Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Bab ini membahas tentang landasan teori dan konsep yang akan digunakan dalam penelitian, termasuk karakteristik pemanfaatan lahan desa, ciri-ciri desa, dan pola permukiman desa tradisional seperti di Bali.
Sistem operasi adalah program yang bertindak sebagai perantara antara user de...
Bab ii tinjauan pustaka
1. 14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini diuraikan beberapa landasan teori yang akan digunakan
untuk membedah rumusan masalah penelitian, konsep yang memberikan kejelasan
definisi operasional dari judul penelitian. Pada bab ini juga di gambarkan alur
kerangka berpikir penelitian mulai dari landasan awal latar belakang, rumusan
masalah, analisis yang dipakai, teori yang dipergunakan serta keluaran dan tujuan
akhir dari penelitian yang disajikan dalam bentuk gambar diagram.
2.1. Landasan Teori
2.1 1. Karakteristik Pemanfaatan Lahan Desa
Lahan merupakan bentuk fisik alam yang terdiri atas tanah, air dan udara
yang dapat dikelola. Secara umum lahan di pedesaan digunakan sebagai tempat
untuk melaksanakan berbagai macam kehidupan sosial di desa seperti bersekolah,
berekreasi, beribadah, bertani, berkebun, beternak, dan lain sebagainya.
Keberadaan penduduk yang bekerja di sektor non-agraris dan agraris akan
mencerminkan atribut kawasan lahan desa. Karakteristik ruang merupakan
pemanfaatan ruang atau lahan di desa untuk keperluan tertentu sehingga tidak
terjadi tumpang tindih dan berguna bagi kelangsungan hidup penduduknya.
2. 15
Menurut Bagja Waluya, 2011 ada dua pemanfaatan lahan di desa
dibedakan atas dua fungsi, yaitu:
1. Fungsi sosial adalah penggunaan lahan untuk perkampungan desa, pola
penggunaan lahan ini sangat bergantung pada kondisi fisik geografis desa.
Kondisi fisik geografi pada setiap desa berbeda-beda, seperti bentuk
perkampungan di daerah dataran berbeda dengan bentuk perkampungan
pada daerah perbukitan. Sehingga pola tata ruang desa sangat dipengaruhi
dengan kondisi topografi wilayah tersebut.
2. Fungsi ekonomi adalah penggunaan lahan dimanfaatkan untuk
perekonomian, penggunaan lahan untuk perekonomian ini berkaitan
dengan memanfaatkan ketersediaan sumber daya alam yang masih
melimpah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Berdasarkan
struktur mata pencarian masyarakat pedesaan yang sebagian besar adalah
petani, maka pertanian merupakan sektor yang mendominasi pola
penggunaan lahan di pedesaan. Walaupun pertanian mendominasi
pedesaan, namun sistem kepemilikan lahan di pedesaan masih rendah. Hal
ini disebabkan karena terbatasnya modal yang dimiliki masyarakat,
sehingga pekerjaan mereka adalah menjadi buruh tani. Penggunaan lahan
pedesaaan di dominasi penggunaan untuk kegiatan pertanian dalam arti
luas, yang mencakup pertanian tanaman pangan, perkebunan, kebun,
hutan, perikanan, dan peternakan. Unit-unit kegiatan pertanian biasanya
memerlukan lahan yang cukup luas dengan intensitas penggunaan lahan
tidak setinggi kegiatan perkotaan.
3. 16
Menurut Sudyohutomo (2006) di Indonesia, klasifikasi penggunaan lahan
mencakup baik yang sengaja digunakan oleh manusia (land use) maupun tidak
digunakan (unused). Klasifikasi jenis penggunaan tanah pedesaan ada 12 jenis,
antara lain:
1. Perkampungan adalah areal lahan yang digunakan untuk kelompok
bangunan tempat tinggal penduduk dan dihuni secara menetap.
2. Industri adalah areal lahan yang digunakan untuk kegiatan ekonomi berupa
proses pengolahan bahan-bahan baku menjadi barang jadi/ setengah jadi
dan atau setengah jadi menjadi barang jadi (industri manufatur).
3. Pertambangan adalah areal lahan yang dieksploitasi bagi pengambilan atau
penggalian bahan-bahan tambang yang dilakukan secara terbuka dan atau
tertutup.
4. Persawahan adalah areal pertanian terdiri dari petak-petak pematang yang
digenangi air secara periodik atau terus menerus, ditanami padi atau
diselingi dengan tanaman palawija, tebu, tembakau, dan tanaman semusim
lainnya.
5. Pertanian tanah kering semusim adalah areal lahan pertanian yang tidak
pernah diairi dan mayoritas ditanami dengan tanaman umur pendek, areal
ini juga disebut pertanian tegalan atau ladang
6. Kebun adalah areal lahan yang ditanami satu jenis tanaman keras (disebut
kebun sejenis), atau tanaman keras dengan tanaman semusim dan tidak
jelas jenis tanaman apa yang menonjol (sehingga disebut kebun campuran)
4. 17
7. Perkebunan adalah areal lahan yang ditanami tanaman keras dengan satu
jenis tanaman dominan, yang mencakup perkebunan berdasarkan
perkebunan rakyat.
8. Padang adalah areal lahan yang hanya ditumbuhi tanaman rendah dari
keluarga rumput dan semak.
9. Hutan adalah areal lahan yang ditumbuhi oleh pepohonan dan tajuk
pohonnya dapat saling menutupi/bergesekan. Hutan terdiri atas hutan alam
lebat, hutan belukar, dan hutan sejenis.
10. Perairan darat adalah areal lahan yang digenangi air tawar secara
permanen, baik buatan maupun alami. Perairan darat terdiri atas kolam air
tawar, tambak, penggaraman, waduk, danau/ telaga/ situ, dan rawa.
11. Lahan terbuka adalah areal lahan yang tidak ditumbuhi tanaman, tidak
digarap karena tidak subur (tanah tandus), menjadi tidak subur setelah
digarap atau ditambang tanahnya (tanah rusak), atau karena dibuka
sementara (land clearing).
12. Lain-lain adalah areal lahan yang digunakan bagi prasarana seperti jalan,
sungai, dan bendungan serta saluran yang merupakan buatan manusia atau
alami.
2.1 2. Ciri-Ciri Desa
Menurut (Bintarto, 1977) wilayah pedesaan mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut: 1) Perbandingan tanah dengan manusia (man land ratio) biasanya besar; 2)
Lapangan kerja agraris; 3) Hubungan penduduk yang akrab; 4) Sifat yang
5. 18
cenderung mengikuti tradisi. Ciri-ciri desa yang dipengaruhi oleh kondisi geografis
berpengaruh pada kehidupan masyarakat pedesaan meliputi:
1. Desa dan masyarakatnya erat hubungannya dengan alam (iklim dan alam
seakan-akan mengatur kegiatan manusia dalam bertani).
2. Penduduk desa merupakan satu unit sosial dan unit kerja, jumlahnya relatif
tidak besar dan struktur ekonomi pada umumnya agraris.
3. Masyarakat desa mewujudkan satu paguyuban (dimana terdapat ikatan
kekeluargaan yang erat) dimana proses sosial berjalan lambat. Control
kemasyarakatan di desa ditentukan oleh adat, moral dan hukum yang
informal.
Desa memiliki banyak ciri-ciri yang membedakan dengan wilayah kota.
Menurut Paul H.Landis dalam Bambang Utoyo, (2011) desa memiliki ciri-ciri
sebagai berikut: 1) Daerah yang penduduknya kurang dari 2500 jiwa; 2)
Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antar ribuan jiwa; 3) Ada
pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan; dan 4) Cara
berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi oleh
alam seperti iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan
agraris adalah bersifat pekerjaan sampingan.
2.1 3. Pola Permukiman Desa dan Pola PermukimanTradisional Desa Adat
Bali
6. 19
1) Pola Permukiman Desa
Secara etimologis pola permukiman berasal dari dua kata yaitu pola dan
permukiman. Pola (pattern) dapat diartikan sebagai susunan struktural, gambar,
corak, kombinasi sifat kecenderungan membentuk sesuatu yang taat asas dan
bersifat khas (Depdikbud, 1988), dan dapat pula diartikan sebagai benda yang
tersusun menurut sistem tertentu mengikuti kecenderungan bentuk tertentu.
Pengertian ini tampaknya hampir mirip dengan pengertian model, atau susunan
sesuatu benda. Pola permukiman secara umum merupakan susunan sifat persebaran
permukiman dan sifat hubungan antara faktor-faktor yang menentukan terjadinya
sifat persebaran permukiman tersebut.
Menurut Daldjoeni (2003), bentuk-bentuk desa atau pola pemukiman desa
secara sederhana dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Bentuk desa mengikuti pola yang mengikuti sepanjang pantai
Di daerah pantai yang landai dapat tumbuh suatu permukiman. Apabila
desa pantai berkembang, maka tempat tinggal meluas dengan cara
menyambung yang lama dengan menyusur pantai, sampai bertemu dengan
desa pantai lainnya. Pusat kegiatan industri kecil (perikanan dan pertanian)
tetap dipertahankan di dekat tempat tinggal penduduk yang mula-mula.
Gambar 2.1. Pola Permukiman Desa Mengikuti Sepanjang Pantai
Laut
3
2 22
1 1
Keterangan:
1. Arah pengembangan
pemukiman penduduk
2. Daerah kawasan industri
kecil
3. Daerah permukiman
penduduk
Sumber: Geografi Kota dan Desa, 1987
7. 20
2. Bentuk desa terpusat
Terdapat di daerah pegunungan. Penduduk umumnya terdiri atas keluarga
turunan. Jika jumlah penduduk bertambah lalu pemekaran desa
pegunungan itu mengarah ke segala jurusan, tanpa adanya rencana.
Sementara itu pusat-pusat kegiatan penduduk pun dapat bergeser
mengikuti pemekaran.
3. Bentuk desa linier di dataran rendah/ memanjang jalan/ sungai
Pemukiman penduduk di dataran rendah umumnya memanjang sejajar
dengan rentangan jalan raya yang menembus desa yang bersangkutan. Jika
Gambar 2.2. Pola Permukiman Desa Terpusat
Keterangan:
1. Daerah permukiman
penduduk
2. Daerah pengembangan
permukiman penduduk
3. Daerah kawasan industri
kecil
1
33
2
2
Sumber: Geografi Kota dan Desa, 1987
8. 21
kemudian secara wajar artinya tanpa direncanakan desa mekar, tanah
pertanian di luar desa sepanjang jalan raya menjadi pemukiman baru.
Memang ada kalanya juga pemekaran ke arah pedalaman sebelah
menyebelah jalan raya. Maka kemudian harus dibuatkan jalan baru
mengelilingi desa, jadi semacam ring road dengan maksud agar kawasan
pemukiman baru tak terpencil.
4. Bentuk desa yang mengelilingi fasilitas tertentu
Terdapat di dataran rendah. Yang dimaksud cengan fasilitas misalnya mata
air, waduk, lapangan terbang, dan lain-lainnya. Arah pemekarannya dapat
ke segala jurusan, sedangkan fasilitas untuk industri kecil dapat disebarkan
ke segala tempat sesuai dengan keinginan setempat.
Gambar 2.3. Pola Permukiman Desa Linier/Memanjang Jalan
Jalur Jalan
Keternagan:
1. Arah pengembangan
2. Jalan tembus
3. Daerah industry kecil
4. Lahan pertanian
Sumber: Geografi Kota dan Desa, 1987
1
4
3 3
2
2
Keterangan:
1. Daerah permukiman penduduk
2. Arah pengembangan
permukiman penduduk
3. Daerah kawasan industri kecil
4. Fasilitas yang telah ada
9. 22
Menurut Sujarto (1979), pola permukiman desa dibagi menjadi 2 pola
adalah sebagai berikut:
1. Pola permukiman terkonsentris
Pola persebaran permukiman mengelompok tersusun dari dusun-dusun
atau bangunan-bangunan rumah yang lebih kompak dengan jarak tertentu.
Gathered Settlements (terkonsentris) karena :
Daerah-daerah yang memiliki tanah-tanah subur, dapat mengikut
tempat kediaman penduduk dalam satu kelompok.
Daerah-daerah dengan relief yang sama, misalnya dataran-dataran
rendah menjadi sasaran penduduk untuk bertempat tinggal.
Daerah-daerah dengan permukaan air tanah yang dalam menyebabkan
adanya sumur-sumur yang sangat sedikit, karena pembuatan sumur-
sumur itu akan memakan biaya dan waktu yang banyak.
Daerah-daerah dimana keadaan keamanan belum dapat dipastikan, baik
karena gangguan binatang maupun gangguan suku bangsa yang sedang
bermusuhan dapat berpengaruh terhadap timbulnya pengelompokan
tempat kediaman.
10. 23
2. Pola permukiman tersebar
Pola persebaran permukiman menyebar terdiri dari dusun-dusun dan atau
bangunan-bangunan rumah yang tersebar dengan jarak tidak tertentu. Fragmented
Settlements (tersebar) karena :
Daerah-daerah banjir dapat merupakan pemisah antara permukiman
perdesaan satu dengan lainnya.
Daerah-daerah dengan topografi kasar menyebabkan rumah penduduk
desa tersebar.
Permukaan air tanah yang dangkal memungkinkan pembuatan sumur-
sumur di setiap tempat, keamanan terjamin.
Sedangkan menurut Snyder (1989), disebutkan bahwa pola ruang sangat
berkaitan dengan sistem sirkulasi, karena melalui sirkulasi ruang-ruang dalam suatu
wilayah dapat berhubungan, sekaligus menggambarkan berbagai fungsi
pergerakannya. Dengan cara lain dapat di sebutkan bahwa pola ruang diawali
dengan menetapkan pola sirkulasi, seperti misalnya dalam perencanaan tata ruang
kota, permukiman, perumahan dan sebagainya. Pola-pola dimaksud adalah, 1)
melingkar atau radial, 2) kisi-kisi atau disebut juga papan catur, 3) linear, 4)
organik, dan 5) kombinasi dari semua pola. Lebih jelasnya dapat di lihat pada
gambar di bawah ini.
11. 24
2) Pola Permukiman Tradisional Desa Adat Bali
Pola Tata Ruang Desa di Bali menurut Ardi P. Parimin dibagi ke dalam
dua tipe yakni pertama ada Pola Linear yang terdapat pada Desa Bali Aga yaitu
desa yang sudah tua terdapat hanya beberapa saja dari jumlah desa Bali dataran.
Secara garis besar gambaran fisiknya adalah membentuk ruang terbuka secara
linear membentang arah Utara-Selatan (kaja-kelod) yang membagi Desa menjadi
dua bagian. Yang ke-2 adalah Pola Crossroad yang terdapat pada desa Bali dataran
yang merupakan tipe pola yang masih muda dan terdiri dari sebagian besar desa di
Bali. Secara garis besar gamabaran fisiknya adalah membentuk jalan silang
(crossroad), yang terdiri dari dua sumbu yakni sumbu Utara-Selatan yang
merupakan sumbu jalan utama dan sumbu jalan Timur-Barat.
Pola tata ruang tradisional arsitektur Bali menurut Sastrowardoyo dalam
pengenalan arsitektur Bali tahun 1987 memiliki nilai-nilai tradisional asli,
menurutnya bahwa segala sesuatu dalam kehidupan asli masyarakat tradisional Bali
satu dengan yang lainnya, sangat berkaitan erat untuk menjadi satu kesatuan tanpa
memisahkan keseluruhan aspek perencanaanya, tanpa kehilangan suatu makna
dalam nilai tersebut. Dalam seminarnya “The AgaKhan Awards for Architecture”
12. 25
di Bali, 1987 memperkenalkan tiga pola khas bentuk desa di Bali yaitu pola linier,
pola kombinasi dan pola jalan lintas serta pola desa pada umumnya dengan
perpaduan antara pola ketiganya di Bali, untuk lebih jelasnya dilihat pada gambar
2.6; gambar 2.7; gambar 2.8.
Gambar 2.6. Pola Linier (Linier Pattern)
Sumber: Sastrowardoyo,1987
13. 26
Gambar 2.7. Pola Kombinasi (Combination)
Sumber: Sastrowardoyo,1987
Gambar 2.8. Pola Jalan Lintas (Cross Pattern)
Sumber: Sastrowardoyo,1987
14. 27
Pola ruang tradisional desa adat di Bali menurut Budiharjo, 1985 dalam
Wiraatmaja terdapat pola Pempatan Agung yang disebut Nyatur Desa (Nyatur
Muka/Catus Patha), dimana dua jalan utama yang menyilang desa, timur-barat dan
utara-selatan membentuk silang pempatan sebagai pusat desa. Balai Banjar sebagai
pusat pelayanan sub lingkungan menempati lokasi di sekitarnya dengan jalan-jalan
sub lingkungan sebagai cabang-cabang jalan utamanya. Pada Perempatan Agung
ini, Pura Desa dan Pura Puseh atau Puri menempati zone kaja kangin (timur laut),
Balai Banjar menempati zone kajakauh (barat laut), lapangan desa menempati zone
kelod kangin (tenggara) dan zone kelod kauh (barat daya) dialokasikan sebagai
pusat desa. Kuburan desa ditempatkan di luar desa pada arah kelod atau arah kauh
yang merupakan zone dengan nilai rendah (nista). Tata letak perumahan dan
bangunan-bangunan pelayananan disesuaikan dengan keadaan alam dan adat
setempat. Areal sekeliling perempatan tersebut merupakan area bersama yang
berfungsi sebagai fasilitas sosial selengkapnya terlihat pada gambar 2.9.
Ket:
a -
Halaman/Bencingah
Utara
15. 28
2.1 4. Pengertian Lahan
Pada dasarnya secara umum lahan memiliki karakteristik yang
membedakan dengan sumber daya alam yang lain (Kaiser, Godschalk, and Chapin,
1995) dalam (Ciputra 2012), yaitu:
a. Lahan mempunyai sifat tertentu yang berbeda dengan sumber daya lain,
meliputi:
- Lahan merupakan aset ekonomis yang tidak terpengaruh oleh
penurunan nilai dan harganya tidak terpengaruh oleh faktor waktu.
- Jumlah lahan terbatas dan tidak dapat bertambah, kecuali melalui
reklamasi.
- Lahan secara fisik tidak dapat dipindahkan, sehingga lahan yang luas di
suatu daerah merupakan keuntungan bagi daerah tersebut yang tidak
dapat dialihkan dan dimiliki oleh daerah lain.
Perumahan
Perumahan
1
23
4
a
bc
d
16. 29
b. Lahan mempunyai nilai dan harga.
c. Hak atas lahan dapat dimiliki dengan aturan tertentu.
Menurut Jayadinata (1992) lahan berarti tanah yang sudah ada
peruntukannya dan umumnya ada pemiliknya (perorangan atau lembaga).
Sedangkan menurut Sugandhy (1999) lahan merupakan permukaan bumi sebagai
tempat berlangsungnya aktivitas manusia. Lahan adalah sumber daya alam yang
terbatas, dimana dalam penggunaanya memerlukan penataan, penyediaan, dan
peruntukannya dirumuskan dalam rencana-rencana dengan maksud demi
kesejahteraan masyarakat.
Lichfild dan Drabkin (1980) membagi pengertian lahan menjadi dua segi,
berdasarkan segi geografi fisik lahan adalah tanah yang tetap dalam lingkungannya
dan kualitas fisik tanah sangat menentukan fungsinya. Menurut segi ekonomi lahan
adalah sumber alamiah yang nilainya tergantung dari produksinya, lahan
merupakan suatu komoditi yang memiliki harga, nilai dan biaya. Sedangkan
pengertian lahan menurut (Sugandhy, 1989:1) dalam (Elfiansyah, dkk, 2013)
merupakan sumber daya alam yang terbatas yang dalam penggunaannya
memerlukan penataan, penyediaan, dan peruntukannya secara berencana untuk
maksud-maksud penggunaan bagi kesejahteraan masyarakat.
Lahan mempunyai arti penting bagi para stakeholder yang
memanfaatkannya. Fungsi lahan bagi masyarakat sebagai tempat tinggal dan
sumber mata pencaharian. Bagi petani, lahan merupakan sumber memproduksi
makanan dan keberlangsungan hidup. Bagi pihak swasta, lahan adalah aset untuk
mengakumulasikan modal. Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan suatu
17. 30
negara dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Adanya banyak kepentingan yang saling
terkait dalam penggunaan lahan menjadikan lahan mempunyai nilai tersendiri
dalam peruntukannya.
2.1 5. Pengertian Alih Fungsi Lahan
Konversi lahan atau alih fungsi lahan adalah berubahnya satu penggunaan
lahan ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul akibat konversi
lahan, banyak terkait dengan kebijakan tataguna tanah (Ruswandi 2005). Menurut
Kustiawan (1997) alih fungsi atau konversi lahan secara umum menyangkut
transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke
penggunaan lainnya. Alih fungsi lahan umumnya terjadi di wilayah sekitar
perkotaan dan dimaksudkan untuk mendukung perkembangan sektor industri dan
jasa.
Menurut Soetomo, (2009) perkembangan industri tradisional yang banyak
berkembang dari teknologi pedesaan, teknologi yang bersumber dari sumber daya
lokal baik sumber daya alam maupun manusia menciptakan manufaktur yang
berakar pada sejarah, budaya dan sumber daya lokal. Namun akhirnya
perkembangan kerajinan yang menarik menjadi konsumsi perkotaan, beraglomerasi
di pedesaan menciptakan industrial cluster, kehidupan industri pedesaan tersebut
memacu perkembangan jasa-jasa yang datang dari luar dan menghasilkan
pertumbuhan perkotaan, kekuatan lokal pedesaan dapat menumbuhkan
perkembangan kota sebagai kekuatan modernisasi atau kemajuan sehingga
18. 31
terjadinya implikasi perkembangan terhadap pembangunan desa yang berdampak
pada alih fungsi lahan.
Alih fungsi lahan dapat bersifat permanen dan juga dapat bersifat
sementara (Utomo 1992). Jika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi
kawasan pemukiman atau industri, maka alih fungsi lahan bersifat permanen. Akan
tetapi, jika sawah tersebut berubah menjadi perkebunan tebu, maka alih fungsi
lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun-tahun berikutnya dapat
dijadikan sawah kembali. Alih fungsi lahan permanen biasanya lebih besar
dampaknya dari pada alih fungsi lahan sementara.
Lestari (2009) dalam (Mustopa, 2011) mendefinisikan alih fungsi lahan
atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian
atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan)
menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan
dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai
perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis
besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin
bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih
baik.
Winoto (2005) dalam (Mustopa, 2011) mengemukakan bahwa lahan
pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut
disebabkan oleh :
1. Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agro ekosistem
dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agro
19. 32
ekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih
inggi.
2. Daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah
perkotaan.
3. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya. Infrastruktur wilayah
persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering.
4. Pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan
sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar,
dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu.
Menurut Irawan (2005) dalam Mustopa 2013, ada dua hal yang
mempengaruhi alih fungsi lahan. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan
perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di
lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan
pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh
investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat.
Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di
sekitarnya untuk menjual lahan.
Menurut Fauziah (2005) dalam Mustopa 2011, menyebutkan bahwa alih
fungsi lahan yang terjadi di Indonesia bukan hanya karena peraturan perundang-
undangan yang tidak efektif, baik itu dari segi substansi ketentuannya yang tidak
jelas dan tegas, maupun penegakannya yang tidak didukung oleh pemerintah sendiri
sebagai pejabat yang berwenang memberikan izin pemfungsian suatu lahan. Tetapi
juga tidak didukung oleh tidak menariknya sektor pertanian itu sendiri. Langka dan
20. 33
mahalnya pupuk, alat-alat produksi lainnya, tenaga kerja pertanian yang semakin
sedikit, serta diperkuat dengan harga hasil pertanian yang fluktuatif, bahkan
cenderung terus menurun drastis mengakibatkan minat penduduk (atau pun sekedar
mempertahankan fungsinya) terhadap sektor pertanian pun menurun. Sedangkan
menurut Pakpahan (dalam Fanny Anugrah K, 2005) menyebutkan bahwa konversi
lahan di tingkat wilayah secara tidak langsung dipengaruhi oleh : 1) Perubahan
struktur ekonomi; 2) Pertumbuhan penduduk; 3) Arus urbanisasi; 4) Konsistensi
implementasi rencana tata ruang; 5) Pertumbuhan pembangunan sarana
transportasi; 6) Pertumbuhan lahan untuk industry; 7) Pertumbuhan sarana
pemukiman; 8) Sebaran lahan sawah.
2.1 6. Perubahan Dalam Pemanfaatan Lahan
Perubahan jenis lahan merupakan penambahan penggunaan jenis lahan di
satu sektor dengan diikuti pengurangan jenis lahan di sektor lainnya, dengan kata
lain perubahan penggunaan lahan merupakan berubahnya fungsi lahan pada periode
waktu tertentu, misalnya saja dari lahan pertanian digunakan untuk lahan non
pertanian. Menurut Wahyunto (2001) dalam Mustopa (2011), perubahan
penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari.
Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua
berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Menurut Irawan (2005) dalam Mustopa (2011), ada dua hal yang
mempengaruhi alih fungsi lahan. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan
21. 34
perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di
lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan
pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh
investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat.
Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di
sekitarnya untuk menjual lahan.
Sumaryanto dan Tahlim (2005) mengungkapkan bahwa pola konversi
lahan dapat ditinjau dalam beberapa aspek. Pertama, alih fungsi secara langsung
oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Lazimnya motif tindakan ada 3 yaitu (a)
untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal, (b) dalam rangka meningkatkan
pendapatan melalui alih usaha, (c) kombinasi dari (a) dan (b) seperti pembangunan
rumah sekaligus dijadikan tempat usaha. Pola alih fungsi lahan ini terjadi
disembarang tempat, kecil-kecil dan tersebar. Dampak alih fungsi lahan dengan
pola ini terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya baru significant untuk jangka
waktu lama. Kedua, alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan lahan. Pemilik
menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha nonpertanian
atau kepada makelar. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini terjadi dalam
hamparan yang luas, terkonsentrasi, dan umumnya berkorelasi positif dengan
proses urbanisasi (pengkotaan). Dampak alih fungsi lahan terhadap eksistensi lahan
sawah sekitarnya berlangsung cepat dan nyata.
Menurut Jayadinata (1999), penentu guna lahan bersifat ekonomi dan
kepentingan umum, yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi berkaitan erat
dengan daya guna dan biaya ekonomi itu sendiri. Aspek ekonomi yang diteliti
22. 35
ditinjau dari harga lahan dan kenaikan harga lahan. Harga lahan (land price)
merupakan refleksi atau perwujudan dani nilai lahan (land value) dalam pasar lahan
(land market) yang diukur menurut satuan mata uang tertentu (cash market value)
dalam transaksi (Hermit, 2009). Terdapat nilai sosial dalam penggunaan lahan yang
berhubungan dengan kebiasaan, sikap moral, pantangan, pengaturan pemerintah,
peninggalan kebudayaan, pola tradisional dan sebagainya. Tingkah laku dan
tindakan manusia dalam tata guna lahan dipengaruhi oleh kebutuhan dan keinginan
manusia yang berlaku baik dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan
ekonomi.
Menurut Bourne (1982) dalam Raharjo 2013, terdapat beberapa proses
yang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan, yaitu: 1) Perluasan
batas kota; 2) Peremajaan di pusat kota; 3) Perluasan jaringan infrastruktur
terutaman jaringan transportasi; dan 4) Tumbuh dan hilangnya pemusatan aktivitas
tertentu, misalnya tumbuhnya aktivitas industri dan pembangunan sarana
rekreasi/wisata.
Menurut Chapin, (1996) perubahan guna lahan adalah interaksi yang
disebabkan oleh tiga komponen pembentuk guna lahan, yaitu sistem pembangunan,
sistem aktivitas dan sistem lingkungan hidup. Didalam sistem aktivitas, konteks
perekonomian aktivitas perkotaan dapat dikelompokkan menjadi kegiatan produksi
dan konsumsi. Kegiatan produksi membutuhkan lahan untuk berlokasi dimana akan
mendukung aktivitas produksi diatas. Sedangkan pada kegiatan konsumsi
membutuhkan lahan untuk berlokasi dalam rangka pemenuhan kepuasan.
Perubaban guna lahan juga dapat terjadi karena pengaruh perencanaan guna lahan
23. 36
setempat yang merupakan rencana dan kebijakan guna lahan untuk masa
mendatang, proyek pembangunan, program perbaikan pendapatan, dan partisipasi
dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dari pemerintah
daerah. Perubahan guna lahan juga terjadi karena kegagalan mempertermukan
aspek dan politis dalam suatu manajemen perubahan guna lahan (Chapin, Kaiser,
Godschalk 1995).
Konflik atau ketidaksesuaian kepentingan dua pihak atau lebih terhadap
satu atau lebih masalah, sering terjadi dalam perubahan pemanfaatan lahan. Pihak-
pihak sering konflik ini berkaitan langsung dengan aktor-aktor yang terlibat di
dalam perubahan pemanfatan lahan,yaitu:
1. Developer/Investor, merupakan pihak yang menuntut perubahan
pemanfaatan lahan yang biasanya lebih memperhitungkan keuntungan
yang akan diperoleh daripada developer/investor tidak mau
menanggungnya.
2. Pemerintah kota, adalah pihak yang berhadapan dan langsung dengan
dampak negatif perubahan pemanfaatan lahan serta terhadap penataan dan
pelayanan kota secara keseluruhan.
3. Masyarakat, adalah pihak yang seringkali terkena dampak/eksternalitas
negatif suatu perubahan pemanfaatan lahan, seperti kemacetan lalu lintas,
berkurangnya kenyamanan dan privasi.
Zulkaidi dalam tulisannya membagi 4 kasus tipe kemungkinan persoalan
perubahan atau pergeseran pemanfaatan lahan yang dapat terjadi, baik perubahan
pemanfaatan lahan yang direncanakan maupun tidak (Zulkaidi, 1999). Terdapat tiga
24. 37
faktor yang memberikan pengaruh kuat dalam pergeseran dan perubahan
penggunaan lahan yaitu:
a. Faktor Ekonomi, dari segi pandang ahli ekonomi, lahan dipandang dalam
konteks teori ekonomi. Pandangan ini menyatakan bahwa penggunaan
lahan perkotaan ditentukan oleh pasar lahan perkotaan. Hal ini berarti
lahan dilihat sebagai komoditi yang dapat diperdagangkan sehingga
penggunaan sebidang lahan ditentukan oleh tingkat permintaan dan
penawaran. Sesuai dengan teori pertimbangan klasik harga lahan menjadi
fungsi dari biaya untuk menjadikan lahan tersebut produktif dan fungsi
dari pendapatan yang dihasilkan melalui pengembangan sebidang lahan.
b. Faktor Sosial, berpengaruh sebagai perubahan penggunaan lahan sebagai
akibat dari proses ekologi dalam konteks fisik kota dan proses organisasi
dalam konteks struktur sosial masyarakat. Proses-proses yang membawa
konsekuensi dari dominasi, gradasi, segresasi, sentralisasi, invasi, suksesi.
c. Faktor Kepentingan Umum, berpengaruh terhadap perubahan penggunaan
lahan karena pengaruh aspek-aspek berikut:
Kendali terhadap tujuan-tujuan masyarakat dan kepentingan umum.
Pengaruh tindakan untuk mencapai dan meningkatkan kelayakan hidup
dalam suatu kualitas lingkungan fisik tertentu yang lebih baik.
2.1.7. Kebijauakan Tata Ruang
1) Kebijakan Tata ruang kawasan dalam peruntukan lahan
Dalam Undang-Undang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali
Nomer 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa:
25. 38
1. Kawasan Limitasi merupakan kawasan yang tidak dapat dikembangkan
sama sekali yang memiliki ratio tutupan lahan sama dengan 0% sehingga
tidak boleh ada bangunan di dalam kawasan ini. Kawasan Limitasi yang
ditetapkan adalah : Kawasan Suci merupakan kawasan yang dipandang
memiliki nilai kesucian oleh umat Hindu di Bali. Kawasan suci
diantaranya pantai, campuhan (pertemuan sungai), mata air (beji), catus
patha/pempatan agung dan setra/kuburan Hindu. Lokasi kawasan suci
tersebut diantaranya di Pantai Canggu dan Pantai dekat Pura Petitenget.
2. Akomodasi Wisata adalah merupakan kawasan perhotelan yang
dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjangnya yang berfungsi
sebagai penunjang kegiatan pariwisata. Pengembangan akomodasi wisata
diarahkan di Kelurahan Kerobokan Kelod, Desa Tibubeneng dan Canggu
dengan lokasi sekitar pantai sampai dengan rencana jalan tembus ke Tanah
Lot.
Fasilitas penunjang akomodasi yang diijinkan pada kawasan akomodasi
wisata berupa :
Kegiatan perdagangan dan jasa berupa toko kerajinan/kesenian (art
shop) dengan jenis barang dagangan berupa barang hasil
kerajinan/kesenian, makanan dan minuman.
Restoran/rumah makan dan café.
Salon, spa dan massage.
Money Changer.
Bangunan kesenian dan atraksi wisata.
26. 39
Fasilitas hiburan dan rekreasi di dalam/luar gedung seperti bar, diskotik,
karaoke dan hiburan/rekreasi sejenisnya.
Fasilitas kesehatan seperti klinik dan rumah sakit.
Untuk pengembangan usaha/kegiatan dengan luasan lahan di atas 5000 m2
pada peruntukkan kawasan akomodasi wisata diwajibkan untuk
menyediakan fasilitas utama berupa akomodasi (penginapan) dengan
perbandingan maksimal 70 % untuk akomodasi dan 30 % untuk fasilitas
penunjang akomodasi dari Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang
diijinkan.
3. Zona Rekreasi Air ;
Kegiatan yang diijinkan meliputi aktivitas rekreasi massa meliputi mandi,
renang, windsurfing, surfing, kano, sepeda air dan lain-lain yang
membutuhkan tingkat keamanan yang tinggi baik keamanan mekanik dari
aktivitas lainnya maupun keamanan faktor oseanografi serta pencemaran
yang diakomodasikan di Pantai Canggu.
2.1.8. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan
Menurut Lestari (2009), proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan
nonpertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Ada tiga faktor penting
yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:
27. 40
1. Faktor Eksternal, merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya
dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi.
2. Faktor Internal, disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga
pertanian pengguna lahan.
3. Faktor Kebijakan, yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah
pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan
pertanian. Kelemahan pada aspek regulasi atau peraturan itu sendiri
terutama terkait dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan
akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi.
Dalam kegiatan alih fungsi lahan sangat erat kaitannya dengan permintaan
dan penawaran lahan. Adanya ketidakseimbangan antara penawaran dan
permintaan dimana penawaran terbatas sedangkan permintaan tak terbatas
menyebabkan alih fungsi lahan. Menurut Barlowe (1978), faktor-faktor yang
mempengaruhi penawaran lahan adalah karateristik fisik alamiah, faktor ekonomi,
faktor teknologi, dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan lahan adalah populasi penduduk, perkembangan
teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan, pendapatan dan
pengeluaran, selera dan tujuan, serta perubahan sikap dan nilai-nilai yang
disebabkan oleh perkembangan usia.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ilham, dkk (2003) diketahui
faktor penyebab alih fungsi lahan dari sisi eksternal dan internal petani, yakni
tekanan ekonomi pada saat krisis ekonomi. Hal tersebut menyebabkan banyak
petani menjual asetnya berupa sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
28. 41
berdampak meningkatkan alih fungsi lahan sawah dan makin meningkatkan
penguasaan lahan pada pihak-pihak pemilik modal.
Menurut Wicaksno (2007), faktor lain penyebab alih fungsi lahan
pertanian terutama ditentukan oleh: 1) Rendahnya nilai sewa tanah (land rent);
lahan sawah yang berada di sekitar pusat pembangunan dibandingkan dengan nilai
sewa tanah untuk pemukiman dan industri. 2) Lemahnya fungsi kontrol dan
pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait. 3) Semakin menonjolnya tujuan
jangka pendek yaitu memperbesar pendapatan asli daerah (PAD) tanpa
mempertimbangkan kelestarian (sustainability) sumber daya alam di era otonomi.
Pierce dan Firman (1997) dalam Raharjo (2013), yang menyebutkan
bahwa terdapat 7 faktor mayor yang mempengaruhi konversi lahan. Faktor tersebut
antara lain (1) perubahan populasi, (2) dominansi fungsi ekonomi, (3) ukuran kota,
(4) nilai rata-rata lahan perumahan, (5) kepadatan penduduk, (6) kondisi geografis
wilayah, dan (7) potensi agrikultural dari lahan.
Sedangkan Setiawan dan Purwanto (1994) dalam Raharjo (2013),
membagi faktor yang mempengaruhi konversi lahan menjadi 2, faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut antara lain kondisi urbanisasi dan sosio
ekonomi kota, lokasi dan potensi lahan, pola kepemilikan yang termasuk ukuran
lahan dan pendapatan serta ukuran rumah tangga.
Dahuri et al. (2001) dalam Raharjo (2013), menekankan faktor alih fungsi
lahan pada aspek pariwisata, bahwa bila suatu wilayah pesisir dibangun untuk
tempat rekreasi (pariwisata), biasanya fasilitas-fasilitas pendukung lainnya juga
berkembang pesat. Komponen pariwisata merupakan bagian dari sebuah kesatuan
29. 42
dalam lingkungan alam, sosial dan ekonomi serta pasar yang menyediakan
pelayanan untuk atraksi wisata, fasilitas, jasa dan infrastruktur pendukungnya.
Unsur-unsurnya meliputi atraksi dan aktivitas wisata, akomodasi, jasa dan fasilitas
pariwisata, transportasi, infrastruktur dan elemen institusi yang ada di kawasan
wisata.
Menurut Notohadi prawiro (1986) dalam Raharjo (2013), menekankan
faktor alih fungsi lahan pada aspek lahan dimana kemampuan lahan dan kesesuaian
lahan sangat menentukan dalam kelayakan penggunaan lahan yang menjadi
pertimbangan dasar dalam penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang tidak sesuai
fungsi kawasan peruntukannya akan mengakibatkan kerugian bahkan mengancam
keselamatan dan membahayakan jiwa. Kebijakan pemerintah menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan. Kebijakan pemerintah dapat
berupa kebijakan langsung seperti arahan penggunaan lahan di suatu kawasan dan
kebijakan tidak langsung yang mengatur tentang ekonomi makro atau perpajakan.
Lebih lanjut menurut Zahnd (1999) dalam Raharjo (2013), ada 3 kebijakan
pemerintah yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan, yaitu : 1) Privatisasi
pengembangan kawasan industry; 2) Pembangunan permukiman skala besar dan
kota baru; 3) Deregulasi investasi dan perijinan lokasi
Yunus (2008) menjelaskan faktor kenaikan harga lahan yang dapat
menyebabkan perubahan lahan pertanian menjadi non-pertanian, kenaikan harga
lahan akibat semakin berkembangnya daerah pinggiran dan bertambahnya
permintaan lahan mendorong petani untuk menjual lahannya dan kemudian
membeli lahan lain yang tidak jauh dri lahannya semula untuk dijadikan sebagai
30. 43
tempat usaha non pertanian yang mendatangkan pendapatan yang lebih
menjanjikan dari pada pendapatannya sebagai petani. Menurut (Bryant, Russwurm
dan McLellan, 1982; Wadhva, 1982; Yunus, 2001), menambahkan enam faktor
yang mempengaruhi variasi harga lahan yaitu
1. Karakteristik fisik lahan, rona lahan yang terbentuk dari adanya factor-
faktor yang melekat dengan lahan, kondisi lingkungan yang berpariasi
menciptakan karakteristik lahan berpariasi seperti fisikal alami lingkungan
aksesibilitas fisik dengan keberadaan prasarana dan sarana transportasi,
keberadaan utilitas umum dan keberadaan dan kedekatan dengan pusat
kota.
2. Keberadaan Peraturan, dapat menyebabkan pariasi hara lahan adanya
berbandingan antara peruntukan pemanfaatan lahan yang dikenai
peraturan tidak akan menarik bagi pembeli sedangkan, lahan yang sudah
diperuntukkan menarik penduduk untuk dimanfaatkan, dari hal ini
peruntukan mengakibatkan kemantapan psikologi bagi pembeli.
Banyaknya pihak yang membutuhkan lahan dan sedikitnya ketersediaan
lahan akan memicu melambungnya harga pasaran lahan.
3. Karakteristik pemilik lahan, perbandingan antara pemilik lahan dengan
status ekonomi kuat lebihtahan untuk menahan transaksi jual beli lahannya
sampai pada suatu saat dimana harga lahan dianggap paling tinggi
sedangkan berstatus sosial ekonomi lemah sangat mudah.
31. 44
Lee 1979 dalam Yunus (2005:60) mengemukakan bahwa terdapat 6
(enam) faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan ruang kekotaan yang
biasanya terdapat di pinggiran kota/ perkembangan horizontal sentrifugal kota yaitu
1. Faktor aksesibilitas. Dalam hal ini adalah akasesibilitas fisik wilayah,
dimana semakin mudah suatu tempat untuk dijangkau maka akan semakin
menarik terhadap penduduk maupun fungsi kekotaan untuk
memanfaatkannya sebagai lokasi tempat tinggal atau kedudukan
kegiatannya.
2. Faktor pelayanan umum. Bagian pinggiran kota yang terdapat pusat-pusat
pelayanan umum seperti kampus pendidikan, perkantoran, industri,
perdagangan atau sejenisnya akan mempunyai daya tarik (magnetic
forces) yang lebih besar bila dibandingkan dengan daerah yang tidak
mempunyai hal tersebut diatas. Makin banyak jenis dan macam pelayanan
umum yang terkonsentrasi pada suatu wilayah, maka akan semakin besar
daya tariknya terhadap penduduk dan fungsi-fungsi kekotaan yang ada.
3. Faktor karateristik lahan. Oleh karena sebagian besar bangunan baru di
daerah pinggiran kota akan digunakan untuk beragam fungsi seperti
permukiman maupun tempat mengakomodasikan prasarana penunjang
kegiatan, maka lahan-lahan dipinggiran kota yang mempunyai
karakterisasi bebas banjir, topografi relatif datar, stabilitas tanah yang
tinggi, air tanah relatif dangkal, relief mikronya tidak menyulitkan
pembangunan, drainase baik, terbebas dari polusi air, tanah dan udara akan
mempunyai daya tarik yang lebih besar terhadap penduduk maupun
32. 45
fungsi-fungsi lain kekotaan dibandingkan dengan daerah yang skor
komposit variabel karateristik lahannya lebih rendah.
4. Faktor karateristik pemilik lahan. Beberapa penelitian mengindikasikan
bahwa karateristik pemilik lahan di daerah pinggiran kota, didominasi oleh
pemiliki yang berstatus ekonomi lemah. Sehingga, kecenderungan untuk
menjual lahannya lebih kuat dan transaksi jual beli lahan akan lebih
intensif dibandingkan dengan daerah yang didominasi oleh pemilik lahan
berstatus ekonomi kuat. Spekulasi harga lahan yang semakin meningkat
tingi berbanding terbalik dengan upaya pengolahan lahannya yang tidak
menguntungkan.
5. Faktor keberadaan peraturan tentang tata ruang. Peraturan tata ruang
berpengaruh kuat terhadap intensitas perkembangan spasial didaerah
pinggiran kota dengan syarat peraturan yang ada dilaksanakan secara
konsisten dan konsekwen. Peraturan yang ada harusnya membatasi
perkembangan dan pembangunan fisikal dikawasan pinggiran kota dengan
delimitasinya terhadap ruang terbuka hijau misalnya.
6. Faktor prakarsa pengembang. Oleh karena pengembang selalu
menggunakan ruang yang luas, maka keberadaan kompleks yang dibangun
akan berimplikasi signifikan dengan lingkungan sekitar. Maraknya
perkembangan perumahan misalnya, akan diikuti oleh pembangunan
sarana prasarana berupa fasilitas penunjang dengan skala yang cukupbesar
juga. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh
penentu kebijakan tata ruang untuk mengantisipasi ekspansi pengembang
33. 46
yaitu (1) para pengembangan selalu berorientasi pada maksimasi profit,
dan (2) sedangkan perencana lebih berorientasi pada maksimasi
kesejahteraan penduduknya yang merupakan kontradiksi dari orientasi
pengembang.
2.2. Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka pemikiran berdasarkan sintesa tinjauan teori di atas dapat dilihat
pada Gambar 2.10. berikut ini.
34. 47
kehidupan sosial yang tidak teratur, tingkat
ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas
sosial yang rendah, kurangnya infrastruktur,
tata guna lahan yang tidak teratur serta
kondisi rumah yang kurang sehat
Fenomena Kampung Kota
Seperti apakah karakteristik
keruangan kampung kota di
Dusun Wanasari, Denpasar
Faktor-faktor apa yang
mempengaruhi bentuk
morfologi kampung kota di
Dusun Wanasari, Denpasar
Identifikasi karakteristik
keruangan pada Kampung
Kota Dusun Wanasari,
Denpasar
Analisis karakteristik
keruangan pada Kampung
Kota Dusun Wanasari,
Denpasar
Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi bentuk
morfologi kampung kota di
Dusun Wanasari, Denpasar
Teori Morfologi
kampung kota
Teori Figure Ground
Teori Linkage
Teori Place
Tujuan Studi:
Faktor-faktor yang mempengaruhi
bentuk morfologi kampung kota
di Dusun Wanasari, Denpasar
Gambar 2.10.
Kerangka Pikir Penelitian
Klasifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan
Identifikasi faktor-faktor
yang mempengaruhi
bentuk morfologi
kampung kota di Dusun
Wanasari, Denpasar
meningkatnya kebutuhan lahan permukiman yaitu
bertambahnya kebutuhan lahan baru untuk permukiman
dalam rangka menampung pertumbuhan penduduk yang
demikian cepat dan hal ini menimbulkan meningkatnya
kepadatan
Teori Morfologi
kampung kota
Teori Figure Ground
Teori Linkage
Teori Place
Karakteristik kampung
kota
Ciri-ciri kampung kota
Pola kampung
Tinjauan Desa Adat di
Bali