luar negeri. Ia belajar bisnis secara
otodidak, belajar dari pengalaman dan kesalahan-
kesalahan yang pernah dilakukan.
Untuk memenangkan persaingan, Ronny
melakukan inovasi dengan diversifikasi produk. Ia
menciptakan produk dan merek tas yang berbeda
untuk setiap segmen konsumen. “Saya terinspirasi
dengan musik, saya berpikir kalau musik punya
banyak aliran itu menandakan selera orang pun
berbeda-beda. Kita tidak bisa memaksakan orang
untuk satu selera, karena kebutuhannya pun ber
beda,” kata ayah empat orang putri ini.
Ia pun mulai membuat varian produk tas seper
ti Eiger dan Nordwand untuk mereka yang suka
dunia petualangan. Bodypack untuk kaum urban
yang gemar membawa perangkat digital. Neo
sack untuk pasar remaja dan sekolah. Sedangkan
Exsport untuk mereka yang menyukai tas sebagai
gaya hidup.
BISNIS TAS Ronny pun berkembang. Dari hanya
dua mesin jahit berkembang menjadi puluhan
mesin jahit sampai akhirnya memiliki pabrik dan
mempekerjakan lebih dari 3.000 orang. Ronny
bilang, saat ini B&B Inc memimpin pasar tas di
Tanah Air dengan pangsa pasar sekitar 30-40%.
Menurut Abah Iwan, pertumbuhan bisnis tas
milik Ronny tidak terlepas dari kemampuannya
menjalin relasi dengan semua kalangan. Terma
suk perkumpulan penempuh rimba dan pendaki
gunung Wanadri. “Sebagai pebisnis, dia peduli
berkontribusi terhadap lingkungan dan komuni
tas, seperti memberikan dukungannya terhadap
organisasi seperti Wanadri,” kata pria yang telah
mengenal Ronny sejak tahun 70-an ini.
Selain itu, kata Abah, Ronny menyetir
kendaraan bisnisnya pada sesuatu yang dia
sukai: kegiatan di alam bebas. Lelaki yang akan
mendaki Himalaya di Gunung Everest bulan
Mei ini, mengatakan keberhasilan bisnis Ronny
datang dari pengalaman batin dan kecintaannya
kepada alam. Pengalaman-pengalaman itu yang
kemudian ia tuangkan dalam konsep bisnisnya.
“Dia tidak akan membuat produk-produk Eiger
dengan baik, kalau tidak punya pengalaman
bagaimana dinginnya tidur di hutan tanpa
perlengkapan memadai,” kata lelaki yang gemar
membawakan lagu-lagu bertema alam ini.
Hal senada diungkapkan oleh Ipong Witono.
Dulu, di Bandung, kata Ipong, ada beberapa tas
dan produk-produk outdoor ternama seperti
Alpina dan Jaya Giri. Namun Ronny dengan
Eiger-nya yang masih tetap bertahan dan berkem
“Sebagai
pebisnis,
Ronny peduli
terhadap
lingkungan
dan komuni
tas, seperti
memberikan
dukungan
nya terhadap
organisasi
seperti
Wanadri”
Abah Iwan
foto:melisawijaya
Pabrik Eiger di
Jalan Raya Soreang,
Cilampeni Bandung,
Jawa Barat, saat ini
memproduksi 100
ribu tas per bulan.
6. fortune INDONESIA
83
bang hingga kini. Ipong berpendapat, minat
Ronny terhadap alam bebas memberikan dampak
positif terhadap perkembangan bisnis tasnya.
“Selain itu, kemampuan ia melakukan inovasi.
Kalau kita datang ke outlet Eiger, di sana dipajang
produk Eiger dari masa ke masa. Terlihat ada
perkembangan fungsi dan estetisnya,” ujarnya.
Ipong juga melihat, Ronny mampu melihat
peluang. Indonesia adalah negara kepulauan
dengan sumber daya alam yang kaya termasuk laut
dan pegunungan. Di sisi lain, Indonesia sedang
mengalami bonus demografi. Potensi besar ini di
manfaatkan Ronny dengan membidik pasar yang
memiliki daya beli untuk kegiatan adventure. “Se
makin meningkatnya ekonomi seseorang, maka ia
akan mencari kepuasan lain. Salah satunya dengan
menikmati alam,” ungkapnya.
Ronny mengakui memang menyukai aktivitas
alam. Saat muda, bersama teman-temannya ia
kerap menerobos hutan sampai diburu petugas
Perhutani. Selain menjadi tempat bermain, alam
bebas menjadi inspirasi bisnisnya. Di antara
semua merek, nama Eiger yang terinspirasi dari
gunung Eiger di Bernese Alps, Swiss menjadi
penyumbang terbesar pendapatan bisnisnya.
KENDATI sudah menjadi produsen tas yang diperhi
tungkan di Tanah Air, Ronny enggan berpuas diri.
Menghadapi persaingan global di era pasar bebas,
kata Ronny, B&B Inc mengantisipasinya dengan
mendirikan gerai Outlive, yang menjual merek
internasional seperti Berghaus, Osprey, Treksta,
Garmin dan La Sportiva. Saat ini sudah ada dua
gerai, satu di Bandung dan satu lagi di Jakarta.
‘’Nanti juga buka di Bali. Daripada jadi lawan lebih
baik jadi kawan, kita bisa kontrol. Kalau tidak
begini, merek lokal kita habis,’’ ujarnya.
Gerai Outlive ditujukan untuk segmen mene
ngah atas, berbeda dengan Eiger yang diposisikan
di kelas menengah. Pemisahan segmen ini dilaku
kan untuk menjaga pasar yang sudah terbentuk.
Keyakinan Ronny membidik kelas menengah
ini bukan tanpa alasan. Dia merujuk pada hasil
penelitian McKinsey Global Institute yang me
nyebutkan akan ada 130 juta kelas menengah di
Indonesia pada 2030.
Bahkan, kata Ronny, pada tiga tahun ke depan
tepatnya di 2017, income perkapita Indonesia
bisa menembus angka US$5.000. Dengan level
pendapatan pertahun sebesar itu, dia optimistis
produk-produk menengah ke atas dari luar akan
lebih agresif. ‘’Mereka sedang menunggu itu. Tapi
saya sekarang sedang merintis untuk menengah
atas. Jadi diharapkan di 2017 saya sudah mengua
sai pasar juga dengan Outlive. Begitu pemain
masuk, kita sudah duluan,’’ ucapnya.
Guna menangkap peluang tersebut, B&B
Inc terus melakukan ekspansi. Saat kami
mengunjungi salah satu pabrik B&B Inc di
Cilampeni Soreang, Bandung, kami melihat
pembangunan untuk perluasan pabrik. Menurut
Adji Santoso, General Manager Produksi PT
Eksonindo Multi Product Industry, kapasitas
produksi di pabrik tersebut akan ditingkatkan
menjadi dua kali lipat.
“Saat ini kapasitas produksi di pabrik ini 100
ribu per bulan, ke depan akan ditingkatkan
menjadi 200 ribu per bulan,” ujar pria yang telah
bekerja di Eksonindo selama 13 tahun ini.
Investasi untuk perluasan pabrik itu, kata
Ronny, antara Rp22 miliar-Rp25 miliar. Tahun
depan, bila perluasan pabriknya selesai, total
produksi tas dari kedua pabriknya akan mencapai
3 juta unit per tahun.
Di tahun 2015-2016, B&B Inc berencana lebih
agresif dalam hal distribusi. Untuk Outlive, Ronny
menargetkan setiap tahun bisa membuka mini
mal 10 outlet baru. “Siapa yang bisa menguasai
distribusi, dia yang akan menang,” ungkap Ronny.
Semua rencana ini tentu saja dibarengi penyedia
an sumber daya manusia (SDM) berkualitas de
ngan merekrut tenaga kerja yang disiapkan untuk
menjadi pemimpin di masa mendatang.
Menurut Direktur Utama PPM Management
Andi Ilham Said, upaya Ronny memperluas distri
businya merupakan langkah tepat dalam meng
hadapi persaingan bebas. ”Ketersediaan produk di
pasar menjadi kunci sukses. Jika Eiger ingin tetap
menjadi pemimpin pasar, dia harus membangun
jaringan distribusi yang kuat,“ ungkapnya.
Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) 2015, lanjut Andi, salah satu cara
melawan serangan produk luar dan menjaga pasar
Indonesia selain berinovasi, para produsen Indo
nesia perlu bersatu, bekerja sama terutama dalam
menguasai supply chain. “Karena jaringan supply
chain ini yang membuat ongkos mahal, kalau
supply chain sudah dikuasai produsen Indonesia
semua, maka setiap pemain luar negeri yang ingin
jualan di pasar sini harus membangun jaringan
baru dan tentu biayanya lebih mahal sehingga
harga produk mereka tidak dapat bersaing dengan
produk lokal,” papar Andi.
IBARAT mendaki gunung, untuk mencapai puncak
harus melewati medan yang terjal dan curam. Us
aha Ronny dalam membangun B&B Inc menjadi
produsen tas ternama di Tanah Air pun tak jauh
berbeda. Ia pernah mengalami beberapa kegagalan
yang hampir meruntuhkan bisnisnya.
“Ketersediaan
produk di
pasar men
jadi kunci
sukses. Jika
Eiger ingin
tetap menjadi
pemimpin
pasar, dia ha
rus memba
ngun jaringan
distribusi
yang kuat”
Andi Ilham
Said
7. fortune INDONESIA
84
Tahun 1998 adalah salah satu tahun terpahit
bagi Ronny. Tahun itu krisis ekonomi menyapa
Indonesia. Nilai tukar rupiah naik hingga 70%,
dari Rp2.500 per dolar menjadi Rp15.000 per
dolar. Bunga bank pun naik berlipat-lipat.
Jika umumnya pengusaha banyak menunjuk
krisis moneter sebagai biang keladi runtuhnya
bisnis mereka, Ronny tidak. Ia tak malu mengakui
salah satu penyebab kehancuran bisnisnya kala
itu tak terlepas dari keserakahan dirinya sebagai
pengusaha. “Kegagalan itu efek domino dari apa
yang saya lakukan sebelumnya, jadi ketika krisis
moneter terjadi berimbas pada bisnis inti di indus
tri tas,” kenang Ronny dengan mimik muka serius.
Semuanya berawal pada tahun 1985. Saat itu,
Ronny banyak bergaul dengan para pengusaha
properti di Bandung. Ia pun mulai tertarik
mencicipi bisnis properti dengan bendera Trinity.
Pertama kali mencoba menjual rumah, ia untung.
Lalu ia membuat ruko, ternyata untung juga.
Di tahun 1987, ia mulai melakukan pembebasan
lahan di kawasan Lembang. Hanya dalam
waktu 3 bulan, ia mampu menjual lahan 20 ha.
Ia terbilang anti-mainstream dalam memilih
lokasi proyek. Bidikannya kala itu bukan
mendirikan proyek di tengah kota, tapi justru
mengembangkan wilayah pinggiran Bandung,
menjadikannya layak huni dan bernilai estetis
sekaligus rekreatif. Kesuksesannya di bisnis
properti ini menuai banyak pujian. Ronny disebut
sebagai the golden boy Bandung.
Pujian dan keuntungan besar membuatnya lupa
diri, Ronny yang saat itu berusia 35 tahun, tak
dapat membendung hasratnya untuk melakukan
ekspansi yang lebih besar lagi. Sampai-sampai ia
berkeinginan membentuk kota satelit. Keserakah
an membuatnya lupa memperhitungkan berapa
porsi yang mampu dilahapnya. Ia melakukan
ekspansi tanpa perhitungan dan pertimbangan
matang. Ia mengambil langkah berani. Bereks
pansi dengan cepat dan masif. Satu proyek belum
rampung, sudah mulai menggarap proyek lain
nya. Pada saat yang sama, proyek belum terjual.
Padahal untuk mendanai semua ekspansi itu, ia
mengandalkan pinjaman bank. “Saat itu, utang
saya lebih dari Rp20 miliar,” ujarnya.
Dan, datanglah krisis itu. Bunga bank naik
sampai 60% per tahun. Ronny berada di tengah
pusaran tekanan antara kreditur dan konsumen.
Dengan keterbatasan dana, ia harus berkomitmen
menyelesaikan proyek tersebut. “Saya pun
menarik uang dari bisnis tas, sampai habis-
habisan,” katanya.
Sampai pada satu titik, tidak ada lagi dana yang
bisa Ronny keluarkan. Para penagih utang pun
berdatangan dengan ancaman, teror dan intimi
dasi. Ia pun terpaksa menyerahkan seluruh aset
nya ke bank. Rumah, pabrik, kendaraan semua
habis disita bank. Namun, utang-utangnya tak
juga lunas, masih tersisa Rp1,5 miliar yang harus
ia lunasi dalam waktu setahun.
Meski berat, Ronny berkomitmen untuk melu
nasi semua utang-utangnya. Ia teringat pesan ibu
nya, bahwa menjadi pengusaha harus jujur, dan
bila memiliki utang harus dibayar. Ia temui para
kreditur dan pemasok satu persatu. Dia berjanji
melakukan pembayaran secepat mungkin. “Sedih
sekali waktu itu, tapi saya harus menjaga nama
baik keluarga,” kenangnya. Namun Ronny tidak
menyerah. Ia berusaha bangkit kembali.
Menata kembali perusahaan dan memulainya
dari minus bukan perkara mudah. Terlebih beber
apa profesional meninggalkannya. Ia kemudian
memberikan kesempatan bagi para profesionalnya
yang loyal untuk naik jabatan dan membentuk
tim baru di bawah komandonya.
Ronny mencoba meyakinkan bank, untuk bisa
menyewa pabrik tasnya yang telah disita. Bila ti
dak, bagaimana mungkin ia bisa berproduksi dan
membayar sisa utangnya. Bank menyetujui Ronny
menyewa pabrik seharga Rp150 juta selama dua
tahun. Ronny juga meminta agar pabrik tasnya
yang telah disita bisa dibeli kembali bila semua
utangnya lunas. Setelah itu, Ronny mendatangi
satu-satu pelanggan, agen, dan para pemasok.
Kerja keras itu berbuah, dukungan datang bu
kan hanya dari kreditur yang percaya dengan ik
tikad baik Ronny, tapi juga dari Ramayana Group
yang menjadi ujung tombak penjualan bisnis tas.
Sebagai pemasok tas pertama di grup tersebut,
Ronny mendapatkan simpati dan bantuan.
Kebetulan, kala itu, Ronny juga memiliki ba
nyak stok bahan yang dibeli saat nilai tukar dolar
masih Rp2.000 per dolar. “Stok bahan itulah
salah satu yang menyelamatkan saya. Sehingga
harga jual produk saya pun kompetitif,” cetusnya.
Suami dari Meiliana Setiawati ini mengaku ia bisa
menyelesaikan utang-utangnya di bank sebelum
Badan Penyehatan Perbankan Nasional lahir.
KRISIS pun terlewati. Bisnis Ronny kembali ber
gulir. Dari krisis, dia mendapat pelajaran ber
harga– Ia menyebutnya teguran Tuhan. Pertama,
manusia itu punya keterbatasan. Kedua, bekerja
itu tidak bisa sendirian. Dulu, Ronny merupakan
sosok dominan, selalu single fighter. Ia terbiasa
memutuskan segala sesuatunya sendiri. Kecende
rungan ini sudah ada sejak Ronny muda. Karena
kejadian ini, ia belajar perlunya komunikasi dan
bertukar pikiran dengan orang lain. “Sebenarnya
foto:irvanbormeda
Tahun 1998
adalah salah
satu tahun
terpahit bagi
Ronny. Nilai
tukar rupiah
naik hingga
70%, dari
Rp2.500 per
dolar menjadi
Rp15.000
per dolar.
Bunga bank
pun naik
berlipat-lipat.
8. fortune INDONESIA
85
saat saya berekspansi di bisnis properti, istri sudah
mengingatkan tapi saya tidak mendengarkannya,”
ungkapnya. Ketiga, bisnis itu perlu proses. Namun
bukan berarti tidak boleh ekspansi atau tumbuh.
Sebagai pebisnis, berani mengambil risiko itu
perlu, tapi dengan perhitungan yang matang.
Krisis juga yang membawanya pada peluang
bisnis lain. Saat itu, praktis bisnis propertinya
mati suri. Tidak ada pembangunan dan penjua
lan. Agar produktif, sisa lahan ia jadikan tempat
wisata kuliner. Inilah awal Ronny masuk ke bisnis
hospitality. “The Peak saya bangun tahun 1998.
Lalu di tahun 1999, saya membangun Kampung
Daun,” ujar Ronny.
Awalnya banyak yang ragu bisnis wisata ku
liner Ronny akan berkembang. Pasalnya, lokasi
nya jauh dari pusat kota. Tapi ternyata, Kampung
Daun dan The Peak menjadi salah satu tempat
wisata kuliner favorit di Bandung. “Kampung
Daun menjadi titik balik bagi bisnis Ronny. Bisnis
kuliner yang ia kembangkan menjadi trendsetter
di Bandung,” ungkap Ipong.
Krisis membuat Ronny lebih religius. Nama B&B
Inc dan PT Sebelas Tiga Enam merupakan repre
sentasi rasa syukurnya. “PT Sebelas Tiga Enam saya
ambil dari salah satu ayat di kitab suci, dan ayat ini
yang memberi saya motivasi,” aku Ronny.
Sebelumnya Ronny bukanlah orang yang taat.
Pada 1985, ia sempat keracunan nikotin akibat
gaya hidup tak sehat. Ronny muda suka bertua
lang. Ia suka berburu, minum minuman alkohol
dan perokok berat. Dalam sehari, minimal ia
menghisap 2 bungkus rokok. Dokter pun mem
vonisnya, jika ia tidak mengubah gaya hidup,
usianya tidak akan lama. Di saat yang sama,
seorang kenalan mengajaknya ke gereja. Sejak
itu, Ronny berubah. Namun sifat sombong dan
serakahnya sebagai pebisnis belum hilang sampai
krisis datang.
B&B Inc, kata Ronny, dideklarasikan pada 25
Agustus 2005 – holding perusahaan Ronny sebe
lumnya bernama EMPI Group. Dulu saat krisis, ia
pernah bernazar, jika usianya menginjak angka 40
tahun, ia akan mendedikasikan hidupnya untuk
keluarga dan Tuhan. Itu sebabnya di tahun 2005,
perusahaan bertransformasi bukan hanya seka
dar nama, tapi juga pendelegasian penuh kepada
profesional. “Saya bilang ke profesional saya, ini
semua bukan milik saya tapi milik Tuhan,” ujarnya.
Pernyataan itu tidak sekadar keluar dari mulut,
tapi hasil dari kompleksitas perjalanan spiritual
Ronny Lukito yang berjenjang.
Pendelegasian kepada profesional, kata Ronny,
merupakan cara membuat perusahaannya sus-
tainable dari generasi ke generasi. Dari keempat
anaknya, Ronny mengaku belum menentukan
siapa yang akan melanjutkan bisnis keluarganya.
Namun kedua anaknya, Jeanne Lukito dan Agnes
Lukito telah mulai terlibat di perusahaan. Jeanne
di bisnis hospitality sementara Agnes di B&B Inc.
Keduanya tidak langsung mendapatkan posisi em
puk atau masuk dalam jajaran manajemen. Agnes
misalnya, di B&B Inc ia hanya staf biasa.“Tidak
ada kewajiban meneruskan bisnis keluarga, tapi
kalau anak saya tertarik dia harus berdedikasi dan
memulainya dari nol,” tegasnya.
Pembangunan Du-
sun Bambu membu-
tuhkan waktu lebih
dari 10 tahun karena
sebelum dibangun,
kawasan itu perlu
ditanami dulu.
“Kampung
Daun menjadi
titik balik
bagi bisnis
Ronny. Bisnis
kuliner yang
ia kembang
kan menjadi
trendsetter di
Bandung”
Ipong
Witono