1. Teknik pada Fotograhpy
1. Teknik Panning
Berikut langkah-langkahnya:
1. Set di Time priority
2. Setting timenya 1/15 detik
3. ISO 100
4. AI SERVO
5. Sambil foto ikuti gerakan, klik shutter, masih mengikuti gerakan
2. Teknik Foto Kembang Api
2. Berikut langkah-langkahnya
1. Tentukan tempat yang anda anggap bagus
2. Pastikan tidak ada halangan di udara seperti asap
3. Setting di Time Priority, set di 4 detik
4. ISO 400
5. Pasang di tripod
6. Perhatikan baik-baik situsi, sesaat setelah kembang api menyala, tekan tombol sutter
Teknik Memperbaiki Gambar
Memahami Keterkaitan ISO dan Noise Dalam Fotografi Digital
Perhatian:
Semua isi dokumen ini adalah hak milik Intellectual Property (IP) copyright dari Focus Nusantara,
dilarang meng-copy atau memindahkan kedalam bentuk, format atau media apapun tanpa
persetujuan tertulis (written consent) dari Focus Nusantara.
Tiga komponen dasar eksposur dalam fotografi adalah kecepatan shutter, bukaan diafragma
dan besaran ISO. Istilah ISO sendiri pada fotografi digital diartikan sebagai nilai sensitivitas
sensor menangkap cahaya. Istilah ISO ini tak ubahnya seperti ISO pada era fotografi film dimana
nilai ISO mewakili sensitivitas film yang digunakan. Pada fotografi digital kita dimudahkan dalam
menentukan nilai ISO ini dengan hanya memilih lewat menu yang ada pada kamera. Nilai ISO
pada kamera digital bisa dipilih mulai dari ISO terendah (ISO dasar) hingga ISO tertinggi dengan
kelipatan faktor 2 :
ISO 100 - ISO 200 - ISO 400 - ISO 800 - ISO 1600 - ISO 3200 dst
Setiap nilai ISO dinaikkan satu tingkat (satu stop) maka kemampuan sensor mengangkap cahaya
juga akan naik satu tingkat. Sehingga semakin tinggi nilai ISO yang digunakan, maka semakin
sensitif sensor dalam menangkap cahaya. Sensor yang sensitif terhadap cahaya memungkinkan
kamera untuk dipakai memotret di tempat yang kurang cahaya (low light). Saat low light, kamera
pada prinsipnya akan mencoba menangkap eksposur yang tepat dengan menurunkan kecepatan
shutter, sehingga sensor mendapat cukup waktu untuk mengumpulkan cahaya sebelum foto
diambil. Memotret dengan shutter yang terlalu lambat punya konsekuensi tersendiri yaitu apapun
yang bergerak akan terekam blur, entah objek yang bergerak atau kamera yang bergerak karena
getaran tangan (handshake). Pemakaian ISO tinggi dapat menghindarkan kita dari masalah ini
karena kita bisa memaksa kamera memakai shutter yang lebih cepat.
Selain itu ISO tinggi bisa memungkinkan pemakaian kecepatan shutter yang tinggi untuk fotografi
kecepatan tinggi (high speed). Adakalanya saat kita perlu memakai kecepatan shutter yang
tinggi, kondisi pencahayaan yang ada ternyata tidak memungkinkan untuk mencapai kecepatan
shutter yang diinginkan, maka kita bisa mencoba menaikkan nilai ISO ini. Jadi menaikkan ISO
tidak selalu hanya dilakukan saat low light saja, pada saat cahaya terang pun kita boleh
menaikkan ISO guna mendapat kecepatan shutter ekstra tinggi.
Sayangnya peningkatan ISO juga akan membawa konsekuensi yang tidak bisa dihindari.
Meningkatkan ISO berarti meningkatkan sinyal output sensor, sehingga sinyal yang tadinya
rendah dapat menjadi tinggi. Masalahnya, pada proses kerja sensor juga menghasilkan noise
yang mengiringi sinyal aslinya. Bila ISO dinaikkan, noise yang awalnya kecil pun akan ikut
menjadi tinggi. Noise yang tinggi akan tampak mengganggu pada hasil foto dan muncul berupa
titik-titik yang tersebar di seluruh bidang foto.
Noise pada hasil foto sebagai efek samping dari pemakaian ISO tinggi bisa merupakan
gabungan dari dua macam noise yang berbeda yaitu luminance noise dan chrominance noise.
Untuk luminance noise bisa kita asumsikan seperti film grain pada era fotografi film, yaitu adanya
titik-titik pada foto yang muncul saat memakai ISO tinggi. Grain ini tergolong tidak terlalu
3. mengganggu karena hanya tampak sangat nyata di area gelap (shadow), bahkan grain bila
dipandang positif bisa memberi kesan detail pada sebuah foto. Kalaupun luminance noise ini
ingin dikurangi, dengan teknik noise reduction sederhana bisa diatur supaya grain ini jadi lebih
soft. Sedangkan chrominance noise muncul sebagai titik-titik warna yang tersebar secara acak
pada bidang foto yang umumnya berwarna magenta atau hijau. Chrominance noise ini merusak
hasil foto secara umum dan sulit dihilangkan meskipun dengan teknik noise reduction.
Masalah noise ini akan lebih parah apabila jenis sensor yang digunakan adalah sensor berukuran
kecil, seperti yang umum dipakai pada kamera saku. Kenapa? Karena sensor kecil memiliki
ukuran titik/piksel yang kecil juga, dan secara teori piksel kecil lebih rentan terhadap noise
dibandingkan piksel berukuran lebih besar. Kondisi ini diperparah lagi saat kamera saku masa
kini justru memaksakan lebih banyak piksel pada keping sensor yang kecil itu. Oleh karena itulah
kamera DSLR tetap lebih baik dalam menghasilkan foto pada ISO tinggi, karena dia memakai
sensor yang lebih besar yang lebih mahal dalam proses produksinya.
Kamera digital masa kini telah memiliki sistem pengurang noise (Noise Reduction/NR) yang
secara otomatis akan mencoba memperhalus hasil foto sebelum disimpan menjadi sebuah file.
Prinsip yang perlu diingat dalam mengurangi noise adalah bagaimana mengurangi noise namun
tetap menjaga detail sebuah foto. Foto yang masih agak noise setelah menjalani proses NR
namun memiliki detail lebih baik masih lebih baik daripada foto yang telah mengalami proses NR
berlebih sehingga bersih dari noise namun detilnya juga ikut hilang.
Beberapa kamera digital terbaru mulai mendesain sensor yang lebih baik dalam mengatasi noise,
sehingga mengindari penggunaan NR secara berlebih. Sensor modern ada yang menerapkan
sistem pixel binning dimana dua piksel bertetangga digabung untuk mendapat sensitivitas ekstra,
seperti pada sensor Super CCD EXR dari Fujifilm. Ada juga teknologi baru dengan menerapkan
sistem back-illuminated sensor seperti pada sensor Sony Exmor-R.
Pengukuran Cahaya (Metering) dan Kaitannya Terhadap Eksposur
Perhatian:
Semua isi dokumen ini adalah hak milik Intellectual Property (IP) copyright dari Focus Nusantara,
dilarang meng-copy atau memindahkan kedalam bentuk, format atau media apapun tanpa
persetujuan tertulis (written consent) dari Focus Nusantara.
Cahaya di alam ini berasal dari banyak sumber dengan intensitas yang beragam, mulai dari sinar
matahari yang sangat terang, berbagai lampu dengan intensitas yang berbeda hingga cahaya
temaram seperti sinar dari sebuah lilin yang intensitasnya rendah. Tingginya variasi tingkat
intensitas cahaya ini harus bisa terekam dengan baik oleh kamera supaya setiap foto yang
dihasilkan tetap memiliki eksposur yang tepat, alias tidak terlalu terang (over) atau terlalu gelap
(under). Untuk itu, seorang fotografer perlu memiliki pemahaman pada prinsip pengukuran
cahaya yang tepat, yang disebut dengan light metering, atau singkatnya cukup disebut dengan
metering.
Tentu saja untuk mengukur cahaya, seorang fotografer tidak cukup dengan mengandalkan
matanya saja. Mata manusia punya sensitivitas yang luar biasa tinggi sehingga dalam kondisi
terang ataupun kurang cahaya, mata manusia bisa menyesuaikan dengan baik. Untuk dapat
mengukur cahaya dengan akurat, seorang fotografer perlu didukung oleh sebuah alat yang
dibuat khusus untuk mengukur intensitas cahaya atau biasa disebut dengan Light Meter. Alat ini
mampu mengukur dengan presisi intensitas cahaya sekitar dan menghitung nilai eksposur terbaik
yang akan jadi acuan sang fotografer sehingga setiap foto yang diambilnya akan selalu memiliki
4. eksposur yang tepat. Sayangnya alat semacam ini harganya cukup mahal dan biasanya dipakai
hanya untuk keperluan profesional saja.
Untuk pemakaian yang lebih umum, atau pada kamera modern yang serba otomatis, proses
pengukuran cahaya sudah bisa dilakukan oleh kamera sehingga lebih praktis dan mudah. Dalam
hal ini kamera sekaligus berfungsi sebagai light meter. Cukup dengan menekan tombol bidik
setengah, kamera akan menghitung dan menentukan kombinasi nilai kecepatan shutter, bukaan
diafragma lensa dan nilai ISO yang digunakan, secara otomatis dan cepat. Ketiga komponen
diatas diatur sedemikian rupa sehingga dicapai nilai eksposur yang dianggap tepat menurut
kamera. Bila cahaya yang terukur memiliki intensitas yang tinggi, kamera akan memilih nilai
shutter yang cepat, bukaan lensa kecil dan ISO rendah. Bila intensitas cahaya yang terukur
dianggap kurang, kamera akan memilih memakai shutter lambat, bukaan lensa besar dan bila
perlu menaikkan nilai ISO. Pada kamera yang lebih canggih, kita bisa melihat skala light meter
hasil pengukuran dari kamera, dimana indikator tengah menunjukkan eksposur normal,
sedangkan skala ke arah positif menunjukkan over eksposur, dan skala ke arah negatif
menandakan kalau under eksposur. Namun perlu diingat bahwa pengukuran cahaya yang
dilakukan oleh kamera mempunyai perbedaan mendasar bila dibanding dengan mengukur
memakai Light Meter khusus, karena pada prinsipnya light meter pada kamera hanya mengukur
intensitas cahaya berdasarkan pada cahaya yang dipantulkan oleh obyek foto (reflected light),
bukannya cahaya yang mengenai obyek.
Bagaimana kamera bisa menentukan eksposur hanya dengan mengandalkan light meternya?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu kita perlu mengetahui bahwa di alam ini
tiap benda memiliki sifat yang berbeda-beda dalam memantulkan cahaya, ada yang sangat
memantulkan cahaya (seperti salju, kain putih, logam) dan ada juga yang bersifat menyerap
cahaya (seperti kain hitam). Karena begitu bervariasinya sifat pemantulan pada setiap benda,
maka untuk konsistensi metering dibuatlah semacam standar kalibrasi, yang dikenal dengan
istilah 18% gray. Artinya, metering kamera akan berfungsi optimal dalam mengukur cahaya yang
dipantulkan oleh medium-gray atau middle-gray yang memiliki kemampuan memantulkan cahaya
sekitar 18%.
Pada prinsipnya kamera tidak bisa mengenal warna, kamera hanya melihat obyek dalam dimensi
hitam putih atau grayscale. Hitam dianggap mewakili kondisi gelap sementara putih mewakili
kondisi terang sehingga untuk penentuan eksposur normal digunakanlah acuan middle gray.
Dalam merancang sistem algoritma metering kamera, produsen kamera membuat sistem
pembagian wilayah pengukuran cahaya (zona/segmen) dan memakai teknik perata-rataan
(averaging), dimana masing-masing zona itu diukur terang gelapnya lalu dilakukan proses
perata-rataan. Eksposur yang tepat akan didapat bila dalam satu bidang foto terdapat
penyebaran bidang gelap dan terang yang cukup sehingga bila dirata-rata maka hasilnya akan
menjadi middle gray.
5. Untuk kondisi pemotretan normal sehari-hari, proses metering secara otomatis oleh kamera ini
hampir selalu tepat dan bisa diandalkan. Namun pada dasarnya kamera sebagai alat tidak bisa
‘melihat’ terang gelapnya suatu obyek foto dengan akurat, dia hanya mencoba ‘menebak’ dengan
tepat seberapa terang atau seberapa gelap obyek didepannya, dengan mengandalkan cahaya
yang dipantulkan oleh obyek pada bidang foto itu. Nah, adakalanya proses metering yang
dilakukan kamera ini akan memberi hasil yang tidak sesuai dari yang diharapkan. Pada kondisi
tertentu, kadang kita mengalami foto yang terlalu gelap (under) atau terlalu terang (over)
meskipun light meter kamera sudah berada di nilai tengah alias kamera menganggap eksposur
yang dibuatnya sudah ‘tepat’. Hal ini umumnya terjadi karena metering kamera telah tertipu,
akibat mengukur cahaya pada kondisi yang tidak umum.
Contoh sederhana kondisi yang tidak umum yang dapat menipu metering kamera adalah bila
suatu foto punya bidang yang sebagian lebih terang atau lebih gelap dari bagian yang lain
(umumnya pada fotografi landscape). Bisa juga saat obyek yang difoto memiliki warna putih dan
latar belakangnya juga putih, atau obyek berwarna hitam dengan latar belakang juga hitam.
Bagaimana maksudnya kamera tertipu, secara singkat inilah penjelasannya. Kembali lagi ke
teknik perata-rataan di atas, dimana kamera akan memberi eksposur yang tepat bila dalam satu
bidang foto terdapat penyebaran bidang gelap dan terang yang berimbang. Nah, apabila ternyata
ada suatu kondisi dimana sebaran bidang gelap dan terang tidak berimbang sehingga bila di
rata-rata hasilnya lebih dominan ke hitam / gelap kamera tetap akan menaikkan eksposur supaya
hasil pengukuran rata-rata menjadi middle gray. Hal yang sama juga bisa terjadi bila hasil rata-
rata obyek ternyata lebih dominan ke putih / terang, kamera tetap akan menurunkan eksposur
supaya hasilnya menjadi middle gray. Untuk mengatasi kondisi yang khusus seperti ini, pada
saat melakukan metering, kita bisa mengganti obyek foto dengan sebuah grey card sehingga
kamera bisa mengukur cahaya dengan optimal dan mendapat eksposur yang tepat.(EM)
Istilah-istilah dan Penggolongan Lensa Kamera
Perhatian:
Semua isi dokumen ini adalah hak milik Intellectual Property (IP) copyright dari Focus Nusantara,
dilarang meng-copy atau memindahkan kedalam bentuk, format atau media apapun tanpa persetujuan
tertulis (written consent) dari Focus Nusantara.
Lensa merupakan bagian utama dari kamera yang terdiri atas susunan elemen optik yang berfungsi
untuk menangkap gambar di depan kamera sehingga bisa diterima oleh sensor atau film. Pada kamera
saku maupun kamera prosumer, lensa ini dibuat menyatu dengan bodi kamera, namun lensa yang
digunakan pada kamera SLR dijual terpisah. Baik lensa yang menyatu dengan kamera ataupun lensa
6. khusus kamera SLR, keduanya memiliki kesamaan dalam prinsip kerja, desain optik serta
karakteristiknya.
Lensa yang berkualitas tinggi memiliki kemampuan untuk memberikan hasil yang memuaskan dalam hal
ketajaman, kontras maupun warna. Untuk menilai performa lensa para produsen menggunakan MTF
chart yang bisa memberi gambaran kualitas lensa. Berkat teknologi manufaktur lensa modern dengan
bantuan komputer, lensa masa kini semakin berkualitas dan sudah dilengkapi dengan fitur modern
seperti lapisan khusus yang bisa meningkatkan ketajaman dan meredam flare. Dalam memilih lensa
yang baik, diperlukan pemahaman dasar akan istilah-istilah yang umum dijumpai pada lensa, sekaligus
mengenali pembagian atau penggolongan lensa berdasarkan jenisnya.
Panjang fokal (Focal Length)
Dalam membahas tentang lensa, hal pertama yang dilihat dari sebuah lensa adalah panjang fokal lensa.
Secara difinisi, panjang fokal menandakan seberapa jarak antara sensor (atau film) terhadap lensa, saat
kamera memfokus ke tak terhingga (infinity). Untuk menunjukkan panjang fokal lensa ini digunakan
satuan milimeter (mm). Dalam pemahaman yang lebih umum, panjang fokal lensa menunjukkan
seberapa besar sudut gambar (picture angle atau angle of view) yang bisa dihasilkan oleh sebuah lensa.
Sudut gambar inilah yang akan menentukan luasnya bidang gambar yang bisa didapatkan pada panjang
fokal tertentu. Perhatikan :
- Fokal lensa yang pendek (misal 28mm) menghasilkan sudut gambar yang besar sehingga
mampu mendapat bidang gambar yang luas atau lebar (wideangle). Semakin pendek fokalnya
maka semakin luas bidang gambar yang bisa dihasilkan. Maka lensa 18mm bisa disebut lebih
‘wide’ daripada lensa 28mm.
- Fokal lensa yang panjang (misal 200mm) menghasilkan sudut gambar yang kecil sehingga
mampu mendapat bidang gambar yang sempit, cocok untuk keperluan foto jarak jauh (telephoto).
Semakin panjang fokalnya maka semakin jauh kemampuan tele yang dimiliki lensa tersebut. Jadi
lensa 400mm bisa disebut lebih ‘tele’ dari lensa 200mm.
Lensa yang panjang fokalnya dianggap sama dengan bidang gambar yang dilihat oleh mata manusia
o
(sudut gambaarnya sekitar 46 ) adalah lensa 50mm, sehingga lensa dengan fokal 50mm biasa disebut
sebagai lensa normal. Lensa dengan fokal yang lebih kecil dari 50mm disebut lensa wide, benda yang
difoto dengan lensa wide hasilnya akan tampak lebih jauh daripada kenyataannya. Lensa dengan fokal
yang lebih besar dari 50mm disebut lensa tele, benda yang difoto dengan lensa tele hasilnya akan
tampak lebih dekat daripada yang semestinya.
Jadi berdasarkan panjang fokal, setidaknya kita mengenal tiga jenis lensa yaitu lensa wide, lensa
normal dan lensa tele. Lensa wide cocok dipakai untuk mendapat foto dengan kesan luas, seperti
pemandangan ataupun arsitektur. Sedangkan lensa tele cocok untuk memotret benda yang jauh seperti
saat outdoor atau meliput acara pertandingan olahraga. Lensa normal sendiri lebih cocok dipakai untuk
potret wajah atau kebutuhan lain yang memerlukan sudut gambar normal.
Lensa Fix dan Lensa Zoom
Bila ditinjau dari desain fokalnya, lensa bisa digolongkan menjadi dua kelompok utama. Yang pertama
adalah lensa fix / prime (punya panjang fokal yang tetap) dan kedua adalah lensa zoom / vario (punya
panjang fokal yang bisa dirubah).
Lensa fix punya ukuran yang kecil, dengan sedikit elemen optik dan sesuai namanya, lensa fix hanya
memiliki panjang fokal yang tetap. Lensa fix tersedia untuk berbagai macam panjang fokal mulai seperti :
- Lensa fix wideangle (24mm, 35mm)
7. - Lensa fix normal (50mm, 60mm)
- Lensa fix telephoto (85mm, 105mm)
Lensa zoom sendiri memiliki kelebihan dibanding lensa fix yaitu punya rentang fokal yang bisa dirubah,
dari fokal terpendek hingga fokal terpanjang. Kemampuan zoom lensa diukur dengan
membandingkan fokal terpanjang terhadap fokal terpendeknya, contoh bila lensa zoom 28-280mm maka
panjang fokal terpendek adalah 28mm dan fokal terpanjang adalah 280mm, sehingga lensa ini disebut
dengan lensa zoom 10x (atau 280 dibagi 28). Lensa zoom memiliki kelebihan dalam hal kepraktisan
karena dengan satu lensa bisa didapat berbagai variasi fokal lensa untuk berbagai kebutuhan fotografi
dan perspektif yang diinginkan. Namun dalam hal ketajaman, lensa zoom memang tidak bisa menyamai
lensa fix. Hal ini karena rumitnya susunan optik dalam lensa zoom sehingga berpotensi menurunkan
ketajaman secara umum. Dalam lensa zoom, ketajaman pada fokal terpanjang dan fokal terpendek
umumnya menurun.
Bukaan lensa (aperture)
Di dalam lensa kamera terdapat sebuah komponen mekanik yang dinamakan aperture atau diafragma,
yang berfungsi untuk mengatur banyaknya cahaya yang masuk ke lensa. Diafragma tersusun atas
sekumpulan lapisan logam tipis (blade) yang membentuk lingkaran iris dan ukuran lubangnya bisa dibuat
membesar atau mengecil. Pengaturan masuknya cahaya dilakukan dengan mengubah besarnya bukaan
diafragma dari bukaan terbesar hingga terkecil dalam satuan f-number. Bukaan besar dinyatakan dalam
f-number kecil, dan sebaliknya bukaan kecil dinyatakan dalam f-number besar. Lensa dengan bukaan
besar memiliki kemampuan memasukkan cahaya lebih banyak sehingga memungkinkan untuk
pemakaian kecepatan shutter yang lebih tinggi.
Gambar di atas adalah bentuk diafragma lensa, dimana gambar sebelah kiri menunjukkan bukaan kecil
dan sebelah kanan menunjukkan bukaan besar.
Bukaan diafragma yang besar (misal f/1.4 atau f/1.8) lebih mudah diwujudkan dalam desain lensa fix.
Maka itu mayoritas lensa fix memiliki bukaan diafragma yang besar yang juga punya keistimewaan dalam
membuat blur alias out-of-focus pada latar. Namun tidak demikian halnya dengan lensa zoom, dimana
untuk membuat lensa zoom dengan bukaan diafragma yang besar agak lebih sulit untuk dilakukan. Pada
lensa zoom, bukaan maksimum yang umum dijumpai adalah f/2.8 meski kini mulai dijumpai ada kamera
saku yang memiliki lensa yang bisa membuka amat besar hingga f/1.8.
Ditinjau dari desain aperturenya, lensa zoom sendiri terbagi atas dua kelompok :
- Lensa zoom bukaan konstan
- Lensa zoom bukaan variabel
Lensa zoom dengan bukaan konstan, misalnya lensa 24-70mm f/2.8 atau lensa 70-200mm f/4
menandakan kalau bukaan maksimum lensa ini pada posisi fokal berapapun adalah tetap. Jadi misal
lensa 24-70mm f/2.8 akan mampu membuka sebesar f/2.8 pada posisi fokal 24mm hingga 70mm. Lensa
semacam ini lebih sulit untuk dibuat, juga punya ukuran yang lebih besar dan berat, sehingga lensa jenis
ini tergolong dalam lensa zoom kelas mahal.
8. Lensa zoom dengan bukaan variabel lebih mudah dan murah untuk dibuat, serta memiliki ukuran yang
lebih kecil sehingga ringkas dan ringan. Lensa jenis ini punya bukaan maksimal yang akan mengecil saat
lensa di zoom dari posisi fokal terpendek ke fokal terpanjang. Untuk mengetahui bukaan maksimum
lensa semacam ini bisa dilihat dari informasi yang ditulis pada lensa, misal lensa 18-105mm f/3.5-5.6
artinya lensa ini memiliki bukaan maksimal f/3.5 pada posisi fokal 18mm dan bukaan maksimal akan
mengecil hingga menjadi f/5.6 pada posisi fokal 105mm. Meski tidak ditulis di lensa, sebenarnya bukaan
minimum pun bisa mengecil saat lensa di zoom. Hal ini tergantung dari desain lensa, biasanya lensa
yang memiliki bukaan minimum yang bisa mengecil saat lensa di zoom adalah lensa kamera SLR.
Karena dengan bukaan yang besar sebuah lensa bisa memasukkan cahaya lebih banyak sehingga
memungkinkan untuk memakai kecepatan shutter yang lebih tinggi, maka lensa dengan bukaan besar
biasa disebut dengan lensa cepat. Untuk lensa fix, karena bukaan maksimumnya umumnya besar, maka
hampir semua lensa fix disebut dengan lensa cepat. Namun berhubung amat sulit untuk membuat lensa
zoom dengan bukaan yang besar, maka lensa zoom dengan bukaan konstan f/2.8 sudah bisa disebut
dengan lensa cepat. Kebanyakan lensa zoom kamera SLR yang memiliki ukuran kecil adalah lensa
lambat karena memiliki bukaan yang kecil dan akan semakin mengecil saat lensa di zoom.
Fitur Image Stabilizer
Beberapa lensa modern kini sudah dilengkapi dengan fitur image stabilizer yang berfungsi untuk
meredam getaran yang terjadi saat kita memotret. Fitur ini menambahkan satu elemen lensa yang
berfungsi khusus untuk mengkompensasi getaran tangan yang terdeteksi oleh sensor, sehingga resiko
gambar menjadi blur bisa dikurangi. Fungsi stabilizer sendiri diperlukan saat kamera dipakai memotret
pada kecepatan shutter rendah atau saat memakai lensa tele.
Bila disimpulkan, penggolongan lensa bisa disusun berdasarkan :
Panjang fokal :
* Lensa wide
* Lensa normal
* Lensa tele
Jenis lensa :
* Lensa fix / prime (fokal tetap)
* Lensa zoom / vario yang terbagi lagi menjadi :
o - Lensa zoom bukaan konstan
o - Lensa zoom bukaan variabel
Desain aperture lensa :
* Lensa cepat (punya bukaan besar)
* Lensa lambat (punya bukaan kecil)
Selain dari penggolongan umum seperti di atas, masih terdapat lensa-lensa khusus yang digunakan
untuk keperluan tertentu, seperti :
o
* Lensa fish-eye untuk sudut gambar ekstrim (180 )
* Lensa makro untuk memotret benda sangat dekat (perbesaran 1:1)
* Lensa Tilt and Shift untuk kebutuhan profesional (kendali perspektif)
9. Image Stabilizer, fitur penting pada kamera digital
Perhatian:
Semua isi dokumen ini adalah hak milik Intellectual Property (IP) copyright dari Focus Nusantara,
dilarang meng-copy atau memindahkan kedalam bentuk, format atau media apapun tanpa persetujuan
tertulis (written consent) dari Focus Nusantara.
Salah satu fitur penting yang berpengaruh pada kualitas hasil foto adalah image stabilizer atau penstabil
gambar.Fungsi fitur ini adalah untuk meredam getaran tangan (hand shake) saat memotret yang
berpotensi membuat hasil foto menjadi blur. Sering tanpa disadari, tangan kita sebenarnya tidak bisa
benar-benar kokoh dalam menggenggam kamera.
Prinsip kerja fitur ini adalah dengan mengandalkan sebuah gyrosensor yang mendeteksi getaran pada
kamera dan melakukan kompensasi secara mekanik untuk meredam getaran itu. Para produsen kamera
menganut dua versi kompensasi mekanik yang berbeda, yaitu dengan prinsip lens-shift (menambahkan
elemen stabilizer pada lensa) dan sensor-shift (stabilizer dipadukan pada sensor). Keduanya meski
berbeda secara teknis namun pada prinsipnya sama saja.
Sistem stabilizer yang paling umum dijumpai adalah stabilizer dengan prinsip lens-shift yang tertanam
pada lensa. Sebagian besar kamera digital bahkan lensa kamera DSLR pun memakai stabilizer berjenis
ini. Prinsipnya, getaran tangan yang dideteksi oleh sensor akan diproses secara digital lalu elemen
stabilizer pada lensa akan digerakkan secara berlawanan arah terhadap arah getaran tangan.
Berbeda seperti prinsip lens-shift, pada kamera dengan prinsip sensor-shift sistem stabilizer dipadukan
dengan sensor kamera itu sendiri. Jadi sensor pada kamera yang menganut prinsip sensor-shift bisa
bergerak untuk mengimbangi getaran tangan yang terdeteksi. Sebagian besar kamera DSLR seperti
Pentax, Sony dan Olympus menerapkan sistem ini sehingga fitur stabilizer bisa digunakan dengan
apapun lensa yang dipakai.
Penamaan fitur image stabilizer ini bisa berbeda-beda untuk tiap merk kamera, meski secara prinsip
sama saja :
Canon : Image Stabilizer (IS), termasuk pada lensa DSLRnya
Nikon : Vibration Reduction (VR), termasuk pada lensa DSLRnya
Panasonic : Optical Image Stabilizer (OIS)
Pentax : Anti Shake (AS)
Sony : Super Steady Shot (SSS)
Merk lain : memakai nama generik yaitu Image Stabilizer (IS)
Sedangkan produsen lensa third party juga mulai menyediakan fitur stabilizer pada sebagian lensa
mereka seperti :
Tamron : Vibration Correction (VC)
Sigma : Optical Stabilizer (OS)
Pada kondisi seperti apakah fitur stabilizer ini terasa manfaatnya?
10. Paling tidak ada dua kondisi yang membutuhkan adanya fitur stabilizer, yaitu saat memotret memakai
kecepatan rendah dan saat memakai lensa dengan fokal panjang (tele). Memang getaran tangan saat
memotret tidak selalu berakibat pada hasil foto menjadi blur. Apaalaagi pada saat memakai kecepatan
shutter yang tinggi, getaran yang dialami oleh kamera tidak berdampak apa-apa karena waktu antara
tombol rana ditekan hingga foto diambil hanya dalam kisaran mili detik. Namun saat memakai kecepatan
rendah, misalnya 1/20 detik atau lebih lambat, getaran tangan akan mulai berpotensi mengganggu.
Bahkan saat memakai kecepatan sangat rendah seperti 1 detik, penggunaan fitur stabilizer sudah tidak
efektif lagi dan untuk itu perlu memakai tripod.
Ada satu pedoman klasik dalam fotografi dimana untuk menghasilkan foto yang terhindar dari blur akibat
getaran tangan, gunakanlah kecepatan shutter yang berkebalikan dengan posisi panjang fokal yang
digunakan. Jadi misal kita memakai lensa dengan fokal 300mm, maka dibutuhkan nilai kecepatan shutter
sekurangnya 1/300 detik untuk hasil yang aman dari blur. Dengan kata lain, bila memakai kecepatan
shutter yang lebih rendah dari 1/300 detik maka hasil foto beresiko blur. Bandingkan bila memakai lensa
wide dengan fokal misalnya 30mm. Sesuai pedoman di atas, maka diperlukan kecepatan shutter 1/30
detik supaya hasil foto tidak blur. Kesimpulannya, semakin panjang fokal lensa maka potensi blur akibat
getaran tangan semakin besar.
Bagaimana membuktikan kalau fitur stabilizer ini benar-benar bekerja sesuai teorinya?
Prinsipnya, dengan memakai fitur stabilizer, kita bisa memotret dengan kecepatan shutter yang lebih
rendah bisa dibanding dengan memakai kamera tanpa fitur stabilizer. Jadi untuk membuktikan kinerja
fitur ini cukup mudah, yaitu dengan mencoba memotret dengan kecepatan rendah. Produsen biasanya
mengklaim kalau fitur stabilizer buatannya mampu bekerja antara 2 sampai 4 stop lebih rendah.
11. Contoh kasus, misalnya bila tanpa stabilizer kita hanya bisa memotret dengan kecepatan terendah 1/100
detik (bila lebih rendah dari itu hasilnya akan goyang), lalu saat memakai stabilizer kita bisa memakai
kecepatan hingga 1/20 detik, maka artinya efektivitas fitur stabilizer tersebut sekitar 2 stop lebih rendah.
Fitur stabilizer pun bisa dimanfaatkan untuk menstabilkan getaran tangan saat merekam video. Meski
tidak berlaku untuk semua kamera digital, tapi umumnya fitur stabilizer bisa berfungsi baik saat memotret
maupun merekam video. Tanpa fitur stabilizer, getaran tangan bisa terlihat saat video yang direkam itu
diputar ulang. Getaran akan tampak lebih parah saat fokal lensa yang digunakan cukup panjang.
Tips memaksimalkan fitur stabilizer
Fitur stabilizer ini bertujuan membantu meredam getaran tangan, adapun hasilnya sangat bervariasi
tergantung akan banyak faktor. Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mendapat hasil yang
maksimal dari fitur stabilizer ini :
Kebanyakan orang merasa dengan telah memiliki kamera berfitur stabilizer, dia bisa memotret
dengan kondisi tangan yang bergerak-gerak. Padahal sebelum memotret pastikan posisi tubuh
dan tangan sudah diam dan stabil. Ini akan mempermudah fungsi stabilizer dalam bekerja.
Fitur stabilizer mulai bekerja saat tombol rana ditekan setengah, dan untuk mencapai kinerja
terbaik fitur ini perlu sedikit waktu. Untuk itu jangan langsung menekan tombol rana terlalu cepat
karena ada kemungkinan foto diambil saat fitur ini belum mencapai hasil terbaiknya.
Saat memotret tanpa tripod, hindari memakai kecepatan shutter yang terlalu rendah. Semakin
rendah kecepatan shutter maka kerja stabilizer akan semakin berat. Pada kecepatan sangat
rendah fitur stabilizer sudah tidak ada gunanya, itulah mengapa dibutuhkan tripod.
Karena adakalanya meski sudah memakai stabilizer hasilnya masih juga blur, ada baiknya
memakai fasilitas multi shot. Misalnya ambil tiga atau empat secara sekaligus, lalu pilih foto yang
terbaik. Dengan demikian peluang medapat foto yang tajam semakin besar.
Sensor Kamera dan Resolusi > Articles
Sensor Kamera dan Resolusi
Perhatian:
Semua isi dokumen ini adalah hak milik Intellectual Property (IP) copyright dari Focus Nusantara,
dilarang meng-copy atau memindahkan kedalam bentuk, format atau media apapun tanpa persetujuan
tertulis (written consent) dari Focus Nusantara.
Dalam fotografi digital, sensor menjadi komponen utama yang menggantikan tugas film sebagai bagian
yang menangkap gambar. Sekeping sensor tersusun atas jutaan rangkaian dioda peka cahaya
berukuran sangat kecil yang dinamakan piksel. Banyaknya jumlah piksel pada sensor menunjukkan
resolusi yang menentukan seberapa detail sebuah foto bisa dihasilkan. Semakin tinggi resolusi dari
sebuah foto maka akan semakin besar ukuran cetak maksimalnya.
Sensor merupakan rangkaian elektronik yang peka cahaya. Setiap piksel pada keping sensor akan
12. merubah intensitas cahaya yang mengenainya menjadi tegangan listrik, dimana piksel yang mendapat
cahaya terang akan menghasilkan sinyal listrik tinggi sedangkan piksel yang kurang mendapat cahaya
akan mengeluarkan sinyal yang rendah. Tegangan dari sensor ini selanjutnya dirubah menjadi sinyal
digital dan siap diproses di tingkat selanjutnya di dalam kamera hingga menghasilkan sebuah gambar.
Ukuran sensor dan resolusi
Umumnya sensor kamera digital terbagi dalam dua kelompok ukuran, yakni ukuran kecil dan ukuran
besar. Sensor dengan ukuran kecil dijumpai di kamera ponsel dan kamera saku hingga kamera
prosumer. Sedangkan sensor dengan ukuran besar dijumpai di kamera DSLR. Ukuran sensor
ditentukan dari dimensi panjang dan lebar, dan biasanya dijumpai dua macam standar apsek rasio
dalam ukuran sensor, yaitu format 4:3 dan format 3:2.
Sensor yang tergolong berukuran kecil diantaranya :
- Sensor ukuran 1/2.5 inci (5.7 x 4.3 mm)
- Sensor ukuran 1/1.8 inci (7.2 x 5.3 mm)
- Sensor ukuran 2/3 inci (11 x 8.8 mm)
Sedangkan sensor dengan ukuran besar diantaranya :
- Sensor Four Thirds (17 x 13 mm)
- Sensor APS-C (22 x 15 mm)
- Sensor APS-H (29 x 19 mm)
- Sensor Full Frame (50 x 39 mm)
Resolusi sensor sendiri menunjukkan seberapa banyak piksel yang terdapat pada sebuah sensor,
dimana kamera modern saat ini umumnya memiliki resolusi sensor yang tinggi yaitu antara 8 mega
piksel hingga 24 mega piksel. Sebuah sensor dengan resolusi 10 mega piksel misalnya, memiliki 12 juta
piksel yang tersusun dari 4000 piksel horizontal dan 3000 piksel vertikal.
Dalam menjaga persaingan, produsen kamera terus meningkatkan jumlah piksel meski ukuran sensor
yang dipakainya tetap sama. Memang pada dasarnya resolusi sensor tidak dibatasi oleh ukuran fisik
sensor, sehingga boleh-boleh saja produsen sensor membuat sebuah sensor berukuran kecil namun
memiliki resolusi yang tinggi. Demikian juga sebaliknya, ada kalanya sebuah sensor besar memiliki
resolusi yang tergolong rendah. Namun dalam mendesain sensor berukuran kecil dengan jumlah piksel
yang banyak, proses miniaturisasi yang dilakukan akan menghadapi masalah utama yaitu kecilnya
ukuran piksel yang bertugas menangkap cahaya. Resiko ini menyebabkan sensitivitas sensor kecil lebih
rendah daripada sensor besar sehingga sensor kecil lebih mudah mengalami noise di ISO tinggi. Maka
itu resolusi sensor kecil kini mulai mencapai titik jenuh di 12-14 MP sedangkan resolusi sensor besar
bisa dibuat hingga 24 MP.
Pada prinsipnya, resolusi sensor sendiri tidak berhubungan secara langsung dengan kualitas foto.
Resolusi sensor lebih tepat digunakan untuk menentukan resolusi maksimal foto yang dihasilkan
nantinya. Sebuah foto digital bila dilihat secara detail merupakan mosaik yang dibentuk dari jutaan piksel
dimana semakin banyak pikselnya maka semakin detail fotonya. Sebuah foto dengan dimensi 3000
piksel (sisi panjang) dan 2000 piksel (sisi pendek) menandakan foto tersebut memiliki 6 juta piksel (3000
x 2000 piksel) atau disebut 6 mega piksel (6 MP).
Kembali ke urusan cetak mencetak foto, bila ingin mencetak foto dengan ukuran 4R saja, maka dengan
13. hanya memakai kamera resolusi 4 MP saja sebetulnya sudah sangat mencukupi. Namun dengan
memiliki kamera yang resolusinya lebih tinggi, kita bisa melakukan pencetakan dengan ukuran yang
lebih besar. Selain itu, foto dengan resolusi tinggi memungkinkan kita melakukan cropping secara
leluasa dengan tetap menjaga hasil foto setelah cropping masih punya cukup detail.
Pedoman umum ukuran cetak maksimal dari foto digital kurang lebihnya adalah :
6 MP : 12 x 18 inci
10 MP : 16 x 24 inci
16 MP : 20 x 30 inci
24 MP : 24 x 36 inci
Adapun jenis file foto digital yang paling umum adalah berformat JPEG, sementara file RAW adalah file
asli dari sensor yang belum mengalami proses pengolahan gambar di dalam kamera. Tidak semua
kamera menyediakan format file RAW. File JPEG merupakan file foto hasil proses di dalam kamera
mulai dari pengaturan tone, white balance, noise reduction hingga kompresi. Karena adanya kompresi
itulah maka file JPEG punya ukuran yang cukup kecil, meski harus dibayar dengan adanya sedikit
penurunan kualitas foto bila dibanding dengan file yang tidak dikompres. Pada kamera modern, tersedia
pilihan kualitas kompresi file JPEG, biasanya ada tiga tingkatan :
best/fine : kompresi rendah, kualitas foto tinggi, tapi ukuran file agak besar
normal : kompresi sedang, kualitas foto baik, ukuran file sedang
basic : kompresi tinggi, kualitas foto kurang baik, tapi ukuran file kecil
Jenis sensor
Sensor pada kamera digital secara umum terbagi menjadi dua jenis, yaitu :
sensor CCD
sensor CMOS
Sensor CCD (Charged Coupled Device) merupakan sensor tipe analog yang telah lama digunakan
sebagai sensor kamera digital dan kamera perekam video dan memiliki kualitas hasil foto yang amat
baik. Prinsip kerja sensor CCD amat sederhana, karena sensor ini hanya merubah intensitas cahaya
yang mengenainya menjadi nilai tegangan yang kemudian diproses menjadi data digital oleh rangkaian
Analog to Digital Converter (ADC) pada kamera digital.
Sementara sensor CMOS (Complimentary Metal Oxide Semiconductor) merupakan sensor berteknologi
modern yang memiliki transistor di tiap pikselnya. Sensor CMOS dibuat dengan konsep digital-chip
sehingga keluaran dari sensor ini sudah dalam bentuk data digital. Jadi kamera dengan sensor CMOS
tidak lagi memerlukan rangkaian ADC tersendiri, karena keluaran dari sensor CMOS bisa langsung
masuk ke prosesor kamera. Karena mekanisme kerja sensor CMOS lebih sederhana, sensor jenis ini
digunakan secara luas di kamera ponsel meski dengan kualitas hasil foto pas-pasan. Seiring dengan
kemajuan teknologi, sensor CMOS masa kini sudah mampu menyamai kualitas dari sensor CCD dan
telah dipakai di kamera kelas atas seperti DSLR kelas pro. Salah satu keunggulan sensor CMOS adalah
bisa dipakai memotret burst dengan frame rate tinggi.
14. Dari uraian di atas tampak kalau sensor apapun jenisnya, karena hanya mengubah
besaran cahaya menjadi besaran tegangan, sebenarnya hanya mengenali informasi
terang gelap saja (atau bisa disebut dengan grayscale). Untuk bisa menangkap
informasi warna dari obyek yang difoto, sensor kamera digital perlu dilengkapi dengan
sebuah filter warna dengan pola warna dasar RGB (merah, hijau dan biru) yang
tersusun dengan pola seperti pada gambar disamping. Kombinasi dari tiga warna
dasar ini bisa menghasilkan banyak warna berkat teknik interpolasi yang dilakukan di
dalam kamera. (EM)
MEMAHAMI PRINSIP AUTO FOKUS PADA KAMERA
Perhatian:
Semua isi dokumen ini adalah hak milik Intellectual Property (IP) copyright dari Focus Nusantara,
dilarang meng-copy atau memindahkan kedalam bentuk, format atau media apapun tanpa persetujuan
tertulis (written consent) dari Focus Nusantara.
Istilah fokus sesuai terminologi artinya titik tempat berkumpulnya sinar yang melalui sebuah optik atau
lensa. Dalam fotografi, sebuah gambar yang fokus didapat dengan menempatkan kumpulan sinar pada
satu titik yang tepat berada di film atau di sensor (disebut focal plane). Bila titik terbentuk di depan atau di
belakang focal plane, maka gambar yang dihasilkan menjadi tidak terfokus atau out of focus.
Lensa kamera, seperti layaknya mata manusia, idealnya harus bisa memfokus pada benda yang berada
dekat ataupun jauh dengan sama baiknya. Namun terdapat batas terdekat dimana lensa bisa mengunci
fokus, sementara batas terjauh biasa disebut dengan infinity (tak terhingga). Dalam lensa kamera
terdapat elemen optik yang bisa bergerak maju mundur untuk menyesuaikan jarak terhadap benda
didepannya sehingga jatuhnya arah sinar tetap bisa terkumpul di focal plane. Perkecualian untuk kamera
dengan lensa berjenis fix focus, dimana tidak ada elemen lensa yang bisa bergerak. Kamera dengan fix
focus memakai aperture kecil dan lensa wide yang simpel untuk menghemat biaya seperti pada kamera
ponsel.
Dahulu kala, lensa pada kamera itu memerlukan pengaturan fokus secara manual. Untuk mencari fokus,
kita harus memutar ring fokus pada lensa dan melihat efeknya di jendela bidik untuk mendapatkan
gambar yang paling tajam menurut penilaian kita. Untunglah pada akhirnya ditemukan teknologi auto
fokus yang memudahkan kita dalam memotret. Dengan auto fokus, kamera secara otomatis
menggerakkan elemen lensa untuk mendapat hasil terbaik, dalam waktu yang cukup singkat.
Pada kamera modern yang berteknologi digital, terdapat dua perbedaan prinsip kerja auto fokus
tergantung jenis kameranya. Pada kamera DSLR, prinsip auto fokus masih sama seperti kamera SLR film
dengan memakai prinsip deteksi fasa (phase detect) yang memakai modul terpisah. Sistem ini lebih
rumit, mahal namun akurat dan sangat cepat. Pada kamera selain DSLR seperti kamera saku hingga
kamera format baru seperti micro four thirds, prinsip auto fokus memakai deteksi kontras (contrast detect)
yang lebih hemat biaya.
15. Prinsip deteksi kontras sebenarnya hadir di era digital yang cirinya mampu menampilkan preview gambar
yang akan diambil melalui layar LCD. Apa yang muncul di LCD adalah apa yang diterima oleh sensor,
sehingga biasa disebut live-view. Dengan live-view, banyak informasi yang bisa diolah sebelum foto
diambil, sebutlah misalnya informasi warna (untuk pengaturan white balance), informasi terang gelap
(untuk pengaturan eksposur) dan informasi kontras (untuk pengaturan auto fokus). Kamera DSLR
modern yang sudah memiliki fitur live-view mengusung dua prinsip AF, baik berkonsep phase detect dan
juga contrast detect. Dalam kondisi normal untuk kecepatan dan akurasi, kamera DSLR tentu memakai
modul phase detect sebagai mode default-nya. Namun saat memakai live-view dengan objek yang diam
(seperti foto makro), kita bisa memakai mode contrast detect dengan memanfaatkan fasilitas perbesaran
di layar LCD, sehingga kita bisa lebih yakin kalau fokus yang diambil sudah pas.
Proses auto fokus dimulai saat tombol rana ditekan setengah. Saat itu kamera langsung menggerakkan
elemen fokus di dalam lensa secara maju mundur untuk mendapat kontras terbaik dan memberi
konfirmasi berupa bunyi ‘beep’ sebagai tanda sudah berhasil mendapat fokus. Proses keseluruhan ini
memerlukan waktu antara kurang dari satu detik hingga beberapa detik. Pada DSLR, kecepatan auto
fokus jauh lebih cepat dari kamera lainnya karena memakai modul AF khusus berprinsip phase detect.
Namun apapun metodanya, ada beberapa hal yang menentukan kecepatan kamera dalam mencari
fokus, diantaranya :
- Adanya kontras yang baik pada obyek yang akan difoto. Semakin rendah kontras dari obyek
yang akan difoto maka kamera makin sulit untuk mendapatkan fokus yang tepat.
- Kondisi pencahayaan sekitar obyek harus cukup baik dan tidak gelap. Saat gelap kamera
biasanya membantu auto fokus dengan menembakkan lampu AF assist beam.
- Pergerakan obyek yang akan difoto juga mempengaruhi, bila obyek bergerak terlalu cepat sulit
bagi kamera untuk mengunci fokus.
Selain menekan tombol rana setengah, pada kamera kelas serius seperti kamera prosumer dan kamera
DSLR, terdapat tombol AE-L / AF-L yang bisa dimanfaatkan untuk mengunci fokus. AE-L singkatan
dari Auto Exposure - Lock, sementara AF-L singkatan dari Auto Focus - Lock. dalam setting yang lebih
lanjut, tombol ini bisa dikustomisasi menjadi beberapa fungsi, misal sekaligus mengunci eksposur dan
fokus, atau mengunci eksposur saja, mengunci fokus saja, dan mengunci fokus selama tombol ini ditekan
(AF lock-hold). Pilihlah mana yang paling sesuai keinginan anda.
Pada awalnya dikenal auto fokus, kamera hanya memilih titik tengah obyek foto sebagai acuan fokus. Hal
ini ternyata menyulitkan saat obyek justru tidak berada di tengah bidang foto. Maka itu kemudian
dibuatlah zona fokus atau titik fokus yang tersebar di beberapa bidang foto. Umumnya kini terdapat
setidaknya tiga zona fokus yaitu zona tengah (utama), zona kiri dan zona kanan. Semakin canggih
kamera maka semakin banyak zona fokus yang tersedia sehingga mampu lebih fleksibel dan terhindar
dari kesalahan penguncian fokus. Khusus modul AF pada kamera DLSR, tiap titik AF itu bisa
berjenis cross type sensor alias sensor silang. Sensor seperti ini peka akan perbedaan kontras baik
vertikal maupun horisontal. Titik AF di tengah sudah pasti berjenis cross type, sementara titik lainnya
belum tentu. Semakin banyak titik AF berjenis cross type, makin mahal dan makin akurat kamera DSLR
tersebut dalam mencari fokus.
Selain zona fokus, kini terdapat pilihan lebih lanjut pada mode auto fokus kamera, yaitu opsi AF servo
mode. Pilihannya adalah stationer atau continuous, dan disesuaikan dengan kondisi obyek yang akan
difoto. Mode stationer cocok dipilih untuk benda yang diam, dan mode ini cenderung jadi default pada
kebanyakan kamera. Mode continuous akan mendeteksi gerakan obyek dan berusaha terus mengikuti
kemana pun objek bergerak. Saat ini kamera DSLR sudah bisa mengunci fokus pada objek yang
bergerak kiri kanan ataupun maju mundur (3D tracking AF).
Mengenal file RAW dan perbedaannya dengan JPG
16. Perhatian:
Semua isi dokumen ini adalah hak milik Intellectual Property (IP) copyright dari Focus Nusantara,
dilarang meng-copy atau memindahkan kedalam bentuk, format atau media apapun tanpa persetujuan
tertulis (written consent) dari Focus Nusantara.
Kamera digital modern kini semakin banyak yang dilengkapi dengan fasilitas format file RAW yang
tentunya menjadi nilai tambah tersendiri bagi pemiliknya karena tidak lagi hanya mengandalkan file JPG
semata. Namun bisa jadi masih banyak orang yang belum memanfaatkan fasilitas ini karena kurangnya
informasi yang jelas mengenai format RAW dan bagaimana menggunakannya dengan optimal.
Tidak seperti JPG, format RAW pada kamera digital bukanlah sebuah standar yang digunakan secara
luas. Tiap merk kamera justru memiliki format RAW yang berbeda-beda seperti .CRW (Canon), .NEF
(Nikon) dan .ORF (Olympus).Hal ini dikarenakan file RAW merupakan keluaran dari sensor yang masih
belum diproses oleh kamera. Tiap merk kamera memiliki teknologi sensor yang berbeda secara jenis dan
resolusi, yang mana data output dari sensor itu memerlukan teknik pemrosesan tersendiri sehingga
menjadi file JPEG yang siap pakai.
Lebih jauh dengan format RAW
File RAW merupakan perwujudan dari setiap piksel yang ada pada sensor, yang notabene adalah
rangkaian peka cahaya yang tersusun secara baris dan kolom yang tiap pikselnya akan menangkap
cahaya, merubahnya menjadi tegangan dan diproses menjadi data digital, semisal 12 atau 14 bit.
Dengan 12 bit setiap piksel mampu menangani perbedaan terang gelap sebanyak 4.096 level sedang
dengan 14 bit mampu membedakan terang gelap hingga 16.384 level.
Sampai tahap di atas sensor belum menangkap warna, karena gambar yang dibentuk baru sebatas
grayscale dari hasil tangkapan terang gelap sensor. Untuk itu di tiap piksel dipasang filter warna sehingga
tiap piksel akan menangkap satu dari tiga warna berikut : Red (R), Green (G) dan Blue (B). Ambil contoh
filter warna merah, piksel sensor yang dipadukan dengan filter merah akan menghasilkan keluaran
grayscale namun berwarna merah. Sehingga jelas disini kalau setiap piksel selain memiliki informasi
terang gelap (luminance) juga memiliki informasi warna (chrominance).
Keluaran dari sensor yang sudah mengandung informasi luminance dan chrominance dari setiap piksel
pada sensor inilah yang dinamakan format RAW. Data ini masih berukuran besar (bisa mencapai
puluhan mega byte) dan akan diproses lebih lanjut di dalam kamera, atau disimpan di memori sebagai
file mentah siap olah.
Tahap konversi dari RAW menjadi JPG
Format RAW sendiri barulah tahap awal dari proses panjang pemrosesan foto secara digital, entah itu
dilakukan otomatis pada kamera maupun secara manual memakai komputer. Bila ingin melakukan
proses konversi dari RAW menjadi file lainnya (semisal JPG) maka diperlukan program konversi atau
biasa disebut RAW converter. Pada dasarnya teknologi kamera digital dalam menghasilkan file JPG kini
sudah semakin modern dengan kemampuan proses data yang semakin baik, sehingga sebagian besar
proses di kamera sudah bisa dibilang memuaskan.
Untuk melakukan konversi dari file RAW menjadi JPG akan melalui tahapan proses berikut :
17. Interpolasi (demosaicing)
Proses ini adalah tahapan umum bagi sensor yang mengandalkan filter warna Beyer. Karena tiap
piksel hanya memiliki satu informasi warna (entah merah, biru atau hijau) maka diperlukan
proses interpolasi yang akan menambahkan warna lain berdasarkan data dari piksel yang
bertetangga. Proses ini memang menghasilkan warna yang kurang akurat apalagi bila
dibandingkan dengan filter Foveon yang punya 3 lapis filter RGB.
Koreksi gamma
File RAW memiliki kurva gamma yang linier dan sangat berbeda dengan tonal yang ditangkap
oleh film maupun mata manusia. Hal ini dikarenakan sensor adalah perangkat linier, bila cahaya
yang mengenai sensor naik dua kali lipat maka tegangan keluaran sensor juga naik dua kali lipat.
Untuk itu diperlukan koreksi gamma (tone curve) sehingga tonal yang dihasilkan bisa mendekati
apa yang dilihat oleh mata manusia.
Sharpening, kontras, saturasi dan white balance
Inilah proses untuk membuat file JPG menjadi tampak lebih menarik, yaitu menaikkan ketajaman,
meningkatkan kontras dan juga saturasi warna. File RAW yang sesungguhnya masih sangat flat,
memiliki kontras yang rendah dan saturasi warna yang masih pucat. White balance diatur
sehingga warna yang dihasilkan akan sesuai dengan temperatur warna dari sumber cahaya yang
ada, seperti sinar matahari, lampu neon atau lampu pijar.
Kompresi
Langkah terakhir yang khusus dilakukan bila ingin file RAW menjadi JPG adalah kompresi,
dimana konsep JPG sendiri adalah lossy compression sehingga sebagian data akan dihilangkan.
Semakin tinggi tingkat kompresi maka semakin banyak data yang dibuang, semakin kecil ukuran
file JPG dan semakin jelek hasil fotonya (muncul artefak yang mengganggu).
Dengan mengerjakan tahap demi tahap diatas secara terpisah memakai RAW converter, kita bisa
melakukan pengaturan tingkat lanjut untuk setiap foto yang ada, namun akan memakan waktu lama
meski sepadan dengan hasil yang didapatkan. Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu tujuan memotret
dan apakah perlu menyimpannya kedalam file RAW atau cukup memakai JPG saja.
Untung rugi format RAW
Banyak yang saat akan membeli kamera digital, mensyaratkan kalau kamera yang akan dibelinya harus
bisa membuat file RAW untuk keleluasaan pengolahan gambar. Hal ini wajar karena dengan memotret
memakai format RAW akan membuka banyak kesempatan menghasilkan foto yang lebih baik. Tidak
seperti JPG yang sudah sangat sulit untuk diolah kembali secara leluasa, file RAW masih belum
tersentuh pengolahan digital apapun dan memberi banyak ruang untuk olah digital.
Inilah beberapa keuntungan memotret (dan mengedit) dengan format RAW :
kendali penuh akan White Balance, tonal, kontras, saturasi, sharpening dan noise reduction
kendali akan eksposur, terhindar dari under/over eksposur
kesempatan mendapat dynamic range lebih lebar berkat tonal per piksel yang lebih tinggi
memungkinkan memakai metoda lossless compression sehingga terhindar dari artefak khas dari
kompresi JPG
18. Adapun kerugian memakai format RAW adalah :
ukuran file lebih besar, menghabiskan ruang kosong di memori dan memperlambat proses
penulisan data ke memori
diperlukan proses lebih lanjut setelah memotret dan untuk itu perlu software RAW converter (dan
komputer yang cukup bertenaga)
proses konversi untuk banyak file akan melelahkan dan menyita waktu
setiap ada kamera baru perlu mendownload database camera RAW yang sesuai
Program RAW converter
Pada prinsipnya file RAW tidak standar antar merk dan masing-masing
kamera punya metoda sendiri untuk memproses RAW ini. Untuk itu
biasanya tiap kamera yang punya fitur RAW akan menyertakan CD
berisi program dasar untuk mengolah dan mengkonversi RAW ke
dalam file lain seperti JPG atau TIFF. Untuk kendali yang lebih lengkap
dan sarat fitur diperlukan progam lain yang dijual terpisah seperti
Adobe Camera RAW (sebagai plug-in Photoshop CS), Apple Aperture
untuk Mac atau Capture One dari Phase One. Bagi yang ingin
mencoba program gratis, ada juga program RAW therapee yang
tersedia untuk Windows dan Linux.
Pada contoh gambar disamping, terlihat banyak parameter yang bisa
diatur dengan program RAWtherapee seperti Exposure, Detail, Colour
dan sebagainya. Untuk pengaturan Exposure sendiri tersedia pilihan
seperti Exposure Compensation, Brightness, Highlight dan Shadow,
kontras serta tone curve.
Kesimpulan
19. Pilihan memakai file RAW atau JPG kembali pada sang fotografer itu sendiri, tiap pilihan memiliki
keuntungan dan kerugian masing-masing. Teknologi JPG semakin membaik, namun juga godaan untuk
mengedit sendiri file RAW terkadang sulit untuk ditahan. Apalagi kini kapasitas memory card semakin
besar, demikian juga dengan kecepatan baca tulisnya, sehingga memotret RAW tidak selalu menjadi
kendala di lapangan. Setiap akan memotret coba pertimbangkan lagi, bila dirasa nantinya foto yang
diambil akan banyak dilakukan olah digital, gunakan saja file RAW, karena file JPG sudah tidak banyak
bisa diharapkan untuk olah digital secara leluasa.
Dasar-dasar Kamera DSLR
Perhatian:
Semua isi dokumen ini adalah hak milik Intellectual Property (IP) copyright dari Focus Nusantara,
dilarang meng-copy atau memindahkan kedalam bentuk, format atau media apapun tanpa persetujuan
tertulis (written consent) dari Focus Nusantara.
Kamera DSLR saat ini sudah begitu populer di kalangan penggemar fotografi berkat kualitas hasil fotonya
serta kecepatan kinerjanya. Berbagai merk dan tipe kamera dijual di pasaran dengan harga dan jenis
yang berbeda-beda. Pada saat kita hendak membeli kamera DSLR tentu perlu terlebih dahulu mengenali
jenis kamera tersebut dan disesuaikan dengan kebutuhan fotografi kita. Artikel kali ini akan memberi
gambaran tentang kamera DSLR secara umum dan penggolongan berdasarkan kelas dan formatnya.
DSLR atau Digital Single Lens Reflex adalah kamera digital dengan format yang mengadopsi kamera
SLR film yaitu memiliki lensa yang bisa dilepas, memiliki cermin mekanik dan penta prisma untuk
mengarahkan sinar yang melewati lensa menuju ke jendela bidik. Saat tombol rana ditekan, cermin akan
terangkat dan shutter terbuka sehingga menyebabkan sinar yang memasuki lensa akan diteruskan
mengenai sensor. Proses eksposur diakhiri dengan menutupnya shutter dan cermin kembali diturunkan.
Total waktu yang diperlukan dari shutter membuka hingga menutup lagi dinamakan shutter speed dan
bisa diatur secara manual atau otomatis.
Perbedaan antara kamera SLR di era film dengan kamera digital SLR (DSLR) adalah pada media rekam
gambar peka cahaya yang digunakan, dimana pada SLR digunakan film 35mm dan pada kamera DSLR
digunakanlah sensor peka cahaya berjenis CCD atau CMOS. Karena sudah menggunakan sensor, maka
DSLR layaknya kamera digital pada umumnya, memiliki rangkaian elektronik dan memiliki layar LCD
untuk menampilkan gambar. Namun secara prinsip kerja, kamera DSLR masih memiliki modul yag
serupa dengan kamera SLR film seperti modul auto fokus dan modul light meter untuk pengukuran
cahaya.
Setiap merk kamera DSLR masing-masing mendesain sendiri mount untuk memasang lensanya.
Kebanyakan mount ini tidak saling kompatibel, meski ada juga kamera yang berbagi desain mount lensa
(seperti Nikon dan Fuji). Canon memiliki desain EF-mount untuk kamera DSLRnya, sedang Nikon
memakai F mount yang tetap dipertahankan sejak 50 tahun yang lalu. Sebuah kamera DSLR masih bisa
dipasang lensa lama asalkan mount-nya sama, meski bisa jadi ada fitur pada lensa modern yang tidak
kompatibel. Lensa DSLR modern sendiri kini sudah dilengkapi dengan fitur stabilizer, motor ultra sonic
untuk auto fokus hingga CPU untuk bertukar informasi dengan kamera.
Seputar sensor DSLR
20. Kamera DSLR memiliki keunggulan dalam hal ukuran sensornya yang jauh lebih besar dibanding kamera
digital biasa. Hal ini kamera ukuran sensor dibuat menyamai ukuran film analog 35mm atau yang dikenal
dengan sebutan full frame (36 x 24mm). Sensor yang besar artinya setiap pikselnya memiliki ukuran yang
lebih besar, sehingga kemampuan dalam menangkap cahaya lebih baik. Maka itu kamera DSLR memiliki
kemampuan ISO tinggi yang baik dimana pada ISO tinggi pun noisenya masih terjaga dengan baik.
Namun dengan sensor yang berukuran besar, biaya produksi kamera DSLR menjadi tinggi khususnya
DSLR full frame. Selain memakai sensor berukuran 35mm, kamera DSLR juga tersedia dengan sensor
yang berukuran lebih kecil. Tujuannya adalah untuk menekan biaya produksi dan membuka kesempatan
memproduksi lensa khusus yang bisa dibuat lebih kecil dan dengan biaya yang lebih murah.
Sensor yang lebih kecil dari sensor full frame biasa disebut dengan crop-sensor, karena gambar yang
dihasilkan tidak lagi memiliki bidang gambar yang sama dengan fokal lensa yangdigunakan. Hal ini biasa
disebut dengan crop factor, dinyatakan dengan focal length multiplier, suatu faktor pengali yang akan
membuat fokal lensa yang digunakan akan terkoreksi sesuai ukuran sensor. Perkalian ini akan
menaikkan fokal efektif dari fokal lensa yang dipakai sehingga hasil foto yang diambil dengan sensor crop
ini akan mengalami perbesaran (magnification). Semakin kecil sensornya maka semakin tinggi crop
factornya dan semakin besar perbesaran gambarnya.
Berikut adalah bermacam ukuran sensor kamera DSLR dan kaitannya dengan crop factor :
Full frame 35mm (36 x 24mm) : tanpa crop factor
APS-H (28.7 x 19mm) : crop factor 1,3x
APS-C (23.6 x 15.7mm) : crop factor 1,5x
APS-C (22.2 x14.8mm) : crop factor 1,6x
Four Thirds (17.3 x 13mm) : crop factor 2x
Lensa yang didesain untuk kamera DSLR full frame memiliki diameter image circle yang disesuaikan
dengan ukuran sensor 35mm. Dengan semakin banyaknya DSLR dengan sensor yang lebih kecil
daripada sensor full frame, maka kini semakin banyak dibuat lensa khusus dengan diameter image circle
yang juga lebih kecil. Lensa ini dibedakan dengan penamaan khusus, misalnya memakai kode EF-S
untuk Canon dan DX untuk Nikon. Lensa semacam ini berukuran lebih kecil dan tergolong lensa generasi
modern yang sudah dilengkapi dengan CPU. Namun lensa dengan diameter kecil ini tidak bisa dipakai di
DSLR full frame karena hasil fotonya akan mengalami vignetting (ada lingkaran di pojok foto akibat
diameter lensa yang lebih kecil dari ukuran sensor).Jalur agak berbeda ditempuh oleh Olympus yang
memakai sensor Four Thirds (4/3) di seluruh jajaran kamera DSLRnya, sehingga lensanya pun sudah
didesain memiliki image circle yang sesuai dengan sensor Four Thirds.
Sebagai contoh, sebuah lensa fix 50mm akan memberikan panjang fokal efektif yang berbeda bila
mengalami crop factor berikut :
1,3x : 65mm
1,5x : 75mm
1,6x : 80mm
2x : 100mm
Maka itu memahami ukuran sensor dari kamera DSLR yang dimiliki sangat diperlukan supaya kita tidak
salah dalam memperhitungkan rentang fokal yang dibutuhkan.
DSLR secara teknis
Kamera DSLR merupakan kamera tingkat lanjut yang memiliki komponen internal yang rumit dan presisi.
Prinsip kerjanya mengandalkan cermin yang menutupi sensor sehingga gambar yang ditangkap oleh
lensa dipantulkan oleh cermin menuju jendela bidik. Saat tombol rana ditekan, cermin akan turun
21. sehingga sensor mendapat gambar yang ditangkap lensa lalu merekamnya kedalam file digital. Di dalam
kamera DSLR terdapat modul auto fokus yang bekerja berdasar prinsip deteksi fasa dengan sejumlah
titik sensor fokus. DSLR kelas mahal memiliki modul AF yang rumit dan punya banyak titik fokus,
sementara DSLR kelas pemula memiliki modul AF yang lebih sederhana dengan hanya tiga atau lima titik
AF. Selain modul AF, terdapat juga alat ukur cahaya yang bernama light meter, yang berfungsi
menentukan nilai shutter dan aperture yang akan digunakan pada setiap kondisi pencahayaan.Light
meter ini juga memiliki beberapa segmen sensor yang masing-masing mengukur intensitas cahaya lalu
datanya akan dianalisa dan dirata-rata oleh prosesor kamera. Kamera DSLR profesional punya modul
light meter yang sangat presisi dan jarang meleset dalam menentukan eksposur. Modul light meter di
kamera DSLR pemula tergolong sederhana dan sesekali menghasilkan foto yang under atau over
eksopsur sehingga perlu disiasati dengan kompensasi eksposur.
Seiring bertambah majunya perkembangan teknologi kamera DSLR, kini semakin umum dijumpai kamera
DSLR dengan kemampuan live-view atau menampilkan preview gambar yang akan difoto melalui layar
LCD. Pada kamera DSLR generasi awal, layar LCD hanya digunakan untuk menampilkan hasil foto saja,
sedangkan untuk membidik hanya bisa melalui jendela bidik (viewfinder). Namun untuk sebuah kamera
DSLR bisa melakukan live-view, kamera perlu menurunkan cermin supaya sensor bisa menerima gambar
dari lensa. Akibatnya kamera kehilangan kemampuan auto fokusnya yang berbasis deteksi fasa. Sebagai
gantinya, diberikanlah metoda auto fokus lain yang berbasis deteksi kontras seperti yang dipakai di
kamera digital biasa. Perbedaan utamanya, auto fokus dengan deteksi kontras perlu waktu lebih lama
untuk mengunci fokus padahal kamera DSLR itu identik dengan kinerjanya yang cepat. Pengembangan
lebih lanjut dari live-view adalah memungkinkannya kamera DSLR modern untuk merekam gambar
bergerak atau video. Kini semakin banyak kamera DSLR yang bisa merekam video beresolusi High
Definition (HD) 1280 x 720 piksel bahkan 1920 x 1080 piksel.