Makalah ini membahas tentang epidemiologi penyakit rabies. Rabies adalah penyakit infeksi akut pusat saraf yang disebabkan virus rabies (rhabdovirus). Penyakit ini bersifat zoonotik dan dapat menular dari hewan ke manusia melalui gigitan. Makalah ini memaparkan sejarah, pengertian, struktur virus, siklus hidup, epidemiologi, gejala klinis, diagnosis, pencegahan, dan pengobatan penyakit rabies.
1. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR
PENYAKIT RABIES (RHABDOVIRUS)
Kelompok 3 (tiga)
Kelas B
Anita Gustira (10011281320014)
Devi Sri Puji Karnela (10011181320083)
Febrianti Komalasari (10011281320012)
Karisa Ameliani (10011281320030)
Ramadhiah Febriani (10011281320018)
Sri Wahyuningsih (10011281320011)
Dosen Pembimbing : Feranita Utama, S.KM.,M.Kes
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
Gedung Dr. A.I. Muthalib. Kampus Universitas Sriwijaya Jl. Raya Palembang Prabumulih
Inderalaya, Kab. Ogan Ilir Prov. Sumatera Selatan. Telp/Fax (0711) 580068
2. KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang karena dapat menyelesaikan penulisan makalah tentang Penyakit Rabies sebagai
tugas kelompok mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular. Penulis mengucapkan terima
kasih atas peran semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini
terutama :
1. Allah SWT, karena ridho dan rahmatNya, karya tulis ini dapat selesai.
2. Ibu Feranita Utama, S.KM.,M.Kes, sebagai dosen mata kuliah Epidemiologi
Penyakit Menular.
3. Literatur yang ada di internet dan perpustakaan umum yang menambah
wawasan.
4. Semua teman dan yang lainnya yang telah membantu dan memberi semangat
dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah yang dibuat ini jauh dari kata sempurna, maka
diperlukan saran dan kritik yang membangun dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi orang yang membacanya.
Palembang, 05 September 2014
Penulis
3. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Rabies merupakan penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang
disebabkan oleh virus rabies. Penyakit anjing gila ini mempunyai sifat zoonotik yaitu
penyakit yang dapat ditularkan dari hewan pada manusia. penyakit anjing gila atau rabies ini
bisa menular kepada manusia melalui gigitan.
Rabies berasal dari kata latin “rabere” yang berarti “gila”, di Indonesia dikenal
sebagai penyakit anjing gila. Rabies merupakan suatu penyakit hewan menular akut yang
bersifat zoonosis (dapat menular ke manusia). Penyakit ini tidak saja dampak kematian
manusia yang ditimbulkannya tetapi juga dampak psikologis (kepanikan, kegelisahan,
kekhawatiran, kesakitan dan ketidaknyamanan) pada orang-orang yang terpapar serta
kerugian ekonomi pada daerah yang tertular seperti biaya pendidikan, pengendalian yang
harus dibelanjakan pemerintah serta pendapatan negara dan masyarakat yang hilang akibat
pembatalan kunjungan wisatawan.
Rabies adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dan dapat dicegah dengan vaksin
yang terjadi di lebih dari 150 negara dan wilayah. Infeksi menyebabkan puluhan ribu
kematian setiap tahun, terutama di Asia dan Afrika. 40% dari orang-orang yang digigit oleh
hewan rabies adalah anak-anak di bawah usia 15 tahun. Anjing adalah sumber dari sebagian
besar kematian rabies pada manusia. Segera bersihkan luka dan lakukan imunisasi dalam
beberapa jam setelah kontak dengan hewan rabies dapat mencegah timbulnya rabies dan
kematian.
Rabies pertama kali dilaporkan di Indonesia oleh Schoorl (1884) di Jakarta pada
seekor kuda, kemudian oleh JW Esser (1889) di Bekasi pada seekor Kerbau. Setelah Penning
(1890) menemukan rabies pada anjing, rabies ini menjadi penyakit yang popular di Indonesia
(Hindia Belanda saat itu). Rabies pada manusia dilaporkan lebih belakangan yaitu oelh de
Haan pada tahun 1894. Campur tangan (intervensi) pemerintah terhadap pengendalian rabies
secara formal telah dilakukan sejak era 1920-an, terbukti dengan penetapan ordonansi rabies
– Hondsdolheids (Staatsblad 1926 No. 451 yo Staatblad 1926 No. 452) oleh pemerintah
colonial Belanda.
Dalam sejarah pengendalian dan pemberantasan rabies di Indonesia, walaupun ada
wilayah yang berhasil dibebaskan, namun Indonesia tidak berhasil menghentikan perluasan
daerah tertular rabies di Indonesia. Daerah tertular rabies yang semula hanya beberapa
4. provinsi saja sebelum Perang Dunia II, telah meluas ke daerah lain yang semula bebas yaitu:
Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sumatera Utara dan Sulawesi Utara
(1956), Sulawesi Selatan (1958), Sumatera Selatan (1959), Lampung (1969), Aceh (1970),
Jambi dan DI yogyakarta (1971), Bengkulu, DKI Jakarta dan Sulawesi Tengah (1972),
Kalimantan Timur (1974) dan Riau (1975).
Pada dekade 1990-an dan 2000-an Rabies masih terus menjalar ke wilayah yang
sebelumnya bebas hitoris menjadi tertular yaitu Pulau Flores (1998) Pulau Ambon dan Pulau
Seram (2003), Halmahera dan Morotai (2005) Ketapang (2005) serta Pulau Buru (2006)
kemudian Pulau Bali, Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat di Provinsi Riau (2009). Saat ini
provinsi yang bebas rabies Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat,
Papua dan Papua Barat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah penyakit rabies?
2. Apa pengertian Rhabdovirus dan rabies?
3. Bagaimana struktur Rhabdovirus?
4. Bagaimana siklus hidup virus rabies?
5. Bagaimana epidemiologi dan penularan rabies?
6. Bagaimana tipe rabies pada anjing dan kucing?
7. Bagaimana patogenesis rabies?
8. Bagaimana gejala klinis penyakit rabies?
9. Bagaimana diagnosis penyakit rabies?
10. Apa saja jenis-jenis vaksin anti rabies?
11. Bagaimana cara pencegahan dan pengendalian penyakit rabies?
12. Bagaimana cara pengobatan penyakit rabies?
13. Bagaimana cara penanggulangan penyakit rabies?
14. Bagaimana peraturan perundangan mengenai penyakit rabies?
1.3 Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular
b. Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami sejarah penyakit rabies.
2. Mengetahui dan memahami pengertian Rhabdovirus dan rabies.
5. 3. Mengetahui dan memahami struktur Rhabdovirus.
4. Mengetahui dan memahami siklus hidup virus rabies.
5. Mengetahui dan memahami epidemiologi dan penularan rabies.
6. Mengetahui dan memahami tipe rabies pada anjing dan kucing.
7. Mengetahui dan memahami patogenesis rabies.
8. Mengetahui dan memahami gejala klinis penyakit rabies.
9. Mengetahui dan memahami diagnosis penyakit rabies.
10. Mengetahui dan memahami jenis-jenis vaksin anti rabies.
11. Mengetahui dan memahami cara pencegahan dan pengendaian penyakit
rabies.
12. Mengetahui dan memahami cara pengobatan penyakit rabies.
13. Mengetahui dan memahami cara penanggulangan penyakit rabies.
14. Mengetahui dan memahami peraturan perundangan mengenai penyakit rabies.
1.4 Manfaat
Mahasiswa lebih mengetahui tentang penyakit rabies itu sendiri. Baik dari segi
definisi, struktur virus, epidemiologi, pathogenesis, penularan, pencegahan, penanggulangan
penyakit rabies dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penyakit rabies.
6. BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Penyakit Rabies
Rabies pertama kali ditemukan pada 2000 tahun SM, yaitu ketika Aristoteles
menemukan bahwa anjing dapat menularkan infeksi kepada anjing yang lain melalui gigitan.
Lalu pada tahun 1885, ketika seorang anak laki-laki berumur 9 tahun digigit oleh seekor
anjing yang terinfeksi virus rabies, Louis Pasteur mengobatinya dengan vaksin dari medulla
spinalis anjing tersebut. Hal ini menjadikannya orang pertama yang mendapatkan imunitas,
karena anak tersebut tidak menderita rabies. Kemudian pada tahun 1903 ditemukan badan
Negri yang bersifat diagnostik. Pada tahun 1940-an sudah dimulai penggunaan vaksin rabies
pada anjing. Penambahan globulin imun rabies untuk manusia setelah pemaparan pengobatan
vaksinasi dilakukan pada tahun 1954. Lalu pada tahun 1958 dilakukan penumbuhan virus
rabies dalam biakan sel. Pada tahun 1959 dilakukan pengembangan tes antibodi fluoresen
diagnostik.
2.2 Pengertian Rhabdovirus dan Rabies
Rhabdovirus berasal dari bahasa Yunani yaitu Rhabdo yang berarti berbentuk batang
dan Virus yang berarti virus. Jadi Rhabdovirus merupakan virus yang mempunyai bentuk
seperti batang.
Klasifikasi Rhabdovirus
Order : Mononegavirales
Famili : Rhabdoviridae
Genus : Lyssavirus
Spesies: Rhabdovirus (Virus Rabies)
Rabies adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh
virus rabies (Rhabdovirus). Penyakit ini bersifat zoonosis, yaitu penyakit yang ditularkan dari
hewan ke manusia. Rabies merupakan salah satu penyakit di mana agen infektifnya berupa
virus rabies yang menginfeksi susunan saraf pusat. Rabies yang menginfeksi kucing, anjing,
rakun, kelelawar atau kera dapat menular ke manusia melalui kontak dengan kelenjar saliva
(air liur) hewan yang terinfeksi. Rabies disebut juga penyakit anjing gila.
7. 2.3 Struktur Rhabdovirus
Virus rabies atau Rhabdovirus merupakan salah satu virus yang mempunyai sifat
morfologik dan biokimiawi yang lazim dengan virus somatis vesikuler sapi dan beberapa
virus hewan, tanaman, dan serangga. Virus rabies dan jenis virus lainnya terdiri dari dua
komponen dasar, yaitu sebuah inti dari asam nukleat yang disebut genom dan yang
mengelilingi protein yang disebut kapsid.
Gambar 1. Struktur Rhabdovirus
Rhabdovirus merupakan partikel berbentuk batang atau peluru berdiameter 75 nm x
panjang 180 nm. Partikel dikelilingi oleh selubung selaput dengan duri yang menonjol yang
panjangnya 10 nm, dan terdiri dari glikoprotein tunggal. Genom beruntai tunggal, RNA
negative-sense (12 kb; BM 4,6 x 106) yang berbentuk linear dan tidak bersegmen. Sebuah
virus rabies yang lengkap diluar inang (virion) mengandung polimerase RNA. Komposisi
dari virus rabies ini adalah RNA sebanyak 4%, protein sebanyak 67%, lipid sebanyak 26%,
dan karbohidrat sebanyak 3%. Rhabdovirus melakukan replikasi dalam sitoplasma dan virion
bertunas dari selaput plasma. Karakter yang menonjol dari Rhabdovirus ini merupakan virus
yang bersusun luas dengan rentang inang yang lebar. Virus ini merupakan jenis virus uang
mematikan. Kapsid melindungi genom dan juga memberikan bentuk pada virus.
2.4 Siklus Hidup Virus Rabies
Pertama-tama, virus rabies ini akan melekat atau menempel pada dinding sel inang.
Virus rabies melekat pada sel melalui duri glikoproteinnya, reseptor asetilkolin nikotinat
dapat bertindak sebagai reseptor seluler untuk virus rabies. Kemudian secara endositosis virus
8. dimasukan ke dalam sel inang. Pada tahap penetrasi, virus telah masuk kedalam sel inang dan
melakukan penyatuan diri dengan sel inang yang ia tempati. Lalu terjadilah transkripsi dan
translasi. Genom RNA untai tunggal direkam oleh polimerase RNA terkait, virion menjadi
lima spesies mRNA. mRNAs monosistronik ini menyandi untuk lima protein virion. Genom
ini merupakan cetakan untuk perantara replikatif yang menimbulkan pembentukan RNA
keturunan. RNA genomik berhubungan dengan transkriptase virus, fosfoprotein dan
nukleoprotein. Setelah enkapsidasi, partikel berbentuk peluru mendapatkan selubung melalui
pertunasan yang melewati selaput plasma. Protein matriks virus membentuk lapisan pada sisi
dalam selubung, sementara glikoprotein virus berada pada selaput luar dan membentuk duri.
Setelah bagian-bagian sel lengkap, sel virus tadi menyatukan diri kembali dan membentuk
virus yang baru.
Setelah itu virus keluar dari sel inang dan menginfeksi sel inang yang lainnya.
Keseluruhan proses dalam siklus hidup virus rabies ini terjadi dalam sitoplasma.Virus rabies
membelah diri dalam otot atau jaringan ikat pada tempat inokulasi dan kemudian memasuki
saraf tepi pada sambungan neuromuskuler dan menyebar sampai ke susunan saraf pusat.
Virus membelah diri disini dan kemudian menyebar melalui saraf tepi ke kelenjar ludah dan
jaringan lain. Kepekaan terhadap infeksi dan masa inkubasinya bergantung pada latar
belakang genetik inang, strain virus yang terlibat, konsentrasi reseptor virus pada sel inang,
jumlah inokulum, beratnya laserasi, dan jarak yang harus ditempuh virus untuk bergerak dari
titik masuk ke susunan saraf pusat. Terdapat angka serangan yang lebih tinggi dan masa
inkubasi yang lebih pendek pada orang yang digigit pada wajah atau kepala.
Virus rabies menghasilkan inklusi sitoplasma eosinofilik spesifik, badan Negri, dalam
sel saraf yang terinfeksi. Adanya inklusi seperti ini bersifat patognomonik rabies tetapi tidak
terlihat pada sedikitnya 20% kasus. Karena itu, tidak adanya badan Negri tidak
menyingkirkan diagnosis rabies. Virus rabies memperbanyak diri diluar susunan saraf pusat
dan dapat menimbulkan infiltrat dan nekrosis seluler dalam kelenjar lain, dalam kornea, dan
di tempat lain.
2.5 Epidemiologi dan Penularan Rabies
Diseluruh dunia, diperkirakan terjadi 15.000 kasus rabies yang ditularkan ke manusia
setiap tahunnya. Kejadian ini sebagian besar terjadi di negara berkembang termasuk
Indonesia. Rabies ditularkan kepada manusia melalui gigitan anjing pembawa virus rabies. Di
Kanada, Amerika Serikat, dan kawasan Eropa Barat, virus rabies yang dibawa oleh anjing
dan kucing dapat dikendalikan. Namun manusia dapat tertular melalui gigitan hewan liar,
9. khususnya sigung, rubah, dan kelelawar. Di Amerika Latin, rabies khususnya ditularkan
melalui kelelawar vampir yang secara normal menghisap darah ternak, tetapi juga dapat
menggigit manusia. Peningkatan rabies hewan liar di AS dan beberapa negara maju lain
memberi risiko yang jauh lebih besar bagi manusia dibandingkan pada anjing atau kucing.
Hewan liar yang diperangkap dan dijual sebagai binatang peliharaan dapat menjadi sumber
pamaparan manusia.
Dari tahun 1980-1983, telah didiagnosis 18 kasus rabies manusia di AS. Dengan
menggunakan penanda molekuler, 7 dari 9 kasus yang diketahui merupakan rabies, terbukti
mengandung virus yang berkaitan dengan kelelawar.
Rakun telah menjadi reservoir penting untuk rabies di daerah timur AS dan pada saat
ini merupakan lebih dari setengah kasus rabies hewan yang dilaporkan. Telah diyakini bahwa
rabies racoon masuk ke daerah Atlantik tengah pada tahun 1970, ketika rakun yang terinfeksi
dibawa ke daerah tersebut dari AS bagian tengara untuk memenuhi persediaan pemburu.
Pada tahun 1981, lebih dari 7000 kasus rabies hewan yang dipastikan secara
laboratorium telah dilaporkan di AS dan sekitarnya. Tujuh jenis hewan yang terkena pada
97% kasus : sigung (62%), kelelawar (12%), rakun (7%), sapi (6%), kucing (4%), anjing
(3%), dan rubah (3%). Dari kasus-kasus ini, 85% kasus terjadi pada hewan liar dan 15% pada
hewan peliharaan.
Gambar 2. Hewan-hewan yang terkena virus rabies akan mengeluarkan air liur secara berlebihan
Kelelawar menimbulkan masalah khusus karena mereka dapat membawa virus rabies
sementara mereka tampak sehat, mengeluarkan rabies dalam liur, dan menularkannya ke
hewan lain, termasuk kelelawar lain dan ke manusia. Kelelawar vampir Amerika Selatan
dapat menularkan rabies ke kelelawar insektivora yang hidup dalam gua-gua. Kelelawar ini
pada gilirannya, dapat menularkan rabies pada kelelawar pemakan buah yang mengunjungi
gua-gua ini dan bermigrasi ke tempat lain. Kelelawar gua dapat mengandung aerosol virus
rabies dan merupakan risiko bagi penelusur gua. Infeksi rabies dari manusia ke manusia
sangat jarang. Kasus rabies yang ditularkan melalui transplan kornea hanya merupakan kasus
10. tercatat. Kornea yang berasal dari donor yang meninggal dengan penyakit susunan saraf pusat
yang tidak terdiagnosis, dan resipien meninggal akibat rabies 50-80 hari kemudian. Secara
teoritis, rabies dapat berasal dari air liur pasien yang menderita rabies. Tetapi penularan
semacam ini tidak pernah tercatat.
2.6 Tipe Penyakit Rabies Pada Anjing dan Kucing
a. Pada Anjing :
1. Rabies Ganas
Tidak menuruti lagi perintah pemilik.
Air liur keluar berlebihan.
Hewan menjadi ganas, menyerang, atau menggit apa saja yang ditemui dan
ekor dilekungkan kebawah perut diantara dua paha.
Kejang-kejang kemudian lumpuh, biasanya mati setelah 4-7 hari sejak
timbul atau paling lama 12 hari setelah penggigitan.
2. Rabies Tenang
Bersembunyi di tempat gelap dan sejuk.
Kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tidak terlihat.
Kelumpuhan tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar
berlebihan.
Kematian terjadi dalam waktu yang singkat.
3. Rabies Asystomatis.
Tanda- tanda yang sering terlihat:
Hewan tidak menunjukkan gejala sakit.
Hewan tiba-tiba mati.
b. Pada Kucing :
Gejala atau tanda-tanda yang terlihat hampir sama pada anjing, seperti :
Menyembunyikan diri, banyak mengeong.
Mencakar-cakar lantai, menjadi agresif.
2-4 hari setelah gejala pertama biasa terjadi kelumpuhan, terutama di bagian
belakang.
11. 2.7 Patogenesis Rabies
Rabies adalah penyakit zoonosis dimana manusia terinfeksi melalui jilatan atau
gigitan hewan yang terjangkit rabies seperti anjing, kucing, kera, musang, serigala, rakun,
kelelawar. Virus masuk melalui kulit yang terluka atau melalui mukosa utuh seperti
konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia eksterna, atau transplantasi kornea. Infeksi melalui
inhalasi virus sangat jarang ditemukan. Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka
selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak
mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan perubahan-perubahan
fungsinya.
Gambar 3. Patogenesis rabies
Sumber: www.nicd.ac.za/rabies
Masa inkubasi virus rabies sangat bervariasi, mulai dari 7 hari sampai lebih dari 1
tahun, rata-rata 1-2 bulan, tergantung jumlah virus yang masuk, berat dan luasnya kerusakan
jaringan tempat gigitan, jauh dekatnya lokasi gigitan ke sistem saraf pusat, persarafan daerah
luka gigitan dan sistem kekebalan tubuh. Pada gigitan di kepala, muka dan leher 30
hari,gigitan di lengan, tangan, jari tangan 40 hari, gigitan di tungkai, kaki, jari kaki 60 hari,
gigitan di badan rata-rata 45 hari. Asumsi lain menyatakan bahwa masa inkubasi tidak
ditentukan dari jarak saraf yang ditempuh , melainkan tergantung dari luasnya persarafan
12. pada tiap bagian tubuh, contohnya gigitan pada jari dan alat kelamin akan mempunyai masa
inkubasi yang lebih cepat.
Tingkat infeksi dari kematian paling tinggi pada gigitan daerah wajah, menengah pada
gigitan daerah lengan dan tangan,paling rendah bila gigitan ditungkai dan kaki.
(Jackson,2003. WHO,2010). Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan
menyebar luas dalam semua bagian neuron, terutama predileksi terhadap sel-sel sistem
limbik, hipotalamus dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron
sentral, virus kemudian ke arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter
maupun saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan
didalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan, seperti kelenjar ludah, ginjal, dan
sebagainya.
2.8 Gejala Klinis
1. Pada Manusia
Gambar 4. Pasien yang mengidap rabies
Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium:
a. Stadium Prodromal
Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat adalah
perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa seperti terbakar,
kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari.
b. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka
kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap ransangan
sensoris.
c. Stadium Eksitasi
Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala
berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan terhadap rangsangan
13. cahaya, tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu merintih sebelum kesadaran
hilang. Penderita menjadi bingung, gelisah, rasa tidak nyaman dan ketidak beraturan.
Kebingungan menjadi semakin hebat dan berkembang menjadi argresif, halusinasi,
dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar atau kaku kejang.
d. Stadium Paralis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium eksitasi. Kadang-kadang
ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi, melainkan paresis otot-otot
yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan sumsum tulang belakang yang
memperlihatkan gejala paresis otot-otot pernafasan.
2. Pada Hewan
Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga stadium:
a. Stadium Prodromal
Keadaan ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang dapat berlangsung
antara 2-3 hari. Pada tahap ini akan terlihat adanya perubahan temperamen yang
masih ringan. Hewan mulai mencari tempat-tempat yang dingin/gelap, menyendiri,
reflek kornea berkurang, pupil melebar dan hewan terlihat acuh terhadap tuannya.
Hewan menjadi sangat perasa, mudah terkejut dan cepat berontak bila ada provokasi.
Dalam keadaan ini perubahan perilaku mulai diikuti oleh kenaikan suhu badan.
b. Stadium Eksitasi
Tahap eksitasi berlangsung lebih lama daripada tahap prodromal, bahkan
dapat berlangsung selama 3-7 hari. Hewan mulai garang, menyerang hewan lain
ataupun manusia yang dijumpai dan hipersalivasi. Dalam keadaan tidak ada
provokasi hewan menjadi murung terkesan lelah dan selalu tampak seperti ketakutan.
Hewan mengalami fotopobi atau takut melihat sinar sehingga bila ada cahaya akan
bereaksi secara berlebihan dan tampak ketakutan.
c. Stadium Paralisis.
Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat, sehingga sulit untuk
dikenali atau bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian. Hewan
mengalami kesulitan menelan, suara parau, sempoyongan, akhirnya lumpuh dan mati.
2.9 Diagnosis Penyakit Rabies
Selama periode awal infeksi rabies, temuan laboratorium tidak spesifik. Seperti
temuan ensefalitis oleh virus lainnya, pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan
pleositosis dengan limfositosis, protein dapat sedikit meningkat, glukosa umumnya normal.
14. Untuk mendiagnosis rabies antemortem diperlukan beberapa tes, tidak bisa dengan hanya
satu tes. Tes yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi kasus rabies antara lain deteksi
antibodi spesifik virus rabies, isolasi virus, dan deteksi protein virus atau RNA. Spesimen
yang digunakan berupa cairan serebrospinal, serum, saliva, dan biopsi kulit. Pada pasien yang
telah meninggal, digunakan sampel jaringan otak yang masih segar. Diagnosis pasti
postmortem ditegakkan dengan adanya badan Negri pada jaringan otak pasien, meskipun
hasil positif kurang dari 80% kasus. Tidak adanya badan Negri tidak menyingkirkan
kemungkinan rabies. Badan Negri adalah badan inklusi sitoplasma berbentuk oval atau bulat,
yang merupakan gumpalan nukleokapsid virus. Ukuran badan Negri bervariasi, dari 0,25
sampai 27 μm, paling sering ditemukan di sel piramidal Ammon’s horn dan sel Purkinje
serebelum. (Jawetz, 2010).
Rabies perlu dipertimbangkan jika terdapat indicator positif seperti adanya gejala
prodromal nonspesifik sebelum onset gejala neurologik, terdapat gejala dan tanda neurologik
ensefalitis atau mielitis seperti disfagia, hidrofobia, paresis dan gejala neurologi yang
progresif disertai hasil tes laboratorium negatif terhadap etiologi ensefalitis yang lain.
Bentuk paralitik rabies didiagnosis banding dengan sindrom Guillain-Barre. Pada sindrom
Guillain-Barre, sistem saraf perifer yang terkena adalah sensorik dan motorik, dengan
kesadaran yang masih baik. Spasme tetanus dapat menyerupai gejala rabies, namun tetanus
dapat dibedakan dengan rabies dengan adanya trismus dan tidak adanya hidrofobia. (Merlin,
2009).
2.10 Jenis-Jenis Vaksin Anti Rabies
1. Vaksin Sel Diploid Manusia (HDCV)
Untuk mendapatkan suspensi virus rabies bebas dari protein asing dan susunan saraf
pusat, virus rabies diadaptasi untuk tumbuh dalam jalur sel fibroblas normal manusia WI-38.
Sediaan virus rabies dipekatkan melalui ultrafiltrasi dan diinaktivasi dengan β-propiolakton.
Bahan ini cukup antigenik sehingga hanya perlu diberikan lima dosis HDCV untuk
mendapatkan respons antibodi substansial pada sebagian besar resipien. Reaksi lokal
(eritema, gatal, bengkak pada tempat suntikan) terjadi pada 30-70% resipien, dan reaksi
sistemik ringan (sakit kepala, mual, mialgia, pusing) terjadi pada sekitar seperlima resipien.
Tidak dilaporkan adanya reaksi anafilaktik, neuroparalitik, atau ensefalitik yang serius.
Vaksin ini telah digunakan di Amerika Serikat sejak tahun 1980.
Berdasarkan atas jaringan asalnya, HDCV terdiri atas:
a. Nerve tissue vaccine (NTV)
15. NTV adalah vaksin yang terbuat dari jaringan saraf melalui vaksin yang
berasal dari otak hewan dewasa seperti kelinci, kambing, domba, kera dan tikus dan
vaksin yang berasal dari otak bayi mencit.
b. Non-nerve tissue vaccine
Merupakan vaksin yang terbuat dari jaringan bukan saraf, yang meliputi
vaksin yang berasal dari telur itik bertunas serta Tissue Culture Vaccine (TCV) yang
merpakan vaksin yang terbuat dari biakan jaringan.
2. Vaksin Rabies Absorpsi (RVA)
Vaksin yang dibuat dalam jalur sel diploid yang berasal dari sel paru janin monyet
resus telah diijinkan di Amerika Serikat pada tahun 1988. Vaksin virus diinaktivasi dengan β-
propiolakton dan dipekatkan melalui adsorpsi terhadap fosfat alumunium. Vaksin HDCV dan
RVA cukup manjur dan aman.
3. Vaksin Jaringan Saraf
Vaksin ini dibuat dari otak domba, kambing, atau tikus yang terinfeksi dan digunakan
di banyak bagian dunia termasuk Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Vaksin ini
menyebabkan sensitisasi terhadap jaringan saraf dan menyebabkan ensefalitis pasca
vaksinisasi (suatu penyakit alergik) dengan frekuensi yang tinggi (0,05%). Vaksin ini tidak
digunakan di AS selama beberapa dasawarsa. Perkiraan keberhasilannya pada orang yang
digigit oleh hewan rabies bervariasi dari 5% hingga 50%.
4. Vaksin Embrio Bebek
Vaksin ini dikembangkan untuk mengurangi masalah ensefalitis pasca vaksinasi.
Virus rabies ditumbuhkan dalam telur bebek terembrionasi, tetapi kepala diangkat sebelum
vaksin disiapkan, dengan tujuan untuk mengeluarkan jaringan saraf dan menghindari
ensefalitis alergi. Secara teratur vaksin ini menimbulkan reaksi setempat dan reaksi sistemik
(demam, malaise, mialgia) pada sepertiga resipien. Reaksi neuroparalitik (<0,001%) dan
anafilaktik (<1%), jarang terjadi, tetapi antigenitas vaksin rendah. Karena itu harus diberikan
banyak dosis (16-25) untuk menimbulkan respon antibodi pascapemaparan yang memuaskan.
Vaksin ini digunakan di AS di masa lalu tetapi sekarang tidak lagi digunakan.
5. Virus Hidup Di Lemahkan
Virus hidup dilemahkan yang diadaptasi untuk tumbuh dalam embrio ayam
(contohnya, strain Flury) digunakan untuk hewan tetapi tidak untuk manusia. Kadang-kadang,
vaksin seperti ini dapat menyebabkan kematian akibat rabies pada kucing atau anjing
yang disuntikan. Virus rabies yang ditumbuhkan pada berbagai biakan sel hewan juga telah
digunakan sebagai vaksin untuk hewan peliharaan.
16. 2.11 Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Rabies
Pencegahan rabies dapat dilakukan dengan memvaksinasi hewan peliharaan rutin,
hindari memelihara hewan liar di rumah, jika anda bepergian ke daerah yang terjangkit
rabies, segeralah ke pusat pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan vaksinasi rabies.
Vaksinasi idealnya dapat memberikan perlindungan seumur hidup. Tetapi seiring
berjalannya waktu kadar antibodi akan menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi
terhadap rabies harus mendapatkan dosis booster vaksinasi setiap 3 tahun. Pentingnya
vaksinasi rabies terhadap hewan peliharaan seperti anjing juga merupakan salah satu cara
pencegahan yang harus diperhatikan.
Pencegahan rabies pada manusia harus dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi
gigitan oleh hewan yang berpotensi rabies, karena bila tidak segera dilakukan dapat
mematikan (letal). Imunisasi prapajanan harus dilakukan terhadap orang yang berisiko tinggi
terkena rabies mungkin perlu dilakukan dengan HDCV (human diploid cell rabies vaccine),
RVA (rabies vaccine adsorbed) atau PCBC (purified chick embryo cell vaccine) misalnya
pada orang -orang yang bekerja sebagai dokter hewan, petugas suaka alam pada daerah
anzootik atau epizootic, petugas karantina hewan, petugas laboratorium atau petugas
lapangan yang bekerja dengan rabies atau wisatawan yang berkunjung dalam waktu lama
pada daerah endemis rabies.
Menempatkan hewan peliharaan dalam kandang yang baik dan sesuai dan senantiasa
memperhatikan kebersihan kandang dan sekitarnya, Menjaga kesehatan hewan peliharaan
dengan memberikan makanan yang baik , pemeliharaan yang baik dan melaksanakan
Vaksinasi Rabies secara teratur setiap tahun ke Dinas Peternakan atau Dokter Hewan
Praktek. Memasang rantai pada leher anjing bila anjing tidak dikandangkan atau sedang
diajak berjalan-jalan.
Untuk pengendalian, saat ini, WHO telah mengendalikan penularan rabies dengan
melakukan pemberian vaksin ke beberapa negara berkembang, meskipun dalam jumlah yang
terbatas.Vaksin immunoglobulin (antibodi) yang direkomendasikan untuk kasus rabies
kategori III memiliki harga yang mahal dan diberikan dalam jumlah yang sangat terbatas.
Oleh karena itu, WHO memberikan vaksin immunoglobulin rabies yang berasal dari kuda
(purified equine immunoglobulin) untuk digunakan sebagai campuran immunoglobulin
manusia untuk menutupi kekurangan vaksin di beberapa negara ini.
17. 2.12 Pengobatan Penyakit Rabies
Jika segera dilakukan tindakan pencegahan yang tepat, maka seseorang yang digigit
hewan yang menderita rabies kemungkinan tidak akan menderita rabies. Orang yang digigit
kelinci dan hewan pengerat (termasuk bajing dan tikus) tidak memerlukan pengobatan lebih
lanjut karena hewan-hewan tersebut jarang terinfeksi rabies. Tetapi bila digigit binatang buas
(sigung, rakun, rubah dan kelelawar) diperlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan
tersebut mungkin saja terinfeksi rabies.
Tindakan pencegahan yang paling penting adalah penanganan luka gigitan sesegera
mungkin. Daerah yang digigit dibersihkan dengan sabun, tusukan yang dalam disemprot
dengan air sabun. Jika luka telah dibersihkan, kepada penderita yang belum pernah
mendapatkan imunisasi dengan vaksin rabies diberikan suntikan immunoglobulin rabies,
dimana separuh dari dosisnya disuntikkan di tempat gigitan. Jika belum pernah mendapatkan
imunisasi, maka suntikan vaksin rabies diberikan pada saat digigit hewan rabies dan pada hari
ke 3, 7, 14 dan 28. Nyeri dan pembengkakan di tempat suntikan biasanya bersifat ringan.
Jarang terjadi reaksi alergi yang serius, kurang dari 1% yang mengalami demam setelah
menjalani vaksinasi. Jika penderita pernah mendapatkan vaksinasi, maka resiko menderita
rabies akan berkurang, tetapi luka gigitan harus tetap dibersihkan dan diberikan 2 dosis
vaksin (pada hari 0 dan 2).
Sebelum ditemukannya pengobatan, kematian biasanya terjadi dalam 3-10 hari.
Kebanyakan penderita meninggal karena sumbatan jalur pernafasan (asfiksia), kejang,
kelelahan atau kelumpuhan total. Meskipun kematian karena rabies diduga tidak dapat
dihindarkan, tetapi beberapa orang penderita selamat. Mereka dipindahkan ke ruang
perawatan intensif untuk diawasi terhadap gejala-gejala pada paru-paru, jantung dan otak.
Pemberian vaksin maupun imunoglobulin rabies tampaknya efektif jika suatu saat penderita
menunjukkan gejala-gejala rabies.
2.13 Penanggulangan Rabies
Tindakan Penanganan Kasus Gigitan :
Setiap penderita kasus gigitan oleh hewan penular rabies harus diduga sebagai
tersangka rabies, tindakan yang harus dilakukan adalah:
Pertolongan pertama terhadap penderita gigitan:
1. Luka gigitan dicuci dengan detergen selama 5-10 menit, keringkan dan diberi
yodium tinture atau alcohol 70%
18. 2. Penderita di bawah ke puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk penanganan
lebih lanjut.
Kejadian penggigitan dilaporkan ke petuga Dinas Peternakan/Pertanian setempat.
Hewan yang menggigit harus ditangkap dan dilaporkan ke Dinas
Peternakan/Pertanian untuk diobeservasi. Diamati selama 14 hari, jika hewan mati
dengan gejala rabies dalam masa masa obeservas maka hewan tersangka dinyatakan
positif rabies.
Apabila dalam masa observasi hewan tetap sehat maka hewan tersebut divaksinasi
anti rabies dan dikembalikan pada pemiliknya atau dibunuh bila tidak ada pemilik.
2.14 Peraturan Perundang-undangan tentang Rabies
Sejak tahun 1926 pemerintah telah mengeluarkan peraturan tentang rabies pada
anjing, kucing, dan kera. Yaitu Hondsdol heid Ordonantie Staatblad No. 452 tahun 1926 dan
pelaksanaannya termuat dalam Staatblad No. 452 tahun 1926. Selanjutnya Ordonantie
tersebut tersebut mengalami perubahan/ penambahan-penambahan yang disesuaikan dengan
perkembangan yang ada.
Di DKI Jakarta terdapat SK Gubernur No. 3213 tahun 1984 tentang Tata-cara
Penertiban Hewan Piaraan Anjing, Kucing dan Kera di wilayah DKI Jakarta yang antara lain
berisi :
1. Kewajiban pemilik hewan piaraan untuk memvaksin hewannya dan menggantungkan
peneng tanda lunas pajak.
2. Menangkap dan menyerahkan hewannya apabila mengigit orang untuk diobservasi.
3. Hewan yang dibiarkan lepas dan dianggap liar atau tersangka menderita rabies akan
ditangkap oleh petugas penertiban.
19. BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Rabies merupakan salah satu penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang ditularkan dari
hewan ke manusia, di mana agen infektifnya berupa virus rabies yang menginfeksi susunan
saraf pusat.
Rabies disebabkan oleh virus rabies yaitu Rhabdovius genus Lyssavirus. Diseluruh
dunia, diperkirakan terjadi 15.000 kasus rabies yang ditularkan ke manusia setiap tahunnya.
Kejadian ini sebagian besar terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia. Rabies
ditularkan kepada manusia melalui gigitan anjing pembawa virus rabies. Di Kanada, Amerika
Serikat, dan kawasan Eropa Barat, virus rabies yang dibawa oleh anjing dan kucing dapat
dikendalikan. Namun manusia dapat tertular melalui gigitan hewan liar, khususnya sigung,
rubah, dan kelelawar.
Penyakit rabies ditularkan melalui gigitan binatang. Kuman yang terdapat dalam air
liur binatang ini akan masuk ke aliran darah dan menginfeksi tubuh manusia.
Masa inkubasi adalah waktu antara penggigitan sampai timbulnya gejala penyakit . Masa
inkubasi penyakit Rabies pada anjing dan kucing kurang lebih 2 minggu (10 hari- 14 hari).
Pada manusia 2-3 minggu dan paling lama 1 tahun
Untuk pengendalian, saat ini, WHO telah mengendalikan penularan rabies dengan
melakukan pemberian vaksin ke beberapa negara berkembang, meskipun dalam jumlah yang
terbatas.Vaksin immunoglobulin (antibodi) yang direkomendasikan untuk kasus rabies
kategori III memiliki harga yang mahal dan diberikan dalam jumlah yang sangat terbatas.
Oleh karena itu, WHO memberikan vaksin immunoglobulin rabies yang berasal dari kuda
(purified equine immunoglobulin) untuk digunakan sebagai campuran immunoglobulin
manusia untuk menutupi kekurangan vaksin di beberapa negara ini.
3.2 Saran
Saran penulis terhadap pembaca khususnya yang memiliki hewan peliharaan yakni
kucing, anjing, kera dan hewan lainnya yang rentan terkena virus rabies agar dapat menjadi
seorang pemelihara yang baik dengan selalu melakukan pemeriksakan hewan peliharaan dan
memberikan vaksin secara teratur. Selain itu apabila terdapat kasus gigitan dari hewan yang
diduga terjangkit rabies, secepatnya di laporkan ke dinas kesehatan atau pihak terkait agar
dapat meminimalisir terjadinya wabah dari penyakit tersebut.
20. DAFTAR PUSTAKA
Tanzil, Kunadi. PENYAKIT RABIES DAN PENATALAKSANAANNYA. (Jurnal). Bagian
Mikrobiologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. ISSN 2338-7793
CHIN J.2006.Manual Pemberantasan PenyakMenular.Infomedika.Edisi 17,cetakan II,
497507. DEPKES RI, DIRJEN PPM & PL. 2000.Petunjuk Perencanaan &
Penatalaksanaan Kasus Gigitan HewanTersangka /Rabies di Indonesia.
JOKLIK WK, WILLET HP, AMOS DB, WILFERT CM. 1992. Zinsser Microbiology.20th
Ed.1028-1033. PATRIAWATI B dan ROSEMARY F, 2008.Rabies.
Wijaya, septiana. (2008). Virus Rabies. (Online)
http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/septiana-wijaya-078114146.pdf,
diakses 24 September 2014
Rahayu, Asih. (2010). Rabies. Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma
Surabaya. (Jurnal Online).
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/Vol1.no2.Juli2010/RABIES.pdf,
diakses 20 September 2014
World Health Organization. Rabies. (Online)
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs099/en/, diakses tanggal 24 September
2014
N,N. (2011). Epidemiologi dan Penularan Rhabdovirus. (Online).
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16929/4/Chapter%20II.pdf, diakses
tanggal 25 September 2014.
Elcamo, E. I., 1997, Fundamentals of Microbiology, The Benjamin Cummings Publishing
Company, New York
Rohiman dan Nurtjahjo, 1985, Vaksin Anti-Rabies (Human Diploid Cell) dan Kegunaannya
Bagi Manusia, Medika Jurnal Kedokteran Farmasi, Jakarta