Dokumen tersebut membahas tentang suku Toraja di Sulawesi Selatan. Suku Toraja dikenal akan ritual pemakaman yang kompleks dan rumah adatnya yang bernama tongkonan. Masyarakat Toraja awalnya menganut kepercayaan animisme aluk to dolo sebelum berpindah ke agama Kristen di bawah pengaruh misionaris Belanda. Keluarga dan status sosial memegang peranan penting dalam kehidayaan sosial suku Toraja.
1. 3PA06
TORAJA
CORY DITA PRATIWI (11509614)
IRENE ANGGRAINI (15509152)
MARIA SISTYANTIN (11509524)
ROMI APRIAN (11509334)
SINTA DEWI OKTAVIANI (13509396)
VALENTIN SIMARMATA (16509642)
VANIA RIYANTI (11509720)
YULY RAHMAWATI (11509599)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2012
2.
3. SUKU TORAJA
Pengertian Suku Toraja
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi
Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di
antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten
Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut
Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia
telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang
berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun
1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran
kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya
dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih
menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-
an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka
kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata
Indonesia.
4. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog.
Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat
berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama
Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.
Sejarah
Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai
tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi
dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun
akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan
politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua
abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja
tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir
abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi
selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang
menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan.
6. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan
pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan
perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah
Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan
Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana
Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun
1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku
Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang
Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah
diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti
kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak
merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada
tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an.
Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama
Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan
perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam.
7. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami
kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk
mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15
tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama
Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk
Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen
Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara
hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai
dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun
1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Masyarakat Suku Toraja
Keluarga
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap
desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai
nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh
(sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan
kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu
ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.
8. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar
saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan
hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan
demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang
keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan
nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut
atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana
Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi
tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa
desa biasanya membentuk kelompok, kadang-kadang beberapa desa akan bersatu melawan
desa-desa lain. Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan
berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi
dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya
antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa
yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan
persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus
digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-
masing orang.
9. Kelas Sosial
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas
sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan
dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan
melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah
tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk
meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan
terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di
tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu
yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik
tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya
melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat
biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada
kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi
status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung
berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-
kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang
10. dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan
perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-
anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu
atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual
dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
Agama
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang
disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos
Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian
digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa
pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia
(bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan
kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang
dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat
pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan
atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa
bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo'
Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya. Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan
tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara
pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk).
11. Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari
hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik
pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa
lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan
harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah
jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama
pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak
diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan
ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi
ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
Kebudayaan
Tongkonan
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu
dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal
dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang
berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja
oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan
melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja,
12.
13.
14. tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun
ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya
dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk
adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan".
Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu
dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu.
Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat
biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah
memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Ukiran Kayu
Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik. Bahasa Toraja hanya
diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan
sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh
karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan
tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan
hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan.
15. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar
suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan
kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam
kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri
atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak
cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga
menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja
(lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam
sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi
dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan
tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini
hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk
membuat oranamen geometris.
18. Upacara Pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling
penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara
pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang
berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan
biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat
prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput
yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan
berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan.
Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita
yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-
anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-
minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan
tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi
biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang
dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia
arwah, atau akhirat).
19.
20.
21.
22.
23. Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan
di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara
pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa
seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan
menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu
pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah
membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya
jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan
puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap
darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada
para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di
makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di
makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar
beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh
anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan
menghadap ke luar.
24. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya
bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan
adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah
singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak
kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai
makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai
berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan
pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat
Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan
asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk
menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun
1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun
1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan
bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata,
25. atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada
akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan
pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi
Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.
Filosofi Tau
Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah
tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan
dan arah menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam
konteks masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan
setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) -
Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di
atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam daripada
pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika
dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau.
26. Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara
penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati
sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan
panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan
menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut
Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara
pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk
memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian
dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen
lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi
menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa
melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian
Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan
almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan
bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
27.
28. Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua‘
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama
musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan
tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras. Ada beberapa
tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti
oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku
Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali.
Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala
kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang
enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini
dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari
panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat
dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
29. Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja
sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa
resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua
sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo'
, Toala', dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari
bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk
banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana
Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses
transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama
dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Acara
kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka
cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai
banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental.
Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan
pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan
untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
30. KETERKAITAN ANTARA BUDAYA DENGAN PSIKOLOGI
Setelah penjabaran diatas, kami berusaha untuk melihat benang merah antara
kebudayaan masyarakat toraja dengan keadaan psikologis mereka. Secara keseluruhan
mereka nampak serupa dengan masyarakat pada umumnya, dimana ada nilai-nilai yang
mereka anut sesuai ajaran nenek moyang mereka. Tetapi yang menarik dari suku toraja
adalah ritual kematiannya. Ada sebuah upacara adat yang dilakukan berbeda dari suku-suku
kebanyakan. Mereka melakukan pesta yang besar ditengah kondisi duka. Secara psikologis
tentu hal ini bertentangan. Tapi mereka memiliki keyakinan bahwa ritual yang mereka
lakukan berupa pesta merupakan sebuah upaya pembekalan bagi sanak saudara yang
meninggal. Hal yang tidak biasa ini dapat kita maklumi dengan pemahaman bahwa nilai-
nilai yang dianut seseorang tentu berpengaruh pada perilaku mereka. Jika ditelusuri melalui
teori kritis dari paradigma konstruktivisme, dimana ideologi dipegang teguh dan ada nilai-
nilai yang mempengaruhi perilaku, maka hal ini dapat dikatakan sebagai hal yang wajar.
Budaya yang dianut ternyata amat erat mereka pegang teguh, meskipun bagi sebagian orang
hal tersebut dianggap tidak lazim.