1. TAHLILAN DALAM TIMBANGAN ISLAM
Posted on Agustus 18, 2007 by Kajian Islam Assunnah
Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur‘an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu
‗alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur‘an tersebut
sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata‘ala mencurahkan
hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk
senantiasa menerima kebenaran hakiki.
Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang
biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian.
Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya,
membaca beberapa ayat Al Qur‘an, dzikir-dzikir, dan disertai do‘a-do‘a tertentu untuk
dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang
diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal
dengan istilah ―Tahlilan‖.
Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan
sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu
diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan
tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan
tempat lainnya.
Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara
diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang
berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan ―lebih dari sekedarnya‖
cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta
kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.
Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi
suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti
telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara
tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: ―wajib‖) untuk dikerjakan
dan sebaliknya, bid‘ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.
Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang
suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa
bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al
Qur‘an dan As Sunnah.
Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat
Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus
dikembalikan kepada Al Qur‘an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya
dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata‘ala
dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata‘ala telah berfirman (artinya):
2. ―Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur‘an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.‖ (An Nisaa‘: 59)
Historis Upacara Tahlilan
Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di
masa Rasulullah shalallahu ‗alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabi‘in maupun
Tabi‘ut tabi‘in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah
seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi‘i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa
dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?
Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang
bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai
bentuk penghormatan dan mendo‘akan orang yang telah meninggalkan dunia yang
diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di
lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-
dzikir dan do‘a-do‘a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur‘an, maupun dzikir-dzikir dan
do‘a-do‘a ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi
(pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.
Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam
Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:
Pertama: Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Qur‘an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do‘a-do‘a
tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara
tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.
Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi
(dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-
dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang
menganjurkan untuk membaca Al Qur‘an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula
untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.
1. Bacaan Al Qur‘an, dzikir-dzikir, dan do‘a-do‘a yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit.
Memang benar Allah subhanahu wata‘ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al
Qur‘an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur‘an, dzikir-dzikir,
dan do‘a-do‘a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah
tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah
shalallahu ‗alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang
telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata‘ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata‘ala
berfirman (artinya):
―Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan
nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.‖ (Al Maidah: 3)
3. Juga Rasulullah shalallahu ‗alaihi wasallam bersabda:
―Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan
dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.‖ (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah
sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan
maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‗alaihi
wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‗alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga
orang, yang pertama menyatakan: ―Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam‖, yang
kedua menyatakan: ―Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka‖, yang terakhir
menyatakan: ―Saya tidak akan menikah‖, maka Rasulullah shalallahu ‗alaihi wasallam menegur
mereka, seraya berkata: ―Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya
bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita.
Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.‖ (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata‘ala
kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah
shalallahu ‗alaihi wasallam. Allah subhanahu wata‘ala menyatakan dalam Al Qur‘an (artinya):
―Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang
paling baik amalnya.‖ (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna ―yang paling baik amalnya‖ ialah yang paling ikhlash
dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‗alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan
keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu
‗alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang
didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‗alaihi wasallam, maka
amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata‘ala (artinya): ―Maukah Kami
beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-
orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka
bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya‖. (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‗Aisyah radhiallahu ‗anha, Rasulullah shalallahu ‗alaihi
wasallam bersabda:
―Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.‖
(Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
―Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang
memerintahkannya.‖
4. Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah
suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata‘ala dan Rasul-Nya
menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah
subhanahu wata‘ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari
Al Imam Asy Syafi‘I:
―Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah –pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara‘ (syari‘at) sendiri‖.
Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi‘i tentang hukum bacaan Al
Qur‘an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala
bacaan Al Qur‘an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah
subhanahu wata‘ala (artinya):
―Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah
diusahakannya‖. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329).
2. Penyajian hidangan makanan.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang
terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan
tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang
lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah shalallahu ‗alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para
sahabatnya radhiallahu ‗anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‗anhu–salah seorang sahabat
Rasulullah shalallahu ‗alaihi wasallam– berkata: ―Kami menganggap/ memandang kegiatan
berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit
merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).‖ (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit
termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah
shalallahu ‗alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama
salaf yaitu Al Imam Asy Syafi‘i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam
Asy Syafi‘i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi‘i. Al
Imam Asy Syafi‘i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‗Al Um‘
(1/248): ―Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit –pent) meskipun
tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan
urusan mereka.‖ (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi‘i setelah menyebutkan
perkataan Asy Syafi‘i diatas didalam kitabnya Majmu‘ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: ―Ini
adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau.
Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan
argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam
agama (bid‘ah –pent).
Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi‘i?
5. Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan
makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana
bimbingan Rasulullah shalallahu ‗alaihi wasallam dalam hadistnya:
―Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja‘far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang
menyibukkan mereka.‖ (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)
Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan
kebenaran di tengah gelapnya permasalahan. Wallahu ‗a‘lam.
http://assalafy.org/artikel.php?kategori=aqidah6
TAHLILAN
Menurut Ulama Empat Mazhab
Hakekat penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Subhaanahu Wata‘ala.
Karena itu, Allah Subhaanahu Wata‘ala menurunkan kitab-Nya dan mengutus rasul-Nya untuk
mengajarkan kepada manusia cara beribadah kepada Allah Subhaanahu Wata‘ala.
Kenyataannya, masih banyak ritual yang dilakukan oleh umat Islam, khususnya di Indonesia
yang tidak jelas asal usulnya dalam agama, tapi justru seakan-akan hukumnya menjadi wajib,
tahlilan misalnya. Ritual ini, seakan sudah mengurat daging dan menjadi kelaziman yang
mengikat masyarakat tatkala tertimpa musibah kematian. Tak heran, sangat jarang keluarga yang
tidak menyelenggarakan ritual ini karena takut diasingkan masyarakatnya. Katanya pula, ritual
ini adalah ciri khas penganut mazhab Syafi‘i.
Benarkah demikian? Lalu bagaimana pandangan ulama mazhab lain menyikapi tahlilan?
Tahlilan adalah acara yang diselenggarakan ketika salah seorang anggota keluarga meninggal
dunia. Secara bersama-sama, setelah proses penguburan selesai, seluruh keluarga, serta
masyarakat sekitar berkumpul di rumah keluarga mayit untuk membaca beberapa ayat al Qur‘an,
zikir, berikut doa-doa yang ditujukan kepada mayit. Karena dari sekian zikir yang dibaca
terdapat kalimat tahlil (laa ilaaha illalloh) yang diulang-ulang ratusan kali, maka acara tersebut
dikenal dengan istilah ―tahlilan‖.
Masyarakat Sulawesi pada umumnya, melaksanakan tahlilan ini sejak malam pertama, ketiga,
ketujuh, kesepuluh, kedua puluh, dan seterusnya hingga malam ke seratus. Pada acara tersebut,
keluarga mayit menyajikan makanan dan minuman bagi para pelayat.
Mengapa Tahlilan Disorot?
Dari Jarir bin Abdullah al Bajali Radhiyallahu ‗Anhu, beliau berkata
6. ―Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul pada keluarga orang meninggal
dan membuat makanan (untuk disajikan ke pelayat) termasuk niyahah (meratapi jenazah yang
terlarang).‖ (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Syaikh al Albani).
) (kami berpendapat) ini kedudukannya sama
dengan meriwayatkan ijma‘ (kesepakatan) para sahabat atau taqrir (persetujuan) Nabi Shallallahu
‗Alaihi Wasallam. Jika ini adalah taqrir Nabi Shallallahu ‗Alaihi Wasallam, maka artinya, hadits
ini marfu‘ hukman (jalur periwayatannya sampai kepada Nabi Shallallahu ‗Alaihi Wasallam).
Bagaimana pun juga, hadits ini dapat dijadikan hujjah.‖ (Lihat Shahih Ibnu Majah, 2/48).
Ijma‘ para sahabat menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah al-Qur‘an dan Sunnah. Ini
merupakan kesepakatan para ulama Islam seluruhnya.
Riwayat lain, dari Abdullah bin Ja‘far, beliau berkata, ―Ketika sampai kabar gugurnya Ja‘far,
Rasulullah Shallallahu ‗Alaihi Wasallam bersabda,
―Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja‘far karena telah datang kepada mereka urusan yang
menyibukkan.‖ (HR. Ahmad, asy-Syafi‘i, dan selainnya, dihasankan oleh Syaikh al Albani).
Apa yang kita saksikan di masyarakat kita, ternyata sangat berbeda dengan apa yang
diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‗Alaihi Wasallam. Beliau memerintahkan untuk membuat
makanan, tapi bukan untuk para pelayat. Sebaliknya, keluarga yang sedang dirundung dukalah
yang lebih berhak untuk dilayani.
Dari Ibn Abi Syaibah, beliau berkata,
―Jarir mendatangi Umar, lalu Umar berkata, ―Apakah kamu sekalian suka meratapi janazah?‖
Jarir menjawab, ‖Tidak.‖ Umar berkata, ―Apakah ada di antara wanita-wanita kalian, suka
berkumpul di rumah keluarga jenazah dan memakan hidangannya?‖ Jarir menjawab, ―Ya.‖ Umar
berkata, ―Hal demikan itu adalah sama dengan niyahah (meratap).‖
Ulama Mazhab Menyikapi Selamatan Kematian
1. Mazhab Syafi‘i
Saudara-saudara kita yang melaksanakan tahlilan pada umumnya berdalih, tahlilan adalah ciri
khas penganut mazhab Syafi‘i.
Namun apa kata Imam Syafi‘i sendiri tentang hal ini? Beliau berkata dalam kitabnya al Umm,
1/318),
7. ―Dan saya membenci berkumpul-kumpul (dalam musibah kematian) sekalipun tanpa diiringi
tangisan, karena hal itu akan memperbarui kesedihan dan memberatkan tanggungan (keluarga
mayit) serta berdasarkan atsar (hadits) yang telah lalu.‖
Perkataan beliau di atas sangat jelas dan tak bisa ditakwil atau ditafsirkan kepada arti dan makna
lain, kecuali bahwa beliau dengan tegas melarang berkumpul-kumpul di rumah duka. Ini sekadar
berkumpul, bagaimana pula jika disertai dengan tahlilan malam pertama, ketiga, ketujuh, dan
seterusnya yang tak seorang pun sahabat pernah melakukannya?
Imam Syafi‘i juga berkata, ―Dan saya menyukai agar para tetangga mayit beserta kerabatnya
untuk membuatkan makanan yang mengenyangkan bagi keluarga mayit di hari dan malam
kematian. Karena hal tersebut termasuk sunnah dan amalan baik para generasi mulia sebelum
dan sesudah kita.‖ (Al Umm,1/317).
Imam Nawawi—rahimahullah—berkata, ―Dan adapun duduk-duduk ketika melayat maka hal ini
dibenci oleh Syafi‘i, pengarang kitab ini (As-Sirozi) dan seluruh kawan-kawan kami (ulama-
ulama mazhab Syafi‘i). (Majmu‘ Syarh Muhadzdzab, 5/278).
Imam Nawawi juga menukil dalam al Majmu‘ (5/290) perkataan pengarang kitab asy-Syamil,
―Adapun apabila keluarga mayit membuatkan makanan dan mengundang manusia untuk makan-
makan, maka hal itu tidaklah dinukil sedikit pun (dari Rasulullah Shallallahu ‗Alaihi Wasallam)
bahkan termasuk bid‘ah (hal yang diada-adakan dalam agama), bukan sunnah.‖
2. Mazhab Maliki
Imam at-Thurthusi berkata dalam kitab al Hawadits wa al Bida‘ hal. 170-171, ―Tidak apa-apa
seorang memberikan makanan kepada keluarga mayit. Tetangga dekat maupun jauh. Karena
Nabi Shallallahu ‗Alaihi Wasallam tatkala mendengar kabar wafatnya Ja‘far, beliau bersabda,
―Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja‘far karena telah datang kepada mereka urusan yang
menyibukkan.‖
Makanan seperti ini sangat dianjurkan oleh mayoritas ulama karena hal tersebut merupakan
perbuatan baik kepada keluarga dan tetangga. Adapun bila keluarga mayit yang membuatkan
makanan dan mengundang manusia untuk makan-makan, maka tidak dinukil dari para salaf
sedikit pun. Bahkan menurutku, hal itu termasuk bid‘ah tercela. Dalam masalah ini, Syafi‘i
sependapat dengan kami (mazhab Maliki).‖
3. Mazhab Hanafi
Al Allamah Ibnu Humam berkata dalam Syarh Hidayah hal. 1/473, tentang kumpul-kumpul
seperti ini, ―Bid‘ah yang buruk.‖
4. Mazhab Hanbali
Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya al Mughni 1/496, ―Adapun keluarga mayit membuatkan
makanan untuk manusia, maka hal tersebut dibenci karena akan menambah musibah mereka dan
menyibukkan mereka serta menyerupai perilaku orang-orang jahiliyah.‖
Dan inilah mazhab Hanbaliyah sebagaimana tersebut dalam kitab al Inshof, 2/565 oleh al
Mardawaih.
8. Inilah di antara perkataan para ulama mazhab menyikapi tahlilan. Ternyata, selain menguras
tidak sedikit harta benda kita—bahkan ada yang sampai berhutang untuk menyelenggarakan
tahlilan—juga tidak bernilai ibadah di sisi Allah Subhaanahu Wata‘ala bahkan dia adalah bid‘ah
yang dicela oleh Rasulullah Shallallahu ‗Alaihi Wasallam, para sahabatnya, dan ulama seluruh
mazhab.
Sejatinya, seorang muslim setelah mengetahui hukum sesuatu, maka dia akan berkata seperti
perkataan orang-orang mukmin yang diabadikan dalam al Qur‘an, ―Kami mendengar, dan kami
patuh.‖ (QS. An-Nur: 51).
Dan jangan sampai, justru ucapan kita sebagaimana pernyataan orang-orang musyrik yang juga
diabadikan dalam al Qur‘an, ketika diseru untuk mengikuti apa yang diturunkan Allah Azza
Wajalla, mereka menjawab, ―(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati
dari (perbuatan) nenek moyang kami.‖
Maka Allah Azza Wajalla berkata kepada mereka, ―(Apakah mereka akan mengikuti juga)
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun dan tidak mendapat
petunjuk?‖ (QS. Al Baqarah: 170). Wallahul Haadi ilaa ath-thoriq al Mustaqim.
Bahan bacaan: Al Furqon, 12/II/1424, dan sumber-sumber lainnya. (Al Fikrah)
TAHLILAN
Published on August 21, 2008 in Kenali
Aqidahmu (Habib Munzir).
Pada hakikatnya majelis tahlil atau
tahlilan adalah hanya nama atau sebutan
untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan
berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu
berkumpulnya sejumlah orang untuk
berdoa atau bermunajat kepada Allah
SWT dengan cara membaca kalimat-
kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir,
tahlil, tasbih, Asma‘ul husna, shalawat
dan lain-lain.
Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil
sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya
sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa ilaaha illallah) Lalu bagaimana hukumnya mengadakan
acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk
mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan
apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?
Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya
dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang Jelas dalam Shahih Muslim
hadits no.1149, bahwa ―seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yang telah wafat dan
diperbolehkan oleh Rasul saw‖, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa
―seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yang telah wafat‖, dan Rasulullah SAW pun
9. menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya,
―Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari
Ummat Muhammad‖ (Shahih Muslim hadits no.1967).
Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur
(kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya apalagi
mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi‘i, bila
si pembaca tak mengucapkan lafadz : ―Kuhadiahkan‖, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah
ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..‖, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi‘iy
mengatakan pahalanya tak sampai.
Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi
berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan 21 hujjah
(dua puluh satu dalil) tentang Intifa‘ min ‗amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya).
Mengenai ayat : ―DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YG
DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dengan ayat
―DAN ORANG ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN
KEIMANAN‖,
Mengenai hadits yang
mengatakan bahwa bila
wafat keturunan adam,
maka terputuslah amalnya
terkecuali 3 (tiga),
shadaqah Jariyah, Ilmu
yang bermanfaat, dan
anaknya yang berdoa
untuknya, maka orang
orang lain yang mengirim
amal, dzikir dll
Untuknya ini jelas jelas
bukanlah amal perbuatan
si mayyit, karena
Rasulullah SAW
menjelaskan terputusnya
amal si mayyit, bukan
amal orang lain yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah
memerintahkan di dalam Al Qur‘an untuk mendoakan orang yang telah wafat : ―WAHAI
TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA
KAMI YG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN‖, (QS Al Hasyr-10).
Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yang memungkirinya,
siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yang tak suka
dengan dzikir.
10. Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat qur‘an,
dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan agar semua orang awam bisa
mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur‘an dalam disket atau CD,
lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik
a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk mempermudah muslimin terutama yang
awam. Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur‘an dengan
Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau
sekumpulan kitab, bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,
Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk
mendoakan yang wafat) tidak di Al Qur‘an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat,
tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yang mengada ada dari kesempitan
pemahamannya.
Mengenai 3 hari, 7 hari,
40 hari, 100 hari, 1000
hari, atau bahkan tiap hari,
tak ada dalil yang
melarangnya, itu adalah
Bid‘ah hasanah yang
sudah diperbolehkan oleh
Rasulullah saw, justru kita
perlu bertanya, ajaran
muslimkah mereka yang
melarang orang
mengucapkan Laa ilaaha
illallah?, siapa yang alergi
dengan suara Laa ilaaha
illallah kalau bukan
syaitan dan pengikutnya ?, siapa yang membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?,
muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut
Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke
100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.
Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer,
handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yang ada di
masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak
melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat
yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa
dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda :
Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar
berpuasa pula‖ (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).
Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu membaca
surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah fatihah maka ia membaca AL
Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat al ikhlas setiap rakaatnya, ia
11. jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan disetiap rakaat, maka orang
mengadukannya pada Rasul saw, dan ia ditanya oleh Rasul saw : Mengapa kau melakukan hal
itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu
pada surat Al ikhlas akan membuatmu masuk sorga‖ (Shahih Bukhari).
Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tsb dari ajaran Rasul saw, ia membuat buatnya
sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul saw tak melarangnya bahkan
memujinya.
Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu ahli
hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan hukum matannya)
dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul saw :
Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : ―aku 60 kali
melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk
Rasulullah saw‖.
Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj
: ―aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang pahalanya untuk Rasulullah saw
dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali
khatam Alqur‘an untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw‖.
Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu masalah yang
dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H
Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji
pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur‘an 700 kali khatam untuk
Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).
Walillahittaufiq
Sumber Buku Habib Munzir Al Musawwa ―Kenalilah Aqidahmu‖
Doa Untuk Mayit (Tahlilan/Yasinan/Haul) bagian1
2009-04-24 14:11
Doa Untuk Mayit
(Tahlilan/Yasinan/Haul)
Written by Muhammad Sulton
Friday, 13 February 2009 10:44
Pandangan Mazhab Ahlussunnah Waljamaah terhadap suatu amalan baru
12. Madzhab adalah metode memahami ajaran agama. Di dalam Islam ada berbagai macam
madzhab, di antaranya; madzhab politik, seperti Khawarij, Syi‘ah dan Ahlus Sunnah; madzhab
kalam, contoh terpentingnya Mu‘tazilah, Asy‘ariyah dan Maturidiyah; dan madzhab fiqh, misal
yang utama adalah Malikiyah, Syafi‘iyah, Hanafiyah dan Hanbaliyah, bisa juga ditambah dengan
Syi‘ah, Dhahiriyah dan Ibadiyah (al-Mausu‘ah al-‗Arabiyah al-Muyassaraah, 1965: 97).
Mazhab Ahlussunnah Waljama‘ah merupakan akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai
bidang yang dihasilkan para ulama untuk menjawab persoalan yang muncul pada zaman tertentu.
Di dalam memutuskan suatu masalah, tentu kita tidak dapat memutuskan dengan cepat. Kita
(ASWAJA) harus mengadakan penelitian yang cermat terhadap masalah tersebut dengan
menyandarkan kepada:
1. Al-Qur‘an
2. Al Hadist (sunnah)
3. Al-Ijma‘
4. Al-Qiyas
Al-Qur’an
Al-Qur‘an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur‘an
adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk
berpegangan kepada Al-Qur‘an.
Al-Hadits/Sunnah
Sumber kedua dalam menentukan hukum ia . Karena Rasulullah saw.
Adalah insan yang paling berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur‘an, maka As-Sunnah
Rasulullah saw. menduduki tempat kedua setelah Al-Qur‘an.
Al-Ijma’
Yang disebut Ijma‘ ialah kesepakatan para Ulama‘ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan
hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para
sahabatnya dan para Mujtahid.
Kemudian ijma‘ ada 2 macam :
1. Ijma‘ Bayani ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk
perkataan maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya.
13. 2. Ijma‘ Sukuti ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian
yang lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu.
Contoh untuk Ijma‘ Sukuti adalah di adakannya adzan dua kali untuk sholat Jum‘at, yang
di prakarsai oleh sahabat Ustman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau. Para
sahabat lainnya tidak ada yang memprotes atau menolak ijma‘ Beliau r.a. tersebut dan
diamnya para sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut.
Dalam ijma‘ sukuti ini Ulama‘ masih berselisih faham untuk diikuti, karena setuju dengan sikap
diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma‘ bayani telah disepakati suatu hukum, wajib bagi
ummat Islam untuk mengikuti dan menta‘ati.
Al-Qiyas
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa.
Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena
adanya sebab yang antara keduanya.
Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-far‘u, al-hukmu dan as-sabab.
Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang
pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far‘u-nya adalah beras (tidak tercantum dalam al-Qur‘an dan al-
Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya
karena makanan pokok.
Ke 4 sumber hukum diatas (Al Qur‘an, Sunnah, ijma‘ dan Qiyas) telah disepakai secara bulat
oleh para Imam pendiri mazhab, antara lain Al Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi‘i
dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Madzhab Ahlussunnah wal Jama‘ah mempergunakan Ijma‘ dan Qiyas kalau tidak mendapatkan
dalil nash yang shahih (jelas) dari Al-Qur‘an dan As-Sunnah. Kita tidak dapat menghalalkan
sesuatu atau mengharamkan sesuatu, kecuali dengan dalil-dalil yang jelas berdasarkan ke 4
sumber hukum di atas.
Janganlah kita mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, dan jangan
pula menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT dan Rasul-Nya. Di dalam Ilmu Fiqih
apabila kita melihat suatu perbuatan di tengah-tengah masyarakat, kita tidak bisa dengan secepat
mungkin berkata halal atau haram.
Kita sebaiknya mengikuti dan mengambil pelajaran dari kisah sahabat Mu‘adz r.a. ketika beliau
di utus oleh Rasulullah saw ke negeri Yaman.
―Dari sahabat Mu‘adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah
bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu‘adz
menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? kemudian nabi bersabda; kalau
tidak engkau jumpai dalam kitab Allah? Mu‘adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw.
14. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab
Allah? Mu‘adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali;
Mu‘adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu‘adz berkata; Alhamdulillah
yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah
meridlai-Nya.
Langkah yang di ambil dari sahabat Mu‘adz r.a. di atas dapat kita jadikan pedoman dalam
mengambil suatu langkah-langkah hukum agama apabila kita melihat dan mendapati amalan
baru-baru yang berkembang di masyarakat.
Adapun langkah-langkah pertimbangannya dalam menentukan suatu hukum atas amalan baru
adalah sebagai berikut;
1. Kita melihat apakah perbuatan tersebut ada perintahnya dalam Al-Qur‘an dan As-
Sunnah?
2. Apabila perbuatan tersebut, tidak ada perintahnya baik dalam Al-Qur‘an maupun As-
Sunnah, kita lihat kembali, apakah ada larangan terhadap perbuatan tersebut?
3. Kalau perintah terhadap perbuatan tersebut tidak ada dan juga larangannya, di dalam
Al-Qur‘an dan As-Sunnah tidak ada, kita tinjau kembali; apakah perbuatan tersebut ada
maslahatnya terhadap agama?
4. Kalau ternyata perbuatan tersebut tidak ada maslahatnya, kita tinjau kembali, apakah
perbuatan tersebut ada madlaratnya (bahayanya) terhadap agama?
Sebagai contoh dari tradisi muslim yang mulia ini adalah yang sering kita sebut dengan nama
TAHLILAN/YASINAN. Majelis yang mulia ini sering kita laksanakan / lakukan ketika ada
seorang kerabat / keluarga atau tetangga yang meninggal dunia dengan mengadakan doa
bersama untuk orang meninggal tersebut, yana mana biasanya dilakukan pada malam ke 1,2,3,
5 ataupun malam ke 7 atau HAUL yang biasa dilaksanakan setahun sekali.
Dalam bahasa arab, Tahlil berarti menyebut kalimah “syahadah” yaitu “La ilaha illa Allah”.
Definisi ini dinyatakan oleh Al-Lais dalam kitab “Lisan al-Arab”. Dalam kitab yang sama, Az-
Zuhri menyatakan, maksud tahlil adalah meninggikan suara ketika menyebut kalimah
Thayyibah.
Pada hakikatnya majelis TAHLIL/YASINAN atau HAUL adalah hanya nama atau sebutan untuk
sebuah acara yang di dalam terdapat rangkaian dzikir (membaca Al-Qur’an) dan berdoa serta
bermunajat bersama. Majelis ini dapat juga kita simpulkan: Yaitu berkumpulnya sejumlah orang
untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat-kalimat
15. thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul Husna, shalawat, mengirim doa bagi
arwah yang meninggal dan lain-lain. Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan
majelis dzikir lainnya, hanya istilah dan nama atau kemasannya saja yang berbeda dengan
zaman salaf terdahulu namun hakikat serta intinya sama, yakni Dzikrullah (berdzikir kepada
Allah).
Berdoa merupakan perintah Allah. Islam mengajarkan kepada kita untuk selalu berdoa kepada
Allah. Karena doa merupakan inti dari ibadah dan dalam setiap gerak ibadah yang dilakukan
oleh seorang mukmin itu adalah doa.
Tahlil adalah tradisi dari generasi salaf dan pada mulanya dikenalkan oleh Wali Songo
(sembilan pejuang Islam / wali di tanah Jawa) ketika mereka berhijrah ke Indonesia. Seperti
yang telah kita ketahui, di antara yang paling berjasa menyebarkan ajaran Islam di Indonesia
adalah Wali Songo (9 Wali) yang berasal dari Hadramaut - Yaman. Keberhasilan dakwah Wali
Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya.
Wali Songo mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes dan tidak secara frontal menentang
tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan,
hanya saja isinya diganti dengan nilai Islami. Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal,
maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka (masyarakat setempat)
bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan. Wali
Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap
berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti
pengertian di atas tidak dikenal sebelum era Wali Songo.
KH Sahal Mahfud, seorang ulama asal Kajen, Pati, Jawa Tengah, yang kini menjabat Rais Aam
PBNU, berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan
sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial
sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah.
Bila asal mula tradisi Tahlil tersebut dikatakan merupakan adat orang hindu, maka sebaiknya
kita berfikir bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yg merupakan
adat orang kafir, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh
boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasulullah saw meniru adat yahudi yg berpuasa pada
hari 10 muharram, bahwa Rasulullah saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram
16. karena mereka bersyukur atas selamatnya Musa as, dan Rasulullah saw bersabda : “Kami lebih
berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula”
(HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727)
Namun sayang beberapa dekade terakhir, majelis yang di muliakan oleh Allah SWT ini
mendapat “serangan & pertentangan” dari kelompok yang memungkiri jaiz nya majelis ini dan
mengakui bahwa Islam pada dirinya paling benar dengan KEDOK / DALIL PEMURNIAN
TAUHID (Agama), maka Majelis Tahlil ini di CAP sebagai sebutan ritual Bid’ah dan sesat
dengan berbagai macam alasan-alasan yang di buat-buat oleh kelompok orang-orang salafi
untuk mencari kelemahan majelis yang mulia itu.
Di bawah ini beberapa alasan yang sering mereka sebutkan terkait Majelis TAHLIL / YASINAN & HAUL:
1. Ritual tersebut adalah perbuatan BID‘AH karena Rasulullah SAW tak pernah
mengajarkan atau mencontohkannya.
2. Hadist-hadist yang digunakan membolehkan membaca tahlil / Yasin bagi orang
meninggal dunia adalah berasal dari hadist dhoif.
3. Taqlid buta (taqlid kepada orang / guru) tanpa mengetahui sumber hukumnya.
4. Pahala bagi orang yg telah meninggal dunia tak dapat bertambah / amalannya, telah putus
kecuali 3 perkara: Ilmu yg bermanfaat, amal jariyah (sedeqah) dan doa dari anak sholeh.
Sebagaimana yang Rasulullah saw. sabdakan: ―Jika seorang manusia meninggal dunia
terputuslah amalannya keculai dari tiga perkara: ‗Shadaqah jariyah, anak sholeh yang
mendoakannya dan ilmu yang bermanfaat‘.‖
5. Doa dari kerabat dan saudara (muslimin) lainnya bagi sang mayit tertolak dengan
berlandasakan firman Allah SWT di dalam surah An-Najm:39.
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (An-
Najm:39).
Itulah beberapa alasan yang lazim/biasa di gunakan oleh kelompok yang mengaku sebagai
pembawa Pembaharu Islam yang lebih dikenal dengan nama salafi untuk menyerang majelis
(perkumpulan) yang mulia itu. Dan karena kedangkalan dan lemahnya pemahaman ilmu mereka
dan dengan mudah pula mereka menolak segala apa yang telah disyariatkan oleh agama dan
diganti oleh mereka dengan label Bid‘ah dan syirik dengan alasan yang dibuat buat oleh mereka.
17. Persoalannya adalah, apakah benar bacaan Al-Qur‘an dan doa bagi orang yang bertahlil akan
sampai kepada mayit dan diterima oleh Allah sebagai amal pahala ataukah bacaan (hadiah
pahala) tersebut tidak berguna bagi mayit dan tidak diterima oleh Allah SWT sebagai pahala bagi
mayit?
http://www.aswaja.net/artikel/46-akidah/716-doa-untuk-mayit-tahlilanyasinanhaul-bagian-2
Sebelum agama Hindu, Budha dan Islam masuk ke Indonesia, kepercayaan yang dianut oleh
bangsa Indonesia antara lain adalah paham animisme. Menurut paham ini, ruh dari orang-orang
yang sudah mati itu sangat menentukan bagi kebahagiaan dan kecelakaan orang-orang yang
masih hidup di dunia ini. Disamping itu, bangsa-bangsa yang menganut paham animisme ini
juga berkeyakinan bahwa ruh dari orang yang sedang mengalami kematian itu tidak senang
untuk meninggalkan alam dunia ini sendirian tanpa teman, dan ingin mengajak anggota
keluarganya yang lain.
Untuk itu, agar anggota keluarga yang mati itu tidak mengajak anggota keluarga yang lain, maka
anggota keluarga yang ditinggal mati itu melakukan hal-hal yang antara lain sebagai berikut:
Menyembelih binatang ternak seperti: kerbau, sapi, kambing, babi, atau ayam milik si
mayit, agar nyawa dari binatang tersebut menemani ruh si mayit agar tidak me-ngajak
anggota keluarganya yang masih hidup; dan memberikan atau menyediakan sesaji di
tempat tertentu untuk ruh si mayit, agar ruh si mayit itu tidak marah kepada anggota
keluarganya.
Setelah tiga hari dari kematian, yaitu saat mayit yang sudah di tanam dalam kubur mulai
membengkak, di tempat tidur orang yang mati bagi orang Jawa dan di atas buffet yang
telah dipasang foto dari orang yang mati bagi orang Cina, diberikan se-saji agar ruh dari
orang yang mati tidak marah. Demikian pula pada hari ketujuh, ke empat puluh,
keseratus, satu tahun, dua tahun dan keseribu dari hari kematiannya.
Bagi orang Cina, anggota keluarga yang mati itu diinapkan di rumah duka beberapa hari
lamanya, dan selama itu papan nama dari rumahnya disilang dengan kertas hitam atau
lainnya untuk mengenalkan kepada ruh si mayit bahwa rumahnya adalah yang papan
namanya diberi silang. Dan setelah mayit dikubur, maka tanda silang tersebut di buang,
dengan maksud agar apabila ruh si mayit tersebut pulang ke rumahnya, ruh itu tersesat
tidak dapat masuk ke dalam rumahnya, sehingga tidak dapat mengganggu anggota
keluarganya.
Bagi orang Jawa ada yang menyebarkan beras kuning dan uang logam di depan mayit
sewaktu mayit di bawa ke pekuburan dengan maksud untuk memberitahukan kepada si
mayit bahwa jalannya dari rumah sampai ke pekuburan adalah yang ada beras kuning dan
uang logamnya. Sehingga jika ruh si mayit ingin pulang ke rumah untuk mengganggu
anggota keluarganya dia tersesat, sebab beras kuning dan uang logam di jalan yang
dilaluinya sudah tidak ada lagi karena beras kuningnya sudah dimakan oleh ayam atau
burung, sedang uangnya sudah diambil oleh anak-anak. Ada pula yang mengeluarkan
jenazah dari rumah tidak boleh melalui pintu rumah, tetapi harus dibobolkan pagar rumah
18. yang segera ditutup kembali setelah jenazah dibawa ke kubur dan lainnya lagi dengan
maksud agar ruh si mayit itu tidak dapat kembali lagi ke rumahnya.
Pada waktu agama Hindu dan agama Budha masuk di Indonesia, kedua agama ini tidak dapat
merubah tradisi yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia yang berpaham animisme tersebut,
sehingga tradisi tersebut berlangsung terus sampai saat agama Islam masuk ke Indonesia dibawa
oleh para penganjur Islam yang kemudian terkenal dengan nama Wali Songo.
Pada saat Wali Songo datang, tradisi bangsa Indonesia yang telah berurat berakar selama ratusan
dan bahkan mungkin ribuan tahun lamanya, tidak diberantas, tetapi hanya diarahkan dan
dibimbing sedemikian rupa, sehingga tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam.
[IMG]file:///C:/Users/DELAVE%7E1/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif
[/IMG]Disusun oleh:
Drs. KH. Achmad Masduqi
Prof. Dr. Slamet Muljana dalam bukunya Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa Dan Timbulnya
Negara-Negara Islam Di
Nusantara menguraikannya sebagai berikut :
“Bertalian dengan pemujaan arwah leluhur itu, perlu disinggung disini pesta srada pada
tahun Saka 1284 atau
tahun Masehi 1362, untuk memperingati wafat Rajapatni yang diselenggarakan oleh prabu
Hayam Wuruk secara besar-
besaran. Pesta srada itu diuraikan dalam Nagarakretagama secara panjang lebar dari pupuh 63
sampai 67......
Bagaimanapun, pesta srada bertalian erat dengan pemujaan arwah Rajapatni oleh Prabu Hayam
Wuruk."
Setelah agama Islam masuk di wilayah Majapahit, pesta srada sebagai peringatan kepada arwah
para leluhur masih
tetap dirayakan. Pesta srada itu lalu disebut dalam bahasa Jawa “nyadran”. Pesta
itu diadakan di kuburan
para leluhur dalam bulan arwah atau Ruwah, yakni bulan Sya’ban, mengadapi bulan
puasa atau Ramadhan.
Orang membawa makanan ke kuburan untuk berpesta demi peringatan atau pemujaan arwah para
leluhur. Di samping
itu, dilakukan penyekaran, artinya mengirim bunga kepada arwah para leluhur. Bunga kantil,
telasih, kenanga, melur,
dan melati diletakkan di atas nisan leluhur, disertai pembakaran kemenyan dan doa. Jelaslah
bahwa
“nyadran” adalah sama dengan srada pada zaman Majapahit. Pemujaan arwah
para leluhur dalam bentuk
selamatan dilakukan beberapa kali sesudah seseorang meninggal, yakni pada saat orang
meninggal, tiga hari
kemudian, 7 hari kemudian, 40 hari kemudian, 100 hari kemudian, 1 tahun kemudian, 2 tahun
kemudian, dan 1000 hari
kemudian. Selamatan, sebagai peringatan kepada arwah orang meninggal yang pada hakikatnya
adalah pemujaan
arwah leluhur, dilakukan oleh orang Jawa yang sudah masuk Islam maupun yang belum”.
Mark R. Woodward mengatakan : “Ritus-ritus kematian Jawa tradisional mirip dengan
19. yang berlaku di banyak
masyarakat Islam lain. Ritus itu terdiri atas upacara slametan yang diadakan pada hari
pemakaman, pada hari ketiga,
ketujuh, keempat puluh, dan keseratus hari sesudah kematian, peringatan wafat pertama dan
kedua, dan seribu hari
sesudah kematian. Juga telah umum menyewa santri untuk membaca Al Qur’an tujuh hari
berturut-turut
menyusul pemakaman itu. Menurut banyak informan, sampai hari keseribu itu jiwa akan
menyempurnakan
perjalanannya melalui tujuh sorga dan mencapai kesatuan dengan Tuhan. Yang lain berpendapat
bahwa baru pada
akhir hari yang keseribu ruh itu tiba pada tempat peristirahatannya yang terakhir, di manapun
tempat itu mungkin
berada....Kebiasaan-kebiasaan yang sama bisa dijumpai di Mesir dan Asia Selatan. Di seluruh
dunia Islam, empat puluh
hari pertama hari kematian dianggap sebagai waktu berkabung. Selama periode ini, para qari
disewa untuk membaca Al
Qur’an dan berdoa untuk orang yang meninggal itu...”.
Namun tahlilan juga mempunyai makna lain, dimana tahlilan bukan hanya diartikan sebagai
bacaan kalimat syahadat
belaka seperti pada makna diatas tadi, akan tetapi tahlilan diartikan sebagai suatu bentuk ritual
keagamaan dalam
rangka mengirim doa, memohonkan ampunan kepada Allah, dan memohonkan syafa’at
kepada baginda
Muhammad SAW untuk para ruh, baik itu orang tua kita sendiri, anak, kerabat, kawan, dan guru,
serta kaum muslim-
muslimat yang telah wafat.
Tahlilan dilakukan diberbagai acara. Seperti selamatan kematian (hari pertama sampai hari ke
tujuh, hari ke lima belas,
empat puluh hari, seratus hari, dan satu tahun yang dikenal dengan nama haul), ziarah ke kubur,
pembukaan dari suatu
acara, dan berbagai macam acara lainnya. Bahkan saat ulang tahun atau tasyakuran menyambut
tahun baru pun
tahlilan juga diselenggarakan.
Umumnya, tahlilan dibuka dengan pembacaan istighfar, lalu pembacaan surat Al Fatihah yang
dihadiahkan kepada Nabi
Muhammad, keluarga dan sahabat beliau, para guru, para almarhum-almarhumah dari si shahibul
walimah, dan untuk
seluruh kaum muslim-muslimat. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan surat Yaasin, Al
Ikhlash, Al
Mu’awwidzatain, awal dan akhir surat Al Baqarah. Setelah itu pembacaan kalimat tahlil
(laa ilaaha illallaahu),
kalimat tasbih (Subhaanallaahi wa bihamdihi), dan terakhir pembacaan shalawat kepada baginda
Nabi SAW kemudian
ditutup dengan pembacaan do’a. Di beberapa tempat, acara tahlilan ini juga diisi dengan
20. pembacaan riwayat
Nabi SAW, seperti Barzanzi dan Diba’i. Sebelum acara tahlilan ditutup biasanya juga
diisi terlebih dahulu dengan
pemberian tausyiah atau mau’idzatul hasanah, nasehat dan wejangan dari seorang atau
beberapa ulama untuk
keluarga shahibul walimah maupun kepada jama’ah yang hadir. Biasanya tema besarnya
adalah menyangkut
persoalan kematian. Apabila acara tahlilan ini diselenggarakan atas permintaan seseorang, maka
saat seluruh rangkaian
acara ini selelai, sebagai ungkapan terima kasih dari shahibul walimah kepada para
jama’ah yang telah hadir,
biasanya diberikan berkat, yakni semacam oleh-oleh buat jama’ah. Ada yang berupa nasi
lengkap dengan
lauknya, ada juga berupa bahan sembako. Semua tergantung pada kemampuan si shahibul
walimah itu sendiri.
Kamis, 2008 Agustus 28
Benarkah Tahlil dari Tradisi Hindu?
Jakarta, NU Online
Selama ini terdapat keyakinan bahwa tradisi tahlilan bagi orang yang sudah meninggal yang
dilakukan pada hari-hari tertentu seperti 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari sampai dengan haul
yang diadakan untuk memperingati setiap tanggal kematian merupakan tradisi Hindu atau Budha
yang kemudian substansinya dirubah oleh para wali songo dengan mengisi bacaan dan doa dari
tradisi Islam, termasuk bacaan tahlil sehingga akhirnya disebut tahlil
Pendapat berbeda diungkapkan oleh Agus Sunyoto, penulis buku Syeikh Siti Jenar tersebut
berpendapat bahwa tradisi tahlil sebenarnya merupakan tradisi Syiah yang kemudian dibawa
oleh para musyafir yang menyebarkan Islam di Indonesia.
‖Dalam tradisi Hindu, tidak ada peringatan 7 hari sampai dengan 1000 hari. Yang ada peringatan
12 tahun sekali,‖ tandasnya saat berdiskusi di kantor NU Online Selasa malam dengan sejumlah
budayawan dan aktivis Lembaga Seni dan Budaya Nahdlatul Ulama (Lesbumi).
Pertanyaan tersebut muncul dalam dirinya ketika diajak salah satu temannya yang beraliran
Syiah untuk tahlil diajak tahlil. ‖Lho ini tradisinya kok sama dengan NU,‖ fikirnya dalam hati.
Selanjutnya ia melakukan penelitian tentang asal usul tradisi ini.
Para musyafir yang berasal dari kerajaan Campa yang kebanyakan beragama Islam dan memiliki
tradisi tasawuf beraliran Syiah lah yang mengembangkan tradisi ini. Makanya tak heran ketika
Imam Khumeini meninggal, juga diadakan tahlil untuk mendoakannya.
Tradisi lain yang berasal dari Syiah adalah adanya bulan baik atau buruk untuk mengadakan
suatu acara. ‖Orang Jawa dha berani mengadakan hajatan pada bulan Muharram atau lebih
dikenal dengan bulan Suro karena bisa membawa sial. Ini merupakan tradisi Syiah karena pada
21. bulan tersebut Sayyidina Husein, anak Ali bin Abi Tholib meninggal dibunuh,‖ tuturnya.
Tentang mengapa wali yang disebut berjumlah sembilan atau lebih dikenal sebagai wali songo,
padahal wali sebenarnya lebih dari itu, Agus berpendapat ini berkaitan dengan adopsi
kepercayaan Hindu yang berkeyakinan adanya delapan arah mata angin dan satu dipusatnya
sehingga jumlahnya menjadi sembilan.(mkf)
Dalil tahlil
Tahlilan/Kenduri Arwah, Mana dalilnya?
Acara tahlilan, biasanya berisikan acara pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur‘an, dzikir(Tasbih,
tahmid, takbir, tahlil, istighfar, dll), Sholawat dan lain sebagainya yg bertujuan supaya amalan
tsb, selain untuk yang membacanya juga bisa bermanfaan bagi si mayit.
Berikut kami sampaikan beberapa dalil yang menerangkan sampainya amalan tsb (karena
keterbatasan ruang & waktu maka kami sampaikan sementara dalil yg dianggap urgen saja, Insya
Alloh akan disambung karena masih ada beberapa dalil hadits & pendapat ulama terutama ulama
yang sering dijadikan sandaran sodara kita yg tidak menyetujui adanya acara tahlilan diantaranya
pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah, Imam Ibnul Qoyyim, Imam As-Saukani dll..
DALIL SAMPAINYA AMALIYAH BAGI MAYIT
1. Dalil Alqur’an:
Artinya:” Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka
berdo’a :” Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudar-saudar kami yang telah beriman
lebih dahulu dari kami‖ (QS Al Hasyr: 10)
Dalam ayat ini Allah SWT menyanjung orang-orang yang beriman karena mereka memohonkan
ampun (istighfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan bahwa orang
yang telah meninggal dapat manfaat dari istighfar orang yang masih hidup.
2. Dalil Hadits
a. Dalam hadits banyak disebutkan do‘a tentang shalat jenazah, do‘a setelah mayyit dikubur dan
do‘a ziarah kubur.
Tentang do‘a shalat jenazah antara lain, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:‖ Dari Auf bin Malik ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW – setelah selesai
shalat jenazah-bersabda:‖ Ya Allah ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia,
sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia
dengan air es dan air embun, bersihkanlah dari segala kesalahan sebagaimana kain putih bersih
dari kotoran, gantikanlah untuknya tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya,
keluarga yang lebih baik dari keluarganya, pasangan yang lebih baik dari pasangannya dan
peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka‖ (HR Muslim).
Tentang do‘a setelah mayyit dikuburkan, Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: Dari Ustman bin ‗Affan ra berkata:‖ Adalah Nabi SAW apabila selesai menguburkan
mayyit beliau beridiri lalu bersabda:‖ mohonkan ampun untuk saudaramu dan mintalah
keteguhan hati untuknya, karena sekarang dia sedang ditanya‖ (HR Abu Dawud)
Sedangkan tentang do‘a ziarah kubur antara lain diriwayatkan oleh ‗Aisyah ra bahwa ia bertanya
kepada Nabi SAW:
Artinya:‖ bagaimana pendapatmu kalau saya memohonkan ampun untuk ahli kubur ? Rasul
22. SAW menjawab, ―Ucapkan: (salam sejahtera semoga dilimpahkan kepada ahli kubur baik
mu‘min maupun muslim dan semoga Allah memberikan rahmat kepada generasi pendahulu dan
generasi mendatang dan sesungguhnya –insya Allah- kami pasti menyusul) (HR Muslim).
b. Dalam Hadits tentang sampainya pahala shadaqah kepada mayyit
Artinya: Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia
tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya:‖ Wahai Rasulullah SAW
sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya
bersedekah untuknya bermanfaat baginya ? Rasul SAW menjawab: Ya, Saad berkata:‖
saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya‖ (HR Bukhari).
c. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Saum
Artinya: Dari ‗Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:‖ Barang siapa yang meninggal
dengan mempunyai kewajiban shaum (puasa) maka keluarganya berpuasa untuknya‖(HR
Bukhari dan Muslim)
d. Dalil Hadits Tentang Sampainya Pahala Haji
Artinya:Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainnah datang kepada Nabi SAW dan
bertanya:‖ Sesungguhnya ibuku nadzar untuk hajji, namun belum terlaksana sampai ia
meninggal, apakah saya melakukah haji untuknya ? rasul menjawab: Ya, bagaimana pendapatmu
kalau ibumu mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya ? bayarlah hutang Allah, karena
hutang Allah lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari)
3. Dalil Ijma’
a. Para ulama sepakat bahwa do‘a dalam shalat jenazah bermanfaat bagi mayyit.
b. Bebasnya utang mayyit yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini
berdasarkan hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang
mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya nabi SAW bersabda:
Artinya:‖ Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya‖ (HR Ahmad)
4. Dalil Qiyas
Pahala itu adalah hak orang yang beramal. Jika ia menghadiahkan kepada saudaranya yang
muslim, maka hal itu tidak ada halangan sebagaimana tidak dilarang menghadiahkan harta untuk
orang lain di waktu hidupnya dan membebaskan utang setelah wafatnya.
Islam telah memberikan penjelasan sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca
Alqur‘an dan lainnya diqiyaskan dengan sampainya puasa, karena puasa adalah menahan diri
dari yang membatalkan disertai niat, dan itu pahalanya bisa sampai kepada mayyit. Jika
demikian bagaimana tidak sampai pahala membaca Alqur‘an yang berupa perbuatan dan niat.
Adapun dalil yang menerangkan shadaqah untuk mayit pada hari-hari tertentu seperti hari ke
satu, dua sampai dengan ke tujuh bahkan ke-40 yaitu hadits marfu‘ mursal dari tiga orang
tabi`ien yaitu Thaus, Ubaid bin Umair dan Mujahid yang dapat dijadikan qaid kepada hadits-
hadits mutlak (tidak ada qaid hari-hari untuk bershadaqah untuk mayit) di atas:
a. Riwayat Thaus :
Bahwa orang-orang mati itu akan dilakukan fitnah di dalam quburan mereka tujuh hari. Maka
adalah mereka itu menganjurkanuntuk memberi shadaqah makanan atas nama mereka selama
23. hari-hari itu.
b. Sebagai tambahan dari riwayat Ubaid bin Umair:
Dilakukan fitnah qubur terhadap dua golongan orang yaitu orang mukmin dan orang munafiq.
Adapun terhadap orang mukmin dilakukan tujuh hari dan terhadap orang munafiq dilakukan 40
hari.
c. Ada lagi tambahan dalam riwayat Mujahid yaitu
Ruh-ruh itu berada diatas pekuburan selamatujuh hari, sejak dikuburkan tidak memisahinya.
Kemudian dalam beberapa hadits lain menyatakan bahwa kedua malaikat Munkar dan Nakir itu
mengulangi pertanyaan-pertanyaan tiga kali dalam satu waktu. Lebih jelas dalam soal ini dapat
dibaca dalam buku ―Thulu‘ ats-tsuraiya di izhaari makana khafiya‖ susunan al Imam Suyuty
dalam kitab ― Al-Hawi lil fatawiy‖ jilid II.
Bidah
Fasal tentang Bid'ah (2)
01/03/2007
Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur‘an, Allah SWT telah
membuang sifat kapal dalam firman-Nya :
()97 :فهكلا
―Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa‖. (Al-Kahfi :
79).
Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang
jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh ةنيفسلكsama dengan ةعدبلكtidak disebutkan
sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik .ةنسحةنيفسلك
Selain itu, ada pendapat lain tentang bid‘ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip Hadratusy Syaikh
Hasyim Asy‘ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara baru dalam
urusan agama itu disebut bid‘ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh
sebagian besar syari‘at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid‘ah, akan
tetapi jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.
Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang telah
mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para
ulama, maka dikategorikan sebagai bid‘ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat mengenai
mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan
pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.
Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara‘
ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang
termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut.
Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid‘ah.
Syeikh Zaruq membagi bid‘ah dalam tiga macam; pertama, bid‘ah Sharihah (yang jelas dan
terang). Yaitu bid‘ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar‘i, seperti wajib, sunnah, makruh
atau yang lainnya. Menjalankan bid‘ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan
kebenaran. Jenis bid‘ah ini merupakan bid‘ah paling jelek. Meski bid‘ah ini memiliki seribu
24. sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu‘, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua,
bid‘ah idlafiyah (relasional), yakni bid‘ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu.
Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid‘ah tersebut, maka tidak boleh
memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid‘ah.
Ketiga, bid‘ah khilafi (bid‘ah yang diperselisihkan), yaitu bid‘ah yang memiliki dua sandaran
utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut,
bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid‘ah. Tetapi, bagi yang
melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid‘ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti
soal dzikir berjama‘ah atau soal administrasi.
Hukum bid‘ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab Risalah
Ahlussunnah Waljama‘ah, ada lima macam: pertama, bid‘ah yang hukumnya wajib, yakni
melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari
ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman
syari‘ah.
Kedua, bid‘ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah.
Ketiga, bid‘ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah),
dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid‘ah yang hukumnya
makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima,
bid‘ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar,
menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang
longgar, dan hal yang serupa.
Dengan penjelasan bid‘ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa
memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu
yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid‘ah yang sesat.
Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya
merupakan bid‘ah yang tidak baik.
--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam
"Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)